Teknologi untuk

advertisement
TEKNOLOGI UNTUK PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Tjandra Setiadi
Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung, Jln Ganesha 10
Bandung, Indonesia. 40132
e-mail: [email protected]
Belum ada abstrak
PENDAHULUAN
Pada bagian pertama tulisan ini, akan dipaparkan terlebih dahulu bagian yang
mempunyai arti yang luas dan bersifat makro, yaitu tentang persoalan yang dihadapi oleh
manusia di planet bumi ini, dan kemudian memberikan landasan mengapa pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) perlu diwujudkan. Hal inilah yang melatarbelakangi
mengapa teknologi untuk pembangunan berkelanjutan akan memiliki peran yang penting
dalam mewujudkan hal tersebut. Di samping itu, pengertian tentang teknologi tersebut akan
dipaparkan secara singkat.
Selanjutnya, pada bagain akhir makalah, disampaikan aplikasi teknologi untuk
pembangunan. Diskusi tentang teknologi tersebut dibatasi hanya pada tiga hal, yaitu
perubahan pada sumber energi primer, perubahan bahan baku dan menghindari terjadinya
produk samping dan emisi.
PEMBAHASAN
Bagaimana Masa Depan Kehidupan Manusia di Bumi Ini ?
Carbon Dioxide Levels Rise Mercury Climbs Oceans Warm Glaciers Melt
Sea Level Rises Sea Ice Thins Permafrost Thaws Wildfires Increase Lakes Shrink
Lakes Freeze Up Later Ice Shelves Collapse Drought Linger Precipitation
Increases Mountain Stream Run Dry Winter Losses Its Bites Spring Arrives Earlier
Autumn Comes Later Plants Flower Sooner Migration Times Vary Habitat Change
Birds Nest Earlier Diseases Spread Coral Reefs Bleach Snow packs Decline
1
Exotic Species Invade Amphibian Disappears Coastlines Erode Cloud Forests Dry
Temperatures Spike at High Latitudes.
(What in the World Is Going On? National Geographic, September 2004)
Bumi tempat manusia berpijak adalah planet yang dinamis. Energi dari matahari,
panas bumi, dan pergerakan air menciptakan benua, gunung, lembah, daratan, dan dasar
samudera. Proses perubahan yang terus berlangsung tidak hanya memfasilitasi kehidupan di
atasnya, tetapi juga menciptakan bencana. Saat ini, bumi memiliki fungsi selain sebagai ruang
dan sumber daya alam, yaitu sebagai “Bak Sampah”. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya
populasi penduduk dunia dan memburuknya kondisi lingkungan.
Meningkatnya pertumbuhan populasi penduduk dunia telah menyebabkan tekanan
terhadap sumber daya alam termasuk udara, air, tanah, dan keanekaragaman hayati.
Kehidupan modern dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) hingga saat ini
pada umumnya masih mengeksploitasi sumber daya alam secara maksimal terutama untuk
keperluan bahan baku industri, termasuk industri kimia, yang juga menghasilkan limbah yang
mengotori bumi. Dan apabila proses eksploitasi ini tidak dikendalikan dan limbah yang
dihasilkan belum ditangani secara serius, maka akan menimbulkan dampak buruk terhadap
lingkungan.
Pembangunan saat ini pun belum memuat pertimbangan lingkungan yang memadai.
Namun, upaya pencegahan sudah mulai dilakukan melalui berbagai aturan perundangan
mengenai lingkungan. Di samping itu, kemiskinan di selatan dan kemapanan di utara
cenderung merusak lingkungan hidup dan memboroskan sumber daya alam. Dengan demikian,
memahami bumi dan proses yang terjadi di dalamnya adalah mutlak agar manusia dapat
bertindak bijaksana. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menjaga kapasitas lingkungan
agar dapat melakukan fungsi-fungsinya dengan baik.
Manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan di
bumi sudah sepatutnya melakukan hal-hal yang perlu dilakukan untuk menyelamatkan bumi.
Populasi manusia di bumi telah melampaui 6 miliar jiwa pada tahun 2000 dan diperkirakan
akan mencapai 8 miliar jiwa pada tahun 2020. Untuk mendukung jumlah manusia sebanyak
itu, beban bumi akan semakin berat, terutama dalam penyediaan sumber daya alam dan untuk
memberikan lingkungan yang berkualitas layak.
Sepanjang menyangkut lingkungan hidup dan/atau sumber daya alam (SDA), manusia
sebenarnya dihadapkan pada suatu tantangan berat. Tantangan adalah suatu keadaan atau
kondisi yang menghadapkan manusia pada suatu masalah, tetapi pemecahannya memerlukan
suatu kemampuan baru (yang masih harus dicari dan dikembangkan). Tiga tantangan yang
2
paling menonjol yang digarisbawahi dalam KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Bumi 1992 di
Rio de Janeiro adalah :
1. Pesatnya laju pertumbuhan populasi manusia di bumi.
Pertumbuhan penduduk dunia meningkat pesat seperti yang disajikan dalam Gambar
1.
01
9
Populasi (miliar)
8
7
6
5
4
Negara Berkembang
3
2
1
Negara Maju
20
50
20
40
20
30
20
20
20
10
20
00
19
90
19
80
19
70
19
60
19
50
0
Gambar 1. Pertumbuhan dan proyeksi penduduk dunia, 1950 – 2050
Sumber : Population Division of the Department of Economic and Social Affairs
of the United Nations Secretariat (2004), http://esa.un.org/unpp
2. Bumi telah terbelah menjadi dua dunia yaitu :

Dunia Utara sebagai negara industri maju yang jumlah penduduknya relatif sedikit,
kurang dari 20% penduduk bumi seluruhnya. Namun, konsumsi sumber daya alam
secara umum dapat mencapai 40 kali dari dunia selatan.

Dunia Selatan yang terdiri atas negara sedang berkembang. Mereka masih
dicengkeram oleh kemiskinan dan keterbelakangan sedemikian rupa sehingga
kehidupan bagi mereka adalah suatu perjuangan untuk mempertahankan
keberadaan atau eksistensi belaka. Dengan demikian, tidaklah mengherankan
apabila mereka tidak memperdulikan persoalan lingkungan.
3. Perkembangan Iptek yang secara umum masih berciri eksploitatif, menghasilkan
limbah dalam jumlah yang tinggi, dan tidak hemat energi. Hal tersebut memberikan
tekanan yang tinggi terhadap ekosistem di bumi.
3
Apabila ketiga tantangan tersebut tidak mampu kita jawab, maka berbagai masalah
akan merongrong tidak hanya bagi manusia tetapi juga seluruh makhluk hidup yang berada di
bumi. Beberapa dampak, yang telah diidentifikasi sejak KTT di Rio de Janerio 1990, apabila
tantangan-tantangan tersebut tidak terjawab adalah :
1. Bumi akan mengalami krisis untuk memperoleh air bersih, dalam arti tidak hanya
kuantitas namun juga kualitas.
2. Berkurangnya lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan
keperluan hidup lainnya. Hal ini disebabkan oleh pengalihan pemanfaatan lahan
pertanian menjadi lahan untuk non-pertanian dan meluasnya pembentukan lahan kritis
sebagai akibat pemanfaatan lahan pertanian yang tidak memerhatikan upaya
pemeliharaan kesuburan tanah. Hal-hal tersebut berakibat pada penggurunan,
pengikisan, dan pelongsoran.
3. Menipisnya luas kawasan hutan secara global karena tuntutan akan kebutuhan lahan
non hutan. Yang dikhawatirkan adalah menurunnya keanekaragaman hayati secara
besar-besaran, baik dalam bentuk jenis tumbuhan dan satwa liar maupun juga
ekosistem dan plasma nutfah.
4. Terjadinya pencemaran dan perusakan ekosistem pantai dan laut sebagai akibat
penangkapan ikan yang berlebihan (over-fishing), perusakan habitat satwa laut dan
terumbu karang, dan pencemaran oleh limbah dan sampah yang terbawa aliran muara
sungai dari kegiatan manusia di darat.
5. Peningkatan beban pencemaran ke udara atau atmosfer juga memberikan ancaman
terhadap penurunan kualitas udara sedemikian rupa sehingga terjadi perubahan iklim
secara global (akibat menipisnya ozon dan meningkatnya gas rumah kaca), dan hujan
asam. Di samping itu, jumlah dan jenis limbah B3 (bahan beracun dan berbahaya)
meningkat yang keseluruhannya dapat membahayakan kesehatan manusia dan
lingkungan.
Lima belas tahun berlalu sejak pertemuan di Rio de Janeiro dan serangkaian negosiasi
internasional yang melibatkan banyak negara dan para ahli, termasuk di antaranya yang paling
terkenal adalah Protokol Kyoto. Apakah lingkungan bumi kita makin membaik? Bukti-bukti
ilmiah menunjukkan bahwa keadaannya justru makin memburuk. Konsentrasi gas-gas rumah
kaca (antara lain gas CO2, CH4, N2O, dan HFC) di atmosfer terus meningkat, yang
mengakibatkan perubahan iklim global. Perubahan iklim tersebut dipicu oleh meningkatnya
temperatur rata-rata secara global yang sejak tahun 1880 hingga tahun 2002 hampir sekitar
0,6 OC (1 OF), seperti terlihat pada Gambar 2. Bagaimana prediksi temperatur bumi di masa
4
yang akan datang? Apakah akan mengikuti garis merah, ataukah mengikuti garis biru? Dan
bagaimana dengan masa depan kehidupan manusia di bumi ini?
20
19
o Celcius
18
17
16
14,4
15
14
13
1880 1900 1920 1940 1960 1980 2000 2020 2040 2060 2080 2100
Gambar 2. Perubahan temperatur rata-rata tahunan secara global
Sumber : Mader (2007)
Pembangunan Berkelanjutan
Sustainable development: "Development that meets the needs of present without
compromising the ability of future generations to meet their own needs." The World
Commission on Environment and Development, Brundtland Commission, 1987
Pola pertumbuhan perkembangan ekonomi atau parameter lainnya, seperti populasi,
dapat dilukiskan seperti pada Gambar 3. Memperhatikan pola pertumbuhan pada gambar
tersebut, keadaan dunia saat ini berada pada garis hitam-penuh yang sedang menanjak,
terutama dari segi pertumbuhan populasi dan ekonomi. Sampai kapankah pertumbuhan ini
akan terus berlanjut?
Dengan memerhatikan tanda-tanda yang terjadi di bumi ini dan tantangan yang telah
dikemukakan pada KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992, tampaknya tidak mudah diatasi
oleh umat manusia, yang terjadi adalah masa depan yang buruk bagi kehidupan manusia.
Prediksi yang terjadi adalah seperti yang digambarkan oleh garis merah-penuh pada Gambar 3.
Yaitu, terjadinya bencana yang menimpa umat manusia. Keadaan seperti ini haruslah
dihindari dengan berbagai cara dan usaha.
Usaha yang harus dilakukan adalah bagaimana mengatur berbagai upaya untuk
mencapai kesetimbangan di bumi ini. Pencapaian kesetimbangan yang dapat menunjang
5
kebutuhan manusia saat ini dengan tidak mengorbankan kemampuan generasi mendatang
untuk memenuhi kebutuhan yang mereka perlukan, dikenal sebagai “Keberlanjutan”, dan
masyarakat yang berusaha menciptakan kondisi seperti itu disebut sebagai “Masyarakat yang
Pertumb
uhan
Pemban
gunan
Pe
ny
esu
a
ia n
Pe
m
ba
ng
un
an
Bi
ja
k
Kesetimbangan
a
Bencan
Parameter Pembangunan
Berkelanjutan” (Sustainable Society).
Waktu
Gambar 3. Pola pertumbuhan pembangunan secara umum
Sumber: Suzuki (2006)
Bagaimana mewujudkan masyarakat yang berkelanjutan adalah tantangan besar bagi
umat manusia saat ini, yang harus segera dijawab dan diwujudkan. Namun, kriteria apakah
yang dapat diterapkan bagi suatu usaha, tindakan, atau kegiatan dalam mewujudkan
keberlanjutan tersebut? Kriteria yang digunakan oleh UNFCC (United Nation Framework on
Climate Change) dalam mempertimbangkan keberlanjutan suatu proyek atau kegiatan adalah
memenuhi 3-P. Arti dari 3-P adalah Planet, Profits, and Persons. Atau dengan kata lain,
keberlanjutan tersebut harus mempertimbangkan keberlanjutan dari sisi Lingkungan,
Ekonomi, dan Sosial. Secara diagram ketiga kriteria tersebut dapat diilustrasikan seperti pada
Gambar 4.
6
Ekonomi
KEBERLANJUTAN
Sosial
Lingkungan
Gambar 4. Kriteria dalam pembangunan yang berkelanjutan
Sumber : DSM (2005)
Teknologi untuk Pembangunan Berkelanjutan
Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang berkelanjutan, peranan teknologi
tidaklah dapat diabaikan dan dikesampingkan, akan tetapi dengan tantangan yang besar.
Mulder (2006) mengungkapkan bahwa dalam rangka mendukung pembangunan yang
berkelanjutan, efisiensi lingkungan produksi dan konsumsi suatu teknologi atau produk rata
rata harus mencapai faktor 32,4. Dalam perhitungan tersebut diasumsikan dampak lingkungan
dari produksi dan konsumsi pada tahun 2050 adalah separuh dari tahun 2000, jumlah
penduduk dunia sebesar 1,5 kali lipat pada tahun 2050 dibandingkan 2000 dan negara miskin
mengejar kemakmuran seperti di negara negara maju, yang berakibat pada pemanfaatan
sumber daya alam sebesar 10,8 kali lipat pada tahun 2050.
Dengan melihat angka yang diprediksi tersebut, maka para industrialis, ilmuwan dan
insinyur harus memikirkan perubahan teknologi dengan cara lompatan, tidak cukup hanya
perubahan yang marjinal. Sejarah mencatat perubahan perubahan teknologi marjinal yang
telah dilakukan manusia:

Pada saat awal manusia menghadapi persoalan lingkungan adalah dengan cara
yang paling mudah, yaitu membuangnya di lahan kosong dan berjauhan dengan
kegiatan manusia; atau mengencerkannya ke sungai atau udara.

Setelah pencemaran makin meningkat, kemudian diperkenalkan teknologi
pengolahan limbah untuk mengurangi dampak dari limbah yang dihasilkan,
dengan tidak mengubah proses produksi. Sebagian besar indusri di Indonesia
masih pada tahap ini.
7

Metode penanganan limbah ternyata tidak cukup berarti (significant) untuk
mengatasi pencemaran lingkungan, sehingga pengurangan beban pencemaran
menjadi pilihan yang diutamakan oleh banyak negara maju. Pengurangan beban
pencemaran ini bukan hanya mengurangi jumlah limbah, tetapi mencakup pula
perancangan-ulang proses produksi, sehingga beban pencemaran dan pengurangan
biaya menjadi berarti. Terminologi yang dipakai untuk teknik ini sangat beragam,
ada yang menyebutnya pencegahan pencemaran, minimisasi limbah, produksi
bersih, teknologi hijau dan sebagainya.
Namun, teknologi untuk pembangunan yang berkelanjutan–selanjutnya disebut
sebagai teknologi berkelanjutan—tidaklah cukup dengan perubahan teknologi yang bertujuan
memproduksi barang dan jasa dengan meminimalkan limbah saja, teknologi yang diperlukan
adalah teknologi dengan tujuan yang jauh lebih luas. Hal ini untuk memungkinkan kita untuk
memenuhi kebutuhan umat manusia dengan tanpa melebihi kapasitas daya dukung dan daya
tampung ekologi planet bumi ini dan mempromosikan kesetaraan kebutuhan manusia.
Teknologi Berkelanjutan mempunyai paling tidak tiga karakterisitik, yaitu: memenuhi
kebutuhan umat manusia, mempertimbangkan pengaruh global dan memberikan penyelesaian
jangka panjang (Mulder, 2006). Beberapa contoh yang memperlihatkan teknologi yang tidak
berkelanjutan, antara lain:

Penggunaan pupuk kimia, yang pada awalnya dapat meningkatkan kebutuhan
pangan, akan tetapi pada jangka panjang menimbulkan kerusakan tanah pertanian
lokal.

Obat antibiotika telah dirasakan penting bagi peningkatan kesehatan manusia,
tetapi penggunaannya yang sangat luas menyebabkan munculnya bakteri yang
tahan terhadap obat antibiotika. Pada jangka panjang, hal ini dapat menimbulkan
resiko kesehatan yang luas.
Kata kunci dari teknologi berkelanjutan adalah adanya inovasi sistem yang mengubah
struktur sistem teknologi. Pengertian sistem di sini bukan saja pada skala mikro akan tetapi
mencakup inovasi sistem dalam skala besar yang melibatkan unsur unsur yang berkontribusi
dalam menghasilkan produk dan jasa bagi konsumen. Inovasi sistem ada kalanya
membutuhkan biaya investasi yang besar dan sering pula diiringi dengan kehancuran
keseluruhan sistem yang digantikannya. Sebagai contoh, sistem telegraf yang dihancurkan
oleh teleks, yang kemudian kedua teknologi tersebut disapu oleh mesin faks. Saat ini, kita
sedang mengamati menghilangnya mesin faks yang digantikan oleh pengiriman dokumen
melalui surat elektronik (e-mail).
8
Aplikasi Teknologi untuk Pembangunan yang Berkelanjutan
“The old paradigm works like this: we judge just about every issue by asking the
question, will this make the economy larger? But, endless economic growth is built on the use
of cheap fossil oil.” Bill McKibben - Penulis buku terlaris The End of Nature.
Berikut ini disampaikan tiga buah contoh inovasi sistem yang lebih rinci dalam rangka
teknologi untuk pembangunan yang berkelanjutan (Mulder, 2006). Tiga contoh tersebut
adalah

Mengubah penggunaan sumber energi primer dan peningkatan efisiensi energi
dalam sistem produksi

Mengubah sumber bahan baku dan penggunaan kembali produk yang taktermanfaatkan.

Menghindari terjadinya produk samping (by-products) dan emisi.
Mengubah Penggunaan Sumber Energi Primer dan Peningkatan Efisiensi Energi dalam
Sistem Produksi
Pada saat ini, sumber energi primer untuk industri dan kegiatan manusia adalah bahan
bakar fosil (minyak bumi, gas dan batubara). Energi primer adalah energi penggerak utama
yang langsung digunakan untuk suatu kegiatan. Misalnya, penggunaan bensin atau solar
untuk kendaraan bermotor, penggunaan batubara/gas/minyak untuk menghasilkan uap panas
(steam) untuk menjalankan mesin, memanaskan alat alat di pabrik pabrik atau untuk
menghasilkan listrik dari suatu pabrik.
Dalam dekade mendatang, kita akan melihat perubahan yang besar dalam penggunaan
sumber energi primer di negara industri, yaitu dengan beralih pada listrik sebagai energi
primer. Beberapa negara maju mendorong lebih jauh penggunaan kendaraan bertenaga listrik
yang saat ini banyak dikritik sebagai ‘kendaraan dengan emisi di tempat lain’ bukan sebagai
‘kendaraan dengan emisi nol’. Maksudnya adalah untuk menghasilkan listrik tersebut, saat ini
masih dihasilkan emisi, walapun bukan pada kendaraan tersebut, tetapi terjadi di tempat
pembangkit tenaga listriknya. Demikian pula proses produksi di industri beralih dengan
pemakaian listrik sebagai sumber energi primer. Akan tetapi pertanyaannya adalah apakah
penggunaan listrik sebagai sumber energi primer merupakan hal yang perlu dipertimbangkan
dalam menunjang teknologi berkelanjutan?
9
Jawabannya tidaklah sederhana, perlu pertimbangan yang matang dengan paling tidak
mengkaji dari tiga karakteristik teknologi berkelanjutan yang telah disebutkan pada sub
bagian sebelumnya. Namun, kelebihan berikut dari energi listrik sebagai energi primer perlu
menjadi masukan yang berharga:

Pembangkit listrik secara umum menggunakan bahan bakar lebih efisien daripada
penggunaan bahan bakar langsung di proses industri lainnya. Namun, sebagian energi (315%) hilang dalam jaringan transmisi dan distribusi melalui jaringan listrik (grids).

Dengan pengembangan jaringan listrik (grids) yang lebih sempurna akan meningkatkan
kesempatan bagi penghasil energi dari bahan bakar yang terbarukan (renewable
resources) untuk dapat menjual energi listriknya.

Polusi dari satu cerobong pembangkit listrik jauh lebih mudah dikendalikan daripada
emisi dari cerobong yang banyak dari berbagai industri.

Pemakaian energi seringkali menimbulkan pencemaran udara yang berbahaya bagi
kesehatan, terutama di daerah perkotaan. Pembangkit listrik dimungkinkan di tempatkan
di luar daerah perkotaan, sehingga dampak pencemaran udara dapat diminimalkan.

Sumber sumber energi listrik terbarukan tersedia dalam jumlah yang cukup bagi daerah
tertentu dan dapat di eksplorasi lebih jauh. Misalnya limbah biomassa, seperti di
Lampung, Riau dan daerah lainya. Sumber panas bumi yang tersedia di banyak tempat di
Indonesia yang sangat dimungkinkan untuk dijadikan sumber listrik.

Sumber listrik yang terbarukan lainnya memiliki potensi yang besar bila didorong dengan
kebijakan yang tepat dan insentif yang memadai. Contohnya adalah tenaga surya, angin,
gelombang dan lain lain.
Efisiensi pembangkit listrik dapat ditingkatkan lebih tinggi dengan mengkombinasikan
panas dan energi (CHP – cogeneration of heat and power). Dalam waktu dekat, di banyak
tempat di dunia termasuk di Indonesia, akan terjadi revolusi jaringan listrik (grids) di mana
setiap orang bisa menghasilkan listrik (produsen) dan juga sebagai pengguna (konsumen).
Untuk mencapai hal tersebut perlu penyelesaian permasalah teknis dan regulasi terlebih
dahulu, agar kita semua dapat menjadi produsen dan konsumen listrik dan energi secara
bersamaan.
Hal lain yang berkaitan dengan efisiensi energi, terdapat banyak kemungkinan yang
potensial untuk mengurangi konsumsi energi. Proses pemanasan dan pendinginan secara jelas
membutuhkan energi dalam jumlah yang besar. Padahal kebutuhan energi dalam proses
proses ini sesungguhnya dapat dikurangi dengan penukar panas yang tepat. Contoh lain
adalah mesin pengolah data (data servers) perlu pendinginan karena mesin menjadi panas
10
oleh sejumlah mikroprosesor yang ada di dalamnya. Apabila kita dapat mengembangkan
mikroprosesor yang membutuhkan energi yang lebih rendah, maka kita memperoleh dua
keuntungan sekaligus yaitu kebutuhan energi yang rendah dan kebutuhan pendinginan yang
rendah pula.
Mengubah Sumber Bahan Baku dan Penggunaan Kembali Produk yang Taktermanfaatkan
Bahan baku utama dalam industri kimia dan proses pada saat ini masih tergantung
sangat kuat terhadap bahan baku berbasis minyak bumi dan gas atau bahan yang berasal dari
fosil. Penggunaan bahan baku tersebut perlu menjadi pertimbangan matang di masa
mendatang.
Laporan EuropaBio tahun 2003 memuat studi yang dilakukan oleh McKinsey and
Company, Oeko Institute bersama-sama dengan sebuah dewan penasehat terhadap sejumlah
perusahaan yang bergerak di bidang industri bioteknologi dalam rangka memberikan
penilaian terhadap potensi industri bioteknologi di masa depan
Laporan tersebut memberikan indikasi bahwa pangsa pasar industri bioteknologi akan
meningkat dengan tajam di seluruh bidang pada tahun 2010, terutama dalam produksi bahan
kimia adi (fine chemicals). Diperkirakan, pada tahun 2010, antara 30 hingga 60% bahan kimia
adi, dan antara 6 hingga 12% polimer dan bahan kimia curah (bulk chemicals) akan
diproduksi dengan cara bioproses dengan bahan baku biomassa. Pada saat laporan tersebut
ditulis, tahun 2003, penetrasi industri bioteknologi terhadap seluruh industri kimia sekitar 5%,
diperkirakan penetrasi tersebut akan meningkat antara 10 - 20% pada tahun 2010, dan bahkan
akan meningkat dengan tajam pada tahun-tahun berikutnya. Laju penetrasi tersebut
bergantung pada beberapa faktor, antara lain yang akan sangat mempengaruhi adalah harga
minyak mentah, harga bahan baku pertanian (biomassa), kemauan politik dari banyak
pemerintahan, dan struktur dari teknologi baru ini (Bachman, 2003).
Marilah kita lihat dua faktor yang pertama, yaitu minyak mentah dan biomassa.
Ketersediaan minyak mentah sudah dipastikan akan habis, walaupun perdebatan tentang
waktunya tetap hangat didiskusikan oleh para ahli di bidangnya. Mengenai cadangan bahan
bakar fosil, saat ini dunia dihadapkan oleh situasi yang bertolak belakang, yaitu kenyataan
bahwa minyak mentah sedang dikonsumsi dengan laju yang jauh lebih cepat daripada
sebelumnya, di sisi lain, cadangan-terbukti (proven oil reserve) tetap pada tingkat yang
hampir sama dengan 30 tahun lalu. Ditambah lagi, cadangan-terbukti tersebut berada pada
tempat-tempat yang sulit untuk dijangkau. Dengan demikian, biaya untuk mengeksploitasi
11
minyak mentah terus meningkat, dan ini ditunjukkan dengan harga minyak mentah yang terus
meningkat seperti diilustrasikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Harga rata-rata bulanan minyak mentah Brent
Sumber: Oilenergy.com (2010)
Produksi biomassa di bumi ini diperkirakan sekitar 170 miliar ton per tahun yang
terdiri dari 75% karbohidrat, 20% lignin, dan 5% senyawa lainnya, seperti minyak dan lemak,
protein, alkaloid, dan lain sebagainya. Dari nilai produksi biomassa tersebut, hanya sekitar
3,5% (6 miliar ton) saat ini digunakan untuk kebutuhan manusia, dengan rincian sebagai
berikut (Soetaert dan Vandamme, 2006) :

3,2 miliar ton (62%) untuk kebutuhan pangan manusia, antara lain melalui peternakan
hewan dan pertanian.

2 miliar ton (33%) untuk energi, kertas, dan kebutuhan konstruksi.

300 juta ton (5%) untuk memenuhi kebutuhan manusia non-pangan, seperti untuk
bahan baku pembuatan pakaian, deterjen, bahan kimia, dan lain sebagainya.
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa masih terdapat ruang yang cukup
lebar untuk memanfaatkan biomassa sebagai sumber daya alam yang terbarukan (renewable
resources) untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pemanfaatan biomassa tersebut merupakan
tantangan yang terbesar bagi teknologi berkelanjutan untuk menjawabnya.
Laporan McKinsey memperkirakan bahwa dengan terwujudnya industri bioteknologi
yang berbasis biomassa, akan terjadi penurunan gas rumah kaca antara 17-65% (lingkungan),
12
dan nilai potensi ekonomi industri tersebut sekitar 11-22 miliar Euro per tahun (ekonomi)
pada tahun 2010. Dengan makin terwujudnya industri yang berkelanjutan, diharapkan akan
membawa keuntungan ke daerah yang berbasis masyarakat (sosial). Dengan demikian,
industri yang memanfaatkan Teknologi Berkelanjutan akan mendorong terwujudnya
Masyarakat yang Berkelanjutan (Sustainable Society).
Dari pembahasan di atas tampak bahwa mengubah bahan baku utama pada proses
industri dapat membantu mengurangi limbah, pencemaran dan penipisan dari sumber bahan
baku yang tidak terbaharui secara nyata. Bila melihat pada industri konvensional, industri
secara umum menghasilkan bermacam-macam limbah, yang secara prinsip limbah tersebut
dapat dimanfaatkan kembali atau didaur ulang, akan tetapi seringkali limbah tersebut tidak
termanfaatkan karena alasan alasan teknis dan ekonomi, misalnya tidak tersedianya proses
yang efektif untuk memanfaatkan limbah tersebut.
Proses daur ulang yang tersedia saat ini dapat menjadi efektif secara biaya (cost
effective), apabila terjadi perubahan peraturan (undang-undang) atau kenaikan harga bahan
baku. Ketidaktersediaan teknologi daur ulang yang efektif secara biaya jarang sekali terjadi
hanya disebabkan oleh faktor teknis, akan tetapi banyak dipengaruhi pula oleh faktor sosial.
Biaya sesungguhnya dari limbah suatu proses produksi (termasuk konsumsinya)
seringkali tidak dibayar oleh perusahaan yang menghasilkan produk tersebut. Sebagai contoh,
kemasan suatu produk (katakanlah kemasan kotak dari produk susu) akan menjadi limbah
domestik setelah produk tersebut dikonsumsi oleh pembeli. Lalu limbah kemasan menjadi
beban masyarakat atau pemerintah daerah. Hal tersebut menjadi berbeda apabila biaya
pengolahan limbah kemasan menjadi tanggung jawab produsen, seperti yang diatur dalam
Undang Undang Sampah No. 18 tahun 2008
Dengan adanya undang undang tersebut produsen akan mempertimbangkan apakah
akan menggunakan kemasan yang sama (kemasan kotak yang sulit dihancurkan dan sulit
dimanfaatkan kembali) atau kemasan yang berbeda. Produsen akan terdorong dan berpikir
lebih jauh untuk mengurangi penggunaan kemasan atau mengubah kemasan atau mengubah
rancangan produk untuk mengurangi limbah domestik secara nyata.
Pengurangan, pemanfaatan kembali dan daur ulang produk dan atau bahan baku,
dikenal sebagai 3R (reduce, reuse and recycle) adalah hal yang sangat penting dilakukan di
industri dan masyarakat. Banyak sekali contoh yang dapat dilaksanakan untuk hal tersebut,
yang pada intinya adalah bagaimana melakukan siklus material (material cycle) yang tertutup
sejauh hal tersebut dapat dilaksanakan dan diupayakan.
13
Pola pikir yang relatif baru perlu diperkembangkan dalam rangka mencegah dan
mengurangi limbah industri adalah Ekologi Industri. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa
industri sebaiknya mengikuti alur yang terjadi di alam, misalnya menghasil produk tanpa
limbah, memanfaatkan limbah dari suatu industri menjadi bahan baku dari industri lain (waste
exchange), dan lain sebagainya. Dengan demikian, sekelompok industri merupakan sistem
simbiosis antara satu industri dengan industri yang lain. Contoh yang terkenal mengenai
ekologi industri ini adalah di kawasan industri Kalundborg, Denmark (www.indigodev.com/
Kal.html)
Menghindari Terjadinya Produk Samping dan Emisi
Menghindari terjadinya produk samping dan emisi merupakan hal teknis dan
seringkali menjadi sesuatu yang terlalu detil untuk dipahami oleh masyarakat umum. Namun,
hal ini menjadi bagian yang sangat penting untuk diperhatikan oleh para insinyur kimia dan
ahli proses di industri dan menjadi tantangan besar di kemudian hari dalam rangka
mewujudkan Teknologi Berkelanjutan.
Beberapa contoh berikut ini dikemukakan dalam Mulder (2006). Contoh pertama
adalah produk isomer. Produk dari proses kimia seringkali dihasilkan beberapa isomer, yaitu
senyawa dengan rumus molekul yang sama, akan tetapi memiliki stuktur molekul yang
berbeda atau kedudukan suatu unsur (atau senyawa) berbeda dalam struktur ruangnya. Yang
menyulitkan adalah produk yang berguna hanyalah suatu isomer tertentu, sedangkan isomer
isomer lainnya merupakan produk limbah (by-products) yang tidak dapat dimanfaatkan.
Contoh dari produk isomer adalah para-phenylene-diamine (PPD) yang merupakan
senyawa antara untuk menghasilkan serat aramid-kinerja-tinggi. Dalam proses produksi PPD
dihasilkan senyawa isomernya dengan kuantitas yang sama (1:1) yaitu ortho-phenylenediamine (OPD). Isomer OPD ini tidak memiliki kegunaan yang berarti, sehingga menjadi
limbah yang harus ditangani. Pada tahun 1980-an, kebutuhan akan serat aramid makin
meningkat, akan tetapi terhambat oleh produk samping yang harus ditangani dengan seksama.
Hal ini mendorong industri penghasil serat aramid, AKZO-Nobel untuk mengembangkan
proses yang secara selektif hanya menghasilkan isomer PPD. Kunci dari penelitian tersebut
adalah memilih kondisi operasi dan katalis yang tepat untuk menghasilkan PPD tanpa
membentuk OPD.
Contoh lainnya yang klasik, yaitu di industri pengilangan minyak bumi. Proses dalam
industri pengilangan minyak bumi konvensional adalah memisahkan minyak bumi
berdasarkan titik didihnya, atau disebut fraksi, yang sangat tergantung pada minyak mentah
14
yang diolah. Fraksi yang mempunyai nilai jual tinggi adalah fraksi yang relatif ringan, dengan
demikian pada pengilangan minyak bumi akan dihasilkan fraksi minyak berat (heavy oils) dan
tar yang bernilai jual rendah atau seringkali menjadi limbah. Pengembangan lebih lanjut
dengan teknologi konversi katalis (catalytic conversion), fraksi berat dimungkinkan
dipecahkan menjadi fraksi ringan, sehingga meningkatkan keekonomian industri pengilangan
minyak bumi. Bahkan, sulfur yang terkandung dalam fraksi berat dapat diambil kembali
menjadi produk belerang (S) yang bermanfaat bagi industri kimia lainnya. Perubahanperubahan seperti ini telah dan sedang dilakukan oleh industri pengilangan minyak di
Indonesia, walaupun perubahan yang lebih besar lagi perlu ditingkatkan agar industri
pengilangan
minyak
Indonesia
mampu
menerapkan
teknologi
yang
mewujudkan
pembangunan yang berkelanjutan.
Banyak contoh contoh lain yang berkaitan dengan menghindari produk samping dan
emisi disajikan di berbagai buku rujukan, antara lain, dalam Mulder (2006). Pada intinya
adalah peningkatan teknologi pengendalian proses, teknologi katalis dan perbaikan sistem
manajemen lingkungan akan mampu meningkatkan efisiensi konversi bahan baku–yang
langka—menjadi produk akhir yang bermanfaat dan mengurangi terjadinya pencemaran
lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Bachman, R. 2003. “Industrial Biotechnology – New Value – Creation Opportunities”,
McKinsey and Co., presentasi pada The Bio-Conference, New York.
DSM. 2005. “Industrial (White) Technology: An Effective Route to Increase EU Innovation
and Sustainable Growth”.
EuropaBio. 2003. White Biotechnology Gateway to a More Sustainable Future,
Brussels,
April.
Mader, S.S. 2007. Biology, Ed. 9, McGraw Hill Int. Edition, New York.
Marshall, R. 2006. “Broader Horizons for Biomass”, Chemical Engineering, Vol. 113,
No.
10, pp. 21--25.
Mulder, K. Editor. 2006. “Sustainable Development for Engineers”, Greenleaf
Publishing
Ltd., Sheffield.
Setiadi,
T.
2007.
“Peranan
Teknik
Bioproses
dalam
mewujudkan
Masyarakat
Berkelanjutan’, Majelis Guru Besar, ITB, Bandung.
15
Soetaert, W. and Vandamme, E. 2006. “The Impact of Industrial Biotechnology”.
Biotechnology J., 1, pp. 756--769
Suzuki, M. 2006. “Aiming at Sustainable Society”, Half Day Seminar on Sustainable
Society, ITB, Bandung, November 27.
16
Download