Memburuknya Konstitusi Kita

advertisement
Memburuknya Konstitusi Kita
Mochtar Pabottingi
HANYA dengan memahami rasionalitas politik pada demokrasi, kita
dapat membongkar hal-hal esensial dan prosedural apa saja yang telah
dilanggar atau dinafikan dalam rangkaian amandemen atas UndangUndang Dasar (UUD) 1945 sejak tahun 1999 sebagaimana yang
dilaksanakan oleh Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja (BP) Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Alih-alih merupakan solusi jangka
panjang bagi akar tunjang krisis politik kita hingga detik ini, hasil dan
proses amandemen secara keseluruhan justru membuka peluang bagi
suatu krisis konstitusional yang berlarut-larut dan semakin parah.
Jika UUD 1945 disusun karena terdorong oleh tekad untuk
menyelamatkan bangsa di tengah-tengah kegentingan situasi nasionalinternasional dan jauh dari pamrih materi serta kekuasaan, amandemen
ed dilakukan sambil meneruskan ketakpeduliannya pada bangsa dan
negara, di samping sengaja membiarkan diri didikte oleh hasrat untuk
mempertahankan kekuasaan yang sarat dengan pamrih materi.
Kepentingan-kepentingan politik sempit yang
bercokol,
khususnya
dalam
PAH
I
BPMPR itu, telah memanfaatkan momen
amandemen bukan terutama untuk menyusun
konstitusi yang maju dan berjangkauan jauh,
melainkan lebih untuk menjatuhkan lawan politik
mereka dengan sekaligus menghindari prinsip
turn-taking dalam pemerintahan. Mereka tak
menghendaki pelbagai kepentingan mereka,
termasuk kebijakan dan praktik-praktik yang
sudah terbukti membangkrutkan bangsa kita
secara multidimensi, terusik, dan terancam.
Tidaklah salah jika dikatakan bahwa UUD 1945
adalah konstitusi yang membatalkan dirinya
kompas/danu kusworo
sendiri. Ia adalah konstitusi yang tidak
memenuhi
syarat
sebagai
konstitusi.
Singkatnya, ia adalah konstitusi yang tidak
memiliki konstitusionalitas. Alih-alih mengarahkan rasionalitas politik, ia justru menjadi sumber
dan patokan irasionalitas politik.
Maka, dalam perspektif rasionalitas demokrasi, baik rezim Demokrasi Terpimpin Soekarno
maupun rezim Soeharto, bahkan pemerintahan transisi sekarang ini tiada berkonstitusi.
Sedangkan nasion sendiri sudah dipersekusi dan diinjak-injak oleh Presiden Soeharto sejak
akhir tahun 1965 dan awal tahun 1966 (dengan pembantaian ratusan ribu saudara-saudara kita)
hingga ke saat-saat terakhir dari kepresidenannya (dengan penculikan dan pembunuhan).
Dalam upaya mencegah pengulangan manipulasi dan rekayasa atas konstitusi, UUD 1945
dianggap perlu diamandemen. Proses amandemen pun dimulai MPR tahun 1999. Tetapi,
bagaimana proses dan hasilnya?
PAH I BP MPR melakukan amandemen atas UUD 1945 dengan sengaja membuat konstitusi
bukan hanya jadi tawanan negara, melainkan tawanan kepentingan-kepentingan politik sempit
kalangan Orde Baru yang masih terus bercokol di dalamnya.
Sungguh amat menyedihkan bahwa gejala pembalikan ke arah format politik Orde Baru itu pada
hari-hari ini justru kian memperoleh dukungan dari lingkungan kepresidenan beserta partainya,
PDI Perjuangan, yang memang makin lama makin membuktikan diri sebagai "Golkar Merah".
Rangkaian pelanggaran dan penafian dalam amandemen terjadi karena kemiskinan visi
konstitusional dan berlakunya kontradiksi-kontradiksi antara kemiskinan visi tadi dengan
kepentingan-kepentingan politik sempit berbaur nafsu keserakahan akan kekuasaan sempit-picik
yang begitu telanjang di kalangan para anggota DPR/MPR.
Irasionalitas esensial
Mudah ditunjukkan sejumlah bukti irasionalitas esensial dan prosedural pada PAH I BP MPR.
Pertama, menolak atau tidak memberi jalan bagi terbentuknya Komisi Konstitusi. Penafian
terbesar atas rasionalitas demokrasi dilakukan oleh PAH I BP MPR dan/atau MPR sendiri
dengan menolak atau tidak meluangkan jalan bagi terbentuknya Komisi Konstitusi yang
nonpartisan, independen, dan mewakili segenap unsur nasion dengan tekanan pada kompetensi
dan integritas politik. Para anggota PAH I BP MPR enggan mengakui gamblangnya kenyataan
bahwa mereka umumnya sama sekali tidak memiliki kompetensi, integritas, maupun validitas
politik dan hukum untuk itu, apalagi jika dihitung dari kriteria the best minds, the noblest
characters, dan the best talents.
Yang paling tak bisa diterima dari anggota-anggota PAH I BP MPR pada umumnya ialah
kenyataan bahwa loyalitas mereka tetap saja pada kepentingan-kepentingan politik sempit,
bahkan serakah, di saat mereka sudah berada pada lembaga yang mestinya sudah mengatasi
itu semua dan dalam momen serta tugas yang justru menghendaki kenegarawanan total.
Mereka tak mengindahkan atau terlalu pandir untuk mengerti bahwa loyalitas pada partai mesti
berakhir di setiap jabatan atau kedudukan yang rasionalitasnya menjunjung nasion. Itulah
kecerdasan dan kearifan politik yang sudah dicanangkan oleh Alexander Hamilton sejak 214
tahun silam. Alot, kacau, dan berlarut-larutnya pelaksanaan amandemen di tangan mereka
adalah perwujudan dari nihilnya visi dan ketulusan kenegarawanan pada mereka.
Ini semua berarti bahwa PAH I BP MPR melanggar dan menafikan rasionalitas politik pada lapis
yang tertinggi, yakni sentralitas nasion di dalam rasionalitas demokrasi serta mutlaknya hak dan
wewenang nasion dalam hal penyusunan ataupun perubahan-perubahan besar dalam konstitusi.
Ini juga berarti bahwa mereka melanggar dan menafikan prinsip kedaulatan rakyat, sebab nasion
adalah milik dan/atau terbentuk dari rakyat yang berdaulat.
Akibatnya, pada kita, berbeda dengan langkah yang diambil misalnya oleh Thailand dan Filipina,
nasion tak diberi hak menyusun dan memiliki konstitusi. Ini dengan sendirinya berarti bahwa
nasion dan/atau rakyat juga mustahil menjadi pembela dan pendukung konstitusi hasil
amandemen tersebut, sama seperti setiap demokrat tak pernah membela dan mendukung UUD
1945. Hanya jika nasion diberi haknya untuk menyusun amandemen UUD 1945, atau lebih baik
lagi untuk menyusun suatu konstitusi baru, nasion dan/ atau rakyat akan membelanya sepenuh
hati.
Kedua, menutup-nutupi niscayanya pelaksana amandemen atau perubahan besar atas UUD
1945 bukan oleh sisa-sisa Orde Baru. PAH I BP MPR seolah-olah menutup mata bahwa
amandemen dilakukan sebagai salah satu mata rantai menuju reformasi politik dan bahwa
reformasi itu sendiri dilakukan dalam rangka menolak rezim Orde Baru. Suatu rezim, seperti
telah kita rumuskan, terdiri dari format politik beserta segenap pelaksana utamanya.
Unsur-unsur dan partisan Orde Baru di dalam PAH I BP MPR sengaja mendiamkan dan/atau
menutup-nutupi kemustahilan reformasi konstitusi oleh mereka yang pada satu atau lain
kesempatan selama 36 tahun terakhir telah ikut memperparah kehidupan konstitusional kita.
Maka perangkap yang lebih celaka daripada perangkap Pemilu 1999 dan Undang-Undang (UU)
Nomor 22 Tahun 1999 kini sudah kita dimasuki, yaitu di saat amandemen atas UUD 1945
dilakukan oleh PAH I BP MPR. Ia menjadi perangkap celaka lantaran itu berwujud pada salah
satu puncak irasionalitas politik kita di era upaya reformasi, yaitu pada dibukanya kemungkinan
sinergi antara "wakil-wakil rakyat" hasil pemilihan umum yang amat distortif serta sarat
kecurangan dan UUD 1945 yang memang sudah terlebih dahulu merampas kedaulatan rakyat.
Dengan kian tampaknya gejala pembalikan reformasi pada proses dan hasil-hasil amandemen,
kita mengkhawatirkan terjadinya perpanjangan dari sinergi Orde Baru dengan UUD 1945.
Hasilnya dapat dipastikan menjadi pelipatgandaan irasionalitas politik. Dalam kilas balik, sinergi
amat jahat ini bisa diperkirakan sebagai sesuatu yang memang sudah berada dalam proyeksi
pasca-Soeharto dari barisan Orde Baru yang hendak terus mengangkangi agenda dan
kehidupan politik bangsa kita.
Ketiga, mematok wilayah politik yang mestinya terbuka dalam rangka rasionalitas demokrasi
dengan rambu-rambu yang mereka sebut gentlemen agreement. Oleh karena wawasan dan
kepentingan para anggota PAH I BP MPR pada umumnya didikte oleh kepentingan-kepentingan
politik yang picik dan miopik, mereka melakukan satu langkah strategis irasional yang
sesungguhnya memblokir reformasi.
Ini mereka lakukan dengan memutuskan di antara mereka sendiri untuk memasang lima ramburambu bagi proses amandemen, yakni apa yang mereka sebut gentlemen agreement, yakni halhal yang menurut mereka tidak boleh dikenai amandemen. Kelima hal itu adalah menyangkut
dipertahankannya Pembukaan UUD 1945, bentuk negara kesatuan, kabinet presidensial,
diputuskannya prinsip adendum dalam melakukan amandemen, dan dijadikannya bagian
penjelasan masuk ke batang tubuh konstitusi.
Keempat, mengabaikan niscayanya identifikasi dan pemaparan awal secara komprehensif
mengenai bidang-bidang yang mesti dicakup dalam konstitusi menurut rasionalitas demokrasi.
PAH I BP MPR langsung saja melakukan amandemen tanpa didahului oleh proses diskusi yang
matang secara nasional menyangkut bidang-bidang dan masalah-masalah yang mesti dimuat di
dalam konstitusi, yang pokok-pokoknya juga mesti disosialisasikan ke seluruh lapisan
masyarakat di seluruh bagian tanah air. Afrika Selatan berhasil melakukan ini secara orisinal dan
elegan.
Bagi bangsa kita sekarang, pemaparan demikian mutlak perlu bukan hanya mengenai bidangbidang sentral dalam suatu konstitusi seperti mengenai lingkup, hierarki, dan mekanisme
lembaga-lembaga politik yang dikehendaki; hak-hak asasi warga negara; hubungan agama
dengan negara; keadilan antarjender maupun antara pemerintahan pusat dan pemerintahan
daerah, dan seterusnya.
Berkaitan dengan butir satu dan dua di atas, tak kurang pentingnya, diskusi luas dan
komprehensif juga perlu dilakukan mengenai strategi rasionalitas politik untuk menghadapi latar
atau kondisi politik nyata yang sarat distorsi, perangkap, pilihan simalakama, dan irasionalitas di
mana amandemen akan dilakukan. Pertanyaan sentral di sini adalah apakah kita akan
melakukan amandemen dengan bermodalkan hasil-hasil pemilihan umum yang distortif serta
pasal-pasal perampas kedaulatan di dalam UUD 1945 yang mestinya diawasi paling awal
ataukah kita bertolak dengan bermodalkan segenap persyaratan yang memenuhi atau sejalan
dengan kaidah-kaidah yang dituntut oleh rasionalitas demokrasi seperti yang telah kita uraikan.
Kita semua menyadari bahwa langkah untuk amandemen diputuskan dan dimulai tidak dalam
suatu vakum politik, melainkan dalam suatu keadaan politik yang luar biasa buruk dan
distortifnya. PAH I BP MPR sama sekali tak mengangkat konsideran mengenai latar politik
tersebut, seolah-olah realitas politik amat buruk (lantaran terus bercokolnya unsur-unsur Orde
Baru di segenap lembaga kenegaraan kita) itu takkan mempengaruhi upaya proses dan hasil
amandemen seperti ia mempengaruhi proses dan hasil Pemilu 1999 serta UU No 22/1999. Ini
dapat dimengerti karena "wakil-wakil" yang mengisi MPR, sekali lagi, umumnya merupakan hasil
yang distortif dari pemilihan umum tersebut.
Kelima, menjadikan momen amandemen atas UUD 1945 sebagai ajang untuk melakukan politik
dagang sapi dan memenuhi kepentingan-kepentingan jangka pendek yang meninggalkan
pertanggungjawaban kepada nasion. Ini bisa diamati pada banyaknya masalah konstitusional
yang tidak diselesaikan oleh PAH I BP MPR dalam musyawarah yang matang untuk kepentingan
jangka panjang nasion, melainkan untuk pengejaran target-target politik jangka pendek dari
partai-partai. Di sini kita disuguhi banyak cerita yang sangat memprihatinkan tentang bagaimana
sejumlah pasal atau ayat amandemen diloloskan.
Saratnya kepentingan sempit picik pada PAH I BP MPR antara lain juga tercermin pada matriks
yang memuat teks UUD 1945 asli beserta teks-teks dari rangkaian amandemen atasnya. Di sini,
padatnya amandemen atas pasal-pasal menyangkut kepresidenan begitu mencolok dibanding
dengan sepinya amandemen pada banyak pasal lainnya. Tambahkan ke situ, drastis dan
eksesifnya pengurangan wewenang dan/atau kekuasaan eksekutif yang berbanding lurus
dengan drastisnya magnifikasi dari wewenang dan kekuasaan legislatif secara yang justru
mengkhianati, bahkan mengkarikaturalkan prinsip saling kontrol saling imbang pada lapis kedua
dari rasionalitas demokrasi yang telah kita uraikan. Pertarungan sempit picik itulah yang juga
membuat Mahkamah Konstitusi sengaja dibancikan oleh PAH I BP MPR dalam hasil
amandemen ketiga.
Irasionalitas prosedural
Bukan hanya terjadi irasionalitas pada esensi amandemen, tapi juga pada prosesnya. Bukti
irasionalitas prosedural itu sebagai berikut.
Pertama, ketika MPR mem-panitia ad hoc-kan proses amandemen atas UUD 1945 dan dengan
demikian melakukan irasionalitas prosedural ganda. Jika, per-rasionalitas demokrasi, MPR yang
ada sekarang saja sudah merupakan hasil yang sangat distortif dari Pemilihan Umum 1999 dan
karena itu tidak memenuhi syarat untuk melakukan perubahan besar atas UUD 1945, apalagi
pecahan kecil darinya.
Kedua, ketika PAH I BP MPR melakukan amandemen langsung ke pasal-pasal UUD 1945,
tanpa didahului ekspose gagasan-gagasan konstitusional yang komprehensif atau tanpa
pemahaman akan makna konstitusionalitas dan syarat-syarat konstitusi itu sendiri.
Ketiga, ketika mereka memutuskan untuk menerapkan kebijakan adendum dan karena itu
menafikan keniscayaan perombakan dan pergantian rezim tadi.
Keempat, ketika mereka menipu masyarakat bangsa kita dengan membentuk tim ahli untuk
konstitusi yang sesungguhnya hanya dijadikan pajangan lantaran tidak diberi kuasa deliberasi
sepanjang proses amandemen itu.
Kelima, ketika mereka mengklaim telah melakukan uji sahih secara yang sama sekali tak
bermalu menafikan niscayanya diktum falsifiability dalam uji sahih mana pun.
Masing-masing lima bukti irasionalitas esensial dan irasionalitas prosedural yang telah kita
kemukakan ini belumlah keseluruhan bukti-bukti yang dapat ditunjuk dan diutarakan mengenai
irasionalitas yang menandai PAH I BP MPR dan/atau MPR sendiri dalam melaksanakan
amandemen atas UUD 1945.
Dr Mochtar Pabottingi Ahli Peneliti Utama LIPI
Download