Adaptasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Kelautan Terhadap

advertisement
Adaptasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Kelautan
Terhadap Dampak Perubahan Iklim Global
Oleh:
Sahri Muhammad, D. Gede R. Wiadnya, Darmawan O. Sutjipto
Fakultas Perikanan – Universitas Brawijaya Malang
Kontak: [email protected]
[Makalah disajikan pada acara Seminar Nasional Pemanasan Global: Strategi Mitigasi dan
Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia, di Universitas Brawijaya Malang,
pada hari Sabtu 31 Januari 2009]
Saran sitasi :
Muhammad, S., D.G.R. Wiadnya, & D.O. Sutjipto, 2009. Adaptasi pengelolaan
wilayah pesisir dan kelautan terhadap dampak perubahan iklim global. Seminar
Nasional Pemanasan Global: Strategi Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim di
Indonesia, di Universitas Brawijaya. Malang, FPIK-UB., 6 hal.
Ringkasan:
Bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa perubahan iklim merupakan ancaman global yang sangat serius dan
kita harus mempersiapkan rencana di tingkat global untuk mengatasi dampaknya. Dampak perubahan iklim
pada lingkungan pesisir dan laut bisa terjadi dalam beberapa bentuk, antara lain: meningkatnya suhu
permukaan air laut, meningkatnya permukaan air laut, asidifikasi, intensitas dan frekuensi terjadinya
gelombang pasang/tsunami. Dampak turunannya mengakibatkan kerusakan pada terumbu karang (coral
bleaching dan melemahnya struktur aragonite karang), perendaman atau pergeseran formasi bakau ke arah
daratan, algal heating, menurunnya kemampuan reproduksi ikan, perubahan ratio-sex pada penyu dan
perubahan susunan rakitan spesies. Antisipasi secara lokal untuk mengurangi perubahan iklim hampir tidak
bermanfaat, sehingga pengelola wilayah pesisir dan lautan harus segera melakukan adaptasi terhadap
perubahan iklim global. Makalah menyinggung secara ringkas sistem peringatan dini, mitigasi bencana dan
membangun jejaring kawasan konservasi laut yang tangguh (resilient) terhadap perubahan iklim global.
1. Pendahuluan
Temuan ilmiah sudah semakin jelas: perubahan iklim menjadi ancaman global yang sangat
serius terhadap kehidupan di bumi. Sementara negara-negara sedang berkembang di wilayah tropis
masih kesulitan untuk mengatasi ’local-anthropogenic threat’, ancaman dari perubahan iklim secara
bersama akan lebih menyulitkan pembangunan masyarakat di wilayah tersebut (IPCC, 2007a).
Berdasarkan kajian praktisi, pakar dan peneliti, ’kita masih bisa berpacu dengan waktu untuk
1
Adaptasi perubahan iklim – pengelolaan wilayah pesisir dan laut
menghindar dari dampak perubahan iklim yang paling buruk, jika kita bisa melakukan tindakan
pencegahan yang cukup kuat’
Berdasarkan hasil kajian model ekonomi, tanpa intervensi manajemen, perubahan iklim akan
menyebabkan resiko biaya setara dengan kerugian 5% GDP global setiap tahun. Jika kita
memperhitungkan seluruh resiko dan dampaknya maka total kerusakannya diperkirakan bisa
mencapai 20% GDP global atau lebih. Sebaliknya, biaya untuk menurunkan pengaruh emisi gas
rumah kaca dalam rangka menghindar dari dampak perubahan iklim yang paling buruk setara dengan
1% dari GDP global setiap tahunnya (Harvell et al., 2002)
Sebagian besar wilayah Indonesia terletak pada wilayah Segi-Tiga Karang, Coral Triangle,
pusat dari keanekaragaman sumberdaya yahati laut tertinggi di dunia. Konsekuensi lainnya adalah
perairan laut Indonesia menjadi wilayah yang sangat subur. Walaupun rakitan spesies yang kompleks
agak menyulitkan dalam efisiensi eksploitasi, dia mampu menciptakan dan menumbuhkan sektor
ekonomi baru dari pariwisata pesisir dan laut.
Sumberdaya pesisir dan lautan Indonesia sementara ini sudah terancam terdegradasi karena
dua faktor utama, yaitu pengambilan secara tidak ramah lingkungan (destructive fishing) dan
pengambilan secara berlebihan (over-fishing). Ancaman dari peribahan iklim secara bersama akan
membuat kondisi pesisir dan laut kita semakin parah. Mengingat pentingnya pesisir dan laut sebagai
sumber mata pencaharian masyarakat, maka kita harus segera melakukan adaptasi dalam
pembangunan pesisir dan lautan.
2. Perubahan Iklim Global
Konsentrasi gas karbon dioksida (CO2), methane (CH4), nitri oksida (N2O) dan aerosol mulai
meningkat sejak tahun 1750, ketika dimulainya revolusi industri. Peningkatan gas CO2 terutama
disebabkan karena pembakaran energi fosil dan perubahan tata guna lahan. Peningkatan konsentrasi
gas metana dan nitri oksida terutama ialah dampak dari pembangunan pertanian (Buddemeier et al.,
2004).
Karbon dioksida gas ’anthropogenic greenhouse’ ialah yang paling penting dalam
kontribusinya terhadap kekuatan radiasi. Sejak periode pra industrialisasi, konsentrasi gas karbon
dioksida telah meningkat dari 280 ppm menjadi 379 ppm pada tahun 2005. Peningkatan konsentrasi
tertinggi terjadi terutama dalam periode waktu 10 tahun terakhir (1995 – 2005: rata-rata 1,9 ppm per
tahun). Peningkatan gas methane terjadi dari 715 ppb menjadi 1732 pada tahun 1990an dan 1774 ppb
pada tahun 2005 (IPCC, 2007a; Kleypas, 1999). Peningkatan gas nitrit oksida terjadi dari 270 ppb
menjadi 319 pada tahun 2005, terutama disebabkan oleh aktifitas pertanian (Buddemeier et al., 2004;
IPCC, 2007a).
Pengaruh pemanasan global sebagai dampak dari peningkatan konsentrasi terutama oleh
ketiga gas tersebut dipahami dalam bentuk kekuatan radiasi (radiative forcing). Kekuatan radiasi yang
ditimbulkan terkait dengan meningkatnya karbon dioksida, methane dan nitrit oksida mencapai + 2,30
W m-2. Kekuatan radiasi karbon dioksida mengalami peningkatan sekitar 20% antara tahun 1995
sampai 2005, paling tinggi dalam 200 tahun terkahir.
3. Dampak Perubahan Iklim terhadap Lingkungan Pesisir dan Laut
Dampak perubahan iklim pada lingkungan pesisir dan laut bisa terjadi dalam beberapa
bentuk, antara lain: asidifikasi air laut, meningkatnya suhu permukaan air laut, meningkatnya
permukaan air laut, intensitas dan frekuensi terjadinya gelombang pasang/tsunami. Dampak
2
Adaptasi perubahan iklim – pengelolaan wilayah pesisir dan laut
turunannya mengakibatkan kerusakan pada terumbu karang (coral bleaching dan melemahnya struktur
aragonite karang), perendaman atau pergeseran formasi bakau ke arah daratan, algal heating,
menurunnya kemampuan reproduksi ikan, perubahan ratio-sex pada penyu dan perubahan susunan
rakitan spesies.
3.1. Asidifikasi:
Peningkatan CO2 di udara sebagian besar (± 30%) diserap oleh laut sehingga mempengaruhi
pH air laut. Dalam 100 tahun terakhir, pH air laut diperkirakan mengalami penurunan antara 0,14
sampai 0,35. Dampaknya paling jelas terlihat pada organisme dengan kerangka luar dari kapur, seperti
kerang dan binatang karang.
Peningkatan kandungan CO2 dalam air laut menyebabkan berubahnya keseimbangan sistem
karbonat. Pertumbuhan terumbu karang di laut sangat tergantung dari kemampuan binatang karang di
dalamnya untuk menyusun kerangka luar dari kapur. Penurunan karbonat dan bikarbonat dalam air
(sebagai akibat dari meningkatnya kandungan CO2) akan menurunkan kejenuhan aragonit sehingga
akan memperlambat pertumbuhan terumbu karang di laut. Selain itu, kerangka kapur dari terumbu
karang yang saat ini sudah kuat, bisa melemah dan terumbu karang akan mengalami erosi. Jika hal ini
terjadi maka kehidupan ikan-ikan yang termasuk dalam kategori ’reef associated species’ akan
terganggu. Berdasarkan perkiraan World Resource Institute melalui dokumentasi FishBase, 70% dari
ikan-ikan komersial yang ditangkap oleh nelayan termasuk dalam kategori reef associated species.
Dengan demikian, meningkatnya kandungan CO2 di laut yang diserap dari udara, pada akhirnya akan
mempengaruhi sumber mata pencaharian masyarakat dari perikanan tangkap (Hughes et al, 2003).
Melemahnya struktur karangka kapur terumbu karang akan mengurangi fungsi lain dari
ekosistem terumbu karang. Terumbu karang telah terbukti sebagai pelindung pantai dari serangan
gelombang maupun tsunami. Para peneliti mencatat bahwa setengah dari energi gelombang/tsunami
berkurang setelah melewati terumbu karang yang sehat. Peningkatan CO2 air laut, secara tidak
langsung bisa menyebabkan abrasi pantai (Obura D.O., 2005; Nyström & Folke 2001).
Perubahan sistem karbonat air laut juga berpengaruh pada ikan. Sebagian besar spesies ikan
mengalami penurunan kemampuan reproduksi pada kejenuhan aragonit yang lebih rendah. Sistem
lainnya yang juga terganggu adalah tekanan osmosis dan laju metabolisme. Sebagai dampak
turunannya, ikan akan semakin mudah terserang penyakit. Pada akhirnya, populasi ikan akan
berkurang dan berkurang juga potensi salah satu sumberdaya bagi masyarakat pantai (Hughes et al,
2003: Nyström M and Folke C., 2001).
3.2. Suhu Permukaan Air Laut
Pemanasan global merupakan dampak pertama yang bisa dirasakan dari perubahan iklim.
Sekitar 80% suhu udara akhirnya diserap oleh laut. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sejak
tahun 1961, peningkatan suhu air laut sudah mencapai kedalaman 3.000 m. Pemanasan ini membuat
air laut mengembang dan menjadi salah satu sebab meningkatnya permukaan air laut.
Peningkatan suhu permukaan air laut tercatat dalam satuan ‘degree heating weeks’ (DHW).
Hal ini akan menyebabkan stress pada binatang karang sehingga mengeluarkan simbion zooxanthellae
dari dalam tubuhnya. Tanpa zooxanthellae, binatang karang menjadi transparan, sehingga dalam skala
luas hanya tampak karangka kapur yang berwarna putih. Peristiwa ini disebut dengan bleaching atau
pemutihan karang (Hoegh-Guldberg, 1999; Salm & Coles, 2001)
3
Adaptasi perubahan iklim – pengelolaan wilayah pesisir dan laut
Bleaching yang terjadi dalam waktu pendek umumnya tidak menyebabkan kematian pada
binatang karang dan zooxantjealle kembali bersimbiose dengan karang. Namun paling tidak hal ini
sudah menyebabkan lambatnya kemampuan pembentukan kerangka kapur. Sedangkan jika bleaching
terjadi secara berkepanjangan akan menyebabkan kematian pada binatang karang dan lingkungan
terumbu karang akan hancur. Kerusakan terumbu karang, seperti telah dijelaskan sebelumnya akan
mempengaruhi kehidupan dan penyediaan sumberdaya bagi masyarakat pesisir (Bellwood, Hoey &
Choat, 2003)
Peristiwa bleaching yang diikuti oleh kematian karang selama ini terjadi di wilayah-wilayah
di luar Indonesia. Hal ini diduga karena pengaruh up welling yang banyak terjadi pada perairan di
sekitar Indonesia sehingga peningkatan suhu air laut tidak terjadi dalam waktu yang relative lama.
Namun tidak ada jaminan bahwa Indonesia akan selamat dari coral bleaching selamanya.
Meningkatnya suhu permukaan air laut dan suhu udara juga berpengaruh pada organisme laut.
Peneliti mencatat kemungkinan perubahan ratio sex pada penyu karena pengaruh pemanasan global.
Secara alami, inkubasi telur penyu akan terjadi pada suhu yang relative tinggi. Akibatnya, tukik yang
menetas sebagian besar akan menjadi betina (CCSP, 2003). Sebaliknya, secara alami, satu induk
betina membutuhkan pasangan 10 induk jantan (pengkayaan genetik) dalam proses perkawinan.
Ramalan pergesaran ratio sex pada penyu bisa membahayakan struktur rakitan spesies.
3.3. Peningkatan permukaan air laut
Pemanasan global sebagian besar (80%) akan diserap oleh laut. Hal ini akan menyebabkan
volume air laut mengembang. Meningkatnya suhu permukaan bumi juga menyebabkan mencairnya es
di kedua kutub bumi. Kedua fenomena ini akan menyebabkan semakin meningkatnya permukaan air
laut ke arah darat. Dari pengamatan terhadap permukaan air laut selama ini, air laut diperkirakan akan
mengalami peningkatan antara 60 – 100 cm dalam 100 tahun kedepan.
Meningkatnya permukaan air laut bagi Indonesia bisa menenggelamkan beberapa gugus
pulau karang. Jika pulau-pulau tersebut merupakan gugus pulau terluar sebagai tempat untuk
mengukur batas jurisdiksi, maka hal ini bisa merubah kedaulatan negara pada akhirnya. Departemen
Kelautan dan Perikanan sedang melakukan studi kemungkinan sejumlah pulau yang akan tenggelam
karena meningkatnya permukaan air laut.
Meningkatnya permukaan air laut akan mempengaruhi keberadaan formasi lingkungan pantai,
seperti hutan bakau. Pada kondisi normal, diduga hutan bakau bisa beradaptasi terhadap peningkatan
permukaan air laut. Karena terjadinya secara perlahan, maka hutan bakau akan beradaptasi untuk
tumbuh ke arah daratan. Masalahnya adalah bahwa sebagian besar hutan bakau sudah terisolasi oleh
konstruksi atau bangunan di bagian daratan. Peluang untuk mengalami adaptasi menjadi hilang,
kecuali pada tempat-tempat dimana formasi lingkungan pesisir masih cukup alami (Done et al, 2003;
Salm & Coles, 2001)
4. Adaptasi pembangunan wilayah pesisir dan kelautan
Pusat keanekaragaman hayati laut di dunia terletak di wilayah Segi-Tiga Karang. Wilayah ini
terdiri dari sebagian besar Indonesia, Malaysia (Sabah), Filipina, Papua New Guinea, Kepulauan
Solomon dan Timor Leste. Keanekaragaman hayati Laut di wilayah Segi-Tiga Karang telah menjadi
sumber mata pencaharian bagi masyarakat pesisir di sekitarnya. Ancaman utama dari
keanekaragaman hayati laut tersebut adalah penangkapan yang tidak ramah lingkungan (destructive
fishing) dan penangkapan berlebih (over-fishing). Saat ini sumberdaya tersebut sangat potensial
4
Adaptasi perubahan iklim – pengelolaan wilayah pesisir dan laut
mengalami ancaman dari sumber baru, perubahan iklim global yang diduga dampaknya akan lebih
luas (IPCC, 2007b).
Mengingat besarnya kerugian dari kehilangan keanekaragaman sumberdaya hayati Laut
sebagai dampak dari perubahan iklim global, Presiden Indonesia mengajak kelima negara lainnya
untuk melakukan aksi secara bersama-sama dalam melindungi sumberdaya tersebut. Prakarsa ini
terkenal dengan sebutan Coral Triangle Initiative (CTI) yang disambut oleh kelima negara lainnya di
wilayah Segi-Tiga Karang dan didukung oleh Australia dan Amerika Serikat.
Keenam negara di wilayah Segi-Tiga Karang saat ini sedang mempersiapkan rencana kerja
dengan tema Perlindungan Terumbu Karang, Perikanan dan Ketersediaan Pangan. Rencana Kerja
(National Plan Of Action: NPOA) dari masing-masing negara saat ini sedang dibahas pada tingkat
Senior Oficial dan rencananya akan dicetuskan pada World Ocean Conference (WOC) pada bulan
Mei 2009 di Manado, Indonesia.
Rencana adaptasi pembangunan wilayah pesisir dan kelautan terhadap dampak perubahan
iklim global terdiri dari komponen: pengelolaan bentang laut (sea scape management), pendekatan
ekosistem dalam pengelolaan perikanan, penerapan ‘resilient principles’ dalam pembangunan jejaring
kawasan konservasi laut, mitigasi bencana, rehabilitasi pesisir dan perlindungan spesies yang
terancam punah. Semua komponen dalam rencana kerja ditujukan untuk melindungi ketersedian
sumberdaya hayati laut dan mengurangi dampak kerusakan dari pengaruh perubahan iklim global.
5. Kesimpulan
Perubahan iklim global telah dan akan memberikan dampak nyata pada kehidupan di wilayah
pesisir dan laut. Dampak yang paling nyata sudah terlihat melalui peristiwa coral bleaching,
kerusakan terumbu karang dan perubahan ratio sex pada tukik penyu. Negara-negara dengan potensi
sumberdaya kelautan cukup besar harus segera melakukan adaptasi dalam rencana pengelolaan
wilayah pesisir dan kelautan. Indonesia mencetuskan prakarsa ’Coral Triangle Initiative’ untuk
melindungi terumbu karang untuk kepentingan perikanan dan ketersediaan pangan. Prakarsa ini
diikuti oleh kelima negara lainnya di wilayah Segi-Tiga Karang serta dudukung oleh Australia dan
Amerika Serikat.
Daftar Pustaka
Bellwood DR, Hoey AS and Choat J.H., 2003. Limited functional redundancy in high diversity
systems: resilience and ecosystem function on coral reefs. Ecology Letters 6:281–285.
Buddemeier RW, Kleypas JA and Aronson R., 2004. Coral Reefs and Global Climate Change:
Potential Contributions of Climate Change to Stresses on Coral Reef Ecosystems. Prepared for
the Pew Center on Global Climate Change.
CCSP (Climate Change Science Program and the Subcommittee on Global Change Research), 2003.
Vision for the Program and Highlights of the Scientific Strategic Plan, US Climate Change
Science Program,Washington DC
Done TJ, Whetton P, Jones R, Berkelmans R, Lough J, Skirving W and Wooldridge S., 2003. Global
Climate Change and Coral Bleaching on the Great Barrier Reef. Final report to the State of
Queensland Greenhouse Taskforce. Department of Natural Resources and Mining,Townsville,
Australia.
5
Adaptasi perubahan iklim – pengelolaan wilayah pesisir dan laut
Harvell CD, Mitchell CE,Ward JR, Altizer S, Dobson AP, Ostfeld RS and Samuel M.D., 2002.
Climate warming and disease risks for terrestrial and marine biota. Science 296:2158–2162.
Hoegh-Guldberg O., 1999. Climate change, coral bleaching and the future of the world's coral reefs.
Marine and Freshwater Research 50:839–866
Hughes TP, Baird AH, Bellwood DR, Card M, Connolly SR, Folke C, Grosberg R, Hoegh-Guldberg
O, Jackson JBC, Kleypas J, Lough JM, Marshall P, Nystroem M, Palumbi SR, Pandolfi JM,
Rosen B and Roughgarden J., 2003. Climate Change, Human Impacts, and the Resilience of
Coral Reefs. Science 301:929–933.
IPCC, 2007a. Climate Change: the physical science basis. Summary for policymakers. Contribution
of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on
Climate Change., WMO-UNEP., 21 p.
IPCC, 2007b. Climate change: impacts, adaptation and vulnerability., Summary for policymakers.
Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental
Panel on Climate Change., WMO-UNEP., 23 p.
Kleypas JA, Buddemeier RW, Archer D, Gattuso JP, Langdon C and Opdyke BN., 1999.
Geochemical consequences of increased atmospheric carbon dioxide on coral reefs. Science
284:118–120.
Nyström M and Folke C., 2001. Spatial resilience of coral reefs. Ecosystems 4:406–417.
Obura D.O., 2005. Resilience and climate change: lessons from coral reefs and bleaching in the
Western Indian Ocean. Estuarine, Coastal and Shelf Science: Science for management in the
western Indian Ocean 63:353–372.
Salm, R.V. and S.L. Coles (eds). 2001. Coral Bleaching and Marine Protected Areas. Proceedings of
the Workshop on Mitigating Coral Bleaching Impact Through MPA Design, Bishop Museum,
Honolulu, Hawaii, 29-31 May 2001. Asia Pacific Coastal Marine Program Report # 0102, The
Nature Conservancy, Honolulu, Hawaii, U.S.A: 118 pp.
6
Adaptasi perubahan iklim – pengelolaan wilayah pesisir dan laut
Download