105 PERAN MARKETING DALAM POLITIK DI - E

advertisement
PERAN MARKETING DALAM POLITIK DI INDONESIA
Irwanto
Program Studi Penyiaran Akom BSI Jakarta
Jl. Kayu Jati V No 2, Pemuda, Rawamangun, Jakarta-Timur
[email protected]
Abstract
Political have a power in society. It purposed to influence the direction and community life itself. In
democracy system it is necessarily electional mechanism and campaign process have to run in order to reach
power. In this case the people , political parties , individual candidates can be reviewed with a marketing
perspective. Political parties and candidates as well as running mate described as a manufacturer , ideas and
regarded as goods or services and the people who choose identic to consumers, just like common market, but
this one is rather the political market. This paper did not intend to equate granted betweenmarketing business
with political marketin. But it trying to analyze and review the positive possibilities that exist in marketing to
be applied to politics . So that the electoral process that involves elements of folk , political parties , individual
candidates can be more mutualism .
Keywords : marketing, politics
Abstraksi
Tidak dapat dipungkiri politik sangat berperan dalam bermasyarakat. Masyarakatpun tidak dapat
menghindar dari politik. Kekuasaan politik akan mempengaruhi arah, tujuan dan kehidupan masyarakat itu
sendiri. Agar bisa berkuasa dalam sebuah negara dan masyarakat di alam demokrasi tentu melalui mekanisme
pemilu yang didalamnya terdapat proses kampanye. Pada konteks ini, baik rakyat, partai politik, calon individu bisa ditinjau dengan perspektif marketing. Partai politik dan calon presiden serta calon wakil presiden
diibaratkan sebagai produsen, ide dan gagasanya dianggap sebagai barang atau jasa lalu rakyat yang memilih
diibaratkan konsumen, persis seperti halnya pasar, lebih tepatnya pasar politik. Tulisan ini sama sekali tidak
bermaksud menyamakan begitu saja antara marketing bisnis dengan marketing politik. Tapi mencoba untuk
menganalisa dan meninjau kemungkinan-kemungkinan hal positif yang ada dalam marketing untuk bisa diterapkan ke dalam politik. Sehingga proses pemilu yang melibatkan elemen rakyat, partai politik, calon individu
bisa menjadi lebih sehat dan elemen-elemen tersebut mengarah pada simbiosis mutualisme.
Kata kunci: marketing, politik
I. PENDAHULUAN
Dimulai pada tahun 1998 gerakan reformasi
telah mengubah sistem serta tatanan politik di Indonesia. Orde Baru yang berkuasa lebih dari 30 tahun
berakhir dengan gerakan mahasiswa. Kekuasaan yang
dipegang oleh Jenderal Soeharo pun digantikan dengan sebuah orde yang disebut reformasi. Partai politik
yang ketika orde baru berjumlah tiga, kini sudah bertambah banyak. Menurut pandangan Hidayat (2000),
karakteristik rezim orde baru sebagai suatu pengorganisasian aparatus negara telah banyak dideskripsikan melalui pelbagai konseptualisasi. Terdapat dua hal
umum tentang rezim orde baru, yakni (a). Dominasi
negara dalam tatanan serta proses politik atau kedudukan negara yang relatif otonom dari kekuatan politik
di masyarakat. Dominasi negara orde baru oleh Karl
Jackson dijelaskan dengan konsep beureaucratic polity sebagai suatu bentuk tatanan yang dijelaskan oleh
penguasa negara dalam partisipasi secara berkelanjutan. (b). Kekuasaan yang relatif terpusat di tangan
presiden. Kekuasaan yang tersentralisasi itu, persaingan politik tidak terjadi dalam skala nasional dan
kekuasaan tidak diperoleh dengan pemupukan dukungan massa, melainkan kompetisi antarpribadi dalam
lingkungan elit tertinggi, khususnya yang memiliki
kedekatan personal dengan presiden.
Ketika pada pemilu orde baru, Golkar selalu
menang. Rezim orde baru melakukan depolitisasi,
deparpolisasi, monoloyalitas birokrasi, kebajikan
massa mengambang (floating mass), fusi partai politik, penerapan asas tunggal sampai pada intervensi
partai politik lain untuk memenangkan Golkar. Kondisi ini membuat partai politik lain seperti halnya Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) tidak dapat berkompetisi secara
sehat. Sehingga kedua partaiitu pun tidak berkembang
dengan baik. Melalui kebijakan masa mengambang,
PDI dan PPP tidak dapat memiliki kepengurusan pada
tingkat desa atau kelurahan yang merupakan basis
105
dukungan partai politik. Selain itu, akibat dari kebijakan asas tunggal, partai politik tidak dapat berinovasi membuat da menawarkan program serta platform
guna mendapat dukungan masyarakat.
Orde baru memperoleh dukungan masyarakat
dengan melakukan legitimacy by procedure dan legitimacy by result didasarkan atas pembangunan
ekonomi. Pemilu pada orde baru dilakukan dengan
tertib tanpa konflik kekerasa, dan teratur, namun tidak
demokratis (Hidayat, 2005).
Ketentramaan ini berubah saat orde baru runtuh dan digantikan dengan erareformasi. Salah satu
produk dari reformasi ialah munculnya beragam partai dengan aneka asas membuat persaingan mendapatkan suara pasca orde baru semakin marak. Tiga
partai besar yang selama tiga puluh tahun memonopoli kini sudah memiliki banyak saingan. Selain jumlah yang bertambah banyak, partai politik pasca orde
baru juga memiliki heterogenitas yang tinggi dalam
asas dan platform. Hal ini tidak hanya menjadi identitas dan semangat perjuangan partai, tapi juga menjadi
modal bagi partai politik untuk mendapat dukungan
masyarakat.
Tabel : 01.
Jumlah Partai Politik di Indonesia Periode Orba dan
Pasca Orba
Sumber: konstruksi penulis
Selain jumlah partai politik yang turut serta dalampemilu bertambah banyak, era reformasi juga turut menumbuhkan beragam ideologi partai. Siapapun
diperkenankan untuk membuat partai dan diberikan
kebebaan dalam menentukan asas dan platform partainya. Keadaan ini membuat tawaran ideologi terhadap khalayak, dalam hal ini pemilih semakin
bervariasi. Tidak hanya itu saja, era reformasi juga
membuka partisipasi rakyat untuk memilih presiden
secara langsung.
Pada pemilu 2004 yang lalu, untuk pertama
kalinya Indonesia memilih presiden secara langsung.
106
Rakyat tidak lagi menggunakan perantara DPR untuk
memilih siapa pemimpinnya secara langsung.
Sistem pemilihan presiden langsung memiliki
sejumlah aspek positif dalam mendorong perubahan
politik dan transisi demokrasi di Indonesia. Salah
satu aspek positifnya sistem ini memberikan kesempatan kepada voters memberikan penilaian pada
kandidat-kandidat presiden. Proses ini mendorong
sekaigus menuntut kematangan politik pemilih dalam partisipasi politik mereka (legowo, et al, 2004).
Kompetisi antar partai politik untuk mengenalkan ideologi, calon kandidat serta meraih suara
makin dinamis. Komunikator politik mulai mencari
berbagai macam cara untuk mencapai tujuannya.
Mereka dituntut untuk lebih inovatif serta kreatif
dalam menyampaikan gagasan dan gagasanya kepada khalayak. Proses ini membutuhkan konsep dan
strategi yang tidak mudah. Ilmu politik, uang serta
kemampuan berpolitik saja tidak bisa dijadikan andalan. Kondisi politik bisa diibaratkan laiknya pasar.
Ada penjual, ada barang serta ada pembeli. Partai
dan komunikator politik bisa diibaratkan sebagai
penjual. Ideologi, program dan kandidat bisa dianalogikan sebagai barang. Sementara khalayak disamakan dengan penjual. Istilah pasar ini jika dikaitkan dengan perubahan sistem serta tatanan politik
orde baru ke era reformasi, maka telah terjadi pula
perubahan nuansa “pasar” pada politik di Indonesia.
Perubahan pasar dalam pemilu pasca orde
baru menimbulkan praktik kampanye politik. Ini
dapat ditinjau dari perubahan sistem kepartaian, penambahan jumlah partai yang berkompetisi serta
munculnya beraneka asas ideologi. Fenomena ini
bisa dikaji dalam political marketing atau marketing
politik. Pemilihan langsung presiden yang menjadikan posisi pemilih lebih strategis juga merupakan
pemicu pertumbuhan marketing politik di Indonesia. Seperti sekarang ini, marketing politik menjadi
kebutuhan yang tidak terelakkan. Bukan hanya partai-partai baru dan relatif kecil pendukungnya yang
memerlukan marketing politik guna menaikan citra
dan popularitasnya agar dapat meraih suara yang
memadai, tetapi juga partai-partai besar yang telah
eksis dan mapan pun tidak bisa meremehkan kehadiran instrumen yang satu ini. Bila partai-partai besar
yeng telah eksis dan mapan tidak ingin suaranya tergerus atau melorot posisinya pada pemilu mendatang.
Potensi khalayak pemilih yang begitu besar
di Indonesia sudah seharusnya mampu dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh partai politik. Konsep marketing politik sudah selaiknya dimaksimalkan. Tulisan ini akan, menguraikan secara umum
betapa politik membutuhkan peran marketing.
II.. PEMBAHASAN
2.1. Marketing dan Marketing Mix dalam Politik
Secara umum marketing politik dibutuhkan
untuk meraih sebanyak-banyaknya dukungan suara
(saat pemilu) dari rakyat. Persaingan antar partai atau
komunikator politik tidak bisa dihindari lagi. Pengetahuan akan disiplin ilmu politik saja tidak mencukupi untuk bisa bersaing dalam kancah perebutan
kekuasaan (pemilu), terlebih dalam alam demokrasi.
Dibutuhkan kemampuan supaya bisa menang dalam
persaingan dan mendapat simpati, empati serta suara
terbanyak.
Momentum reformasi telah mengubah tatanan
politik serta sistem politik di Indonesia. Partai politik
baru sudah mulai banyak berunculan. Aneka ideologi
yang ditawarkan pada khalayak semakin variatif sehingga program partai yang ditawarkan juga beragam.
Sebenarnya marketing politik di Indonesia telah ilakukan ketika zaman orde baru. Namun ketika
itu tiga partai yang berkompetisi untuk pemilu tidak
bisa mengembangkan ideologinya. Serta pada zaman
itu pemerintah sangat membatasi gerak partai politik
dengan hadirnya regulasi-regulasi yang mengkondisikan hanya Golkar yang mampu menang.
Alam demokrasi sangat mendukung situasi
berkembangnya marketing politik. Siapapun berhak
menyampaikan dan menyalurkan aspirasi serta idenya
kepada siapapun selagi dalam batasan norma yang
berlaku. Idealnya iklim sperti ini meberikan nuansa
positif bagi perkembangan marketing politik. Dalam
iklim politik yang penuh dengan persaingan terbuka,
kontestan membutuhkan suatu metode yang mampu
memfasilitasi mereka dalam memasarkan inisiatif
politik, isu politik, gagasan politik, ideologi politik,
karakteristik pemimpin partai dan program kerja partai kepada masyarakat. Perlu suatu strategi untuk memenangkan persaingan politik agar kontestas dapat
memenangkan pemilu.
Aspek ekonomi tidak bisa dipisahkan dalam
politik. Faktor ini menjadi salah satu modal selain dari
ideologi, program serta kandidat. Dari sinilah marketing politik mulai berperan. Secara spesifik pendekatan
ekonomi politik pada pemilu berguna untuk melihat
bagaimana partai politik (kandidat) dengan sumber
daya terbatas dapat memperoleh dukungan suara dalam pemilu serta memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Ada relasi jelas antara ekonomi dari
partai politik dengan masyarakat dan partai politik
dengan pengiklan dan konsultan politik.
Terdapat tiga konsep dasar yang sering di
gunakan dalam menganalisa ekonomi pemilu, yaitu
market structure, market conduct, dan market performance (Albarran,1996). Market structure ditentukan
oleh dua hal, yaitu: jumlah partai politik (kandidat)
yang ada serta analisa partai politik (kandidat) terhadap kompetitornya. Pengguna istilah market structure digunakan untuk menggambarkan bagaimana
persaingan terjadi dalam pasar atau lingkungan tertentu. Dalam hal ini, terdapat beberapa hal yang
masuk dalam kategori pasar politik, yaitu barrier to
entry, number of seller/buyer (market player), product differensiation. Market conduct mengacu pada
kebijakan dadn perilaku partai poltik atau kandidat
serta masyarakat (voters) dalam pasar politik. Adapun
market performance melibatkan analisa kemampuan
partai politik dan kandidat dalam mencapai tujuan
berdasarkan kriteria kinerja.
Menurut Baines, terdapat lima komponen yang
dapat digunakan dalam marketing performance, yaitu
share vote (perolehan suara), seats won (kedudukan),
voters satisfaction, voters confidence dan voters interaction.
Dalam pasar politik setidaknya ada tiga pihak
yang melakukan transaksi, yaitu masyarakat (voters),
partai politik dan kandidat. Ketiganya melakukan
transaksi dalam arena politik yang dibatasi pelbagai aturan. Dalam hal ini kedudukan pemilih setara
dengan konsumen politik yang menghendaki adanya
demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan ekonomi secara langsung atau tidak (Rachbini, 2002).
Terkait dengan konsep political marketing terdapat dua pandangan utama. Pertama, kajian marketing politik memfokuskan diri pada pemahaman aktifitas marketing dalam politik, penggunan sarana dan
strategi marketing kegiatan politik. Kedua, marketing
politik sebagai disiplin akademis secara lebih menyeluruh berusaha memahami kehidupan politik.
Meski sekilas nampak sama namun perlu dibatasi lebih lanjut mengenai perbedaan marketing
dunia bisnis dengan marketing dalam politik. Kendati
marketing mix (product, promotion, price dan place)
tetap berlaku dalam dunia politik, akan tetapi ada
nuansa-nuansa politik yang harus disimak karena ada
perbedaan tujuan politik dengan tujuan bisnis.
Scamell dalam Firmanzah (2008) menyebutkan bahwa kontribusi marketing dalam dunia politik terletak pada strategi untuk dapat memahami dan
menganalisa apa yang diinginkan dan dibutuhkan para
pemilih. Aktifitas politik harus sesuai dengan aspirasi
masyarakat luas. Saatnya kita meyakini bahwa sudah
berakhir mekanisme politik yang mencanangkan isi
serta pesan politik dari atas ke bawah dari elit politik.
Mayarakat saat ini semakin sadar akan hak dan
107
kewajiban politik mereka. Selain itu, seiring dengan semakin mengakarnya budaya konsumerisme,
masyarakatpun menjadi semakin pragmatis menyikapi hal-hal yang berlangsung dikancah politik. Mereka
memperhatikan apa yang dilakukan partai politik atau
kontestan untuk menyelesaikan permasalahan yang
melanda mereka.
Secara pragmatis, bagi mereka dunia politik
bukan semata-mata permasalahan ideologi. Politik
harus membumi serta mencari jalan keluar bagi permasalahan bangsa dan negara. Janji politik saja dirasa
semakin tidak memadai. Masyarakat menuntut realisasi janji yang diberikan ketika kampanye. Dalam
hal ini metode marketing mampu memberikan kontribusi positif untuk memahami pemilih.
Ilmu marketing politik relatif baru jadi masih
membutuhkan kontribusi dari semua pihak. Politikus,
akademisi, maupun marketing. Media massa juga diharapkan berkontribusi juga sehingga meningkatkan
pemahaman serta mengoptimalka modal yang ada dalam melakukan komunikasi politik.
Laczniak serta Lock dan Harris dalam Firmanzah (2008), marketing politik masih meninggalkan segudang pertanyaan yang menyangkut etika dan
moral. Penggunaan pendekatan marketing politik dalam kancah politik justru akan menjadi dunia politik
tidak ubahnya seperti dunia bisnis kapitalis serta implikasinya yang sarat dengan manipulasi informasi.
Sebuah tantangan besar bagi disiplin ilmu marketing
politik untuk keluar dari pertanyaan-pertanyaan yang
masih membelengu akibat dari penggabungan dua disiplin ilmu, yakni marketing dan politik. Tidak hanya
bagi dunia akademisi dan konsultan, melainkan juga
praktisi politik. tentunya tujuan akhir dari marketing
politik adlah membuatnya menjadi disiplin ilmu yang
memberikan kontribusi dalam penataan kehidupan
sosial masyarakat yang selalu berubah.
Meskipun segudang pertanyaan masih menghantui dalam hal yang menyangkut etika dan moralitas marketing politik, hal ini tidak mengurangi minat
politikus untuk mengembangkan ilmu ini.
O’Cass dalam Firmanzah (3008), falsafah
marketing politik memberikan arahan tentang cara
menerapkan ilmu marketing dalam dunia politik. Pada
dasarnya ilmu marketing melihat bahwa kebutuhan
konsumen adalah hal terpenting, sehingga perlu diidentifikasi dan dicari cara untuk memenuhi kebutuhan
tersebut. Konsep marketing komersial berdasarkan
pada premis bahwa semua perencanaan dan operasi
perusahaan berorientasi pada pemuasan kebutuhan
konsumen. Ketika falsafah marketing diaplikasikan
dunia politik oleh partai politik atau seorang kandiat,
maka para kandidat ini harus mampu menangkap kere
108
sahaan dan permasalahan mendasar yang berkecamuk ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Dengan
demikian program-program yang mereka tawarkan
akan mampu menjawab akar permasalahan yang ada.
Tidak hanya itu saja, dengan mengetahui permasalahan serta kebutuhan khalayak, maka akan mampu
menumbuhkan keyakinan pemilih untuk memberikan
suara pada partai politik atau calon presiden bersangkutan.
2.2. Peran Marketing dalam Politik
Tidak ubahnya dengan aktifitas sosial lain,
dunia politik telah menjadi terbuka dan transparan.
Dunia politik juga dituntut adanya persaingan. Bahkan bisa dikatakan dunia politik sangat kental dan
pasti diwarnai dengan persaingan. Persaingan terjadi
dalam rangka memperebutkan hati konstituen dan
membuat mereka memilih kandidat (partai politik
atau kontestan individu) masing-masing selama periode pemilu.
Persaingan tidak hanya terjadi antara kontestan dalam memperebutkan konsumen mereka,
melainkan juga dalam lobi-lobi politik diparlemen.
Persaingan ini menuntut masing-masing konsumen
untuk memikirkan cara dan metode yang efektif untuk mampu berkomunikasi dan dan meyakinkan konstituen bahwa kandidat atau partai politik merekalah
yang paling laik dipilih.
Pada konteks ini marketing lebih dilihat secara
filosofis dan pusat perhatian marketing ialah adanya
upaya membuat konsumen membeli produsk dan jasa
yang dihasilkan oleh perusahaan. Tugas dan peran
ilmu marketing adalah melancarkan fungsi transaksi
ekonomi dalam mengefisienkan distribusi barang dan
jasa produsen kepada konsumen.
Penggunaan ilmu marketing di luar konteks
perusahaan bisnis dan masuk ke sistem yang lebih
luas seperti interaksi sistem sosial dikhawatirkan
akan menghancurkan struktur sosial dan menurunkan
reputasi ilmu marketing itu sendiri.
Sesungguhnya marketing politik sudah lama
berjalan di Indonesia, seperti halnya di jaman orde
baru banyak spanduk-spanduk berisi tentang ajakan bergabung untuk mengikuti tabligh akbar atau
musyawarah daerah yang dibuat besar-besaran dan
dipasang di tempat strategis. Lebih jauh, marketing hari ini tidak lagi hanya berbicara tentang jual
menjual barang, melainkan terkait dengan masalah
pengembangan produk, membangun citra, inovasi,
pemahaman terhadap konsumen dan sampai pada
proses-proses yang sifatnya relasional. Dalam aktifitas
marketing tidak jarang sebuah organisasi mengemas
informasi berbeda dengan kenyataan. Bahkan sampai
memanipulasi informasi yang disampaikan. Pada
kaitan ini, konsumen hanya diberi informasi yang
menyangkut satu sisi saja, yaitu informasi yang sifatnya menguntungkan perusahaan atau organisasi saja.
Reliff dalam Firmanzah (2008) Konsumen lebih dilihat sebagai korban manipulasi informasi. Meski kehadiran politik dalam sistem sosial ditujukan untuk
memperbaiki kondisi dan kualitas masyarakat suatu
komunitas (negara) melalui kontrak sosial.
Politik berkaitan erat dengan upaya melakukan strukturasi dan mengatur eksistensi sosial. Selain
itu, politik berkaitan erat pada pemrosesan sebuah
ide. Inilah yang dikhawatirkan bahwa marketing akan
meracuni dunia politik dengan cara eksplitasi dan manipulasi.
Penggunaan metode marketing yang berlebihan dalam dunia politik hanya akan melahirkan
komersialisasi politik dan mereduksi arti politik itu
sendiri. Meluasnya penggunaan TV, media cetak
dan radio serta internet sebagai media pengiklan dan
publikasi dikhawatirkan akan semakin menjauhkan
masyarakat atas ideologi sebuah partai dengan massanya. Masyarakat akan lebih cenderung memperhatikan aspek artistik dari sebuah iklan politik ketimbang pesan politik itu sendiri. Fenomena iklan partai
Gerindra pada kampanye 2009 bisa dijadikan contoh
untuk kasus ini.
Selain itu, keberatan ini bisa dikaitkan pula
dengan gejala yang telah disebutkan, yaitu masuknya
para pengusaha ke dunia politik. Mereka adalah orang
yang piawai dalam dunia marketing. Sekurangnya
mereka didukung jagoan marketing. Melalui kemampuan marketing yang hebat, setidaknya mereka telah
diuntungkan dalam kampanye dibandingkan dengan
para pesaing mereka yang boleh jadi belum menguasai marketing politik.
Perlu dipahami bahwa isu politik berkaitan
erat dengan ideologi dan nilai-nilai. Isu politik tidak
selamanya bisa disamakan dengan produk barang.
Isu politik lebih pada sistem nilai simbol yang menghubungkan individu dan struktur sosial. Antara marketing dan politik adalah dua sistem yang berbeda.
Masing-masing struktur memiliki atruran sendirisendiri. Penerapan marketing politik tidak membabi
buta dan sudah seharusnya memperhatikan kondisi
masyarakat serta kearifan lokal. Kekeliruan dalam
penerapan marketing politik justru malah menjauhkan masyarakat terhadap dunia politik. Sampai saat
ini beberapa iklan politik yang bernada mencibir
dan mengejek dapat ditemui dalam kampanye di Indonesia. Ini mengindikasikan bahwa iklan politik
masih belum mampu menarik perhatian masyarakat
secara positif. Bahkan kondisi yang terjadi sebaliknya
Beberapa kelompok masyarakat merasa marah dan
geram kepada elit politik yang hanya memikirkan kepentingan mereka untuk memenangkan pemilu tanpa
memikirkan oersoalan yang terjadi pada rakyat. Sehingga tidak mengherankan terdapat beberapa iklan
yang dikeluarkan oleh masyarakat sebagai tandingan
iklan politik yang dibuat para elit. Ini juga menunjukkan bahwa penyusunan iklan politik perlu memperhatikan kondisi dan situasi yang dihadapai masyarakat.
Lock dan Haris dalam Firmanzah (2008), menyatakan adanya perbedaan yang mendasar antara
politik dengan produk jasa komersil, diantaranya:
a. dalam pemilu, semua pemilih akan memberikan
suara dalam sehari secara bersamaan. Fenomena
seperti ini tidak dapat ditemui dalam pembelian
produk dan jasa komersil.
b. Walaupun dimungkinkan adanya kekecewaan
dalam jangka panjang setelah memberikan suaranya, kenyataanya tidak ada harga nominal yang
dibayar ketika memilih sebuah partai atau calon
presiden.
c. Meskipun tidak ada harga yang harus dibayar,
selain pindah dukungan ke partai lain, pemilih
harus menerima hasil pilihan kolektif walaupun
itu berbeda dengan pilihannya. Perihal ini berbeda dengan prilaku konsumen pada produk komersil.
d. Partai politik dan calon yang diusung adalah
produk tidak nyata (intangible), masing-masing
pemilih tidak akan dapat menganalisa secara
utuh. Sebagai konsukuensinya, kebanyakanpemilih akan mengartikan partai politik dan kandidat dari pesan-pesan yang diterima dan pengalaman masa lalu. Jika pemilih merasa membuat
kesalahan dalam memilih partai atau seseorang
kandidat, maka dengan rela dia harus menunggu
pemilu berikutnya.
Tabel : 02
Perbedaan Politik dengan Iklan Jasa dan Komersil
109
Kesepakatan inilah yang menjadi aturan resmi dan
tertulis maupun yang sebatas kesepakatan saja.
Aturan politik ini berbeda antara satu negara dengan
negara lain. Walau secara garis besar ada kecenderungan gelombang demokrasi di seluruh belahan
dunia yang mengedepankan keterbukaan dan dialogis, namun aturan seperti parlemen, budget pemilih,
jumlah partai pasti punya perbedaan antar negara.
Sumber: Lock dan Haris dalam Firmanzah (2008)
2. 4. Persaingan Politik
2.3. Pasar dan Konsumen Politik
Dengan semakin kuatnya cengkraman gaya
kapitalisme dalam kehidupan masyarakat, hampir semua bidang bernuansa kapitalis juga. Cara-cara yang
digunakan dalam berpolitikpun tidak bisa lepas dari
cara-cara kapitalis.
Pada era reformasi ini menuntut para pelaku
politik untuk piawai dalam memukau dan memikat
hati rakyat pemilih. Politik tidak ada bedanya dengan
pasar. Karena itu marketing diperlukan untuk mendapatkan pangsa pasar sebesar-besarnya. Sebenarnya
hal ini juga berlaku pada masa lalu, namun cara-cara
otoriter yang diterapkan pada masa itu membuat kenyataan ini tersamar.
Dunia politik juga terdiri dari produsen dan
konsumen. Sebagai produsenya adalah partai-partai
atau kontestan individu yang menjadi pihak yang
penghasil produk politik. Seperti halnya dalam dunia
bisnis, produk itu akan ditawarkan kepada masyarakat.
Dipihak lain, masyarakat dalam hali ini menjadi konsumen politik yang menentukan dan memilih partai
politik serta produk partai politik.
Masyarakat memiliki serangkaian pilihan dan
rasionalitas dalam menentukan pilihannya masingmasing. Interaksi antara produsen dan konsumen
politik inilah yang menciptakan pasar politk. Masingmasing pihak yang terlibat berupaya memaksimalkan
kepentingannya sendiri-sendiri. Partai politik akan
berusaha mencari sebanyak mungkin pemilih yang
pada giliranya akan menaikkan posisi tawar atau posisi runding (bargaining posistion-) mereka sekaligus
untuk memenangkan pemilu. Sementara masyrakat
akan memilih dan mencari partai politik dan kontestan yang menawarkan produk politik yang paling
bisa memuaskan kebutuhan mereka. Kebutuhan konsumen yang dimaksud disini adalah pemecahan dan
solusi yang segera atas permasalahan yang sedang
dihadapi.
Setiap pasar, apapun jenisnya, akan memiliki
perangkat dan aturan main yang mengatur interaksi
aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Pasar membutuhkan kesepakatan orang-orang yang terlibat.
110
Konsekuensi logis dari gelombang demokrasi
adalah semakin berkurangya praktik kekuasaan totaliter dan sistem politik tertutup. Keadaan ini membuat
masing-masing partai politik dan kontestan individu
memiliki peluang yang sama untuk memenangkan persaingan dalam perebutan suara rakyat dalam
pemilu. Persaingan yang terjadi antara partai-partai
politik dan kontestan individu menjadi ciri khas yang
mewarnai dunia politik di dunia ini. Masing-masing
pihak memiliki peluang dan kesempatan yang sama
untuk memenangkan pemilu. Semakin berkurangnya
praktek-praktek kolusif dan rekayasa yang dilakukan
penguasa terhadap partai atau calon individu tertentu
membuat para kontestan harus berhadapan langsung
dengan masyarakat sebagai pemilih. Situasi seperti
ini telah membuat masyarakat menjadi satu-satunya
acuan bagi para kontestan dalam menyusun program
kerja mereka.
Marketing baru terlihat signifikan bila di sana
terdapat persaingan. Dalam hal memenangkan persaingan diperlukan instrumen, dan marketing menyediakan berbagai instrumen yang diperlukan untuk
memenangkan persaingan tersebut. Bagi para politik
serta politisi, persaingan menjadi menu utama. Berangkat dari inilah, maka marketing politik bagi partai politik dan politisi menjadi alat yang cukup penting. Agar marketing politik dapat efektif, maka partai
politik atau politisi harus mampu merumuskan satu
fokus atas sasaran yang akan dituju. Partai politik
harus mampu mengenali konstituennya, simpatisan
dan terus menerus mengamati apa yang dilakukan
oleh para pesaingnya. Dengan demikian, maka partai
politik akan mampu merumuskan ‘citra target’ yang
diinginkan dan mempunyai fokus dalam membidik
targetnya.
Partai politik harus mampu membuat komunikasi politik sesuai dengan karakter masyarakat
yang sedang menjadi target. Apabila target yang akan
dicapai adalah para petani, maka tema yang dibicarakan lebih banyak berkisar soal pertanian, seperti halnya pupuk. Ini dilakukan untuk meyakinkan
mereka atas produk politik yang harus mereka pilih.
Partai politik tidak cukup berkampanye jika mendekati
pemilu saja, melainkan kampanye harus terus dilakukan secara simultan dan berkesinambungan.
Sebelumnya, masyarakat kekurangan informasi politik, tapi saat ini masyarakat telah kebanjiran
informasi politik. Dalam situasi semacam ini, partai
politik harus pandai mengemas informasi politik. Sehingga informasi politik itu dapat diterima dengan
baik oleh publik yang menjadi sasaran pembentukan
citra.
Citra dalam politik memegang peranan yang
sangat penting. Apabila citra seseorang sudah terlanjur rusak, maka sangat sulit untuk memperbaikinya.
Sebab itu, dalam pencitraan, semua harus dihitung
dengan akurasi dan presisi tinggi. Namun yang perlu
diperhatikan, citra partai tidak ada gunanya apabila
tidak dibarengi dengan kondisi riil dalam partai politik itu sendiri.
Pada persaingan politik untuk memperebutkan
hati masyarakat luas terdapat pergeseran pola dalam
kehidupan politik . Jika awalnya mereka memperebutkan hati penguasa, pada sistem demokrasi sekarang
ini mereka harus memperebutkan hati masyarakat.
Supaya hasil marketing politik lebih maksimal, maka partai politik sebaiknya tidak hanya berkutat pada pemanfaatan akses massa dan riset politik belaka, tetapi perlu ditambah dengan pola atau strategi
lain yang lebih kreatif dan inovatif. Sebab sejatinya
aktifitas marketing politik tidak hanya terpaku pada
dua hal itu saja tapi masih banyak yang lain.
Pada masa otoriter atau sistem politik tertutup,
partai politik atau calon individu adalah kepanjangan
tangan dari penguasa atau rezim yang berkuasa. Pada
batasan itu kontestan berlomba mendekati para penguasa karena penguasa memiliki semua akses politik. Sementara itu, pada era reformasi di Indonesia
ini, cara-cara tersebut sudah tidak relevan lagi. Partai
politik atau kontestan individu semakin dituntut untuk menjadi kreatif dalam melihat dan menganalisa
permasalahan bangsa dan negara. Partai politik atau
kontestan individu semakin dituntut untuk menjadi
kreatif dalam melihat dan menganalisa permasalahan
bangsa dan negara. Masyarakat menjadi sangat kritis
dan pada saat bersamaan ikatan ideologis partai yang
tidak terlalu kuat seperti dulu. Konsekuensinya, partai politik yang paling baik dalam menyusun program
kerjanya, maka akan memiliki peluang paling besar
untuk memenangkan pemilu.
Persaingan untuk memperebutkan hati dan
perhatian masyarakat tidak dapat dilakukan sendiri
oleh partai dan kontestan. Pada hal ini media dan tentunya media dan pers sangat dibutuhkan. Melalui media, cakupan penyebaran informasi, program kerja dan
produk politik lainnya akan menjadi lebih efektif dan
lebih luas. Kondisi ini membuat partai politik dan
calon individu harus bekerjasama dengan media dan
pers. Ada hubungan timbal balik antara partai politik
dengan media dan pers. Partai politik membutuhkan
merekam dan mendistribusikan produk politiknya.
Sementara media dan pers membutuhkan berita dan
informasi sebagai produk mereka yang bisa diperoleh
dari partai politik tadi. Dengan demikian partai politik dan calon individu membutuhkan media dan pers
dalam memperebutkan hati rakyat.
III. PENUTUP
Dalam era demokrasi liberal dan pasar global,
praksis politik tidak mau ketinggalan dengan produk
lainnya, kampanye kandidat dan pemasaran program
politik melalaui media massa menjadi wacana menarik. Terdapat banyak manfaat yang bakal didapat
dari penggunaan marketing politik tersebut. Pertama,
membantu partai politik untuk mengenal masyarakat,
termasuk kebutuhan dan persoalan masyarakat lebih baik. Kedua, dapat mengembangkan program
kerja atau isu politik yang sesuai dengan aspirasi
masyarakat/konstituen. Ketiga, mampu berkomunikasi secara efektif dengan masyarakat/konstituen
melalui berbagai media sebagei salurannya.
Dibalik manfaat-manfaat itu, sebagian orang
masih menaruh curiga terhadap marketing politik.
Masyarakat luas masih banyak yang mempunyai
persepsi negatif terhadap istilah marketing politik.
Hal ini bisa terjadi karena marketing politik diidentifikasikan sebagai penjualan sebuah produk industri
dan bahkan sebagian orang menganggap marketing
politik sebagai bentuk dari komersialisasi politik. Terlebih ketika ideologi dan program politik serta kandidat yang diiklankan. Pendapat orang yang kurang
setuju akan mengasumsikan bahwa ideologi, program
partai serta kandidat telah dikomersilkan.
Pada sistem pemerintahan yang demokrasi,
marketing politik bisa dijadikan sebagai salah satu sarana untuk merebut hati serta suara pemilih. Terlebih
pada era konvergensi media dan global seperti saat ini,
marketing politik menjadi hal yang tidak dapat lagi
ditinggalkan. Apalagi struktur masyarakat berubah
secara dinamis. Kondisi masyarakat lebih mandiri,
transparan, mobilitas tinggi sehingga mempunyai peluang besar untuk berkomunikasi dan mendapatkan
informasi dengan biaya yang relatif terjangkau. Namun efektifitas marketing politik dalam kampanye
dan pemilu tetap masih perlu pembuktian dan penelitian lebih lanjut.
111
DAFTAR PUSTAKA
Albarran, Alan B. 1996. Media Economics. Understanding Market, Industries and Concept. Iowa.
Iowa State University Press.
Baimess, Paul R. 1999. Voter Segmentation and Candidates Positioning. London. Sage.
Firmanzah. 2008. Marketing Politik antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Hidayat, Syahrul. 2005. Partisipasi Politik dan Pemilihan Umum Di Indonesia. Jakarta. Universitas
Terbuka.
Hidayat, Dedy N et al. 2002. Pers dalam Kontradiksi Kapitalisme Orde Baru. Jakarta. Gramedia
Pustaka Utama Jakarta.
Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi, Volume IV/
No.3, September-Desember 2005, Departemen
Ilmu Komunikasi, FISIP UI.
Legowo, T et al. 2004. Pemilihan Presiden Secara
Langsung 2004: Dokumentasi, Analisa dan
Kritik. Jakarta. Ristek dan CSIS.
Rachbini, Didik J. 2006. Ekonomi Politik: Paradigma dan Teori Pilihan Publik, Jakarta, Ghalia
Indinesia.
112
Download