SKRIPSI_BAB II_DIANITA WAHYU SURYA ANDARI_F0212034

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Viktimisasi di tempat kerja
Viktimisasi didefinisikan sebagai sebuah bentuk tindakan negatif yang
dilakukan secara berulang dan terus-menerus sehingga menimbulkan ketidakadilan
yang dirasakan korban, lingkungan yang saling bermusuhan dan cenderung bersifat
anti-sosial (Eirnasen, 1996; Hoel & Cooper, 2000; Zapf et al., 1996). Hasil studi yang
dilakukan oleh National Youth Violence Prevention Resource Centre Sanders (dalam
Anesty, 2009) menjelaskan bahwa dampak yang akan menimpa korban apabila
dilakukan secara berulang adalah korban akan merasa depresi, tidak mau
berkomunikasi dengan orang lain, sulit untuk mengendalikan hidupnya dan
menurunkan prestasi akademik.
Lebih lanjut Garofalo (dalam Meire & Miethe, 1993) mendefinisikan bahwa
viktimisasi adalah salah satu cara seseorang untuk memprovokasi orang lain supaya
melakukan penyerangan hingga menimbulkan korban. Mendelsohn (dalam Meire &
Miethe, 1993) mengembangkan beberapa tipologi korbanyang membedakan korban,
mulai dari pihak yang sedikit bersalah hingga pihak yang dianggap benar-benar
bersalah atau terlibat. Sedangkan Von Hentig (dalam Meire & Miethe, 1993)
menjelaskan bahwa pada umumnya korban yang dominan adalah perempuan baik
muda atau tua, orang yang cacat mental, orang yang depresi dan cenderung merasa
kesepian atau patah hati. Selain itu karakteristik korban yang terkait dengan atribut
pribadi dianggap lebih mudah untuk mengalami tindak kejahatan.
Beberapa peneliti menggunakan berbagai istilah untuk menggambarkan
viktimisasi seperti masalah antara korban dan pelaku Donald (dalam Meier & Miethe,
10
1993), bingkai kejahatan (Von Hentig, 1948), tindakan pidana (Ellenberger,1955)
dan secara lebih umum adalah hubungan antara korban dengan pelaku (Von Hentig,
1940; Schafer, 1968; Schultz, 1968) dengan tujuan untuk menunjukkan pentingnya
peran korban kejahatan untuk memahami sebuah kejahatan.
Menurut Aquino dan Thau (2009), viktimisasi di tempat kerja didefinisikan
sebagai insiden dimana satu atau lebih individu menggunakan kata-kata atau
tindakan untuk membuat orang lain mengalami kerugian fisik dan psikis di tempat
kerja. Beberapa istilah yang digunakan para peneliti dalam berbagai literatur untuk
menyebut
bentuk-bentuk
khusus
dari
viktimisasi
di
tempat
kerja
adalah
penyalahgunaan jabatan (Keashly, 1998;Tepper, 2000), intimidasi (Einarsen, 2000;
Harvey, Heames, Richey & Leonard, 2006), ketidaksopanan (Andersson & Pearson,
1999; Blau & Andersson, 2005), konflik interpersonal (Spector & Jex, 1998; Spector
& O'Connell,1994) dan konflik sosial (Duffy, Ganster & Pagon, 2002).
Viktimisasi di tempat kerja yang dilakukan olehsatu atau lebih supervisor
ataurekan kerja dapat berupa pelanggaran ringan seperti komentar yang kasar dan
agresi fisik yang ekstrim (Andersson & Pearson, 1999; Cortina, Magley, Williams &
Langhout, 2001; Hoel, Rayner & Cooper, 1999; LeBlanc & Kelloway, 2002; Rogers &
Kelloway, 1997). Perilaku seperti ini sering disebut sebagai intimidasi ketika terjadi
beberapa kali (misalnya sekali seminggu atau lebih) dan untuk periode waktu yang
panjang, misalnya enam bulan atau lebih (Leymann, 1996). Salah satu penyebab
munculnya viktimisasi di tempat kerja adalah karakteristik korban itu sendiri yang
menyebabkan ia rentan menjadi target dari sebuah perilaku agresif (Bowling &
Beehr, 2006; Milam, Spitzmueller & Penney, 2009). Viktimisasi bisa dilakukan oleh
satu atau beberapa pihak yang mengalami konflik interpersonal yang memiliki
kekuasan sama ataupun berbeda dan diwujudkan dengan perilaku kasar (Spector &
Jex, 1998).
Salah satu teori yang menjelaskan tentang viktimisasi adalah Teori
Viktimisasi Bottom-Up, yakni teori yang menunjukkan bahwa faktor kepribadian
dapat mempengaruhi stabilitas temporal pada korban. Selain itu terdapat satu
sumber yang mungkin mengakibatkan peningkatan timbulnya korban dari waktu ke
waktu dan dari sumber-sumber lain. Artinya korban bisa mulai dengan satu sumber
atau satu jenis pelaku kemudian sumber lain dapat dimungkinkan akan bergabung
(Leymann, 1990 & 1996). Einarsen (1999) juga mengusulkan teoriBottom-Up yang
menunjukkan bahwa korban yang berasal dari rekan kerja akan meningkat dari
supervisor. Menurut pendekatan ini, biasanya munculnya korban dimulai dari sebuah
konflik kecil antara dua individu yang relatif bertempat di level sama dalam hirarki
organisasi. Tetapi setelah beberapa saat, supervisor akan mungkin masuk dan
bergabung dalam konflik tersebut hingga menimbulkan korban.
2. Status Jabatan
Jackson et al., (dalam Aquino &Bradfield, 2000) membuktikan bahwa status
jabatan seseorang mempengaruhi cara orang diperlakukan berbeda di tempat kerja.
Dicontohkan bahwa karyawan manajerial cenderung menerima manfaat moneter
yang lebih menguntungkan, sistem penghargaan dan insentif yang berbeda serta
pelatihan secara lebih baik dibandingkan karyawan non-manajerial.
Lawyer & Yoon (dalam Aquino, Bies & Tripp, 2006) menjelaskan bahwa
karyawan yang memiliki status jabatan yang tinggi akan lebih sering menang karena
memiliki kekuatan sumber daya yang lebih besar seperti kemampuan untuk
menghukum pihak lain dengan informasi, moneter maupun tugas pekerjaan pilihan.
Selanjutnya (Hogan & Emler, 1981; Bies & Tripp, 1997) mengemukakan bahwa
korban mungkin merasa lebih aman apabila dapat menjaga hubungan baik dengan
pelaku yang berstatus jabatan tinggi dibandingkan dengan pelaku berstatus jabatan
rendah. Lebih lanjut Bies & Tripp (1997) juga mengemukakan bahwa karyawan
berstatus jabatan tinggi cenderung mengalami hambatan normatif dan bersifat
kurang sensitif sehingga dapat menimbulkan peristiwa yang bersifat mengancam
(Aquino & Doglas, 2003).
Hogan dan Emler (1981) berteori bahwa orang berstatus jabatan lebih
rendah harus selalu berhati-hati dan waspada terhadap rekan kerja yang berstatus
jabatan lebih tinggi dengan tidak menyinggung perasaan secara serampangan. Hal
ini berarti bahwa orang yang berstatus tinggi jabatan merupakan orang terhormat
yang dapat melakukan pembalasan kapan saja.
Aquino, Bies dan Tripp (2001) memprediksi bahwa berlakunya teori balas
dendam adalah ketika pelaku menempati status di level tinggi yang berarti apabila
pelaku berstatus jabatan tinggi, maka akan dengan mudah mengganggu
kesejahteraan karyawan yang berstatus jabatan rendah. Namun ketika dirugikan
oleh atasan, kemungkinan korban untuk melakukan balas dendam akan terhambat
karenapelaku menempati posisi yang baik (Aquino et al, 2001;Bies et al, 1997;
Heider, 1958; Kim et al, 1998). Di sisi lain apabila karyawan yang berstatus jabatan
rendah melakukan pembalasan akan mendapat ancaman kerugian seperti
kehilangan kesempatan promosi jabatan di tempat kerja dan berpengaruh pada hasil
yang diinginkan seperti upah. Oleh karena itukorban yang memiliki status jabatan
lebih rendah daripada pelaku memilih untuk tidak membalas dendam dan cenderung
mengandalkan organisasi untuk menghukum pelaku sebab mereka memiliki rasa
takut, Heider (dalam Aquino, Bies & Tripp, 2006). Kim et al., (1998) juga
menjelaskan bahwa orang-orang dengan status jabatan yang lebih tinggi mungkin
merasa sangat dirugikan oleh bawahan apabila diperlakukan dengan tidak hormat,
sehingga mereka akan melakukan tindakan agresif untuk menegakkan budaya
hormat sosial.
Sesuai dengan pendapat Ehrenreich & Zegers de Beiji (dalam Aquino &
Bommer, 2003) bahwa salah satu indikator yang paling relevan dalam hubungan
status sosial dan viktimisasi adalah posisi hirarki yang diperjelas dengan karyawan
yang berstatus jabatan tinggi akan diperlakukan secara lebih baik dibandingkan
karyawan berstatus rendah. Sebagai contoh, karyawan yang berstatus jabatan
rendah akan sering mendapatkan kontrol pengawasan yang ketat dan kritik yang
tidak rasional dengan komentar yang bersifat mengancam.
Aquino, Bies & Tripp (2006) mengatakan bahwa untuk mencegah terjadinya
penyalahgunaan kekuatan atau status, maka diperlukan interaksi antara pihak-pihak
yang kuat dengan pihak-pihak yang lemah melalui prosedur pengaduan formal yang
bergantung pada status hirarki yang dimiliki korban maupun pelaku. Artinya, apabila
korban memiliki status lebih tinggi dari pelaku (korban adalah bos pelaku), maka
korban tidak perlu mengandalkan organisasi untuk menghukum karena secara
pribadi mereka mampu untuk melakukan balas dendam secara efektif dan efisien.
Namun apabila korban memiliki status jabatan yang lebih rendah dari pelaku (pelaku
adalah bos korban) maka secara rasional korban harus merasa takut akan
konsekuensi yang mungkin akan terjadi sehingga merugikan diri korban sendiri.
3. Agresivitas
Definisi agresivitas telah dikemukakan oleh banyak peneliti sehingga sangat
variatif. Baron dan Richardson (1994) mendefinisikan agresivitas sebagai sebuah
upaya yang dilakukan individu untuk melakukan sesuatu yang merugikan orang lain.
Herbert (1981) mendefinisikan agresivitas sebagai sebuah tingkah laku yang tidak
dapat diterima secara sosial yang melukai fisik ataupun psikis termasuk merusak
benda-benda disekitarnya.Medinnus dan Johnson (1976) mengemukakan bahwa
agresi adalah perilaku yang bersifat menyerang, dapat berupa serangan fisik,
serangan terhadap objek, serangan verbal, dan melakukan pelanggaran terhadap
hak milik atau menyerang daerah orang lain. Agresivitas dapat terjadi kapan dan
dimana saja, tidak memandang waktu dan tidak peduli siapa yang akan jadi korban.
Definisi agresivitas juga diungkapkan oleh Dollard (dalam Harvey dan Smith,
1977)bahwa tindakan agresi ditujukan kepada orang lain yang menjadi sasaran dari
tingkah laku tersebut. Berkowitz (1995) juga mendefinisikan agresivitas sebagai
segala bentuk perilaku yang menyakiti fisik maupun mental seseorang.
Menurut Baron dan Byrne (1984) faktor yang mendukung definisi agresivitas
adalah individu dapat menjadi pelaku dan individu dapat menjadi korban, tingkah
laku individu pelaku, individu yang memiliki perilaku yang bertujuan mencelakakan
atau melukai (termasuk membunuh dan hal lain yang bersifat mematikan) dan
keinginan korban untuk tidak menerima perilaku pelaku. Buss dan Perry (1992)
mengatakan bahwa ada empat faktor pada agresi yaitu agresi fisik, agresi verbal,
kemarahan dan kebencian. Agresi fisik / Physical Aggression adalah agresi yang
dilakukan untuk melukai orang lain secara fisik yaitu memukul, menendang,
menusuk dan sebagainya. Agresi verbal / Verbal Aggression adalah agresi yang
dilakukan untuk melukai orang lain secara verbal seperti mengumpat, membentak,
berdebat, mengejek dan sebagainya. Kemarahan / Anger adalah perasaan negatif
tetapi tidak memiliki tujuan apapun. Kebencian / Hostility adalah perasaan negatif
yang dimiliki seseorang untuk memberikan nilai negatif pada orang lain.
Rigby (dalam Anesty, 2009) menyatakan bahwa agresi merupakan situasi
saat seseorang memperoleh sesuatu dengan menggunakan kekuatan namun
dominasinya terhadap target atau korban merupakan hal yang insidental dan tidak
disengaja. Selain itu Rivers dan Smith (1994) juga mengidentifikasi tiga tipe agresi,
yaitu agresi fisik langsung, agresi verbal langsung, dan agresi tidak langsung. Agresi
fisik langsung mencakup perilaku-perilaku yang jelas seperti memukul, mendorong,
dan menendang. Agresi verbal langsung mencakup penyebutan nama dan
ancaman. Agresi tidak langsung melibatkan perilaku-perilaku seperti menyebarkan
rumor dan menceritakan cerita-cerita. Agresi langsung itu secara eksplisit
diperlihatkan dari agresor ke korban sedangkan agresi tidak langsung melibatkan
pihak ketiga.Senada dengan Buss (1961) yang mengemukakan delapan jenis
agresivitas seperti agresivitas fisik aktif langsung, agresivitas fisik aktif tidak
langsung, agresivitas pasif langsung, agresivitas pasif tidak langsung, agresivitas
verbal aktif langsung, agresivitas verbal aktif tidak langsung, agresivitas verbal pasif
langsung dan agresivitas verbal pasif tidak langsung. Agresivitas fisik aktif langsung
dengan cara menusuk, memukul dan mencubit. Agresivitas fisik aktif tidak langsung
misalnya menjebak untuk mencelakakan orang lain. Agresivitas pasif langsung
dengan cara memberikan jalan pada orang lain. Agresivitas pasif tidak langsung
dengan menolak untuk melakukan sesuatu. Agresivitas verbal aktif langsung dengan
cara mencaci maki, menghina atau mengolok-olok orang lain. Agresivitas verbal aktif
tidak langsung dengan menyebarkan gossip yang tidak benar atau fitnah.
Agresivitas verbal pasif langsung dengan tidak mau berbicara pada orang lain.
Agresivitas verbal pasif tidak langsung dengan cara diam saja meskipun tidak setuju.
Dodge & Coie (1987) memperkenalkan gagasan tentang dua tipe agresi,
yaitu agresi proaktif dan agresi reaktif. Agresi reaktif melibatkan reaksi-reaksi marah
dan defensif pada frustasi, sementara agresi proaktif dicirikan dengan perilakuperilaku yang diarahkan tujuan, dominan dan memaksa. Seorang individu yang
menunjukan agresi proaktif itu berdarah dingin dan akan menggunakan agresi untuk
mencapai tujuannya ini. Agresi reaktif seringkali salah menafsirkan tanda-tanda
sosial dan menghubungkan maksud-maksud permusuhan dengan teman-teman
sebayanya. Kedua tipe agresi ini telah dihubungkan dengan kekurangan atau
kesalahan dalam pemrosesan informasi sosial.
Baron
&
Byrne
(1994)
mengelompokkan
agresi
menjadi
tiga
pendekatandalam menerangkan penyebab dasar perilaku agresi, yaitu : faktor
biologis, faktor eksternal, dan belajar.
a. Faktor Biologis
Menurut
pendekatan
ini,
agresi
pada
manusia
seperti
telah
diprogramkanuntuk melakukan tindak kekerasan dari pembawaan biologis secara
alami. Berdasarkan instinct theory seseorang menjadi agresif karena hal itu
merupakan bagian alami dari reaksi mereka. Freud (2002) mengatakan bahwa
agresif dapat muncul dari naluri atau instinct keinginan untuk mati yang kuat
(thanatos) yang diproses oleh setiap individu (Baron & Byrne, 1994).Pandangan
yang sama juga disampaikan oleh Lorenz (dalam Baron & Byrne, 1994), yaitu agresi
muncul dari fighting instinct atau naluri untuk berkelahi yang ditujukan kepada
anggota-anggota spesies yang lain. Lorenz juga menyampaikan bahwa agresi bukan
sesuatu yang buruk, tetapi juga berfungsiuntuk menyelamatkan individu tersebut.
b. Faktor Eksternal
Hal lain yang dipandang penting dalam pembentukan perilaku agresiadalah
faktor eksternal. Menurut Dollard (dalam Praditya, 1999) frustrasi adalah perilaku
agresif yang diakibatkan dari percobaan-percobaan yang tidak berhasil untuk
memuaskankebutuhan dan cenderung akan terjadi apabila keinginan atau tujuan
tertentu dihalangi. Berkowitz (1993) mengatakan bahwa frustrasi menyebabkan
sikap siaga untuk bertindak secara agresif karena adanya kemarahan (anger) yang
disebabkan oleh frustrasi itu sendiri. Individu yang bertindak agresif maupun tidak
tergantung dari kehadiran isyarat agresif (aggressive cue) yang memicu kejadian
aktual agresi tersebut. Jadi perilaku agresif mempunyai bermacam-macam
penyebab, di mana frustrasi adalah salah satunya. Sears dan kawan-kawan (1994)
menambahkan bahwa meskipun frustrasi sering menimbulkan kemarahan, dalam
kondisi tertentu hal tersebut tidak terjadi. Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan
bahwa peningkatan frustrasi tidak secara langsung menimbulkan perilaku agresi,
melainkan ada beberapa faktor lain yang dapat memicunya. Menurut Baron dan
Byrne (1994), kondisi timbulnya perilaku agresif yaitu kondisi internal dan kondisi
eksternal. Kondisi internal terdiri dari kepribadian, dan hubungan interpersonal, salah
satunya adalah komunikasi, serta kemampuan. Kondisi eksternal terdiri dari
frustrasi, provokasi langsung yang bersifat verbal ataupun fisik yang mengenai
kondisi pribadi dan lingkungan sekitar yang kurang baik.
c. Faktor belajar
Koeswara (1988) mengemukakan bahwa pendekatan belajar adalah
pendekatan lain yang lebih kompleks untuk menerangkan agresi. Pendekatan ini
menjelaskan bahwa agresi merupakan tingkah laku yang dipelajari dan melibatkan
faktor-faktor eksternal (stimulus) sebagai determinan pembentuk perilaku agresi.
Pendekatan ini dianggap sebagai proses belajar yang berlangsung dalam lingkup
yang lebih luas di samping melibatkan faktor-faktor eksternal dan internal. Buss
(1961) berfokus pada faktor-faktor sosial dan kepribadian sebagai variabel yang
mempengaruhi perilaku agresif. Lebih lanjut Bandura (1986) menekankan
bagaimana individu mempelajari perilaku agresif dengan mengamati orang lain dan
mempelopori penelitian mengenai efek-efek melihat kekerasan dimedia masa.
Menurut Bandura dan kawan-kawan (dalam Koeswara, 1988) agresi dapat dipelajari
dan terbentuk melalui perilaku meniru atau mencontoh perilaku agresi yang
dilakukan oleh individu lain yang dianggap sebagai suatu contoh atau model. Dalam
hal ini, individu dapat mengendalikan perilaku yang ditirunya dan menentukan serta
memilih obyek imitasinya yang disebut proses imitasi.
Sears dan kawan-kawan (1994) memperjelas dengan menambahkan sebuah
mekanisme penting dalam proses belajar dengan menyebutnya sebagai proses
penguatan. Proses penguatan adalah proses penyerta yang akan menentukan
apakah perilaku sebelumnya akan diinternalisasi atau tidak. Jika suatu perilaku
mendapatkan penguatan (reinforcement) atau terasa menyenangkan, maka timbul
keinginan untuk mengulanginya. Sebaliknya jika perilaku tersebut mengakibatkan
individu dihukum atau merasa tidak menyenangkan, individu cenderung untuk tidak
mengulanginya.Senada dengan Brigham (1991) yang mengemukakan faktor yang
mempengaruhi agresi seperti proses belajar, proses penguatan dan proses imitasi
atau modeling. Faktor belajar adalah mekanisme utama yang menetukan perilaku
agresifpada manusia. Dicontohkan dengan bayi yang baru lahir akan menampakan
agresivitas yang sangat impulsif, namun perilaku tersebut akan semakin berkurang
dengan bertambahnya usia. Artinya bayi tersebut melakukan proses belajar untuk
menyalurkan agresivitasnya hanya pada saat-saat tertentu saja (Sears dan kawankawan, 1994). Proses belajar ini termasuk belajar dari pengalaman, trial and error,
pengajaran moral, menerima instruksi dan pengamatan terhadap perilaku orang lain.
Proses penguatan atau reinforcement menjelaskan bahwa individu akan cenderung
mengulang suatu perilaku apabila perilaku tersebut memberikan efek yang
menyenangkan dan sebaliknya, apabila efek yang diberikan tidak menyenangkan
maka perilaku tersebut tidak akan diulangi. Selanjutnya adalah proses imitasi atau
modeling. Proses imitasi cenderung dilakukan oleh orang-orang yang ingin meniru
figur-figur tertentu khususnya orang tua yang dianggap sangat menentukan
keagresifan seorang anak.
4. Afektivitas Negatif
Afektivitas negatif merupakan istilah yang digunakan pertama kali oleh
Tellegen (1982) dan didefinisikan Watson & Clark (1984) sebagai suasana hati yang
mencerminkan perasaan tekanan emosional meliputi rasa takut, marah, cemas,
khawatir, gelisah dan emosi yang tidak menyenangkan. Watson & Clark (1984) juga
menyimpulkan bahwa individu yang memiliki NA tinggi lebih mungkin mengalami
stress atau ketidakpuasan, lebih instropektif terhadap kegagalan dan kekurangan
mereka, cenderung fokus pada dunia negatif dan merasa kurang beruntung dalam
menjalani kehidupan pribadi mereka.
Lebih lanjut Watson dan Clark (1991) menjelaskan bahwa Individu dengan
NA tinggi cenderung mengalami tingkat kesukaran (distress) dan ketidak-puasan
pada setiap waktu dan pada berbagai situasi tertentu,meskipun tidak secara jelas
mengalami stress. Mereka lebih introspektif dan terlalu memikirkan kegagalan dan
ketidakberdayaan (shortcoming) mereka. Mereka juga cenderung terpaku pada
sisinegatif orang lain dan lingkungan (world) pada umumnya, sehingga individu
dengan NA tinggi kurang memiliki pandangan yang baik terhadap dirinya sendiri
(less favorable self-view) serta merasa kurang puas terhadap diri mereka sendiri dan
hidup mereka. Orang dengan NA yang tinggi juga memiliki self esteem yang rendah
dan konsep diri yang negatif. Sehingga orang yang memiliki NA tinggi cenderung
mempersepsikan,
mengevaluasi
dan
melaporkan
pengalaman
mereka
dari
kacamata negatif. Apabila kondisi tersebut terjadi secara terus menerus maka
perasaan negatif seperti kekhawatiran, kecemasan, kelabilan emosi dan sifat mudah
marah(irritability) akan berdampak pada sejumlah gejala-gejala jasmani yang
merugikan.
Fokus mereka yang ber-NA tinggi dalam bertindak adalah untuk menghindari
hukuman. Oleh karena itu dalam menghadapi suatu perubahan dalam lingkungan
kerja ia berusaha agar dapat bertahan dalam perusahaan mereka hanya untuk
menghindari kondisi yang kurang menguntungkan baginya. Ia bertahan karena ia
memprediksikan bahwa apabila ia tidak mendukung perubahan yang ada, ia akan
tergeser dan sulit baginya untuk mencari pekerjaan di tempat lain.
Definisi lain mengenai afektivitas negatif disampaikan oleh Coyne et al,
(2000);Matthiesen & Einarsen (2001); Olweus (1993); Zapf (1999) yakni dimensi
umum
dari
keadaan yang
menyedihkan
atau
tidak
menyenangkan
yang
memunculkan berbagai macam perasaan negatif seperti marah, rasa bersalah,
tegang dan takut. Snyder & Lopez (2006) juga menyampaikan bahwa afektivitas
negatif adalah sebuah perasaan yang menggambarkan hidup yang tidak
menyenangkan.
Lebih
lanjut
Bowman
dan
Hensen
(dalam
Burke,
1993)
menambahkan bahwa karyawan dengan NA tinggi akan cenderung lebih mudah
marah dan menyukai peraturan tanpa perubahan karena perubahan aturan
organisasi dengan tujuan restukturisasi akan dipersepsikan negatif. Selain itu
mereka juga memiliki hubungan yang kurang baik dengan rekan kerja yang
mengakibatkan sulitnya berkomunikasi dan menjalin kerjasama dengan relasi.
Sebuah penelitian lain tentang afektivitas negatif juga menjelaskan bahwa
afektivitas negatif (NA) merupakan suatu pengalaman individu yang mengalami
emosi negatif seperti kecemasan dan depresi yang dianggap sebagai prediktor
munculnya konflik interpersonal (Tellegen, 1998). Ada dua mekanisme melalui NA
yang membuat seseorang bisa menjadi target potensial dalam sebuah konflik
interpersonal, yakni karyawan mungkin berperilaku negatif seperti mengganggu,
menggoda siapa saja yang mereka anggap pantas untuk menjadi sebuah korban
(Coyne et al, 2000;. Matthiesen & Einarsen, 2001; Olweus, 1993; Zapf, 1999) dan
sering memandang atau berbicara negatif terhadap seseorang yang rentan untuk
menjadi target di tempat kerja (Aquino & Bradfield, 2000; Harveyet al., 2006).
Individu yang ber-NA tinggi cenderung berkinerja buruk, berperilaku negatif yang
sering dilakukan atasan terhadap bawahan sehingga akan muncul stress kerja
(Spector & Zepf, 2000).
B. PENGEMBANGAN HIPOTESIS
1. Status Jabatan dan Viktimisasi di Tempat Kerja
Penelitian Aquino, Bies & Tripp (2006) mengungkapkan bahwa karyawan
yang berstatus jabatan tinggi cenderung memiliki kekuasaan yang lebih besar
sehingga dapat melindungi diri mereka dari tindak kejahatan atau terhindar dari
viktimisasi. Beberapa peneliti (Baumeister et al., 1996; Daly & Wilson, 1988;
Wicklund & Gollwitzer, 1982) juga mengungkapkan bahwa karyawan berstatus
jabatan rendah mungkin membutuhkan perlindungan yang lebih besar untuk
melindungi dirinya dari ancaman viktimisasi dengan membatalkan tindakan balas
dendam apabila mendapatkan penghinaan dari atasannya. Penelitian Bies dan Tripp
(1996) mendukung
pernyataan tersebut
dengan menjelaskan penelitiannya
mengenai teori balas dendam bahwa karyawan selaku korban sering membatalkan
tindakan balas dendamnya terhadap pelaku apabila pelaku menempati posisi yang
tinggi dalam status hirarki pekerjaan.
Lebih lanjut Aquino & Bommer (2003) menjelaskan dalam penelitiannya
bahwa orang dengan status jabatan tinggi akan dipandang lebih kompeten dalam
mengerjakan tugas, lebih cerdas dan memiliki penampilan menarik dibanding orang
dengan status jabatan rendah. Akibatnya mereka akan memiliki kecenderungan
diperlakukan secara lebih baik. Gouldner (dalam Aquino & Bommer, 2003)
mengungkapkan bahwa karyawan yang menempati status jabatan tinggi lebih sering
diperlakukan secara adil dengan menerima keuntungan besar yang bersifat positif
seperti peningkatan reputasi karena mereka dianggap memegang kekuasaan dan
otoritas. Senada dengan yang disampaikan oleh Er (dalam Aquino & Bradfield,
2000) bahwa orang-orang yang menempati status jabatan tinggi cenderung
diperlakukan lebih baik dengan cara mendapatkan kehormatan atas kekuasaan dan
otoritas mereka.
Neuman & Baron (1998) juga menemukan bahwa hampir 50% dari populasi
pekerja di sebuah perusahaan, perilaku agresif cenderung menyerang rekan
kerjanya sendiri dibandingkan pada supervisor mereka.
Penelitian Aquino & Bradfield (2000) membuktikan bahwa status jabatan
berpengaruh negatif pada terjadinya viktimisasi di tempat kerja karena hasil
penelitian menunjukkan adanya status jabatan tinggi cenderung terhindar dari
terjadinya viktimisasi (direct victimization dan indirect victimization). Pernyataan
tersebut juga telah didukung oleh penelitian-penelitian terdahulu, sehingga dari
uraian di atas dapat dibuat hipotesis :
H1 : Status pekerjaan berpengaruh negatif pada viktimisasi di tempat kerja.
2. Agresivitas dan Viktimisasi di Tempat Kerja
Buss, Tedeschi & Felson (1961) mengungkapkan bahwa agresivitas
merupakan sebuah sifat yang mendasari diri seseorang untuk berperilaku agresif
atau melakukan penyerangan. Monahan (1981) menambahkan bahwa beberapa
atribut dari sifat individu seperti impulsif, intensitas reaksi dan tingkat aktivitas
membuat beberapa orang bereaksi secara agresif dibandingkan yang lain ketika
dihadapkan pada sebuah rangsangan lingkungan yang bermusuhan.
Buss (1961) juga mengungkapkan bahwa kecenderungan perilaku yang
sangat agresif dari seseorang membuat mereka mudah merespon sebuah
agresivitas yang dapat mengundang atau menimbulkan balasan dari orang lain
sehingga mereka menganggap bahwa diri mereka adalah orang yang rentan
menjadi korban / victim dari sebuah ancaman tindakan balasan. Sedangkan
ancaman tindakan balasan akan muncul ketika orang lain membahayakan identitas
diri seseorang dengan cara berperilaku provokatif (Felson dan Steadman, 1983).
Dodge
(1980)
menjelaskan
bahwa
apabila
seseorang
mendominasi
kecenderungan tanggapan untuk menjadi agresif, maka ia lebih mungkin untuk
memiliki niat bermusuhan dengan orang lain dan akan merasakan ancaman yang
lebih besar pula dari orang lain. Kecenderungan tersebut mungkin diperburuk oleh
seseorang yang sangat agresif karena mereka lebih mengadopsi sebuah konfrontasi
dibandingkan berdamai dengan orang lain (Buss, 1961).
Penelitian Aquino & Bradfield (2000) membuktikan bahwa agresivitas
berhubungan positif pada viktimisasi (direct victimization dan indirect victimization)
karena seseorang yang sangat agresif cenderung menjadi korban / victim ancaman
balasan dari orang lain atas perilaku agresif mereka sendiri. Sehingga hipotesis
yang dirumuskan sebagai berikut :
H2 : Agresivitas berpengaruh positif pada viktimisasi di tempat kerja.
3. Afektivitas Negatif dan Viktimisasi di Tempat Kerja
Penelitian Watson & Clark (1984) menjelaskan bahwa peran kepribadian
yang dianggap sebagai prediktor timbulnya korban adalah kecenderungan
seseorang mengalami perasaan negatif seperti rasa takut, marah, cemas, sedih dan
depresi sehingga merupakan hubungan yang paling konsisten untuk berbagai
pengukuran tentang viktimisasi (Aquino et al,.1999; Aquino & Bradfield, 2000; Coyne
et al,. 2000; Matthiesen & Einarsen, 1991; Tepper et al,. 2006; Vartia, 1996; Zellars
et al,. 2002).
Watson & Clark (1984) juga menjelaskan bahwa afektivitas negatif dianggap
sebagai variabel kepribadian yang berhubungan dengan pengalaman individu, baik
dalam hal frekuensi atau intensitas untuk mengalami emosi negatif seperti
kemarahan, permusuhan, ketakutan, dan kecemasan sehingga mereka cenderung
menafsirkan informasi-informasi sosial secara negatif.
Lebih lanjut Olweus (1978) menunjukkan bahwa afektivitas negatif mungkin
berhubungan dengan kecenderungan terjadinya viktimisasi, karena orang-orang
yang memiliki afektivitas negatif tinggi lebih mungkin untuk menunjukkan perilaku
yang bersifat prototipe sehingga rentan menjadi korban / victim. Karakteristik orang
yang memiliki afektivitas negatif tinggi juga menunjukkan adanya hubungan antara
afektivitas negatif dan viktimisasi karena mereka sering mengalami tekanan
emosional seperti melanggar aturan, mengerjakan tugas secara tidak berkompeten
(e.g Motowidlo et., al 1986), serta kurang berinteraksi secara sosial (Felson, 1978)
Felson (1978) juga menambahkan dua argumen yang mendukung afektivitas
negatif dan viktimisasi yakni individu yang memiliki afektivitas negatif tinggi, secara
aktif dapat mengganggu atau memprovokasi orang lain untuk melanggar aturan.
Sedangkan
individu
yang
memiliki
afektivitas
negatif
tinggi
secara
pasif
menampilkan diri sebagai target viktimisasi karena mereka menunjukkan tingkat
kecemasan yang tinggi, ketidakpuasan atau kesusahan.
Penelitian Aquino et al., (1999) sebelumnya menjelaskan bahwa karyawan
yang memiliki afektivitas negatif tinggi akan cenderung bersifat bermusuhan yang
dapat membuat mereka rentan untuk mengalami viktimisasi (direct victimization dan
indirect victimization). Dengan kata lain, afektivitas negatif memiliki hubungan positif
dengan terjadinya viktimisasi sehingga hipotesis yang dirumuskan sebagai berikut :
H3 : Afektivitas negatif berpengaruh positif pada viktimisasi di tempat kerja.
4. Afektivitas negatif memoderasi Agresivitas dan Viktimisasi di Tempat Kerja.
Penelitian tentang korban bullying (Watson & Clark 1984) menjelaskan
bahwa mereka yang memiliki afektivitas negatif tinggi cenderung memiliki
karakteristik negatif seperti kecemasan, rasa tidak aman, menarik diri secara
sosialdan merasa rendah diri.
Baumeister, Smart& Bodden (1996) mengungkapkan bahwa seseorang atau
karyawan yang memiliki afektivitas negatif tinggi akan cenderung sering bersikap
kasar yang dapat memicu timbulnya permusuhan seperti ancaman dan tindakan
agresif dibandingkan karyawan yang memiliki afektivitas negatif rendah.
Olweus (1978) juga mengungkapkan bahwa masuk akal apabila orang-orang
yang menunjukkan kombinasi sikap agresif, kecemasan serta rasa tidak aman dapat
menjadi target yang paling mungkin untuk menjadi korban / victim. Hal tersebut
dibuktikan bahwa pola perilaku negatif dari beberapa individu akan mempengaruhi
merekauntuk memiliki tingkat emosional yang tinggi, niat untuk menjahati orang lain
serta lebih mudah merespon ancaman yang dirasakan.
Berdasarkan acuan dari beberapa penelitian sebelumnya yang menjelaskan
mengenai interaksi antara agresivitas dan afektivitas negatif yang dianggap sebagai
pemicu munculnya viktimisasi di tempat kerja, maka penelitian Aquino & Bradfield
(2000)
mengemukakan
bahwa
kemungkinan
afektivitas
negatifakan
dapat
menonjolkan efek agresivitas terhadap viktimisasi (direct victimization dan indirect
victimization). Sehingga hipotesis yang dirumuskan sebagai berikut:
H4 : Afektivitas negatif memoderasi agresivitas pada viktimisasi di tempat
kerja.
C. KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka penelitian merupakan suatu model konseptual tentang bagaimana
teori-teori berhubungan dengan beberapa faktor yang akan diidentifikasi sebagai
suatu permasalahan (Sekaran, 2003). Kerangka pemikiran menunjukkan beberapa
variabel berbeda yang digunakan untuk menggambarkan tentang bagaimana
hubungan antarvariabel tersebut. Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
STATUS
JABATAN
H1 (-)
AGRESIVITAS
VIKTIMISASI DI
TEMPAT KERJA
H2 (+)
H4 (Moderasi)
H3 (+)
AFEKTIVITAS
NEGATIF
Gambar 1: Model Penelitian
Model penelitian diatas merupakan acuan dari penelitian yang dilakukan oleh
Aquino dan Bradfield (2000) yang menunjukkan keterkaitan antar variabel dalam
hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya. Keterkaitan hubungan antar variabel
dependen dan independen dijelaskan melalui pengaruh faktor situasional dan
karakteristik personal terhadap munculnya kemungkinan viktimisasi di tempat kerja.
Faktor situasional yang dianggap mempengaruhi viktimisasi di tempat kerja
adalah status jabatan. Karyawan yang berada di posisi non-manajerial akan lebih
sering mengalami viktimisasi di tempat kerja dibandingkan karyawan yang berada di
posisi manajerial. Hal tersebut dikarenakan status jabatan tinggi dianggap memiliki
hak yang sah untuk menerima perlakuan positif di tempat kerja, selain itu mereka
memiliki hak untuk menggunakan mekanisme formal kontrol sosial seperti sistem
penghargaan dan hukuman untuk membalas rekan kerja yang memperlakukan
mereka dengan buruk.
Selain faktor situasional, hal lain yang dianggap mempengaruhi viktimisasi di
tempat kerja adalah karakteristik personal. Karakteristik personal yang pertama
adalah agresivitas, yakni perilaku agresif yang sering ditunjukkan seorang karyawan
terhadap rekan kerjanya hingga diri mereka merasa menjadi orang yang rentan
menjadi korban / victim, sebab orang yang cenderung berperilaku sangat agresif
akan lebih mudah mendapatkan tindakan balasan atas keagresifan dari diri mereka
sendiri.
Karakteristik personal yang lain ditunjukkan dengan afektivitas negatif.
Afektivitas negatif merupakan sebuah perasaan negatif dari seseorang meliputi rasa
marah, rasa kecewa serta rasa tidak puas terhadap sesuatu yang kemudian
mendorong mereka untuk memiliki sifat saling bermusuhan dan membuat mereka
rentan untuk mengalami viktimisasi di tempat kerja.
Download