Regereringsreglement 1854 ( yang mencerminkan hadirnya

advertisement
Regereringsreglement 1854 (yang mencerminkan hadirnya kebijakan
bewusterechtspoliteik, khususnya yang berkaitan dengan upaya merealisasikan
rechtsstaat)
Pada masa ini suasana di Hindia Belanda tidak begitu aman, karena banyaknya
terjadi pelanggaran-pelanggaran nilai-nilai manusiawi, dengan di terapkan sistem
culterstelsel, tidak adanya kepastian hukum dan berjalannya roda pemerintahan yang
terjadi banyak penyimpangan kewenangan di Hindia Belanda. Tentunya hal ini
menarik perhatian dari negeri induknya yakni Belanda. Banyak kecaman datang dari
kelompok liberalisme yang tidak menyetujui dengan gaya pengelolaan negara jajahan
yang tidak manusiawi itu.
Untuk itu diperlukannya kebijakan-kebijakan baru dibidang hukum dan
pemerintahan di Hindia Belanda, agar adanya kepastian hukum bagi setiap warga
serta berjalannya roda pemerintahan yang fair. Beratnya tugas yang diemban oleh
administrator-administrator sehingga tidak menghasilkan hasil yang maksimal dan
membuka banyak peluang untuk terjadinya penyelewengan-penyelewengan
wewenang, ditambah lagi kurangnya pengawasan. Hal ini ditandai dengan adanya
tugas-tugas kepolisian dan tugas-tugas peradilan perdata maupun pidana yang harus
dijalankan oleh administrator tersebut.
Selain itu, ide kaum liberalisasi adalah untuk mendapatkan pengakuan dan hak
yang sama terhadap masyarakat pribumi, sebab selama ini masyarakat pribumi hanya
menjadi objek penderitaan yang berkepanjangan tanpa adanya insentif tertentu bagi
pribumi. Salah satu prektek eksploitasi yang sangat kejam tersebut ialah sistem tana
paksa.
Tanam paksa atau cultuur stelsel adalah peraturan yang dikeluarkan oleh
Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang mewajibkan setiap desa harus
menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor khususnya
kopi, tebu, nila. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan
harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial.
Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%)
pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Pada prakteknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh
wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan
kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktek cultur stelstel
pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja
selama setahun penuh di lahan pertanian.
Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktek ekonomi Hindia
Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem
monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat
dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi
tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya
dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang
memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal
Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun
melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat.
Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850.Sistem tanam paksa yang kejam
ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya
dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi diluar Jawa masih terus
berlangsung sampai 1915. Akibat berbagai kelaparan yang menimpa hampir seluruh
1
penduduk di Jawa, telah menimbulkan berbagai kritikan pedas dari orang-orang nonpemerintah. Gejala kelaparan ini diangkat kepermukaan dan dijadikan isu bahwa
pemerintah telah melakukan eksploitasi yang berlebihan terhadap bumiputera Jawa.
Muncullah orang-orang humanis maupun praktisi Liberal menyusun seranganserangan strategisnya. Di bidang sastra muncul Multatuli atau Dr. Douwes Dekker,
dilapangan jurnalistik muncul E.S.W Roorda van Eisinga, dan di bidang politik
dipimpin oleh Baron van Hoevell, sehingga dari sinilah muncul gagasan politik etis.
Maka untuk mengatasi semua masalah tersebut maka dikeluarkannya
Regereringsreglement 1854, sebuah upaya untuk menciptakan Hindia Belanda
sebagai negara hukum (rechtstaat) bukan negara yang berdasarkan kepada kekuasaan
(machtstaat). Adapun inti dari kebijakan ini adalah memerintahkan agar pengelolaan
pemerintahan di Hindia Belanda dengan menggunakan azas trias politika dengan
menyerahkan peradilan kepada hakim yang bebas serta menerapkan azas legalitas
untuk mendapat kepastian hukum serta melarang pemidanaan yang menyebabkan
seseorang akan kehilangan hak-hak perdatanya. Dan kaum pribumi dilindungan
semua hak-hak nya dengan peraturan-peraturan yang ada.
Kebijakan eenheidsbeginsel (yang tidak dapat dikatakan gagal begitu saja,
karena diupayakannya kompromi dalam bentuk dimungkinnya kebijakan
vrijwillige onderwerping dan kewenangan untuk melakukan toepasselijk
verklaring oleh Gubernur Jenderal.
Cita-cita kaum liberal untuk mewujudkan kepastian hukum di Hindia Belanda
yakni dengan melakukan unifikasi hukum yang terkenal dengan kebijakan
eenheidsbeginsel. Dengan adanya ide ini, maka setiap masyarakat akan memperoleh
hak yang sama dan roda pemerintahan bisa berjalan dengan baik dan benar. Dengan
adanya unifikasi hukum tersebut maka akan hilangnya diskriminasi terhadap pribumi,
karena hak-hak bagi pribumi akan sama dengan hak-hak bagi kaum eropa, dengan
membiarkan dualisme berjalan ditengah kehidupan Hindia Belanda berarti sama saja
dengan membiarkan diskriminasi terus berjalan di Hindia Belanda.
Namun niat baik dari kaum liberal ini untuk melakukan unifikasi terbentur
dilapangan, karena selama ini masyarakat pribumi hidup dengan menjalankan
dualisme hukum, masyarakat sudah terbiasa dengan hal-hal tersebut, apabila
dilakukan juga unifikasi hukum dengan segera, maka akan mengakibatkan hancurnya
lembaga-lembaga adat masyarakat pribumi yang telah hidup ditengah-tengah
masyarakat. Namun secara pragmatis dan realistik, dengan diterapkannya unifikasi
hukum maka akan mengeluarkan biaya yang banyak dan waktu yang cukup lama,
karena banyak yang harus disiapkan untuk menuju kesana.
Unifikasi mudah dalam cita-cita dan rekaan ideal, tetapi sungguh terasa sulit
dalam pelaksanaan. Lebih dari dua abad lamanya dualisme hukum telah
dipertahankan berlakunya, sehingga untuk melakukan unifikasi tidaklah mudah dan
selalu terbentur tembok keras kenyataan dilapangan. Untuk meujudkannya
memerlukan waktu dan harus hati-hati dan tidak mengejutkan administrator yang
bertanggung jawab ditataran pemerintahan kolonial.
Maka diambillah jalan tengah yakni dengan menerapkan unifikasi maka
dikeluarkan kebijakan berupa vrijwillige onderwerping dan toepasselijk verklaring.
vrijwillige onderwerping adalah upaya kecil-kecilan oleh para pencari keadilan
bangsa pribumi secara individual yang dimungkinkan oleh hukum untuk membuat
pilihan hukum, kebijakan toepasselijk verklaring adalah upaya besar-besaran lewat
2
wewenang Gubernur Jenderal untuk menerapkan peraturan perundang-undangan
Eropa tertentu ke golongan pribumi. Maka, dengan dikeluarkannya dua kebijakan ini,
hukum asli rakyat pribumi hanya kan dipakai oleh hakim sejauh hukum itu tidak
bertentangan dengan aturan-aturan yang ada. Ini merupakan bentuk kompromi dalam
melakukan unifikasi disatu sisi dan tetap mempertahankan dualisme hukum disisi
yang lain. Tetapi pada akhirnya dua kebijakan ini merupakan cikal bakal untuk
menerapak unifikasi hukum untuk hukum-hukum tertentu seperti bidang tenaga kerja
dan tanah.
Ihwal Perundang-undangan kolonial yang dibentuk pada periode liberalisme
(1850-1890) khususnya yang bertolak dari gagasan kelompok pragmatis
Pada masa ini terjadi perkembangan hukum yang lebih bersifat pragmatis yang
didengungkan oleh kelompok liberal. Mereka menggaungkan supaya diberlakukannya
hukum Eropa dengan maksud lain, disatu sisi kaum liberal mendengungkan nilai-nilai
kemanusian, persamaan hak dan persaudaraan antara sesame manusia, namun
dibelakang maksud baik itu semua terdapat sebuah rencana licik yang akan membawa
rakyat di Hindia Belanda dibawah eksploitasi yang diluar batas kemanusiaan.
Kaum liberal ingin memudahkan melakukan usahanya di Hindia Belanda
dengan perundang-undangan yang ada. kaum liberal di Belanda berhasil memaksa
pemerintah Belanda untuk menghapuskan Tanam Paksa dengan diberlakukannya UU
Agraria atau Agrarische Wet. Namun tujuan utamanya ternyata bukan hanya
menghapuskan Tanam Paksa, tapi lebih dari itu yaitu memperjuangkan kebebasan
ekonomi dimana mereka berpendapat bahwa pemerintah jangan ikut campur dalam
bidang ekonomi, mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak
swasta, sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung warga negara,
menyediakan prasarana, menegakkan hukuman dan menjamin keamanan serta
ketertiban.
Dampaknya bagi kaum pribumi adalah semakin meluasnya kemiskinan,
sehingga menimbulkan gelombang protes dari kaum humanis tadi seperti Dr. Douwes
Dekker yang menulis sebuah buku yaitu Max Havelaar pada tahun 1860, dalam buku
itu diceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat tekanan pejabat
Hindia Belanda. Selain itu, seorang anggota Raad van Indie, C.Th van Deventer
membuat tulisan berjudul Een Eereschuld, yang membeberkan kemiskinan di tanah
jajahan Hindia-Belanda. Tulisan ini dimuat dalam majalah De Gids yang terbit tahun
1899. Van Deventer dalam bukunya menghimbau kepada Pemerintah Belanda, agar
memperhatikan penghidupan rakyat di tanah jajahannya. Dasar pemikiran van
Deventer ini kemudian berkembang menjadi Politik Etis.
Rupanya eksploitasi yang dilakukan oleh pihak swasta melalui kebijakankebijakan liberal yang memperbolehkan pihak swasta untuk melakukan eksploitasi di
Hindia Belanda mengakibatkan dampak yang sangat parah sekali dirasakan oleh
masyarakat dari pada sistem eksploitasi pemerintah melewati tanam paksa.
Untuk memudahkan usahanya maka dikeluarkanlah undang-undang mengenai
pertanahan. Dengan adanya undang-undang ini diatur bagaimana caranya agar usahausaha swasta dapat memperoleh tanah untuk menjalankan perusahaannya. Salah satu
undang-undang mengenai pertanahan, masalah pokok yang hendak diatasi dengan
Cultuurwet ( Undang-undang Tentang Usaha Pertanian) itu, ialah, bagaimanakah
caranya agar usaha-usaha swasta dapat memperoleh tanah untuk menjalankan
perushaannya. Bersamaan dengan upaya menata kebijakan hukum dalam soal
pertanahan dan pendayagunaanya, yang ternyata mengudang kontroversi antara
3
kepentingan untuk segera memajukan posisi orang-orang pribumi setara dengan posisi
orang-orang Eropa ( khususnya dalam usaha-usaha pertanian) dengan kepentingan
untuk melindungi orang-orang pribumi dari kemungkinan terampas milik-milik
tanahnya oleh orang-orang Eropa (uang dikatakan lebih berakal menurut ukuran saat
itu), pada dasawarsa 1860-an itu telah terpikirkan pula kebijakan-kebijakan hukum
dalam soal ketenagakerjaan. Upaya mengeluarkan perundang-undangan mengenai
tenaga kerja adalah untuk menjamin dapat diperolehnya tenaga-tenaga kerja bagi
usaha-usaha perkebuanan swasta, yang akan tampil menggantikan kulturstelsel adalah
upaya yang relative sulit dari pada upaya-upaya serupa untuk menjamin dapat
diperolehnya lahan-lahan pertanian. Berbeda dari suplai tanah yang dapat diperoleh
dari apa yang dikuasai secara de facto oleh penduduk dan masyarakat pribumi lewat
pernyataan hukum yang disebut domeinverklaring. Suplai tenaga kerja tidaklah akan
mungkin dapat diperoleh kecuali dengan cara “merebut” dan “menyita” nya dengan
suatu tindakan yang lebih nyata dari kawasan ulayat masyarakat pribumi itu. Lagi
pula, suplai tenaga manusia pada waktu itu berbeda dengan suplai tanah, suplai tenaga
manusia jauh lebih terbatas.
Kebijakan diseputar politik etik kolonial pada peralihan abad 19, yang disusul
oleh apa yang disebut destrijd om het adatrecht, yang berakhir dengan
disepakatinya kebijakan baru dalam penataan hukum kolonial yang disebut
kebijakan enlightened dualism
Seperti kita ketahui, sejak awal 1900 an, pemerintah Hindia Belanda, atas
usul Van de Venter anggota Parlemen Belanda dari Partai Buruh, menekankan
perlunya pemerintah Hindia Belanda menjalankan apa yang disebut sebagai Politik
Etis, yaitu agar dalam menjajah Indonesia hendaknya juga memperhatikan
kesejahteraan dan kemajuan sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Semacam konsep
imperialisme berakhlak. Memang setelah itu mulai ada upaya pemerintah Belanda
membuka lembaga-lembaga pendidikan. Kebijakan politik etis ini diterapkan untuk
meningkatkan taraf kehidupan masyarakat pribumi yang sedang menurun. Padahal
hasil yang diperoleh di daeah jajahan berlipat ganda sedangkan kemakmuran pada
masyarakat pribuminya sangat memprihatikan, maka untuk itu diperlukan upaya
timbal balik dengan menyisihkan sedikit keuntungan untuk memakmurkan taraf
kehidupan masyarakat pribumi.
Van Vollenhoven merupakan seorang ahli hukum, ia berperdapat bahwa
hukum adat tak perlu dihapus, karena itu merupakan cerminan masyarakat pribumi.
Dia tidak menentang unifikasi, tetapi ia berpendapat bahwa tidak mungkin mayoritas
yakni pribumi berhukum kepada hukum mayoritas yakni eropa. Kemudian de strijd
om het adatrecht ini disambung oleh muridnya yakni Ter Har yang telah berhasil
menghimpun dan menyusun konsep-konsep hukum adat.
Cara pandang Ter Harr dan Van Vollenhoven didalam hukum adat sangatlah
berbeda, kalau Ter Har memandang hukum adat dari konsep common law dan
menurutnya hukum adat itu adalah bagian dari kebijakan pengusa, sedangkan Van
Vollen hoven memandang hukum adapt ialah aturan-aturan yang harus
dikodifikasikan dan hukum adat itu adalah miliknya masyarakat. Walaupu hukum
adapt tidak terkodifikasi dan kurang mendapatkan tempat, hukum adapt telah
membawa peran yang cukup penting dalam menyelesaikan masalah-masalah serta
sengketa hukum ditengah-tengah masyarakat pribumi. Sehingga terjadinya dualisme
hukum ditengah-tengah dunia hukum di Hindia Belanda.
4
Ball menyebut dualisme hukum ini dengan enlightenen dualism, jadi hukum
adapt tetap dianggap sebagai hukum yang setara dengan hukum eropa ditanah Hindia
Belanda. Sehingga banyak yurisprudensi-yurisprudensi dari hukum adapt yang
dijadikan dasar hukum dalam memutuskan suatu masalah. Namun dipihak lain
banyak juga yang menentang terhadap hukum adapt tersebut, bagi pihak yang
kontroversi terhadap hukum adapt ini memandang bahwa apabila hukum adapt tetap
dipertahankan maka nantinya masyarakat pribumi akan tertutup dengan adanya
keterbukaan dan kemajuan zaman serta mereka memiliki pandangan bahwasanya
hukum adat melindungi kelompok pribumi saja, sedangkan di Hindia Belanda
masyarakatnya sudah demikian plural
Perkembangan kebijakan zelfbestuur bagi masa depan “Tanah Hindia”, yang
dimulai dengan diundangkannya Decentralisasi Wet 1903, yang disusul oleh
pembentukan berbagai raad di berbagai pemerintahan lokal
Banyak kewenangan yang dimiliki oleh gubernur jenderal seperti memegang
kekuasaan lgislatif di negeri kolonial, berkewenangan untuk melaksanakan peraturanperaturan yang ada, berkewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pejabatpejabat tinggi dijajaran pemerintahan kolonial, berkedudukan sebagai penglima
tertinggi angkatan darat dan angkatan laut di Hindia Belanda dan berkewenangan
untuk memberikan grasi. Untuk mendayagunakan seluruh kekuasaan dan
kewenangannya, gubernur jenderal dibantu oleh suatu organisasi pemerintahan yang
diisi oleh pejabat-pejabat yang tidak sedikit pun mempunyai kekuasaan administrative
yang mandiri, baik dipusat pemerintahan maupun didaerah-daerah. Karena besarnya
kewenangan gubernur jenderal maka sulit untuk melakukan pengawasan dan
pengontrolan sehingga pola pemerintah terksesan monopoli.
Buruknya kinerja pemerintahan kolonial sehingga mendapat kritikan yang
tajam dari kelompok-kelompok liberal yang berada di Hindia Belanda. Mereka
menuntut reformasi sistem pemerintahan yang ada, dan kemudian mereka
menginginkan agar mereka dikutsertakan dalam mengambil setiap keputusan dan
kebijakan didaerah Hindia Belanda yag disebut dengan Gewestelijk raad. Gewestelijk
raad adalah suatu dewan dimana warga Eropa dapat berbicara untuk menyuarakan isi
hatinya. Sudah tiba waktunya pemerintah membuka mata untuk melihat
perkembangan di tanah Hindia Belanda dan untuk kemudian melakukan reformasi
ketatanegaraan yang sudah harus dipandang sebagai suatu langkah yang amat
diperlukan agar kebijakan dan urusan pemerintahan tidak lagi hanya terpusat ditangan
gubernur jenderal beserta raad van indie nya.
Untuk mewujudkan upaya reformasi ketatanegaraan di Hindia Belanda maka
dikeluarkanlah Decentralisatie Wet 1903. adapun tujuan dikeluarkannya undangundang ini adalah untuk mewujudkan desentralisasi administrative didaerah-daerah
yang dimungkinkan. Yang pada pokoknya membagi wilayah Hindia Belanda kedalam
satuan-satuan daerah dan pembagian itu akan dilakukan oleh raja, bahwa
pemerintahan didaerah-daerah itu dilaksanakan oleh pejabat-pejabat tinggi yang
sebutannya akan di tentukan kemudian, bahwa gubernur jenderal akan menetapka
intruksi-intruksi berkenaan dengan hubungan para pejabat tinggi daerah itu dengan
berbagai pihak lain serta kekuasaan sipil adalah kekuasaan yang tertinggi didaerahdaerah. Melalaui desentralisasi ini suara rakyat pribumi sudah ikut diperhitungkan,
yakni dengan adanya perwakilan pribumi yang boleh duduk menjadi anggota raad.
Walaupun dari segi kekuatan politik masih belum matang, ini bisa menjadi sebagai
5
sebuah corong bagi pribumi untuk menyuarakan hak-haknya di dalam raden tersebut.
Walaupun sebagian besar anggota raad adalah dari puak eropa.
Perkembangan
hukum
di
Indonesia
yang
menyangkut
ihwal
ketatanegaraan/ketatapemerintahan sejak era pendudukan Balatentara Jepang
sampai dimaklumatkannya dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945, yang pada
rentang masa itu juga didapati tiga arus besar pemikiran dalam politik hukum
nasional yang mencoba berebut pengaruh untuk menentukan corak hukum
nasional diwaktu mendatang
Pemerintahan militer Jepang membagi 3 wilayah komando, yaitu Jawa dan
Madura, Sumatera serta Indonesia bagian timur. Untuk wilayah Jawa dan Madura
berlaku Osamu Sirei 1942 No.1, yang mengatur bahwa seluruh wewenang badan
pemerintahan dan semua hukum dan peraturan yang selama ini berlaku tetap
dinyatakan berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan militer
Jepang. Terhadap 2 wilayah lainnya juga diatur dengan peraturan yang serupa.
Kitab undang-undang dan ketentuan perundangan yang semula berlaku hanya untuk
orang-orang Belanda, kini juga berlaku untuk orang-orang Cina. Hukum adat tetap
dinyatakan berlaku untuk orang-orang pribumi. Pemrintah militer Jepang juga
menambah beberapa peraturan militer ke dalam peratuturan perundangan pidana, dan
memberlakukannya untuk semua golongan penduduk.
Namun kontribusi penting yang diberikan Jepang ialah dengan menghapuskan
dualisme tata peradilan, sehingga Indonesia hanya memiliki satu sistem peradilan.
Sebagaimana juga pada institusi pengadilan, jepang juga mengunifikasi badan
kejaksaan dengan membentuk Kensatzu Kyoku, yang diorganisasi menurut 3 tingkatan
pengadilan. Reorganisasi badan peradilan dan kejaksaan ditujukan untuk meniadakan
kesan khusus bagi golongan Eropa di hadapan golongan Asia.
Dalam situasi lebih mementingkan keperluan perangnya, pemerintah militer
Jepang tidak banyak merubah ketentuan administratif yang telah berlaku melainkan
hanya beberapa ketentuan dianggap perlu untuk dirubah. Untuk menjamin jalannya
roda pemerintahan dan penegakan tertib hukum, Jepang merekrut pejabat-pejabat dari
kalangan Indonesia untuk melaksanakan hal tersebut. Namun setelah Indonesia
berhasil merebut kemerdekaan dan berpemerintahan, banyak peraturan yang dibuat
oleh pemerintah militer Jepang dinyatakan tidak berlaku.
Setelah Jepang pergi dari Indonesia, ini merupakan kesempatan bagi Indonesia
untuk bisa memerdekakan dirinya, maka disusunlah segala sesuatu yang diperlukan
untuk memenuhi syarat sebagai sebagai negara yang merdeka dan berdaulat termasuk
didalam bidang hukum. Untuk mengisi kekososngan hukum maka hukum yang telah
berlaku sebelumnya yakni hukum peninggalan Belanda di berlakukan melalui Pasal II
aturan peralihan UUD 1945. Namun disatu sisi ada juga masukan dari kelompokkelompok ahli hukum untuk menerapkan hukum-hukum yang ada dalam konsep
mereka, seperti hukum Islam dan hukum Adat. Namun untuk memberlakukan hukum
tersebut memerlukan waktu yang lama, sedangkan kebutuhan akan hukum sangatlah
mendesak, sebab Indonesia sedang terlibat perang fisik dengan Belanda yang akan
merongrong kedaulatan negara Indonesia.
Usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan
berakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras dari dunia
internasional. Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa pertemuan
untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi, lewat perundingan Linggarjati,
perjanjian Renville, perjanjian Roem-van Roijen, dan Konferensi Meja Bundar.
6
Berdasarkan keputusan pada perundingan KMB atau konfrensi meja bundar antara
Moh. Hatta, Moh. Roem dengan Van Maarseven di Den Haag Belanda memutuskan
bahwa bentuk negara Indonesia adalah negara RIS / Republik Indonesia Serikat.
Negara republik indonesia serikat memiliki total 16 negara bagian dan 3 daerah
kekuasaan ditetapkan tanggal 27 desember 1949. Tujuan dibentuknya negara RIS
tidak lain adalah untuk memecah belah rakyat Indonesia dan melemahkan pertahanan
IndonesiaBelanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949, selang
empat tahun setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Pengakuan
ini dilakukan ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani
di Istana Dam, Amsterdam. Di Belanda selama ini juga ada kekhawatiran bahwa
mengakui Indonesia merdeka pada tahun 1945 sama saja mengakui tindakan
politionele acties (Aksi Polisionil) pada 1945-1949 adalah ilegal. Pada 5 Juli 1959
pukul 17.00, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang diumumkan dalam upacara
resmi di Istana Merdeka. Dengan dikeluarkan dekrit tersebut Indonesia kembali ke
UUD 1945 dan semua peraturan-peraturan hukum dan bentuk negara kembali kepada
semula yakni kesatuan Republik Indonesia.
Kebijakan pembangunan hukum pada era orde baru yang mengintroduksikan
kebijakan baru dalam pembangunan hukum nasional yang mendasarkan diri
pada konsep law is a tool of social engineering.
Kebijakan pembangunan hukum dimasa Orde baru ditujukan untuk melakukan
pembangunan di bidang Ekonomi. Hukum dijadikan sarana dan prasarana untuk
menumbuhkan pembangunan ekonomi di Indonesia. Hukum jangan sampai
menghambat pembangunan Ekonomi. Pada masa ini hukum memang dibentuk untuk
merekayasa kehidupan sosial masyarakat. Kekusaan pemerintahan yang sedemikian
besar itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh keluarga istana. Selama lebih dari 32
tahun Orde Baru berkuasa, hukum telah menjadi instrumen untuk memperkaya
kekuasaan. Dominasi para "konglomerat hitam" yang mengitari istana ketika itu telah
melahirkan sejumlah produk hukum yang justru melegalisasi praktik-praktik KKN
dan monopoli bisnis keluarga Soeharto.
Di bidang ekonomi, misalnya, betapa banyak keppres yang melegalisasi
praktik-praktik monopolistik. Kasus-kasus seperti monopoli cengkih yang
menyengsarakan petani, proyek jalan tol yang terlaksana tanpa tender yang fair, mobil
Timor yang kontroversial, hingga pada kasus ruilslag tanah Bulog yang melibatkan
Tomy, putra bungsu Soeharto, telah menjadi fakta sejarah betapa hukum pada masa
itu telah menjadi instrumen untuk memperkaya kekuasaan. Karena itu, jika pada masa
Orde Lama politik adalah panglima, pada masa ini ekonomi menjadi panglimanya.
Hukum pada zaman ini memang dijadikan alat untuk merekaraya masyarakat.
Tujuan yang hendak dicapai pada zaman orde baru ini ialah pemabngunan ekonomi.
Jadi hukum harus dijadikan sarana untuk memajukan pembangunan ekonomi bukan
malah sebaliknya, hukum jangan dijadikan penghambat pembangunan ekonomi. Jadi
hukum pada zaman ini tadak memfokuskan pada bidang lainnya sehingga sering
mengkaburkan nilai-nilai keadilan, asas-asas moral dan wawasan kearifanyang
sebenarnya. Sehingga tibulnya gerakan-gerakan untuk menuntut hak asasi manusia
Ide law as a tool of social engineering ditujukan secara selektif untuk
memfungsikan hukum guna merekayasa kehidupan ekonomi nasional saja, dan tidak
berpretensi akan sanggup merekayasa masyarakat dalam seluruh aspek kehidupannya.
Ide ini tentu saja bersesuaian benar dengan kepentingan pemerintah orde baru, karena
7
ide untuk mendahulukan pembangunan hukum yang gayut dengan ranah netral, yang
juga hukum ekonomi, tanpa melupakan hukum tatanegara.
Dengan memfungsikan hukum untuk kepentingan pembangunan ekonomi
(kehendak kepentingan industrialisasi masyarakat modern) oleh faham “ hukum
sebagai sarana perekayasa social” begitu pula ide pendayagunaan hukum masuk
sebagai kebijakan pemerintah dengan upaya melakukan survai untuk
menginvestasikan dan meletakkan keadan hukum yang telah atau belum ada untuk
kepentingan aktivitas ekonomi, yang kemudian bermanfaat untuk menentukan
kebijakan perundang-undangan yang telah direncanakan dalam rancangan
pembangunan lima tahun kedua. Pembangunan hukum nasional dengan cara
mengembangan hukum baru atas dasar prinsip yang diterima dalam kehidupan
Internasional, dimana ada dua pihak ahli hukum yang tidak setuju, yaitu harus ada
kontinuitas perkembangan hukum (kolonial) menuju hukum nasional dimana Hukum
nasional harus berakar yaitu hukum adat.
Jelasnya bahwa pendayagunaan hukum untuk kepentingan pembangunan
Indonesia adalah dengan hukum yang telah diakui dan berkembang dikalangan bisnis
Internasional (berasal dari hukum dan praktek bisnis Amirika), Para ahli hukum
praktek, mempelajari hokum eropa (belanda) dimana mochtar berpengalaman luas
dalam unsur-unsur hukum dan bisnis Internasional, melakukan pengembangan hokum
nasional Indonesia dengan dasar hukum kolonial yang dikaji ulang berdasarkan
Grundnom Pancasila adalah yang dipandang paling logis.
Hukum Kolonial secara formil masih berlaku dan sebagian kaidah-kaidahnya
masih merupakan hukum positif Indonesia berdasarkan ketentuan peralihan, terlihat
terjadi pergerakan kearah pola-pola hukum eropa(belanda). Telihat adanya adopsi dari
hukum adat, hukum Amirika atau hukum Inggris, akan tetapi konfigurasinya/pola
sistemiknya yang eropa tidak dapat dibongkar, hukum tata niaga atau hukum dagang
(Handels recht Vav koophandel membedakan hukum sebagai perekayasa social atau
hukum ekonomi. Dalam Weyboek Van Koohandel terdapat pula mengatur leasing,
kondominium dan Universitas Padjadjaran melihat masalah hukum perburuhan,
agraria, perpajakan dan pertambangan masuk kedalam hukum ekonomi. Terutama
pada hukum dagang (belanda) yang dikualifikasikan sebagai hukum privat (perdata),
sedangkan hukum ekonomi berunsurkan kepada tindakan publik-administratif
pemerintah, oleh karenanya hukum dagang untuk mengatur mekanisme ekonomi
pasar bebas dan hukum ekonomi untuk mengatur mekanisme ekonomi berencana.
Keberadaan hukum adat tidak pernah akanmundur atau tergeser dari percaturan
politik dalam membangun hukum nasional, hal terlihat dari terwujudnya kedalam
hukum nasional yaitu dengan mengangkat hukum rakyat/hukum adat menjadi hukum
nasional terlihat pada naskah sumpah pemuda pada tahun 1928 bahwa hukum adat
layak diangkat menjadi hukum nasional yang modern (soepomo). Di masa Orde Baru
pencarian model hukum nasional adalah untuk memenuhi panggilan zaman dan untuk
dijadikan dasar-dasar utama pembangunan hukum nasional., dimana mengukuhkan
hukum adat akan berarti mengukuhan pluralisme hukum dan tidak berpihak kepada
hukum nasional yang diunifikasikan (dalam wujud kodifikasi). Dan ide kodifikasi dan
unifikasi diprakasai kolonial yang berwawasan universalistis, dimana hukum adat
adalah hukum yang memiliki perasaan keadilan masyarakat lokal yang pluralistis,
dengan mengingat bahwa hukum kolonial dianggap sangat bertentangan dengan
hukum adat adalah merupakan tugas dan komitmen Pemerintah Orde Baru untuk
melakukan unifikasi dan kodifikasi kedalam hukum nasional tersebut.
8
9
Download