Pengantar Ilmu Ekonomi Nama : Lisa Purnitasari NPM

advertisement
Pengantar Ilmu Ekonomi
Nama : Lisa Purnitasari
NPM : 1325010020
1. perekonomian indonesia di era sebelum orde baru
A. Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Pada masa pasca ini Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal
kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh Inflasi yang
sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang
secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu
pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI,
yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia
Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6
Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East
Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di
daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946,
pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang
Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori
moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi
kenaikan tingkat harga.
Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945
untuk menutup pintu perdagangan luar negri RI. Kas negara kosong.
Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.Usaha-usaha yang
dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir.
Surachman denganpersetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli
1946. Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India,
mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan
menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura
dan Malaysia.
Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh
kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah
ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi
makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunanperkebunan.
Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari
1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948
mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang
produktif. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada
pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan
swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik
(Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
B. Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem
ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian
diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang
menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi
masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi,
terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya
memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
a. Masalah yang dihadapi tahun 1945 – 1950
1.
Rusaknya prasarana-prasarana ekonomi akibat perang
2.
Blokade laut oleh Belanda sejak Nopember 1946 sehingga
kegiatan ekonomi ekspor-impor terhenti.
3.
Agresi Belanda I tahun 1947 dan Agresi belanda II tahun
4.
Dimasyarakat masih beredar mata uang rupiah Jepang
1948.
sebanyak 4 miliar rupiah (nilainya rendah sekali). Pemerintah RI
mengeluarkan mata uang “ORI” pada bulan Oktober 1946 dan rupiah
Jepang diganti/ ditarik dengan nilai tukar Rp 100 (Jepang) = Rp 1 (ORI).
5.
Pengeluaran yang besar untuk keperluan tentara, menghadapi
Agresi Belanda dan perang gerilya. (Suroso, 1994).
2. Masalah yang dihadapiTahun 1951 – 1959
Silih bergantinya kabinet karena pergolakan politik dalam negeri.
2.
Defisit APBN yang terus meningkat yang ditutup dengan
mencetak uang baru.
3.
Tingkat produksi yang merosot sampai 60% (1952), 80% (1953)
dibandingkan produksi tahun 1938.
4.
Jumlah uang beredar meningkat dari Rp 18,9 miliar (1957)
menjadi Rp 29,9 miliar (1958) sehingga inflasi mencapai 50%.
5.
Ketegangan dengan Belanda akibat masalah Irian Barat
menyebabkan pengambilalihan perusahaan[erusahaan asing (Barat).
Sementara itu di daerah-daerah terjadi pergolakan yang mengarah
disintergrasi, seperti Dewan Banteng, Permesta, PRRI (Suroso, 1994).
Selama periode 1949-1956, struktur ekonomi Indonesia masih
peninggalan zaman kolonialisasi. Sektor formal/ modern, seperti
pertambangan, distribusi, transpor, bankdan pertanian komersil, yang
memiliki kontribusi lebih besar dari pada sektor informal/ tradisional
terhadap output nasional, didominasi oleh perusahaan-perusahaan
asing yang kebanyakan berorientasi ekspor komoditi primer (Tulus
Tambunan, 1996).
a.
Rencana dan Kebijaksanaan Ekonomi
Memang sebelum pemerintahan Soeharto, Indonesia telah memiliki
empat dokumen perencanaan pembangunan, yakni :
1)
Rencana dari Panitia Siasat Pembangunan Ekonomi yang
diketuai Muhammad Hatta (1947).
2)
Rencana Urgensi Perekonomian (1951) – yang diusulkan
oleh Soemitro Djojokusumo.
3)
Rencana Juanda (1955) – Rencana Pembangunan Lima
Tahun I meliputi kurun waktu 1956-1960.
4)
Rencana Delapan tahun “Pembangunan Nasuional
Semesta Berencana” pada masa demokrasi terpimpin ala Soekarno
(Didin S. Damanhuri,…..)
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
-
Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950,
untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
-
Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menunbuhkan wiraswastawan
pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan
perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan
memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan
kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi
dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat
pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan
pengusaha non-pribumi.
-
Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember
1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank
sirkulasi.
-
Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr
Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina
dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan
latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit
dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan
dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga
hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
-
Pembatalan sepihak atas hasil-hasil KMB, termasuk pembubaran Uni
Indonesia-Belanda.Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual
perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa
mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.
Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan
sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem
etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan
akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial,
politik,dan ekonomi (Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan
ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki
keadaan ekonomi Indonesia
Masalah yang dihadapi
1.
Selama Orde Lama telah terjadi berbagai penyimpangan, dimana ekonomi
terpimpin yang mula-mula disambut baik oleh bung Hatta, ternyata berubah
menjadi ekonomi komando yang statistik (serba negara). Selama periode 1959 –
1966 ini perekonomian cepat memburuk dan inflasi merajalela karena politik
dijadikan panglima dan pembangunannnn ekonoi disubordinasikan pada
pembangunan politik. (Mubyarto, 1990).
2.
Ada hubungan yang erat antara jumlah uang yang beredar dan tingkat harga
(Stephen Genville dalam Anne Booth dan McCawley, ed., 1990).
3.
Tahun 1960-an cadangan devisa yang sangat rendah mengakibatkan
timbulnya kekurangan bahan mentah dan suku cadang yang masih harus diimpor
dan diperkirakan dalam tahun 1966 sektor industri hanya bekerja 30% dari
kapasitas yang ada (Peter McCawley dalam Anne booth dan Peter McCawley, ed.,
1990).
3. MASA PEMBANGUNAN EKONOMI (1983 – 1987)
- Harga minyak mencapai US$ 35.00/ per barrel (1981 – 1982), menurun lagi
menjuadi US$ 29.53/ barrel (1983 – 1984) dan tahun-tahun berikutnya harga
berfluktuasi tidak menentu. Sejak tahun 1983 perekonomian Indonesia memasuki
masa Pasca Oil Boom (Pasca Bonanza Minyak)
- Tahun 1986 terjadi goncangan ekonomi akibat merosotnya harga minyak sampai
titik terendah US$ 9,83/ barrel. Program refromasi ekonomi (pemulihan) mulai
menampakkan hasil pada tahun 1998.
Dampak turunnya harga minyak :
1)
Penerimaan migas dari hasil ekspor menurun 2,0% menjadi US$ 14.449 juta
(1983/1987) dan menurun lagi 44,0% menjadi US$ 6.966 juta (1986/1987).
2)
Defisit transaksi berjalan meningkat dari US$2..888 juta menjadi US$4.151
juta (1983/1984) dan meningkat lagi dari US$1.832 juta menjadi US$ 4.051 juta
(1986/1987).
Rencana dan Kebijaksanaan Pemerintah
Masa Pasca Oil Boom terjadi pada tahun ke-5 PELITA III (1983/1984) sampai
tahun ke-3 PELITA IV (1986/1987).
Kebijaksanaan tahun 1983 – 1984 :
1)
Devaluasi Rupiah terhadap US Dollar (US$ 1 = Rp 702 menjadi US$ = Rp
970) untuk memperkuat daya saing.
2)
Menekan pengeluaran pemerintah dengan pengurangan subsidi dan
penangguhan beberapa proyek pembangunan
3)
Kebijaksanaan moneter perbankan 1 Juni 1983 (PAKJUN 1983)
4. KEGIATAN EKONOMI MEMANAS (OVERHEATED) SEJAK 1990
-
Ekspansi kegiatan ekonomi selama tahun-tahun 1989-1991 ada
sangkut pautnya dengan kebijaksanaan deregulasi pemerintah, yang sudah
mulaid ilaksanakan secara bertahap sejak tahun 1983. Rangkaian tindakan
deregulasi di atas memberi dorongan kuat terhadap kegiatan dunia swasta,
yang beberapa tahun terakhir ini telah menjadi faktor penggerak dalam
ekspansi ekonomi.
-
Ekspansi ekonomi di atas telah disertai oleh ekspansi moneter yang
besar, sebagai akibat naiknya permintaan domestik (domestic demand)
yang mencakup tingkat investasi maupun tingkat konsumsi. Ekspansi
ekonomi yang ditandai oleh laju pertumbuhan pesat selama tiga tahun
berturut-turut ini dianggap terlalu panas (overheated) dari sudut kestabilan
keuangan moneter (Soemitro Djojokusumo, 1993).
Masalah-masalah yang dihadapi
-
Kecenderungan terjadinya ekspansi ekonomi berbarengan dengan ekspansi
moneter, sehingga ekonomi memanas (overheated) jika dibiarkan berlangsung
terus akan membahayakan kestabilan ahrga dalam negeri dan melemahkan
kedudukan negara kita dalam hubungan ekonomi internasional (khususnya
dibidang neraca pembayaran luar negeri).
5. PELITA V (1987/1988 – 1989/1990) dan ekonomi memanas ini
berlangsung terus sepanjang PELITA V (1989/1990 – 1993/1994)
Kondisi ekonomi yang memanas perlu didinginkan dengan kebijaksanaan uang
ketat.
-
Kebijaksanaan uang ketat (TMP = tight money policy)
Untuk “mendinginkan” kondisi ekonomi yang terlalu panas dilakukan
kebijaksanaan fiskal dan moneter/ perbankan :
1)
Meningkatnya penerimaan dalam negeri : Rp 28.73 triliun (1989/1990), Rp
39,54 triliun (1990/1991), Rp 41,58 triliun (1991/1992)
2)
Moneter / perbankan :
c)
Membatasi kredit bank melalui politik diskonto (suku bunga) didukung
operasi pasar terbuka dengan instrument SBI dan SBPU.
d)
Mengawasi likuiditas bank melalui ketentuan LDR (Loan to Deposit Ratio)
dann CAR (Capital Adequacy Ratio).
Dampak TMP : pertumbuhan ekonomi menurun dari 6,6% (1991) menjadi 6,3%
(1992) dan inflasi menurun dari 9,5% (1991) menjadi 4,9% (1992). (Soemitro
Djojohadikusumo, 1993: angka-angka : Nota Keuangan dan Rancangan APBN
1994/1995).
6. KEGIATAN EKONOMI INDONESIA MENJADI OVERLOADED
TAHUN 1996
-
Pertumbuhan jumlah uang beredar (M2), meningkatnya inflasi,
investasi, kredit bank dan kuatnya arus modal luar negeri, terutama yang
bersumber dari hutang swasta luar negeri serta defisit transaksi berjalan
yang makin membengkak, menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi
Indonesia berlangsung melampaui daya dukung (kemampuan) yang ada
(Laporan tahunan B.I. 1995/1996).
-
Hal ini menunjukkan, bahwa kondisi ekonomi yang overheated
sejak tahun 1990, mulai tahun 1995/1996 menjadi overloaded, karena :
1)
Meningkatnya permintaan domestik tidak diimbangi dengan
kemampuan menambah penawaran, sehingga harga-harga meningkat
2)
Maraknya kegiatan investasi maupun konsumsi, mendorong
permintaan kredit perbankan yang tidak diimbangi pertambahan dana bank
menyebabkan naiknya tingkat suku bunga pinjaman.
3)
Melebarnya selisih suku bunga dalam dan luar negeri, mendorong
masuknya modal luar negeri terutama hutang swasta, sehingga beban
angsuran hutang luar negeri meningkat.
4)
Bersamaan dengan meningkatnya impor non migas yang tidak
diimbangi dengan peningkatan ekspor non migas, menyebabkan defisit
transaksi berjalan makin membengkak
Rencana dan Kebijaksanaan Pemerintah
Hingga awal tahun 1997 dapat dikatakan bahwa hampir semua orang, di
Indonesia maupun dari badan-badan dunia seperti Bank Dunia, IMF dan
ABD tidak menduga bahwa beberapa negara di Asia akan mengalami
suatu krisis moneter atau ekonomi yang yang sangat besar sepanjang
sejarah dunjia sejak akhir perang dunia kedua. Walaupun sebenarnya sejak
tahun 1995 ada sejumlah lembaga keuangan dunia (IMF dan Bank Dunia)
sudah beberapa kali memperingati Thailand dan Indonesia bahwa ekonomi
kedua negara tersebut sudah mulai memanas (overheating economy) kalau
dibiarkan terus (tidak segera didinginkan) akan berakibat buruk (Tulus
Tambunan, 1998).
. Ketika liberalisasi sistem perbankan diberlakukan pada pertengahan
tahun 1980-an, mekanisme pengendalian dan pengawasan dari pemerintah
tidak efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor
perbankan. Yang lebih parah, hampir tidak ada penegakan hukum terhadap
bank-bank yang melanggar ketentuan, khususnya dalam kasus
peminjaman ke kelompok bisnisnya sendiri, konsentrasi pinjaman pada
pihak tertentu, dan pelanggaran kriteria layak kredit. Pada waktu yang
bersamaan banyak sekali bank yang sesunguhnya tidak bermodal cukup
(undercapitalized) atau kekurangan modal, tetapi tetap dibiarkan
beroperasi.
dan juga adanya isu tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi
persoalan ekonomi, Hill (1999) menulis bahwa banyaknya pihak yang
memiliki vested interest dengan intrik-intrik politiknya yang menyebar ke
mana-mana telah menghambat atau menghalangi gerak pemerintah, untuk
mengambil tindakan tegas di tengah krisis. Jauh sebelum krisis terjadi,
investor asing dan pelaku bisnis yang bergerak di Indonesia selalu
mengeluhkan kurangnya transparansi, dan lemahnya perlindungan maupun
kepastian hukum. Persoalan ini sering dikaitkan dengan tingginya “biaya
siluman” yang harus dikeluarkan bila orang melakukan kegiatan bisnis di
sini. Akhirnya semua itu berkembang menjadi “krisis kepercayaan” yang
ternyata menjadi penyebab paling utama dari segala masalah ekonomi
yang dihadapi pada waktu itu. Akibat krisis kepercayaan itu, modal yang
dibawa lari ke luar tidak kunjung kembali, apalagi modal baru.
perkembangan situasi politik juga mempengaruhi krisis ekonomi karena
telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya
memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri. Faktor ini merupakan hal
yang paling sulit diatasi. Kegagalan dalam mengembalikan stabilitas
sosial-politik telah mempersulit kinerja ekonomi dalam mencapai
momentum pemulihan secara mantap dan berkesinambungan.
Kemungkinan masih Besar
Walaupun ekonomi mulai membaik, kesejahteraan masyarakat, yang salah
satunya bisa diukur dengan jumlah orang yang
hidup dibawah garis kemiskinan tidak menunjukkan perbaikan yang
signifikan. Bahkan setelah sempat menurun tahun 2000 (dibandingkan
pada era krisis), jumlah orang miskin cenderung meningkat kembali, dan
hingga Maret 2006 tercatat sekitar 39 juta jiwa, atau hampir 17,8 persen
dari jumlah populasi . Jika angka resmi yang dikeluarkan oleh Biro Pusat
Statistik (BPS) tersebut memang akurat, kenaikan tingkat kemiskinan
tersebut menandakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang membaik sejak
tahun 2000 sama sekali tidak berdampak positif terhadap pengurangan
kemiskinan.
Sebagian besar dari jumlah orang miskin di Indonesia terdapat di
perdesaan, dan struktur kemiskinan ini mencerminkan
pembangunan ekonomi yang timpang selama ini. Dalam kata lain,
pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama era Orde Baru
dan ekonomi yang membaik pasca krisis tersebut lebih banyak dinikmati
oleh masyarakat perkotaan. Kesempatan kerja,
khususnya di sektor-sektor yang menghasilkan nilai tambah dan
pendapatan/gaji tinggi seperti industri, konstruksi,
perbankan dan perdagangan modern jauh lebih besar di perkotaan daripada
di perdesaan. Di perdesaan kesempatan kerja
masih didominasi oleh sektor pertanian yang menghasilkan nilai tambah
dan upah relatif rendah.
Perttumbuhan perekonomian Indonesia dilaporkan melambat pada
triwulan ke-2 tahun 2013. Pertumbuhan ekonomi yang semula sudah
mencapai level 6,3 persen, kini justeru menuju pada 5,9 persen.
Melambatnya pertumbuhan perekonomian dalam negeri tersebut kata
Wakil Menteri Keuangan II Mahendra Siregar harus direspon cepat baik
oleh pemerintah maupun dunia usaha. Jangan sampai melambatnya
pertumbuhan ekonomi akan terus berlanjut dan menimbulkan dampak
lebih besar bagi kesejahteraan penduduk.
“Taruhannya sangat besar jika kita gagal merespon dan mengambil
tindakan penyelamatan,” papar Mahendra Siregar disela diskusi Law &
Business Forum 2013 dengan tema sistem perpajakan dan kepastian
berusaha yang diselenggarakan Media Group, Selasa (27/8).
Kementerian Keuangan dikatakan Mahendra sudah menelorkan empat
kebijakan untuk merespon melambatnya pertumbuhan ekonomi tersebut.
Empat paket kebijakan tersebut meliputi penetapan pajak barang mewah
lebih tinggi untuk mobil CBU dan barang-barang impor bermerek dari
rata-rata 75% menjadi 125% hingga 150%.
Lalu paket kedua pemerintah memberikan insentif kepada industri padat
karya, termasuk keringanan pajak. Paket ketiga pemerintah berkoordinasi
dengan BI menjaga gejolak harga dan inflasi.. Dan paket keempat
pemerintah akan mengefektifkan sistem layanan terpadu satu pintu
perizinan investasi.
Paket-paket kebijakan tersebut diharapkan bisa menyelamatkan
perekonomian Indonesia ditengah makin memburuknya perekonomian
global.
Menurut Mahendra, tahun 2014 Indonesia akan memasuki tahun politik
diselenggarakannya pemilu. Tingkat kesulitan ekonomi yang mengemuka
di tengah pemilu tentu memiliki resiko tinggi. Tidak hanya dari sisi
penurunan pertumbuhan hingga penurunan penciptaan lapangan kerja, tapi
juga keseluruhan momentum reformasi.
Menurut Sofyan Wanandi, Ketua Apindo, untuk menyelamatkan
perekonomian Indonesia, pajak menjadi salah satu solusi yang bisa
dilakukan pemerintah saat ini. “Maksimalkan penarikan pajak terutama
pada obyek pajak yang selama ini belum tergarap,” katanya.
Ia mengaku sudah mengajak para pengusaha agar menyelesaikan
kewajiban pajaknya mengingat dalam kondisi apapun pembangunan
Negara harus terus berlanjut.
“Pajak dalam kondisi seperti apapun harus dipenuhi karena pembangunan
negara harus terus berlanjut,” katanya.
Sementara itu Prof. Ariawan Gunadi pakar hukum pajak UI mengatakan
untuk memaksimalkan penerimaan pajak, tugas pemerintah adalah
meyakinkan kepada setiap wajib pajak dengan menciptakan system yang
protektif yang bisa melindungi wajib pajak dari tuntutan hukum. Jangan
sampai sanksi yang diberikan kepada mereka yang tidak membayar pajak,
sama dengan mereka yang melakukan kesalahan adminsitratif saat
melunasi pajak.
“Peraturan tentang pajak jangan sampai menimbulkan multi tafsir
sehingga tidak membuat orang ketakutan untuk membayar pajak,”
pungkasnya. (inung/d)
Sumber :
-
http://herlinamayangsari.blogspot.com/2012/04/perekonomianindonesia-di-era-sebelum.html
-
http://www.kadin-indonesia.or.id/enm/images/dokumen/KADIN-982740-14042008
-
http://putracenter.net/2009/02/10/4-penyebab-krisis-ekonomiindonesia-tahun-1997-1998-apakah-akan-terulang-pada-krisisekonomi-sekarang/
-
http://karimahpatryani.wordpress.com/2011/02/19/perekonomianindonesia-1995-2000/
-
http://www.poskotanews.com/2013/08/28/melambat-pertumbuhanekonomi-indonesia-pada-triwulan-ke-2-tahun-2013/
Download