terms of reference (tor)

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
UUD 1945 Pasal 28 H (amandemen kedua) menyatakan bahwa:
“Setiap
orang
berhak
atas
jaminan
pengembangan
dirinya
secara
utuh
sosial
yang
sebagaimana
memungkinkan
manusia
yang
bermartabat”, dan Pasal 34 – ayat 2 (amandemen keempat) menyatakan
bahwa: “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh
rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu
sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Di samping itu, Ketetapan MPR RI
No. X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh
Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 juga
menugaskan kepada Presiden untuk membentuk sistem jaminan sosial
nasional
dalam rangka memberi
perlindungan
sosial
yang lebih
menyeluruh dan terpadu.
Pada tahun 2004, DPR telah mensahkan UU No. 40 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU tersebut mengatur jaminan sosial
dengan pendekatan skema asuransi yang mewajibkan bagi pekerja formal
untuk mengikuti jaminan sosial pada aspek jaminan kesehatan, jaminan
kecelakaan kerja, pemutusan hubungan kerja, jaminan hari tua dan
pensiun serta jaminan kematian.
Sejak tahun 2002 Direktorat Kependudukan dan Pemberdayaan
Perempuan
Bappenas
(sebelumnya:
Direktorat
Kependudukan,
Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Perempuan) telah melakukan
1
kajian awal mengenai sistem perlindungan dan jaminan sosial yang pada
intinya berupaya untuk menuju ke arah pembentukan suatu Sistem
Perlindungan dan Jaminan Sosial (SPJS) yang ditujukan untuk seluruh
rakyat Indonesia. Pada tahun 2003 juga melakukan kajian SPJS dengan
keluaran suatu rekomendasi “Desain Sistem Perlindungan Sosial yang
terpadu”. Pada tahun 2004 dilanjutkan dengan melakukan kajian Sistem
Perlindungan Sosial termasuk strategi pelaksanaannya khusus bagi
penduduk miskin. Dalam implementasi sistem SPS tersebut, pemerintah
dan masyarakat (melalui kearifan lokal) diharapkan dapat bersama-sama
menanggung pendanaan sistem tersebut. Kajian tersebut menyusun
strategi dan kebijakan perlindungan sosial, prioritas pelayanan, serta
skema bantuan sosial bagi penduduk miskin.
Selanjutnya, pada tahun 2004, Bappenas memperoleh bantuan
teknis melalui dana hibah dari Asian Development Bank (ADB) yaitu
Sustainable Sosial Protection Technical Assistance – SSPTA. Tujuan SSPTA
adalah untuk membantu Pemerintah menyiapkan kerangka kebijakan
dalam rangka pengembangan sistem perlindungan sosial yang terintegrasi,
dengan berfokus pada penduduk miskin dan rentan. Keluaran yang
diharapkan termasuk kebijakan jangka menengah dan jangka panjang,
strategi, intervensi, dan pendekatan-pendekatan yang sesuai dengan
prinsip desentralisasi.
Upaya tersebut dilanjutkan pada tahun 2005 dengan melanjutkan
kajian sistem perlindungan sosial tetapi dengan fokus bagi penduduk
rentan. Dalam kajian ini akan dilakukan identifikasi penduduk rentan.
Secara umum penduduk rentan dimaksudkan sebagai penduduk yang
hampir miskin (near poor). Karakteristik penduduk rentan seperti itu
memerlukan perlindungan sosial karena ada risiko-risiko sosial dan
2
ekonomi yang dapat mengakibatkan penduduk rentan menjadi miskin.
Kebijakan dan strategi perlindungan sosial bagi penduduk rentan
mencakup tiga aspek yaitu:
-
mengefektifkan berbagai program bantuan sosial yang telah dan
layak secara ekonomis dilakukan oleh pemerintah;
-
mempertahankan dan mengembangkan kearifan lokal; dan
-
memperkuat dukungan keluarga dan masyarakat.
Melalui kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada
para pengambil kebijakan dalam menentukan arah Pengembangan Sistem
Perlindungan Sosial (SPS), khususnya skema jaminan sosial bagi penduduk
rentan.
1.2 Tujuan
Tujuan umum studi ini adalah memberikan rekomendasi tentang
Sistem Perlindungan Sosial (SPS), khususnya bagi penduduk rentan yang
dapat dan harus segera dilakukan dalam rangka mencegah penduduk
rentan menjadi miskin akibat kejadian yang timbul seperti sakit,
kehilangan pekerjaan, atau perubahan lingkunan ekonomi. Namun karena
pada dasarnya sistem perlindungan sosial sifatnya adalah menyeluruh bagi
semua penduduk maka uraian tentang sistem perlindungan sosial dalam
kajian ini tetap memperhatikan aspek keseluruhan penduduk, dengan
memberikan penekanan terhadap penduduk rentan.
Secara khusus studi ini bertujuan untuk:
(a) Menelaah konsep penduduk rentan;
(b) Menelaah kebijakan perlindungan sosial baik dalam bentuk
jaminan sosial secara luas, termasuk bantuan sosial, utamanya
terkait dengan penduduk rentan;
3
(c) Menelaah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
perlindugan sosial bagi penduduk rentan;
(d) Merumuskan dan merekomendasikan kebijakan dan programprogram perlindungan sosial dalam rangka mencegah dan
melindungi penduduk rentan dari kehidupan yang lebih buruk;
dan
(e) Melakukan sosialisasi SPS bagi Penduduk Rentan di beberapa
kabupaten/kota.
1.3 Metodologi
a. Metode
Penulisan Sistem Perlindungan Sosial bagi Penduduk Rentan ini
dilaksanakan setelah dilakukan beberapa metode kajian antara lain berupa
studi literatur dan diskusi kelompok terbatas (focus group discussion, FGD).
Selanjutnya hasil studi literatur tersebut dikombinasikan dengan hasil focus
group discussion (FGD) yang dilakukan secara bertahap.
Agar hasil studi ini juga sesuai dengan kondisi di daerah maka
konsep yang telah disusun melalui studi literatur dan FGD di tingkat pusat
juga didiskusikan melalui FGD di tingkat daerah (kabupaten/kota). Dengan
demikian diharapkan apa yang dihasilkan dalam studi ini juga
mempertimbangkan
kabupaten/kota.
Hal
aspek
ini
pengelolaan
penting
apalagi
kebijakan
jika
di
dikaitkan
tingkat
dengan
desentralisasi dan otonomi daerah yang selama ini telah berlangsung.
b. Tahap Kegiatan
-
Melakukan pengumpulan bahan berkaitan dengan kemiskinan,
penduduk rentan, dan perlindungan sosial;
-
Melakukan
identifikasi
kriteria
penduduk
rentan
dan
penyusunan indikator tentang penentuan sasaran penerima
4
manfaat (target beneficiary) dan monitoring untuk penduduk
rentan miskin;
-
Melakukan penyusunan Draf Kajian SPS Rentan;
-
Melakukan serangkaian Focused Group Discussion (FGD);
-
Melakukan penulisan draft laporan;
-
Melakukan
lokakarya
dan
sosialisasi
di
beberapa
kabupaten/kota terpilih. Tujuan dari lokakarya di daerah adalah
untuk mendapatkan masukan yang lebih utuh mengenai:
a. Program dan kegiatan yang telah dan akan dilaksanakan
atau direncanakan oleh pemerintah daerah yang berkaitan
dengan perlindungan sosial bagi penduduk rentan; dan
b. Sistem atau skema-skema “partisipasi masyarakat” yang
telah berkembang di masyarakat untuk memberikan
perlindungan sosial bagi penduduk rentan di sekitarnya.
Sasaran yang akan dihasilkan melalui lokakarya ini adalah
terumuskannya bahan rekomendasi kebijakan publik tentang Sistim
Perlindungan Sosial khususnya bagi penduduk rentan, dan – yang lebih
penting lagi sesuai dengan era desentralisasi – kerangka kebijakan daerah
(kabupaten/kota) termasuk hal-hal yang berkaitan dengan kearifan lokal.
5
BAB II
KONSEP DAN DATA PENDUDUK RENTAN
2.1 Konsep Penduduk Rentan
Konsep penduduk rentan (vulnerable people) tidak terlepas dari
konsep penduduk miskin karena pengertian rentan disini adalah rentan
menjadi miskin. Konsep penduduk rentan pada dasarnya mengacu pada
konsep risiko, yaitu risiko seseorang yang saat ini tidak miskin dan di
kemudian hari akan jatuh menjadi miskin jika terjadi peristiwa yang dapat
menurunkan
derajat
sosial
ekonomi
mereka.
Sebagaimana
sudah
dikemukakan pada studi sebelumnya bahwa miskin disini diartikan
sebagai
ketidakmampuan
ekonomis
seseorang
dalam
memenuhi
kebutuhan dasar fisiknya (baik kebutuhan makanan maupun non
makanan). Dengan demikian penduduk rentan dapat diartikan sebagai
penduduk yang memiliki risiko akan menjadi miskin (secara ekonomis
tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar fisiknya) akibat berbagai
peristiwa yang mereka alami.
Dalam kaitan kebijakan perlindungan sosial, analisis terhadap
penduduk rentan ini penting dilakukan untuk mengetahui seberapa besar
sebenarnya penduduk yang memiliki risiko menjadi miskin yang perlu
dicakup dalam kebijakan perlindungan sosial. Dengan mengetahui
seberapa besar penduduk rentan, maka dapat dilakukan langkah-langkah
untuk merumuskan kebijakan perlindungan sosial, baik dari sisi program
maupun pendanaannya.
Risiko seseorang menjadi miskin disebabkan oleh berbagai faktor
baik individual, sosial maupun faktor alamiah. Secara umum seseorang
dapat menjadi miskin karena penghasilan (income) mereka mendadak
6
berkurang dalam jumlah yang signifikan jauh melebihi nilai pengeluaran
kebutuhannya, atau pengeluarannya yang meningkat tinggi secara
signifikan jauh melebihi
penghasilan
yang selama ini
diperoleh.
Singkatnya, guncangan finansial (financial shock) baik dari sisi penghasilan
maupun dari sisi pengeluaran akan mengakibatkan seseorang jatuh miskin.
Adapun faktor-faktor risiko yang mempengaruhi
seseorang
menjadi miskin antara lain hilangnya atau berkurangnya penghasilan atau
pendapatan (baik karena PHK, rugi atau pailit usahanya, jatuh sakit berat,
dan sebagainya), hilangnya atau berkurangnya aset yang dimiliki (akibat
bencana alam maupun bencana sosial), atau meningkatnya pengeluaran
(akibat tingginya biaya kesehatan, kecelakaan dan sebagainya). Jika
seseorang tidak lagi memiliki pendapatan maka dalam jangka waktu
tertentu besar kemungkinan orang tersebut akan jatuh miskin, tidak lagi
mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Pekerja yang di-PHK dan dalam
jangka waktu tertentu tidak lagi memiliki penghasilan akan berisiko
menjadi miskin. Demikian pula pengusaha, pedagang, atau petani yang
usahanya bangkrut atau gagal panen, tidak lagi mampu melunasi hutanghutangnya juga dapat berisiko menjadi miskin. Para korban bencana alam
baik karena gempa bumi, banjir, kebakaran dan sebagainya dapat tiba-tiba
menjadi miskin karena aset-aset yang dimiliki hilang dalam waktu
seketika. Orang yang semula tidak mampu tetapi memiliki penyakit kronis
(katastropik) yang memerlukan biaya pengobatan yang besar sangat
berisiko menjadi miskin. Penduduk yang mengalami bencana tersebut di
atas yang tidak memiliki aset sendiri sebagai cadangan atau tidak memiliki
jaminan sosial, baik dari majikan atau dari sistem jaminan sosial lain
seperti Askes dan Taspen (bagi pegawai negeri), memiliki risiko besar
untuk jatuh miskin.
7
Dalam pengertian seperti itu maka pada dasarnya setiap orang
rentan untuk menjadi miskin, akibat berbagai musibah yang menimpanya.
Karena prinsip risiko yang dapat menimpa setiap orang itulah maka
jaminan sosial sebagai bagian perlindungan sosial (yang antara lain
diselenggarakan melalui mekanisme asuransi sosial, tabungan, atau
bantuan sosial) perlu bagi setiap orang. Mengapa? Karena pada dasarnya
setiap orang itu rentan untuk menjadi miskin, setiap orang pada dasarnya
rentan untuk tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Lagi pula
setiap orang tidak mampu mengendalikan sepenuhnya berbagai faktor
risiko yang menyebabkan dirinya jatuh menjadi miskin. Dalam kehidupan
manusia terdapat banyak faktor-faktor yang di luar kendali orang tersebut.
Meskipun setiap orang pada dasarnya rentan menjadi miskin -akibat berbagai faktor seperti PHK, pailit, bencana alam, bencana sosial,
bencana kesehatan, kecelakaan dan sebagainya -- tetapi tingkat kerentanan
masing-masing orang berbeda-beda. Orang yang memiliki aset, tabungan
dan penghasilan yang besar memiliki tingkat kerentanan yang rendah
dibandingkan dengan orang yang memiliki aset dan penghasilan terbatas.
Orang yang memiliki penyakit kronis memiliki kerentanan yang lebih
tinggi dibanding orang yang sehat dan tidak berpotensi memiliki penyakit
kronis. Penduduk yang berada di daerah rawan bencana alam (apakah itu
banjir, gempa bumi, tsunami, gunung meletus dan sebagainya) memiliki
kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk yang berada
di daerah yang tidak rawan bencana.
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa penduduk rentan
adalah penduduk yang sangat berisiko menjadi miskin karena berbagai
faktor yang terjadi dalam jangka waktu relatif pendek. Mereka adalah
orang yang penghasilannya menurun atau hilang, mereka yang memiliki
8
kemampuan ekononomis tidak tinggi, orang yang memiliki tingkat
kesehatan rendah, dan orang yang berada di daerah bencana.
Pertanyaannya kemudian adalah seberapa besarkah mereka dan
berada dimana mereka? Inilah pertanyaan besar yang terkait dengan cara
pengukuran penduduk rentan yang harus dijawab terlebih dahulu sebelum
program dan anggaran untuk melindungi penduduk rentan dapat
ditetapkan.
2.2 Pengukuran Penduduk Rentan
Dalam analisis kebijakan perlindungan sosial, yang perlu mendapat
perhatian lebih serius adalah orang-orang yang memiliki tingkat
kerentanan tinggi menjadi miskin karena berbagai sebab. Karena
kemiskinan disini diartikan sebagai miskin ekonomis yang tidak mampu
memenuhi kebutuhan dasar, maka tingkat kerentanan juga diukur dari
kemampuan ekonomis seseorang.
Badan Pusat Statistik (BPS) membagi kategori kemiskinan menjadi:
(a) sangat miskin (chronic poor, apabila kemampuan suatu keluarga
memenuhi konsumsinya setara Rp 120.000,- per orang per bulan), (b)
miskin (poor, apabila kemampuan suatu keluarga memenuhi konsumsinya
setara Rp 150.000 per orang per bulan), dan (c) mendekati miskin (near poor,
apabila kemampuan suatu keluarga memenuhi konsumsinya Rp 175.000
per orang per bulan). Dalam kaitan kategori itu maka secara teknis dapat
dikatakan bahwa penduduk yang dalam kategori near poor atau di atasnya
sedikit, meskipun dia saat ini tidak miskin (tidak berada di bawah garis
kemiskinan) sangat rentan menjadi miskin apabila terjadi guncangan
keuangan
(financial shock) seberapapun kecilnya. Pengkategorian teknis
seperti itu, sekali lagi didasarkan pada pertimbangan bahwa orang yang
memiliki tingkat kemampuan ekonomis lebih rendah, cateris paribus,
9
memiliki kerentanan yang lebih tinggi menjadi miskin dibandingkan
dengan orang yang memiliki kemampuan ekonomis lebih tinggi.
Pengukuran yang ideal tentang kerentanan seseorang adalah yang
memperhitungkan tidak saja kemampuan ekonomisnya (misalnya dilihat
dari besarnya penghasilan/pengeluaran, tabungan dan aset) tetapi juga
yang memperhitungkan risiko yang dihadapinya. Orang yang memiliki
kemampuan ekonomis tinggi tetapi memiliki risiko yang tinggi juga, maka
orang tersebut lebih rentan dibandingkan dengan orang yang memiliki
kemampuan ekonomis di bawahnya tetapi faktor risikonya sangat kecil.
Secara teoritis, pengukuran kerentanan seperti itu dapat dilakukan
melalui model statistik (regresi logistik ataupun probit). Yang lebih
menjadi masalah bukan pada bagaimana mengukurnya, tetapi lebih pada
perumusan indikator dan ketersediaan datanya.
Salah satu studi yang telah melakukan analisis kerentanan
(vulnerability) untuk konteks data Indonesia adalah studi yang telah
dilakukan oleh Sudarno dkk. 1 Dengan menggunakan analisis kerentanan
tersebut, Sudarno mengelompokkan penduduk menjadi penduduk miskin
kronis, penduduk miskin transien, dan penduduk rentan.
Current Consumption
Vulnerability
V ≥ 0.5
to Poverty
V < 0.5
C<ĉ
C ≥ĉ
A
D
E (c) < ĉ
Expected
B
E
E (c} ≥ ĉ
Consumption
C
F
Keterangan:
C = current consumption
Ĉ = poverty line
E [c] = expected consumption
V = vulnerability to poverty
10
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa penduduk miskin adalah
penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (ĉ) yang tingkat
konsumsinya saat ini lebih rendah dari garis kemiskinan. Penduduk miskin
tersebut dapat dikelompokkan lagi menjadi dua kelompok, yaitu:
(a) Miskin kronis, yaitu penduduk yang memiliki tingkat konsumsi
saat ini dan konsumsi ke depan (expected consumption) tetap
yaitu di bawah garis kemikinan;
(b) Miskin transien, yaitu penduduk yang meskin yang memiliki
tingkat konsumsi saat ini dibawah garis kemiskinan tetapi
memiliki probabilitas menjadi tidak miskin di masa yang akan
datang karena memiliki potensi penghasilan dari usahanya.
Sementara itu, penduduk tidak miskin (non poor) yaitu penduduk
yang berada di atas garis kemiskinan menurut tingkat konsumsi saat ini.
Penduduk tidak miskin dapat dikelompokkan lagi menjadi:
(a) Penduduk rentan (low vulnerability); dan
(b) Penduduk sangat rentan (high vulnerability).
2.3 Sumber Data Penduduk Rentan
Selama ini belum tersedia data yang secara jelas menyebutkan dan
menjabarkan jumlah penduduk rentan. Badan Pusat Statistik juga tidak
secara spesifik menyebutkan jumlah penduduk rentan dan bagaimana
penyebarannya. Jika yang dipakai adalah pendekatan tingkat konsumsi,
maka penduduk yang dikategorikan sebagai rentan, mendekati miskin
(near poor) dapat digunakan sebagai estimasi untuk menentukan jumlah
penduduk miskin. Data tersebut, oleh BPS, dihitung dari hasil survei sosial
ekonomi nasional (SUSENAS). Sebagaimana telah diuraikan pada studi
sebelumnya, BPS menyelenggarakan SUSENAS secara periodik, dengan
demikian maka jumlah penduduk mendekati miskin (near poor, yang
11
diasumsikan sebagai penduduk sangat rentan) sesungguhnya dapat
dihitung.
Perkembagan terbaru adalah data hasil Pendataan Sosial Ekonomi
Penduduk 2005 (PSE05) atau yang dikenal dengan Sensus Kemiskinan.
Tujuan Sensus Kemiskinan adalah membangun basis data rumah tangga
miskin yang berisi:
(a) direktori rumah tangga miskin berupa daftar nama, alamat dan
jumlah anggota rumah tangga;
(b) urutan rumah tangga miskin berdasarkan tingkat keparahannya
(nilai skor tertinggi sampai yang terkecil) untuk masing-masing
kabupaten/ kota;
(c) pengelompokan rumah tangga miskin menurut katergori yang
dibuat oleh BPS (mendekati miskin, miskin dan sangat miskin).
Tujuan khusus dari pelaksanaan PSE05 adalah untuk memfasilitasi
pemerintah dalam menyalurkan program Bantuan Langsung Tunai (BLT)
kepada rumah tangga miskin sebagai kompensasi kenaikan harga bahan
bakar minyak oleh Pemerintah.
Dalam PSE05 tersebut digunakan 14 variabel untuk menentukan
apakah suatu rumahtangga layak atau tidak dikategorikan miskin, dan
sekaligus menentukan skor tingkat keparahan kemiskinannya. Keempat
belas variabel tersebut adalah:
1. luas bangunan,
2. jenis lantai,
3. jenis dinding,
4. fasilitas buang air besar,
5. sumber air minum,
6. sumber penerangan,
12
7. jenis bahan bakar untuk memasak,
8. frekuensi membeli daging ayam dan susu selama sepekan,
9. frekuensi makan sehari,
10. jumlah (stel) pakaian baru yang dibeli setahun,
11. akses ke pukesmas atau poliklinik,
12. lapangan pekerjaan,
13. pendidikan tertinggi kepala rumah tangga, dan
14. kepemilikan beberapa aset.
Di samping itu, terdapat 4 variabel yang merupakan target atau
status penduduk dalam program intervensi pemerintah, yaitu: keberadaan
balita, anak usia sekolah, kesertaan KB, dan penerima kredit usaha kecil
dan menengah (UKM).
Menurut BPS, berdasarkan uji statistik hasil survei BPS beberapa
tahun sebelumnya, ke-14 variabel tersebut memenuhi hubungan sangat
erat atau paling representif dalam menjelaskan garis kemiskinan.
Jika dicermati lebih lanjut, dari 14 variabel yang dijadikan indikator
dalam menentukan
rumah
tangga miskin, 7
(tujuh)
diantaranya
merupakan variabel yang terkait dengan tempat tinggal (luas bangunan,
jenis lantai, jenis dinding, fasilitas buang air besar, sumber air minum,
sumber penerangan), 2 terkait dengan konsumsi pangan, dan 2 (dua)
terkait dengan konsumsi non makanan (jenis bahan bakar dan pembelian
pakaian).
Banyaknya indikator tempat tinggal ini perlu dicermati secara hatihati sebab beberapa studi menunjukkan bahwa beberapa indikator tersebut
tidak tepat untuk dijadikan sebagai dasar penentuan rumah tangga miskin
secara nasional dan mempunyai tingkat kolineritas tinggi. Studi yang
dilakukan Thabrany dan Mundiharno (20042) dari FKM UI di DKI Jakarta
13
menunjukkan bahwa beberapa indikator seperti kepemilikan jamban dan
jenis lantai tidaklah menggambarkan bahwa rumah tangga tersebut adalah
rumah tangga miskin yang perlu dibantu. Begitu juga dengan indikator
frekuensi makan kurang dari 2 kali sehari. Sekitar 63 persen rumah tangga
yang diidentifikasi miskin di DKI Jakarta memiliki WC/septic tank sendiri
dan hampir semua rumah tangga miskin menyatakan dapat makan 2 kali
lebih dalam sehari (47,3 persen makan dua kali, dan 52,4 persen makan tiga
kali sehari). Studi tersebut mengisyaratkan bahwa kalau jenis jamban
dijadikan sebagai indikator kemiskinan maka ada peluang 63 persen
rumah tangga tidak tercakup sebagai keluarga miskin. Demikian pula
dengan indikator frekuensi makan dalam sehari dijadikan indikator maka
akan banyak rumah tangga miskin yang tidak terdata.
Namun demikian meskipun masih terdapat kelemahan data, Sensus
Kemiskinan 2005 yang dilakukan BPS merupakan satu-satunya data yang
paling lengkap saat ini dalam mengidentifikasi keluarga miskin dengan
indeks keparahannya. Dari data tersebut dapat disusun indeks kemiskinan
dari yang tertinggi sampai yang terendah, dan dapat pula digunakan
untuk mengestimasi banyaknya penduduk rentan. Rumah tangga yang
indeksnya sedikit di atas titik batas (cut off) kemiskinan dapat
dipertimbangkan sebagai penduduk rentan, yang sekali waktu jika ada
guncangan keuangan (financial shock) dapat menjadi rumah tangga miskin.
Mengingat data Sensus Kemiskinan 2005 belum mungkin diperoleh
untuk dianalisis dalam studi ini, maka jumlah dan persebaran penduduk
rentan belum disajikan dalam studi ini.
2.4 Jumlah dan Persebaran Penduduk Rentan
Hasil sensus kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS menyajikan
data bahwa keluarga miskin yang layak untuk menerima bantuan
14
langsung tunai (BLT, cash transfer) adalah sebanyak 15,6 juta keluarga
miskin. 3 Sayangnya data publikasi BPS tidak menyajikan penyebaran
jumlah keluarga miskin menurut indeks kemiskinan. Apakah dari 15,6 juta
keluarga tersebut semua masuk dalam kategori miskin kronis dan miskin,
atau ada sebagian dari mereka yang masuk kategori mendekati miskin
(near poor) yang dalam studi ini didefinisikan sebagai penduduk rentan
(vulnerable people).
Studi yang dilakukan oleh Suryadi dan Sumarto4 mengemukakan
bahwa jumlah penduduk rentan mengalami peningkatan dari 16,4 persen
pada tahun 1996 menjadi 27,2 persen pada tahun 1999. Adapun persebaran
penduduk miskin dan penduduk rentan menurut propinsi dapat dilihat
pada Tabel berikut:
Tabel. 1
Distribusi Penduduk Miskin dan Penduduk Rentan Menurut Propinsi,
Tahun 1996 dan 1999
No
Propinsi
1
Penduduk
Penduduk
Total Penduduk
Miskin
Rentan
Rentan
1996
1999
1996
1999
1996
1999
DKI Jakarta
0,8
3,0
0,0
0,9
0,8
3,7
2
Sumatera Barat
2,8
9,4
0,1
5,3
2,9
12,9
3
Kalimantan Tengah
3,8
12,2
0,2
15,8
3,9
22,9
4
Riau
5,0
9,4
1,7
5,7
5,4
11,6
5
Kalimantan Timur
5,4
21,8
4,2
17,2
7,3
26,4
6
DI Aceh
7,4
13,6
1,1
3,1
7,7
15,1
7
Jambi
7,9
17,1
1,6
8,3
8,6
20,1
8
Sumatera Utara
8,4
15,1
1,1
4,5
8,8
16,8
9
Bali
8,4
13,9
2,8
7,1
9.2
16,7
15
No
Propinsi
10
Penduduk
Penduduk
Total Penduduk
Miskin
Rentan
Rentan
1996
1999
1996
1999
1996
1999
Kalimantan Selatan
7,6
20,0
2,9
11,9
9,8
23,9
11
Sumatera Selatan
9,2
23,5
3,9
15,8
11,7
31,4
12
Bengkulu
10,4
20,6
4,4
9,7
12,3
22,2
13
Jawa Barat
11,9
26,8
2,8
16,2
13,1
33,1
14
Sulawesi Selatan
14,4
23,0
5,8
11,2
16,3
27,1
15
DI Yogyakarta
16,0
26,9
5,1
20,0
18,3
33,6
16
Sulawesi Tengah
16,4
28,0
7,2
31,4
19,6
42,6
17
Lampung
17,3
38,1
5,3
31,8
20,0
48,1
18
Jawa Timur
18,8
33,6
6,3
21,9
21,2
41,0
19
Jawa Tengah
20,9
32,9
7,5
21,2
23,9
40,6
20
Sulawesi Utara
19,4
24,0
13,2
19,8
24,0
29,3
21
Kalimantan Barat
21,5
29,4
11,1
23,5
25,3
36,0
22
Sulawesi Tenggara
27,0
36,6
19,8
30,9
33,3
43,3
23
Maluku
34,4
48,2
34,6
48,0
44,5
59,2
24
NTB
36,4
41,6
27,0
36,6
45,9
52,7
25
Papua
47,2
58,0
54,1
58,4
58,9
62,0
26
NTT
53,2
62,0
58,3
66,7
68,6
75,4
Sumbe : Suryadi, & Sumarto, “The Chronic Poor, the Transient Poor, and the Vulnerable
in Indonesia Before and After the Crisis”, working paper, SMERU, May 2001, Tabel 2
dan 3
16
BAB III
TELAAH PERATURAN DAN KEBIJAKAN TENTANG
PERLINDUNGAN SOSIAL
3.1 Pilar Perlindungan Sosial
Dalam studi tahun sebelumnya Thabrany dan Mundiharno (2004)5
merumuskan bahwa sistem perlindungan sosial sebagai sebuah sistem
yang berkelanjutan yang memberikan perlindungan kepada seluruh warga
negara melalui seperangkat instrumen publik, terhadap kesulitan ekonomi
dan sosial yang berakibat pada tidak terpenuhinya kebutuhan dasar warga
negara, baik disebabkan karena terhentinya, turunnya, atau tidak
mencukupinya penghasilan, sakit, hamil, kecelakaan, cacat, hari tua,
kematian, bencana alam maupun kerusuhan sosial.
Dengan pengertian seperti tersebut di atas maka perlindungan
sosial memiliki beberapa prinsip dasar sebagai berikut:
1.
Merupakan program publik, dalam arti bahwa perlindungan sosial
ditujukan kepada dan bersifat wajib bagi seluruh warga negara
yang pengelolaanya dilakukan di bawah pengawasan negara
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
2.
Perlindungan, yang berarti bahwa memberikan perlindungan yang
bersifat dasar untuk menjaga harkat dan martabat manusia yang
memungkinkan seseorang dapat memenuhi kebutuhan fisik dasar
dalam berproduksi secara sosial dan ekonomi.
3.
Risiko Sosial-Ekonomis, perlindungan dalam menghadapi risiko
berbagai peristiwa sosial-ekonomis yang mengakibatkan tidak
terpenuhinya kebutuhan dasar fisik warga negara.
17
4.
Berkelanjutan, dalam arti jika diperlukan, perlindungan bersifat
jangka panjang maupun jangka pendek yang berkesinambungan
5.
Lintas sektor, dalam arti bahwa perlindungan sosial perlu
dilakukan melalui kerjasama dan koordinasi yang baik antarsektor,
seperti ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan, sosial, keuangan,
kependudukan, perindustrian, perdagangan, dan sektor lainnya.
Dari sisi jenis dan cara pendanaan, perlindungan sosial mencakup
beberapa aspek sebagai berikut:
A)
Sistem Jaminan Sosial Formal, dengan ciri-ciri utama: (1)
kepesertaan bersifat wajib bagi setiap warga negara, (2) jaminan
bersifat kebutuhan fisik dasar seseorang yang sifatnya bukan
bencana lokal atau masal, (3) didanai dari penduduk, dan (4)
dikelola dengan tujuan bukan mencari keutungan bagi pengelola
(not for profit). Sebuah Sistem Jaminan Sosial Formal biasanya
didanai dengan mekanisme:
a) Asuransi Sosial, dimana seluruh warga negara atau sekelompok
penduduk membayar iuran yang bersifat wajib guna mendanai
kebutuhan finansial masa depan akibat suatu risiko sosialekonomi yang dialami, TANPA memperhatikan besaran iuran
atau kontribusi yang telah dibayarkan oleh seorang peserta.
Kewajiban mengiur ini berlaku bagi warga negara yang telah
mampu memenuhi kebutuhan fisik minimumnya, sehingga
pembayaran iuran wajib tidak akan membuatnya menjadi
miskin absolut.
b) Bantuan Sosial, yaitu sebuah mekanisme pendanaan, baik
pendanaan akibat risiko maupun pendanaan pembayaran iuran,
penanggulangan risiko sosial-ekonomi yang BUKAN berasal
18
dari orang yang dijamin oleh sistem jaminan sosial. Umumnya
negara memberikan bantuan sosial dalam bentuk subsidi
sebagian atau sepenuhnya iuran jaminan sosial kepada warga
negara yang sehari-hari tidak mampu memenuhi kebutuhan
hidup minimumnya.
c) Tabungan, dimana warga negara yang memliki penghasilan
diwajibkan
untuk
penghasilannya
menabung
untuk
yang
sejumlah
biasanya
tertentu
ditujukan
dari
untuk
tunjangan pasca karya dalam bentuk uang pensiun bulanan
atau dana lump sum, yang dapat digunakan untuk modal atau
pembelian rumah. Dalam mekanisme tabungan, peserta akan
menerima jaminan SESUAI dengan besaran iuran yang telah
disetorkannya ditambah dengan hasil pengembangan dana
iuran tersebut.
B)
Sistem Bantuan Bersifat Sementara. Bentuk perlindungan sosial
seperti ini sering juga disebut “bantuan sosial” bahkan tidak jarang
yang menyebutnya ‘jaminan sosial”. Berbeda dengan Sistem
Jaminan Sosial Formal yang biasanya diatur dengan undangundang yang mencakup mekanisme pendanaan, besaran jaminan,
dan masa berlaku jaminan bagi seluruh penduduk atau sekelompok
tertentu penduduk; Sistem Bantuan Bersifat Sementara biasanya
bersifat ad hoc untuk mengatasi ketidak-berdayaan penduduk
dalam mememenuhi kebutuhan dasarnya yang bersifat sementara
akibat suatu bencana alam, epidemi, paceklik, atau hal-hal lain yang
sifatnya sementara dan seringkali tidak terkait dengan status sosial
dan ekonomi seseorang. Sumber dana bantuan ini dapat bersumber
dari pemerintah ataupun masyarakat di lingkungan sekitar atau
19
bahkan dari negara-negara lain. Bantuan bagi penduduk yang
tertimpa musibah tsunami Aceh di tahun 2004 merupakan salah
satu contoh dari sistem bantuan bersifat sementara.
Di samping kedua kelompok di atas (sistem jaminan sosial formal
dan bantuan sementara), terdapat kategori lainnya yaitu Asuransi
Komersial, yang kepesertaannya bersifat sukarela dan pengelolaannya
bersifat jual-beli/komersial (dapat betujuan mencari laba for-profit maupun
tidak mencari laba—sekedar memenuhi biaya produksi). Kategori ini tidak
dimasukkan ke dalam kerangka SPJS mengingat sifatnya yang sukarela
jual-beli, dan sangat bergantung pada kemauan seseorang untuk
mendapatkannya. Sasaran dari asuransi komersial pada umumnya adalah
penduduk berpenghasilan tinggi dan karenanya diasumsikan hanya dibeli
oleh mereka yang kebutuhan fisik dasarnya telah terpenuhi. Karena motif
pengelolaan pada umumnya adalah for profit (mengambil keuntungan),
maka pengelolaannya/perkembangannya diserahkan kepada mekanisme
pasar, dan pemerintah hanya mengeluarkan regulasi-regulasi guna
menjaga kepentingan publik.
Dengan demikian terdapat tiga pilar yang menopang terbentuknya
sistem perlindungan sosial 1 . Pilar pertama, menggunakan mekanisme
bantuan sosial (sosial assistance) kepada penduduk yang kurang mampu,
baik dalam bentuk bantuan uang tunai, iuran kepesertaan jaminan sosial,
1
Naskah Akademis Undang-Undang No 40 tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional
20
maupun pelayanan tertentu, untuk memenuhi kebutuhan dasar yang
layak. Pendanaan bantuan sosial dapat bersumber dari anggaran negara
dan atau dari masyarakat. Mekanisme bantuan sosial sementara biasanya
diberikan kepada Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yaitu
masyarakat yang benar-benar membutuhkan, seperti penduduk miskin,
sakit, lanjut usia, atau ketika terpaksa menganggur.
Pilar kedua, menggunakan mekanisme asuransi sosial atau
tabungan sosial yang bersifat wajib atau compulsory insurance, yang dibiayai
dari kontribusi atau iuran yang dibayarkan oleh peserta. Dengan kewajiban
menjadi peserta, sistem ini dapat terselenggara secara luas bagi seluruh
rakyat,
terjamin
kesinambungannya
dan
profesionalisme
penyelenggaraannya. Pesertanya adalah tenaga kerja di sektor formal,
seperti pegawai negeri atau pegawai swasta. Iuran dibayarkan oleh setiap
tenaga kerja atau pemberi kerja atau secara bersama-sama sebesar
persentase tertentu dari upah/gaji. Praktek yang umum di dunia adalah
bahwa iuran ditanggung bersama antara pegawai dan majikan (pekerja
dan pemberi kerja).
Mekanisme
asuransi
sosial
merupakan
tulang
punggung
pendanaan jaminan sosial, dan merupakan tulang punggung pendanaan
publik di hampir semua negara. Mekanisme ini merupakan upaya negara
untuk memenuhi kebutuhan dasar layak penduduk dengan mewajibkan
mereka secara aktif membayar iuran untuk mengatasi risiko di masa
depan. Besar iuran dikaitkan dengan tingkat pendapatan atau upah
masyarakat
(biasanya
persentase
tertentu
upah/gaji
yang
tidak
memberatkan peserta) untuk menjamin bahwa semua peserta mampu
mengiur.
21
Kepesertaan
wajib
merupakan solusi dari ketidakmampuan
penduduk melihat risiko masa depan dan ketidakdisiplinan penduduk
menabung untuk masa depan. Dengan demikian sistem jaminan sosial juga
mendidik masyarakat untuk merencanakan masa depan. Karena sifat
kepesertaan yang wajib, pengelolaan dana jaminan sosial dilakukan
sebesar-besarnya untuk meningkatkan perlindungan sosial ekonomi bagi
peserta. Karena sifatnya yang wajib, maka jaminan sosial ini harus diatur
oleh UU tersendiri.
Di berbagai negara yang telah menerapkan sistem jaminan sosial
dengan baik, perluasan cakupan peserta dilakukan secara bertahap sesuai
dengan kemampuan ekonomi masyarakat dan pemerintah, serta kesiapan
penyelenggaraannya. Tahapan biasanya dimulai dari tenaga kerja di sektor
formal (tenaga kerja yang mengikatkan diri dalam hubungan kerja),
selanjutnya diperluas kepada tenaga kerja di sektor informal, untuk
kemudian
mencapai
tahapan
cakupan
seluruh
penduduk.
Upaya
penyelenggaraan jaminan sosial sekaligus kepada seluruh penduduk akan
berakhir pada kegagalan karena kemampuan pendanaan dan manajemen
memerlukan akumulasi kemampuan dan pengalaman.
Kelompok penduduk yang selama ini hanya menerima bantuan
sosial, umumnya penduduk miskin, dapat menjadi peserta program
jaminan sosial, dimana sebagian atau seluruh iuran bagi dirinya
dibayarkan oleh pemerintah. Secara bertahap bantuan ini dikurangi untuk
menurunkan ketergantungan kepada bantuan pemerintah. Untuk itu
pemerintah perlu memperhatikan perluasan kesempatan kerja dalam
rangka mengurangi bantuan pemerintah membiayai iuran bagi penduduk
yang tidak mampu.
22
Pilar ketiga menggunakan mekanisme asuransi komersial (voluntary
insurance) atau mekanisme tabungan sukarela yang iurannya atau
preminya dibayar oleh peserta (atau bersama pemberi kerja) sesuai dengan
tingkat risikonya dan keinginannya. Pilar ketiga ini adalah jenis asuransi
yang sifatnya komersial, dan sebagai tambahan setelah yang bersangkutan
menjadi peserta asuransi sosial. Di Indonesia, penyelenggaraan asuransi
komersial diatur dengan UU No. 2 Tahun 1992 tentang Asuransi, dan
pelaksanaannya diatur dan diawasi oleh Departemen Keuangan.
Fokus dalam pengembangan sistem perlindungan sosial diarahkan
pada jaminan sosial dengan pendanaan bersumber dari asuransi sosial,
bantuan sosial dan tabungan. Tantangan utamanya adalah bagaimana
mengembangkan sistem jaminan sosial yang secara cepat mencakup
sebanyak-banyak warga negara dan mengefektifkan bantuan sosial agar
benar-benar dapat diterima oleh warga negara yang benar-benar
membutuhkannya. Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa
perluasan ini memerlukan komitmen pemerintah, penegakan hukum yang
konsisten, dan terdapatnya sejumlah pekerja di sektor formal yang
memadai jumlahnya.
Tujuan
sistem
perlindungan
sosial
pada
akhirnya
adalah
mendorong sebanyak mungkin warga negara yang mau dan mampu
menjadi peserta jaminan sosial sehingga warga negara yang memperoleh
bantuan sosial menjadi semakin kecil. Semakin banyak warga negara yang
tercakup dalam skema jaminan sosial akan memperkecil kemungkinan
warga
negara
tersebut
jatuh
ke
jurang
kemiskinan
manakala
pendapatannya berkurang atau hilang tiba-tiba akibat suatu penyakit,
PHK, kecelakaan, pensiun, atau sebab lain. Selain itu, perlu terus
diupayakan untuk mempertajam berbagai program bantuan sosial yang
23
dilakukan oleh berbagai sektor agar bantuan sosial yang diberikan dapat
tepat sasaran, terkoordinasi, efisien dan efektif.
Setiap warga negara yang berpenghasilan wajib menjadi peserta
jaminan sosial yang dalam prakteknya dapat diprioritaskan pada hal-hal
yang sangat mendesak dibutuhkan. Misalnya, program jaminan kesehatan
dapat didahulukan daripada program jaminan kematian atau jaminan
pensiun, sesuai dengan tingkat upah atau kemampuan ekonomi
penduduk. Penduduk yang memiliki penghasilan tinggi di samping
menjadi peserta jaminan sosial dapat menjadi peserta asuransi komersial
yang memberikan manfaat lebih besar sesuai yang diinginkannya.
Sementara penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup
minimumnya setelah memenuhi persyaratan tertentu (antara lain melalui
tes kebutuhan --mean test) dapat memperoleh bantuan sosial yang bersifat
subsidi iuran dari pemerintah agar dalam memberikan manfaat jaminan
sosial, penyelenggara tidak membedakan antara yang kaya dan yang
miskin. Dengan kerangka seperti itu diharapkan setiap warga negara dapat
memperoleh kehidupan yang layak untuk mampu berproduksi secara
ekonomis dan hidup sejahtera sesuai dengan cita-cita pembangunan
bangsa.
3.2 Telaah Kebijakan Bantuan Sosial
Sebagaimana telah disampaikan pada laporan studi sebelumnya,
bahwa bantuan sosial merupakan salah satu skema perlindungan sosial, di
mana negara memberikan bantuan baik dalam bentuk tunai maupun
dalam bentuk non tunai kepada setiap warga negara yang mengalami
risiko sosial-ekonomi yang menyebabkannya tidak mampu memenuhi
kebutuhan dasar hidup pangan, sandang, papan, kesehatan maupun
pendidikan. Di Indonesia, bantuan sosial oleh Pemerintah kini mulai
24
mencakup pemberdayaan penerima bantuan sosial untuk mandiri yang
diberikan dalam bentuk bimbingan, rehabilitasi dan pemberdayaan yang
bermuara pada kemandirian PMKS. Diharapkan setelah mandiri mereka
mampu membayar iuran untuk masuk mekanisme asuransi sosial.
Kearifan lokal dalam masyarakat juga telah lama dikenal berupa
upaya-upaya kelompok masyarakat, baik secara mandiri, swadaya,
maupun gotong-royong, untuk memenuhi kesejahteraan anggotanya
melalui berbagai upaya gotong-royong, usaha bersama, arisan, dan
sebagainya. Kearifan lokal akan tetap tumbuh sebagai upaya tambahan
sistem jaminan sosial karena kearifan lokal tidak mampu menjadi sistem
yang
kuat,
mencakup
rakyat
banyak,
dan
tidak
terjamin
kesinambungannya. Masyarakat harus diajak memahami akan kekurangan
kearifan lokal dalam menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar yang layak,
sesuai standar kehidupan yang terus berkembang, dan memahami
keterbatasan kearifan lokal untuk program jangka panjang dan bersaing
dengan dunia internasional. Namun demikian, kerarifan lokal sangat
bermanfaat sebelum terbentuknya sistem jaminan sosial formal yang kuat
dan mencakup seluruh penduduk dan sebagai tambahan perlindungan
bagi yang menghendaki manfaat yang lebih tinggi dari standar kebutuhan
dasar layak nasional.
Pemerintah mendorong tumbuhnya swadaya masyarakat guna
memenuhi kesejahteraannya dengan menumbuhkan iklim yang baik dan
berkembang. Namun demikian, pemerintah harus bisa meyakinkan rakyat
bahwa kearifan lokal saja tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan
mereka dalam jangka panjang, agar tidak terjadi resistensi untuk mengikuti
program nasional. Oleh karenanya, selain mendorong tumbuhnya upaya
swadaya masyarakat, pemerintah memberikan insentif dan bimbingan
25
agar sistem lokal dapat diintegrasikan ke dalam sistem jaminan sosial
nasional.
Kebijakan bantuan sosial bagi penduduk miskin sudah lama
dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan tersebut mencakup berbagai sektor
dan dilakukan oleh berbagai instansi. Beberapa sektor yang selama ini
terlibat dalam pemberian bantuan sosial kepada penduduk miskin antara
lain adalah sektor sosial, sektor kesehatan, sektor pendidikan, dan sektor
pertanian. Di samping itu, beberapa sektor lain juga memberikan bantuan
bagi
penduduk
miskin
yaitu
sektor
ketenagakerjaan,
sektor
kependudukan, sektor koperasi dan UKM.
Dana yang diperlukan bagi pelaksanaan berbagai program bantuan
sosial bagi penduduk miskin relatif cukup besar, mencapai belasan triliun
rupiah setiap tahunnya. Untuk tahun anggaran 2002-2004 belanja program
pengentasan kemiskinan yang dikeluarkan berkisar antara Rp 12,8 triliun
sampai Rp 18,8 triliun per tahun untuk berbagai sektor. Jika dibandingkan
dengan total belanja tahun 2004 maka pengeluaran untuk penduduk
miskin mencapai 5% dari total belanja pemerintah, relatif tidak banyak.
Dengan jumlah dana yang cukup besar nilainya, maka perlu dipikirkan
agar dana tersebut dapat menurunkan jumlah penduduk yang miskin
dengan cara pemberian kail ketimbang ikan.
Selama ini, bentuk program bantuan sosial bervariasi dalam bentuk
pemberian kartu sehat, subsidi tarif pelayanan kesehatan, bantuan
penyediaan obat di fasilitas kesehatan, pemberian makanan tambahan,
pemberian beasiswa kepada siswa SD-SLTA, pemberian dana bantuan
operasional kepada sekolah, pemberantasan buta huruf, dan penanganan
para penyandang masalah kesejahteraan sosial seperti anak terlantar, lansia
terlantar, tuna susila, korban NAPZA, penyandang cacat, korban bencana,
26
pemberian bantuan beras miskin dan sebagainya. Bantuan yang diberikan
tersebut pada umumnya bersifat ad hoc untuk mengatasi masalah akut
pemenuhan kebutuhan dasar fisik penduduk. Pemberian bantuan sosial
yang bersifat pemberdayaan kemampuan ekonomi masih relatif sedikit,
sehingga
menimbulkan
berbagai
kritik
dan
kekhawatiran
akan
kesinambungan program dan kemampuan penduduk untuk keluar dari
lingkaran kemiskinan.
Selama ini program bantuan sosial yang menyeluruh belum
dilakukan di Indonesia. Penanganan bantuan sosial yang dilakukan oleh
pemerintah selama ini masih terbatas, baik dalam cakupan sasaran
maupun dalam bentuk bantuan sosial yang diberikan. Menurut ILO,
sebelum krisis tahun 1997 hanya sedikit pengeluaran pemerintah pusat
Indonesia yang dapat dikategorikan sebagai bantuan sosial. Pengeluaran
pemerintah
di
pembangunan
bidang
yang
sosial
tidak
dikonsentrasikan
langsung
dinikmati
pada
pengeluaran
penduduk
yang
memerlukan bantuan sosial, terutama dalam bentuk pembangunan
pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, walaupun
bidang-bidang yang dibiayai tersebut pada akhirnya memberikan
keuntungan bagi kelompok-kelompok berpenghasilan rendah.
Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah dalam bentuk Jaring
Pengamanan Sosial (JPS) yang dimulai setelah krisis ekonomi tahun 1997
sebagian besar merupakan tanggapan yang bersifat ad hoc terhadap
munculnya kembali kemiskinan secara “tiba-tiba” akibat krisis. Dalam
beberapa aspek, langkah-langkah tersebut tampak dilaksanakan dengan
persiapan manajemen yang kurang memadai dan penyelenggaraannya
tidak
merata.
Masalah-masalah
yang
sering
dilaporkan, misalnya
mekanisme penyaluran administratif JPS, masalah tata kelola, dan
27
besarnya kebocoran dari bantuan yang diberikan kepada kelompokkelompok
sasaran.
Namun
demikian,
upaya
responsif
terhadap
meningkatnya angka kemiskinan merupakan suatu upaya yang patut
dihargai dan didukung agar pelaksanaanya terus diperbaiki dan menjadi
suatu sistem yang bersifat tetap. Krisis tahun1997 dapat dikatakan
merupakan suatu titik balik bagi keterlibatan pemerintah dalam upaya
penanggulangan kemiskinan.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan pelaksanaan bantuan
sosial yang teridentifikasi diantaranya adalah:
a) ketidaktepatan sasaran;
b) pelaksanaan yang tidak sesuai prosedur;
c) masyarakat yang tidak memahami hak dan tanggung-jawabnya;
d) koordinasi dan sinkronisasi program antarinstansi;
e) kerangka hukum yang melandasi;
f) besarnya dana yang diperlukan; dan
g) kesinambungan dan kecukupan pendanaan.
Selanjutnya, pertanyaan yang muncul antara lain adalah:
a) Apakah kebijakan bantuan sosial yang akan dilakukan ke depan
tetap menggunakan mekanisme seperti sekarang yang lebih
bersifat ad hoc (insidental) atau dilembagakan secara permanen
setiap tahunnya?
b) Apakah lembaga yang menangani bantuan sosial disebar
menurut instansi sektoral atau disatukan dalam lembaga baru
yang khusus menangani bantuan sosial?
28
c) Apakah dana bantuan sosial sepenuhnya menjadi tanggung
jawab pemerintah pusat atau ditanggung bersama dengan
pemerintah daerah?
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut
di
atas
patut
direnungkan
mengingat, pertama, penanganan bantuan sosial selama ini lebih bersifat ad
hoc oleh banyak instansi sehingga sering terjadi tumpang tindih.
Departemen Sosial yang tugas dan fungsinya mengelola bantuan sosial
dari pemerintah memiliki peran yang terbatas. Departemen Sosial hanya
memberikan bantuan sosial kepada mereka yang disebut sebagai
penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang daya cakupnya
juga terbatas. Padahal yang memerlukan bantuan sosial sesuai dengan
pengertian di atas tidak hanya yang dikategorikan sebagai PMKS tetapi
penduduk lain yang juga rentan terhadap berbagai risiko sosial. Kedua,
perubahan tata pemerintahan sebagai akibat otonomi daerah telah
merubah secara bermakna baik bentuk, fungsi maupun kewenangan
kelembagaan yang menangani bantuan sosial. Peran pemerintah daerah
(propinsi dan kabupaten/kota) dalam mengelola berbagai program
pembangunan yang berbentuk pelayanan langsung kepada masyarakat di
daerahnya jauh lebih besar dari sebelumnya. Sementara di sisi lain
kemampuan daerah sangat bervariasi sehingga jika kewenangan dan
tanggungjawab diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah, akan
terjadi ketidakadilan sosial yang bertentangan dengan konstitusi dan
tujuan pendirian negara. Dengan kondisi tata pemerintahan seperti itu,
maka pengelolaan bantuan sosial khususnya bagi penduduk miskin perlu
dibahas secara jelas dalam kerangka kewenangan pemerintah pusat dan
daerah.
29
Selain
itu,
kelembagaan
pengelolaan
bantuan
sosial
perlu
ditetapkan dan dikoordinasikan oleh satu instansi yang memang memiliki
tugas dan kewenangan utama mengelola bantuan sosial. Dalam hal ini,
Departemen Sosial merupakan lembaga yang dinilai tepat. Namun
demikian, kapasitas dan kemampuan aparat di lembaga tersebut perlu
diperkuat sesuai dengan beban program yang semakin besar.
Selanjutnya, koordinasasi dan sinkronisasi program antarinstansi
juga perlu ditingkatkan untuk menghindari seminimal mungkin terjadinya
tumpang tindih antar satu instansi dengan instansi lain. Sebagai contoh,
program pembinaan “kelompok usaha bersama” (KUBE) diselenggarakan
oleh beberapa instansi seperi oleh Departemen Sosial, Departemen Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi,
Departemen
Pendidikan
Nasional,
dan
sebagainya. Oleh karena itu dalam pelaksanaan bantuan sosial harus
ditetapkan satu kementrian (instansi) yang menjadi leading sector yang
dapat melakukan sinkronisasi dan koordinasi antarinstansi sehingga tidak
terjadi tumpang tindih.
Selama ini berbagai pelaksanaan program bantuan sosial yang
dilakukan oleh masing-masing instansi mengacu pada undang-undang
atau peraturan tertentu yang seolah-olah hanya berlaku bagi instansi
masing-masing. Pelaksanaan program bantuan sosial di sektor kesehatan
mengacu pada UU Kesehatan, bantuan sosial di sektor pendidikan
mengacu ke UU Pendidikan, bantuan sosial di sektor sosial mengacu pada
UU No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan
Sosial dan UU No 25 Tahun 2000, dan sebagainya. Belum ada UU yang
mengatur secara keseluruhan tentang bagaimana perlindungan sosial
dilaksanakan oleh semua instansi yang terkait. Sementara itu, program
jaminan sosial yang bersifat formal telah mulai diatur oleh satu UU yang
30
mensikronkan pelaksanaannya yaitu dengan UU No. 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Penetapan apakah seluruh
program bantuan sosial harus diatur oleh satu UU terpadu dan
diselenggarakan atau dikoordinir oleh satu instansi harus melalui suatu
kajian kelayakan, efisiensi, efektifitas, dan kesiapan daya dukung personil
di berbagai daerah.
3.3 Telaah Kebijakan Jaminan Sosial
Dari tiga pilar perlindungan sosial, jaminan sosial yang bertumpu
pada asuransi sosial dan tabungan wajib merupakan prioritas dalam
mengembangkan perlindungan sosial secara menyeluruh. Pengalaman
berbagai negara menunjukan bahwa, program jaminan sosial selain dapat
memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat, jaminan sosial juga
menjadi penggerak pembangunan ekonomi. Akhir-akhir ini bermunculan
kesadaran baru yang membuktikan bahwa jaminan sosial makin
diperlukan mengingat kondisi perekonomian global maupun nasional
sedang mengalami berbagai krisis yang mengancam kesejahteraan dan
produktivitas rakyat. Krisis telah mengakibatkan masyarakat kehilangan
pekerjaan, berkurangnya pendapatan, dan kehilangan kesejahteraan yang
menjadi haknya. Di samping itu, penghasilan masyarakat akan berkurang
karena menderita penyakit atau memasuki usia lanjut. Jaminan sosial
dapat diandalkan sebagai upaya penyelamat dari berbagai risiko tersebut
bagi rakyat secara individu dan bagi negara.
Adanya perlindungan terhadap risiko sosial ekonomi melalui
asuransi sosial dapat mengurangi beban negara (APBN) dalam penyedian
dana bantuan sosial yang dapat digunakan untuk menyediakan sarana dan
program yang lebih produktif. Melalui prinsip kegotong-royongan,
mekanisme asuransi sosial merupakan sebuah instrumen negara yang kuat
31
dan digunakan di seluruh negara maju dalam menanggulangi risiko sosial
ekonomi yang setiap saat dapat terjadi pada setiap warga negaranya.
Dari aspek ekonomi makro, program jaminan sosial nasional adalah
suatu instrumen yang efektif untuk memobilisasi dana masyarakat dalam
jumlah besar dan berlangsung terus-menerus, yang sangat bermanfaat
untuk membiayai program pembangunan dan
masyarakat
itu
sendiri.
Selain
memberikan
kesejahteraan bagi
perlindungan
melalui
mekanisme asuransi sosial, dana jaminan sosial yang terkumpul dapat
menjadi sumber dana investasi yang memiliki daya ungkit besar bagi
pertumbuhan perekonomian nasional. Dilihat dari aspek dana, program ini
merupakan suatu gerakan tabungan nasional yang berlandaskan prinsip
solidaritas sosial atau kegotong-royongan. Banyak negara memulai
penyelengaraan jamian sosial setelah mengalami krisis ekonomi yang berat
dimana kebutuhan kegotong-royongan sangat dibutuhkan.
Amerika Serikat mengembangkan jaminan sosial pada masa
pemerintahan presiden Roosevelt (1935) setelah negara tersebut mengalami
depresi
ekonomi
yang
sangat
hebat
pada
tahun
1932.
Jerman
memperkenalkan asuransi sosial semasa pemerintahan Otto Von Bismarck
(1883) dimana perlindungan tenaga kerja sangat dibutuhkan untuk
menjamin produksi berjalan lancar di era awal industrialisasi Jerman.
Kedua
negara
maju
tesebut
memperoleh
manfaat
besar
dari
penyelenggaraan jaminan sosial yang dikembangkan pada waktu kedua
negara tersebut sedang menghadapi resesi ekonomi. Manfaat besar dari
dana yang terhimpun juga dinikmati negara berkembang yang telah
menyelenggarakan jaminan sosial secara konsisten dan mencakup seluruh
pekerjaan sektor formal. Malaysia telah berhasil memupuk Tabungan
Nasional dari Dana Jaminan Sosial (Employee Provident Fund, EPF) senilai
32
US$ 90 miliar. Kekuatan dana asuransi sosial inilah, antara lain, yang
menyelamatkan Malaysia dari krisis mata uang pada tahun 1998.
Di Indonesia sebenarnya telah ada beberapa program jaminan sosial
yang diselenggarakan dengan mekanisme asuransi sosial dan tabungan
sosial. Namun kepesertaan program tersebut baru mencakup sebagian
kecil dari masyarakat yang bekerja di sektor formal. Sebagian besar
lainnya, belum memperoleh perlindungan sosial karena berbagai faktor
seperti kesadaran pengusaha, penegakan hukum, kesadaran pegawai,
manajemen yang belum meyakinkan, dan kondisi makro ekonomi, hukum
dan sosial yang belum menunjang. Selain itu, program-program tersebut
belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan yang adil bagi
peserta dan manfaat yang diberikan kepada peserta masih belum memadai
untuk menjamin kesejahteraan mereka.
Di sektor informal, penyelenggaraan jaminan sosial formal memang
sulit dilakukan. Karenanya, tidak heran jika saat ini program jaminan sosial
formal belum menyentuh penduduk di sektor informal. Tenaga kerja di
sektor informal yaitu tenaga kerja di luar hubungan kerja, seperti nelayan,
petani dan pedagang sayur, kios, pedagang sate, baso, gado-gado, warteg,
dll, sampai saat ini belum mempunyai sistem perlindungan yang handal.
Hanya sebagian kecil dari mereka yang telah memperoleh perlindungan
sosial dalam bentuk bantuan sosial. Pada tahun 2005 Pemerintah telah
memberikan jaminan kesehatan, yang merupakan kebutuhan paling
mendasar untuk berproduksi, bagi sekitar 60 juta penduduk—yang
umumnya adalah mereka yang berada di sektor informal.
Sebelum tahun 2004, undang-undang yang secara khusus mengatur
jaminan sosial dan mencakup program yang lebih lengkap adalah UU No.
3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Program
33
Jamsostek mencakup empat perlindungan yaitu jaminan kesehatan,
jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan santunan akibat kematian
alamiah. Program tersebut dikelola oleh PT Jamsosotek. Sampai saat ini
penyelenggaraan Jamsostek baru mencakup sekitar 12 juta peserta aktif
dari sekitar 31 juta tenaga kerja di sektor formal (Standing, 2000).
Selain PT Jamsostek, beberapa Badan
Penyelenggara telah
melaksanakan program jaminan sosial secara parsial sesuai dengan misi
khususnya. Program Jaminan Kesehatan Pegawai Negeri dikelola oleh PT
Askes. Pegawai Negeri, pensiunan pegawai negeri, pensiunan TNI-POLRI,
Veteran, dan anggota keluarga mereka menerima jaminan kesehatan yang
dikelola oleh PT Askes berdasarkan PP No. 69 Tahun 1991.
Selain jaminan kesehatan, pegawai negeri sipil juga memperoleh
Jaminan Hari Tua dan Pensiunan Pegawai Negeri yang dikelola oleh PT
Taspen. Program Tabungan Pensiun (TASPEN) berdasarkan PP No. 26
Tahun 1981. Anggota TNI-POLRI dan PNS Departemen Pertahanan
mendapat jaminan hari tua, cacat, dan pensiun melalui program ASABRI
berdasarkan PP No. 67 Tahun 1991. Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI,
anggota POLRI dan PNS Departemen Pertahanan memperoleh jaminan
pensiun melalui anggaran negara (pay as you go). Dengan demikian
sebagian besar program pensiunan pegawai negeri, TNI, dan POLRI tidak
didanai dari tabungan pegawai sehingga sangat bergantung pada anggaran
belanja negara. Kontribusi pemerintah, dari APBN, untuk dana pensiun
pegawai negeri, tentara, dan anggota polisi yang merupakan suatu bentuk
tunjangan pegawai atau employment benefits—akan terus membengkak dan
memberatkan APBN, jika tidak ditunjang dengan peningkatan iuran dari
pegawai. Selain itu, tidak adil jika dana APBN yang berasal dari pajak akan
tersedot dalam jumlah besar bagi pendanaan pensiun pegawai negeri,
34
tentara dan anggota polisi saja. Penyelenggara dana pensiun yang adil dan
memadai yang didanai bersama (bipartite) antara pekerja sendiri dan
pemberi kerja, terlepas dari status pegawai negeri atau swasta atau usaha
sendiri (self employed) merupakan sebuah sistem yang lebih berkeadilan dan
lebih terjamin kesinambungannya.
Cakupan beberapa skema jaminan sosial yang ada (Akses, Taspen,
Asabri, Jamsostek) baru dinikmati oleh 12 juta tenaga kerja yang kini aktif
sebagai peserta PT Jamsostek dari 100,8 juta angkatan kerja (BPS,2003).
Sedangkan jaminan kesehatan berbasis dana peserta melalui iuran wajib
baru mencakup 7,8 juta tenaga kerja formal yang mencakup sekitar 19 juta
penduduk, termasuk anggota keluarga.
Di negara-negara tentangga, kepesertaan tenaga kerja yang
memperoleh jaminan sosial sudah mencakup seluruh tenaga kerja formal.
Dalam program asuransi kesehatan sosial dengan pendanaan publik,
Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga
seperti Thailand dan Philipina karena baru menjamini 9 (sembilan) persen
dari jumlah penduduknya. Sedangkan dalam program jaminan hari
tua/asuransi, jaminan sosial di Indonesia baru mencapai maksimal 20
persen dari total pekerja di sektor formal. Thailand telah menjamin seluruh
penduduknya, sehingga tidak ada lagi penduduk rentan yang tidak
memiliki jaminan kesehatan.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan, bahwa rendahnya cakupan
kepesertaan program jaminan sosial sekarang ini terjadi karena program
tersebut belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan yang adil
bagi para peserta, dan manfaat yang diberikan kepada peserta juga belum
memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar yang layak (Thabrany dkk,
2000). Selain itu, program jaminan sosial di Indonesia belum mampu
35
meningkatkan pertumbuhan dan menggerakan ekonomi makro karena
porsi dana jaminan sosial terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
Indonesia masih sangat kecil, yaitu sekitar 1 (satu) persen PDB (Purwoko,
2001).
Dari berbagai permasalahan yang berkembang saat ini, kendala
utama pengembangan program jaminan sosial di Indonesia dapat
diidentifikasi sebagai berikut:
a) pelayanan dari lembaga jaminan sosial yang ada belum berjalan
sebagai mana mestinya, baik dari segi besaran manfaat yang
diterima maupun dari segi prosedur perolehan manfaat oleh
peserta;
b) pengelolaan administrasi dan pelayanan kurang efesien dan
kurang baik yang menyebabkan sering terjadinya keluhan
peserta dan rendahnya kepuasan peserta;
c) program jaminan sosial belum didukung oleh perangkat
penegak hukum yang konsisten, adil dan tegas, sehingga belum
semua tenaga kerja memperoleh perlindungan yang optimal;
d) adanya intervensi pejabat pemerintah, bahkan partai politik,
terhadap penggunaan dana program jaminan sosial yang ada
yang berdampak pada kurang optimalnya manfaat program
dan menimbulkan keresahan dan rasa tidak puas di kalangan
para peserta; dan
e) seluruh
badan
penyelenggara
jaminan
sosial
yang ada
merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berbentuk
Persero yang harus mencari laba dan menyetorkan deviden ke
Pemerintah dan bukan memaksimalkan manfaat sebesarbesarnya untuk kepentingan peserta.
36
Untuk menjawab kendala tersebut di atas, sesungguhnya sudah
dimulai upaya perbaikan yaitu melalui Undang-Undang tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN Nomor 40 Tahun 2004) yang sudah
disahkan tanggal 19 Oktober 2004. Dalam UU tersebut program jaminan
sosial diperluas menjadi lima program yaitu: (a) jaminan kesehatan; (b)
jaminan kecelakaan kerja; (c) jaminan hari tua; (d) jaminan pensiun; dan (e)
jaminan kematian (Pasal 18). Tonggak penting yang mengubah tatanan
perlindungan sosial di Indonesia adalah upaya perluasan jaminan kepada
penduduk rentan dan penduduk miskin yang secara tegas dinyatakan,
bahwa Pemerintah membayar iuran untuk penduduk miskin dan tidak
mampu (Pasal 14). Pada tahap pertama, bantuan iuran yang dibayar oleh
Pemerintah diberikan untuk program jaminan kesehatan yang di tahun
2005 sudah diberikan kepada 60 juta penduduk, yang terdiri atas 34,1 juta
penduduk miskin dan sisanya diberikan kepada penduduk rentan.
Pada hakikatnya UU SJSN telah meletakan dasar untuk penataan
sistem perlindungan sosial yang menyeluruh dan menyatu dengan tidak
membedakan pelayanan (non diskriminasi) atas dasar status sosialekonomi. Sebagai contoh, dengan mengintegrasikan jaminan kesehatan
bagi penduduk miskin dan penduduk rentan melalui PT Askes dengan
penyelenggaraan nirlaba, seperti tercantum dalam SK Menteri Kesehatan
No. 56 Tahun 2005 yang sesuai dengan perintah UU SJSN, maka dalam
melayani peserta, fasilitas kesehatan tidak perlu lagi membedakan pasien
atas dasar kemampuan membayar. Akan tetapi dalam prakteknya,
kehendak UU untuk pelayanan non-diskriminatif belum dijalankan
sebagaimana diharapkan.
Namun demikian implementasi UU SJSN untuk perlindungan lima
program bagi penduduk miskin dan rentan memerlukan waktu yang
37
cukup lama. Beberapa Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden
perlu disusun agar UU tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan harapan
rakyat banyak. Pada saat ini (akhir tahun 2005) satu Peraturan Pemerintah
dan satu Peraturan Presiden yang mengatur jaminan kesehatan, termasuk
bagi penduduk miskin dan rentan, sedang dalam tahap sosialisasi draf
untuk mendapatkan masukan dari berbagai pihak di pusat maupun di
daerah.
Yang perlu disadari oleh pemerintah di pusat dan di daerah adalah
bahwa program perlindungan sosial selain jaminan kesehatan, harus
dikembangkan agar penduduk rentan tidak jatuh menjadi penduduk
miskin. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Kewenangan Daerah telah
mewajibkan pemerintah daerah untuk ‘mengembangkan sistem jaminan
sosial’ tanpa menjelaskan rincian apa yang dimaksud dengan ‘jaminan
sosial’. Dengan prinsip penyelenggaraan terkoordinasi dan bersifat saling
melengkapi antara pusat dan daerah, maka salah satu upaya yang perlu
dijalankan
oleh
pemerintah
daerah
adalah
menutupi
kekosongan
perlindungan sosial yang tidak dilaksanakan oleh Pemerintah pusat. Hal
ini harus disadari pemerintah daerah, bukan dengan menuntut agar
program yang diselenggarakan oleh pusat dikelola oleh daerah. Sebagi
contoh, jika jaminan kesehatan sudah diberikan oleh Pemerintah pusat,
maka pemerintah daerah yang mampu sebaiknya memberikan bantuan
sosial,
salah
satu
bentuk
jaminan
sosial,
berupa
pemberdayaan
kemampuan ekonomi, misalnya membuka lapangan kerja yang dapat
menyerap banyak tenaga kerja (labor intensive).
Sebagai contoh, jika penduduk rentan sudah tidak lagi memiliki
risiko jatuh miskin apabila ia sakit, karena telah dijamin oleh Pemerintah
pusat, maka pemerintah daerah dapat memfokuskan bantuan dana untuk
38
meningkatkan program perbaikan mutu pelayanan di puskesmas dan
rumah sakit. Selain itu, pemerintah daerah dapat membuat program yang
labor intensive, misalnya membuka jalan yang memungkinkan produk hasil
hutan, perkebunan, dan pertanian oleh masyarakat rentan di daerah
terpencil dapat dijual ke kota dengan biaya transportasi yang relatif murah.
Pemerintah daerah juga dapat menyediakan gudang pendingin dengan
sewa murah bagi nelayan atau peternak kecil yang dapat memelihara
produknya tetap segar dan memiliki harga jual yang baik. Pemerintah
Daerah juga dapat membuka pertanian atau perkebunan percontohan
dengan bantuan ijin pengolahan lahan tidur, bibit, pupuk, dan bantuan
teknis
serta bantuan manajemen
kepada penduduk rentan yang
menganggur yang jumlahnya mencapai lebih dari 12 juta angkatan kerja
pada akhir tahun 2005.
3.4
Telaah
Peraturan
Perundang-undangan
Perlindungan
Sosial
Upaya mengembangkan sistem perlindungan sosial telah memiliki
pijakan hukum yang kuat di dalam konsititusi negara Indonesia. Beberapa
pasal dalam UUD 1945 hasil amendemen ke-empat telah secara tegas
menyatakan tentang perlunya perlindungan sosial bagi seluruh penduduk
Indonesia. Amendemen ke-dua UUD 1945 telah mengamanatkan kepada
Negara untuk mengembangkan jaminan sosial bagi seluruh rakyat. Pasal
28 H ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa jaminan sosial adalah hak setiap
warga negara. Lebih lanjut, Pasal 34 ayat 2 Perubahan UUD 45 tahun 2002
lebih tegas menjabarkan “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial
bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan
tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Jelas, perintah dan
kemauan rakyat yang tertuang dalam konstitusi adalah menyediakan
39
jaminan sosial, secara umum, kepada seluruh rakyat—termasuk penduduk
miskin dan rentan dan bukan hanya penduduk yang memperoleh
penghasilan dari hubungan kerja formal.
Di tingkat internasional, deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tahun 1948 tentang Hak Asasi Manusia juga menyatakan bahwa “… setiap
orang, sebagai anggota masyarakat, mempunyai hak atas jaminan sosial …
dalam hal menganggur, sakit, cacat, tidak mampu bekerja, menjanda, hari
tua …”. Konvensi ILO No.102 tahun 1952 meminta negara-negara para
pihak (yang meratifikasi Konvensi—termasuk Indonesia) agar memberi
perlindungan dasar kepada setiap tenaga kerja di negaranya masingmasing dalam rangka memenuhi Deklarasi PBB tentang Hak Jaminan
Sosial.
Pertanyaannya adalah apakah mandat konstitusi, deklarasi HAM
PBB dan konvensi ILO tersebut sudah dijabarkan lebih lanjut ke dalam
undang-undang dan peraturan pelaksanaanya. Undang-undang apa saja
yang terkait dengan perlindungan sosial? Apakah undang-undang yang
ada sudah cukup memadai untuk dijadikan pijakan hukum dalam
mengembangkan sistem perlindungan sosial di Indonesia?
Harus diakui bahwa secara keseluruhan, peraturan perundangan
yang dimiliki Indonesia belum mencakup seluruh penduduk dan belum
mencakup seluruh program perlindungan seperti yang diharapkan oleh
Deklarasi HAM PBB. Upaya penerbitan peraturan perundangan memang
masih terbatas pada penduduk di sektor formal atau bantuan sosial yang
sifatnya masih terbatas. Berikut ini adalah peraturan perundangan yang
terkait dengan perlindungan sosial, baik yang
terkait dengan jaminan
sosial, bantuan sosial maupun asuransi komersial.
40
A. Peraturan Perundangan Jaminan Sosial
a) Undang-undang No. 11 Tahun1992 tentang Dana Pensiun, yang
mengatur penyelenggaraan dana pensiun pemberi kerja dan
dana pensiun lembaga keuangan.
b) Undang-undang No. 3 Tahun 1992 tentang JAMSOSTEK yang
mengatur empat program jaminan sosial bagi tenaga kerja, yang
dalam prakteknya masih terbatas pada tenaga kerja di sektor
formal.
c) Undang-undang No. 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai
dan Pensiun Janda/Duda Pegawai Negeri yang prateknya telah
dilaksanakan untuk seluruh pegawai. Namun demikian, jumlah
dan sumber dananya belum menjamin terpenuhinya kebutuhan
dasar layak secara adil dan merata bagi seluruh penduduk.
d) Undang-undang No. 11 Tahun 1956 tentang Pembelanjaan
Pensiun Presiden RI yang tidak mengatur perlidungan bagi
rakyat.
e) Peraturan Pemerintah. No. 6 Tahun 1992 tentang ASKES yang
mengatur Badan Penyelenggara PT ASKES (Persero) untuk
mengelola jaminan kesehatan bagi pegawai negeri sipil,
pensiunan pegawai negeri, veteran dan anggota keluarganya.
f) Peratuaran
Pemerintah
No.
69
Tahun
1991
tentang
Pemeliharaan Kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil, Penerima
Pensiunan, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta keluarga.
g) Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1991 tentang Pengalihan
Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Asuransi Sosial ABRI
menjadi Perusahaan Persero (PERSERO) yang mengatur
penyelenggara jaminan sosial bagi TNI-POLRI.
41
h) Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 1991 tentang Asuransi
Sosial Angkatan Bersenjata RI yang mengatur jaminan sosial
bagi TNI-POLRI.
i)
Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1981 tentang TASPEN yang
mengatur badan penyelenggara PT TASPEN dalam mengelola
jaminan hari tua dan jaminan pensiun pegawai negeri.
j)
Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1981 tentang Asuransi
Sosial Pegawai Negeri Sipil RI.
k) Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1971 tentang Pendirian
Perusahaan Umum Asuransi Sosial ABRI.
l)
Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1971 tentang Asuransi
Sosial Angkatan Bersenjata RI.
m) Keputusan Presiden No. 56 Tahun 1974 tentang Pembagian,
Penggunaan, Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Besarnya
Iuran-iuran yang dipungut dari Pegawai Negeri dan Penerima
Pensiun.
n) Surat Keputusan Mentri Pertahanan No: SKEP/1212/M/XII/2000
tentang Kenaikan Besarnya Santunan ASABRI.
o) Surat Keputusan Mentri Pertahanan No: Skep/1212a/M/XII/2000
tentang Kenaikan Besarnya Santunan ASABRI.
B.
Peraturan Perundangan yang Terkait dengan Bantuan Sosial
a) Undang-undang No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kesejahteraan Sosial.
b) Undang-undang No. 4 Tahun 1977 tentang Penyandang Cacat.
c) Undang-undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan
Lanjut Usia.
42
d) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
C. Peraturan Perundangan yang terkait Asuransi Komersial
a) Undang-undang No. 2 Tahun 1992 tentang Asuransi.
b) Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 1999 tentang Perubahan
atas
PP
No.
73
Tahun
1992
tentang
Penyelenggaraan
Perasuransian.
c) Peraturan
Pemerintah
No.
73
Tahun
1992
tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
d) Keputusan Menteri Keuangan No. 481/KMK.017/1999 tentang
Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi.
e) Keputusan Menteri Keuangan No. 303/KMK.017/2000 tentang
Perubahan atas Kep.Menteri Keuangan No. 481/KMK.017/1999
tentang
Kesehatan
Keuangan
Perusahaan
Asuransi
dan
Perusahaan Reasuransi.
D. Peraturan Lainnya
a) Undang-undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara (Lembaran Negara No. 70, 2003 dan Tambahan
Lembaran Negara No.4297).
b) Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2001 tentang Pengalihan
Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Mentri Keuangan pada
Perusahaan Persero (PERSERO), Perusahaan Umum (PERUM)
dan Perusahan Jawatan (PERJAN) kepada Mentri Negara Badan
Usaha Milik Negara.
43
c) Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan
dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
d) Peraturan Pemerintah No. 89 Tahun 2000 tentang Pencabutan
PP No. 98 Tahun 1999 tentang Pengalihan Kedudukan, Tugas
dan Kewenangan Mentri Keuangan Selaku Rapat Umum
Pemegang Saham (RUSP) atau Pemegang Saham pada
Perusahaan Persero (PERSERO) dan Perseroan Terbatas yang
sebagian sahamnya dimiliki oleh Negara RI kepada Menteri
Negara Penanaman Modal, dan Pembinaan Badan Usaha Milik
Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan PP No. 48 Tahun 2000.
e) Peraturan Pemerintah No. 98 Tahun 1999 tentang Pengalihan
Kedudukan Tugas dan Kewenangan Mentri Keuangan Selaku
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau Pemegang Saham
pada Perusahaan Perseroan (PERSERO) dan Perseroan Terbatas
yang sebagian Sahamnya dimiliki oleh Negara RI kepada
Menteri Negara Penanaman Modal, dan Pembinaan Badan
Usaha Milik Negara.
f) Peraturan Pemerintahan No. 96 Tahun 1999 tentang Pengalihan
Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan Selaku
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau Pemegang Saham
pada Perusahaan Perseroan (PERSERO) dan Perseroan Terbatas
yang sebagian sahamnya dimiliki oleh Negara RI kepada
Menteri Negara Penanaman Modal, dan Pembinaan Badan
Usaha Milik Negara.
g) Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
44
h) Undang-undang No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas
Undang-undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian.
i)
Undang-undang No. 6 Tahun 1983 sebagaimana yang telah
diubah dengan UU No. 1994 dan UU No.6 Tahun 2000 tentang
Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan.
j)
Undang-undang No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor
Ketenagakerjaan di Perusahaan.
k) Undang-undang No. 9 Tahun 1969 tentang Bentuk-bentuk
Usaha Negara.
l)
Undang-undang No. 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan
berlakunya UU Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 No. 23
dari RI untuk seluruh Indonesia.
m) Keputusan Menteri Kehakiman No. C2-2749.HT.01.Tahun 98
tentang Perseroan Terbatas.
45
BAB IV
ARAH KEBIJAKAN PERLINDUNGAN SOSIAL
BAGI PENDUDUK RENTAN
4.1
Perlunya Sistem Perlindungan Sosial Bagi Seluruh
Penduduk
Kebutuhan akan pengembangan sistem perlindungan sosial sudah
sangat mendesak bagi Indonesia. Hal itu didasari bukan saja karena
adanya mandat konstitusi yang mengharuskan hal tersebut–sebagaimana
telah dikemukakan di atas— tetapi juga karena beberapa kondisi obyektif
yang mengharuskan hal tersebut.
Pertama, jumlah penduduk yang memerlukan bantuan sosial masih
sangat banyak. Mereka umumnya adalah penduduk miskin dan penduduk
rentan miskin, yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan
dasar hidupnya secara layak agar mereka bisa berproduksi dan keluar dari
kemiskinan. Kondisi kehidupan mereka selama ini ditopang oleh jaringan
sosial (keluarga, kerabat dan lingkungan) dan bantuan sosial dari
pemerintah dan masyarakat sekitarnya.
Kedua, banyaknya jumlah penduduk yang memerlukan bantuan
sosial dari pemerintah tidak diimbangi dengan kemampuan keuangan
pemerintah secara memadai. Kesalahan kebijakan masa lalu menyebabkan
beban APBN yang sangat besar untuk hal-hal yang di luar pos bantuan
sosial, seperti untuk pembayaran hutang dan subsidi BBM yang lebih
banyak dinikmati oleh penduduk yang memiliki kendaraan bermotor.
Dalam beberapa hal pos pengeluaran pemerintah bahkan masih harus
ditutupi dengan hutang luar negeri.
46
Ketiga, jumlah penduduk yang sudah dicakup oleh jaminan sosial –
sebagaimana sudah diuraikan di atas—masih sangat kecil dibanding
dengan angkatan kerja yang ada. Rendahnya cakupan kepesertaan jaminan
sosial ini mengharuskan upaya mengembangkan sistem
perlindungan
sosial. Upaya perluasan perlindungan sosial akan mencegah penganggur
dan penduduk rentan terjun pada dunia kriminalitas guna memenuhi
kebutuhan dasar hidup dirinya dan keluarganya.
Keempat, tekanan demografis dengan peningkatan penduduk
lanjut usia dan memasuki usia pensiun tanpa pensiun mengharuskan
dikembangkannya sistem
perlindungan sosial. Sementara
dukungan
kelembagaan yang ada masih rendah. Sebagaimana sudah diuraikan di
atas, bahwa saat ini sedang terjadi pergeseran struktur penduduk
Indonesia yang mengarah kepada struktur penduduk tua (ageing
population) yaitu makin banyaknya penduduk lanjut usia (lansia), baik
secara absolut maupun secara nisbi. Peningkatan jumlah penduduk lansia
jauh lebih besar dibanding dengan peningkatan jumlah penduduk balita.
Post-war baby boom di Indonesia yang terjadi pada dekade '60-'70-an
diperkirakan akan mengakibatkan aged-population boom pada tiga dekade
permulaan abad ke-21. Generasi yang lahir pada tahun '60-'70-an, di tahun
90-an memasuki kehidupan keluarga dan di tahun 2015-2030-an akan
memasuki usia pensiun. Tanpa pembentukan dana pensiun yang luas dan
kuat saat ini, maka baby boomers tersebut akan menjadi beban masyarkat
dalam 15-25 tahun ke depan.
Data yang ada menunjukkan jumlah penduduk lansia yang
tercakup oleh sistem jaminan sosial baik dalam bentuk asuransi maupun
tabungan hari tua (pensiun) masih amat sedikit. Sebagian besar penduduk
lansia belum (tidak) memperoleh jaminan sosial baik berupa pensiun
47
maupun asuransi. Di samping cakupan jaminan sosial yang masih rendah,
dukungan institusi, seperti rumah jompo, pelayanan rumah sakit gratis,
bantuan pangan rutin, dll yang diberikan oleh pemerintah kepada
penduduk lansia juga masih belum memadai. Jumlah Panti Sosial Tresna
Werdha (PSTW) yang ada relatif dibanding dengan jumlah lansia yang
membutuhkannya masih jauh dari memadai. Kemampuan
pemerintah
untuk menangani permasalahan lansia – bahkan lansia terlantar yang
merupakan
keharusan
ditangani
oleh
pemerintah
sesuai
amanat
konstitusi— juga masih rendah.
Rendahnya kemampuan negara dalam memberikan dukungan
institusional dan rendahnya kemampuan keluarga dan masyarakat
memberikan bantuan sosial, menyebabkan beban berat bagi orang tua kita
yang telah ikut serta membangun negeri ini. Amat terbatasnya dukungan
pemerintah terhadap keberadaan lansia baik dalam bentuk bantuan sosial
(seperti melalui panti jompo dsb) maupun asuransi sosial (asuransi
kesehatan, asuransi jiwa, asuransi kecelakaan, pensiun dan sejenisnya)
membawa implikasi pada pentingnya peranan dukungan keluarga (familial
support) terhadap keberadaan lansia. Sayangnya, dukungan keluarga juga
belum memadai. Program yang dapat meningkatkan kemampuan ekonomi
keluarga muda, yang pada akhirnya dapat mendukung penduduk lansia,
akan sangat membantu.
Memang, solusi terbaik untuk memberikan perlindungan sosial
bagi lansia adalah dukungan keluarga yang dapat memberikan dukungan
kebutuhan fisik sekaligus dukungan psiko-sosial. Namun perlu disadari
bahwa mengandalkan semata-mata dari dukungan informal terhadap
keberadaan lansia dan juga terhadap keberadaan penduduk miskin tidak
cukup. Bukan saja karena sifat penanganannya yang tidak permanen tetapi
48
juga karena nilai-nilai sosial yang dapat mendukung mereka juga terus
mengalami perubahan.
Oleh karena itu perlu dikembangkan sistem perlindungan sosial
yang mencakup seluruh penduduk, termasuk penduduk rentan, yang
saling melengkapi antara sistem yang dikelola oleh pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dan oleh masyarakat atau keluarga sendiri. Peta dan
rencana strategis untuk mengantisipasi kebutuhan perlindungan sosial
bagi penduduk lansia harus segera dibuat untuk menghadapi window of
opportunity dalam menghadapi transisi demografis.
4.2
Tantangan
yang
Dihadapi
dalam
Mengembangkan
Sistem Perlindungan Sosial
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa kebutuhan akan
pengembangan sistem jaminan sosial formal yang mencakup seluruh
penduduk, sudah sangat mendesak. Namun sistem jaminan sosial formal
akan dapat berkembang sistemik dan permanen jika didukung oleh jumlah
dan kemampuan ekonomi penduduk usia produktif/angkatan kerja yang
secara proporsional lebih besar dari penduduk dependen. Hal ini
disebabkan karena penduduk usia kerjalah yang berkontribusi pada sistem
jaminan sosial, sebagai salah satu sistem perlindungan sosial yang handal
dan permanen. Jika kemampuan ekonomi penduduk dan kondisi
ketenagakerjaan masih relatif kecil, sistem perlindungan sosial akan
diwarnai dengan besarnya bantuan sosial dan jaringan sosial informal yang
temporer dan ad hoc. Pertanyaannya, “apakah kemampuan ekonomi
penduduk rendah dan kondisi ketenagakerjaan sudah memadai untuk
sebuah sistem jaminan sosial formal permanen?”
Sayangnya, kondisi ketenagakerjaan yang ada saat ini masih
menjadi tantangan utama dalam upaya mengembangkan sistem jaminan
49
sosial. Masalah ketenagakerjaan dan sosial ekonomi yang dihadapi
Indonesia, diantaranya:
a) Tingginya angka penganguran yang mencapai 12% dari
angkatan kerja, dan tingginya sektor informal yaitu lebih dari
60% angkatan kerja berimplikasi pada sulitnya memobilisasi
dana kontribusi mereka untuk sebuah sistem jaminan sosial
yang kuat.
b) Rendahnya kualitas tenaga kerja yang disebabkan oleh lebih
dari dua pertiga tenaga kerja Indonesia berpendidikan kurang
dari sekolah lanjutan tingkat pertama. Tingkat pendidikan
rendah
sangat
kemampuan
berhubungan
meningkatkan
dengan
nilai
produktifitas
tambah
produk
dan
yang
dihasilkan.
c) Rendahnya tingkat pendidikan dan kualitas tenaga kerja
menghasilkan tenaga kerja dengan upah rendah, yaitu hanya
sedikit di atas kebutuhan fisik minimum (KFM). Upah rendah
akan menimbulkan kesulitan pekerja untuk berkontribusi dalam
sistem jaminan (asuransi) sosial yang akan dikembangkan.
d) Kurang difahaminya oleh pejabat pemerintah, pemberi kerja,
pekerja, akademisi, dan masyarakat pada umumnya, bahwa
sebuah sistem jaminan sosial yang baik dan kuat merupakan
faktor amat penting dalam ketahanan ekonomi negara di
kemudian hari.
e) Masih lemahnya manajemen dan kinerja badan penyelenggara
jaminan sosial, akibat struktur badan penyelenggara, status
badan
hukum,
dan
kurangnya
kesadaran
tenaga-tenaga
penyelenggara dalam mengemban misi publik.
50
Jelaslah, bahwa sistem jaminan sosial formal permanen yang
mencakup seluruh penduduk belum mungkin terbentuk dalam waktu
dekat. Hal ini tidak berarti bahwa kita harus menunggu agar dependensi
rasio menjadi minimum untuk memulai. Semua negara memulai sejak dini,
sejak jumlah pekerja di sektor formal yang mampu berkontribusi masih
relatif sedikit. Secara bertahap, sistem jaminan sosial akan tumbuh menjadi
kuat, permanen, dan handal untuk menangkal berbagai risiko sosialekonomi penduduk. Kondisi di atas mengindikasikan bahwa sistem
perlindungan sosial lain, yang berbasis bantuan sosial dari sektor publik
dan swasta dan bersifat mendorong tumbuhnya lapangan pekerjaan,
sangat dibutuhkan saat ini dan harus terus dikembangkan.
Masih relatif sedikitnya pekerja yang telah secara aktif menjadi
peserta jaminan sosial dalam kondisi ketenagakerjaan sebagaimana
diuraikan di atas menggambarkan situasi yang dilematik. Di satu sisi,
rendahnya cakupan mengharuskan perluasan kepesertaan ke seluruh
pekerja. Di sisi lain, tingginya pengangguran, rendahnya upah, banyaknya
pekerja informal merupakan kendala besar dalam mengembangkan sistem
jaminan sosial yang ada. Dari mana kita mulai? Membenahi kondisi
ketenagakerjaan terlebih dahulu atau mengembangkan sistem jaminan
sosial tenaga kerja terlebih dahulu. Jawabannya adalah bahwa keduanya
tentu perlu dilakukan secara paralel.
Memberdayakan angkatan kerja yang menganggur dan yang
berusaha dalam sektor informal secara kecil-kecilan merupakan prioritas
penting agar seluruh tenaga kerja nantinya mampu menolong dirinya
sendiri dalam menghadapi risiko sosial-ekonomi di masa datang. Selain
itu, tenaga kerja tersebut pada akhirnya mampu menolong keluarganya,
ketika penghasilannya berkurang atau hilang sama sekali akibat suatu
51
penyakit, kecelakaan, atau memasuki hari tua yang tidak lagi produktif
secara ekonomis. Pemberdayaan ini mutlak diperlukan, agar mereka yang
secara ekonomis tidak atau kurang produktif dan sangat rentan terhadap
kemiskinan, apabila suatu risiko berimplikasi finansial terjadi, menjadi
angkatan kerja yang produktif dan mempunyai kemampuan ekonomis
yang memadai. Untuk itu, diperlukan satu komando dan penyelenggaraan
yang terpadu baik di sektor sosial, tenaga kerja, industri kecil, pertanian,
kelautan, perikanan, dan bahkan kehutanan. Segala potensi yang
memungkinkan angkatan kerja terserap dan meningkatkan kualitas dan
produktifitas tenaga kerja harus dipetakan, digerakkan, dipantau,
dikembangkan, dan dimobilisasi untuk membentuk sebuah sistem
perlindungan sosial, kombinasi sistem jaminan sosial formal dan bentuk
perlindungan sosial lain.
4.3
Pokok-Pokok
Kebijakan
Perlindungan
Sosial
Bagi
Penduduk Rentan
Seperti diuraikan di atas, suatu upaya terpadu dan lintas sektor
harus disiapkan, mulai dari perencanaan, penciptaan perangkat hukum,
perencanaan
strategis,
koordinasi
pelaksanaan,
evaluasi
dan
pengembangan sistem perlindungan sosial yang kuat. Berikut ini disajikan
pokok-pokok kebijakan yang harus dikoordinasikan dan dipadukan agar
terbentuk sistem perlindungan sosial yang kuat.
A. Kerangka Hukum: UU SJSN dan UU Kesejahteraan Sosial
Kebijakan tentang pengembangan sistem perlindungan sosial harus
didasari pada peraturan perundangan yang mendasari, yang jelas, yang
memudahkan semua pihak memahami sistem tersebut. Sebuah undangundang, UU No 40 Tahun 2004, tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
52
telah dihasilkan dan memuat skema sistem jaminan sosial formal terpadu
dan terkoordinasi. Namun demikian, rincian lebih lanjut dalam bentuk
Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (PerPres) masih harus
dirumuskan. Dalam waktu beberapa tahun ke depan, upaya yang harus
dilakukan adalah merumuskan implementasi dan menerbitkan beberapa
PP dan PerPres yang sinkron dan terpadu, yang saling melengkapi antara
satu dengan lainnya, berdasarkan skema-skema yang telah dirumuskan
secara garis besar dalam UU SJSN.
Dalam bidang perlindungan sosial yang bukan permanen,
berbentuk bantuan sosial, diatur dengan sangat sederhana dalam Undangundang
No.6
tahun
1974
Tentang
Ketentuan-ketentuan
Pokok
Kesejahteraan Sosial. Undang-undang ini sudah berusia 30 tahun dan
masih sangat sederhana serta belum menunjukan skema terarah dan
terpadu antara para pelaku perlindungan sosial. Oleh karenanya, dalam
waktu dekat, UU ini harus diamendemen atau disusun UU baru yang
mencakup bantuan sosial, di luar keadaan darurat bencana, yang kini
naskah RUU nya telah siap dibahas oleh DPR RI.
Yang harus diantisipasi oleh semua pihak adalah koordinasi dan
sinkronisasi antara satu undang-undang dengan undang-undang yang
lain. Naskah RUU Penanganan Bencana yang dibahas atas inisiatif DPR RI,
setelah kejadian tsunami, harus sinkron dengan UU SJSN dan RUU
pengganti UU Kesejahteraan Sosial.
Untuk memudahkan perumusan, berikut ini disajikan pokok-pokok
skema yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN).
1. Kepesertaan
jaminan
sosial
bersifat wajib
bagi
seluruh
penduduk yang dilaksanakan secara bertahap (Pasal 4).
53
Ketentuan penahapan diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Presiden.
2. Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan
berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal
tertentu. Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari
pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya
dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial secara berkala. (Pasal 17).
3. Bagi fakir miskin dan orang tidak mampu, Pemerintah secara
bertahap memberikan bantuan iuran (Pasal 14). Pada tahap
pertama, bantuan iuran yang dibayar oleh Pemerintah diberikan
untuk program jaminan kesehatan. Ketentuan lebih lanjut diatur
dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 17).
4. Jenis program jaminan sosial meliputi (a) jaminan kesehatan; (b)
jaminan kecelakaan kerja; (c) jaminan hari tua;
(d) jaminan
pensiun; dan (e) jaminan kematian (Pasal 18).
Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa yang dimaksud jaminan
sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin
seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang
layak. Sedangkan bantuan iuran adalah iuran yang dibayar oleh
Pemerintah bagi fakir miskin dan orang tidak mampu sebagai peserta
program jaminan sosial.
Salah
satu
ciri
menonjol
dari
UU
SJSN
tersebut
adalah
kepesertaannya yang bersifat wajib bagi seluruh penduduk dan adanya
subsidi (bantuan) iuran bagi penduduk miskin dan kurang mampu
(rentan). Dengan ketentuan itu maka penduduk miskin tetap memperoleh
jaminan sosial meskipun mereka tidak mampu membayar iuran sebab
54
iuran bagi penduduk miskin disubsidi oleh pemerintah. Pada tahap awal
bantuan iuran yang diberikan pemerintah kepada penduduk miskin masih
terbatas pada jaminan kesehatan. Oleh karena itu, sebuah perlindungan
sosial lain yang memungkin penduduk rentan berproduksi dan tercegah
dari kemiskinan, bantuan sosial atau pemberdayaan lain, baik oleh sektor
lain dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat, harus
diupayakan. Yang penting adalah juga harus dicegah terjadinya duplikasi
program perlindungan sosial kepada penduduk yang sama.
Di akhir tahun 2005 dan akan diteruskan di tahun 2006 dan
seterusnya, 60 juta penduduk miskin dan penduduk rentan sudah
mendapat jaminan kesehatan yang disalurkan melalui PT Askes, sesuai
dengan skema UU SJSN. Dengan penduduk miskin memperoleh jaminan
pelayanan, maka subsidi bantuan sosial pemerintah kepada penduduk
miskin harus diarahkan untuk program lain yang menjamin kecukupan
kebutuhan gizi dan kemampuan bekerja produktif.
B. Penentuan Sasaran
Salah satu masalah kritis yang dihadapi dalam pelaksanaan
perlindungan sosial adalah berkaitan dengan penentuan sasaran. Masalah
penentuan sasaran terjadi pertama-tama karena ada keterbatasan dana di
satu sisi, sementara jumlah sasaran yang harus dilindungi demikian besar
di sisi lain. Jika pemerintah memiliki dana cukup besar untuk memberikan
bantuan sosial kepada seluruh penduduk miskin dan cakupan sistem
jaminan sosial nasional sudah mencakup sebagian besar penduduk maka
masalah penentuan sasaran barangkali tidak begitu menjadi masalah.
Namun demikian, kondisi saat ini belum memungkinkan untuk itu
sehingga masalah penentuan sasaran masih menjadi hal yang sangat kritis
55
dalam pemberian bantuan sosial. Masalah lain dalam penentuan sasaran
ini adalah terkait dengan kriteria dan mekanisme pendataan.
Salah satu masalah kritis yang dihadapi selama ini, termasuk juga
dalam menentukan penduduk miskin dan penduduk rentan, antara lain
adalah berkaitan dengan penentuan batas (cut of point) penduduk miskin
dan penduduk tidak miskin. Penghitungan numerik tentang batas
penduduk miskin dalam praktek di lapangan sangat sensitif. Oleh karena
itu perlu dilakukan studi yang mendalam tentang bagaimana formula
penentuan batas tersebut, agar tidak semata-mata numerik tetapi juga
mempertimbangkan persepsi keadilan dan kewajaran yang berkembang di
masyarakat.
Berkaitan dengan penduduk rentan, masalah kriteria selama ini
belum ada data yang secara tegas menyatakan berapa besar jumlah
penduduk rentan dan dimana saja distribusinya. Ada beberapa kajian
teoritik yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti berkaitan dengan
penduduk rentan. Namun tentu saja hasil kajian tersebut tidak bisa serta
merta dapat digunakan untuk dijadikan dasar dalam menentukan sasaran
penduduk rentan di lapangan.
Data yang paling besar yang dapat digunakan untuk menentukan
penduduk rentan adalah data yang dikumpulkan oleh BPS melalui
Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk 2005 (PSE05) atau yang dikenal
dengan Sensus Kemiskinan. Namun simulasi lebih mendalam terhadap
berapa besar penduduk rentan dengan menggunakan hasil sensus
kemiskinan belum dapat dilakukan mengingat proses verifikasi terhadap
data tersebut masih terus berlangsung.
Sementara pengertian penduduk rentan dari perspektif legal daat
ditemui setidaknya di dua undang-undang, yaitu Undang-Undang No. 39
56
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No. 10
Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembinaan
Keluarga Sejahtera.
Pasal 5 ayat 3 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 dinyatakan,
bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat rentan berhak
memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan
kekhususannya.
Di
dalam
penjelasannya
yang
dimaksud
dengan
kelompok masyarakat rentan antara lain adalah orang lanjut usia, anakanak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat.
Dalam UU No. 10 Tahun 1992 dinyatakan, bahwa masyarakat
rentan adalah penduduk yang dalam berbagai matranya tidak atau kurang
mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensinya sebagai akibat
dari keadaan fisik dan non fisiknya. Termasuk di dalamnya adalah
komunitas adat terpencil, anak-anak terlantar, dan remaja bermasalah.
Sehubungan
dengan
penduduk
rentan
tersebut
Direktorat
Pendaftaran Penduduk, Ditjen Administrasi Kependudukan Departemen
Dalam Negeri telah menerbitkan Sistem Prosedur dan Standar Pelayanan
Pendaftaran Penduduk Rentan. Dalam pedoman tersebut yang dimaksud
dengan penduduk rentan adalah orang lanjut usia (lansia), anak balita,
fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat (UU No. 30 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia) serta komunitas adat terpencil, anak-anak
terlantar dan remaja bermasalah (UU No. 10 Tahun 1992).
Selanjutnya dijelaskan bahwa yang dimaksud penduduk lanjut usia
adalah penduduk berusia lebih dari 60 tahun dan termasuk kategori
prasejahtera dan keluarga sejahtera 1 (satu) karena alasan ekonomi. Wanita
hamil adalah wanita yang termasuk penduduk rentan kesehatan. Anak
balita adalah anak dengan usia di bawah 5 tahun yang rentan terhadap
57
penyakit dan kemampuan potensi inteligensianya yang terkait pemenuhan
gizi masih dapat dikembangkan. Penyandang cacat adalah setiap orang
yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu
atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan
pekerjaan secara layaknya, yang terdiri dari penyandang cacat fisik (tuna
rungu, tuna wicara, tuna netra, tuna daksa), dan penyandang cacat mental.
Fakir miskin adalah keluarga yang termasuk dalam kategori keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera tahap 1 (KS 1). Anak terlantar adalah anak
yang karena suatu sebab, orang tuanya melalaikan kewajibannya sehingga
tidak dapat terpenuhi kebutuhannya dengan wajar baik secara jasmani,
rohani maupun sosial. Remaja bermasalah adalah remaja yang terlibat
narkoba, pergaulan bebas, tawuran dan tindak kriminal. Komunitas adat
terpencil adalah penduduk yang bertempat tinggal dan atau berkelana di
tempat-tempat yang secara geografis terpencil, terisolir dan secara sosial
budaya terasing dan atau masih terbelakang dibandingkan dengan
penduduk pada umumnya.
Jika pendaftaran penduduk rentan yang dilakukan oleh Ditjen
Administrasi Kependudukan dapat berjalan dengan baik maka seharusnya
jumlah penduduk rentan (sebagaimana digariskan pada dua undangundang tersebut) dapat diketahui dengan baik. Namun karena pendaftaran
penduduk yang ada selama ini masih belum efektif maka jumlah
penduduk rentan sesuai pengertian kedua undang-undang tersebut belum
dapat diketahui dengan baik.
C. Kelembagaan
Kelembagaan pengelola dan penyelenggara perlindungan sosial
secara garis besar dipilah menjadi dua, yaitu kelembagaan yang menangani
jaminan sosial dan kelembagaan yang menangani bantuan sosial lain.
58
Dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional lembaga yang menangani jaminan sosial disebut sebagai
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Selama ini sudah ada empat
BPJS
yang
dikenali
dan
disebutkan
dalam
UU
SJSN,
yang
penyelenggaraannya harus menyesuaikan diri dengan UU SJSN. Selain
empat BPJS tersebut, dapat dibentuk BPJS baru dengan UU. Pasal 5 ayat 1
UU tersebut menyatakan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(baru) harus dibentuk dengan Undang-Undang. Semula Pasal 5 ayat 3
menyatakan bahwa yang dimaksud BPJS dalam Undang-Undang ini
adalah PT Jamsostek (Persero), PT Taspen (Persero), PT ASABRI (Persero)
dan PT Askes (Persero). Namun dalam judicial review, Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa pasal tersebut tidak mengikat dan
penetapan empat badan penyelenggara untuk program jaminan sosial
nasional sudah cukup diatur oleh Pasal 52 UU SJSN. Jadi, esensinya
keempat BPJS yang telah ada sah dan sesuai dengan amanat konstitusi.
Dalam pengaturan lebih lanjut, sebaiknya diatur agar satu BPJS
menyelenggarakan satu program secara nasional agar tidak terjadi
tumpang tindih, baik programnya maupun penduduk yang dilayaninya.
Sementara itu, pemerintah daerah dapat mengembangkan program
jaminan sosial bagi penduduk atau program yang belum atau tidak
dilayani oleh BPJS nasional. Dengan demikian, akan terjadi harmoni dan
keterpaduan perlindungan sosial bagi seluruh penduduk dan untuk
berbagai
kebutuhan
dasar
yang
layak,
dalam
rangka
mencegah
bertambahnya penduduk miskin dan atau rentan.
Kalau menilik kelembagaan jaminan sosial di berbagai negara
memang tampak bervariasi dari banyak lembaga/badan penyelenggara
sampai badan penyelenggara tunggal di tingkat nasional yang mengelola
59
berbagai program jaminan sosial. Banyaknya badan penyelenggara
tersebut mempengaruhi efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan program
jaminan sosial. Pengalaman di beberapa negara menunjukkan adanya
kecenderungan mengarah kepada kelembagaan yang semakin kecil
jumlahnya, bahkan ada negara yang jaminan sosialnya hanya dikelola oleh
satu badan untuk seluruh program.
Di samping itu, tampak adanya suatu pola yang sama yaitu
penyelenggaraan jaminan sosial dikelola secara nirlaba, baik yang dikelola
langsung oleh organisasi pemerintah atau dikelola oleh badan semi (kuasi)
pemerintah yang tidak dipengaruhi birokrasi pemerintahan dalam
pengambilan keputusan penting dan di dalam pengelolaan dana.
Pengelolaan bersifat nirlaba, artinya setiap sisa hasil usaha akan
dikembalikan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta dan bukan
dibagikan sebagai dividen kepada pemegang saham atau pemerintah,
memang sejalan dengan falsafah, visi-misi, dan tujuan jaminan sosial
sebagai upaya perlindungan dan bukan upaya mencari dana.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka kebijakan ke depan
tampaknya perlu mengarah kepada kelembagaan jaminan sosial yang
mampu memberikan kepastian jaminan perlindungan dalam memenuhi
kebutuhan hidup layak bagi setiap penduduk, secara berkelanjutan
sehingga dapat terwujud kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat
Indonesia secara berkeadilan. Penyelenggaraan program perlindungan
sosial harus bertumpu kepada prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan
jaminan sosial yaitu penyertaannya bersifat wajib bagi seluruh rakyat,
kegotong royongan, memberikan perlindungan yang adil dan merata pada
setiap peserta, peserta membayar iuran, dikelola secara nasional agar
60
terpenuhi hukum angka besar (law of the large numbers) yang efisien dan
efektif, transparan dan dapat dipercaya.
Kelembagaan jaminan sosial haruslah dibentuk sebagai suatu
sistem yang integral, terkoordinasi dan dapat menghindari terjadinya
tumpang tindih sebagaimana yang terjadi pada program jaminan sosial
yang ada saat ini. Kelembagaan badan penyelenggara jaminan sosial
haruslah kelembagaan yang independen, menerapkan good governance dan
dapat dipercaya untuk mewakili kepentingan para stakeholders yaitu
peserta, pemberi kerja dan pemerintah. Lembaga tersebut merupakan
lembaga yang mengandung sifat dasar sebagai perwalian amanah dari
dana yang terkumpul.
Penanganan bantuan sosial selama ini lebih bersifat ad hoc oleh
banyak instansi, sementara Departemen Sosial yang sesuai tugas dan
fungsinya mengelola bantuan sosial dari pemerintah memiliki cakupan
yang amat terbatas. Departemen Sosial hanya memberikan bantuan sosial
kepada mereka yang disebut sebagai penyandang masalah kesejahteraan
sosial (PMKS) yang daya cakupnya juga terbatas. Padahal yang
memerlukan bantuan sosial sesuai dengan pengertian di atas tidak hanya
yang tergolong PMKS tetapi penduduk lain yang juga rentan terhadap
berbagai risiko sosial. Kedua, perubahan tata pemerintahan sebagai akibat
diberlakukannya otonomi daerah telah merubah secara signifikan bentuk,
fungsi, dan kewenangan kelembagaan yang menangani bantuan sosial.
Peran pemerintah daerah (propinsi dan kabupaten) dalam mengelola
berbagai program pembangunan jauh lebih besar dari sebelumnya,
sementara di sisi lain kemampuan antar daerah juga sangat bervariasi.
Dengan kondisi tata pemerintahan seperti itu, maka pengelolaan bantuan
sosial utamanya bagi penduduk miskin dan penduduk rentan harus
61
dijabarkan secara jelas dalam kerangka kewenangan pemerintah pusat dan
daerah.
Studi ini belum menganalisis secara lengkap dan rinci tentang
bagaimana bentuk kelembagaan yang ideal untuk mengelola bantuan
sosial.
Namun
studi
ini
merekomendasikan
bahwa
kelembagaan
pengelolaan bantuan sosial, yang sifatnya sementara di luar program
jaminan sosial yang diatur UU SJSN, sebaiknya dikoordinasikan oleh satu
instansi yang memang memiliki tugas dan kewenangan mengelola bantuan
sosial, yang dalam hal ini, misalnya, adalah Departemen Sosial. Sementara
itu, pengelola di lapangan dapat diserahkan kepada masing-masing daerah
yang didanai bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan
bantuan masyakarat. Dalam hal penentuan sasaran (siapa penduduk
miskin dan rentan yang memang berhak dan pantas memperoleh bantuan
sosial) diatur standar nasional yang ditetapkan, misalnya, oleh Departemen
Sosial sehingga tidak terjadi tumpang tindih. Sementara daerah yang
mampu dapat meningkatkan standar tersebut, dengan konsekuensi
penambahan dana oleh pemda terkait. Mengingat masalah penentuan
penduduk miskin dan rentan sebagai sasaran bantuan seringkali
mengalami banyak kendala di tingkat pelaksanaan di lapangan maka
Departemen Sosial berangkat dari data penduduk miskin dan rentan yang
ada perlu mengembangkan instrumen yang tepat dan mudah diterapkan
dalam melakukan seleksi siapa sebenarnya penduduk miskin dan rentan
yang benar-benar layak untuk diberikan bantuan sosial. Selanjutnya
instrumen
tersebut
disosialisikan
ke
setiap
daerah
untuk
melaksanakannya. Sedangkan database-nya dibangun secara terpusat secara
nasional. Pengembangan database penduduk miskin yang menjadi sasaran
bantuan sosial hendaknya mengacu pada Nomor Induk Kependudukan
62
(NIK) yang saat ini sedang dikembangkan oleh Departemen Dalam Negeri.
Siapa yang perlu mendapat bantuan sosial secara permanen dan siapa
yang cukup diberikan secara insidental juga perlu dicakup dalam
pendataan ini, termasuk pula jenis atau bentuk bantuan apa yang perlu
diberikan (uang tunai, barang atau pelayanan, pangan, papan dan
sebagainya).
Dengan kelembagaan yang kuat dan terkoordinir di satu pintu
maka diharapkan pelaksanaan bantuan sosial ke depan dapat dilakukan
secara lebih baik.
D. Skema Pendanaan
Pendanaan program sistem perlindungan sosial yang bersumber
dari bantuan sosial masih bertumpu pada sumber utama APBN-APBD,
paling tidak untuk 10 tahun ke depan. Kontribusi pemerintah daerah yang
secara umum selama ini masih rendah harus ditingkatkan secara bertahap.
Namun demikian, perlu dihargai upaya beberapa pemda seperti di
Tabanan, Jimbaran, Lebak, Musi Banyuasin, Kutai Kertanegara, dll, yang
dari segi alokasi APBD telah mengalokasikan dana cukup signifikan untuk
program-program perlindungan sosial, baik yang disalurkan kepada
fasilitas pelayanan pemerintah maupun yang disalurkan melalui bantuan
iuran program jaminan kesehatan.
Sumber dana kedua harus berasal dari iuran atau kontribusi setiap
penduduk, baik yang dipotong langsung dari gaji/upah, yang dibayarkan
oleh majikan sebagai tanggungjawab majikan dan investasi majikan
terhadap sumber daya manusia yang dimilikinya. Yang menjadi tantangan
terbesar dan memerlukan studi serta eksperimen yang seksama adalah
pengumpulan dana dari tenaga kerja di sektor informal, seperti pedagang
eceran, warung-rumah, usaha rumah tangga, petani mandiri dan nelayan
63
mandiri. Kelompok sektor informal tidak memiliki penghasilan tetap
sebagaimana gaji atau upah yang diterima karyawan setiap bulan.
Kesadaran kelompok ini untuk menabung atau membayar iuran juga
umumnya rendah, sehingga kesadaran sendiri akan sulit diharapkan.
Pemaksaan atau penegakan hukum kepada kelompok ini sangat sulit dan
sangat berbeda bila dibandingkan dengan pemaksaan majikan untuk
memotong gaji dan menambahkan kewajibannya dalam membayar iuran.
Uji
coba
dan
penelitian
seksama
di
berbagai
daerah,
dengan
memberdayakan kearifan lokal, namun tetap pada koridor sistem nasional
untuk perlindungan dasar, harus terus dilakukan dalam waktu sepuluh
tahun ke depan.
Selain kedua sumber yang dapat dijamin keberlanjutannya di atas,
bantuan solidaritas sosial dari masyarakat, baik berupa zakat, infak,
sedekah, karitas, ataupun sumbangan yang dapat mengurangi pajak yang
diberi insentif sistem perpajakan, harus terus dikembangkan. Meskipun
pada umumnya pendanaan bersumber eksternal seperti ini tidak menjamin
kecukupan dan ketepatan sasaran, peran sumber dana ini cukup besar di
kemudian hari.
Bantuan dana berupa pinjaman luar negeri untuk program yang
bersifat konsumtif, pemberian bantuan langsung, harus dikurangi sehingga
menjadi tidak ada sama sekali. Sesungguhnya, potensi di dalam negeri dari
mereka yang mampu juga cukup besar. Selain itu, dana yang terkumpul
dari program jaminan sosial jangka panjang, seperti jaminan hari tua dan
jaminan pensiun, yang terkumpul dan terakumulasi untuk jangka panjang,
juga dapat digunakan untuk menutupi kekurangan pendanaan lokal.
64
E. Kebijakan dan Program
Untuk itu, kebijakan dan strategi SPS penduduk rentan dijabarkan
ke dalam indikasi program-program untuk mencapai sasaran penduduk
rentan yaitu:
a) Kegiatan-kegiatan pokok pada program pembangunan yang
tertuang dalam rencana pembangunan jangka menengah yang
berkaitan dengan pelaksanaan bantuan sosial harus diarahkan
pada
pemberdayaan
kemampuan
ekonomi
dan
ilmu
pengetahuan penduduk rentan.
b) Program pembangunan yang mendukung pengembangan
kearifan lokal dalam koridor program nasional harus terus
dikembangkan, diteliti, dan dikembangkan secara seksama.
c) Program-program pembangunan yang berkaitan dengan upaya
memperkuat dukungan keluarga dan partisipasi masyarakat,
termasuk
pemasaran
sosial
kehidupan
bergotong-royong
(solidaritas sosial) harus terus digalakkan secara nasional.
d) Program pembangunan yang mendukung pengembangan
nomor induk kependudukan (NIK) – Basis Data Kepesertaan
harus terus dikembangkan dan diintegrasikan agar manfaat dan
perkembangan penduduk rentan dapat dipantau secara reguler
setiap tahun.
Pembentukan suatu SPS yang mapan dan berkesinambungan
memerlukan waktu yang panjang dan lama bergantung pada kesiapan
perangkat
peraturan
perundangan,
kelembagaan,
pendanaan
serta
mekanisme penyaluran dan sistem monitoring. Tahap awal adalah
membentuk SPS bagi Penduduk Rentan berikut perangkat pendukung baik
dari aspek substansi (termasuk kebijakan, program, pendanaan, penentuan
65
sasaran, dan sistem monitoring), aspek peraturan perundangan, dan
kelembagaan.
F. Penyelenggaraan Perlindungan Sosial di Daerah
Tiap-tiap daerah perlu membuat rencana strategis pengalihan
pendanaan perlindungan sosial secara transisional dari pemberian ‘ikan’
kepada pemberian ‘pancing’ atau pemberdayaan. Rencana strategis SPS
lokal, yang merupakan komplemen dari program nasional, harus
dituangkan dalam sebuah Perda. Pada akhirnya nanti, pemberian bantuan
lansung berbentuk pelayanan ataupun bantuan iuran hanya diberikan
kepada yang benar-benar miskin atau yang dalam keadaan miskin
sementara.
Pemberian bantuan langsung tunai seperti yang dalam beberapa
bulan terakhir ini dilakukan, harus sangat dibatasi kepada penduduk yang
secara fisik tidak memiliki potensi untuk berusaha guna mendapatkan
penghasilan. Penduduk lansia dan cacat total/tetap merupakan penduduk
yang berhak atas dana bantuan langsung tunai.
G. Program Kerja yang Direkomendasikan
Secara operasional, berikut ini disajikan beberapa rekomendasi
penyelenggaraan perlindungan sosial bagi penduduk rentan yang
merupakan program sinergis antara pusat dan daerah dan antarsektor.
Perhitungan kebutuhan dana program ini belum dikaji dan dihitung.
Perhitungan tersebut dapat dilakukan setelah pendataan jumlah penduduk
rentan dengan indikator yang sensitif telah dilakukan. Selain penyedia
dana stimulan, Pemerintah pusat melakukan pengawasan dan penyediaan
bantuan teknis tenaga ahli untuk berbagai program yang dijalankan sesuai
66
dengan kondisi daerah yang memungkinkan suatu program dijalankan.
Program-program yang direkomendasikan antara lain adalah:
a. Peningkatan pendapatan pengganti Bantuan Langsung Tunai
(BLT)
Setiap
Pemda
pendamping
perlu
dirangsang
pembukaan
untuk
lapangan
kerja
menyediakan
ekstensif
dana
dengan
meyediakan sekitar 10-50% dana, tergantung dari kapasitas fiskal
daerah. Pemda yang mempunyai kapasitas fiskal terendah
menyediakan 10% dana yang dibutuhkan, sedangkan Pemda
dengan kapasitas fiskal tinggi menyediakan 50% dana yang
dibutuhkan. Sisanya ditanggung oleh Pemerintah pusat sebagai
kompensasi kenaikan harga BBM untuk empat (4) tahun ke depan.
Program yang dibuka misalnya berupa:
1) Penanaman pohon dalam rangka reboisasi hutan produktif di
lahan tidur yang tersedia di daerah, atau penghijauan sepanjang
tepi jalan negara, provinsi, kabupaten, bahkan jalan desa
dengan kayu bernilai jual baik seperti kayu jati dan mahoni
untuk kebutuhan 15-40 tahun di masa datang. Setiap penduduk
rentan di daerah yang telah diidentifikasi ditawari bekerja
menanam pohon tersebut dengan upah harian. Tergantung dari
jumlah dana yang tersedia, pekerjaan tersebut dapat ditawarkan
setiap hari atau beberapa hari dalam se minggu. Besarnya upah
dibayarkan sebesar upah minimum kota/kabupaten.
2) Pembersihan saluran air buangan dalam rangka pencegahan
banjir dan penyebaran penyakit menular melalui air. Pola yang
dilakukan sama yaitu menawarkan kepada penduduk rentan
dan miskin untuk bekerja harian, dengan pengawasan yang
67
memadai, secara teratur untuk empat tahun ke depan. Besarnya
upah dibayarkan sebesar upah minimum kota/kabupaten.
3) Penyediaan sumber air bersih publik seperti pembuatan sumur
bor, pembangunan waduk kecil di daerah untuk pengairan
rakyat berskala desa atau kecamatan, pembangunan irigasi
lahan pertanian, pembangunan penampungan air hujan di
daerah sulit air tanah, pembangunan penyaringan air tanah
payau atau air tanah bermineral tinggi di daerah rawa-rawa,
dan pengaliran air rawa yang menjadi sumber pembiakan
nyamuk penyebar penyakit malaria, filaria, demam berdarah,
dan sebagainya.
4) Penanaman pohon buah atau pohon penghasil komoditas
ekspor di lahan-lahan tidur atau di sepanjang pantai, aliran
sungai, danau dan sebagainya dengan pohon produktif seperti
pohon kayu putih, pohon damar, pohon jarak, dan sebagainya
yang sesuai dan subur tumbuh di suatu daerah.
b. Menanggulangi risiko fisik yang menurunkan produktivitas dan
mencegah jatuh miskin
Penduduk miskin dan rentan sangat mudah jatuh sakit yang
menyebabkan mereka kehilangan penghasilan atau kehilangan
potensi bekerja untuk mendapatkan penghasilan. Secara nasional
Pemerintah telah menganggarkan program jaminan kesehatan
sesuai dengan UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN, namun
demikian tidak semua penduduk dapat terlindungi secara
memadai. Untuk itu, perlu skema khusus di daerah yang
memperkuat program nasional tersebut seperti:
1.) Memberikan jaminan kepada setiap penduduk rentan yang
belum dijamin Askes dalam perawatan di rumah sakit, misalnya
68
dengan menambah iuran kepada Askes atau memberikan
penggantian biaya ke rumah sakit pemerintah maupun swasta
di daerah. Dana untuk ini disiapkan oleh daerah sebagai dana
pendamping
program
Askes
dan
sebagai
suatu
upaya
pengembangan jaminan sosial oleh daerah sesuai dengan UU
No. 32 Tahun 2004 Pasal 22 ayat h. Beberapa daerah telah
menyediakan pelayanan puskesmas gratis untuk seluruh
penduduk. Perlu diingat bahwa pelayanan rawat jalan seperti
yang dilayani di puskesmas, tidaklah mengancam ekonomi
penduduk rentan. Namun demikian, kebutuhan rawat inap
dapat menjadikan penduduk rentan jatuh miskin. Oleh
karenanya yang harus dijamin Pemda, sebagai pendamping
program nasional, haruslah menjamin pendanaan rawat inap,
pembedahan,
perawatan
intensif,
atau
pemberian
dana
transportasi untuk perawatan di rumah sakit yang tidak dijamin
oleh Askes. Prinsip dasar program ini adalah menolong
penduduk yang tidak mampu menolong dirinya sendiri, yaitu
ketika mereka membutuhkan perawatan di rumah sakit yang
mahal. Besarnya bantuan sosial dapat disyaratkan bagi biaya
perawatan yang besarnya lebih dari 40% upah minimum
provinsi (UMP), sesuai dengan standar biaya katastropik WHO.
Pemberian pelayanan puskesmas gratis ke semua penduduk
kurang tepat, karena sesungguhnya sebagian besar penduduk
sanggup membayar biaya puskesmas yang kecil.
2.) Pemberian jaminan biaya rawat inap penduduk lanjut usia
(berusia lebih dari 60 tahun) yang tidak memenuhi syarat atau
tidak dijamin program nasional melalui Askes. Ini merupakan
69
program penghargaan anak kepada orang tua yang telah
membesarkan mereka di suatu daerah. Penduduk lansia tidak
lagi mampu mencari penghasilan yang memadai sementara
risiko sakit kronis maupun sakit akut akibat infeksi atau tertular
penyakit sangat tinggi. Sumber dana dari APBD sebagai
pendamping program SJSN pusat yang didanai APBN. Apabila
seluruh penduduk lansia sudah terjamin melalui Askes, maka
pemda
dapat
memberikan
jaminan
uang
tunai,
untuk
memenuhi kebutuhan transpor atau makan pasangan lansia
yang sedang dirawat di rumah sakit. Contoh yang baik
dilakukan oleh Pemda Lebak, yang relatif miskin, dengan
memberikan jaminan kesehatan kepada rakyat miskin dan PNS
yang tidak mengeluarkan uang sepeserpun karena Pemda
menambahkan iuran kepada Askes dan menanggung semua
biaya yang tidak termasuk dalam paket yang dijamin Askes.
Bahkan keluarga miskin yang anaknya dirawat karena kurang
gizi mendapat tambahan uang tunai sebesar Rp 20.000 per hari
perawatan untuk biaya makan orang tua selama menunggu dan
biaya makan anggota keluarga di rumah. Jumlah tersebut masih
ditambah Rp 50.000,- per hari dari Perhimpunan Masyarakat
Banten yang dihimbau dan dipancing oleh Pemda melalui dana
bantuan uang tunai tersebut.
3.) Pemda mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Daerah dengan
membentuk Dana Amanat Daerah, seperti Dana Amanat dalam
SJSN, yang dapat dikumpulkan dari iuran wajib setiap
penduduk ditambah hibah dari APBD setiap tahun, yang diatur
dengan Perda. Dana Amanat Daerah ini digunakan untuk
70
mengganti penghasilan penduduk, tidak hanya penduduk
rentan, yang hilang atau tidak lagi memperoleh penghasilan
karena suatu kecelakaan, penyakit kronis atau cacat akibat suatu
penyakit berat seperti jantung, stroke, polio, dan sebagainya.
Program ini juga merupakan pengembangan sistem jaminan
sosial oleh Pemda seperti diamanatkan oleh UU No. 32 Tahun
2004. Hanya saja, jaminannya berupa uang tunai bulanan
sebesar 60-70% dari penghasilan sebelumnya. Program ini
dikenal
dengan
Asuransi
Disabilitas
Penghasilan
yang
diperuntukkan bagi mereka yang kehilangan penghasilan akibat
suatu penyakit atau kecelakaan, baik di tempat kerja maupun
kecelakaan lalu lintas atau di laut ketika nelayan mencari ikan.
Asuransi ini juga memberikan penggantian penghasilan kepada
ahli waris, ketika pencari nafkah keluarga meninggal dunia
akibat penyakit atau kecelakaan tersebut.
c. Program peningkatan kapasitas kerja penduduk rentan
Program ini bertujuan meningkatkan kemampuan ekonomi dan
produktivitas penduduk rentan yang telah memiliki pekerjaan
bebas atau bekerja mandiri, bukan sebagai pegawai suatu badan
usaha pemerintah atau swasta, akan tetapi hasil pekerjaannya tidak
memadai. Contohnya misalnya petani, nelayan, pedagang eceran,
industri rumah tangga yang dikelola oleh anggota rumah tangga
sendiri tanpa melibatkan tenaga kerja dari keluarga lain, atau
pemilik toko atau warung yang dikelola oleh rumah tangga.
Program-program ini sebaiknya dikelola secara terpadu lintas
sektor dan melibatkan pengusaha besar nasional, yang bergerak
dalam bidang retail, produksi, atau distribusi bahan. Pengawasan
ketat oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
71
merupakan keharusan dalam rangka melindungi penduduk rentan
dari eksploitasi untuk membayar biaya yang akan menghambat
peningkatan kapasitasnya. Program-program yang dijalankan
antara lain:
1.) Menghidupkan kembali tabungan keluarga atau kredit usaha
keluarga guna meningkatkan volume usaha, yang pernah
dijalankan di jaman Orde Baru oleh program kependudukan
yang kemudian dikelola oleh Yayasan Mandiri. Penduduk yang
memiliki usaha diwajibkan menyediakan dana pendamping
sebesar 20-30% dari modal pengembangan usaha yang
dibutuhkan. Jaminan atau kolateral tidak boleh diwajibkan,
namun demikian, penduduk wajib membuka rekening di BPR
atau di kantor bank atau kantor pos atau kantor desa yang
tersedia di daerah. Karena program ini akan melibatkan dana
bergulir yang besar, maka pengawasan dana dan bantuan teknis
pemerintah pusat atau pemerintah provinsi agar dana bergulir
menjadi besar, mutlak diperlukan. Penegakan hukum atas
penyimpangan, yang dirumuskan dan dilakukan secara terbuka
oleh para anggota, harus dijalankan dengan tegas, agar program
dapat berjalan untuk masa puluhan atau ratusan tahun.
Penduduk rentan harus diberdayakan dan dibudayakan
memberikan sangsi efektif dan tegas atas pelanggaran yang
merugikan kelompok.
2.) Menyediakan pelatihan manajemen uang, manajemen industri
kecil, manajemen pemasaran, manajemen teknis (misalnya
pertanian tertentu, beternak udang, menanam rumput latu, atau
teknik menangkap ikan), dan manajemen masa depan yang
72
membuka pandangan penduduk rentan terhadap pasar luas
dunia.
3.) Menyediakan subsidi sarana peningkatan daya jual produk,
seperti penyediaan mesin pendingin bagi nelayan atau mesin
pengolah padi bagi petani padi.
d. Program pemantauan dan penanggulangan dini penduduk dengan
potensi masalah sosial
Program pemantauan dan penanggulangan dini penduduk dengan
potensi masalah sosial dapat dilakukan antara lain melalui:
1.) Tiap Pemda kota/kabupaten diwajibkan untuk membentuk
Badan Perlindungan Sosial Terpadu (BAPESDU), yang bertugas
untuk memantau dan mengkoordinasikan berbagai manfaat
(benefit) dari program bantuan sosial, SJSN, perlindungan sosial
lain—baik dari pemerintah maupun dari swasta. BAPESDU
bukanlah badan operasional, akan tetapi badan koordinasi yang
berfungsi menggariskan kebijakan dan memantau keterpaduan
berbagai program perlindungan sosial, baik yang dikelola
secara nasional seperti Askes dan Jamsostek maupun yang
dikelola oleh Pemda dan LSM. BAPESDU ini berbeda dengan
Dinas Sosial yang bersifat operasional. Anggota BAPESDU
adalah wakil tokoh masyarakat dan para kepala/manajer kantor
daerah
program
kepala/manajer
SJSN
badan
yang
sejenis
bersifat
yang
nasional,
mengelola
dan
program
perlindungan sosial yang berskala lokal kota/kabupaten.
2.) Dengan sistem dana pancingan, matching fund, dari Pusat yang
dapat dialokasikan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) yang
memerlukan
perkuatan
peraturan,
Pemda
diminta
menghidupkan kembali dan memperluas pelayanan Posyandu.
73
Posyandu “baru” mempunyai fungsi pemantauan, pelaporan
kepada
pihak
Badan
Perlindungan
Sosial
Daerah,
dan
pengawasan terhadap program perlindungan sosial bagi
anggota keluarga Posyandu dalam hal perlindungan sosial luas.
Termasuk perlindungan sosial tersebut adalah programprogram yang disebutkan di atas dan termasuk melaporkan
penduduk yang terkena PHK, terkena musibah berat, kurang
makan yang ditandai dari menurunnya berat badan balita yang
ditimbang rutin di Posyandu, dan melaporkan berbagai risiko
sosial lain yang memerlukan perlindungan sosial.
74
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Perlindungan sosial saat ini masih dikelola secara terpecah-pecah
(fragmented) baik karena peraturan perundangan yang hanya dibuat secara
sektoral dan sub sektoral, maupun karena secara sosial-ekonomis
penyelenggaraan terpadu belum dilaksanakan. Selain itu, fokus program
perlindungan sosial masih kepada dua kelompok besar penduduk, yaitu
penduduk pekerja di sektor formal yang memiliki penghasilan relatif baik,
dan penduduk miskin absolut yang kriterianya digunakan seragam secara
nasional. Penduduk yang bekerja di sektor informal dan memiliki
penghasilan hanya sedikit di atas garis kemiskinan masih luput dari
program perlindungan sosial. Di lain pihak, penduduk marjinal tersebut,
yang disebut penduduk rentan, yang memiliki potensi besar jatuh kepada
kemiskinan berjumlah lebih besar.
Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) telah
merumuskan suatu program yang lebih menjamin sinkronisasi dan
menghilangkan tumpang tindih program jaminan sosial yang bersifat
permanen dan formal. Namun demikian, penjabaran operasional lebih
lanjut harus segera dilakukan dalam bentuk penerbitan Peraturan
Pemerintah dan Peraturan Presiden. Selain itu, program bantuan sosial
yang tidak mencakup program dan penduduk yang sama yang dicakup
oleh UU SJSN untuk sementara waktu masih harus segera dijabarkan dan
dilaksanakan secara terpisah dari pengelola SJSN.
75
5.2 Saran
Pemerintah (pusat dan daerah) perlu menyadari sepenuhnya
bahwa program perlindungan sosial selain jaminan kesehatan, harus
dikembangkan agar penduduk rentan tidak jatuh menjadi penduduk
miskin. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Kewenangan Daerah
telah mewajibkan pemerintah daerah untuk ‘mengembangkan sistem
jaminan sosial’ tanpa menjelaskan rincian apa yang dimaksud dengan
‘jaminan sosial’. Dengan prinsip penyelenggaraan terkoordinasi dan
bersifat saling melengkapi antara pusat dan daerah, maka salah satu upaya
yang perlu dijalankan oleh pemerintah daerah adalah menutupi
kekosongan perlindungan sosial yang tidak dilaksanakan oleh Pemerintah
pusat. Hal ini harus disadari pemerintah daerah, bukan dengan menuntut
agar program yang diselenggarakan oleh pusat dikelola oleh daerah.
Sebagai contoh, jika jaminan kesehatan sudah diberikan oleh Pemerintah
pusat, maka pemerintah daerah yang mampu sebaiknya memberikan
bantuan sosial, salah satu bentuk jaminan sosial, berupa pemberdayaan
kemampuan ekonomi, misalnya melalui pembukaan lapangan kerja yang
dapat menyerap banyak tenaga kerja (labor intensive).
Contoh lainnya adalah jika penduduk rentan sudah tidak lagi
memiliki risiko jatuh miskin apabila ia sakit, karena telah dijamin oleh
pemerintah pusat, maka pemerintah daerah dapat memfokuskan bantuan
dana untuk meningkatkan program perbaikan mutu pelayanan di
puskesmas dan rumah sakit. Selain itu, pemda dapat membuat program
yang labor intensive misalnya membuka jalan yang memungkinkan produk
hasil hutan, perkebunan, dan pertanian oleh masyarakat rentan di daerah
terpencil dapat dijual ke kota dengan biaya transportasi yang relatif murah.
Pemda juga dapat menyediakan gudang pendingin dengan sewa murah
bagi nelayan atau peternak kecil yang dapat memelihara produknya tetap
76
segar dan memiliki harga jual yang baik. Pemda juga dapat membuka
pertanian atau perkebunan percontohan dengan bantuan ijin pengolahan
lahan tidur, bibit, pupuk, dan bantuan teknis serta bantuan manajemen
kepada penduduk rentan yang menganggur yang jumlahnya mencapai
lebih dari 12 juta angkatan kerja pada akhir tahun 2005.
77
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2003, BPS, Jakarta, Juni 2004
Badan Pusat Statistik dan World Bank Institute, Dasar-Dasar Analisis
Kemiskinan, BPS, Jakarta, Januari 2002
Badan
Pusat
Statistik, Pengukuran
Tingkat Kemiskinan
di
Indonesia 1976-1999: Metode BPS, Buku I, BPS, Jakarta
-------------, Perkembangan Tingkat Kemiskinan dan Beberapa
Dimensi Sosial-Ekonominya 1996-1999: Sebuah Kajian Sederhana, BPS,
Jakarta
-------------, Penyempurnaan Metodologi Penghitungan Penduduk
Miskin dan ProfilKemiskinan 1999, BPS, Jakarta
-------------, Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2003. Buku 1:
Propinsi, BPS, Jakarta
-------------, Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2003. Buku 2:
Kabupaten, BPS, Jakarta
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Peta Kemiskinan di
Indonesia, BAPPENAS, Mei 2003
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kebijakan dan Strategi
Pemenuhan Kebutuhan Sosial Bagi Masyarakat Miskin, BAPPENAS,
Jakarta, 2004
--------------, Sustainable Sosial Protection Technical Assistance.
Inception Report, Bapenas, ADB and UK Department for Internastional
Development, Jakarta, 2004
Surhayadi, Asep & Sumarto, Sudarno. The Chronic Poor, The
Transient Poor and the Vulnarable in Indonesia Before and After the Crisis,
SMERU, Jakarta, Mei 2001
78
Jalan, Joyotsna & Martin Ravallion, Is Transient Poverty Dfferent?,
World Bank, Washington, DC, 1999
Poppele, Jessica, Sudarno Sumarto & Lant Pritchett, Sosial Impact of
the Indonesian Crisis: New Data and Policy Implications, SMERU Report,
Jakarta, 1999
Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN, Pembangunan
Keluarga Sejahtera di Indonesia Berdasarkan UU No 10 Tahun 1992 dan GBHN
1993, Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN, Jakarta, 1994
--------------, Panduan Pembangunan Keluarga Sejahtera dalam
rangka Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan, Kantor Menteri Negara
Kependudukan/BKKBN, Jakarta, 1996
1
Sudarno
2
FKMUI,
3
BPS, Data Kemiskinan untuk BLT
4
Suryadi, Asep & Sudarno Sumarto, “The Chronic Poor, the Transient
Poor, and the Vulnerable in Indonesia Before and After the Crisis”, working paper,
SMERU, May 2001
5
Thabrany dan Mundiharno.
79
Download