Prevalensi Patogen Penyebab Mastitis Subklinis

advertisement
Prevalensi Patogen Penyebab Mastitis Subklinis
(Staphylococcus aureus dan Streptococcus agalactiae)
dan Patogen Penyebab Mastitis Subklinis lainnya
pada Peternak Skala Kecil dan Menengah
di Beberapa Sentra Peternakan Sapi Perah di Pulau Jawa
Yoni Darmawan SUGIRI
1)
2)
1)
dan Akira ANRI
2)
Balai Pengujian dan Penyidikan Penyakit Hewan dan Kesmavet (BP3HK) Cikole Lembang Kab.
Bandung Barat, Jawa Barat, Indonesia.
Japan International Cooperation Agency (JICA) Short Term Expert on Mastitis Control, Large
Animal Clinic and Research Center (LACRC) Hokkaido Nosai. Hokkaido, Japan.
ABSTRAK
Mastitis klinis maupun subklinis merupakan masalah yang paling sering dan sangat
merugikan dari segi ekonomi bagi peternak sapi perah (penurunan produksi dan kualitas
susu segar dan olahan serta pengafkiran dini sapi produktif), tidak hanya di Indonesia tapi
di seluruh dunia. Beberapa patogen penyebab mastitis yang bersifat mayor diantaranya
adalah Staphylococcus aureus dan Streptococcus agalactiae. Kedua jenis mayor patogen
tersebut telah diselidiki, diisolasi dan diidentifikasi dari 390 ekor sapi perah di beberapa
sentra peternakan sapi perah di Pulau Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur).
Dari hasil investigasi, identifikasi dan isolasi terhadap kedua jenis mayor patogen
tersebut diperoleh hasil bahwa prevalensi dari Staphylococcus aureus, Streptococcus
agalactiae dan patogen lainnya adalah 8,5%, 37,5% dan 39%. Berdasarkan hasil tersebut
bisa disimpulkan bahwa mastitis subklinis dan Klinis masih merupakan masalah yang sering
menyerang dan merugikan bagi para peternak sapi perah, sehingga diperlukan tindak lanjut
dari pemerintah dalam rangka pengendalian mastitis, sehingga rencana pemerintah
Indonesia untuk meningkatkan produksi susu dalam negeri dalam rangka swasembada susu
bisa tercapai.
PENDAHULUAN
Mastitis merupakan peradangan pada jaringan internal ambing (Sudarwanto, 2009),
mastitis bisa disebabkan oleh kuman patogen (infeksius) seperti bakteri, kapang atau
khamir, kerusakan fisik ambing (udder and teat injury) serta akibat terpapar oleh bahan
kimia yang iritan yang mampu merusak jaringan interna ambing (Anri, 2008). Menurut
Jayarao dan Wolfgang (2003), mayor patogen penyebab mastitis terdiri atas tiga jenis
kuman patogen yaitu Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae dan Mycoplasma
bovis.
Infeksi bakteri merupakan penyebab utama terjadinya mastitis, bakteri
penyebabnya adalah Staph. aureus, Strep. agalactiae, Mycoplasma bovis, Strep.
dysagalactiae, Strep. uberis dan berbagai jenis bakteri gram negatif, meskipun demikian
lebih dari 130 jenis bakteri telah dilaporkan dapat menyebabkan penyakit atau kelainan
pada kelenjar ambing sapi perah (Kirk dan Lauerman, 1994).
Berdasarkan beberapa penilitian tentang penyebab mastitis subklinis sebelumnya,
sebagian besar mayor patogen penyebab mastitis adalah Staph. aureus dan Strep.
agalactiae, oleh karena itu penelitian ini difokuskan kepada kedua jenis bakteri tersebut.
Staph. Aureus merupakan masalah utama penyebab mastitis di beberapa negara
yang sudah maju industri sapi perahnya karena jika suatu peternakan terinfeksi oleh jenis
bakteri ini maka hal ini sangat merugikan bagi pemiliknya bahkan peternakan tersebut
akan tutup karena sangat susahnya mengeradikasi bakteri ini dari peternakan apabila
sudah menyebar atau menginfeksi sebagian besar sapi pada peternakan tersebut. Oleh
karena itu sangat penting untuk memperhatikan karakteristik dan cara pengendalian dari
bakteri Staph. aureus ini. Menurut Anri (2008) mastitis akibat Staph. aureus menyebabkan
masalah sebagai berikut :
 Sangat infeksius karena sangat mudah menular dari satu sapi ke sapi yang lainnya.
 Pengobatan dengan antibiotika kurang efektif (tidak bisa sembuh sendiri dan angka
kesembuhan rendah) karena karakteristik dari Staph. aureus adalah menginfeksi
jaringan dalam ambing (deep site infection) bukan di dalam kelenjar ambing dan
membentuk micro abses sehingga mempersulit antibiotika untuk mencapai daerah
terinfeksi. Dan sebagian besar sudah resisten terhadap beberapa jenis antibiotika
umum.
 Meningkatkan jumlah sel somatic (SCC) serta menurunkan kualitas dan produksi
susu secara signifikan.
 Dan yang paling utama adalah masalah yang berhubungan dengan kesehatan
masyarakat, yaitu bakteri ini bisa menghasilkan enterotoxin yang berbahaya bagi
kesehatan manusia.
Selain Staph. aureus, Strep. agalactiae termasuk salah satu mayor patogen yang
bisa menyebabkan mastitis subklinis. Secara ekonomis bakteri ini sangat merugikan bagi
peternak, karena bisa menyebabkan penurunan produksi susu yang sangat signifikan
(sekitar 10-20%) dan menurunkan kualitas susu secara umum serta secara signifikan akan
meningkatkan jumlah sel somatic (SCC) pada suatu peternakan atau kelompok ternak yang
terinfeksi (Kirk dan lauerman, 1994). Secara umum bakteri ini sangat mudah dieradikasi di
suatu peternakan karena sangat sensitive terhadap antibiotika golongan Penisilin, namun
pengobatan tidak akan efektif jika manajemen pemerahan tidak dijalankan dengan baik
sehingga akan menyebabkan kerugian secara ekonomi akibat biaya pengobatan, tenaga
kesehatan hewan dan susu yang terbuang akibat adanya residu antibiotika pada susu (Kirk
dan lauerman, 1994).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi kejadian mastitis
subklinis terutama akibat dua mayor patogen (Staph. aureus dan Strep. agalactiae) pada
peternakan sapi perah skala kecil dan menengah di sentra peternakan sapi perah di Jawa
Barat khususnya dan di Pulau Jawa pada umumnya.
MATERI DAN METODE
Sampel susu diambil secara acak dan diuji dalam rentang waktu Agustus 2008 s.d
Februari 2010 yang berasal dari beberapa peternakan skala kecil dan menengah di provinsi
Jawa Barat (Lembang dan Cikole di Kabupaten Bandung Barat, Pangalengan Kabupaten
Bandung, Bunikasih Kabupaten Cianjur), Jawa Tengah (Baturraden Purwokerto) dan Jawa
Timur (Pasuruan).
Sampel yang diambil terdiri dari sampel susu per quartir untuk peternakan dengan
populasi di bawah 10 ekor dan sampel komposit per ekor untuk peternakan dengan
populasi di atas 10 ekor.
Bahan dan alat yang dibutuhkan untuk isolasi dan identifikasi:
1. Pengambilan sampel
 Sterilized test tube (10 ml volume)
 Test tube rack
 Kapas dengan alkohol 70%
 Paper towel (napkin)
 None-return dipper
 2% povidone iodine (disinfectant untuk teat dipping)
 Cotton swab
 Sterilized disposable syringe (10 ml volume)
 Glove
 Disinfectant (sodium hypochlorite)
 Cooling box
 Ice
 Oily felt pen/ spidol permanent
2. Cow Side Test
 CMT reagent
 CMT paddle
3. Isolasi dan identifikasi bakteri
 5% sheep blood agar
 Muller-Hinton agar
 Rabbit plasma
 SA and SAG (untuk CAMP test)
 Esculin discs
 Antibiotic sensitivity discs
 Ose
 Batang penyebar
 Gram’s stain set
 pinset
 Sterilized distilled water
 Sterilized tube (10 ml volume, 18 G needle) untuk uji koagulase
 Cotton swab
 bunsen
 alcohol 96%
 gelas Beaker
 Inkubator
 Sterilisator (oven dan autoclave)
Metode yang digunakan berdasarkan pada LABORATORY HANDBOOK ON BOVINE
MASTITIS Revised edition 1999, dari National Mastitis Council, Inc. Amerika
Serikat tahun 1999, dikarenakan metode berdasarkan buku ini dirasakan oleh penulis
sebagai metode identifikasi yang paling cepat, murah dan diakui oleh dunia internasional.
Untuk mengisolasi dan mengidentifikasi Staph. aureus dan Strep. agalactiae serta
bakteri penyebab mastitis subklinis lainnya digunakan media agar darah domba 5% sebagai
media pembiakan bakteri. Sejumlah 50-100 mikro liter susu sampel digoreskan atau disebar
ke seluruh permukaan agar darah domba 5% menggunakan ose atau batang penyebar steril,
kemudian diinkubasikan pada suhu 37°C selama 20-24 jam sebelum dilanjutkan kepada
pemeriksaan bentuk, ukuran dan warna koloni yang tumbuh (jika belum tumbuh
diinkubasikan lagi selama 20 jam).
Staph. aureus memiliki karakteristik seperti berikut : ukuran sedang, warna putihkekuningan, dan memiliki koloni dengan pola hemolysis pada agar darah adalah α- dan βhemolysis. Dengan pewarnaan gram berwarna biru-ungu (+), bulat dan bergerombol seperti
anggur. Uji katalase dengan H2O2 3% positif, uji oxidase negatif, uji koagulase rabbit
plasma positif dan mampu memfermentasi mannitol pada Mannitol Salt Phenol Red Agar
(Merck® Gmbh) (National Mastitis Council, 1999).
Sedangkan untuk Bakteri Strep. agalactiae memiliki Karakteristik sebagai berikut,
ukuran koloni sangat kecil (pin point), transparan, α- atau γ- hemolisis pada agar darah
domba 5%, bentuk sel bulat, gram positif (biru-ungu), uji katalase dengan H2O2 3% negatif,
uji oxidase negatif, uji CAMP positif, dan uji hydrolysis Esculine negatif (National Mastitis
Council, 1999).
Untuk mikroba lainnya selain Staph. aureus dan Strep.agalactiae identifikasinya
mengacu pada hal di atas dengan sumber dari “LABORATORY HANDBOOK ON BOVINE
MASTITIS” dengan ciri atau karakteristik khas masing-masing mikroba dan tentu saja
berbeda karakteristiknya dengan Staph. aureus maupun Strep. agalactiae.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian tentang mastitis klinis maupun subklinis telah banyak dilakukan di
seluruh dunia termasuk di Indonesia. Namun yang jadi masalah di Indonesia adalah belum
adanya langkah nyata dari pemerintah untuk program pengendalian mastitis ini (terutama
mastitis subklinis), dikarenakan pemerintah merencanakan dan telah memprogramkan
tentang program swasembada susu dan peningkatan produktifitas sapi perah oleh karena
perlu kiranya pemerintah menerapkan atau mencanangkan suatu program yang bertujuan
untuk mengendalikan mastitis terutama mastitis subklinis agar Indonesia bisa swasembada
susu dan terjadi peningkatan produktivitas sapi perah yang ada di Indonesia.
Dalam penelitian ini telah diambil sampel susu dari beberapa sentra peternakan
sapi perah di pulau Jawa sebanyak 390 sampel dari 390 ekor sapi perah. Sampel susu
diambil secara acak dan diuji dalam rentang waktu Agustus 2008 s.d Februari 2010 yang
berasal dari beberapa peternakan skala kecil dan menengah di provinsi Jawa Barat
(Lembang dan Cikole di Kabupaten Bandung Barat, Pangalengan Kabupaten Bandung,
Bunikasih Kabupaten Cianjur), Jawa Tengah (Baturraden Purwokerto) dan Jawa Timur
(Pasuruan).
Berikut ini sebaran sampel berdasarkan daerah pengambilan sampel dan tahun
dilakukan pengambilan sampel :
Tabel 1. Jumlah sampel dan asal daerah sampel (berdasarkan tahun pengambilan)
NO
PROVINSI
KABUPATEN
AREA
1
Jawa Barat
2
3
4
5
Jawa Tengah
Jawa timur
Bandung Barat
Bandung
Cianjur
Banyumas
Pasuruan
Sub total
Total
Lembang
Pangalengan
Bunikasih
Baturraden
Pasuruan
JUMLAH SAMPEL
2008
2009
2010
142
87
10
15
38
90
8
157
223
10
390
Berdasarkan tabel 1 di atas kebanyakan sampel diambil dari wilayah Jawa Barat, hal ini
dikarenakan Wilayah Jawa Barat merupakan wilayah kerja utama dari BP3HK, sampel yang
berasal dari luar Jawa Barat diambil dan diidentifikasi di lokasi pengambilan sampel
berbarengan dengan kegiatan JICA dalam rangka sosialisasi program pengendalian mastitis
untuk peternak skala kecil dan menengah.
Selanjutnya adalah hasil identifikasi dan isolasi bakteri patogen penyebab mastitis
klinis disajikan pada tabel-tabel di bawah ini :
Tabel 2. Perbandingan jumlah sapi dengan bakteri (+) dan bakteri (-)
NO
PROVINSI
KABUPATEN
AREA
1
Jawa Barat
2
3
4
5
Jawa Tengah
Jawa timur
Bandung Barat
Bandung
Cianjur
Banyumas
Pasuruan
Sub total
Total
Lembang
Pangalengan
Bunikasih
Baturraden
Pasuruan
2008
(+)
(-)
124
18
14
1
138
JUMLAH SAMPEL
2009
2010
(+)
(-)
(+)
(-)
66
21
9
1
19
(+)  332
31
81
7
185
7
9
1
38
9
(-) 58
1
Tabel 3. Jumlah peternakan terinfeksi Strep. Agalactiae
NO
PROVINSI
1
Jawa Barat
2
3
4
5
Jawa Tengah
Jawa timur
NO
INFEKSI STREP. AGALACTIAE
JUMLAH
PETERNA
2008
2009
2010
KAN
(+)
(-)
(+)
(-)
(+)
(-)
Bandung Barat
Lembang
13
7
0
4
0
2
0
Bandung
Pangalengan
2
2
0
Cianjur
Bunikasih
1
1
0
Banyumas
Baturraden
1
1
0
Pasuruan
Pasuruan
2
2
0
Sub total
19
9
0
8
0
2
0
Total
19
(+)  19
(-) 0
Tabel 4. Jumlah peternakan terinfeksi Staph. aureus
KABUPATEN
AREA
PROVINSI
KABUPATEN
AREA
1
Jawa Barat
2
3
4
5
Jawa Tengah
Jawa timur
Bandung Barat
Bandung
Cianjur
Banyumas
Pasuruan
Sub total
Total
Lembang
Pangalengan
Bunikasih
Baturraden
Pasuruan
JUMLAH
PETERNA
KAN
13
2
1
1
2
19
19
INFEKSI STAPH. AUREUS
2008
2009
2010
(+)
(-)
(+)
(-)
(+)
(-)
3
4
2
2
0
2
1
1
1
0
1
0
0
2
4
5
4
4
0
2
(+)  8
(-) 11
Tabel 5. Jumlah sapi terinfeksi Strep. agalactiae
NO
PROVINSI
KABUPATEN
AREA
1
Jawa Barat
2
3
4
5
Jawa Tengah
Jawa timur
Bandung Barat
Bandung
Cianjur
Banyumas
Pasuruan
Sub total
Total
Lembang
Pangalengan
Bunikasih
Baturraden
Pasuruan
2008
sampel
(+)
142
56
15
10
157
66
Sampel = 390
TAHUN
2009
sampel
(+)
87
20
38
90
8
223
13
41
4
78
2010
sampel
(+)
10
2
10
(+) = 146
2
Tabel 6. Jumlah sapi terinfeksi Staph. aureus
NO
PROVINSI
KABUPATEN
AREA
1
Jawa Barat
2
3
4
5
Jawa Tengah
Jawa timur
Bandung Barat
Bandung
Cianjur
Banyumas
Pasuruan
Sub total
Total
Lembang
Pangalengan
Bunikasih
Baturraden
Pasuruan
2008
sampel
(+)
142
5
15
4
157
9
Sampel = 390
TAHUN
2009
sampel
(+)
87
8
38
90
8
223
11
5
0
24
2010
sampel
(+)
10
0
10
(+) = 33
0
Tabel 7. Jumlah sapi yang terinfeksi bakteri lainnya.
NO
PROVINSI
KABUPATEN
AREA
1
Jawa Barat
2
3
4
5
Jawa Tengah
Jawa timur
Bandung Barat
Bandung
Cianjur
Banyumas
Pasuruan
Sub total
Total
Lembang
Pangalengan
Bunikasih
Baturraden
Pasuruan
2008
sampel
(+)
142
57
15
6
157
63
Sampel = 390
TAHUN
2009
sampel
(+)
87
38
38
90
8
223
12
29
4
83
2010
sampel
(+)
10
7
10
(+) = 153
7
Dari hasil isolasi dan identifikasi menunjukkan bahwa dari seluruh sampel yang
diperiksa, 332 dari 390 ekor sapi susunya mengandung bakteri (85%), dari 19 peternakan
yang diperiksa seluruhnya (19 peternakan) terinfeksi oleh Strep. agalactiae (100%), dari 19
peternakan yang diperiksa terdapat 8 peternakan yang terinfeksi oleh Staph. aureus (42%).
Untuk prevalensi Strep. agalactiae pada seluruh sampel yang diperiksa, diperoleh
data bahwa ada 146 dari 390 ekor sapi yang terinfeksi (37.5%), untuk prevalensi Staph.
aureus diperoleh data sebanyak 33 dari 390 ekor sapi yang terinfeksi oleh staph. aureus
(8.5%), sedangkan untuk bakteri lainnya yang bisa menyebabkan mastitis klinis maupun
subklinis (seperti: Koagulase negatif Staphylococcus, Jenis Streptococcus selain Strep.
agalactiae, koliform dan bakteri gram negatif lainnya, Corynebacterium dan bakteri
lainnya)
diperoleh data sebanyak 153 dari 390 ekor sapi yang diperiksa (39%). Dan
terdapat 58 ekor dari 390 ekor sapi yang di dalam susunya tidak teridentifikasi bakteri
penyebab mastitis.
Dari hasil tersebut di atas, hasilnya cukup mengejutkan, meskipun sampel yang
diambil kurang memadai dalam jumlahnya untuk menentukan suatu hasil surveillance,
namun ini bisa menjadi bayangan bahwa Streptococcus agalactiae, Staphylococcus aureus
maupun jenis bakteri lainnya telah menyebar luas di hampir seluruh peternakan yang
diperiksa. Mungkin ini bisa menjadi gambaran bahwa mastitis klinis maupun mastitis
subklinis telah menjadi masalah bagi peternak kecil maupun menengah di Indonesia,
meskipun akibatnya tidak dirasakan secara langsung oleh peternak diakibatkan ketidak
tahuan ataupun ketidak pedulian peternak terhadap hal ini, padahal dampak secara
ekonomis dari hal ini bisa sangat merugikan bagi peternak akibat dari berkurangnya
produksi susu serta menurunnya kualitas dari susu yang dihasilkan peternak sehingga
berdampak pada susu ditolak oleh konsumen karena rusak maupun harga susu menjadi
rendah karena jeleknya kualitas susu.
Menurut Kirk dalam Anri (tahun 2008), tingginya angka infeksi (prevalensi) dari
Strep. agalactiae dan Staph. aureus serta jenis bakteri lainnya dalam susu menunjukkan
bahwa peternak belum menerapkan sistem manajemen pemerahan serta kesehatan
pemerahan (Milking Hygiene) yang baik dan benar. Tidak diterapkannya manajemen dan
kesehatan pemerahan yang baik dan benar tidak hanya ditemui pada peternak skala kecil
saja, bahkan di beberapa peternakan yang semi modern (menggunakan mesin perah) juga
masih ditemukan, hal ini penulis dapati pada saat proses pengambilan sampel, dimana
masih banyak peternak yang tidak melakukan sterilisasi peralatan pemerahan sebelum
pemerahan diumulai, tidak menggunakan desinfektan dan air hangat untuk membersihkan
ambing dan putting pada saat sebelum pemerahan, menggunakan satu lap ambing untuk
beberapa ekor sapi, memerah masih menggunakan pelicin (vaseline) yang kotor dan tidak
disimpan sebagaimana mestinya, ambing masih dalam keadaan basah saat pemerahan
dimulai, memerah tidak sampai tuntas, dan yang paling fatal dan hampir semua peternak
tidak melakukan karena alasan biaya adalah melakukan desinfeksi putting secepatnya
setelah pemerahan (melakukan teat dipping) menggunakan desinfektan yang efektif
seperti larutan yodium 0.5 - 1%, ada juga yang menerapkan program celup putting tapi
menggunakan desinfektan yang kurang efektif seperti Benzalkonium Chloride (BKC)
padahal menurut Sudarwanto (2009) dan Anri (2008) desinfektan yang paling efektif dan
disarankan untuk celup putting adalah yodium 0.5 s.d 2% karena yodium mampu
membunuh bakteri dalam waktu yang cukup singkat jika dibandingkan dengan desinfektan
lainnya, konsentrasi yodium yang digunakan tergantung pada keparahan tingkat infeksi
bakteri yang terjadi di satu peternakan atau kelompok ternak.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Staphylococcus aureus dan
Streptococcus agalactiae telah menyebar dan menginfeksi hampir seluruh peternakan yang
diperiksa sampel susunya dengan tingkat prevalensi yang cukup tinggi (Staph. aureus (8.5%)
dan Strep. agalactiae (37.5%)) tidak hanya di Jawa Barat tapi juga di Jawa Tengah dan
Jawa Timur.
SARAN
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan jenis bakteri yang
teridentifikasi dengan jumlah sel somatic dalam susu, maupun angka electrical
conductivity-nya.
2. Perlu dilakukan uji sensitivitas antibiotika terhadap bakteri-bakteri yang beredar dan
menginfeksi ternak sapi perah di sentra-sentra wilayah sapi perah untuk menentukan
pencegahan dan treatment atau pengobatan yang efektif, efisien serta tidak
membebani secara finansial bagi para peternak gurem.
3. Perlu dilakukan surveillans terhadap patogen utama lainnya (mikroorganisme) penyebab
mastitis seperti Mycoplasma bovis, Escherichia coli, kapang atau khamir serta
mikroorganisme lainnya yang berpotensi menjadi mikroorganisme penyebab mastitis
klinis maupun subklinis.
4. Perlu dikembangkan teknik-teknik diagnosa, isolasi dan identifikasi bagi mikroorganisme
penyebab mastitis, agar diagnosa mastitis menjadi semakin cepat dan akurat serta tidak
memakan biaya yang cukup mahal.
5. Perlu dilakukan sosialisasi secara rutin dan berkala terhadap pentingnya mastitis (klinis
maupun subklinis), manajemen dan kesehatan pemerahan yang baik dan benar dalam
rangka penerapan program pengendalian mastitis, peningkatan produktifitas sapi perah
dan peningkatan jaminan mutu dan keamanan pangan asal hewan (dalam hal ini susu)
sehingga susu aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Anri, A. 2008. Manual on Mastitis Control. The Project for Improvement of
Countermeasures on the Productive Diseases on dairy Cattle in Indonesia. Jica
Indonesia Office, Jakarta.
Jayarao, B.M et al. 2004. Guidelines for monitoring bulk tank somatic cell counts. J. dairy
Sci. 80:3561-3573
Kirk, J.H. and Lauerman, L.H. 1994. Mycoplasma mastitis in dairy cows. Veterinarian. 16:
541-551
National Mastitis Council Inc. 1999. Laboratory Handbook on Bovine Mastitis, revised
edition. 2820 Walton Commons West, Madison, WI, United States of America.
Sudarwanto, M. 2009. Mastitis dan kerugian ekonomi yang disebabkannya. Makalah pada
TOT JICA The 3rd. Oktober 2009, Cikole-Lembang, Bandung Barat.
Download