Respons Metabolik Terhadap Stres

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Respons Metabolik Terhadap Stres
Samsirun Halim
PENDAHULUAN
Pada keadaan normal bila tubuh menghadapi stres
berat, trauma atau sepsis akan timbul mekanisme
pertahanan melalui tiga mekanisme yaitu respons
kardiovaskular, respons imunologi, dan respons
metabolik. Ketiga mekanisme ini bekerja secara
simultan untuk menjaga homeostasis tubuh sehingga
bila stres ini dapat dilewati maka pasien akan dapat
bertahan hidup.1
Pada pasien sakit kritis yang ditandai dengan
fungsi organ yang labil atau organ mudah mengalami
perubahan yang akan mempengaruhi fungsi organ
lain sehingga timbul sindrom gangguan organ
multipel yang bisa menjadi gagal organ multipel
dengan mortalitas yang sangat tinggi. Pada pasien
ini respons terhadap obat ataupun peralatan sulit
diduga dan berbeda untuk tiap individu serta
tergantung respons pasien dan perjalanan penyakit.
Oleh karena itu prinsip penanganan pasien sakit
kritis di unit perawatan intensif dikenal istilah terapi
berdasarkan respons dan titrasi. Tinjauan pustaka
ini akan membahas manifestasi klinis stres, respons
imunologik, neurohumoral, dan metabolik.
MANIFESTASI KLINIS STRES2
Manifestasi klinis respons tubuh terhadap stres
melalui tiga fase. Fase flow yang dikenal dengan
nama fase ebb dan fase flow yang dibagi menjadi
2 fase, respons akut dan respons adaptif. Fase ebb
terjadi segera setelah terjadi stress baik itu trauma,
infeksi atau sepsis yang berlangsung (2–48) jam yang
ditandai dengan periode syok berupa hipovolemia
Intensive Care Unit RSD Raden Mattaher
Jl. Jend. Suprapto No. 61, Jambi 36113
Korespondensi: [email protected]
Volume 2 Nomor 4 Oktober 2012
Gambar 1. Skema respons klinis terhadap injury.( dikutip dari
Neims MN, et al2 )
dan penurunan oksigen jaringan, penurunan volume
darah yang menyebabkan penurunan curah jantung
dan produksi urin, bila pasien dapat melewati fase ini
maka akan memasuki awal fase flow yang ditandai
dengan respons metabolik berupa hipermetabolisme,
katabolisme dan perubahan respons imun serta
hormonal. Bila pasien dapat melewati fase ini,
selanjutnya memasuki fase flow berupa fase
anabolik yang ditandai dengan pemulihan respons
terhadap stres dan timbul proses anabolik serta laju
metabolisme kembali normal.(Gambar 1)
RESPONs IMUNOLOGIK
Banyak kemajuan dalam pengetahuan mengenai
peran imunologi dalam menghadapi stres. Banyak
mediator atau sitokin yang dilepas sebagai respons
badan terhadap stres tapi yang akan dibahas adalah
sitokin yang berperan besar dalam menghadapi stres
dan berinteraksi dengan sistem neuroendokrin4.
191
Respons Metabolik terhadap Stres
Tabel 1. Respons fase terhadap stres3
Fase Flow
Respons fase Ebb
Respons akut
Respons adaptasi
Syok hipovolemik
Katabolisme dominan
Anabolisme dominan
perfusi jaringan hGlukokortikoid
Respon hormonal turun perlahan
iLaju metabolisme hGlukagon
iLaju hipermetabolik turun berhubungan
iKonsumsi O2
hKatekolamin
dengan penyembuhan restorasi protein
iTekanan darah
Lepas sitokin
iSuhu badan
Produksi protein fase akut
Penyembuhan luka tergantung nutrisi
hEkskresi nitrogen
hLaju metabolisme
hKonsumsi O2
Gangguan penggunaan energi
Gambar 2. Beberapa efek dari IL -1.( dikutip dari Weissmann C4 )
Interleukin-1 (IL-1)4,5
Sitokin ini dilepaskan oleh monosit atau makrofag
yang teraktivasi oleh berbagai antigen stimuli. Sitokin
ini juga disebut sebagai pirogen endogen atau faktor
endogen lekosit yang berperan besar dalam inflamasi jaringan. Sitokin ini merangsang sel hati untuk
mensintesis dan melepaskan protein fase akut ( seperti makroglobulin, komplemen, immunoglobulin, C
reaktif protein), membuat endotel mudah menangkap monosit, merangsang pertumbuhan fibroblas,
menyebabkan demam dan terlibat dalam pemecahan
otot. Interleukin-1 juga mengaktifkan granulocyte
macrophage colony stimulating (G-CSF) dan IL-6
di sel endotel, T cell helper, fibroblas dan sumsum
tulang untuk menghasilkan lekosit. (Gambar 2)
Tumor Necrosis Factor (TNF)4
Protein ini disekresi sebagai respons makrofag
terhadap paparan endotoksin dan Candida albicans.
192
Pemberian TNF pada binatang menyebabkan
timbulnya manifestasi syok septik seperti hipotensi,
asidosis metabolik, hemokonsentrasi, hiperglikemia,
hiperkalemia, lesi hemoragik pada saluran cerna dan
nekrosis tubular akut. Penelitian menunjukkan ada
korelasi antara kadar TNF dan derajat syok serta
mortalitas pada pasien dengan meninggosemia.
Tumor necrosis factor menyebabkan demam melalui
aksi langsung pada hipotalamus dan sekresi IL-1.
Interleukin 6 (IL-6)4,5
Sitokin ini kadarnya rendah di dalam darah dan
berhubungan dengan beratnya trauma jaringan,
makin berat trauma jaringan semakin banyak sitokin
ini beredar. Sitokin ini bertanggung jawab terhadap
produksi protein fase akut.
Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Samsirun Halim
RESPONS NEUROHUMORAL4,6
Aksis hipotalamus–hifofisis–adrenal (HPA)
ikut berperan dalam mekanisme timbulnya respons
metabolik.(Gambar 3) Mekanisme yang memulai,
mengatur dan mempertahankan respons ini belum
sepenuhnya dipahami. Sudah sejak lama diketahui
bahwa pasien yang mengalami trauma akan
ditemukan hormon kontra insulin seperti kortisol,
glukagon dan katekolamin yang meningkat. Kadar
insulin juga meningkat tapi tidak mampu mengatasi
hiperglikemia yang terjadi, selain hormon kontra
insulin yang ada hormon pertumbuhan, aldosteron dan
vasopresin juga meningkat. Mekanisme peningkatan
hormon ini diduga sebagian melalui impuls saraf.
Impuls dari saraf aferen akan merangsang sekresi
corticotropin releasing factor (CRF) dan vasoactive
intestinal peptide (VIP) yang akan merangsang
hipofisis mengeluarkan prolaktin, vasopressin,
hormon pertumbuhan dan propoiomelanocortin yang
akan diubah menjadi adrenocorticotropic hormone
(ACTH).
Kadar vasopresin akan meningkat pada
berbagai kondisi stres seperti tindakan pembedahan,
pneumonia, infark miokard dengan atau tanpa gagal
jantung dan terapi elektrokonversi. Setelah tindakan
pembedahan vasopresin akan meningkat dan
menetap sampai beberapa hari kemudian, lama dan
kadar dalam darah sesuai dengan beratnya tindakan
pembedahan.
Corticotropin
releasing
factor
bekerja
sinergistik
dengan
vasopresin
merangsang
sekresi propiomelanocortin kelenjar hipofisis.
Propiomelanocortin
kemudian
dimetabolisme
menjadi ACTH dan b-endorphin, yang menandakan
ada hubungan antara opiod endogen dengan HPA
aksis. Selain itu ACTH juga merangsang kelenjar
adrenal mengeluarkan katekolamin dan enkefalin.
Peran prolaktin dalam stres tidaklah begitu jelas.
Sekresinya diduga melalui rangsangan VIP. Hormon
lain seperti thyroid stimulating hormon (TSH), follicle
stimulating hormon (FSH) dan luteinizing hormone
(LH) tidaklah terpengaruh akan tetapi LH dan FSH
biasanya menurun pada hari pertama operasi.
Katekolamin4,6
Kadar katekolamin baik itu norepinefrin, epinefrin
maupun dopamin meningkat pada berbagai keadaan
stres antara lain kecemasan, hipotensi, hipotermia,
hiperkarbia dan trauma. Katekolamin yang beredar
bisa berupa kadar bebas atau terikat dalam bentuk
konjugasi sulfat yang mencapai 60-90% dari total
katekolamin. Pada sakit kritis proporsi antara kadar
bebas terhadap kadar total tetap.
Epinefrin dilepas ke dalam sirkulasi dari kelenjar
adrenal akibat rangsangan saraf simpatis sedangkan
norepinefrin masuk ke dalam plasma setelah lepas
dari ujung saraf simpatis. Sistem saraf simpatis diatur
oleh hipotalamus yang juga mengatur aksis HPA
sehingga terjadi juga pelepasan CRF yang mengatur
pelepasan hormon. Kenaikan kadar epinefrin dan
norepinefrin tidaklah selalu sebanding. Pada trauma
berat kadar epinefrin plasma meningkat hanya
sampai 48 jam pertama sedangkan norepinefrin
bertahan sampai 8–10 hari. Tergantung juga pada
lokasi pembedahan, pada operasi abdomen dan
jantung kedua katekolamin meningkat sebanding
tetapi operasi pelvis yang meningkat hanya epinefrin.
Kadar plasma epinefrin mencerminkan intensitas
Gambar 3. Aksis HPA bisa dirangsang melalui impuls saraf atau secara humoral melalui pelepasan mediator makrofag dan limfosit.( dikutip
dari Weissmann C 4 )
Volume 2 Nomor 4 Oktober 2012
193
Respons Metabolik terhadap Stres
rangsangan pada korteks adrenal sedangkan kadar
plasma norepinefrin mencerminkan aktivitas
rangsangan simpatis.
Pada dosis fisiologis epinefrin menyebabkan
glikogenolisis, meningkatnya glukoneogenesis di
hati, penghambatan pelepasan insulin, resistensi
insulin di perifer, dan lipolisis. Epinefrin merupakan
stimulator glukoneogenesis yang poten.
Glukokortikoid dan Steroid Lainnya4,6
Beberapa peran kortisol antara lain merangsang
glukoneogenesis, meningkatkan proteolisis dan
sintesis alanin, meningkatkan sensitivitas jaringan
lemak terhadap rangsangan hormon lipolitik (GH
dan katekolamin) dan anti-inflamasi. Selain itu juga
menyebabkan resistensi insulin dengan menurunkan
laju uptake glucose di jaringan melalui aktivitas
penghambatan reseptor post-insulin. Sekresi ACTH
meningkatkan kortisol dalam darah yang berdampak
umpan balik negatif terhadap sekresi ACTH.
Pada keadaan stres sekresi kortisol meningkat,
pada pasien dengan pemberian etomidate yang
menghambat sekresi adrenal menunjukkan angka
kematian yang tinggi demikian pula pada hewan
coba yang dibuang kelenjar adrenalnya atau pada
pasien dengan penyakit Addison menunjukkan angka
mortalitas yang tinggi. Hal ini menunjukkan kortisol
merupakan hormon vital karena mampu mensuplai
penggunaan glukosa dari otot ke otak, memudahkan
aktivitas katekolamin dan mencegah reaksi imun
yang berlebihan saat terjadi trauma. Konsentrasi
kortisol berbanding lurus dengan lama dan beratnya
operasi.
Hormon androgen juga terpengaruh saat
terjadinya trauma. Penelitian menunjukkan hormon
ini menurun saat pembedahan dan serangan jantung.
Pada penelitian menunjukkan hormon androgen dan
estradiol menurun pada pasien sakit kritis.
Glukagon dan Insulin4,6
Glukagon dihasilkan oleh sel alfa pankreas dan
insulin dihasilkan oleh sel beta pankreas kemudian
masuk ke vena portal sehingga sel hati sangat terpapar
oleh kedua hormon ini dengan konsentrasi tinggi.
Glukagon meningkatkan siklik AMP sel hati
dan meningkatkan glukoneogenesis, pada keadaan
kelaparan dan ketoasidosis diabetik glukagon
juga meningkatkan glikogenolisis, lipolisis dan
pembentukan benda keton. Pelepasan glukagon
dirangsang oleh hipoglikemia, asupan protein,
pemberian infus asam amino, endorfin, olahraga,
GH, epinefrin dan glukokortikoid. Sedangkan
194
penghambatan sekresi glukagon melalui intake dan
infus glukosa, somatostatin dan insulin.
Insulin mempunyai efek sebaliknya dari glukagon
yaitu menurunkan siklik AMP dan mencegah
glukoneogenesis. Insulin mempunyai efek anabolik,
meningkatkan transpor glukosa melalui membran
ke sel otot dan sel lemak, merangsang pembentukan
glikogen, menghambat liposisis di jaringan lemak,
menghambat ketogenesis di hati, meningkatkan laju
transport asam amino dan sintesis protein di otot,
hati dan jaringan lemak.
Rasio glukagon dengan insulin inilah yang
menentukan laju glukoneogenis. Pada keadaan
kelaparan rasio ini meningkat (glukagon>insulin)
dan glukoneogenesis meningkat dan sebaliknya pada
keadaan maka rasio ini terbalik.
Pada kebanyakan tindakan pembedahan,
glukagon pasien meningkat 18–48 jam setelah
pembedahan walaupun kadar puncaknya lebih
lambat dibanding kortisol, rasio glukagon : insulin
juga meningkat. Kadar insulin menurun karena
meningkatnya katekolamin dan hilangnya lewat
urin, keadaan dengan meningkatnya hormon kontra
insulin dan rendahnya kadar insulin merangsang
glukoneogenesis. Pada keadaan sepsis kondisi ini
tidak terjadi sehingga timbul hipoglikemia. Pascaoperasi biasanya insulin meningkat baik akibat
peningkatan kadar glukosa maupun rangsangan
epinefrin walaupun kadarnya tetap lebih rendah
dibandingkan kadar glikemia saat itu.
Growth Hormon4,6
Growth Hormon disekresi di kelenjar hipofisis
anterior. Hormon ini mempunyai kerja yang unik,
2–3 jam pertama setelah sekresi bekerja seperti
insulin tapi setelah 3 jam bekerja seperti kontra
insulin dan efek anabolik. Hormon ini menyebabkan
intoleransi glukosa, resistensi insulin melalui efek
post reseptor, menurunkan uptake glukosa di hati atau
meningkatkan absorbsi di usus. Pada keadaan trauma,
luka bakar atau pembedahan kadar GH meningkat.
Interaksi antara Sistem Endokrin dan Imunologi4
Sudah lama diketahui bahwa kortikosteroid
dalam dosis farmakologik akan menekan imunitas
seluler. Glukokortikoid menyebabkan lepasnya
netrofil dari sumsum tulang, menurunkan sirkulasi
monosit dan makrofag dan penghancuran sel T
di sumsum tulang, membuat lisis sel T imatur,
menghambat produksi g-interferon, IL-1 dan IL-2,
memblokir fosfolipase A2 yang bertanggung jawab
Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Samsirun Halim
untuk produksi prostaglandin dan leukotrien dan
menghambat aksi sejumlah protease yang terlibat
dalam proses inflamasi. Di lekosit sendiri ditemukan
reseptor glukokortikoid. Juga ditemukan sel lekosit
perifer akan melepas ACTH ketika terinfeksi virus
atau terpapar endotoksin.
Sejumlah penelitian menunjukkan kemampuan
IL-1 untuk merangsang pelepasan ACTH dan CRP.
Penyebab IL-1 melepaskanACTH masih kontroversial
yaitu melalui sel hifofisis atau melalui pelepasan
CRF dari hipotalamus. Ditemukan pula pelepasan
substansi seperti ACTH dan endorfin dari sel lekosit
perifer setelah terpapar IL-1 dan g-interferon. Selain
itu IL-1 juga mampu merangsang pengeluaran
insulin dan glukagon sehingga tampaknya IL-1 yang
paling berperan mengaktifkan respons endoktrin
terhadap stres. Penelitian menunjukkan g-interferon
meningkatkan serum kortisol setelah diberi infus
interferon selama 20 menit pada pasien kanker yang
menetap sampai 24 jam.
RESPONS METABOLIK TERHADAP STRES
METABOLISME ENERGI4,6
Ada perbedaan antara body energy expenditure
(BEE) pada orang sehat dengan yang mengalami
trauma. Pada keadaan sehat, pria dewasa 70 kg total
energi yang dibutuhkan adalah 1800 kkal/hari. Laju
metabolisme basal 85% untuk kebutuhan enzim
dan pompa ion sedangkan 15% untuk kerja jantung
dan paru. Sebaliknya 24 jam setelah trauma atau
pembedahan sedang kebutuhan energi meningkat
10–30%, aktivitas fisik menurun, produksi panas
meningkat dan laju metabolisme basal juga meningkat
baik enzimatik maupun kerja kardiorespirasi.
(Gambar 5)
METABOLISME KARBOHIDRAT4,6
Pada keadaan normal sumber energi utama
adalah glukosa yang masuk ke dalam sirkulasi, bisa
dari dalam (glikogenolisis dan glukoneogenesis) atau
dari luar (saluran cerna atau intravena). Glukosa akan
dimetabolisme menjadi CO2, air dan energi (ATP)
atau dikonversi dan disimpan dalam bentuk glikogen
atau menjadi lemak. Insulin memudahkan serapan
glukosa pada sel, merangsang sintesis glikogen dan
menekan glukoneogenesis sebaliknya katekolamin,
glukagon dan kortisol merangsang glikogenolisis
dan glukoneogenesis hepatik sehingga ketiganya
disebut hormon kontra insulin.
Hiperglikemia merupakan respons metabolik
yang paling menonjol setelah terjadi stres atau
trauma. Awalnya hiperglikemia terjadi karena
mobilisasi cadangan glikogen hati. Hiperglikemia
ini menetap karena terjadi peningkatan produksi
glukosa tanpa diimbangi pembersihan glukosa.
Produksi meningkat selain dari pemecahan glikogen
juga terjadi pembentukan glukosa dari asam amino,
laktat, gliserol dan piruvat. Asam amino berasal dari
pemecahan protein otot, laktat dan piruvat berasal
dari glikogenolisis dan glikolisis di otot sedangkan
gliserol berasal dari metabolisme trigliserida.
Produksi glukosa hepatik meningkat pada orang
normal sekitar 200 g/hari menjadi 320 g/hari pada
pasien luka bakar tanpa infeksi dan menjadi 400 g/
hari pada luka bakar dengan infeksi.
Insulin sebenarnya juga meningkat akan tetapi
Gambar 4. Respons neuroendokrin selama stres.( dikutip dari Walsh TS8 )
Volume 2 Nomor 4 Oktober 2012
195
Respons Metabolik terhadap Stres
Gambar 5. Skema kebutuhan energi pada orang normal dan pasca
trauma.(dikutip dari Walsh TS8 )
terjadi resistensi di perifer sehingga kadar glukosa
tetap tinggi, selain itu diduga terjadi sekresi hormon
kontra insulin yang lebih tinggi daripada sekresi
insulin. Jadi sebenarnya mekanisme hiperglikemia
yang terjadi pada saat stres adalah produksi yang
meningkat disertai timbulnya resistensi insulin.
METABOLISME LEMAK4,6
Lemak dapat dipakai sebagai sumber energi
atau disimpan. Trigliserida rantai panjang (long
chain trygliserde/LCT) yang dimakan akan dicerna
menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Asam lemak
bebas bisa dipakai sebagai energi atau diesterifikasi
menjadi trigliserida kembali. Pada kondisi makan
(insulin tinggi) esterifikasi lebih dominan daripada
lipolisis sebaliknya pada kondisi kelaparan (rasio
insulin : glukagon rendah) lemak dipecah menjadi
asam lemak bebas (lipolisis) dan dioksidasi menjadi
energi yang diikuti dengan pembentukan benda
keton oleh mitokondria hati yang selanjutnya dipakai
sebagai sumber energi oleh organ. Oksidasi lemak
dari makanan menghambat lipolisis lemak endogen.
Mobilisasi lemak yang meningkatkan asam lemak
bebas akan menghambat ambilan dan oksidasi
glukosa oleh sel otot.
Glukagon dan epinefrin akan meningkatkan
kecepatan dan beratnya lipolisis yang diperkuat
dengan adanya kortisol karena aktivasi hormon
sensitif lipase yang mengendalikan lipolisis adipose.
Enzim ini dipacu oleh b1 agonis adrenergik dan
dihambat oleh a2. Penelitian menunjukan lipolisis
pada sepsis/trauma karena meningkatnya aktivitas
b1 dan menurunnya a2.
Setelah trauma liplolisis meningkat dan lemak
dipakai sebagai sumber energi. Lipoprotein lipase
yang melekat di endotel kapiler akan merubah
trigliserda menjadi gliserol dan asam lemak bebas. Heparin akan melepaskan enzim lipoprotein lipase
ini ke dalam sirkulasi sehingga terjadi hidrolisis
intravaskular. Pada trauma aktivitas lipoprotein lipase
otot meningkat tapi di jaringan adiposa menurun
sebaliknya pada sepsis aktivitas lipase ini pada otot
menurun.
METABOLISME PROTEIN4,6,7
Gambar 6. Metabolisme protein selama trauma.(dikutip dari Weissmann C4 )
196
Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Samsirun Halim
Pada stres baik karena pembedahan, trauma
atau luka bakar dan sepsis akan terjadi peningkatan
pemecahan protein otot yang ditandai dengan
peningkatan kehilangan nitrogen lewat urin,
pelepasan asam amino dan hambatan serapan asam
amino oleh otot. Asam amino berasal dari otot
yang sehat atau yang cedera akan dibawa ke hati
untuk pembentukan glukosa dan sintesis protein.
Keseimbangan protein negatif mencerminkan ada
kesetidak seimbangan antara pembentukan dan
pemecahan otot dimana pemecahan lebih dominan.
Asam amino yang ditransfer ke hati akan digunakan
untuk sintesis glukosa dan protein fase akut seperti
fibrinogen, komplemen, C reaktif protein, haptoglobin
feritin dan lain–lain. Banyaknya sintesis protein fase
akut seimbang dengan beratnya kerusakan jaringan.
Sintesis protein lain seperti albumin, transferin,
retinol dan prealbumin akan menurun. Sintesis
fase akut protein dipacu oleh IL-1, IL-6, dan TNF.
Glukokortikoid dan lipopolisakarid bakteri.(Gambar
6)
KESIMPULAN
Pasien yang mengalami trauma, sepsis atau
pembedahan akan berkompensasi untuk mengatasi
keadaan tersebut melalui 3 mekanisme yaitu
kardiovaskular, imunologik dan metabolik guna
mempertahankan homeostasis. Respons metabolik
yang timbul merupakan reaksi simultan terhadap
Volume 2 Nomor 4 Oktober 2012
respons imunologik dan neuroendokrin. Manifestasi
dari respons metabolik adalah hiperglikemia,
katabolisme protein dengan pemecahan otot tubuh
sehingga terjadi kesimbangan protein menjadi negatif
dan pemecahan lemak yang meningkatkan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Foex BA. Systemic responses to trauma. Brit Med
Bulletin. 1999;55:726-43.
2. Neims MN, Sucher K, Lacey K, etal. Metabolic
Stress. Nutrition therapy and Pathophysiology,
Thomson Brooks. 2007. 785-9.
3. Winkler MF, Malone AM, Mahan LK, Escoot SS,
etal. Medical nutrition therapy for metabolic stress:
sepsis, trauma, burns and surgery. In Krause’s Food
and Nutrition therapy. Elsevier. 2008; 1021-41.
4. Weissmann C. The metabolic response to stress; an
overview and update. Anesthesiology. 1990;73:30827.
5. Desborough JP. The stress response to trauma and
surgery. Br J Anaesth. 2000;85:109-17.
6. Schmeling DJ, Coran AG. The hormonal and metabolic response to stress in neonate. Pediatr Surg Int.
1990;5:307-21.
7. Griffiths RD, Hinds CJ, Little RA. Manipulating
the metabolic response to injury. Brit Med Bull.
1999;55:181-95.
8. Walsh TS. The metabolic response to injury Principles of surgical cares. 2000:1-12.
197
Download