Regenerasi sel hati

advertisement
Untuk kegunaan lain dari Hati, lihat Hati (disambiguasi).
Hati
Hati manusia
Gambar organ dalam manusia, hati (bahasa Inggris: liver)
terletak di tengah.
Latin
Gray's
jecur, iecer
subject #250 1188
Saraf
celiac ganglia, vagus[1]
MeSH
Liver
Hati (bahasa Yunani: ἡπαρ, hēpar) merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh, terletak dalam
rongga perut sebelah kanan, tepatnya di bawahdiafragma. Berdasarkan fungsinya, hati juga
termasuk sebagai alat ekskresi. Hal ini dikarenakan hati membantu fungsi ginjal dengan cara
memecah beberapa senyawa yang bersifat racun dan menghasilkan amonia, urea, dan asam
urat dengan memanfaatkan nitrogen dari asam amino. Proses pemecahan senyawa racun oleh
hati disebut proses detoksifikasi.
Lobus hati terbentuk dari sel parenkimal dan sel non-parenkimal.[2] Sel parenkimal pada hati
disebut hepatosit, menempati sekitar 80% volumehati dan melakukan berbagai fungsi utama
hati. 40% sel hati terdapat pada lobus sinusoidal. Hepatosit merupakan sel endodermal yang
terstimulasi oleh jaringan mesenkimal secara terus-menerus pada saat embrio hingga
berkembang menjadi sel parenkimal.[3] Selama masa tersebut, terjadi
peningkatan transkripsi mRNA albumin sebagai stimulan proliferasi dan diferensiasi sel
endodermal menjadi hepatosit.[4]
Lumen lobus terbentuk dari SEC dan ditempati oleh 3 jenis sel lain, seperti sel Kupffer, sel
Ito, limfosit intrahepatik seperti sel pit. Sel non-parenkimal menempati sekitar 6,5% volume hati
dan memproduksi berbagai substansi yang mengendalikan banyak fungsi hepatosit.
Filtrasi merupakan salah satu fungsi lumen lobus sinusoidal yang memisahkan permukaan
hepatosit dari darah, SEC memiliki kapasitasendositosis yang sangat besar dengan
berbagai ligan seperti glikoprotein, kompleks imun, transferin dan seruloplasmin. SEC juga
berfungsi sebagai sel presenter antigen yang menyediakan ekspresi MHC I dan MHC II bagi sel
T. Sekresi yang terjadi meliputi
berbagai sitokina,eikosanoid seperti prostanoid dan leukotriena, endotelin-1, nitrogen
monoksida dan beberapa komponen ECM.
Sel Ito berada pada jaringan perisinusoidal, merupakan sel dengan banyak vesikel lemak di
dalam sitoplasma yang mengikat SEC sangat kuat hingga memberikan lapisan ganda pada
lumen lobus sinusoidal. Saat hati berada pada kondisi normal, sel Ito menyimpan vitamin A guna
mengendalikan kelenturan matriks ekstraselular yang dibentuk dengan SEC, yang juga
merupakan kelenturan dari lumen sinusoid.
Sel Kupffer berada pada jaringan intrasinusoidal, merupakan makrofaga dengan
kemampuan endositik dan fagositik yang mencengangkan. Sel Kupffer sehari-hari berinteraksi
dengan material yang berasal saluran pencernaan yang mengandung larutan bakterial, dan
mencegah aktivasi efek toksin senyawa tersebut ke dalam hati. Paparan larutan bakterial yang
tinggi, terutama paparan LPS, membuat sel Kupffer melakukansekresi berbagai sitokina yang
memicu proses peradangan dan dapat mengakibatkan cedera pada hati. Sekresi antara lain
meliputi spesi oksigen reaktif, eikosanoid, nitrogen monoksida, karbon monoksida, TNF-α, IL-10,
sebagai respon kekebalan turunan dalam fase infeksi primer.
Sel pit merupakan limfosit dengan granula besar, seperti sel NK yang bermukim di hati. Sel pit
dapat menginduksi kematian seketika pada sel tumor tanpa bergantung
pada ekspresi antigen pada kompleks histokompatibilitas utama. Aktivitas sel pit dapat
ditingkatkan dengan stimulasiinterferon-γ.
Selain itu, pada hati masih terdapat sel T-γδ, sel T-αβ dan sel NKT.
Sel punca
Selain hepatosit dan sel non-parenkimal, pada hati masih terdapat jenis sel lain yaitu sel intrahepatik yang sering disebut sel oval,[5] dan hepatosit duktular.[6] Regenerasi hati
setelahhepatektomi parsial, umumnya tidak melibatkan sel progenitor intra-hepatik dan sel
punca ekstra-hepatik (hemopoietik), dan bergantung hanya kepada proliferasi hepatosit. Namun
dalam kondisi saat proliferasi hepatosit terhambat atau tertunda, sel oval yang berada di area
periportal akan mengalami proliferasi dan diferensiasi menjadi hepatosit dewasa.[5][7] Sel oval
merupakan bentuk diferensiasi dari sel progenitor yang berada pada area portal dan periportal,
atau kanal Hering,[8] dan hanya ditemukan saat hati mengalami cedera.[9] Proliferasi yang terjadi
pada sel oval akan membentuk saluran ekskresi yang menghubungkan area parenkima tempat
terjadinya kerusakan hati dengan saluran empedu. Epimorfin, sebuah morfogen yang banyak
ditemukan berperan pada banyak organ epitelial, nampaknya juga berperan pada pembentukan
saluran empedu oleh sel punca hepatik.[10] Setelah itu sel oval akan terdiferensiasi
menjadi hepatosit duktular. Hepatosit duktular dianggap merupakan sel transisi yang terkait
antara lain dengan:[11]

metaplasia duktular dari hepatosit parenkimal menjadi epitelium biliari intra-hepatik

konversi metaplasia dari epitelium duktular menjadi hepatosit parenkimal

diferensiasi dari sel punca dari silsilah hepatosit
tergantung pada jenis gangguan yang menyerang hati.
Pada model tikus dengan 70% hepatektomi, dan induksi regenerasi hepatik
dengan asetilaminofluorena-2, ditemukan bahwa sel punca yang berasal dari sumsum tulang
belakang dapat terdiferensiasi menjadi hepatosit,[12][13] dengan mediasi hormon GCSF sebagai kemokina dan mitogen.[14] Regenerasi juga dapat dipicu dengan Dgalaktosamina.[15]
Sel imunologis
Hati juga berperan dalam sistem kekebalan dengan banyaknya sel imunologis pada sistem
retikuendotelial yang berfungsi sebagai tapis antigen yang terbawa ke hati melalui sistem portal
hati. Perpindahan fase infeksi dari fase primer menjadi fase akut, ditandai oleh hati dengan
menurunkan sekresi albumin dan menaikkan sekresi fibrinogen. Fasa akut yang berkepanjangan
akan berakibat pada simtoma hipoalbuminemia dan hiperfibrinogenemia.[16]
Pada saat hati cedera, sel darah putih akan distimulasi untuk bermigrasi menuju hati dan
bersama dengan sel Kupffer mensekresi sitokina yang membuat modulasi perilaku sel Ito.[17] Sel
TH1 memproduksi sitokina yang meningkatkan respon kekebalan selular seperti IFNgamma, TNF, dan IL-2. Sel TH2 sebaliknnya akan memproduksi sitokina yang meningkatkan
respon kekebalan humoral seperti IL-4, IL-5, IL-6, IL-13 dan meningkatkan respon fibrosis.
Sitokina yang disekresi oleh sel TH1 akan menghambat diferensiasi sel T menjadi sel TH2,
sebaliknya sitokina sekresi TH2 akan menghambat proliferasi sel TH1. Oleh sebab itu respon
kekebalan sering dikatakan terpolarisasi ke respon kekebalan selular atau humoral, namun
belum pernah keduanya.
Fungsi hati
Berbagai jenis tugas yang dijalankan oleh hati, dilakukan oleh hepatosit. Hingga saat ini belum
ditemukan organ lain atau organ buatan atau peralatan yang mampu menggantikan semua
fungsi hati. Beberapa fungsi hati dapat digantikan dengan proses dialisis hati, namun teknologi
ini masih terus dikembangkan untuk perawatan penderita gagal hati.
Sebagai kelenjar, hati menghasilkan:

empedu yang mencapai ½ liter setiap hari. Empedu merupakan cairan kehijauan dan
terasa pahit, berasal dari hemoglobin sel darah merah yang telah tua, yang kemudian
disimpan di dalam kantong empedu atau diekskresi ke duodenum. Empedu
mengandung kolesterol, garam mineral, garam empedu, pigmen bilirubin,
dan biliverdin. Sekresi empedu berguna untuk mencerna lemak, mengaktifkan lipase,
membantu daya absorpsi lemak di usus, dan mengubah zat yang tidak larut
dalam air menjadi zat yang larut dalam air. Apabila saluran empedu di hati tersumbat,
empedu masuk ke peredaran darah sehingga kulit penderita menjadi kekuningan. Orang
yang demikian dikatakan menderita penyakit kuning.

sebagian besar asam amino

faktor koagulasi I, II, V, VII, IX, X, XI

protein C, protein S dan anti-trombin

kalsidiol

trigliserida melalui lintasan lipogenesis

kolesterol

insulin-like growth factor 1 (IGF-1), sebuah protein polipeptida yang berperan penting dalam
pertumbuhan tubuh dalam masa kanak-kanak dan tetap memiliki efek anabolik pada orang
dewasa.

enzim arginase yang mengubah arginina menjadi ornitina dan urea. Ornitina yang terbentuk
dapat mengikat NH³ dan CO² yang bersifat racun.

trombopoietin, sebuah hormon glikoprotein yang mengendalikan produksi keping
darah oleh sumsum tulang belakang.

Pada triwulan awal pertumbuhan janin, hati merupakan organ utama sintesis sel darah
merah, hingga mencapai sekitar sumsum tulang belakang mampu mengambil alih tugas ini.

albumin, komponen osmolar utama pada plasma darah.

angiotensinogen, sebuah hormon yang berperan untuk meningkatkan tekanan darah ketika
diaktivasi oleh renin, sebuah enzim yang disekresi oleh ginjal saat ditengarai kurangnya
tekanan darah oleh juxtaglomerular apparatus.

enzim glutamat-oksaloasetat transferase, glutamat-piruvat transferase dan laktat
dehidrogenase
Selain melakukan proses glikolisis dan siklus asam sitrat seperti sel pada umumnya, hati juga
berperan dalam metabolisme karbohidrat yang lain:

Glukoneogenesis, sintesis glukosa dari beberapa substrat asam amino, asam laktat, asam
lemak non ester dan gliserol. Pada manusia dan beberapa jenis mamalia, proses ini tidak
dapat mengkonversi gliserol menjadi glukosa. Lintasan dipercepat
oleh hormon insulin seiring dengan hormon tri-iodotironina melalui pertambahan laju siklus
Cori.[18]

Glikogenolisis, lintasan katabolisme glikogen menjadi glukosa untuk kemudian dilepaskan ke
darah sebagai respon meningkatnya kebutuhan energi oleh tubuh.
Hormon glukagonmerupakan stimulator utama kedua lintasan glikogenolisis dan
glukoneogenesis menghindarikan tubuh dari simtoma hipoglisemia. Pada model tikus,
defisiensi glukagon akan menghambat kedua lintasan ini, namun meningkatkan toleransi
glukosa.[19] Lintasan ini, bersama dengan lintasan glukoneogenesis pada saluran
pencernaan dikendalikan oleh kelenjarhipotalamus.[20]

Glikogenesis, lintasan anabolisme glikogen dari glukosa.
dan pada lintasan katabolisme:

degradasi sel darah merah. Hemoglobin yang terkandung di dalamnya dipecah menjadi zat
besi, globin, dan heme. Zat besi dan globin didaur ulang, sedangkan heme dirombak
menjadimetabolit untuk diekskresi bersama empedu sebagai bilirubin dan biliverdin yang
berwarna hijau kebiruan. Di dalam usus, zat empedu ini
mengalami oksidasi menjadi urobilin sehingga warna feses dan urin kekuningan.

degradasi insulin dan beberapa hormon lain.

degradasi amonia menjadi urea

degradasi zat toksin dengan lintasan detoksifikasi, seperti metilasi.
Hati juga mencadangkan beberapa substansi, selain glikogen:

vitamin A (cadangan 1–2 tahun)

vitamin D (cadangan 1–4 bulan)

vitamin B12 (cadangan 1-3 tahun)

zat besi

zat tembaga.
Regenerasi sel hati
Kemampuan hati untuk melakukan regenerasi merupakan suatu proses yang sangat penting
agar hati dapat pulih dari kerusakan yang ditimbulkan dari proses detoksifikasi dan imunologis.
Regenerasi tercapai dengan interaksi yang sangat kompleks antara sel yang terdapat dalam
hati, antara lain hepatosit, sel Kupffer, sel endotelial sinusoidal, sel Ito dan sel punca;
denganorgan ekstra-hepatik, seperti kelenjar tiroid, kelenjar
adrenal, pankreas, duodenum, hipotalamus.[21]
Hepatosit, adalah sel yang sangat unik. Potensi hepatosit untuk melakukan proliferasi, muncul
pada saat-saat terjadi kehilangan massa sel,[22] yang disebut fase prima atau fase kompetensi
replikatif[23] yang umumnya dipicu oleh sel Kupffer melalui sekresi sitokina IL-6 dan TNF-α. Pada
fase ini, hepatosit memasuki siklus sel dari fase G0 ke fase G1.
TNF-α dapat memberikan efek proliferatif atau apoptotik, bergantung pada spesi oksigen
reaktif dan glutathion, minimal 4 faktor transkripsi diaktivasi sebelum hepatosit masuk ke dalam
fase proliferasi, yaitu NF-κB, STAT-3, AP-1 dan C/EBP-beta.[24]
Proliferasi hepatosit diinduksi oleh stimulasi sitokina HGF dan TGF-α, dan EGF[24] dengan dua
lintasan. HGF, TGF-α, dan EGF merupakan faktor pertumbuhan yang berasal
dari substratserina dan protein logam[25] yang menginduksi sintesis DNA.[23] Lintasan pertama
adalah lintasan IL-6/STAT-3 yang berperan dalam siklus sel melalui siklin D1/p21 dan
perlindungan sel dengan peningkatan rasio FLIP, Bcl-2, Bcl-xL, Ref1, dan MnSOD. Lintasan
kedua adalah lintasan PI3-K/PDK-1/Akt yang mengendalikan ukuran sel melalui molekul mTOR,
selain sebagai zat anti-apoptosis dan antioksidan.
Hormon tri-iodotironina, selain menurunkan kadar kolesterol pada hati,[26] juga memiliki kapasitas
dalam proliferasi hepatosit sebagai mitogen yang berperan pada siklin
D1,[27] mempercepatkonsumsi O2 oleh mitokondria dengan
mengaktivasi transkripsi pada gen pernafasen hingga meningkatkan produksi spesi oksigen
reaktif.[28] Sekresi ROS ke dalam sitoplasma hepatosit akan mengaktivasi faktor transkripsi NFκB.[29] Pada sel Kupffer, ROS dalam sitoplasma, akan mengaktivasi sekresi sitokina TNF-α, IL6 dan IL-1 untuk disekresi. Ikatan yang terjadi antara ketiga sitokina ini dengan hepatosit akan
menginduksi ekspresi pencerap enzim antioksidan, seperti mangan superoksida dismutase, initrogen monoksida sintase, protein anti-apoptosis Bcl-2, haptoglobin dan fibrinogen-β yang
diperlukan hepatosit dalam proliferasi.[30] Stres oksidatif yang dapat ditimbulkan oleh ROS
maupun kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh berbagai sitokina, dapat dilenyapkan dengan
asupan tosoferol (100 mg/kg) atau senyawa penghambat gadolinium klorida (10 mg/kg) seperti
yang dimiliki oleh sel Kupffer, sebelum stimulasi hormon tri-iodotironina,[31] sedangkan laju
proliferasi hepatosit dikendalikan oleh kadar etanolamina sebagai faktor hepatotrofik humoral.[32]
Kemampuan hati untuk melakukan regenerasi telah diketahui semenjak zaman Yunani kuno dari
cerita mitos tentang seorang titan yang bernama Prometheus.[33] Kemampuan ini dapat sirna,
hingga hepatosit tidak dapat masuk ke dalam siklus sel, walaupun kehilangan sebagian
massanya, apabila terjadi fibrosis hati. Lintasan fibrosis yang tidak segera mendapat perawatan,
lambat laun akan berkembang menjadi sirosis hati[34] dan mengharuskan penderitanya untuk
menjalani transplantasi hati atau hepatektomi demi kelangsungan hidupnya.
Regenerasi hati setelah hepatektomi parsial merupakan proses yang sangat rumit di bawah
pengaruh perubahan hemodinamika, modulasi sitokina, hormon faktor pertumbuhan dan
aktivasifaktor transkripsi, yang mengarah pada proses mitosis. Hormon PRL yang
disekresi oleh kelenjar hipofisis menginduksi respon hepatotrofik sebagai mitogen yang berperan
dalam prosesproliferasi dan diferensiasi.[35] PRL memberi pengaruh kepada peningkatan
aktivitas faktor transkripsi yang berperan dalam proliferasi sel, seperti AP-1, c-Jun dan STAT-3;
dan diferensiasi dan terpeliharanya metabolisme, seperti C/EBP-alfa, HNF-1, HNF-4 dan HNF-3.
c-Jun merupakan salah satu protein penyusun AP-1.[36] Induksi NF-κB pada fase ini diperlukan
untuk mencegah apoptosis dan memicu derap siklus sel yang wajar.[37] Pada masa ini,
peran retinil asetat menjadi sangat vital, karena fungsinya yang menambah massa DNA dan
protein yang dikandungnya.[38]
Penyakit pada hati[
Hati merupakan organ yang menopang kelangsungan hidup hampir seluruh organ lain di dalam
tubuh. Oleh karena lokasi yang sangat strategis dan fungsi multi-dimensional, hati menjadi
sangat rentan terhadap datangnya berbagai penyakit. Hati akan merespon berbagai penyakit
tersebut dengan meradang, yang disebut hepatitis
Seringkali hepatitis dimulai dengan reaksi radang patobiokimiawi yang disebut fibrosis
hati,[39] dengan simtoma paraklinis berupa peningkatan rasio plasma laminin,
sebuah glikoprotein yang disekresi sel Ito, asam hialuronat dan
sejenis aminopeptida yaitu prokolagen tipe III,[40] dan CEA.[41] Fibrosis hati dapat disebabkan
oleh rendahnya rasio plasma HGF,[42][43] atau karena infeksi viral, seperti hepatitis B, patogen
yang disebabkan oleh infeksi akut sejenis virus DNA yang memiliki fokus infeksi berupa
templat transkripsi yang disebut cccDNA yang termetilasi,[44]atau hepatitis C, patogen serupa
hepatitis B yang disebabkan oleh infeksi virus RNA dengan fokus infeksi berupa metilasi DNA,
terutama melalui mekanisme ekspresi genetik berkasGADD45B, sehingga mengakibatkan siklus
sel hepatosit menjadi tersendat-sendat.[45][46]
Fibrosis hati memerlukan penangan sedini mungkin, seperti pada model tikus, stimulasi
proliferasi hepatosit akan meluruhkan fokus infeksi virus hepatitis B,[47] sebelum berkembang
menjadisirosis hati atau karsinoma hepatoselular. Setelah terjadi kanker
hati, senyawa siklosporina yang memiliki potensi untuk memicu proliferasi hepatosit, justru akan
mempercepat perkembangansel kanker,[48] oleh karena sel kanker
mengalami hiperplasia hepatik, yaitu proliferasi yang tidak disertai aktivasi faktor
transkripsi genetik. Hal ini dapat diinduksi dengan stimulasi timbal nitrat(LN, 100
mikromol/kg), siproteron asetat (CPA, 60 mg/kg), dan nafenopin (NAF, 200 mg/kg).[49]
Hepatitis juga dapat dimulai dengan defisiensi mitokondria di dalam hepatosit, yang
disebut steatohepatitis. Disfungsi mitokondria akan berdampak
pada homeostasis senyawa lipid dan peningkatan rasio spesi oksigen reaktif yang
menginduksi TNF-α.[50] Hal ini akan berlanjut pada pengendapan lemak, stres
oksidatif dan peroksidasi lipid,[51] serta membuat mitokondria menjadi rentan terhadap kematian
oleh nekrosis akibat rendahnya rasio ATP dalam matrik mitokondria, atau oleh apoptosis melalui
pembentukan apoptosom dan peningkatan permeabilitasmembran mitokondria dengan
mekanisme Fas/TNF-α. Permintaan energi yang tinggi pada kondisi ini menyebabkan
mitokondria tidak dapat memulihkan cadangan ATP hingga dapat memicusirosis
hati,[51] sedangkan peroksidasi lipid akan menyebabkan kerusakan pada DNA mitokondria dan
membran mitokondria sisi dalam yang disebut sardiolipin, dengan peningkatan laju oksidasibeta asam lemak, akan terjadi akumulasi elektron pada respiratory chain kompleks I dan III yang
menurunkan kadar antioksidan.[50]
Sel hepatosit apoptotik akan dicerna oleh sel Ito menjadi fibrinogen dengan
reaksi fibrogenesis setelah diaktivasi oleh produk dari peroksidasi lipid dan rasio leptin yang
tinggi. Apoptosis kronis kemudian dikompensasi dengan peningkatan laju proliferasi hepatosit,
disertai DNA yang rusak oleh disfungsi mitokondria, dan menyebabkan mutasi genetik dan
kanker.
Pada model tikus, melatonin merupakan senyawa yang menurunkan fibrosis hati,[52] sedang
pada model kelinci, kurkumin merupakan senyawa organik yang menurunkan paraklinis
steatohepatitis,[53] sedang hormon serotonin[54] dan kurangnya
asupan metionina dan kolina[55] memberikan efek sebaliknya dengan resistansi adiponektin.[56]
Disfungsi mitokondria juga ditemukan pada seluruh patogenesis hati, dari kasus radang hingga
kanker dan transplantasi.[57] Pada kolestasis kronik, asam ursodeoksikolat bersama
denganGSH bersinergis sebagai antioksidan yang melindungi sardiolipin dan fosfatidil
serina hingga mencegah terjadinya sirosis hati.[58]
Pengaruh alkohol
Alkohol dikenal memiliki fungsi immunosupresif terhadap sistem kekebalan tubuh, termasuk
meredam ekspresi kluster diferensiasi CD4+ dan CD8+ yang diperlukan dalam pertahanan hati
terhadap infeksi viral, terutama HCV.[59] Alkohol juga meredam rasio kemokina IFN pada
lintasan transduksi sinyal selular, selain meningkatkan resiko terjadinya fibrosis.[60]
Banyak lintasan metabolisme memberikan kontribusi terhadap alkohol untuk menginduksi stres
oksidatif.[61] Salah satu lintasan metabolisme yang sering diaktivasi oleh etanol adalah induksi
enzim sitokrom P450 2E1. Enzim ini menimbulkan spesi oksigen reaktif seperti radikal anion
superoksida dan hidrogen peroksida, serta mengaktivasi subtrat toksik termasuk etanol menjadi
produk yang lebih reaktif dan toksik. Sel dendritik tampaknya merupakan sel yang paling
terpengaruh oleh kandungan etanol di dalam alkohol. Pada percobaan menggunakan
model tikus, etanol meningkatkan rasio plasma IL-1β, IL-6, IL-8, TNF-α, AST, ALT, ADH, γGT, TG, MDA dan meredam rasio IL-10, GSH,[62] faktor transkripsi NF-κB dan AP-1.[63]
Pengaruh alkaloid
Kopi, salah satu kompleks senyawa alkaloid dari golongan purina xantina dengan asam
klorogenat dan lignan,[64] pada studi epidemiologis, disimpulkan sebagai salah satu faktor
penurun risiko terjadinya diabetes mellitus tipe 2,[65][66] penyakit Parkinson, sirosis
hati dan karsinoma hepatoselular,[67] dan perbaikan toleransi glukosa.[64] Konsumsi kopi secara
kronis terbukti tidak menyebabkan tekanan darah tinggi namun secara akut mengakibatkan
peningkatan tekanan darah sementara dalam selang waktu
singkat,[68] dan plasma homosisteina[67] sehingga dapat menjadi ancaman bagi penderita
gangguan kardiovaskular.[65]
Konsumsi kopi secara teratur dapat menurunkan rasio enzim ALT serta aktifitas enzimatik pada
lintasan metabolisme hati,[69] yang sering disebabkan oleh[70] infeksi viral, induksi obatobatan, keracunan, kondisi iskemik, steatosis (akibat alkohol, diabetes, obesitas), penyakit
otoimun,[71] dan resistansi insulin, sindrom metabolisme,[72] dan kelebihan zat besi.[73] Selain
ALT, kopi juga menurunkan enzim hati yang lain, yaitu gamma-GT dan alkalina fosfatase.[74] dan
memberikan efek antioksidan dan detoksifikasi fase II oleh karena
senyawa diterpena, kafestoldan kahweol,[75] sehingga mencegah terjadinya
proses karsinogenesis.[76][77] Proses tersebut disertai dengan gamma-GT sebagai indikator
utama.[78]
Pengaruh kegemukan, trigeliserida tinggi dan diabetes
Kegemukan, trigliserida tinggi (hipertrigliseridemia) dan diabetes dapat menyebabkan pelemakan
hati dan kalau dibiarkan akan menjadi sirosis hati. 10-15 orang dari 100 orang dengan
pelemakan hati dapat menderita sirosis, sedangkan 30 orang dari 100 orang dengan
peradangan hati kronis akibat virus (biasanya Hepatitis B) dapat menderita sirosis. Pelemakan
hati dapat diperiksa di laboratorium klinik menggunakan tes bio kimia atau secara visual
menggunakan USG.[79]
Transplantasi hati
Teknologi transplantasi hati merupakan hasil yang dikembangkan dari penelitian pada beberapa
bidang studi kedokteran. Pada tahun 1953, Billingham, Brent, dan Medawar menemukan bahwa
toleransi kimerisme[80] dapat diinduksi oleh infus sel hematolimfopoietik donor pada
model tikus.[81]
Pada tahun 1958 studi canine mengembangkan suatu teori mengenai molekul hepatotrofik pada
portal pembuluh balik pada hati dan menemukan hormon insulin sebagai faktor hepatotrofik
utama dari beberapa faktor lain yang ada.[82] Pada saat yang hampir bersamaan teori mengenai
transplantasi multiviseral dan hati juga berkembang dari studi imunosupresi yang mempelajari
algoritma empiris dari pengenalan pola dan respon terapis. Pada awal 1960, dibuktikan
bahwa canine dan allograft manusia memiliki toleransi kimersime yang dapat terinduksi otomatis
dengan bantuan imunosupresi, hingga pada akhir 1962 disimpulkan dengan keliru, bahwa
transplantasi melibatkan dua sistem kekebalan yang berbeda. Konsekuensi kesimpulan tersebut
menjadi dogma bahwa tolerogenisitas hati, pada dasarnya, berbeda, tidak hanya dengan
sumsum tulang belakang, tetapi dengan seluruh organ tubuh yang lain.[81] Kekeliruan ini tidak
terkoreksi dengan baik hingga tahun 1990.[80]
Transplantasi hati yang pertama dilakukan di Denver pada tahun 1963,[83] keberhasilan pertama
tercatat pada tahun 1967 dengan azatioprina, prednison dan globulin anti-limfoid, olehThomas E.
Starzl dari Amerika Serikat, disusul oleh keberhasilan transplantasi sumsum tulang belakang
manusia pada tahun 1968.[80] Rentang waktu antara 1967 hingga 1979 mencatat 84 kali
transplantasi hati pada anak dengan 30% daya tahan hidup hingga 2 tahun.[83]
Perkembangan studi imunosupresi kemudian memberikan perbaikan dan harapan hidup lebih
panjang bagi pasien, antara lain dengan pergantian azatioprina dengan siklosporina pada tahun
1979, lalu tergantikan dengan takrolimus pada tahun 1989.[82]
Pada tahun 1992, dikembangkan teori mikrokimerisme leukosit donor[84] dengan cakupan donor
dari silsilah berlainan, yang memberikan harapan hidup yang sangat panjang bagi penerima
donor organ, setelah diketahui hubungan antara aspek imunologis dari transplantasi, infeksi,
toleransi oleh sumsum tulang belakang, neoplasma dan kelainan otoimun, yang disebut
sebagaimekanisme seminal. Respon kekebalan dan toleransi kekebalan antara organ donor dan
tubuh ditemukan merupakan fungsi dari migrasi dan lokalisasi leukosit.[81] Salah satu temuan
adalah aktivasi sistem kekebalan turunan oleh sel NK dan interferon-γ segera setelah
transplantasi selesai dilakukan.[85] Pada model tikus, sel hepatosit donor ditemukan bersifat
sangat antigeniksehingga memicu respon penolakan, yang dapat dilakukan secara mandiri atau
bersama-sama antara sel T CD4 dan sel T CD8.[86]
Untuk itu diperlukan terapi imunosupresif yang intensif sebelum transplantasi dilakukan, yang
disebut preparative regimen atau conditioning untuk mencegah penolakan organ donor
olehsistem kekebalan inang.[87] Terapi imunosupresif tersebut ditujukan untuk menekan sel
T dan sel NK inang guna memberikan ruang di dalam sumsum tulang belakang untuk
transplantasi sel punca hematopoietik dari organ donor melalui terapi mielosupresif, untuk
keseimbangan repopulasi sel donor dengan sel hasil diferensiasi dari sel punca inang.
Dewasa ini, transplantasi hati dilakukan hanya pada saat hati telah memasuki jenjang akhir
suatu penyakit, atau telah terjadi disfungsi akut yang disebut fulminant hepatic failure. Kasus
transplantasi hati pada manusia umumnya disebabkan oleh sirosis hati akibat dari hepatitis
C kronis, ketergantungan alkohol, hepatitis otoimun dll.
Teknik umum yang digunakan adalah transplantasi ortotopik, yaitu penempatan organ donor
pada posisi anatomik yang sama dengan posisi awal organ sebelumnya. Transplantasi hati
berpotensi dapat diterapkan, hanya jika penerima organ donor tidak memiliki kondisi lain yang
memberatkan, seperti kanker metastatis di luar organ hati, ketergantungan pada obat-obatan
atau alkohol. Beberapa ahli berpedoman pada kriteria Milan untuk seleksi pasien transplantasi
hati.
Organ donor, disebut allograft, biasanya berasal dari manusia lain yang baru saja meninggal
dunia akibat cedera otak traumatik (kadaverik). Teknik transplantasi lain menggunakan organ
manusia yang masih hidup, operasi hepatektomi mengangkat 20% hati pada segmen Coinaud 2
dan 3 dari orang dewasa untuk didonorkan kepada seorang anak, pada tahun 1989.
Download