Tingkat kematangan oosit sapi secara in vitro

advertisement
TINGKAT KEMATANGAN OOSIT SAPI SECARA IN VITRO
SETELAH INKUBASI PADA KONDISI TEMPERATUR
DAN KOMPOSISI GAS CO2 BERBEDA
DWI WALID RETNAWATI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
RINGKASAN
DWI WALID RETNAWATI. B04101130. Tingkat Kematangan Oosit Sapi
Secara In Vitro Setelah Inkubasi pada Kondisi Temperatur dan Komposisi
Gas CO2 Berbeda. Di bawah bimbingan MOHAMAD AGUS SETIADI
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi oosit dari ovarium sapi
yang diperoleh dari Rumah Potong Hewan dan mengetahui keunggulan sistem
inkubator Oxoid anaerob pada in vitro maturasi. Inkubator yang digunakan adalah
inkubator CO2 dan inkubator Oxoid anaerob dengan berbagai tingkatan suhu
38.50C, 360C dan 290C. Media yang digunakan adalah Tissue Culture Medium
199. Proses pematangan dilakukan selama 23 jam pada setiap inkubator.
Oosit dikoleksi dengan cara slicing diikuti dengan flushing kemudian oosit
yang terseleksi dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan. Perlakuan pertama oosit
dimatangkan pada inkubator CO2 temperatur 38.50C, perlakuan kedua pada
inkubator Oxoid anaerob temperatur 360C dan perlakuan ketiga pada inkubator
Oxoid anaerob temperatur 290C. Setiap perlakuan dilakukan pengulangan
sebanyak 5 kali.
Tingkat pematangan oosit dapat diamati pada derajat ekspansi sel-sel
kumulus dan tingkat kematangan inti oosit. Derajat ekspansi sel-sel kumulus dan
tingkat kematangan inti dianalisa menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang
dilanjutkan dengan uji Duncan, dengan selang kepercayaan 95% (á = 0.05).
Hubungan antara derajat ekspansi 3 dan metafase II diuji dengan menggunakan
Regresi Liniar Sederhana.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa oosit yang dimatangkan pada
perlakuan pertama, kedua dan ketiga menunjukkan hasil yang berbeda nyata
(p<0.05) pada derajat ekspansi kumulus ke-3, dengan nilai berturut-turut adalah
62.60%, 51.00% dan 34.74%. Tingkat kematangan inti yang mencapai metafase II
pada ketiga perlakuan secara berturut-turut yaitu 76.52%, 55.00% dan 10.53%,
secara statistik berbeda nyata (p<0.05).
Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa inkubator Oxoid pada temperatur
360C dapat dipakai untuk proses pematangan oosit meskipun hasilnya tidak
optimal (55%) dibandingkan dengan inkubator standar. Proses pematangan oosit
pada temperatur ekstrim di bawah temperatur tubuh normal menimbulkan efek
yang tidak dikehendaki dan hanya sedikit oosit yang mampu menyelesaikan
pembelahan meiosis sampai tahap metafase-II. Keeratan derajat ekspansi sel
kumulus oosit dengan tingkat pematangan inti mempunyai derajat keeratan yang
berbeda.
TINGKAT KEMATANGAN OOSIT SAPI SECARA IN VITRO
SETELAH INKUBASI PADA KONDISI TEMPERATUR
DAN KOMPOSISI GAS CO2 BERBEDA
DWI WALID RETNAWATI
B04101130
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
Judul Skripsi : Tingkat Kematangan Oosit Sapi Secara In Vitro Setelah
Inkubasi pada Kondisi Temperatur dan Komposisi Gas CO2
Berbeda
Nama
: Dwi Walid Retnawati
NRP
: B04101130
Fakultas
: Kedokteran Hewan
Menyetujui,
Dr. Drh. M. Agus Setiadi
Pembimbing
Mengetahui,
Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS
Wakil Dekan I
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 10 Maret 1982 di Klaten, Jawa Tengah,
sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis merupakan putri dari ayah
Walidi dan ibu Parjiati.
Pada tahun 1995, penulis lulus dari Sekolah Dasar Negeri Cawas II.
Kemudian pada tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah
Menengah Pertama Negeri I Cawas. Selanjutnya penulis lulus dari Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas Negeri I Cawas pada tahun 2001. Pada tahun yang sama
penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan melalui
jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai pengurus dalam
Himpunan Minat Profesi Ornithologi dan Unggas periode 2002-2003. Pada tahun
2003-2004 penulis aktif juga sebagai anggota dalam Himpunan Minat Profesi
Ruminansia. Penulis juga pernah magang di kebun binatang Gembira Loka
Yogyakarta pada bulan maret 2002 dan Balai Pembibitan Ternak Unggul Sapi
Perah Baturraden pada bulan agustus 2003.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul Tingkat Kematangan Oosit Sapi Secara In Vitro Setelah
Inkubasi pada Kondisi Temperatur dan Komposisi Gas CO2 Berbeda. Pada
kesempatan ini penyusun ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada
berbagai pihak yang turut membantu dalam pelaksanaan penelitian dan
penyusunan skripsi ini, khususnya kepada:
1.
Dr. Drh. M. Agus Setiadi selaku Dosen Pembimbing Akademik dan dosen
pembimbing atas ketersediaan waktu dan kesabaran dalam memberikan
bimbingan selama proses penulisan skripsi sehingga penulis dapat
menyelesaikan dengan sebaik-baiknya.
2.
Dr. Drh. Arief Boediono selaku dosen penilai dan penguji yang telah
memberikan kritik dan saran pada saat seminar dan sidang.
3.
Bapak, Ibu, Mas Eka, Dek Marten, Mbak Aris dan keluarga besar Walid atas
segala doa dan kasih sayangnya.
4.
Pihak RPH yang telah memberikan izin dan pegawai RPH yang membantu
penulis untuk mendapatkan ovarium.
5.
Mbak Yulna, Mbak Herwin dan Teh Enci atas bantuan selama penelitian dan
mencari literatur.
6.
Teman-temanku tercinta Kru Amanah dan Kost Arsida II; Ais, Mbak Fera,
Mbak Yuyun, Mbak Heni, Mbak Niar, Nophie, Nur, Dek Ama dan Pipit atas
kebersamaannya selama ini.
7.
GASTRO 38, atas kebersamaannya selama penulis menyelesaikan kuliah.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna. Walupun demikian,
mudah-mudahan skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca
sekalian. Amin.
Bogor, Februari 2006
Dwi Walid Retnawati
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
viii
PENDAHULUAN ...................................................................................
Latar Belakang ..............................................................................
Tujuan ..........................................................................................
Manfaat ........................................................................................
1
1
2
2
TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
Ovarium ........................................................................................
Oogenesis .....................................................................................
Folikulogenesis .............................................................................
Perkembangan Oosit Secara In Vivo ............................................
Perkembangan Oosit Secara In Vitro .............................................
Peranan gas CO2 ................................................................
Peranan temperatur ............................................................
Ekspansi sel-sel kumulus ...................................................
3
3
4
5
7
9
11
13
14
BAHAN DAN METODE .........................................................................
Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................
Bahan dan Alat .............................................................................
Prosedur Penelitian .......................................................................
Koleksi ovarium ................................................................
Teknik koleksi oosit ..........................................................
Persiapan media ................................................................
Pematangan oosit ...............................................................
Pengamatan tingkat pematangan oosit ...............................
Analisis Data ................................................................................
16
16
16
16
16
17
18
18
18
19
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................
Ekspansi Sel-sel Kumulus .............................................................
Tingkat Pematangan Inti Oosit ......................................................
Korelasi Ekspansi Kumulus dengan Metafase II ............................
20
20
23
27
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................
31
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
32
LAMPIRAN ...........................................................................................
37
DAFTAR TABEL
No.
Teks
Halaman
1. Derajat Ekspansi Sel-sel Kumulus Oosit Sapi........................................
21
2. Tingkat Pematangan Inti Oosit Sapi Setelah Maturasi In Vitro...............
26
DAFTAR GAMBAR
No.
Teks
Halaman
1. Potongan ovarium mamalia ................................................................
4
2. Pembelahan meiosis dan maturasi oosit ..............................................
9
3. Inkubator Oxoid CO2 GenTM atmosphere general system ....................
13
4. Oosit yang termasuk dalam kriteria A dan B yang dipakai untuk
pematangan .........................................................................................
17
5. Oosit sapi setelah pematangan in vitro ................................................
21
6. Status inti oosit setelah pematangan in vitro .......................................
24
7. Hubungan antara derajat ekspansi 3 dengan M-II pada inkubator
CO2 temperatur 38.50C .......................................................................
29
8. Hubungan antara derajat ekspansi 3 dengan M-II pada inkubator
Oxoid temperatur 360C .......................................................................
29
9. Hubungan antara derajat ekspansi 3 dengan M-II pada inkubator
Oxoid temperatur 290C .......................................................................
29
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Teks
Halaman
1. Komposisi medium .............................................................................
38
2. Alat-alat ..............................................................................................
39
3. Analisa ragam dan uji lanjut Duncan untuk derajat ekspansi sel-sel
kumulus ...............................................................................................
40
4. Analisa ragam dan uji lanjut Duncan untuk tingkat pematangan oosit
setelah in vitro ......................................................................................... 42
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagai salah satu negara agraris yang subur dan kaya dalam bidang
pertanian dan bidang peternakan yang dapat menunjang keberhasilan dan
kemajuan pembangunan di Indonesia, maka pemerintah terus melakuakan usaha
untuk melakukan populasi ternak. Untuk meningkatkan kontribusi daging sapi
dalam memenuhi kebutuan konsumsi daging nasional perlu diupayakan
pengembangan peternakan sapi dari pola tradisional menjadi suatu usaha
komersial. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
produktifitasnya adalah melalui penerapan bioteknologi reproduksi.
Dengan kemajuan bioteknologi dibidang reproduksi, pemanfaatkan ovarium
dari Rumah Potong Hewan (RPH) sebagai sumber sel gamet betina (oosit) melalui
suatu rekayasa bioteknologi dapat dijadikan suatu produk yang sangat berharga
berupa embrio. Ovarium mampu menyediakan oosit dalam jumlah banyak,
sehingga menjadi alternatif untuk memproduksi embrio secara in vitro. Oosit yang
akan dipergunakan untuk produksi embrio in vitro harus dimatangkan terlebih
dahulu. Maturasi in vitro merupakan pematangan oosit di dalam suatu media atau
di luar tubuh, tetapi dapat menghasilkan embrio baru seperti pematangan didalam
tubuh (in vivo). Oosit dikatakan telah matang bila telah mencapai Metafase II
(M-II) dan ditandai dengan pemekaran sel-sel kumulus yang mengelilingi oosit
(Kazikova and Sirokin 1992 dalam Gordon 1994). Pada fase preovulasi, oosit
dalam folikel mengalami deferensiasi yaitu terjadi proses pematangan oosit
dengan pengertian terjadi perubahan inti (pematangan inti) disertai perubahan
sitoplasma (pematangan sitoplasma). Sehingga ovum memperoleh kemampuan
fertilisasi dan kapasitasi perkembangan embrional (Supriatna dan Pasaribu 1991).
Fertilisasi in vitro merupakan suatu proses peleburan dari sel spermatozoa dengan
ovum yang membentuk zigot di dalam suatu media.
Keberhasilan produksi embrio dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
kualitas dari oosit itu sendiri (diameter 2-5 mm), media yang sesuai dengan
kebutuhan, misalnya menggunakan medium Tissue Culture Medium 199
(TCM-199) yang diperkaya nutrisi untuk pertumbuhan oosit. Lingkungan yang
2
mendukung juga diperlukan, misalnya tekanan gas atmosfer, temperatur dan pH
harus sesuai dengan lingkungan sebenarnya (in vivo).
Kendala yang dihadapi apabila oosit memerlukan waktu lama dan jauh dari
laboratorium adalah tempat pematanggan oosit (inkubator) yang praktis, yang
digunakan untuk pematanggan oosit agar tidak mengalami degenerasi sebelum
diproses. Inkubator CO2 yang biasa digunakan dalam In Vitro Maturation (IVM)
sangat mahal dan mempunyai ukuran besar sehingga tidak memungkinkan dibawa
kemana-mana. Beberapa usaha dibuat untuk memperbaiki sistem inkubator
dengan mencoba alternatif baru menggunakan keunggulan dari inkubator anaerob
yang lebih murah dan berukuran kecil sehingga mudah dibawa. Oleh karenanya
penelitian dilakukan untuk mengamati perkembangan oosit pada inkubator
anaerob pada temperatur yang mirip dengan proses in vitro normal maupun pada
temperatur ruangan untuk membuktikan fleksibilitas inkubator.
Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk :
1. Mengetahui potensi oosit dari ovarium sapi yang diperoleh dari RPH untuk
maturasi in vitro.
2. Mengetahui
kemampuan
sistem
inkubator
anaerob
Oxoid
yang
memungkinkan untuk proses maturasi oosit di luar laboratorium selama
transportasi.
Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Pemanfaatan ovarium dari Rumah Potong Hewan (RPH), untuk produksi
embrio in vitro.
2. Memberikan informasi, tekanan gas atmosfer dan temperatur yang baik untuk
maturasi in vitro.
3. Mengetahui proses perkembangan oosit secara in vivo dan in vitro pada sapi.
4. Memberikan informasi, keunggulan inkubator anaerob Oxoid.
TINJAUAN PUSTAKA
Ovarium
Ovarium adalah organ reproduksi primer (esensial) pada hewan betina,
seperti halnya testes pada hewan jantan. Ovarium sebagai organ endokrin karena
dapat menghasilkan hormon (estrogen dan progesteron) yang diserap langsung ke
dalam peredaran darah dan sekaligus sebagai kelenjar eksokrin, yang dapat
menghasilkan sel telur (Frandson 1992). Menurut Mc Clural et al. (1973) ovarium
berbentuk oval yang terletak disebelah kaudal dari ginjal dan tergantung dalam
rongga peritonium yang terbungkus bursa ovari. Ovarium terletak dekat dengan
dinding tubuh dan tergantung ligamentum suspensorium yang dikenal dengan
mesovarium.
Oosit hanya bisa tumbuh dan mengalami pematangan lebih lanjut dalam
ovarium bila oosit dikelilingi oleh sel-sel somatik. Proses ini dimulai sebelum
lahir, ketika sel yang berasal dari epitelium menempatkan dirinya di sekeliling
membrana oosit yang membatasi. Struktur oosit terbentuk ketika selapis sel
berkembang secara lengkap disebut folikel primer kemudian menjadi folikel
sekunder ketika sel-sel itu membelah menjadi beberapa lapis (Gambar 1). Dalam
perkembangan selanjutnya, dengan terjadinya pembelahan sel lebih lanjut, sekresi
dan akumulasi cairan mulai terjadi pada ruang antar sel dan bergabung secara
berangsur-angsur, pulau-pulau cairan ini membentuk rongga atau antrum yang
mengandung cairan folikel. Pembentukan antrum itu menandakan tercapainya
stadium folikel tersier atau folikel de Graaf, tetapi hanya sebagian kecil folikel
primer yang bisa mencapai stadium ini.
Pertumbuhan dan perkembangan folikel terbentuk sebelum pubertas, tetapi
tidak mengalami pematangan dan ovulasi. Pematangan folikel pada umumnya
terjadi selama estrus. Pada sapi dan kuda, satu folikel biasanya berkembang lebih
cepat daripada yang lain sehingga pada setiap estrus hanya satu ovum yang
dilepaskan. Hal ini juga didukung oleh Hafez (1987) bahwa jumlah folikel yang
matang pada sapi antara 1 sampai 2 folikel dan folikel yang lain mengalami
dengenerasi (Salisbury and Vandemark 1985). Menurut Toelihere (1993)
diperkirakan jumlah bakal sel telur berkisar antara 75.000 pada sapi betina yang
4
baru lahir sampai 25.000 pada sapi betina tua (12 sampai 14 tahun). Jumlah oosit
yang terdapat sawaktu lahir adalah beberapa kali lebih banyak daripada jumlahnya
sawaktu pubertas. Banyak sekali oosit yang terbentuk tidak menjadi dewasa dan
mengalami proses degenerasi secara normal. Proses degenerasi ini sering disebut
atresia dan folikel yang berdegenerasi disebut folikel atretik (Salisbury and
Vandemark 1985).
Gambar 1. Potongan ovarium mamalia (Hunter 1995).
Oogenesis
Oogenesis atau ovogenesis merupakan proses pembentukan oosit yang
meliputi tiga tahap yaitu proliferasi, tumbuh dan menjadi dewasa (maturation)
(Hardjopranjoto 1995). Proses ini bersamaan dengan proses pembentukan folikel
5
yang dikenal dengan folikulogenesis. Proliferasi adalah mitosis oogonium
menjadi sejumlah oogonia di dalam ovarium yang terjadi pralahir sampai lahir
atau beberapa saat pasca lahir dan oogonia akan berdiferensiasi menjadi oosit
primer dengan inti pada profase I (tahap diploten) serta dikelilingi oleh epitel
pipih yang disebut folikel primordial. Inti oosit pada tahap ini disebut dengan
Germinal Vesicle (GV) yang dicirikan dengan adanya membran inti yang utuh
dan nukleolus yang jelas.
Tahap tumbuh baru dimulai setelah hewan mencapai usia dewasa kelamin.
Tahap tumbuh ini berupa pembesaran diameter oosit menjadi dua sampai tiga kali
lipat dan ditandai dengan isi sitoplasma bertambah banyak oleh penambahan
kuning telur, bertambahnya membran sel (zona pelusida) dan proliferasi sel-sel
granulosa.
Tahap pematangan (maturation) oosit ditandai dengan perubahan pada
morfologi inti selnya, yaitu perubahan dari fase diploten ke M-II II. Perubahan ini
diikuti pula oleh peristiwa perpindahan kortek granula menuju ke perivetelin serta
meningkatkan jumlah mitokondria. Beberapa membran inti mengadakan
penyatuan dengan vesikel kemudian membran inti tersebut terlepas setelah
beberapa saat Germinal Vesicle Break Down (GVBD). Pada saat hewan mencapai
dewasa kelamin, oosit bertahan pada tahap diploten yang diperpanjang dengan
adanya Folicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH), maka
oosit akan berkembang ketahap selanjutnya sampai diovulasikan (Hafez and
Hafez 2000).
Folikulogenesis
Folikulogenesis merupakan proses pertumbuhan dan perkembangan folikel
yang terjadi di dalam ovarium. Proses pertumbuhan dan perkembangan folikel ini,
dikontrol oleh interaksi antara hormon gonadotropin (FSH dan LH) dan faktor
regulasi lokal di dalam ovarium (steroid, sitokinin dan foktor pertumbuhan).
Faktor regulasi lokal dari ovarium berupa respon dan sensitifitas sel folikel
terhadap gonadotropin, selain itu gonadotropin berperan dalam proliferasi folikel
sampai folikel tersebut diovulasikan dari ovarium (Findlay et al. 1996). Selama
proses folikulogenesis selain perkembangan inti terjadi penambahan kandungan
6
sitoplasma sel telur dengan meningkatnya jumlah sel organel seperti retikulum
endoplasmik, ribosom, mitokondria, kortek granular dan akumulasi mRNA
(Hyttel et al. 1997, Djuwita et al. 2000). Secara struktural pematangan sitoplasma
sel telur digambarkan oleh sejumlah perpindahan dan transformasi organel,
termasuk peningkatan jumlah kortek granula dan pergerakan sentrifugal (Sirard
and Blondin 1996). Sedang menurut Hafez (1987) di dalam proses pertumbuhan
terdapat proses maturasi folikel yang merupakan serangkaian transformasi
subseluler dan molekul dari komponen folikel yang meliputi oosit, sel granulosa
dan sel teka. Awal pertumbuhan folikel dimulai dari pembentukan cadangan
folikel primordial selama kehidupan janin. Folikel primordial akan tumbuh secara
terus menerus untuk diovulasikan selama masa hidup hewan hingga cadangan
folikel habis.
Dua kemungkinan yang dapat terjadi dari pertumbuhan folikel primordial
(cadangan) adalah pertama, folikel dapat mengovulasikan sel telur dan kedua,
folikel akan mengalami atresia atau degenerasi. Dimulai setelah hewan mamalia
mengalami pubertas, pertumbuhan lebih lanjut dari folikel hanya akan dirangsang
oleh gonadotropin. Kunci dari folikulogenesis adalah terletak dari kemampuan
masing-masing sel folikel untuk merespon gonadotropin. Bentuk ekspansi
responsif ini ditunjukkan lewat ketepatan reseptor sel telur atau folikel dan
maturasi dari sistem tranduksi signal pro-reseptor. Reseptor sel telur yang
dimaksud adalah granulosa dari folikel preantral yang berfungsi sebagai penyalur
FSH, tanpa sifat tersebut maka folikel akan menjadi atretik (Findlay et al. 1996).
Crozet et al. (1995) mengelompokan folikel berdasarkan ukuran
diameternya menjadi tiga kelompok. Ketiga kelompok folikel tersebut adalah
folikel ukuran kecil (2-3 mm), folikel ukuran sedang (3.1-5 mm) dan folikel
ukuran besar (>5 mm). Sementara itu Findlay et al. (1996) mengklasifikasikan
folikel
berdasarkan
tingkat
ketergantungan
dan
sensitifitasnya
terhadap
gonadotropin. Klasifikasi tersebut dibagi lima kelompok yaitu folikel primordial,
folikel yang mengalami pertumbuhan (folikel preantral dan folikel antral), folikel
ovulatori dan folikel yang atresia. Pada folikel primordial laju atresia yang terjadi
pada folikel ini sangat kecil. Sedang folikel preantral dan folikel antral pada awal
pertumbuhannya
sangat
responsif
sehingga
cenderung
tergantung
pada
7
gonadotropin. Bentuk sensitifitasnya yang terjadi adalah apabila stimulasi
gonadotropin (LH) tidak tepat maka folikel akan mengalami atresia.
Perkembangan Oosit Secara In Vivo
Hewan betina tidak hanya menghasilkan sel-sel kelamin betina yang penting
untuk membentuk suatu individu baru, tetapi juga menyediakan lingkungan
dimana individu tersebut terbentuk, makanan dan perkembangan selama masa
permulaan hidupnya (Toelehere 1993). Sel telur merupakan sel kelamin betina
yang dilapisi oleh sel kumulus, zona pelusida dan selaput vitelin menurut
Frandson (1992).
Pematangan sel telur terjadi selama perkembangan folikel (folikulogenesis)
di dalam ovarium yang meliputi pematangan sitoplasma dan pematangan inti.
Pematangan sitoplasma meliputi penambahan butir-butir kuning telur di dalam
sitoplasma, pembentukan selubung pelusida, serta pembentukan kortek granula
(Djuwita et al. 2000). Oosit telah mencapai pematangan yang maksimal dan siap
mengalami fertilisasi jika telah mencapai tahap M-II pada proses pembelahan
secara meiosis yang ditandai dengan pecahnya stadium inti atau Germinal Vesicle
Breakdown (GVBD), nucleolus menghilang dan badan kutub I telah terbentuk
(Tsafriri 1985). Sedangkan sel kumulus yang mengelilingi oosit akan mengalami
pemekaran dan warnanya akan cerah (Moltik dan Fulka 1976). Menurut Setiadi
(1999) pematangan sitoplasma dinilai berdasarkan kemampuan oosit mengalami
perkembangan embrio dini.
Kemampuan inti oosit untuk membelah secara meiosis selama proses
maturasi oosit sangat tergantung pada stimulasi hormonal terhadap oosit yang
berkumulus kompak. Analisa mekanisme rangsangan hormonal terhadap
pembelahan meiosis tidak terlepas dari peran gonadotropin, steroid, siklus AMP,
sintesa makromolekul dan energi metabolisme folikuler (Tsafriri 1985).
Menurut Sirard and Blondin (1996), lima faktor yang sangat berkompeten
dalam keberhasilan pematangan oosit adalah morfologi kumulus, ukuran folikel,
kesehatan folikel, stimulasi ovarium dan prosedur pematangan oosit sebelum
dimulainya inkubasi. Laju proses maturasi oosit sapi, domba dan babi relatif
lambat karena membutuhkan waktu untuk sintesa protein aktif untuk persiapan
8
permulaan meiosis. Lebih lanjut pendapat Sirard and Blondin (1996) pada sapi
proses maturasi inti secara in vivo membutuhkan waktu selama kurang lebih 24
jam. Selama maturasi, inti oosit sapi yang masuk tahap profase pada awal
meiosis I mengalami pengurangan komplemen kromosom menjadi haploid (n=30
kromosom). Pada tahap molekuler, di dalam oosit mengalami banyak interaksi
antara siklus molekuler dengan substrat target pada inti dan sitoplasma (Gordon
1994).
Proses pematangan inti dimulai dengan penghilangan membran nuklear
yang dikenal GVBD, penghilangan nukleoli dan kondensasi kromosom. Maturasi
oosit rendah membutuhkan sintesis protein yang aktif untuk awal pembelahan
meiosis. Pada rodensia dan kelinci tidak membutuhkan karena oosit rodensia dan
kelinci mempunyai protein esensial lengkap yang penting untuk kondensasi
kromatin dan nukleolus. Sebelum meiosis I, oosit babi, domba dan sapi dilengkapi
protein hanya untuk kondensasi kromatin, sedangkan protein untuk GVBD
disintesis pada waktu setelah meiosis I (Simon et al. 1989 dalam Gordon 1994).
Dengan terjadinya GVBD,
kromosom memadat menjadi kompak.
Sentromer (daerah khusus untuk sitoplasma padat) terbagi menjadi dua sentriol
yang dikelilingi oleh aster. Aster-aster tersebut memisah dan spindel terbentuk
diantaranya. Kromosom dalam pasangan diploid bebas dalam sitoplasma dan
tersusun dalam bidang equator dengan benang spindel.
Pembelahan meiosis secara berturut-turut akan melewati tahap Diakinase
(awal pemisahan dan kondensasi pasangan kromosom), Metafase (semua
kromosom berada pada pusat pembelahan), Anafase (pemisahan masing-masing
kromosom sepanjang pusat pembelahan spindel) dan Telofase (pembagian
kromosom selesai). Oosit primer mengalami dua tahap meiosis. Pada tahap
pertama, terbentuk dua anak sel. Satu diantaranya mengandung banyak sitoplasma
yang disebut dengan Polar Bodi I sedangkan sel anak lainnya hanya mengandung
sedikat sitoplasma (Gambar 2). Setelah terjadi penambahan kromosom, Polar
Bodi I akan berisi bermacam-macam organel termasuk mitokondria, ribosom dan
kortek granular. Perkembangan pada telofase tahap meiosis I hingga
mengeluarkan polar bodi pertama mengakibatkan bahwa satu kelompok
9
kromosom dikeluarakan pada ruang perivitelin, sementara kelompok lain berada
dalam sitoplasma oosit.
Gambar 2. Pembelahan meiosis dan maturasi oosit (Gordon 1994).
Sel telur itu kemudian disebut oosit sekunder dan kromosom vitelin kembali
ke formasi spindel pada tahap meiosis II. Tahap meiosis II dimulai sampai M-II,
tetapi proses ini tidak berlanjut jika tidak terjadi penetrasi sperma atau oosit tidak
aktif. Akhir dari tahapan meiosis II dibarengi dengan pengeluaran polar bodi II ke
ruang perivitelin. Oosit pada tahap meiosis II hanya memiliki sejumlah kromosom
haploid. Pada saat itu oosit berada pada tahap pembelahan profase I, tepatnya
tahap dictyate (fase istirahat) proses pembelahan meiosis pada oosit dilanjutkan
kembali setelah individu hewan mengalami pubertas.
Perkembangan Oosit Secara In Vitro
Pematangan oosit diluar ovarium atau tubuh hewan disebut dengan
pematangan in vitro atau In Vitro Maturation (IVM). Pematangan in vitro
10
merupakan salah satu tahap yang penting dari rangkaian produksi embrio in vitro.
Oosit untuk memproduksi embrio in vitro dapat diperoleh dari ovarium hewan
betina yang masih hidup maupun ovarium hewan betina mati dari Rumah Potong
Hewan (RPH) dengan tanpa memperhatikan fase siklus birahi (Ball et al. 1984).
Pematangan in vitro membantu oosit agar mampu menyelesaikan proses meiosis
sehingga bersifat haploid (setengah komponen kromosom) dan mampu
mengalami fertilisasi (First et al. 1989). Pada in vivo, pematangan oosit terjadi
selama perkembangan folikel di dalam ovarium yang meliputi pematangan
sitoplasma dan pematangan inti. Kemudian oosit tersebut akan mengalami
pematangan sampai metafase I (M-I) dan M-II dalam media kultur (Hunter 1995).
Selama maturasi oosit sapi, struktur kromatin dalam oosit yang belum
matang (immature) berupa membran nuklear utuh (GV) dimulai dari pembelahan
meiosis pertama dilanjutkan dengan pembelahan meiosis kedua. Menurut Lu
(1988) menunjukkan bahwa 90% dari oosit sapi mengalami pematangan pada 24
jam setelah dilakukan kultur. Dari penelitian tersebut terlihat membran nuklear
menghilang setelah 5-6 jam GVBD dan M-I dicapai setelah 12 jam dan M-II
dicapai setelah 19 jam (Gordon 1994). Diperkirakan pematangan inti tersebut
lebih cepat pada in vitro daripada in vivo menurut Gordon (1994).
Kesempurnaan pematangan
sel telur sangat berpengaruh
terhadap
keberhasilan fertilisasi. Pada proses pematangan sel telur secara in vitro
dipengaruhi oleh faktor diantaranya medium pematangan dan lingkungan
penyimpanan (inkubator). Medium standar untuk pematangan in vitro sel telur
sapi adalah TCM-199. Agar menunjang keberhasilan proses maturasi in vitro
dilakukan inovasi komposisi dan penambahan suplemen untuk mendapatkan
kondisi medium yang optimal. Suplemen seperti serum, hormon estradiol, hormon
gonadotropin (FSH dan LH), mineral, glukosa, piruvat dan asam amino
ditambahkan untuk membantu transformasi inti (Sirard and Blondin 1996).
Penambahan serum pada media akan memicu tingkat perkembangan oosit secara
in vitro. Serum yang sering digunakan antara lain Bovine Serum Albumin (BSA),
Fetal Calf Serum (FCS), Fetal Bovine Serum (FBS). Tang et al. (1995)
mengungkapkan, media pematangan tanpa serum menyebabkan produksi blastosis
yang lebih lambat. Disamping itu pada media yang disuplemasikan dengan serum,
11
perkembangan oosit lebih baik dibandingkan medium tanpa serum (Setiadi 1999).
Menurut Rexroat dan Powell (1985) dalam Gordon (1994) oosit domba yang
dikultur pada medium TCM-199 yang disuplemasikan dengan Fetal Bovine
Serum (FBS) ternyata mengalami perkembangan embrio lebih baik dibandingkan
dengan oosit yang dikultur pada TCM-199 tanpa serum. Penambahan kombinasi
antara Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) dan Human Chorionic
Gonadotropin (hCG), PMSG dan estradiol atau hCG dan estradiol pada media
akan menghasilkan ekspansi kumulus yang maksimal.
Peranan gas CO2
Inkubator CO2 diperlukan untuk mempertahankan media sehingga
menyediakan lingkungan yang cocok untuk pematangan oosit. Inkubator CO2
standar dapat menghasilkan CO2 5% dan O2 20%, sedangkan inkubator Oxoid
CO2 GenTM atmosphere general system dapat menghasilkan CO2 6% dan O2 15%
(Avery et al. 2000). Tekanan atmosfer CO2 5% diperlukan untuk memelihara
ketepatan pH pada sistem media kultur buffer bikarbonat. Tekanan atmosfer CO2
5% ini untuk mempertahankan pH fisiologis yaitu tepat dibawah 7.5.
Keseimbangan pH ini dipengaruhi oleh temperatur, tekanan atmosfer dan
beberapa laboratorium yang menggunakan CO2 6% dalam inkubatornya (Dale
and Elder 1998). Hal ini juga didukung oleh Rijnders et al. (1996) bahwa
kandungan gas CO2 5% dan O2 20% dalam inkubator akan mempertahankan pH
medium agar tetap stabil.
Menurut pendapat Voelkel and Hu (1992) bahwa komposisi gas atmosfer
pada konsentrasi O2 20% dan CO2 5% lebih baik daripada konsentrasi O2 5%,
CO2 5% dan Nitrogen (N2) 90% untuk perkembangan embrio in vitro dan
kemampuan produksi embrio in vitro. Hal ini dikarenakan lebih banyak
pemakaian O2 pada awal perkembangan in vitro akan lebih baik, O2 digunakan
untuk oksidasi piruvat dan glukosa. Tetapi setelah thawing, tingkat kelangsungan
hidup embrio juga dipengaruhi oleh tekanan gas atmosfer yang digunakan pada
waktu kultur. Embrio yang dikultur pada konsentrasi O2 5% dapat bertahan pada
kondisi beku pada tingkat yang lebih tinggi daripada embrio pada konsentrasi O2
20% meskipun survivel rates pada kedua grup rendah. Konsentrasi gas atmosfer
12
pada O2 5% dan CO2 5% menjadi tekanan gas atmosfer yang baik (optimum)
untuk memproduksi embrio babi pada medium N (modifikasi dari NCSU-23).
Perkembangan embrio pada medium N juga tergantung pada CO2/pH. Tinggi
rendahnya konsentrasi CO2 dapat menghambat perkembangan embrio babi
(Berthelot and Terqui 1996).
Pada inkubator CO2 dilengkapi dengan pengatur kelembapan udara yang di
bagian bawah alat tersebut diisi dengan air supaya terjadi evaporasi air sehingga
dapat mencapai kelembapan 80% atau lebih. Ada juga inkubator yang aktifitas
airnya diatur oleh udara dan dapat memelihara 90% kelembapan relatif yang
stabil. Kadang-kadang kelembapan dapat terganggu dengan sering dibukanya
inkubator tersebut. Inkubator digunakan untuk menjaga kestabilan medium,
tekanan gas dan juga untuk mencampur karbondiksida dengan udara luar (Avery
et al. 2000).
Inkubator anaerob OxoidTM merupakan inkubator mini yang terbuat dari
alumunium atau plastik mika yang kedap udara. Anaerob OxoidTM polycarbonate
2.5 L (AG25) dan sachet CO2 GenTM (CD025A) yang berisi asam askorbik yang
diproduksi oleh Oxoid. Inkubator ini menghasilkan CO2 6% dan O2 15% (Avery
et al. 2000). Sachet CO2 GenTM dirancang untuk digunakan pada tabung
bervolume 2.5 L yang dapat menjadi aktif jika berhubungan dengan udara. Reaksi
asam askorbik dengan oksigen adalah eksotermik, tetapi suhu yang dihasilkan
tidak lebih dari 650C. Hasil penelitian Avery et al. (2000) menyebutkan bahwa
reaksi eksotermik yang ditimbulkan bersifat lokal dan tidak mempengaruhi
temperatur rata-rata di dalam tabung. Lebih lanjut hasil percobaan pengukuran
media sebelum dan sesudah 24 jam inkubasi menunjukkkan kisaran temperatur
30-450C.
Pada proses kultur oosit atau embrio dimasukkan pada inkubator
anaerob kemudian sachet CO2 GenTM dibuka dan dimasukkan pada inkubator
yang temperaturnya diatur. Disegel dengan keempat klips ditutup sehingga rapat
dan aman. Penutupan klip menyebabkan tekanan positif sehingga terjadi kedap
udara. Meskipun demikian tidak ada informasi berapa lama diperlukan gas
atmosfer di dalam tabung menjadi terequilibrasi.
13
Gambar 3. Inkubator Oxoid CO2 GenTM atmosphere general system.
Peranan temperatur
Sejak tahun 1980-an, penelitian IVM ternak dilakukan pada temperatur
0
37 C. Temperatur ini mendekati temperatur rata-rata tubuh yaitu 38 – 39.30C.
Perubahan temperatur pada tahap pembelahan awal dapat mengganggu
perkembangan in vitro embrio tahap berikutnya. Zygot tikus pada temperatur
ruang dapat menghambat proses pembelahan dan mengurangi perkembangan pada
tahap blastosis. Pada tahap pembelahan embrio kelinci pada temperatur ruang
juga dapat mengurangi proses pembelahan. Sedangkan oosit mamalia pada
temperatur ruang dapat menyebabkan kerusakan spindel meiotik (Trounser and
Gardner 2000).
Menurut Lenz et al. (1983), pada penelitian pertamanya tentang efek
temperatur pada IVM dan In Vitro Fertilisation (IVF) ternak menunjukkan bahwa
maturasi tidak mengalami shock pada rentang temperatur 35 – 390C. Pada IVF
membutuhkan temperatur yang lebih tinggi dari pada IVM. Fertilisasi secara in
vitro tertinggi dicapai pada temperatur 390C bila dibandingkan dengan temperatur
35, 37 dan 410C. Penelitian IVM ternak pada tahap meiosis mempunyai toleransi
temperatur kultur yang relatif tinggi tetapi tidak sampai 50C dibawah temperatur
badan. Temperatur 350C dianggap sebagai temperatur minimal maturasi in vitro
(Katska and Smorang 1985 dalam Gordon 1994). Menurut Gordon (1994),
14
temperatur optimal pada IVM adalah 38 – 390C dan temperatur optimal pada IVF
adalah 390C.
Ekspansi sel-sel kumulus
Sel-sel kumulus berperan penting di dalam pematangan oosit. Apabila selsel kumulus dilepaskan sebelum dikultur, maka akan terjadi kelambatan dalam
pematangan oosit atau bahkan tidak terjadi pematangan. Oosit yang mempunyai
kumulus lengkap menunjukkan perkembangan yang lebih baik apabila
dibandingkan dengan oosit yang telah dihilangkan sel–sel kumulusnya (Younis
et al.1989).
Kualitas sel telur dan kualitas folikel mempengaruhi tingkat pematangan in
vitro sel telur. Selama pematangan secara in vitro keberadaan sel kumulus yang
mengelilingi sel telur sangat membantu pematangan sel telur sapi sampai pada
perkembangan embrio tahap blastosis (Hawk et al. 1992, Boediono dan Suzuki
1996). Ini dikarenakan sel kumulus berfungsi menyediakan nutrisi untuk sel telur
salama perkembangan dan membantu sintesis protein untuk pembentukan zona
pelusida. Menurut Sirard and Blondin (1996) sel telur yang berasal dari folikel
dominan mempunyai potensi yang lebih besar untuk berkembang menjadi embrio
karena mampu mengalami pematangan inti dan sitoplasma pada maturasi in vitro.
Menurut Zhang et al. (1995), sel-sel kumulus yang melekat pada zona
pelusida berperan dalam pemeliharaan komunikasi intraseluler serta mengatur
pertumbuhan oosit dan maturasi dengan memfasilitasi dalam proses metabolisme
hormonal serta transformasi nutrisi. Sel kumulus merupakan alat spesifik dalam
mekanisme tranduksi untuk transfer sinyal gonadotropin ke oosit melalui sistem
gap juction. Hal ini didukung oleh Boediono dan Suzuki (1996), bahwa gap
junction tersebut merupakan jalan lintas nutrisi untuk oosit.
Selama proses pematangan oosit, hubungan antara individu sel kumulus dan
hubungan antara sel kumulus dengan oosit akan terputus. Terputusnya hubungan
ini dimulai dengan adanya perenggangan disebabkan oleh faktor-faktor
pematangan oosit dan sel-sel kumulus yang terekspansi. Terputusnya hubungan
tersebut menyebabkan gap junction dengan cepat menurun jumlahnya sehingga
akses penghambatan berlangsungnya meiosis berkurang drastis serta terjadinya
15
deposisi matrik asam hyaluronat diantara sel-sel kumulus (Eppig 1980) dan
ekspansi atau aktivitas sel-sel kumulus dapat diamati secara mikroskopik. Oleh
karena itu, terjadinya ekspansi sel-sel kumulus dapat dijadikan sebagai indikasi
yang kuat untuk pematangan oosit sebab hanya oosit dengan sel-sel kumulus aktif
yang dapat difertilisasi in vitro.
Pendapat Brackett dan Zuelke (1993), bahwa komposisi media pada proses
in vitro menentukan terjadinya pemekaran sel-sel kumulus. Adanya piruvat,
glutamin dan glukosa dalam medium pematangan dapat meningkatkan
ketersediaan sumber energi yang digunakan dalam proses metabolisme oksidatif
mitokondria. Metabolisme glukosa dan glutamin lebih tinggi pada kumulus yang
lengkap dibanding dengan oosit tanpa kumulus. Aktivitas glikolitik tidak ada yang
teramati dalam oosit tanpa sel kumulus setelah proses pematangan oosit. Aktivitas
siklus tricarboxylic acid (TCA) dapat ditingkatkan dengan penambahan hormon
LH dalam medium pematangan oosit, yang ditandai dengan meningkatnya
metabolisme glutamin dalam siklus TCA.
Glukosa dan glutamin merupakan substrat asam hyaluronat yang perlu
ditambahkan pada medium selain hormon gonadotropin dan serum, yang dapat
menginduksi terjadinya pemekaran sel-sel kumulus secara in vitro. Hormon
gonadotropin akan menstimulir sel-sel kumulus untuk memproduksi dan
mensekresikan asam hyaluronat. Hormon gonadotropin ini akan aktif dalam
kondisi in vitro jika ada serum dalam medium yang dapat merangsang asam
hyaluronat dan terjadinya pemekaran sel-sel kumulus yang optimal. Dalam hal ini
serum diduga berperan menstabilkan asam hyaluronat dalam bahan ekstraseluler
kumulus sel (Setiadi 2001).
Menurut Eppig et al. (1980), ekspansi sel-sel kumulus bertepatan dengan
terjadinya pembelahan meiosis. Sel-sel yang berkembang (ekspansi) berperan
dalam menciptakan lingkungan mikro untuk oosit dengan cara meningkatkan
aktivitas metabolisme kebutuhan makanan oosit. Ekspansi ini disebabkan oleh
adanya asam hyaluronat yang dihasilkan oleh sel-sel kumulus. Asam hyaluronat
yang dihasilkan berfungsi juga untuk menginduksi reaksi akrosom spermatozoa
(Rutledge et al. 1997).
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di laboratorium Fertilisasi In Vitro (FIV). Bagian
Reproduksi dan Kebidanan, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi,
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung
selama 8 bulan dimulai pada bulan Januari sampai bulan Agustus 2004.
Bahan dan Alat
Oosit yang digunakan diambil dari folikel antral dan diperoleh dari ovarium
tanpa memperhatikan fase siklus birahi yang diambil dari Rumah Potong Hewan,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Berbagai macam bahan kimia dan
alat laboratorium yang digunakan selama penelitian ini dapat dilihat pada
Lampiran 1 dan 2.
Prosedur Penelitian
Adapun kegiatan penelitian meliputi 5 tahap kegiatan, yaitu koleksi
ovarium, teknik dan koleksi oosit, persiapan media, pematangan oosit serta
pengamatan derajat ekspansi sel-sel kumulus dan tingkat pematangan inti oosit.
Koleksi ovarium
Ovarium diambil dalam keadaan masih segar setelah sapi dipotong dari
Rumah Potong Hewan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Ovarium
yang diperoleh kemudian disimpan dalam termos atau kantong plastik yang berisi
larutan NaCl fisiologis (0.9 % w/v, Sigma, USA) pada suhu 27-300C. Kemudian
dibawa ke laboratorium yang jaraknya tidak jauh dari RPH. Sebelum oosit
dikoleksi, ovarium dicuci dengan NaCl fisiologis beberapa kali dan dibersihkan
dari bagian organ reproduksi lainnya yang masih menempel dengan menggunakan
gunting. Selanjutnya ovarium disimpan dalam gelas ukur yang berisi NaCl
fisiologis sampai terendam selama proses seleksi.
17
Teknik koleksi oosit
Oosit dikoleksi dari folikel dengan diameter 2-5 mm dengan cara menyayat
folikel yang ada dipermukaan ovarium sehingga cairan folikel keluar. Dengan
keluarnya cairan folikel diharapkan oosit juga ikut keluar. Cairan ini ditampung
dalam beker glass, selanjutnya dilakukan pembilasan (flushing) dengan
penyemprotan NaCl fisiologis 0.9% menggunakan syringe ke dalam folikel bekas
sayatan.
Cairan yang tertampung diamati dibawah mikroskop. Oosit diambil satu
persatu dengan menggunakan pipet pasteur dan ditampung dalam cawan petri
yang berisi media Phosphate Buffered Saline (PBS; Sigma, USA) dan
mengandung Fetal Bovine Serume (FBS; Gibco, Grand Island, NY, USA) 10%
(v/v). Setelah oosit terkumpul kemudian dicuci sebanyak 3 kali dengan medium
PBS yang disuspensi serum 10%. Oosit diseleksi berdasarkan kondisi sitoplasma
yang homogen dan jumlah lapisan sel-sel kumulus yang mengelilingi oosit. Oosit
dikelompokkan menjadi 3 kategori berdasarkan Shin et al. (2001), yaitu:
-
Kategori A, oosit yang dikelilingi oleh sel-sel kumulus yang banyak
(lebih dari 3 lapis) dan kompak dengan ooplasma yang homogen.
-
Kategori B, hanya sebagian oosit yang dilapisi oleh sel-sel kumulus atau
hanya dikelilingi oleh kurang dari 3 lapis sel-sel kumulus dengan
ooplasma yang homogen.
-
Kategori C, oosit tidak dilapisi oleh sel-sel kumulus atau oosit yang
dikelilingi oleh sel-sel kumulus yang sangat sedikit.
Pada penelitian ini oosit yang digunakan untuk pematangan adalah oosit
yang termasuk dalam kriteria A dan B (Gambar 4).
Gambar 4. Oosit yang termasuk dalam kriteria A dan B yang dipakai untuk
pematangan. Bar = 100 µm.
18
Persiapan media
Media pematangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah TCM-199
(Sigma, USA) disuplementasi dengan FBS 10%, Folligon (Intervet, Holland) 10
IU/ml, Chorullon (Intervet, Holland) 10 IU/ml dan 17β-estradiol (Intervet,
Holland) 1µg/ml. Oosit hasil koleksi terlebih dahulu dalam medium PBS yang
ditambah dengan FBS 10% dan TCM-199 masing-masing sebanyak 3 kali.
Pematangan oosit
Oosit yang terseleksi dan telah melalui 3 kali pencucian dengan beberapa
media, dimatangkan dalam media pematangan yang telah diequilibrasi dalam
inkubator CO2 5% dengan temperatur 38.50C. Perlakuan pertama pada penelitian
ini, oosit dimatangkan dalam inkubator Heraous CO2 5% dengan temperatur
38.50C.
Perlakuan kedua, oosit dimatangkan dalam inkubator Oxoid anaerob
dengan temperatur 360C. Perlakuan ketiga, oosit dimatangkan dalam inkubator
Oxoid anaerob dengan temperatur kamar (290C). Oosit dimatangkan dalam
medium sejumlah 15-25 oosit. Pematangan dilakukan dengan media yang sama
yaitu TCM-199 selama kira-kira 23 jam dan setiap percobaan dilakukan sebanyak
5 kali ulangan.
Pengamatan tingkat pematangan oosit
1. Derajat ekspansi
Oosit yang telah diinkubasi, diamati dibawah mikroskop stereo. Ekspansi
sel-sel kumulus dapat dilihat dengan adanya pemekaran atau peregangan antara
sel-sel kumulus. Derajat ekspansi sel-sel kumulus diamati berdasarkan kriteria
sebagai berikut :
-
Derajat 1 : sel-sel kumulus tidak ekspansi.
-
Derajat 2 : sel-sel kumulus terekspansi sebagian.
-
Derajat 3 : sel-sel kumulus terekspansi sempurna.
2. Pematangan inti oosit
Oosit yang telah dimaturasi, dibersihkan dari sel-sel kumulusnya (denudase)
dengan cara menyedot berulang-ulang menggunakan pipet pasteur yang
mempunyai diameter sesuai dengan besarnya oosit pada media yang diberi asam
19
hyaluronat (Sigma, USA) 0.25%. Oosit yang telah dibersihkan diletakkan pada
cover glass yang telah diberi KCl 0.09%. Keempat ujung cover glass diberi
vaselin kemudian ditutup dengan object glass secara hati-hati.
Preparat oosit yang telah jadi, difiksasi pada ethanol dan asetat dengan
perbandingan 3:1 selama 3-4 hari pada temperatur kamar. Setelah difiksasi
preparat diletakkan pada ethanol selama 2-3 jam. Kemudian preparat dikeringkan
dengan menggunakan tissue sebelum diwarnai dengan aceto orcein 2% selama
kurang lebih 5 menit. Pewarna dicuci dengan menggunakan asam asetat 25%
sampai bersih. Kemudian keempat sisi cover glass diberi kutek bening dan
diamati dibawah mikroskop fase kontras.
Evaluasi dilakukan terhadap tingkat pematangan inti oosit. Pengamatan
tingkat pematangan inti oosit dilakukan dengan menghitung jumlah oosit pada
setiap tahap perkembangan meiosis, meliputi tahap GV ditandai dengan adanya
membran inti dan nukleolus terlihat jelas ditepi, GVBD ditandai dengan robeknya
membran inti sehingga nukleolus tidak terlihat jelas, M-I ditandai dengan adanya
kromosom homolog yang berpasangan dan berderet di bidang equator, Anafase I
(A-I) ditandai dengan sentromer menuju kedua kutub yang berlawanan,
kromosom homolog tertarik menjadi dua bagian, Telofase I (T-I) ditandai dengan
kromosom homolog terkumpul secara sempurna pada masing-masing kutub. Pada
tahap M-II dicirikan adanya badan kutub I dan susunan kromosom yang sama
dengan tahap M-I.
Analisis Data
Derajat ekspansi sel-sel kumulus dan tingkat kematangan inti oosit pada
ketiga inkubator, dianalisis menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan 3 perlakuan dan 5 ulangan (Lampiran 3), kemudian dilanjutkan dengan uji
Duncan, dengan selang kepercayaan 95% (á = 0.05) (Lampiran 4). Korelasi antara
derajat ekspansi 3 dan M-II diuji dengan menggunakan Regresi Linier Sederhana.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekspansi Sel-sel Kumulus
Pada penelitian ini hanya oosit yang mempunyai kumulus kompleks
(kategori A dan B), yang digunakan dalam proses pematangan in vitro
(Gambar 4). Menurut Loos et al. (1989) bahwa oosit yang termasuk baik adalah
sel kumulus kompak, berlapis-lapis dan rapat, ooplasma yang homogen, COC
(Cumulus Oocyte Complexe) total terang dan trasparan. Keberadaan sel kumulus
mendukung terjadinya pematangan oosit secara in vitro sampai tahap M-II dan
berkaitan dengan pematangan sitoplasma menurut Lapthitis et al. (2002). Hal
tersebut didukung oleh Schroeter and Meinecke (1995) bahwa saat pematangan in
vivo, sel-sel kumulus berperan dalam menyediakan nutrisi untuk oosit dan
membantu sintesa protein untuk membentuk zona pelusida pada tahap profase. Sel
telur tanpa kumulus, setelah dimaturasi banyak protein yang hilang sedangkan
pada sel telur dengan kumulus yang intak, protein akan bertahan.
Hasil produk metabolik seperti choline, uridine dan inositol dapat masuk ke
sel telur melalui sel kumulus karena adanya gap-junction antara sel telur dengan
sel kumulus maka nutrisi akan ditransport ke sitoplasma. Selain itu sel kumulus
diduga berfungsi menghambat pengerasan zona pelusida sehingga proses
fertilisasi dapat berlangsung (Boediono dan Suzuki 1996). Sementara pada
penelitian Triwulanningsih (2002) bahwa oosit dengan kumulus yang intak
menyebabkan derajat cleavage (pembelahan) dan pematangan sampai blastosis
lebih banyak dibandingkan dengan oosit tanpa sel kumulus yang tidak dapat
membelah dan berkembang sampai blastosis. Hal ini membuktikan bahwa sel
kumulus sangat penting fungsinya untuk maturasi sitoplasma secara normal pada
proses maturasi sel telur in vitro (Chian et al. 1994).
Setelah diinkubasi selama kurang lebih 23 jam, sel-sel kumulus akan
terekspansi. Derajat ekspansi sel-sel kumulus dikelompokkan dalam tiga kategori
yaitu (Gambar 5) : Derajat 1, sel-sel kumulus tidak mengalami ekspansi, Derajat
2, sel-sel kumulus mengalami ekspansi sebagian, Derajat 3, sel-sel kumulus
mengalami ekspansi sempurna.
21
A
B
C
Gambar 5. Oosit sapi setelah pematangan in vitro. A: derajat 1, sel-sel
kumulus tidak mengalami ekspansi; B: derajat 2, sel-sel kumulus
mengalami ekspansi sebagian; C: sel-sel kumulus mengalami
ekspansi sempurna. Bar = 100 µm.
Tabel 1. Derajat Ekspansi Sel-sel Kumulus Oosit Sapi
Inkubator
CO2 38.50C
Oxoid 360C
Oxoid 290C
Jumlah
Oosit (n)
115
100
95
Derajat Ekspansi Sel-sel Kumulus (%)
Derajat 1
Derajat 2
Derajat 3
8 (6.96)
35 (30.43)a
72 (62.61)a
14 (14.00)
35 (35.00)a
51 (51.00)b
a
19 (20.00)
43 (45.23)
33 (34.74)c
Keterangan : Huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak berbeda
nyata (p>0.05).
Tabel 1. menunjukkan bahwa kondisi inkubator pada tekanan gas atmosfer
dan temperatur yang berbeda memberikan pengaruh nyata terhadap ekspansi
derajat 3 sel-sel kumulus. Dalam penelitian terlihat bahwa oosit yang dikultur
pada inkubator Oxoid temperatur 290C mencapai ekspansi derajat 3 lebih sedikit
(34.74%) dibandingkan pada oosit yang dikultur pada inkubator Oxoid temperatur
360C mencapai ekspansi derajat 3 adalah 51%, sedangkan oosit yang dikultur
pada inkubator CO2 temperatur 38.50C adalah 62.61%. Hasil uji statistik pada
ekspansi derajat 3 pada ketiga inkubator berbeda nyata (p < 0.05).
Derajat ekspansi 3 pada ketiga inkubator lebih tinggi dibandingkan derajat
ekspansi 2. Hal ini disebabakan, pada ketiga inkubator terdapat komponenkomponen yang mendukung terjadinya ekspansi sel-sel kumulus. Hasil penelitian
ini memberikan gambaran bahwa kondisi lingkungan pada inkubator sangat
mempengaruhi proses pematangan oosit melalui pengamatan sel-sel kumulus sapi.
Temperatur maturasi oosit secara in vitro harus dibuat semirip mungkin dengan
kondisi maturasi oosit secara in vivo. Temperatur ini mendekati dengan
22
temperatur rata-rata tubuh yaitu 38 – 39.30C. Menurut Gordon (1994) temperatur
optimum untuk pematangan oosit
in vitro adalah 380C sampai 390C dan
temperatur optimum untuk fertilisasi adalah 390C. Penggunaan temperatur
dibawah temperatur in vivo akan mengganggu pembelahan meiosis sampai M-II.
Ini dibuktikan bahwa pada inkubator CO2 dengan temperatur 38.50C terdapat
banyak oosit yang mencapai ekspansi kumulus derajat 3 (tertinggi). Sementara itu
pada inkubator Oxoid temperatur 360C jumlah oosit yang mencapai ekspansi
kumulus derajat 3 sedikit lebih rendah daripada inkubator CO2 5%, secara statistik
berbeda nyata (p<0.05). Hal ini didukung oleh Lenz et al. (1983), bahwa
temperatur 360C masih dalam rentang temperatur 35-390C dimana maturasi tidak
mengalami shock dan pada proses pematangan oosit ternak pada tahap meiosis
mempunyai toleransi temperatur kultur yang relatif tinggi tetapi tidak sampai 50C
dibawah temperatur badan. Sementara itu pada inkubator Oxoid yang ditempatkan
pada temperatur ruang (290C) jumlah oosit yang mencapai derajat ekspansi 3 jauh
lebih sedikit dibandingkan kedua perlakuan sebelumnya yang menggunakan
temperatur 38.50C dan 360C. Hal ini kemungkin karena pengaruh perbedaan
temperatur yang terlalu ekstrim dibandingkan rata-rata temperatur in vivo.
Pendapat ini didukung oleh Trounser and Gardner (2000) bahwa temperatur ruang
dapat menghambat proses pembelahan dan mengurangi perkembangan zygot tikus
pada tahap blastosis, sedangkan pada oosit mamalia dapat menyebabkan
kerusakan spindel meiotik. Penurunan temperatur pada saat proses maturasi oosit
dapat mempengaruhi derajat ekspansi kumulus dan selanjutnya pematangan inti
oosit.
Kemampuan
inkubator
untuk
memelihara
kondisi
media
akan
mempengaruhi pematangan oosit dan perkembangan embrio. Salah satu yang
mempengaruhi adalah adanya tekanan gas atmosfer. Inkubator CO2 standar yang
digunakan pada penelitian ini dapat menghasilkan CO2 5%. Sedangkan inkubator
Oxoid CO2 GenTM atmosphere general system dapat menghasilkan CO2 6% dan
O2 15%. Proses kultur in vitro yang menggunakan inkubator CO2 standar dan
inkubator Oxoid pada perkembangan embrio tidak berbeda nyata jika dilakukan
pada temperatur yang sama. Embrio yang dikultur dibawah temperatur normal
pada tekanan atmosfer CO2 6% dan O2 15% tidak memperlihatkan efek yang
23
merugikan pada perkembangan dan morfologi embrio (Avery et al. 2000). Hal ini
dikarenakan lebih banyak pemakaian O2 pada awal perkembangan in vitro akan
lebih baik, O2 digunakan untuk oksidasi piruvat dan glukosa sedangkan CO2 tidak
hanya diperlukan untuk memelihara pH medium tetapi dapat dengan mudah
memasukkan protein dan asan nukleat ke semua tahap pada embrio tikus sebelum
diimplantasi (Trounson and Gardner 2000). Pendapat Azambuja et al. (1993) yang
menguji pengaruh fase gas terhadap pematangan oosit sapi in vitro. Hasil
penelitian tersebut menyimpulkan bahwa jumlah embrio yang berkembang
menjadi morula atau blastosis pada fase gas CO2 5% di dalam udara lebih tinggi
dibanding dengan fase CO2 5% , O2 5% dan N2 90%. Oosit yang tidak dapat
berkembang hingga M-II mungkin disebabkan adanya radikal bebas yang timbul
selama kultur in vitro. Seperti yang dikemukakan oleh Kim et al. (1999) bahwa
kerusakan gamet atau blastosis selama dikultur in vitro karena adanya ROS
(Reactive Oxygen Species). Hammerstedt et al. (1993) menyatakan radikal bebes
dalam medium IVF sering terjadi disebabkan oleh adanya oksigen radikal bebas
hasil proses transpor elektron dari mitokondria yang ditandai dengan terjadinya
reaksi peroksida lemak yang dapat mematikan sperma.
Kemungkinan lain ekspansi sel kumulus didukung oleh komposisi media
seperti penambahan hormon gonadotropin dan estradiol. Pendapat ini didukung
oleh Gordon (1994) bahwa ekspansi sel-sel kumulus secara in vitro distimulasi
oleh hormon gonadotropin dan faktor pertumbuhan untuk memproduksi asam
hyaluronat (Hyaluronic Acid). Hormon gonadotropin ini akan aktif dalam kondisi
in vitro jika ada serum dalam medium yang dapat merangsang asam hyaluronat
dan terjadinya pemekaran sel-sel kumulus yang optimal. Asam hyaluronat bagi
sel-sel kumulus merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya ekspansi sel-sel
kumulus (Setiadi 2001).
Tingkat Pematangan Inti Oosit
Kesempurnaan pematangan oosit sangat berpengaruh terhadap keberhasilan
fertilisasi dan perkembangan awal embrio. Pada proses pematangan sel telur
secara
in vitro dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya medium dan
lingkungan penyimpanan (inkubator). Bahkan lingkungan penyimpanan tidak
24
hanya mempengaruhi terhadap proses pematangan tetapi berpengaruh juga
terhadap pembuahan dan perkembangan embrio. Penelitian ini bertujuan untuk
melihat pengaruh komposisi gas pada inkubator dan temperatur yang berbeda
pada tingkat pematangan oosit in vitro.
Faktor yang dapat mendukung keberhasilan tingkat pematangan inti oosit
menurut Zheng and Sirard (1992) adalah terjadinya ekspansi sel-sel kumulus,
pematangan inti yang mencapai M-II dan pematangan sitoplasma. Menurut Moltik
and Fulka (1976) bahwa sel-sel kumulus yang mengelilingi oosit akan melebar
dan berwarna cerah. Oosit telah mencapai pematangaan yang maksimal dan siap
untuk difertilisasi jika telah mencapai tahap M-II pada proses pembelahan secara
meiosis (Gambar 6).
A
B
C
D
Gambar 6. Status inti oosit setelah pematangan in vitro. Tanda panah
menunjukkan status inti pada tahap : A. Germinal Vesicle (GV);
B. Germinal Vesicle Break Down (GVBD); C. Metafase I (M-I);
D. Metafase II (M-II). Bar = 50 µm.
25
Proses meiosis diawali dengan tahap GV yaitu ditandai dengan membran
inti jelas dan nukleolus berbentuk cincin berwarna jelas kemudian dilanjutkan
dengan pecahnya stadium inti atau GVBD, nukleolus menghilang dan badan
kutub I telah terbentuk (Tsafriri 1985), sedangkan pematangan sitoplasma
meliputi penambahan butir-butir kuning telur didalam sitoplasma, pembentukan
selubung zona pelusida, serta pembentukan granul-granul kortek (Djuwita et al.
2000).
Proses pematangan in vitro adalah proses dimana oosit mengalami
perubahan meiosis dari tahap M-I sampai M-II. Setelah oosit mengalami
pematangan pada media kultur (TCM-199) selama 23 jam pada inkubator CO2
standar, inkubator Oxoid temperatur 360C dan inkubator Oxoid temperatur 290C,
oosit dievaluasi dengan menggunakan pewarnaan aceto orcein 2% untuk melihat
perubahan inti oosit.
Kandungan gas CO2 dalam inkubator dapat mempertahankan pH medium
agar tetap stabil yaitu pH netral • 7.5 yang akan mempengaruhi proses fisiologis.
Meskipun demikian didalam media maturasi tetap diperlukan adanya penyangga.
Dengan menggunakan penyangga bikarbonat dan pemberian gas CO2 5% maka
dapat mempertahankan interval pH dari 7.4 – 7.6 (Gordon 1994). Keseimbangan
pH ini dipengaruhi juga oleh temperatur dan tekanan atmosfer. Hal ini juga
didukung oleh Rijnders et al. (1996) bahwa kandungan gas CO2 5% dan O2 20%
dalam inkubator akan mempertahankan pH medium agar tetap stabil. Penggunaan
inkubator Oxoid yang menghasilkan O2 15% dan CO2 6% seharusnya dapat
mencukupi standar produksi in vitro embrio sapi. Hal ini dikarenakan pada
inkubator Oxoid diduga asam askorbik dapat membatasi tekanan atmosfer dengan
baik menggunakan tekanan O2 rendah dan dapat melindungi embrio dari gas dan
perubahan temperatur selama beberapa minggu waktu kultur (Avery et al. 2000).
Sedangkan penggunaan inkubator CO2 5% dengan media yang ditambah buffer
fosfat dan bikarbonat lebih sering digunakan karena tidak memerlukan pemberian
gas CO2 jenuh untuk memertahankan pH.
Pada Tabel 2 terlihat bahwa oosit yang dimaturasi masih dapat mencapai
tingkat pematangan inti yang lebih lanjut yaitu tahap M-II. Jumlah oosit yang
mencapai M-II dalam inkubator CO2 temperatur 38.50C adalah 76.52% lebih
26
tinggi dan berbeda nyata (P<0.05) dibandingkan dengan inkubator Oxoid
temperatur 360C (55.00%) dan inkubator Oxoid temperatur 290C (10.53%). Hal
ini menunjukkan bahwa temperatur 360C masih mampu mendukung pematangan
oosit in vitro meskipun lebih rendah dari temperatur normal.
Tabel 2. Tingkat Pematangan Inti Oosit Sapi Setelah Maturasi In Vitro.
Inkubator
Jumlah
oosit
(n)
GV
CO2 38.50C
115
2(1.74)
Oxoid 360C
100
Oxoid 290C
95
Tingkat kematangan inti oosit (%)
-
GVBD
2(1.74)a
10(10.00)
a
2(1.11) 26(27,37)a
M-I
M-II
TI
23(20.00)a
88(76.52)a
-
a
b
-
35(35.00)
55(55.00)
52(54.74)b
10(10.53)c
5(5.26)
Keterangan : GV: Germinal Vesicle; GVBD: Germinal Vesicle Break Down; M-I:
Metafase I; M-II: Metafase II; TI: Tidak teridentifikasi. Huruf yang
sama pada kolom yang sama menyatakan tidak berbeda nyata
(p>0.05).
Inkubator Oxoid temperatur ruang (290C) yang secara ekstrim dibawah
temperatur tubuh, oosit yang mencapai tahap M-II sangat rendah hanya mencapai
10.53% yang berbeda nyata secara statistik baik dengan inkubator Oxoid
temperatur 360C dan inkubator normal. Hal ini menunjukkan temperatur kamar
bersifat detrimental terhadap proses meiosis. Pendapat ini didukung oleh hasil
penelitian Lenz et al. (1983) bahwa tahap meiosis mempunyai toleransi
temperatur yang relatif tinggi tetapi tidak sampai 50C dibawah temperatur badan.
Sedangkan dalam penelitian ini dipakai temperatur ruang (290C) yang jauh dari
temperatur normal badan ± 38 – 390C.
Lebih lanjut ditunjukkan bahwa pada inkubator Oxoid temperatur 290C
oosit mampu mengawali proses meiosis yang baik. Hal ini ditunjukkan dengan
sisa yang sedikit dari oosit yang masih dalam tahap GV. Namun demikian dalam
perkembangan proses meiosis oosit terhenti pada tahap M-I (Tabel 2). Hal ini
didukung oleh Trounson and Gardner (2000) yang menyatakan bahwa
pematangan oosit pada temperatur ruang (290C) menyebabkan kerusakan spindel
meiotik yang dapat menghambat proses pematangan oosit. Semakin rendah
temperatur yang digunakan dalam proses pematangan in vitro maka semakin
rendah juga oosit yang mencapai tahap M-II. Diperkuat dengan pernyataan
27
Gordon (1994), temperatur optimum untuk pematangan oosit in vitro adalah
38 – 390C dan temperatur optimum untuk fertilisasi adalah 390C.
Disamping lingkungan penyimpanan (inkubator), media pematangan juga
penting. Salah satu media yang paling banyak digunakan untuk pematangan oosit
in vitro adalah TCM-199. Penambahan gonadotropin (LH dan FSH) ke dalam
medium TCM-199 dapat meningkatkan tingkat pematangan oosit dan tingkat
fertilisitas in vitro dengan melihat peningkatan ekspansi sel-sel kumulus. Hormon
gonadotropin dan estradiol biasanya menyebabkan peningkatkan yang bersifat
sinergis terhadap pematangan inti tergantung dari jenis serum yang digunakan
dalam media pematangan (Gordon 1994).
Korelasi Ekspansi Kumulus dengan Metafase II
Selama pematangan in vitro pada oosit sapi keberadaan sel kumulus yang
mengelilingi oosit tersebut sangat membantu sampai pada perkembangan blastosis
(Boediono dan Suzuki 1996). Hal ini diduga karena sel kumulus menyediakan
nutrisi untuk oosit selama perkembangan dan membantu sintesis protein untuk
pembentukan zona pelusida. Kriteria ini sering dipakai oleh beberapa peneliti
karena adanya indikasi korelasi yang kuat antara dinamika pemekaran sel-sel
kumulus pada oosit dari hewan tertentu dengan morfologi normal, kemampuan
untuk dibuahi dan kemampuan perkembangan oosit setelah dibuahi (Chen 1994
dalam Setiadi 2001).
Pada penelitian ini, oosit dari semua perlakuan menunjukkan tanda-tanda
adanya maturasi, selain ditandai dengan munculnya badan kutub I sebagai hasil
dari pembelahan meiosis I. Tanda yang secara morfologis paling mudah dikenali
adalah terjadinya peregangan sel-sel kumulus yang mengelilingi oosit tersebut,
seperti yang dilaporkan oleh Boediono dan Suzuki (1996) bahwa peregangan sel
kumulus setelah maturasi secara in vitro merupakan salah satu tanda terjadinya
maturasi nukleus dan sitoplasma. Sedangkan menurut Eppig (1980) peregangan
sel kumulus yang mengelilingi oosit bertepatan dengan terjadinya pembelahan
meiosis. Hal ini didukung oleh pendapat Lu et al. (1988) secara in vitro
peningkatan cyclic Adenin Monophosphate (cAMP) mengakibatkan sel-sel
28
kumulus terekspansi secara sempurna, sedangkan peningkatan cAMP akan
mengaktifkan proses meiosis.
Hubungan ekspansi kumulus dengan maturasi oosit pada penelitian ini
dapat dilihat pada gambar 7-9. Oosit yang dimatangkan pada inkubator CO2
temperatur 38.50C menunjukkan hubungan yang erat karena untuk setiap kenaikan
rata-rata nilai ekspansi kumulus derajat 3 (maksimum) sebesar satu-satuan maka
akan meningkatkan rata-rata M-II sebesar 0.274. Hal ini berarti ekspansi kumulus
derajat 3 mempunyai kerapatan hubungan dengan M-II sebesar 0.55. Pada
inkubator Oxoid temperatur 360C menunjukkan hubungan yang sangat erat karena
setiap kenaikan rata-rata nilai ekspansi kumulus derajat 3 sebesar satu-satuan
maka akan meningkatkan rata-rata nilai M-II sebesar 0.617. Hal ini berarti
ekspansi kumulus derajat 3 mempunyai kerapatan hubungan dengan M-II sebesar
0.98. Kerapatan hubungan antara derajat ekspansi sel kumulus dengan M-II pada
temperatur 38.50C lebih rendah dibandingkan pada temperatur 360C. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh kekeliruan dalam mengelompokkan derajat
ekspansi sel kumulus oosit terutama derajat 2 dan 3. Pada inkubator Oxoid
temperatur 290C menunjukkan hubungan yang kurang erat karena untuk setiap
kenaikan rata-rata nilai ekspansi kumulus derajat 3 sebesar satu-satuan maka akan
meningkatkan rata-rata nilai M-II sebesar 0.04. Ini berarti ekpansi kumulus derajat
3 mempunyai kerapatan hubungan dengan M-II sebesar 0.14.
29
CO2 38.50C
19.5
19
y = 0.2736x + 13.66
18.5
2
R = 0.3052
M-II
18
17.5
17
16.5
16
15.5
0
5
10
15
Ekspansi Kumulus Derajat 3
20
Gambar 7. Hubungan antara derajat ekspansi 3 dengan M-II pada
inkubator CO2 temperatur 38.50C.
0
15
Oxoid 36 C
y = 0.6169x + 4.7078
2
0
5
M-II
10
R = 0.9767
0
5
10
15
Ekspansi Kumulus Derajat 3
20
Gambar 8. Hubungan antara derajat ekspansi 3 dengan M-II pada
inkubator Oxoid temperatur 360C.
Oxoid 290C
3.5
y = 0.0397x + 1.7381
3
2
R = 0.0198
M-II
2.5
2
1.5
1
0.5
0
0
2
4
6
8
10
Ekspansi Kumulus Derajat 3
Gambar 9. Hubungan antara derajat ekspansi 3 dengan M-II pada
inkubator Oxoid temperatur 290C.
30
Dengan melihat hasil penelitian pada Gambar 7-9, pada inkubator CO2
temperatur 380C menunjukkan ekspansi kumulus derajat 3 dengan M-II
hubungannya tidak seerat pada inkubator Oxoid temperatur 360C. Hal ini
membuktikan bahwa pematangan oosit tidak hanya bergantung pada tingkat
ekspansi sel-sel kumulus karena terdapat oosit yang kumulusnya tidak mengalami
ekspansi maksimum yaitu pada derajat ekspansi 1 dan 2, akan tetapi pematangan
inti dapat mencapai M-II yang cukup tinggi. Peran sel kumulus setiap spesies
berbeda, pada oosit tanpa sel-sel kumulus dapat berkembang sampai tingkat
pematangan M-II dan dapat difertilisasi (Galeati 1994). Pada inkubator Oxoid
290C hubungannya kurang erat. Hal ini karena oosit yang mencapai tingkat
pematangan M-II hanya sedikit.
Menurut Setiadi (2001), secara umum faktor yang bertanggung jawab
terhadap pemekaran sel-sel kumulus melibatkan faktor internal dan ekternal.
Faktor internal meliputi luapan gonadotropin sebelum ovulasi, meskipun terdapat
perbedaan spesies dalam pengaturan pemekaran sel-sel kumulus. Sedangkan
faktor ekternal meliputi faktor komposisi media pada proses in vitro sangat
menentukan terjadinya pemekaran sel-sel kumulus. Pada penelitian ini medium
maturasi yang digunakan ditambahkan FBS yang berperan dalam proses
peregangan sel-sel kumulus tersebut. Peregangan sel-sel kumulus disebabkan oleh
adanya hyaluronidase yang diproduksi dan disekresikan oleh sel-sel kumulus.
Menurut penelitian lain sintesis asam hyaluronat oleh sel kumulus dan pengaturan
asam hyaluronat dapat menaikkan ekspansi kumulus dengan adanya FBS dalam
medium maturasi oosit secara in vitro, asam hyaluronat tetap dipertahankan di
dalam komplek oosit kumulus. Berdasaran beberapa penelitian tersebut, maka
pemekaran sel-sel kumulus dapat distimulasi in vitro oleh beberapa komponen
media seperti hormon gonadotropin, serum dan substrat dari hyalironidase. Hal ini
menunjukkan semakin berkembang sel kumulus maka tahap mencapai M-II
sangat tinggi karena sel kumulus mempunyai peran dalam menciptakan
lingkungan mikro untuk oosit, yaitu peningkatan aktivitas metabolisme untuk
kebutuhan makanan oosit. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ekspansi
sel-sel kumulus berperan penting dalam pematangan oosit.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang diperoleh dapat diambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
1. Inkubator Oxoid pada temperatur 360C dapat dipakai untuk proses
pematangan
oosit
meskipun
hasilnya
tidak
optimal
(55%)
dibandingkan dengan inkubator standar.
2. Proses pematangan oosit pada temperatur ekstrim dibawah temperatur
tubuh normal menimbulkan efek yang tidak dikehendaki dan hanya
sedikit oosit yamg mampu menyelesaikan pembelahan meiosis sampai
tahap M-II.
3. Derajat ekspansi sel kumulus oosit dan tingkat pematangan inti
mempunyai derajat keeratan yang berbeda.
SARAN
Dari penelitian yang telah dilakukan maka disarankan beberapa hal
sebagai berikut :
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut penggunaan inkubator Oxoid
pada temperatur normal yang setara dengan temperatur tubuh
(38-390C).
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tingkat kompentensi oosit yang
telah dimatangkan pada inkubator Oxoid melalui percobaan fertilisasi
in vitro dan pengamatan perkembangan embrio.
DAFTAR PUSTAKA
Avery B, Melsted JK and Greve T. 2000. A Novel Approach for In Vitro
Production of Bovine Embryos Use of The Oxoid Atmosphere Generating
System. Theriogenology 54: 1259 – 1268.
Azamduja RM de, Moreno JF, Kraemer D and Westhusin M. 1993. Effect of Gas
Atmosphere on In Vitro Maturation of Bovine Oocytes. Theriogenology 39:
184-186.
Ball GD, Leibfreid ML, Lenz RWAx, Bavister BD and First NL. 1984. Factors
Affecting Succesfull In Vitro Fertilization of Bovine Follicular Oocyte. Biol.
Reprod. 28: 717-725.
Berthelot F and Terqui M. 1996. Effects of Oxygen, CO2/pH and Medium on The
In Vitro Development of Individually Cultured Prorcine One – and Two- Sel
Embryos. Reprod. Nutr. Dev. 36: 241-251.
Boediono A and Suzuki T. 1996. In Vitro Development of Holstein and Japanese
Black Breeds Embryo. Media Veteriner 3: 3-9.
Boediono A, Rusiyantono Y, Mohamad K, Djuwita I dan Herliatien. 2000.
Perkembangan Oosit Kambing Setelah Maturasi, Fertilisasi dan Kultur In
Vitro. Media Veteriner 7: 11-17.
Brackett BG and Zuelke KA. 1993. Analysis of Factors Involved in The In Vivo
Production of Bovine Embryos. Theriogenology 39: 43-64.
Chian RC, Niwa K and Sirard. 1994. Effect Cumullus Cells on Male Pronuclear
Formation and Subsequent Early Development of Bovine Oocytes In Vitro.
Theriogenology 41: 1449-1508.
Crozet IV, Ahmed-Ali M and Dubos P. 1995. Developmental Competence of
Goat Oocytes from Follicles of Different Size Categories Follofing
Maturation, Fertilisation and Culture In Vitro. Reprod. Fert. 76: 31-37.
Dale B and Elder K. 1998. In Vitro Fertilization. USA: Cambridge Univ. Pr.
pp: 73-81.
Djuwita I, Boediono A dan Mohammad K. 2000. Bahan Kuliah Embriologi.
Bogor: Laboratorium Embriologi Bagian Anatomi FKH IPB. pp: 10: 1-8.
33
Eppig JJ. 1980. Role of Serum in FSH Stimulated Cumulus Expantion by Mouse
Oocyte-Cumulus Cell Complexes In Vitro. Biol.Reprod. 15: 167-573.
Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Srigandono B, Praseno K,
Penerjemah; Yogyakarta: Gadjah Mada Univ. Pr. Terjemahan dari: Anatomy
and Physiology of Farm Animal. pp: 599-735.
First NL, Lorraine and Florman HM. 1989. The Mollecular Biology of The
Mamalian Oocyte Fertilization. London: Academic Pr. pp: 259-288.
Findlay JK, Drummond AE and Fry RC. 1996. Intragonal Regulasion of
Follicular Development and Ovulation. Anim. Reprod. Sci. 42: 321-331.
Galeati G. 1994. Oocyte reaction to penetrating sperm. Zygote 2: 355-358.
Gordon I. 1994. Laboratory Production of Cattle Embryos. Biotechnology in
Agriculture Series. CAB. International. pp: 30-142.
Hafez ESE. 1987. Reproduction in Farm Animals. Ed ke-5. Philadelphia: Lea &
Febiger. pp: 7-205.
Hafez ESE, B. Hafez. 2000. Reproduction in Farm Animals. Ed ke-7.
Philadelphia: Lea & Febiger. pp: 31-68.
Hammerstedt RH, Keith AD, Snipes W, Amann RP, Arruda D and Griel LC.
1993. Use of Spin Labels to Evaluete Effects of Cold Shock and Osmolarity
on Sperm. Biol. Reprod. 18: 686-696.
Hardjopranjoto HS. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Yogyakarta: Airlangga
Univ Pr. pp: 19-55.
Hawk HK, Nel AD and Wall AW. 1992. Investigation of Means to Improve Rates
of Fertilization In Vitro Matured or In Vitro Fertilization Bovine Oocytes.
Theriogenology 8: 989-998.
Hunter. 1995. Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik.
Haryaputra DK, penerjemah; RB Mataram, penyuting. Bandung: ITB.
Terjemahan dari: Physiology and Technology Reproduction in Female
Domestic Animals. pp: 257-295.
Hyttel P, Fair T, Callesen H and Greve T. 1997. Oocyte Growth, Capaitation and
Final, Maturation in Culture. Reprod. Fert. 54: 379-383.
34
Ihsan MN, Djati MS, Kuswati dan Susilorini TE. 2000. Studi Kombinasi PMSG,
HCG dan EGS dalam Medium Kultur Terhadap Transformasi Inti Oosit
Kambing In Vitro. Hayati. 12: 1-3.
Jaswandi, Setiadi MA, Boediono A, Toelihere MR dan Sukra Y. 2001. Potensi
Ovarium Domba yang Dipotong untuk Produksi Embrio In Vitro. Media
Peternakan 24: 2.
Kim IH and Chang CM. 1999. Effect of Exogenous Glutathione on The In Vitro
Fertilization of Bovine Oocytes. Theriogenology 30: 338-355.
Margawati ET, Kaiin EM, Eriani K, Yanthi ND dan Indriawati. 2000. Pengaruh
Media IVM pada Perkembangan Embrio Sapi Secara In Vitro. Ilmu Ternak
dan Veteriner 5: 4.
Mc Clural RC, Dallman, Mark J and Garrett PD. 1973. Cat Anatomy: An Atlas.
Tent and Dissection Guide. Philadelphia: Lea & Febiger. pp: 74-125.
Moltik J and Fulka J. 1976. Breakdown and Developmental in Pig Oocytes In
Vivo and In Vitro. Reprod. Fert. 36: 241-251.
Lapathitis G, Miksik I, Pavlok A and Moltik J. 2002. Improvement of In Vitro
Maturation System for Bovine Oocytes and Intracelluler Glutathione Content.
http://www.iapg.cas.cz/uzfg/u2.htm. [16 Sep 2005].
Lenz RW, Ball GD, Leifried ML, Ax RL and First NL. 1983. In Vitro Maturation
and The Fertilization of Bovine Oocyte are Temperature Dependent Proces.
Biol. Reprod. 29: 173-179.
Loos de F, Vliet CV, Maurik VP and Kruip ThAM. 1989. Morphology of
Immature Bovine Oocyte. Gamete Res. 24: 197-204.
Lonergan P, Sharif H, Monaghan P, Wahid H, Gallagher M and Gordon I. 1992.
Effect of Size on Bovine Oocyte Morphology and Embrios Yield Following
Maturation, Fertilization and Culture In Vitro. Theriogenology 54: 1420-1429.
Lu KH, Gordon I, Chen HB, Gallagher M and Mc Govern H. 1988. Birth of
Twins After Transfer of Cattel Embrio Produced by In Vitro Techniques. Vet.
Rec. 36: 125-132.
Rijnders PM et al, Editor. 1996. Laboratory Aspects of In-Vitro Fertilization.
Nederland: Organon. pp: 86-124.
35
Rutledge MLL, Dominko T, Critser ES and Critser JK. 1997. Tissue Maturation
In Vivo and In Vitro: Gamete and Early Embryo Ontogeny. Reproductive
Tissue Banking. Academic Press. pp: 179-187.
Salisbury GW dan VanDemark NL. 1985 Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi
Buatan Pada Sapi. Djanuar R, Penerjemah; Yogyakarta: Gadjah Mada Univ.
Pr. Terjemahan dari: Physiology of Reproduction and Artificial Insemination
Of Cattle. pp: 23-137.
Schroeter D dan Meinecke B. 1995. Comparative Analysis of The Polipeptide
Patern of Cumulus Cell During Maturation of Porcine Cumulus Oocyte
Complexes In Vivo and In Vitro. Reprod. Nutr. Dev. 35: 85-94.
Setiadi MA. 1999. Kapasitas Perkembangan Oosit Babi yang Dimatangkan
Secara In Vitro pada Mediun Tanpa Suplemen Serum. Prosiding Seminar
Nasional Peternakan dan Veteriner. 292-296.
Setiadi MA. 2001. Tinjauan Mekanisme Pemekaran Sel-Sel Kumulus Oosit pada
Kondisi In Vivo dan In Vitro: suatu review. Media Veteriner 8(3): 66-69.
Setiadi MA. 2002. Effect of Co-Culture with Folicle Shell on Cumulus Expansion
and Nuclear Maturation Porcine Oocytes In Vitro. Reprotech 1: 87-91.
Shin C, Yoons, Oum K, Yoon T, Cha K and Lee K. 2001. Differential Expanssion
of The Three Different Connexins in Cumulus Oocyte-Complex at The
Different Developmental Stages [abstrak]. ASRM, 76(3): S201. abstract pp
:267.
Sirard MA and Blondin P. 1996. Oocyte maturation and IVF in cattle. Anim.
Reprod. Sci. 442: 417-426.
Situmurang P, Triwulaningsih E, Lubis A, Hidayati N dan Sugiarti T. 1998.
Pengaruh penambahan hormon pada medium pematangan terhadap produksi
embrio secara in vitro. Ilmu Ternak dan Veteriner 3(1): 22-26.
Supriatna I dan Pasaribu FH. 1991. In Vitro Fertilisasi, Trasfer Embrio dan
Pembekuan Embrio. Bogor: PAU Bioteknologi IPB. pp: 1-56.
Suzuki Y, Singla SK, Sujata J and Modan ML. 1992. In Vitro Fertilization of
Water Buffallo Folicular Oocytes and Their Ability to Cleave In Vitro. 3
Theriogenology 8: 1189-1194.
36
Tang M, Vanderhyden BC and Armstrong DT. 1995. Role of Cumulus Cell and
Serum on The In Vitro Maturation, Fertilization and Subsequent Development
of Rat Oocytes. Biol. Reprod. 40: 720-728.
Triwulaningsih E, Toelihere MR, Rutledge JJ, Yusuf TL, Purwantara B dan
Dwiyanto K. 1999. Produksi Embrio In Vitro dengan Modifikasi Waktu dan
Hormon Gonadotropin Selama Pematangan Oosit. Ilmu Peternakan dan
Veteriner 6(3): 179-188.
Triwulanningsih E. 2002. Produksi Embrio Sapi In Vitro dengan Modifikasi
Waktu dan Suhu Pada Medium Maturasi yang Diperkaya dengan FSH dan
Estradiol 17 Â [Desertasi]. Bogor: Progam Pasca Sarjana IPB.
Trounson OA and Gardner DK. 2000. Handbook of In Vitro Fertilization. Ed ke2. New York: London. pp: 230-235.
Toelihere MR. 1993. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung: Angkasa.
pp: 122-199.
Tsafriri A. 1985. Oocyte Maturation in Mammals. In: RE Jones, editor. The
Vertebrata Ovary. New York: Plenum Press, pp: 27-37.
Younis AI, Brackett BG and Fayrer-Hosken RA. 1989. Influence of Serum and
Hormones on Bovine Oocyte Maturation and Fertilization In Vitro. Gamete
Res. 23: 189-201.
Voelkel SA and Hu YX. 1992. Effect Gas Atmosphere on The Development of
One-Cell Bovine Embryo in Two Culture Systems. Theriogenology 37: 11171131.
Zhang L, Jiang S, Wozniak PJ, Yang X and Godke RA. 1995. Cumulus Cell
Function During Bovine Oocyte Maturation, Fertilization, and Embryo
Development In Vitro. Mol. Reprod. Dev. 40: 338-344.
Zheng YS and Sirard MA. 1992. The Effect of Sera, Bovine Serum Albumin and
Follicular Cells on In Vitro Maturation and Fertilization of Porcine Oocyte. 3
Theriogenology 7: 779-790.
38
Lampiran. 1 Komposisi medium
No
1
Komposisi medium
Medium Koleksi Oosit
PBS (Phosphate Buffered Saline)
FBS (Fetal Bovine Serum) (10%)
2
Medium Pematangan Oosit In Vtro
TCM-199 (Tissue Culture Medium)
FBS 10% (Fetal Bovine Serum)
FSH (Folicle Stimulating Hormone) (10 IU/ml)
LH (Luteinizing Hormone) (10 IU/ml)
Estradiol (1 µg/ml)
3
Medium Fiksasi (1:3)
Asam asetat glasial
Ethanol
4
Medium Pewarnaan (Aceto-Orcein 2%)
Jumlah
1800 µl
200 µl
1800 µl
200 µl
20 µl
20 µl
2 µl
5 ml
15 ml
39
Lampiran 2. Alat-Alat
♦ Pipet pastur
♦ Gelas arloji
♦ Gelas ukur
♦ Spoit
♦ Plastik piring petri diameter 35 mm
♦ Plastik piring petri diameter 10 cm
♦ Termometer
♦ Laminar air flow
♦ Mikroskop cahaya
♦ Mikroskop fase kontras
♦ Inkubator CO2 5%
♦ Inkubator anaerob jar Oxoid
♦ Sterilisator / autoklaf
♦ Termos
40
Lampiran 3. Analisa ragam dan uji lanjut duncan untuk derajat ekspansi
sel-sel kumulus
♦ Ekpansi kumulus derajat 2
• Uji normalitas
Shapiro-wilk
Statistik
0.964
db
15
Sig
0.761*
* = Nilai Sig 0.761 yang berarti lebih dari 0.05 sehingga data populasi dapat dikatakan
menyebar normal
• Uji homogenitas
Khi-kuadrat
db1
db2
Sig
0.612
2
12
0.558*
* = Nilai Sig 0.558 yang berarti lebih besar dari 0.05 sehingga data populasi dapat dikatakan
homogen
• Analisa keragaman
Sumber keragaman
Perlakuan
Sisa
Total
db
2
12
14
JK
8.533
57.200
65.733
KT
4.267
4.767
Fhit
0.895
Sig
0.434*
* = Tidak berbeda nyata pada taraf 95% (P>0.05), karena Fhit < Ftab
♦ Ekpansi kumulus derajat 3
• Uji normalitas
Shapiro-wilk
Statistik
0.948
db
15
Sig
0.492*
* = Nilai Sig 0.492 yang berarti lebih dari 0.05 sehingga data populasi dapat dikatakan
menyebar normal
• Uji homogenitas
Khi-kuadrat
db1
db2
Sig
0.106
2
12
0.901*
* = Nilai Sig 0.901 yang berarti lebih besar dari 0.05 sehingga data populasi dapat dikatakan
homogen
• Analisa keragaman
Sumber keragaman
Perlakuan
Sisa
Total
db
2
12
14
JK
152.400
77.200
229.600
KT
76.200
6.433
Fhit
11.845
Sig
0.001*
* = Berbeda nyata pada taraf 95% (P<0.05), karena Fhit > Ftab sehingga dapat diuji lanjut
dengan Duncan
41
Lampiran 3. (Lanjutan)
• Uji Duncan
Perlakuan
N
Oxoid T = 29 oC
Oxoid T = 36 oC
CO2 T = 38,5 oC
Sig
5
5
5
1
6.60
1.000
α = 95%
2
10.20
1.000
3
14.40
1.000
Dari ketiga perlakuan diatas, perlakuan terbaik berturut-turut terdapat pada CO2 T = 38,5 oC,
Oxoid T = 36 oC dan Oxoid T = 29 oC
42
Lampiran 4. Analisa ragam dan uji lanjut duncan untuk tingkat pematangan
oosit setelah in vitro
♦ Metafase I
• Uji normalitas
Shapiro-wilk
Statistik
0.923
db
15
Sig
0.213*
* = Nilai Sig 0.213 yang berarti lebih dari 0.05 sehingga data populasi dapat dikatakan
menyebar normal
• Uji homogenitas
Khi-kuadrat
db1
db2
Sig
1.092
2
12
0.367*
* = Nilai Sig 0.367 yang berarti lebih besar dari 0.05 sehingga data populasi dapat dikatakan
homogen
• Analisa keragaman
Sumber keragaman
Perlakuan
Sisa
Total
db
2
12
14
JK
84.933
42.400
127.333
KT
42.467
3.533
Fhit
12.019
Sig
0.001*
* = Berbeda nyata pada taraf 95% (P<0.05), karena Fhit > Ftab sehingga dapat diuji lanjut
dengan Duncan
• Uji Duncan
Perlakuan
N
o
Oxoid T = 29 C
Oxoid T = 36 oC
CO2 T = 38,5 oC
Sig
5
5
5
1
7.00
4.60
0.066
α = 95%
2
10.40
1.000
Dari ketiga perlakuan diatas, perlakuan Oxoid T = 29 oC berpengaruh nyata terhadap CO2
T = 38,5 oC dan Oxoid T = 36 oC
♦ Metafase II
• Uji normalitas
Shapiro-wilk
Statistik
0.875
db
15
Sig
0.145*
* = Nilai Sig 0.145 yang berarti lebih dari 0.05 sehingga data populasi dapat dikatakan
menyebar normal
43
Lampiran 4. (Lanjutan)
• Uji homogenitas
Khi-kuadrat
db1
db2
Sig
1.328
2
12
0.301*
* = Nilai Sig 0.301 yang berarti lebih besar dari 0.05 sehingga data populasi dapat dikatakan
homogen
• Analisa keragaman
Sumber keragaman
Perlakuan
Sisa
Total
db
2
12
14
JK
613.200
19.200
632.400
KT
306.600
1.600
Fhit
191.625
Sig
0.000*
* = Berbeda nyata pada taraf 95% (P<0.05), karena Fhit > Ftab sehingga dapat diuji lanjut
dengan Duncan
• Uji Duncan
Perlakuan
N
o
Oxoid T = 29 C
Oxoid T = 36 oC
CO2 T = 38,5 oC
Sig
5
5
5
1
2.00
1.000
α = 95%
2
11.00
1.000
3
17.60
1.000
Dari ketiga perlakuan diatas, perlakuan terbaik berturut-turut terdapat pada CO2 T = 38,5 oC,
Oxoid T = 36 oC dan Oxoid T = 29 oC
Download