Oseana, Volume XX, Nomor 2, 1995 : 1 – 12 ISSN 0216 – 1877

advertisement
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XX, Nomor 2, 1995 : 1 – 12
ISSN 0216 – 1877
BUDIDAYA IKAN LAUT DALAM KERAMBA JARING
APUNG SERTA PROSPEKNYA
oleh
Mayunar 1)
ABSTRACT
MARINE FISH CULTURE IN FLOATING NETCAGE AND ITS PROSPECTS. Aquaculture or the farming of marine aquatic organism such as fish,
Crustacea, seaweed and mollusks. The culture of marine fish was started in Indonesia
of year 1978. Especially for marine fish culture, suitable fish species include are
grouper, snapper, rabbitfish, seabass and wrasse or napoleon fish. The fish is
commercially of the most important marine fish species and highly esteemed as food
fish in Singapore, Hongkong, Taiwan, and Indonesia. Furthermore, since this
species seem suitable for culture, the development of hatchery techniques is
essential to produce large supplies of fries, either for culture to marketable size or
for stocking. This paper described the site selection (water current, depth,
temperature, pH, salinity, dissolved oxygen, nitrogen compound), constructions and
culture techniques (stocking, feeding, growth, diseases/parasite), and other prospects.
PENDAHULUAN
permintaan pasar, baik domestik maupun
internasional. Untuk memenuhi permintaan
konsumen yang setiap tahunnya terus
meningkat, beberapa pengusaha dan petani
ikan di Kep. Seribu, Karimunjawa, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur, Jawa Barat dan Nusa
Tenggara Barat telah melakukan budidaya
ikan laut terutama dan jenis ikan kerapu,
kakap merah, beronang dan ikan lemak atau
napoleon fish.
Meningkatnya permintaan pasar
domestik dan internasional akan ikan laut
Produksi ikan melalui usaha budidaya
dimulai sejak tahun 1960, namun penerapan
kolam dan keramba jaring apung sebagai
sarana produksi untuk tujuan komersial baru
dimulai pada tahun 1970 (PARKER &
BROUSARD 1977). Selanjutnya, Usaha
budidaya ikan laut di Indonesia pertama kali
dirintis oleh nelayan Kep. Riau pada tahun
1978. Usaha budidaya ikan laut terus
berkembang sejalan dengan meningkatnya
1
Oseana, Volume XX No. 2, 1995
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
PEMILIHAN LOKASI BUDIDAYA
terutama dalam keadaan hidup perlu diimbangi
dengan meningkatnya produksi terutama
melalui usaha budidaya. Selama periode 1984
– 1992, produksi perikanan meningkat dari
2,2 juta ton menjadi 3,5 juta ton atau rata-rata
5,8 % per tahun (ANONYMOUS 1994).
Produksi perikanan laut naik 5,8 %, perairan
umum 1,4 % dan dari budidaya 8,9 % yang
sebagian besar berasal dari budidaya tambak
(udang, bandeng) dan kolam (ikan air tawar).
Untuk memenuhi permintaan ikan laut dalam
keadaan hidup, kontribusi produksi dari usaha
budidaya perlu ditingkatkan. Peningkatan
produksi selain meningkatkan volume dan
nilai ekspor, juga dapat menyediakan protein
hewani bagi masyarakat sehingga akan
tercapai pola pangan berimbang (kebutuhan
protein hewani dan nabati).
Budidaya ikan laut dalam keramba
jaring apung atau keramba tancap banyak
diminati oleh para usahawan baik pengusaha
maupun petani ikan, karena memiliki
keuntungan antara lain : jumlah dan mutu air
selalu terjamin, pemangsa dapat dikendalikan,
waktu panen dapat diatur dan ukuran lebih
seragam, tidak memerlukan pengolahan tanah,
produksi dijual dalam keadaan hidup sehingga
harga jual lebih tinggi. Keuntungan lain dari
keramba jaring apung adalah mudah dipindahpindahkan ketempat yang lebih produktif..
Beberapa faktor yang harus diperhatikan di dalam usaha budidaya ikan di
keramba jaring apung adalah : lokasi, desain
dan konstruksi keramba, padat tebar,
ketersediaan pakan, jenis ikan yang
dibudidayakan, mutu air, hama dan penyakit
serta keamanan. Dalam tulisan ini hanya
mencakup budidaya ikan kerapu, kakap merah,
kakap putih dan beronang.
Salah satu sarana pokok di dalam
pengembangan budidaya laut adalah
ketersediaan lahan atau lokasi yang cocok
bagi komoditas yang akan dibudidayakan.
Khusus untuk budidaya ikan laut, lokasi yang
berpotensi dan dapat dikembangkan pada PJP
II kurang lebih 3.600 ha (GAIGER 1989).
Untuk 1 ha areal dapat menampung 100 – 125
unit keramba dengan jumlah kurungan 400 –
500 buah yang berukuran 3x3x3 m.
keberhasilan di dalam usaha budidaya
ikan laut tergantung pada pemilihan lokasi
yang tepat dan benar dengan mempertimbangkan faktor lingkungan, resiko dan hidrografi
perairan. Lokasi budidaya ikan laut harus
memenuhi persyaratan dan memperhatikan
keadaan pasang, kondisi dasar perairan, arus
dan konstruksi. Perairan tempat keramba jaring
apung sebaiknya bertofografi landai,
kedalaman 6 – 10 m, memiliki dasar pasir
berlumpur atau lumpur berpasir, airnya jernih
serta terhindar dari pencemaran dan pelumpuran (siltasi), karena dapat mempengaruhi
bobot jaring, mutu air dan usaha budidaya.
Selain itu juga harus terhindar dari gelombang
kuat dan badai, sedangkan perbedaan pasang
naik dan pasang surut sebaiknya kurang dan
100 cm. Selanjutnya, perairan tempat keramba
jaring apung harus terhindar dari stratifikasi
suhu dan oksigen serta berarus cukup,
sehingga sirkulasi air tetap lancar.
Lokasi perairan yang ditetapkan untuk
usaha budidaya ikan harus memenuhi
persyaratan fisika, kimia dan biologi. Parameter fisika dan kimia yang harus dipertimbangkan antara lain adalah arus, suhu,
kecerahan, pH, salinitas oksigen terlarut dan
senyawa nitrogen.
2
Oseana, Volume XX No. 2, 1995
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Arus Perairan
Peningkatan suhu juga menyebabkan kadar
oksigen terlarut rendah dan selanjutnya akan
mempengaruhi metabolisme, seperti laju
pernapasan dan meningkatnya konsentrasi
karbon dioksida.
Arus adalah massa air baik horizontal
maupun vertikal yang disebabkan oleh angin
dan gaya (gradien, coriolis, gravitasi, gesekan,
sentrifugal). Arus sangat berperan dalam
sirkulasi air, pembawa bahan terlarut dan
tersuspensi, kelarutan oksigen serta dapat
mengurangi organisme penempel (biofouling).
Desain dan konstruksi keramba harus
disesuaikan dengan kecepatan arus dan kondisi
dasar perairan (lumpur, pasir, karang). Di
Singapura, kecepatan arus perairan untuk
usaha budidaya ikan kerapu dalam keramba
jaring apung berkisar 25 – 50 cm/detik,
sedangkan perbedaan antara pasang naik dan
pasang surut berkisar 3 m. (ANONYMOUS
1986). Selanjutnya dikatakan bahwa kecepatan
arus dibawah 25 cm/detik menyebabkan
banyaknya organisme yang menempel pada
jaring, sehingga akan mengganggu sirkulasi
air. Kecepatan arus yang baik untuk usaha
budidaya ikan laut dalam keramba jaring
apung adalah 5 – 15 cm/detik (AHMAD et al.
1991).
Kecerahan
Kecerahan perairan menunjukkan
kemampuan cahaya untuk menembus lapisan
air pada kedalaman tertentu. Menurut
BIROWO & UKTOLSEJA (1976), faktorfaktor yang dapat mempengaruhi kecerahan
adalah kandungan lumpur, plankton, zat
organik dan bahan-bahan lain yang terlarut
atau tersuspensi dalam air. Kecerahan dapat
berkurang akibat reklamasi pantai, buangan
industri dan rumah tangga serta akibat
lainnya. Perairan yang memiliki nilai
kecerahan rendah pada waktu cuaca normal
(cerah), memberikan suatu indikasi banyaknya
partikel-partikel yang terlarut dan tersuspensi
di dalamnya. Keadaan tersebut dapat
mengurangi laju fotosintesa serta mengganggu
pernapasan ikan. Untuk budidaya perikanan
dan konservasi biota laut, kecerahan sebaiknya
> 3 m (KHL 1988).
Suhu Air.
Derajat Keasaman (pH)
Suhu air merupakan salah satu parameter fisika yang memegang peranan di dalam
pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan
dan biota akuatik lainnya. Suhu berpengaruh
langsung pada proses fotosintesa tumbuhan
akuatik, proses metabolisme dan siklus
reproduksi (SVERDRUP et al. 1961).
Kenaikan suhu air sebesar 10°C akan
menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen
hewan akuatik menjadi dua kali lipat
(WARDOJO 1975). Selanjutnya GUNARSO
(1985) melaporkan bahwa ikan sangat peka
terhadap perubahan suhu walaupun hanya
0,03 °C. Suhu air yang baik untuk usaha
budidaya ikan laut adalah 27 – 32°C.
Air laut memiliki nilai pH yang relatif
stabil dan biasanya berkisar antara 7,5–8,4.
Nilai pH dipengaruhi oleh laju fotosintesa,
suhu air serta buangan industri dan rumah
tangga. pH rendah atau tinggi sangat
berpengaruh pada pertumbuhan dan
kelangsungan hidup ikan. Perairan yang
bersifat asam (pH < 5) atau bersifat alkali
(pH > 11), dapat menyebabkan kematian dan
tidak terjadinya reproduksi pada ikan. Nilai
pH yang optimal untuk budidaya ikan adalah
6,5–9,0 (BOYD & LICHTKOPPLER 1979).
Nilai pH suatu perairan biasanya tinggi pada
3
Oseana, Volume XX No. 2, 1995
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
sore hari dan rendah pada pagi hari, namun
dalam periode pendek tidak berpengaruh pada
pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan.
Konsentrasi oksigen terlarut bagi ke
pentingan perikanan sangat bervariasi dan
tergantung pada jenis, stadia dan aktivitas
organisme. Selain untuk aktivitas kehidupan,
kandungan oksigen terlarut pada suatu
perairan dapat di gunakan untuk mendeteksi
adanya pencemaran serta keragaman biota
yang hidup di dalamnya (ALLEN & MANCY
1972). Untuk sekedar hidup diperukan 1 ppm
oksigen terlarut, sedangkan untuk dapat
tumbuh dan berkembang minimal 3 ppm.
Apabila oksigen terlarut < 3 ppm dan
berlangsung dalam waktu lama, akan
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan
berkurangnya nafsu makan ikan. Selanjutnya
bagi kepentingan budidaya ikan, oksigen
terlarut yang baik adalah 5–8 ppm (ANONYMOUS 1986; AHMAD et al. 1991).
Salinitas
Perairan laut mempunyai kestabilan
salinitas yang relatif tinggi bila dibandingkan
dengan perairan payau. Perubahan salinitas
lebih sering terjadi pada perairan dekat pantai,
hal ini disebabkan banyaknya air tawar yang
masuk baik melalui sungai maupun run-off
terutama pada musim penghujan.
HOUDE (dalam AKATSU et al. 1982)
melaporkan, ikan laut memiliki toleransi yang
tinggi terhadap salinitas, namun salinitas juga
merupakan salah satu faktor penentu terhadap
perutmbuhan dan kelangsungan hidup.
Selanjutnya BOYD & LICHTKOPPLER
(1979) menyatakan, sebagian besar ikan-ikan
muda (juvenil) lebih sensitif terhadap
perubahan salinitas bila dibandingkan dengan
ikan dewasa. Peningkatan salinitas, selain
berpengaruh pada daya hantar listrik (conductivity) juga dapat meningkatkan tekanan
osmotik yang selanjutnya akan mempengaruhi
metabolisme terutama dalam proses
osmoregulasi.
Senyawa Nitrogen
Nitrogen dalam air laut terdiri dari
bermacam-macam senyawa, namun yang
bersifat racun terhadap ikan dan organisme
lainnya hanya 3 senyawa yaitu ammonia
(NH3-N), nitrit (N02-N) dan nitrat (N03-N).
Senyawa nitrogen biasanya berasal dari
atmosfer, sisa makanan, organisme mati dan
hasil metabolisme hewan-hewan akuatik
lainnya (SPOTTE 1979). Dari ke-3 senyawa
tersebut, yang paling bersifat toksik pada
ikan adalah amonia dan nitrit, sedangkan
nitrat hanya bersifat toksik pada konsentrasi
tinggi.
Pengaruh utama dari ke-3 senyawa
tersebut adalah kerusakan organ-organ tubuh
yang ada kaitannya dengan transpor oksigen
(insang, sel-sel eritrosit dan jaringan penghasil
eritrosit). Peningkatan konsentrasi amonia
dalam darah dan jaringan akan menyebabkan
perubahan pH darah dan interseluler yang
selanjutnya akan menganggu reaksi enzym
dan proses metabolisme pada otak dan syaraf
Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut merupakan parameter
kimia yang paling kritis di dalam budidaya
ikan laut. Oksigen dalam air berasal dari
udara melalui diffusi dan hasil sampingan
fotosintesa tumbuhan akuatik terutama dari
fitoplankton. Kalarutan oksigen dalam air
dipengaruhi oleh suhu air, ketinggian lokasi
(altitude), salinitias dan tekanan udara.
Penambahan
tekanan
udara
serta
peningkatakan suhu air dan salinitas,
menyebabkan kelarutan oksigen rendah dan
begitu sebaliknya.
4
Oseana, Volume XX No. 2, 1995
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
(COLT & AMSTRONG-1981). Pembentukan
senyawa amonia dalam air sangat dipengaruhi
oleh laju metabolisme hewan-hewan akuatik
yang bersifat amonialitik dan urealitik serta
kondisi pH, suhu air dan salinitas. Apabila
pH dan salinitas turun atau suhu naik, maka
konsentrasi amonia akan meningkat
(DAVITSON 1980). Konsentrasi amonia yang
aman dan tidak beracun bagi ikan adalah
kecil dari 0,1 ppm (AHMAD et al. 1991).
sedangkan untuk keperluan budidaya ikan
sebaiknya kecil dari 0,3 ppm (KLH 1988).
Pengaruh utama dari senyawa nitrit
adalah perubahan di dalam transpor oksigen
dan oksidasi senyawa dalam jaringan. Nitrit
dapat mengoksidasi ion ferro dalam
haemoglobin menjadi ion ferri yang merubah
haemoglobin menjadi metemoglobin (COLT
& AMSTRONG, 1981). Daya racun nitirit
lebih kuat di air asin daripada air tawar.
Kalsium, karbonat dan ion khlorida dapat
menaikkan toleransi terhadap nitrit sampai 60
kali, misalnya pada ikan Salmoid (PERONE
& MADE dalam MAYUNAR 1990).
Selain amonia dan nitrit, senyawa nitrat
juga merupakan parameter penting di dalam
budidaya ikan, karena nitrat merupakan bentuk
oksidadi terbanyak dari nitrogen dalam air.
Alga dan tumbuhan akuatik lainnya sangat
mudah berasmiliasi dengan nitrat. Selain
berpengaruh pada osmoregulasi dan transpor
oksigen, konsenrasi nitrat yang tinggi juga
dapat merusak darah, hati, pusat hematopoetik,
fillamen insang dan tingkah laku yang tidak
normal (MAYUNAR 1990; COLT &
AMSTRONG, 1981).
kurung yang akan kita pasang. Adapun
bagian-bagian dari keramba jaring apung
adalah : bingkai, pelampung, pengikat,
jangkar, kurung-kurung dan pemberat
(MAYUNAR & AHMAD, 1990).
Bingkai
Bingkai atau kerangka (Gambar 1)
dapat dari kayu, bambu atau besi yang
dilapisi bahan anti karat. Pemilihan bahan
sebaiknya disesuaikan dengan tersedianya
bahan di lokasi budidaya. Ukuran bingkai
harus disesuaikan dengan ukuran kurungkurung yang akan digunakan sebagai wadah
pembesaran. Ukuran jaring yang banyak
digunakan adalah 5x5x3 m, 3x3x3 m atau
2x2x2 m, sehingga ukuran bingkai atau
kerangka harus 12x12 m, 7x7 m atau 5x5 m.
Garis tengah bambu yang bisa digunakan
berkisar antara 12-15 cm dibagian pangkal
dan 6–8 cm dibagian ujung.
KONSTRUKSI KERAMBA
Bahan utama yang harus disediakan di
dalam usaha budidaya ikan laut adalah
kerangka rakit. Kerangka rakit ini digunakan
sebagai penggantung jaring atau kurung-
5
Oseana, Volume XX No. 2, 1995
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Pelampung
Pengikat
Untuk mengapungkan keramba atau
bingkai, dapat digunakan drum plastik, drum
besi, styrofoam dan fiberglass. Untuk
membuat satu unit rakit berukuran 7x7 m
yang dibagi menjadi 4 bagian yang masingmasing berukuran 3x3 m, diperlukan 16–20
buah pelampung, sedangkan yang berukuran
5x5 m berkisar 13–14 buah (Gambar 2).
Pengikat untuk pembuatan kerangka
dapat menggunakan kawat yang bergaris
tengah 0,4–0,5 cm atau tali plastik 0,8–1,0
cm. Walaupun mudah berkarat, kawat
pengikat tahan dalam jangka waktu 1 tahun,
sedangkan menggunakan tali plastik walaupun
tidak berkarat namun bisa melar akibat
gerakan ombak dan gelombang dan
mengakibatkan rakit tidak simetris.
Jangkar
Sebagai penahan kerangka atau unit
rakit agar tidak terbawa arus air, dapat
menggunakan jangkar (berat 150–200 kg)
atau blok beton (berat 500–1000 kg). Untuk
tali jangkar digunakan tali plastik berdiameter 5 cm, sedangkan panjangnya 3 kali
kedalaman air. Untuk 1 unit rakit paling
sedikit digunakan 4 buah jangkar dan untuk
12 unit sebanyak 14–18 buah. Selanjutnya
pada Gambar 3 dapat dilihat skema
pemasangan jangkar pada beberapa unit rakit.
6
Oseana, Volume XX No. 2, 1995
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
siomai) atau lebih dikenal dengan napoleon
fish (WIBISONO 1990). Dari jenis tersebut
yang paling banyak dibudidayakan dalam
keramba jaring apung adalah ikan kerapu
lumpur (Epinephelus suillus, E. tauvina),
kerapu macan (E. fuscoguttatus), kerapu sunu
(Plectropomus maculatus, P. leopardus),
kerapu bebek (Cromileptes altivelis), kakap
merah (Lutjanus argentimaculatus, L johni).
kakap putih (Lates calcarifer) dan beronang
(Siganus spp.). Keberhasilan usaha budidaya
ikan laut selain ditentukan oleh pemilihan
lokasi yang tepat dan benar, juga ditentukan
oleh ketersediaan benih, pakan, padat tebar
dan mutu air serta terjaminnya pasar dan
harga.
Kurung-kurung
Kurung-kurung atau jaring dapat dibuat
dari polyethylene (PE), polypropylene (PP)
atau polyester (PES). Ukuran mata jaring
yang digunakan tergantung dari ukuran ikan
yang dibudidayakan dan biasanya berkisar
antara 1–4 cm. Ukuran kurung-kurung adalah
5x5x5 m, 3x3x3 m atau 2x2x2 m. Sebagai
penahan arus dan kurung-kurung tetap
simetris. setiap sudutnya perlu diberi pemberat
(Gambar 4). Pemberat yang digunakan
biasanya terbuat dari timah atau semen dengan
kisaran berat 2–5 kg.
Ukuran dan Padat Tebar
Padat tebar harus disesuaikan dengan
ukuran benih (berat). Untuk benih berukuran
25–50 g, kepadatan optimal adalah 100 ekor/
m3 sedangkan ukuran 100–150 g adalah 40–50
ekor/m3. Ukuran dan padat tebar yang praktis
tergantung pada jenis ikan yang dibudidayakan. Misalnya ikan kerapu, kakap
merah dan kakap putih, ukuran optimal adalah 100–200 g/ekor dengan kepadatan 40–50
ekor/m3, sedangkan untuk ikan beronang
adalah 50–75 ekor/m3 (ukuran 50–75 g). Pada
Tabel 1 dapat dilihat ukuran awal dan
kepadatan optimal beberapa jenis ikan laut
yang dipelihara dalam keramba jaring apung.
Gambar 4. Kurang-kurang yang dilengkapi
dengan pemberat.
Pakan
TEKNIK BUDIDAYA
Dalam usaha budidaya, sebagian besar
biaya produksi adalah penyediaan pakan.
Pakan yang umum digunakan adalah ikan
rucah (tembang, tunjam, japuh) dan biasanya
diberikan pada pagi dan sore hari, sedangkan
jumlahnya disesuaikan dengan berat ikan.
ANONYMOUS (1986) merekomendasikan
Jenis ikan laut yang potensial dan
cocok untuk dibudidayakan dalam keramba
jaring apung antara lain adalah famili
Serranidae (kerapu), Lutjanidae (kakap
merah), Latidae (kakap putih), Carangidae
(kuwe, ekor kuning) dan Labridae (lemak/
7
Oseana, Volume XX No. 2, 1995
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
pemberian pakan pada ikan kerapu, kakap
merah dan kakap putih yang diperlihara dalam
keramba jaring apung, dimana dosisnya
disesuaikan dengan berat ikan. Untuk ikan
berukuran 50 g, pemberian pakan 10% dari
total biomassa per hari, ukuran 100 g (8%),
300 g (3–5%) dan ukuran 500 g berkisar 3 %.
Dengan menggunakan ikan rucah, rasio
konversi pakan (FCR) adalah 7 : 1 .
antara 0,3–0,9 % per hari dari berat badan,
kakap merah (0,5–1,4 %), beronang (0,4–0,7
%) dan kakap putih (0,5–1,1 %).
Mutu Air
Di dalam budidaya ikan Iaut, parameter fisika dan kimia air yang berpengaruh
langsung terhadap pertumbuhan dan
kelangsungan hidup adalah suhu air, salinitas
dan oksigen terlarut. Suhu air yang baik
untuk budidaya ikan kerapu, kakap merah,
kakap putih dan beronang adalah 27–32 °C,
sedangkan oksigen terlarut 5–8 ppm.
Selanjutnya, salinitas optimal untuk
pertumbuhan dan kelangsungan hidup adalah
27–34 ppt (kerapu), 10–25 ppt (kakap putih),
25–33 ppt (kakap merah) dan 28–31 ppt ppt
untuk ikan beronang.
Pertumbuhan dan Lama Pemeliharaan
Untuk mencapai ukuran pasar yaitu
500 – 1500 g (ikan kerapu, kakap merah,
kakap putih) diperlukan waktu 6–12 bulan
dengan kelangsungan hidup 70–95 %,
sedangkan untuk ikan beronang (200 – 500 g)
dibutuhkan waktu 10–18 bulan. Laju
pertumbuhan harian ikan kerapu berkisar
8
Oseana, Volume XX No. 2, 1995
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
baik, pemberian pakan yang cukup, melakukan
vaksinasi dan menghindarkan stress serta
luka pada ikan.
Disamping pencegahan, bagi ikan yang
sakit perlu pengobatan (kuratif). Pengobatan
penyakit sebagian besar dilakukan secara
kimiawi dengan menggunakan bahan kimia
dan antibiotik (Tabel 2). Teknik pengobatan
dapat dilakukan dengan cara perendaman,
penyuntikan ataupun melalui makanan.
Antibiotik umumnya digunakan untuk
pengobatan penyakit yang disebabkan oleh
bakteri dan jamur, sedangkan bahan kimia
untuk penyakit yang disebabkan oleh parasit
(DIANI et al. 1995).
Penyakit dan Parasit
Salah satu faktor atau kendala yang
dapat menghambat keberhasilan di dalam
budidaya ikan laut adalah penyakit dan parasit.
Timbulnya penyakit terutama disebabkan
adanya interaksi antara inang (ikan) dengan
patogen serta lingkungan, dimana hal tersebut
dapat terjadi apabila terganggunya
keseimbangan lingkungan. Pada umumnya,
organisme penyebab penyakit dan parasit
adalah bakteri, jamur, virus, protozoa,
krustasea dan cacing (DIANI et al. 1995).
Jenis bakteri yang banyak menyerang
ikan laut adalah Vibrio, Aeromonas, Streptococcus, Myxobacter dan Pseudomonas,
sedangkan penyakit yang disebabkan virus
yang baru dikenal adalah Lymphocystis.
Selanjutnya penyakit yang disebabkan oleh
jamur adalah Saprolegniasis (Saprolegnia sp.)
dan Icthyosporidiosis yang disebabkan oleh
Ichthyosporidium sp.
Selain penyebab diatas, penyakit pada
ikan laut juga dapat disebabkan oleh jenis
protozoa, krustasea dan cacing atau dikenal
dengan penyakit parasiter. Jenis protozoa
yang sering menyerang ikan laut budidaya
adalah Cryptocaryon, Trichodina dan
Brooklynella, sedangkan jenis cacing adalah
Diplectanum,
Pseudometadena,
Lechithochirium, sedangkan jenis cacing adalah
Diplectanum, Pseudometadena, Lechithochirium dan Cucullanus. Selanjutnya dari
golongan krustasea adalah Nerocila, Caligus
dan Aega.
Di dalam budidaya ikan laut khususnya
masalah penyakit, tindakan yang lebih penting
adalah upaya pencegahan (preventif).
Pencegahan terutama ditujukan untuk
menciptakan lingkungan yang seimbang,
sehingga daya tahan tubuh ikan meningkat
terhadap penyakit. Teknik pencegahan antara
lain adalah : menjaga mutu air agar tetap
PROSPEK BUDIDAYA
IKAN LAUT
Menyadari pentingnya budidaya
sebagai penghasil devisa maupun protein
untuk kebutuhan domestik, maka keluarlah
Keputusan Presiden No. 23 tahun 1982 tentang
"Pengembangan Budidaya Laut di Perairan
Indonesia" yang selanjutnya diikuti Keputusan
menteri Pertanian No. 473/Kpts/Um/7/1982
tentang "Pelaksanaan Pengembangan
Budidaya Laut di Indonesia" serta Keputusan
Menteri Pertanian No. 362/Kpts/Rc.410/6/
1989 tentang "Penyajian Informasi
Lingkungan" dan "Penyajian Evaluasi
Lingkungan".
Budidaya ikan laut di Indonesia
pertama kali dirintis oleh nelayan Kep. Riau
pada tahun 1978, dan seterusnya berkembang
ke Kep. Seribu, Karimunjawa dan Sulawesi
Selatan. Selain wilayah tersebut, budidaya
ikan laut pada saat ini juga telah berkembang
di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera
Selatan, Lampung, Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara dan
Nusa Tenggara. Pada daerah tersebut, sebagian
besar ikan yang dibudidayakan adalah kerapu,
9
Oseana, Volume XX No. 2, 1995
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Korea Selatan terutama dalam keadaan hidup.
SUDJASTANI dalam IMANTO &
BASYARIE (1993) melaporkan, kebutuhan
ikan hidup di pasar Singapura dan Hongkong
kurang lebih 250 ton/hari. Akibat perubahan
pola makanan dan meningkatnya kesejahteraan
masyarakat, kebutuhan ikan laut dalam negeri
terus meningkat. Selain hal tersebut diatas,
beronang, kakap merah dan lemak/siomai
(napoleon fish), namun jenis yang terakhir
sudah dilarang baik penangkapan maupun
ekspornya (MAYUNAR & DJAMALI 1995).
Jenis ikan tersebut diatas memiliki
prospek cukup baik untuk dibudidayakan,
mengingat besarnya permintaan pasar dunia
seperti Hongkong, Singapura, Taiwan dan
10
Oseana, Volume XX No. 2, 1995
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
lokasi untuk pengembangan budidaya ikan
laut cukup tersedia yakni 3.600 ha. Disamping
itu, pasok benih untuk menunjang kegiatan
budidaya selain berasal dari alam juga dapat
diperoleh dari panti-panti benih (hatchery).
Budidaya ikan laut dalam keramba
jaring apung banyak diminati oleh para
usahawan, karena memiliki keuntungan antara
lain : jumlah dan mutu air selalu terjamin,
pemangsa dapat dikendalikan dengan mudah,
panen dapat dilakukan setiap saat dan tidak
memerlukan pengolahan tanah. Keuntungan
lain dari budidaya dalam keramba jaring
apung adalah produksi dalam keadaan hidup
dan ukurannya lebih seragam, sehingga dapat
meningkaikan harga jual dan pendapatan.
Dalam keadaan hidup, harga ikan kerapu
berkisar antara Rp. 15.000 – 75.000 kakap
merah Rp. 7.500 – 12.000 kakap putih Rp.
6.000 – 10.000 beronang Rp. 6.000 – 7.500
(pada hari raya Imlek/Cina berkisar Rp. Rp.
40.000 – 50.000) dan ikan lemak/siomai
berkisar Rp. 100.000 – 150.000.
tauvina. Kuwait lnst. for Sci. Res. : 56
– 58.
ANONYMOUS 1986. Manual on floating
netcage fish farming in Singapore's
coastal water. Fisheries Handbook No.
1. Primary Production Department,
Republic of Singapore : 17 pp.
ANONYMOUS 1994. Statistik perikanan Indonesia tahun 1992 no. 22. Direktorat
Jenderal Perikanan, Departemen
Pertanian, Jakarta : 73 pp.
ASIKIN, T. 1985. Budidaya ikan kakap. Seri
Perikanan XVII/119/85. Penerbit,
Penebar Swadaya : 58 pp.
BIROWO, S. dan H. UKTOLSEJA 1976.
Sifat-sifat oseanografis perairan panai
Indonesia. Makalah pada Simposium
Pendekatan
Ekologis
untuk
Pengelolaan Daerah Pesisir. Pertemuan
II Bogor, tanggal 29 – 31 Maret 1976 :
24 pp.
BO YD, C.E. and L. LICHTKOPPLER 1979.
Water quality management in pond
fish culture. Series No. 22, Auburn
University, Alabama : 30 pp.
DAFTAR PUSTAKA
AHMAD, T. et al. 1991. Operasional
pembesaran ikan kerapu dalam
keramba jaring apung. Balai Penelitian
Perikanan Budidaya Pantai Maros,
Badan Litbang Pertanian : 59 pp.
ALLEN, H.E. and K.H. MANCY 1972.
Design of measurement system for
water analysis. In : Leonard, L.C.
(ed.), Water and water pollution handbook volume 3. Marcel Dekker, Inc.
New York : 971 – 1020.
AKATSU, S., K.M. AL ABUDL-ELAH, N.
GHAZAL and S.K. TENG 1982. Effect of salinity and water temperature
on larval rearing and fingerling production of hamoor, Epinephelus
COLT, J.E. and D.A. AMSTRONG 1981.
Nitrogen toxicity to Crustacea, fish and
mollusca. Bio-engineering Symposium.
Stavanger 28 – 30 May, Vol. I. Berlin
: 34 – 47.
DAVITSON, B. 1981. The ammonia constrain in aquaculture. Oregon State,
student paper, Corvallis : 74 pp.
DIANI, S., MUSTAHAL, R. PURBA dan
MAYUNAR 1995. Penyakit yang
umum pada ikan laut budidaya.
Prosiding Seminar Sehari Hasil
Penelitian Sub Balai Penelitian
Perikanan Budidaya Pantai Bojonegara
– Serang, Cilegon 11 Maret 1995 : 44
– 53.
11
Oseana, Volume XX No. 2, 1995
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
MAYUNAR dan T. AHMAD 1990. Rekayasa
kurung apung untuk budidaya ikan
laut. Prosiding Seminar Pemanfaatan
Sumberdaya Hayati Lautan Bagi
Budidaya. Seri Pengembangan Hasil
Penelitian Perikanan No. : PHP/KAN/
10/1990 : 53 – 60.
PARKER, N. and M.C. BROUSARD 1977.
Selected bibliography of water reuse
system for aquaculture the Texas Agricultural Experiment Station. Texas :
34 pp.
SOPTTE, S.H. 1979. Fish and invertebrate
culture. Willey Inter Scientific. New
York : 155 pp.
SVERDRUP, H.G. JOHNSON and R.H.
FLEMING 1961. The ocean, their
physics, chemistry and general biology. Prentice–Hill, Inc. Englewood :
1087 pp.
WARDOJO, S.T.H. 1975. Pengelolaan
kwalitas air. Proyek Peningkatan Mutu
Perguruan Tinggi, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Bogor : 80 pp.
WIBISONO, R. 1990. Pemanfaatan
sumberdaya hayati laut berwawasan
lingkungan dalam kaitannya dengan
usaha budidaya. Prosiding Seminar
Pemanfaatan Sumberdaya Lautan Bagi
Budidaya. Seri Pengembangan Hasil
Penelitian Perikanan No. : PHP/KAN/
10/1990 : 18 – 33.
GAIGER, P.J. 1989. The market potential for
Indonesian seafarmed product: I. Finish. Seafarming Development Project
in Indonesia (INS/8/008) under the
auspisces of Directorate General of
Fisheries, Department of Agricultural, Government of Indonesia, FAORome : 67 pp.
GUNARSO, W. 1985. Tingkah laku ikan
dalam hubungannya dengan alat,
metode dan taktik penangkapan.
Fakultas Perikanan IPB : 150 pp.
IMANTO, P.T. dan A. BASYARIE 1993.
Budidaya ikan laut, pengembangan
dan permasalahannya. Prosiding Rapat
Teknis Ilmiah Penelitian Perikanan
Budidaya Pantai di Tanjung Pinang,
29 April – 1 Mei 1993 : 93 – 105.
KLH. 1988. Surat Keputusan Menteri Negara
Kependudukan dan Lingkungan Hidup
No. 02/MENKLH/I/1988 tanggal 19
Januari 1988.
MAYUNAR dan A. DJAMALI 1995. Status
dan perkembangan pembenihan ikan
laut di Indonesia. Makalah Penunjang
pada Seminar tentang Oseanologi dan
Ilmu Lingkungan Laut di P3O–LIPI
Jakarta, tanggal 17 April 1995 : 14 pp.
MAYUNAR 1990. Pengendalian senyawa
nitrogen pada budidaya ikan dengan
sistem resirkulasi. Oseana XV ( 1 ) :
43 – 55.
12
Oseana, Volume XX No. 2, 1995
Download