BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Fisiologi Pendengaran Manusia
Telinga merupakan alat indera yang memiliki fungsi untuk mendengar suara yang
berada di sekitar manusia dan sebagai alat keseimbangan (Soetirtio, 1990). Telinga
tersusun atas telinga bagian luar, telinga bagian tengah dan telinga bagian dalam (Adams,
dkk., 1997). Proses mendengar diawali dengan getaran suara yang ditangkap oleh daun
telinga dan mengenai membran timpani sehingga membran timpani bergetar. Getaran
tersebut diteruskan ke telinga tengah melalui tulang-tulang pendengaran dan akan melalui
membrane reissner yang mendorong endolimfa sehingga menimbulkan gerak antara
membran basilaris dan membran tektoria. Gerakan yang dihasilkan oleh membran
basilaris dan membran tektoria mengakibatkan rangsangan pada organ korti yang
bersambungan dengan ujung saraf pendengaran. Impuls kemudian dibawa ke pusat
sensorik pendengaran melalui saraf pusat yang ada di lobus temporalis dan dipersepsikan
sebagai bunyi tertentu (Nusyirawan, 2008).
2.2
Gangguan Pendengaran
2.2.1 Definisi gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran terjadi karena peningkatan ambang dengar dari batas nilai
normal (0–25 dBA) pada salah satu telinga ataupun keduanya (Soepardi, dkk., 2012).
1
Telinga manusia hanya mampu menangkap suara yang ukuran intensitasnya 85 dBA (batas aman)
dan dengan frekuensi suara berkisar antara 20 sampai dengan 20.000 Hz (Chandra, 2007). Batas
intensitas suara tertinggi adalah 140 dBA dimana jika seseorang mendengarkan suara dengan
intensitas tersebut maka akan timbul perasaan sakit pada alat pendengaran dan memicu seseorang
terkena gangguan pendengaran atau peningkatan ambang dengar (Utamiati, 2012). Menurut
Soepardi, dkk., (2012), seseorang dikatakan memiliki pendengaran yang normal apabila mampu
mendengar suara dengan intensitas ≤25 dBA sedangkan seseorang yang mengalami peningkatan
ambang pendengaran atau derajat ketulian akan dibagi menjadi tuli ringan, tuli sedang, tuli sedang
berat, tuli berat dan tuli sangat berat (Tabel 2.1).
Tabel 2.1 Klasifikasi Derajat Peningkatan Ambang Pendengaran
Klasifikasi
Ambang Pendengaran
Normal
0 – 25 dBA
Tuli ringan
26 – 40 dBA
Tuli sedang
41 – 55 dBA
Tuli sedang berat
56 – 70 dBA
Tuli berat
71 – 90 dBA
Tuli sangat berat
lebih dari 90 dBA
Sumber: Soepardi, Iskandar, Bashiruddin dan Ratna (2012)
2.2.2 Jenis-jenis gangguan pendengaran
Terdapat tiga jenis gangguan pendengaran (Soepardi, dkk., 2012) yakni:
1. Tuli konduktif
Pada gangguan jenis tuli konduktif terdapat gangguan hantaran suara yang
disebabkan oleh kelainan/penyakit di telinga luar atau di telinga tengah.
Gangguan pendengaran konduktif biasanya pada tingkat ringan atau menengah
dan bersifat sementara. Gangguan pendengaran konduktif dapat diatasi dengan
alat bantu dengar atau implan telinga tengah.
2. Tuli sensorineural
Gangguan jenis tuli sensorineural disebabkan oleh kerusakan sel rambut pada
organ korti yang terjadi akibat suara yang keras, infeksi virus, meningitis, dan
proses menua. Gangguan pendengaran sensorineural biasanya pada tingkat
ringan hingga berat dan bersifat permanen. Pada tingkat ringan dapat diatasi
dengan alat bantu dengar atau implan telinga tengah. Sedangkan implan rumah
siput seringkali merupakan solusi atas gangguan pendengaran berat atau parah.
3. Tuli campuran
Tuli campuran merupakan kombinasi dari tuli konduktif serta tuli sensorineural
dan kedua gangguan tersebut bisa terjadi bersama-sama seperti contoh radang
telinga tengah dengan komplikasi ke telinga dalam atau merupakan dua
penyakit yang berlainan, misalnya tumor nervus VIII (sensorineural) dengan
radang telinga tengah (konduktif).
2.3
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Daya Dengar
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi daya dengar menurut Kusumawati (2012) adalah
sebagai berikut:
1.
Kebisingan
Menurut Kementrian Lingkungan Hidup (1996), kebisingan adalah bunyi yang tidak
diinginkan dari suatu kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat
menimbulkan gangguan kesehatan manusia khususnya gangguan pendengaran dan
kenyamanan lingkungan. Gangguan pendengaran yang diakibatkan oleh kebisingan
berkaitan erat dengan masa kerja dan intensitas kerja. Jika dilihat berdasarkan masa
kerja, pekerja yang pernah/sedang bekerja di lingkungan bising selama lima tahun atau
lebih maka berisiko terkena penyakit gangguan pendengaran dan jika dilihat
berdasarkan intensitas kerja, pekerja akan berisiko terkena penyakit gangguan
pendengaran bila bekerja lebih dari 8 jam/hari dengan intensitas bising yang melebihi
85 dBA (Kusumawati, 2012). Pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor
KEP.51/MEN/1999 tentang nilai ambang batas faktor fisika di tempat kerja dijelaskan
bahwa seseorang tidak boleh terpajan bising lebih dari 140 dBA walaupun sesaat atau
dengan tingkat kebisingan ≥ 85 dBA selama lebih dari 8 jam kerja (Tabel 2.2)
Penelitian yang dilakukan pada pabrik baja di Desa Janti Sidoarjo menunjukan adanya
hubungan yang signifikan antara tingkat kebisingan dengan kejadian kehilangan
pendengaran (Harmadji dan Heri, 2004). Hal yang sama juga ditemukan pada
penelitian di pabrik semi konduktor Taiwan dimana pekerja yang terpapar bising ≥85
dBA selama 8 jam dan 12 jam mengalami gangguan pendengaran (Chou, 2009).
Tabel 2.2 Nilai Ambang Batas Kebisingan
Waktu Pemajanan
24
Intensitas Kebisingan dalam dBA
Jam
80
16
82
8
85
4
88
2
91
1
94
30
Menit
97
15
100
7.5
103
3.75
106
1.88
109
0.94
112
28.12
Detik
115
14.06
118
7.03
121
3.52
124
1.76
127
0.88
130
0.44
133
0.22
136
0.11
139
Catatan : Tidak boleh lebih dari 140 dBA walaupun Seaat.
Sumber: Kepmenaker No. 51 Tahun 1999
Jenis-jenis kebisingan menurut Suma’mur (2009) adalah sebagai berikut:
a. Kebisingan kontinyu
Kebisingan kontinyu adalah kebisingan yang datangnya secara terus menerus
dalam jangka waktu yang cukup lama. Kebisingan kontinyu dikelompokkan
menjadi dua yakni kebisingan kontinyu dengan spektrum frekuensi yang luas
seperti kipas angin dan air conditioner serta kebisingan kontinyu dengan
spektrum frekuensi sempit seperti gergaji sirkuler.
b. Kebisingan impulsif
Kebisingan impulsif adalah kebisingan yang karena adanya bunyi yang
menyentak seperti tembakan meriam dan ledakan.
c. Kebisingan impulsif berulang
Kebisingan ini hampir sama dengan kebisingan impulsif, hanya saja bising
ini terjadi berulang-ulang. Contoh kebisingan impulsif berulang adalah
kebisingan yang bersumber dari mesin tempa di perusahaan.
d. Kebisingan terputus-putus
Kebisingan terputus-putus adalah kebisingan yang berlangsung secara
berkala seperti suara lalu lintas kendaraan dan pesawat terbang.
Pesawat merupakan sumber kebisingan terbesar yang berada di area bandara.
Kebisingan yang ditimbulkan oleh pesawat berasal dari mesin pesawat terutama pada
pergerakan fan dan compressor dimana kebisingan yang tinggi terjadi pada saat
pesawat akan terbang lepas landas atau takeoff (Kandou dan Mulyono, 2014). Pada
penelitian kajian kebisingan di Bandara Ahmad Yani Semarang yang dilakukan oleh
Chaeran (2008) menyatakan bahwa tingkat kebisingan di saat pesawat terbang akan
take off lebih tinggi dari pada pesawat pesawat terbang menuju apron (landing).
Instrumen yang dapat digunakan dalam pengukuran kebisingan antara lain:
a. Sound level meter
Sound level meter digunakan untuk mengetahui intensitas kebisingan di tempat
kerja yang terdiri dari mikrofon, amplifier, dan sirkuit attenuator, alat inidapat
mengukur kebisingan antara 30-130 dBA dan dari frekuensi 20−20.000Hz (Utami,
2010). Terdapat dua metode pengukuran tingkat kebisingan dengan menggunakan
instrumen sound level meter yaitu dengan cara sederhana dan cara langsung
(MENLH, 1996). Metode pengukuran dengan cara sederhana adalah mengukur
tingkat tekanan bunyi selama 10 menit untuk tiap titik pengukuran dan pembacaan
dilakukan setiap lima detik. Metode pengukuran dengan cara langsung adalah
dengan melakukan pengukuran selama 24 jam dengan cara pada siang hari selama
16 jam dan malam hari selama 8 jam pada tiap titik pengukuran.Setiap pengukuran
harus dapat mewakili selang waktu tertentu dengan menetapkan paling sedikit 4
waktu pengukuran pada siang hari dan pada malam hari paling sedikit 3 waktu
pengukuran.
Terdapat tiga cara dalam menentukan titik pengukuran yakni dengan titik sampling,
pembuatan peta kontur dan pengukuran dengan grid. Pengukuran dengan titik
sampling dilakukan bila kebisingan diduga melebih ambang batas hanya pada satu
atau beberapa lokasi saja. Pengukuran dengan peta kontur dilakukan dengan
membuat gambar isoplet pada kertas berkala dan kode pewarnaan untuk
menggambarkan keadaan kebisingan. Warna hijau untuk kebisingan dibawah 85
dBA, warna orange untuk kebisingan diatas 90 dBA dan warna kuning untuk
kebisingan dengan intensitas antara 85 sampai 90 dBA. Pengukuran dengan grid
adalah dengan membuat contoh data kebisingan pada lokasi yang diinginkan
dimana titik-titik pengukuran tersebut harus dibuat dengan jarak interval yang sama
di seluruh lokasi misalnya lokasi pengukuran dibagi menjadi beberapa kotak
dengan ukuran dan jarak yang sama yakni 10 x 10 meter.
b. Noise dosimeter
Noise dosimeter adalah alat untuk mengukur dan menyimpan level kebisingan
selama waktu pajanan dan digunakan untuk personal monitoring. Dosimeter
mengukur jumlah bunyi yang didengar pekerja selama shiftnya yakni 8 jam, 10 jam,
12 jam atau berapapun lamanya. Dosimeter dipasang pada sabuk pinggang dan
sebuah microphone kecil dipasang di dekat telinga.
Pekerja yang bekerja di lingkungan bising dapat menggunakan alat pelindung telinga
untuk mencegah terkena gangguan pendengaran. Pemilihan alat pelindung telinga
disesuaikan dengan tingkat kebisingan yang ada di lingkungan kerja. Terdapat
berbagai jenis alat pelindung telinga yakni sumbat telinga (ear plugs) yang dapat
mengurangi bising hingga 30 dBA, tutup telinga (ear muffs) yang dipergunakan untuk
mengurangi bising 40 dBA sampai 50 dBA dan enclosure dipergunakan untuk
mengurangi bising maksimum 35 dBA. Alasan ketika pekerja tidak menggunakan alat
pelindung telinga padahal mereka mengetahui bahaya kebisingan yang ada di sekitar
mereka dikarenakan adanya rasa ketidaknyamanan, kurang kepedulian terhadap
keselamatan, desain alat pelindung telinga yang mengganggu proses kerja dan
kurangnya pengetahuan terhadap NIHL (Bogoch, 2005). Selain menggunakan alat
pelindung telinga, pengendalian kebisingan di tempat kerja juga dapat berupa
pengendalian secara teknis dan administratif (Babba, 2007). Pengendalian secara
teknis dapat dilakukan pada sumber bising, media yang dilalui bising serta jarak
sumber bising terhadap pekerja. Terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan pada
pengendalian teknis yakni dengan mengganti peralatan yang lama dengan peralatan
baru, melumasi semua bagian yang bergerak, mengisolasi peralatan yang menjadi
sumber kebisingan, memberikan bantalan karet pada peralatan untuk mengurangi
getaran yang ditimbulkan dan menambah sekat dengan menggunakan bahan yang
dapat menyerap bising. Pengendalian administratif meliputi rotasi jam kerja pada
pekerja yang terpapar kebisingan dengan intensitas tinggi ke tempat yang memiliki
intensitas kebisingan yang lebih rendah.
2.
Umur
Gangguan pendengaran akibat bertambahnya umur disebabkan oleh perubahan
patologi pada organ auditori (Kusumawati, 2012). Perubahan patologi yang terjadi
antara lain pada telinga luar dengan perubahan yang paling jelas berupa berkurangnya
elastisitas jaringan daun telinga dan liang telinga. Perubahan lainnya adalah adanya
penyusutan jaringan lemak yang memiliki fungsi sebagai bantalan pada telinga.
Penyusutan jaringan lemak tersebut menyebabkan kulit daun telinga dan liang telinga
menjadi kering dan mudah mengalami trauma. Pada bagian membran timpani, tulang
pendengaran serta otot-otot di bagian telinga tengah juga mengalami perubahan yakni
adanya penipisan dan kekakuan pada membran timpani. Persendian yang berada di
antara tulang-tulang pendengaran juga mengalami artritis sendi, hal tersebut terjadi
karena adanya degenerasi serabut otot pendengaran.
Selain telinga bagian luar dan telinga bagian tengah, telinga bagian dalam juga
mengalami perubahan patologi. Bagian yang paling rentan mengalami perubahan
adalah koklea. Proses degenerasi terjadi pada bagian sel rambut luar di bagian basal
koklea. Koklea atau yang sering disebut dengan rumah siput berfungsi untuk
mengubah bunyi dari getaran menjadi sinyal. Sinyal tersebut akan dikirimkan ke otak
melalui saraf auditori. Proses tersebut dilakukan oleh sel rambut yang berada di dalam
koklea. Jika rambut-rambut tersebut tidak berfungsi dengan baik maka seseorang akan
mengalami ketulian (Adams, dkk., 1997).
3.
Penggunaan obat-obatan yang bersifat ototoksik
Mengkonsumsi obat-obatan yang memiliki sifat ototoksik seperti antibiotik
aminoglikosid selama 14 hari baik diminum ataupun melalui suntikan akan dapat
menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran (Kusumawati, 2012). Ototoksik
adalah gangguan pendengaran yang terjadi akibat efek samping dari konsumsi obatobatan.
Beratnya gangguan pendengaran yang terjadi sebanding dengan lama pemakaian, jenis
obat dan jumlah obat yang diberikan serta kondisi ginjal. Gangguan pendengaran yang
disebabkan oleh penggunaan obat yang bersifat ototoksik tidak dapat diobati maka
sangat penting dilakukan proses pencegahan ataupun penanggulangan seperti
menghentikan konsumsi obat yang bersifat ototoksik dan melakukan rehabilitasi
dengan menggunakan alat bantu dengar.
4.
Riwayat infeksi telinga
Otitis media (OA) merupakan peradangan telinga tengah yang disebabkan oleh virus
ataupun bakteri. Otitis media merupakan suatu infeksi yang memicu terjadinya
peradangan dan penumpukan cairan pada telingag tengah. Bakteri yang dapat
menyebabkan otitis media adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae
dan Moraxella cattarhalis. Sedangkan virus yang dapat menyebabkan otitis media
adalah Respiratory syncytial virus, Influenza virus, Rhinovirus dan Adenovirus.
Telinga yang terinfeksi bakteri atau virus dapat memicu timbulnya tinnitus. Tinnitus
adalah suara yang berdengung di satu atau pada kedua telinga. Tinnitus dapat timbul
pada telinga bagian luar, telinga bagian tengah, atau telinga bagian dalam.
5.
Kebiasaan merokok
Kebiasaan merokok adalah kebiasaan membakar tembakau kemudian menghisap
asapnya baik menggunakan rokok ataupun melalui pipa (Fawzani, dkk., 2005).
Kebiasaan merokok merupakan salah satu penyebab terkena penyakit gangguan
pendengaran (Kusumawati, 2012). Kandungan pada rokok yang menjadi penyebab
terjadinya gangguan pendengaran adalah zat nikotin. Zat nikotin merupakan zat yang
bersifat ototoksik. Karbonmonoksida yang terkandung dalam rokok juga mempunyai
dampak menimbulkan penyakit gangguan pendengaran. Kandungan karbonmonoksida
pada rokok menyebabkan iskemia melalui produksi karboksi-hemoglobin (ikatan
antara CO dan hemogoblin), dengan terbentuknya ikatan tersebut maka menyebabkan
hemoglobin tidak efisien dalam mengikat oksigen. Suplai oksigen ke organ korti di
koklea menjadi terganggu dan menimbulkan efek iskemia.
Seorang perokok yang mengkonsumsi rokok kurang dari 10 batang rokok/hari disebut
sebagai perokok ringan. Perokok sedang adalah seseorang yang mengkonsumsi rokok
antara 10 sampai dengan 20 batang per hari sedangkan perokok berat adalah seseorang
yang mengkonsumsi rokok lebih dari 20 batang per hari (Bustan, 2007).
Penelitian yang dilakukan oleh Baktiansyah (2004) tentang hubungan merokok dengan
gangguan pendengaran di kalangan pekerja pria PT-X menyatakan bahwa perokok
dengan klasifikasi perokok sedang dan perokok berat memiliki risiko 5,4 kali lebih
besar terkena gangguan pendengaran dibandingkan dengan perokok ringan.
2.4
Tes Pendengaran
Untuk mengetahui seseorang mengalami gangguan pendengaran maka perlu dilakukan tes
pendengaran dengan menggunakan tes berbisik, tes garputala atau audiometri.
1.
Tes Berbisik
Pemeriksaan ini bersifat semi kuantitatif yakni menentukan derajat ketulian secara
kasar dengan hasil tes berupa jarak pendengaran (jarak antara pemeriksa dengan
pasien). Hal yang perlu diperhatikan dalam tes berbisik ini adalah ruangan yang cukup
tenang dengan panjang minimal 6 meter (Soepardi, dkk., 2012). Seseorang yang
mampu mendengar dengan jarak 6 sampai dengan 8 meter dikatagorikan normal,
kurang dari 6 sampai dengan empat meter dikatagorikan tuli ringan, kurang dari empat
sampai dengan satu meter dikatagorikan tuli sedang, kurang dari satu meter sampai
dengan 25 cm dikatagorikan tuli berat dan kurang dari 25 cm dikatagorikan sebagai
tuli total.
2.
Tes Audiometri
Pemeriksaan audiometri bertujuan untuk mengetahui derajat ketulian secara kuantitatif
dan mengetahui keadaan fungsi pendengaran secara kualitatif (pendengaran normal,
tuli konduktif, tuli sensoneural dan tuli campuran). Pemeriksaan audiometri diawali
dengan menempatkan pasien pada ruangan kedap suara, selanjutnya pasien akan
mendengarkan bunyi yang dihasilkan oleh audiogram melalui earphone. Pasien harus
memberi tanda saat mulai mendengar bunyi dan saat bunyi tersebut menghilang. Cara
membaca hasil audiometri adalah dengan melihat grafik yang dihasilkan. Grafik Air
Conductor (AC) untuk menunjukan hantaran udara, sedangkan grafik Bone Conductor
(BC) untuk melihat hantaran tulang. Telinga kiri ditandai dengan warna biru,
sedangkan telinga kanan ditandai dengan warna merah.
Derajat ketulian dapat dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher, adapun rumus
dari indeks Fletcher yaitu: Ambang Dengar (AD) = AD 500 Hz + AD 1.000 Hz + AD
2.000 Hz + AD 4.000 Hz (Soepardi, dkk., 2012). Derajat pendengaran seseorang yang
masih berada diantara 0 sampai dengan 25 dBA dikatagorikan normal, 26 sampai 40
dBA dikatagorikan sebagai penurunan gangguan pendengaran ringan, 41 sampai 55
dBA dikatagorikan sebagai penurunan gangguan pendengaran sedang, 56 sampai 70
dBA dikatagorikan sebagai tuli sedang berat, 71 sampai 90 dBA dikatagorikan sebagai
tuli berat dan jika lebih dari 90 dBA maka dikatagorikan sebagai tuli sangat berat.
Jika dilihat berdasarkan hasil grafik audiogram, seseorang dikatagorikan normal
apabila konduksi udara lebih bagus dari konduksi tulang. Hal ini dapat teridentifikasi
apabila grafik BC berimpit dengan grafik AC dan AC serta BC sama atau kurang dari
25 dBA. Gangguan pendengaran konduktif dapat teridentifikasi jika grafik AC turun
lebih dari 25 dBA dan BC normal atau kurang dari 25 dBA. Kondisi gangguan
pendengaran konduktif terjadi jika konduksi tulang lebih baik dari konduksi udara.
Kemudian, seseorang dikatakan gangguan pendengaran sensorineural jika konduksi
udara lebih baik dari konduksi tulang. Letak grafik pada penderita gangguan
sensorineural adalah grafik BC berimpit dengan grafik AC, namun kedua grafik turun
lebih dari 25 dBA. Sedangkan gangguan pendengaran campuran terjadi jika grafik BC
turun lebih dari 25 dBA dan AC turun lebih besar dari BC (Soepardi, dkk., 2012).
3.
Tes Garputala
Pemeriksaan menggunakan garputala atau tes penala merupakan pemeriksaan secara
kualitatif. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui jenis gangguan pendengaran.
Terdapat berbagai macam tes garputala seperti tes Rinne, tes Weber dan tes
Schwabach.
a. Tes Rinne
Pada saat dilakukannya tes, pasien harus fokus terlebih dahulu setelah pasien
fokus maka tindakan selanjutnya adalah menggetarkan garputala. Garputala
yang sedang bergetar diletakkan di prosesus mastoid setelah tidak terdengar
maka garputala diletakkan di depan telinga kira-kira 2,5 cm. Apabila bunyi
garputala masih terdengar maka disebut tes Rinne positif (+) namun apabila
bunyi garputala tidak terdengar maka disebut tes Rinne negatif (-).
b. Tes Weber
Garputala yang bergetar diletakkan pada garis tengah kepala (di vertex, dahi,
pangkal hidung, ditengah-tengah gigi seri atau dagu). Apabila bunyi garputala
tedengar lebih keras pada salah satu telinga maka disebut lateralisasi kepada
telinga yang mendengar bunyi tersebut. Bila pasien tidak dapat membedakan
telinga yang mendengar bunyi lebih keras maka disebut Weber tidak ada
lateralisasi.
c. Tes Schwabach
Garputala yang bergetar didekatkan pada prosesus mastoideus sampai tidak
terdengar bunyi. Kemudian garputala dipindahkan pada prosesus mastoideus
telinga pemeriksa yang pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat
mendengar bunyi garputala maka disebut Schwabach memendek. Namun jika
pemerika tidak mendengar, pemeriksaan akan diulang dengan cara sebaliknya
yakni garputala yang sudah digetarkan diletakkan pada prosesus mostoideus
pemeriksa lebih dahulu. Bila pasien masih dapat mendengar bunyi garputala
maka disebut Schwabach memanjang namun bila pemeriksa dan pasien samasama mendengar maka disebut Schwabach sama dengan pemeriksa.
Adapun hasil pemeriksaan pendengaran dengan menggunakan garputala dapat
dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Hasil Pemeriksaan Menggunakan Garputala
Tes Rinne
Tes Weber
Tes Schwabach
Diagnosis
Positif
Tidak ada lateralisasi
Sama dengan pemeriksa
Normal
Negatif
Lateralisasi ke telinga
Memanjang
Tuli konduktif
Memendek
Tuli sensorineural
yang sakit
Positif
Lateralisasi ke telinga
yang sehat
Sumber: Soepardi, Iskandar, Bashiruddin dan Ratna (2012)
Download