penafsiran hukum

advertisement
PENAFSIRAN HUKUM
PERTEMUAN - 09


Penafsiran hukum adalah suatu upaya yang pada
dasarnya menerangkan, menjelaskan, menegaskan
baik dalam arti memperluas maupun membatasi/
mempersempit pengertian hukum yang ada dalam
rangka penggunaannya untuk memecahkan
masalah atau persoalan yang sedang dihadapi.
Istilah lain untuk penafsiran hukum adalah
interpretasi hukum.
Cara Penafsiran Hukum
1.
Dalam pengertian subyektif dan obyektif.
− Dalam pengertian subyektif, apabila ditafsirkan
seperti yang di kehendaki oleh pembuat undangundang.
− Dalam pengertian obyektif, apabila penafsiran
lepas dari pada pendapat pembuat undangundang dan sesuai dengan adat bahasa seharihari.
2.
Dalam pengertian sempit dan luas.
−
Dalam pengertian sempit (restriktif), yakni apabila dalil yang
ditafsirkan diberi pengertian yang sangat dibatasi.
Misalnya : pengertian Mata uang (Pasal 1756 KUHPer), hanya uang
logam saja, dan barang diartikan benda yang dapat dilihat dan
diraba saja.
−
Dalam pengertian luas (ekstensif), yakni apabila dalil yang di tafsirkan
diberi pengertian seluas-luasnya.
Misalnya: Pasal 1756 alinea ke-2 KUHPer tentang mata uang juga
diartikan uang kertas.
Barang (Pasal 362 KUHPer) yang dulu hanya diartikan benda yang
dapat dilihat dan diraba sekarang juga termasuk aliran listrik.

Berdasarkan sumbernya penafsiran dapat bersifat:
1.
Otentik, yaitu penafsiran seperti yang diberikan oleh pembuat
undang-undang yang dilampir-kan pada undang-undang
sebagai penjelasan.
Penafsiran ini mengikat umum.
2.
Doktrinair, yaitu penafsiran yang didapat dalam buku-buku dan
lain-lain hasil karya para ahli.
Hakim tidak terikat karena penafsiran ini hanya memiliki nilai
teoritis.
3.
Hakim, penafsiran yang bersumber pada hakim (peradilan)
hanya mengikat pihak-pihak yang bersangkutan dan berlaku
bagi kasus-kasus tertentu (Pasal 1917 ayat (1) KUHPer).
Macam-macam Metode Penafsiran
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Penafsiran Gramatikal
Penafsiran Historis
Penafsiran Sistematis
Penafsiran Sosiologis
Penafsiran Otentik
Penafsiran Perbandingan
Penafsiran Gramatikal



Penafsiran Gramatikal adalah menafsirkan katakata atau istilah dalam perundang-undangan
berdasarkan kaidah bahasa (hukum tata bahasa).
Dalam hal ini hakim wajib mencari arti kata-kata
yang lazim dipakai dalam bahasa sehari-hari yang
umum. Oleh karena itu dipergunakan kamus
bahasa atau meminta bantuan pada para ahli
bahasa.
Contoh : kata “Menggelapkan“ = menghilangkan
dan kata “Meninggalkan“ = menelantarkan.

Misal :
−
−
−
Peraturan per Undang-Undangan yang melarang orang menghentikan
“Kendaraannya” pada suatu tempat. Kata kendaraan bisa ditafsirkan
beragam, apakah roda dua, roda empat atau kenderaan bermesin,
bagaimana dengan sepeda dan lain-lain (E Utrecht). Jadi harus
diperjelas dengan kendaraan yang mana yang dimaksudkan.
Mengenai istilah “dipercayakan” yang tercantum dalam pasal 342
KUHP Mis : sebuah paket yang diserahkan kepada Dinas Perkereta
Apian (KAI). Sedangkan yang berhubungan dengan pengiriman tidak
ada selain Dinas tersebut artinya dipercayakan.
Istilah “menggelapkan” dalam pasal 41 KUHP sering ditafsirkan
sebagai menghilangkan.

Contoh : dalam Pasal 1 Penetapan Presiden No. 2
Tahun 1964 yang mengatur tentang tata cara
pelaksanaan hukuman mati di Indonesia hanya
menegaskan bahwa pelaksanaan hukuman mati
dengan cara ditembak.
Tetapi meskipun demikian, secara gramatikal tentunya
dapat ditafsirkan bahwa penembakan itu bukanlah
asal sembarang tembak, melainkan penembakan yang
menyebabkan kematian terpidana, atau dengan kata
lain terpidana ditembak sampai mati.
Penafsiran Historis


Penafsiran Historis adalah menafsirkan undang-undang dengan
cara melihat sejarah terjadinya suatu undang-undang itu dibuat.
Penafsiran ini ada 2 macam :
1.
Sejarah hukumnya.
Metode penafsiran yang ingin memahami undang-undang dalam
konteks seluruh sejarah hukum.
Contoh : Jika kita ingin mengetahui betul-betul makna yang
terkandung dalam suatu perundang-undangan, kita tidak hanya
sekedar meneliti sejarah hingga terbentuknya undang-undang itu
saja, melainkan juga masih harus diteliti lebih panjang proses
sejarah yang mendahuluinya.
Misal meneliti KUHP, tidak cukup meneliti
pembentukannya saja, tetapi lebih luas lagi latar
belakang sejarahnya.
UU tentang Tindak Pidana Korupsi hanya dapat
dimengerti jika kita memahami sejarah
pemberantasan korupsi di Indonesia.
2.
Sejarah undang-undangnya.
Mencari maksud dari perundang-undangan itu
seperti apa yang dilihat oleh pembuat undangundang ketika undang-undang itu dibentuk.
Jadi, dalam metode penafsiran ini, kehendak
pembuat undang-undang yang dianggap
menentukan.
Oleh karena itu, penafsiran sejarah undang-undang
ini bersumber dari surat-surat dan pembahasan di
lembaga legislatif ketika undang-undang itu dalam
proses penggodokan.
Penafsiran Sistematis


Penafsiran sistematis yaitu penafsiran hukum yang
menghubungkan pasal yang satu dengan pasal yang lain
dalam suatu per Undang-Undangan yang bersangkutan,
atau dengan Undang-Undang lain, serta membaca
penjelasan Undang-Undang tersebut sehingga kita
memahami maksudnya.
Contoh : tentang “makar” yang diatur dalam Pasal 87
KUHP secara sistematis dapat ditafsirkan sebagai dasar
bagi pasal-pasal 104-108 KUHP, Pasal 130 KUHP, dan
Pasal 140 KUHP yang mengatur tentang aneka macam
makar beserta sanksi hukumnya masing-masing bagi para
pelakunya.

Contoh lain :
Dalam pasal 1330 KUHPer menyatakan “Tidak
cakap membuat persetujuan/perjanjian antara lain
orang-orang yang belum dewasa”.
Timbul pertanyaan : “Apakah yang dimaksud
dengan orang-orang yang belum dewasa”?
Untuk hal tersebut harus dikaitkan pada pasal 330
KUHPer yang mengatur batasan orang yang belum
dewasa yaitu belum berumur 21 tahun.
Penafsiran Sosiologis


Penafsiran Sosiologis merupakan metode penafsiran
hukum yang menetapkan makna undang-undang
berdasarkan tujuan kemasyarakatan, artinya peraturan
perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan
dan situasi sosial yang baru.
Ketentuan Undang-undang yang sudah tidak sesuai
lagi disesuaikan dengan keadaan sekarang untuk
memecahkan/menyelesaikan sengketa dalam
kehidupan masyarakat. Peraturan yang lama dibuat
aktual.



Penafsiran seperti ini yang harus dimiliki lebih banyak pada hakimhakim di Indonesia, mengingat negara Indonesia yang pluralistik
dan kompleks. Peraturan per Undang-Undangan dalam tatanan
Hukum Nasional harus diterjemahkan oleh para hakim sesuai kondisi
sosial suatu daerah.
Umpamanya : Didaerah suku Dayak di Kalimantan, tanah dianggap
seperti ibu yang dapat dimiliki oleh setiap orang dan harus
dijaga/dirawat layaknya menjaga/merawat seorang ibu.
Dalam hal ini hakim harus menyerasikan pandangan sosial
kemasyarakatannya dengan Undang-undang No. 5 tahun 1960
tentang Pokok-pokok Agraria.
Penafsiran Otentik


Penafsiran Otentik merupakan penafsiran hukum yang
resmi yang diberikan oleh pembuat Undang-Undang
tentang arti kata-kata yang digunakan dalam Undangundang tersebut.
Contoh : Dalam Titel IX Buku I KUHP memberi
penjelasan secara resmi (authentik) tentang arti
beberapa kata/sebutan didalam KUHP. Seperti dalam
Pasal 97 KUHP yang dimaksud “sehari” adalah masa
yang lamanya 24 jam, “sebulan” adalah masa yang
lamanya 30 hari.
Penafsiran Perbandingan


Penafsiran Perbandingan merupakan penafsiran
hukum dengan membandingkan antara hukum lama
dengan hukum positif yang berlaku saat ini, antara
hukum nasional dengan hukum asing dan hukum
kolonial.
Contoh :
− Hukum lama dengan hukum positif yang berlaku saat
ini, mungkin hukum lama cocok untuk diterapkan lagi
pada masa sekarang ini. Misalnya, beberapa hukum
adat, yang menggambarkan unsur kekeluargaan,
dapat diambil untuk dijadikan hukum nasional.
−
−
Hukum nasional dengan hukum asing. Pada nasional terdapat
kekurangan. Apabila ada keinginan untuk mengambil alih hukum
asing/ negara lain apakah hukum asing itu cocok dan sesuai
dengan kepentingan nasional. Misalnya, hukum hak cipta yang
terdapat di negara maju, dipertimbangkan apakah sudah
waktunya negara kita mempunyai Undang-Undang Hak Cipta,
yang berarti buku-buku ilmiah tidak boleh diterjemahka,n,
disadur, atau difotocopy dan diperbanyak. Apakah buku-buku
ilmiah harganya terjangkau oleh rakyat kalau keluar UndangUndang Hak Cipta itu.
Hukum kolonial peninggalan penjajah, karena asas konkordasi
oleh negara merdeka masih tetep dipergunakan.
Pengisian Kekosongan Hukum

Pekerjaaan pembuatan Undang-Undang mempunyai
dua aspek, yaitu :
1. Pembuat Undang-Undang hanya menetapkan
peraturan-peraturan umum saja. Pertimbanganpertimbangan tentang hal-hal yang konkret
diserahkan kepada hakim.
2. Pembuat Undang-Undang selalu ketinggalan dengan
kejadian-kejadian sosial yang timbul kemudian di
dalam masyarakat, maka hakim sering menambah
Undang-Undang itu.

Jika hakim menambah peraturan perundangundangan, berarti bahwa hakim mengisi
kekosongan dalam sistem hukum formil dan tata
hukum yang berlaku.

Konsep penemuan hukum oleh hakim terutama
dipelopori oleh aliran terbukanya hukum oleh Paul
Scholten, di mana ia mengemukakan :
1. Hukum bukan suatu sistem hukum tertulis yang
tidak boleh diubah sebelum badan pembuat
Undang-Undang mengubahnya.
2. Keterbukaan sistem hukum berhubungan dengan
persoalan kekosongan dalam hukum.

Ada 2 macam kekosongan dalam hukum, yaitu :
1.
2.
Kekosongan hukum sendiri, yaitu jika hakim mengatakan bahwa
ia menemukan suatu kekosongan, karena ia tidak mengetahui
bagaimana ia harus memberi putusannya;
Kekosongan dalam perundang-undangan, yaitu dengan
konstruksi dan penalaran logis pun, problemnya masih tetap
tidak terpecahkan. Dalam hal ini halim harus mengisi kekosongan
ini, seperti ia berada pada kedudukan sebagai pembuat
Undang-Undang dan memberi putusannya, seperti halnya jika
pembuat Undang-Undang itu akan memberikan putusannya
dalam menghadapi kasus seperti itu.
Konstruksi Hukum



Konstruksi hukum dapat dilakukan apabila suatu perkara
yang diajukan kapada hakim, namun tidak ada ketentuan
yang mengatur perkara tersebut meskipun telah dilakukan
penafsiran hukum, sekalipun telah ditafsirkan menurut
bahasa, sejarah, sistematis dan sosiologis.
Begitu juga apabila perkara tersebut tidak terselesaikan
oleh hukum kebiasaan atau hukum adat.
Dalam hal itu, hakim harus memeriksa kembali sistem hukum
yang menjadi dasar lembaga hukum tersebut, apabila
dalam beberapa ketentuan mengandung kesamaan, maka
hakim membuat suatu pengertian hukum yang mengandung
persamaan.



Membuat pengertian hukum adalah suatu perbuatan
yang bersifat mencari asas hukum yang menjadi dasar
peraturan hukum yang bersangkutan, adalah konstruksi
hukum.
Konstruksi hukum tidak dapat diadakan secara
sewenang-wenang, harus didasarkan atas pengertian
hukum yang ada dan dalam undang-undang yang
bersangkutan.
Konstruksi hukum tidak boleh didasarkan atas analisiranalisir (elemen-elemen) yang diluar sistem materi
positif
Jenis-jenis Metode Konstruksi
1.
2.
3.
Konstruksi Hukum atau Penafsiran Analogis
Penghalusan Hukum
Argumentum a Contrario (Pengungkapan
secara Berlawanan)
Konstruksi Hukum atau Penafsiran Analogis



Penafsiran Analogis adalah penafsiran daripada suatu peraturan
hukum dengan memberi ibarat (kias) pada kata-kata tersebut
sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang
sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan
bunyi peraturan tersebut, misalnya kata “menyambung aliran listrik”
dianalogikan dengan “mengambil aliran listrik”.
Menganalogi merupakan penciptaan konstruksi baru, mempunyai
kesamaan permasalahan dengan anasir yang berlainan.
Pada prinsipnya analogi berlaku untuk masalah-masalah hukum
perdata terutama sekali di dalam hukum perikatan, sedangkan
untuk hukum publik yang sifatnya memaksa tidak boleh dilakukan
analogi karena terikat pada pasal 1 KUHPidana.

Berikut beberapa contoh mengenai analogi:
−
−
−
Pasal 1546 KUH Perdata berbunyi sebagai berikut: “untuk selainnya aturan
tentang perjanjian jual beli berlaku terhadap perjanjian tukar menukar”
dalam pasal tersebut perjanjian tukar menukar dianalogikan dengan perjanjian
jual beli.
Pasal 452 ayat (3) KUHPerdata berbunyi sebagai berikut: “ketentuan undangundang mengenai perwalian atas anak-anak belum dewasa tercantum
dalam pasal 331 sampai dengan pasal 334, dalam pasal 362, 367, 369
sampai dengan pasal 388, 391 dan berikutnya dalam bagian ini dan 13 bab
XV berlaku juga terhadap pengampuan” dalam ketentuan ini dapat kita lihat
bahwa pengampuan dianalogikan dengan perwalian atas anak-anak belum
dewasa.
Sedangkan di dalam Bab XIII buku III KUHPerdata perjanjian kredit atau
pinjam meminjam uang antara nasabah dengan bank di analogikan dengan
perjanjian pinjam mengganti.
Penghalusan Hukum




Penghalusan hukum ialah memperlakukan hukum
sedemikian rupa (secara halus) sehingga seolah-olah
tidak ada pihak yang disalahkan.
Penghalusan hukum merupakan kebalikan dari analogi
hukum. Penghalusan hukum bermaksud mengisi
kekosongan hukum dalam sistem undang-undang.
Penghalusan hukum merupakan penyempurna sistem
hukum oleh hakim.
Sifat dari penghalusan hukum adalah tidak mencari
kesalahan dari para pihak dan apabila satu pihak
disalahkan maka akan timbul ketegangan.

Contoh di dalam penghalusan hukum ialah:
Di suatu jalan terjadi tabrakan antara mobil A dan
mobil B, kedua kendaraan tersebut berjalan dengan
kecepatan yang cukup tinggi sehingga kedua
kendaraan tadi sama-sama rusak dalam keadaan
yang cukup parah. Apabila A meminta ganti kerugian
terhadap B maka B pun bisa melakukan hal yang sama
yaitu meminta ganti kerugian terhadap A, sehingga
keduanya dinyatakan bersalah, sama-sama saling
memberi ganti rugi sehingga terjadi kompensasi.
Argumentum a Contrario (Pengungkapan
secara Berlawanan)



Penafsiran a Contrario adalah penafsiran undang-undang
yang didasarkan atas pengingkaran, artinya berlawanan
pengertian antara soal yang dihadapi dengan soal yang
diatur dalam suatu pasal dalam undang-undang.
Bedasarkan pengingkaran ini ditarik kesimpulan bahwa
masalah perkara yang dihadapi tidak termasuk pasal yang
dimaksud, masalahnya berada diluar peraturan perundangundangan.
Penafsiran a contrario bertolak belakang dengan
penafsiran analogis yang juga merupakan suatu konstruksi
hukum dengan maksud mengisi kekosongan dalam sistem
undang-undang.

Contoh dari Argumentum a Contrario adalah berdasarkan
Pasal 34 KUHPerdata menyatakan bahwa seorang wanita
tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat waktu 300
hari sejak saat perceraian sedang dalam pasal 39 PP
No.9/1975 sebagai pelaksana UU No. 1/1974 berbunyi
waktu tunggu seorang janda apabila cerai karena kematian
untuk menikah lagi yaitu 3 kali suci atau 90 hari, tetapi hal
ini tidak berlaku untuk seorang pria, seorang pria tidak
diwajibkan menunggu 90 hari setelah cerai mati apabila
ingin menikah kembali.
Perbedaan antara Argumentum a Contrario
dengan penafsiran Analogis
No.
Penafsiran Analogis
1. Memperoleh hasil yang
positif
2. Mempeluas berlakunya
ketentuan hukum atau
peraturan perundangundangan
Penafsiran a Contrario
Memperoleh hasil yang
negatif
Mempersempit
berlakunya ketentuan
undang-undang.

Selain itu, ada beberapa persamaan antara penafsiran analogis
dengan penafsiran a contrario yaitu sebagai berikut :
a)
b)
c)
d)
Penggunaan undang-undang secara analogi dan argumentum a
contrario sama-sama berdasarkan konstruksi hukum;
Kedua cara tersebut sama-sama dapat dipergunakan untuk
menyelesaikan suatu masalah;
Kedua cara tersebut sama diterapkan sewaktu pasal dalam
peraturan perundang-undangan tidak menyebut masalah yang
dihadapi (terdapat ruang kososng di dalam peraturan
perundang-undangan);
Maksud dan tujuan antara dua cara tersebut ialah sama untuk
mengisi kekosongan di dalam undang-undang.
Download