pentingnya keilmuan epidemiologi dalam melakukan analisis risiko

advertisement
PENTINGNYA KEILMUAN EPIDEMIOLOGI DALAM MELAKUKAN ANALISIS RISIKO
PEMASUKAN (IMPORT RISK ANALYSIS) HEWAN DARI LUAR NEGERI
KE DALAM WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Oleh:
drh. Mario Lintang Pratama, M.Sc.
I. Pendahuluan
Epidemiologi telah membuat kontribusi besar bagi keilmuan veteriner, khususnya memainkan
fungsinya dalam mengintegrasikan banyak metodologi ilmu pengetahuan (virologi, bakteriologi,
parasitologi, entomologi, ekologi, molekular biologi, kesehatan lingkungan, kesehatan masyarakat,
biostatistika, dll) sebagai pertimbangan teknis bagi otoritas veteriner untuk mengambil keputusan.
Hal ini diperlukan mengingat bahwa keilmuan ini berkontribusi untuk menjadikan keputusan yang
diambil lebih objektif dan dapat di pertanggungjawabkan. Salah satu terapan dari keilmuan
epidemiologi veteriner adalah analisis risiko, ilmu tersebut mengenalkan konsep risiko dan
ketidakpastian dalam kesehatan hewan. Kerangka kerja (framework) analisis risiko lebih sering
digunakan untuk mengelola penanganan penyakit (disease control) secara individu maupun
kelompok (herd) dalam konteks melakukan mitigasi risiko dengan memberlakukan
persyaratan teknis lalulintas hewan dan produk hewan untuk menurunkan risiko sampai
dengan batas appropriate level of protection (ALOP) yang telah ditetapkan.
Analisis risiko di bidang kesehatan hewan tergolong baru diterapkan di Indonesia, dan termasuk
disiplin ilmu yang terus berkembang (bersifat dinamis). Pada masa lalu, (sebelum tahun 2009)
penggunaan analisis risiko tidak menjadi acuan dalam membuka jalur importasi hewan dan
produknya dari luar negeri, ataupun menjadi acuan dalam melalulintaskan komoditas yang
dimaksud antar wilayah dan/atau daerah di Indonesia. Hal ini dikarenakan paradigma lama dari para
pengambil keputusan (decision maker) yang masih berorientasi pada konsep pengamanan
maksimum (maximum security). Pada saat itu, persyaratan teknis kesehatan hewan (import health
protocol) di buat sangat ketat untuk mengamankan wilayah hingga ke tingkat risiko “nol” (zero risk)
dari kemungkinan masuk, berjangkit dan menyebarnya penyakit hewan menular eksotik dari luar
negeri ke Indonesia.
Konsep pengamanan maksimum tidak lagi relevan untuk digunakan sebagai dasar kebijakan suatu
negara untuk menolak pemasukan suatu komoditas hewan maupun produk hewan, karena tidak
mungkin dicapai (not attainable). Hal ini karena konsep risiko nol (zero-risk) selalu terbentur dengan
pertanyaan, sebagai berikut:



Dalam semua bidang tentang keamanan (safety), risiko dapat direduksi hingga mencapai
tingkat dapat diabaikan (unimportant level);
Alam tidak mengakui batas-batas politik. Dengan demikian, penyakit dapat melewati batasbatas politik tanpa pemberitahuan, baik itu tanpa atau melalui fasilitasi perdagangan
internasional; dan
Perjalanan dan perdagangan internasional adalah fakta bagi masyarakat global saat ini, dan
risiko pasti akan selalu hadir.
II. Amanah perjanjian SPS terkait analisis risiko
Indonesia telah meratifikasi pembentukan World Trade Organization (WTO) melalui UndangUndang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing the WTO. Dengan
demikian Indonesia terikat secara hukum dengan salah satu Perjanjian WTO yaitu Perjanjian
sanitary and phytosanitary (SPS). Perjanjian SPS didasarkan pada prinsip-prinsip fundamental
yaitu non-diskriminasi, harmonisasi, ekuivalensi dan transparansi. Untuk memenuhi prinsipprinsip tersebut diatas, dalam tindakan-tindakan SPS diperlukan implementasi regionalisasi dan
analisa risiko. Badan Kesehatan Hewan Dunia (Office International des Epizooties/OIE)
memainkan peran penting dalam perkembangan ini dengan membangun standar-standar
internasional untuk menerapkan regionalisasi dan analisa risiko di bidang kesehatan hewan.
Dengan Perjanjian SPS yang mengakui eksistensi OIE, maka Indonesia terikat dengan hak dan
kewajiban yang ditetapkan oleh OIE. OIE didirikan pada tahun 1924 dengan Kantor Pusat di Paris,
Perancis dan saat ini memiliki 180 Negara Anggota. Indonesia masuk menjadi Negara Anggota
OIE pada tahun 1954.
OIE memiliki 6 (enam) misi utama, sebagai berikut:
1) Untuk memastikan transparansi situasi penyakit hewan global;
2) Untuk mengumpulkan, menganalisis dan mendesiminasi informasi ilmiah di bidang
veteriner;
3) Untuk menyediakan keahlian dan memdorong solidaritas internasional dalam pengendalian
penyakit hewan;
4) Dengan mandat yang diberikan dalam Perjanjian WTO SPS, untuk mengamankan
perdagangan dunia dengan mempublikasikan standar-standar kesehatan untuk
perdagangan internasional hewan dan produk hewan;
5) Untuk memperbaiki kerangka hukum dan sumberdaya dari Sistem Kesehatan Hewan
Nasional (National Veterinary Services); dan
6) Untuk menyediakan suatu jaminan yang lebih baik bagi pangan yang bersumber dari hewan
dan mempromosikan kesejahteraan hewan melalui suatu pendekatan berbasis ilmiah.
Misi ini dicapai melalui berbagai kegiatan termasuk pengembangan standar-standar, pedomanpedoman dan rekomendasi-rekomendasi yang berkaitan dengan kesehatan hewan. Standar,
pedoman dan rekomendasi diterbitkan dalam bentuk sebagai berikut:
1. Terrestrial Animal Health Code (untuk mamalia, unggas dan lebah).
2. Aquatic Animal Health Code (untuk ikan, moluska dan krustasea).
3. Manual for Diagnostic Tests and Vaccines for Terrestrial Animals.
4. Manual for Diagnostic Tests for Aquatic Animals.
5. Resolusi-resolusi World Assembly dari Delegasi OIE.
Dalam situasi dimana tidak tersedia standar internasional yang relevan atau jika suatu negara
ingin mengaplikasikan tindakan yang lebih restriktif daripada standar internasional, Perjanjian SPS
menyatakan bahwa Negara Anggota tersebut harus mendasarkan tindakan SPSnya pada suatu
penilaian terhadap risiko bagi kehidupan dan kesehatan manusia, hewan atau tumbuhan,
dengan menggunakan teknik Analisa Risiko (Risk Analysis) yang berbasis ilmiah sesuai dengan
rekomendasi OIE.
III. Penetapan ALOP 3 (tiga) penyakit hewan menular eksotik di Indonesia
Berdasarkan Terrestrial Animal Health Code (TAHC) OIE, appropriate level of protections
(ALOP) dapat diartikan sebagai ‘tingkat perlindungan yang dianggap sesuai oleh suatu negara,
dan telah ditetapkan sebagai tindakan sanitari (sanitary measure) yang berguna untuk
melindungi kesehatan manusia, hewan dan lingkungan’. Sebagai analogi, dijelaskan bahwa
sejumlah negara anggota OIE memiliki tingkatan perlindungan yang berbeda dalam menetapkan
ALOP dalam rangka pemasukan hewan dan produk hewan. Dicontohkan, ALOP Negara Australia
adalah sangat rendah (very low) untuk memperkenankan pemasukan komoditas hewan dan/atau
produk hewan dari negara lain yang telah dilakukan analisis risiko terkait PMK. Dalam hal ini,
Negara Australia menggunakan analisis risiko kualitatif. Contoh lain, ALOP Negara Amerika Serikat
adalah “0” atau zero untuk memperkenankan pemasukan komoditas hewan dan/atau produk hewan
dari negara lain yang telah dilakukan analisis risiko terkait BSE. Dalam hal ini, Negara Amerika
Serikat menggunakan analisis risiko kuantitatif.
Dalam hal pelaksanaan analisis risiko pemasukan (import risk analysis) yang dilakukan oleh suatu
negara, dikenal 3 model analisis risiko, antara lain: analisis risiko kualitatif, analisis risiko semikuantitatif dan analisis risiko kuantitatif. Menurut seorang ahli epidemiologi veteriner di Indonesia,
model analisis risiko yang tepat dilakukan di Indonesia adalah model analisis risiko semi-kuantitatif.
Sedangkan pendapat lainnya menyebutkan bahwa ketiga model analisis risiko yang telah
disebutkan di atas adalah baik dan semuanya dapat diterapkan di Indonesia.
Pada tanggal 18-20 April 2016 telah dilakukan rapat komisi ahli kesehatan hewan dan kesehatan
masyarakat veteriner yang membahas tentang penetapan ALOP untuk penyakit hewan menular
eksotik. Dalam forum disepakati bahwa ada 3 (tiga) jenis penyakit hewan menular eksotik yang
ditentukan ALOP-nya berdasarkan pertimbangan:
a. Status bebas penyakit hewan menular eksotik, berdasarkan deklarasi bebas yang di recognize
OIE ataupun self declaration dari Otoritas Veteriner Nasional dalam bentuk Keputusan Menteri
Pertanian; atau
b. Negara mempunyai program pengendalian penyakit hewan menular strategis.
Berikut ditampilkan tabel tentang kriteria penetapan ALOP berdasarkan status dan situasi penyakit
hewan menular di Indonesia, sebagai berikut:
No.
Nama PHM Eksotik
Penetapan ALOP
1.
Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI)
Extremely Low
2.
Bovine Spongioform Encephalopathy (BSE)
Negligible
3.
Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)
Negligible
IV. Analogi kasus penyakit hewan menular lintas batas berasosiasi dengan fasilitasi
perdagangan internasional yang berdampak ke Indonesia
Informasi dari Kepala Departemen Informasi dan Analisis Data Kesehatan Hewan Dunia - OIE (Dr.
Paula Caceres Soto) bahwa telah dilaporkan kasus avian influenza subtipe H5 dan H7, baik itu HPAI
dan LPAI di 43 Negara/territory. Sebanyak 34 negara diantaranya merupakan negara dengan status
tertular virus avian influenza subtipe H5. Pengelompokan subtipe virus avian influenza terdeteksi
dari negara – negara tersebut, yaitu terdiri dari 5 subtipe berbeda (H5N1, H5N2, H5N3, H5N6 dan
H7N9). Kejadian penyakit ini di banyak negara didominasi oleh virus avian influenza subtipe H5N1
(23 Negara), diikuti H5N8 (13 Negara), H5N2 (9 Negara) dan H5N3/H5N6 (4 Negara).
V.
Sebanyak 10 negara memiliki status tertular virus avian influenza subtipe H7. Pengelompokan
subtipe virus avian influenza H7 yang terdeteksi dari negara – negara tersebut, yaitu terdiri dari 5
subtipe berbeda (H7N1, H7N2, H7N3, H7N7 dan H7N9). Menurut Dr. Caceres, tidak ada dominasi
virus influenza subtipe H7 dengan kombinasi N tertentu yang mewabah di negara – negara tersebut.
Penekanan terhadap dampak kesehatan masyarakat veteriner lebih di titik – beratkan pada kasus
penyakit avian influenza yang disebabkan oleh virus avian influenza subtipe H7N9 di Republik
Rakyat Tiongkok (RRT) dan Hongkong (SAR – PRC). Pada bulan Maret 2013, telah dilaporkan
kejadian avian influenza pada manusia di RRT. Identifikasi saat itu, virus ini termasuk ke dalam
kelompok virus LPAI, tetapi memiliki kemampuan untuk dapat menular ke manusia dan
menyebabklan gejala klinis yang berat, bahkan berakibat fatal yang menyebabkan kematian pada
manusia. Menurut informasi, hingga saat ini kejadian avian influenza subtipe H7N9 pada unggas
masih terlokalisir terjadi di wilayah RRT dan Hongkong.
VI.
Penekanan lain terhadap bahaya potensial dari penyebaran penyakit avian influenza secara global
adalah mewabahnya virus avian influenza A (H5N8 dan H5N2) di beberapa negara di dunia.
Mewabahnya penyakit ini menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar bagi negara yang
tertular. Sebagai illustrasi, wabah avian influenza dengan subtipe H5 yang pertama kali diidentifikasi
berasal dari Korea Selatan (Januari 2014), dan kemudian berlanjut menyebar ke RRT, Jepang,
Rusia dan Amerika Serikat. Pada rentang bulan November - Desember 2014, wabah avian influenza
subtipe H5N8 telah menyebar ke beberapa negara di Eropa (Inggris, Belanda, Jerman dan Rusia),
serta di rentang bulan Januari - Februari 2015 telah mewabah di Taiwan, Canada, Swedia dan
Hungaria. Data 83th General Session OIE (Paris, 2015) menyebutkan bahwa sesuai dengan
rentang waktu Januari 2014 – 19 Mei 2015, sejumlah besar negara yang tertular tersebut telah
memberlakukan tindak pemusnahan unggas sebanyak 15.000.000 ekor unggas. Sedangkan,
bersamaan dengan rentang waktu tersebut, wabah avian influenza subtipe H5N2 juga mewabah di
China, Taiwan (April 2014), Canada (November 2014) dan Amerika Serikat (Desember 2014).
A. Kronologis Kejadian Wabah HPAI H5N8 di Eropa (Inggris, Belanda dan Jerman)
Berikut ini data yang diperoleh dari Erasmus terkait dengan penyebaran virus avian influenza di
dunia, dimana ditunjukkan pada Gambar 1 dan Gambar 2. Pada rentang November 2014 –
Februari 2015 telah terjadi peningkatan dari wabah avian influenza secara global, dimana
kejadian tersebut banyak terjadi pada unggas liar. Meskipun demikian, studi yang menarik disini,
rupanya tidak hanya unggas liar yang dilaporkan terjangkit wabah avian influenza, tetapi banyak
usaha peternakan unggas di Eropa dan Asia yang dikonfirmasi tertular virus avian influenza.
Beberapa negara di Eropa yang dinyatakan tertular virus avian influenza menurut OIE, antara
lain Jerman, Inggris, dan Belanda.
Gambar 1. Peta penyebaran virus avian influenza yang bersumber dari unggas liar di dunia.
Gambar 2. Pohon filogenetik yang menjelaskan hubungan kekerabatan antar isolat virus yang
dikoleksi dari beberapa lokasi wabah avian influenza subtipe H5N8 di Eropa dan Asia.
B. Informasi terhadap isolat HPAI H5N8 di Eropa (Inggris, Belanda dan Jerman)
Uji deteksi molekular berbasis reverse transcription-polymerase chain reactions (RT – PCR)
untuk mendeteksi subtipe virus influenza A tersebut. Dengan uji tersebut diperoleh constraint
sequence spesifik virus avian influenza subtipe H5. Selain itu, untuk megidentifikasi tingkat
keganasan virus tersebut dilakukan sequencing pada segmen gen fungsional H5, dan diperoleh
urutan basa asam amino yang terbaca pada region cleavage site (CS), yaitu
RNSPLRERRRKR*GLFGAI. Hal ini dapat diartikan bahwa sequence pada cleavage site tersebut
merupakan constraint sequence yang didominasi oleh asam amino: arginin dan lysin. Oleh
karena itu, menurut OIE terrestrial animal health code di chapter 10.4, virus ini diklasifikasikan
sebagai virus avian influenza berpatogenisitas tinggi (HPAI). Sedangkan subtyping dengan
menggunakan RT – PCR diperoleh konfirmasi bahwa virus avian influenza yang menginfeksi
kawan unggas liar di Inggris, Jerman dan Belanda adalah virus avian influenza subtipe H5N8.
Memperhatikan penjelasan butir A dan butir B pada penjelasan berbagai hal tersebut di atas,
pada tahun 2014 Pemerintah Indonesia telah menetapkan Penutupan Pemasukan Unggas dari
Negara Inggris Jerman dan Belanda ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Hal ini terkait
dengan telah mewabahnya penyakit highly pathogenic avian influenza (HPAI) di Negara Jerman,
Inggris dan Belanda.
*. Catatan: Pada rentang tahun 2015-2016, Indonesia telah membuka kembali importasi unggas dari Inggris,
Belanda dan Jerman terkait mewabahnya penyakit avian influenza subtipe eksotik (H5N8) di
negara tersebut. Hal ini berdasarkan laporan final dari badan kesehatan dunia, bahwa ketiga
negara yang dimaksud telah ditetapkan kembali sebagai negara bebas notifiable avian influenza.
V. Peran Otoritas Veteriner Kementerian dalam melaksanakan analisis risiko pemasukan
Saat ini, tantangan global terhadap keduniaan veteriner terus meningkat. Kasus-kasus baru penyakit
hewan lintas batas (transboundary animal diseases) seperti highly pathogenic avian influenza
(HPAI), foot and mouth disease (FMD), dan bovine spongioform encephalopathy (BSE) terus muncul
meski ada berbagai upaya global untuk menanggulanginya. Penyakit baru (new emerging diseases)
pun terus muncul, sebagai akibat adanya keterkaitan (interfaces) antara populasi hewan dan
manusia, mengarah kepada timbulnya patogen baru atau perubahan pendedahan (exposure)
terhadap patogen. Kedua hal ini adalah dampak dari urbanisasi dan perubahan demografi. Salah
faktor pemicunya adalah perdagangan hewan dan produk hewan secara internasional. Perubahan
tersebut menekankan pentingnya menyelaraskan standar-standar perdagangan dan sains untuk
memastikan perdagangan yang aman dan mencegah penyebaran penyakit, termasuk
dampaknya terhadap kesehatan masyarakat, di mana salah satu upayanya dengan menyusun
analisis risiko pemasukan (import risk analysis) yang komprehensif.
Analisis risiko yang komprehensif dilakukan oleh pengambil kebijakan veteriner (otoritas veteriner
kementerian) dalam rangka menetapkan berbagai regulasi, kebijakan, dan pedoman teknis untuk
lalulintas hewan dan produk hewan, baik domestik maupun internasional. Dalam menyusun suatu
analisis risiko komprehensif diperlukan informasi resmi dari badan kesehatan dunia, dan negara
asal pemasukan hewan dan/atau produk hewan tentang status dan situasi penyakit hewan,
penangangan penyakit hewan menular (termasuk didalamnya kebijakan dan infrastruktur dalam
penanganan penyakit hewan) dan sistem pelayanan veteriner (tipe dan penerapan surveilans
penyakit di tingkat lapang), kapabilitas laboratorium diagnostik dalam mendeteksi penyakit untuk
melakukan penilaian risiko (risk assessment).
Penilaian risiko adalah suatu proses sistematis untuk mengumpulkan, menilai dan
mendokumentasikan informasi untuk menentukan tingkat risiko. Penilaian risiko mencakup 3 (tiga)
komponen penting di dalamnya, yaitu penilaian pelepasan (release assessment), penilaian
pendedahan (exposure assessment) dan penilaian dampak (consequence assessment). Berikut
ditampilkan matriks (tabel 1) yang mencantumkan berbagai informasi dasar berbasis keilmuan
epidemiologi yang harus dilengkapi oleh negara asal, apabila ingin mengekspor hewan dan produk
hewan ke negara tujuan (importing country).
Tabel 1. Komponen epidemiologi dalam suatu penilaian risiko.
Langkah
penilaian
risiko
Identifikasi bahaya
Penilaian Pelepasan
Komponen epidemiologi
Data/pengetahuan yang diperlukan
Daftar pathogen yang diidentifikasi mampu
berasosiasi
dengan
komoditas
yang
diperdagangkan




Pengetahuan ada atau tidaknya penyakit di
Negara atau zona

Prevalensi suatu penyakit di negara asal
pemasukan (exporting country)






Karakteristik epidemiologic dari penyakit dan
etiologi
Uji diagnostik














Adanya program penanganan penyakit;
Keberadaan penyakit eksotik;
Keberadaan emerging diseases;
Epidemiologi setiap penyakit yang
berhubungan dengan komoditas yang
diperdagangkan;
Metode atau cara mendapatkan status
bebas suatu penyakit (self declarations
atau recognize by OIE).
Survey dan hasil surveilans;
Level konfidensi, presisi, dan dugaan
prevalensi (expected/apparent prevalence);
Prevalensi sebenarnya (true prevalence);
Herd-level sensitivity dan specifity;
Animal-level sensivity dan specifity;
Aturan tentang pemeliharaan ternak
komersial dan backyard; dan
Regionalisasi.
Masa inkubasi;
Carrier;
Apakah dapat menular ke hewan liar;
Morbiditas;
Mortalitas;
Metode penyebaran penyakit;
Pathogenesis;
Organ target (predileksi); dan
Hewan peka.
Prosedur inaktivasi
Sensitivitas dan spesifitas uji;
Nilai cut-off;
Testing strategies.
Penilaian Pendedahan
Karakteristik dari populasi hewan rentan dan
faktor lingkungan yang ada di negara asal
pemasukan
Penilaian Dampak
Menilai dampak yang ditimbulkan baik itu
biologis maupun ekonomi, apabila scenario
terburuk terjadi (agen penyakit ikut terbawa
dengan komoditas, sehingga menyebabkan
masuk, berjangkit dan menyebar ke negara
pengekspor.
 Skenario keterpaparan (pathway for
exposure);
 Herd and animal densities;
 Status kekebalan;
 Adanya vector;
 Pengaruh musim;
 Metode penyebaran penyakit;
 Contact rates;
 Morbiditas;
 Mortalitas;
 Jumlah hewan yang diasumsikan
terinfeksi;
 Dampak kerugian ekonomi secara
langsung (mortalitas, pengaruh terhadap
produksi ternak);
 Biaya pengendalian dan pemberantasan
penyakit;
 Kehilangan akses untuk pasar global.
VI. Kesimpulan
Dalam melakukan analisis risiko pemasukan (import risk analysis), setiap personel yang
tergabung dalam tim analisis risiko paling kurang harus memiliki kompetensi penguasaan ilmu
tentang norma dan/atau kriteria (codes), maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku
secara internasional dan nasional, serta memahami keilmuan epidemiologi secara menyeluruh
guna menilai kelayakan suatu negara dalam mengekspor hewan dan/atau produk hewan.
Mengacu pada tabel 1, penguasaan materi terhadap standar internasional dan keilmuan
epidemiologi dasar dalam analisis risiko, sebagai berikut:
1. Pengenalan terhadap standar-standar internasional untuk menerapkan regionalisasi dan
analisa risiko di bidang kesehatan hewan;
2. Penguasaan materi epidemiologi dasar, khususnya
a. konsep dalam menghitung frekuensi kejadian penyakit (incidence risk, incidence
rate dan prevalensi);
b. Konsep desain observational epidemiological studies (kohort, kasus-kontrol, dan
lintas seksional);
c. Metode sampling pada populasi hewan, dalam hal ini diharapkan mampu
mengidentifikasi, mendefinisikan dan membedakan masing-masing metode
sampling berikut dengan menghitung besaran sampling;
d. Menginterpretasikan hasil uji diagnostic, menghitung senstivitas, spesifitas,
prediksi positif, apparent prevalence dan true prevalence.
3. Mampu membaca informasi terkait program pengendalian penyakit dan eradikasinya:
a. Memahami lebih lanjut tentang keilmuan analisis risiko (epidemiologi terapan)
terhadap konsep peluang, determinasi, dan integral dalam mengaplikasikan
penilaian pelepasan kuantitatif.
b. Mampu melakukan assessment of herd health and productivity; dan
c. Mampu menganalisis dan menginterpretasikan status dan situasi kesehatan
hewan yang berada dalam populasi (surveilans dan monitoring penyakit).
Download