Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur

advertisement
SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM
Kata-kata sumber dalam hukum Islam merupakan terjemah dari kata mashadir yang berarti
wadah ditemukannya dan ditimbanya norma hukum. Sumber hukum Islam yang utama adalah Al
Qur’an dan sunah. Selain menggunakan kata sumber, juga digunakan kata dalil yang berarti
keterangan yang dijadikan bukti atau alasan suatu kebenaran. Selain itu, ijtihad, ijma’, dan qiyas
juga merupakan sumber hukum karena sebagai alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum
yang dikandung oleh Al Qur’an dan sunah Rasulullah SAW
Secara sederhana hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang
diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu;
berlaku mengikat, untuk seluruh anggotanya”. Bila definisi ini dikaitkan dengan Islam atau
syara’ maka hukum Islam berarti: “seperangkat peraturan bedasarkan wahyu Allah SWT dan
sunah Rasulullah SAW tentang tingkah laku manusia yang dikenai hukum (mukallaf) yang
diakui dan diyakini mengikat semua yang beragama Islam”. Maksud kata “seperangkat
peraturan” disini adalah peraturan yang dirumuskan secara rinci dan mempunyai kekuatan yang
mengikat, baik di dunia maupun di akhirat.
A. Al Qur’an
Al Qur’an berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang diturunkan secara berangsur-angsur
(mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Al Qur’an diawali dengan
surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat An Nas. Membaca Al Qur’an merupakan ibadah.
Al Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban untuk
berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang
taat kepada Allah SWT, yaitu menngikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala
larangnannya
Al Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia.
1. Tuntunan yang berkaitan dengan keimanan/akidah, yaitu ketetapan yantg berkaitan
dengan iman kepada Allah SWT, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir,
serta qadha dan qadar
2. Tuntunan yang berkaitan dengan akhlak, yaitu ajaran agar orang muslim memilki budi
pekerti yang baik serta etika kehidupan.
3. Tuntunan yang berkaitan dengan ibadah, yakni shalat, puasa, zakat dan haji.
4. Tuntunan yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia dalam masyarakat
Isi kandungan Al Qur’an
Isi kandungan Al Qur’an dilihat dari segi kuantitas dan kualitas.
1. Segi Kuantitas
Al Quran terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 6.236 ayat, 323.015 huruf dan 77.439 kosa kata
2. Segi Kualitas
Isi pokok Al Qur’an (ditinjau dari segi hukum) terbagi menjadi 3 (tiga) bagian:
1. Hukum yang berkaitan dengan ibadah: hukum yang mengatur hubungan rohaniyah
dengan Allah SWT dan hal – hal lain yang berkaitan dengan keimanan. Ilmu yang
mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam
2. Hukum yang berhubungan dengan Amaliyah yang mengatur hubungan dengan Allah,
dengan sesama dan alam sekitar. Hukum ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut
hukum syariat. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fiqih
3. Hukum yang berkaitan dngan akhlak. Yakni tuntutan agar setiap muslim memiliki sifat –
sifat mulia sekaligus menjauhi perilaku – perilaku tercela.
Bila ditinjau dari Hukum Syara terbagi menjadi dua kelompok:
1. Hukum yang berkaitan dengan amal ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar,
sumpah dan sebagainya yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan tuhannya.
2. Hukum yang berkaitan dengan amal kemasyarakatan (muamalah) seperti perjanjian
perjanjian, hukuman (pidana), perekonomian, pendidikan, perkawinan dan lain
sebagainya.
Hukum yang berkaitan dengan muamalah meliputi:
1. Hukum yang berkaitan dengan kehidupan manusia dalam berkeluarga, yaitu perkawinan
dan warisan
2. Hukum yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu yang berhubungan dengan jual beli
(perdagangan), gadai-menggadai, perkongsian dan lain-lain. Maksud utamanya agar hak
setiap orang dapat terpelihara dengan tertib
3. Hukum yang berkaitan dengan gugat menggugat, yaitu yang berhubungan dengan
keputusan, persaksian dan sumpah
4. Hukum yang berkaitan dengan jinayat, yaitu yang berhubungan dengan penetapan hukum
atas pelanggaran pembunuhan dan kriminalitas
5. Hukum yang berkaitan dengan hubungan antar agama, yaitu hubungan antar kekuasan
Islam dengan non-Islam sehingga tercpai kedamaian dan kesejahteraan.
6. Hukum yang berkaitan dengan batasan pemilikan harta benda, seperti zakat, infaq dan
sedekah.
Ketetapan hukum yang terdapat dalam Al Qur’an ada yang rinci dan ada yang garis besar. Ayat
ahkam (hukum) yang rinci umumnya berhubungan dengan masalah ibadah, kekeluargaan dan
warisan. Pada bagian ini banyak hukum bersifat ta’abud (dalam rangka ibadah kepada Allah
SWT), namun tidak tertutup peluang bagi akal untuk memahaminya sesuai dengan perubahan
zaman. Sedangkan ayat ahkam (hukum) yang bersifat garis besar, umumnya berkaitan dengan
muamalah, seperti perekonomian, ketata negaraan, undang-undang sebagainya. Ayat-ayat Al
Qur’an yang berkaitan dengan masalah ini hanya berupa kaidah-kaidah umum, bahkan seringkali
hanya disebutkan nilai-nilainya, agar dapat ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman.
Selain ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan hukum, ada juga yang berkaitan dengan
masalah dakwah, nasehat, tamsil, kisah sejarah dan lain-lainnya. Ayat yang berkaitan dengan
masalah-masalah tersebut jumlahnya banyak sekali.
B. Hadits
Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan,
maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al
Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan
yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman
Allah SWT: (lihat Al-Qur’an onlines di google)
!$tBur ãNä39s?#uä ãAqß™§•9$# çnrä‹ ã‚ sù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4
Artinya: “ … Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hasyr : 7)
Perintah meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh perilaku Nabi Muhammad SAW
mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan akhlak mulia. Apabila seseorang bisa
meneladaninya maka akan mulia pula sikap dan perbutannya. Hal tersebut dikarenakan
Rasulullah SAW memilki akhlak dan budi pekerti yang sangat mulia. Hadits sebagai sumber
hukum Islam yang kedua, juga dinyatakan oleh Rasulullah SAW:
Artinya: “Aku tinggalkan dua perkara untukmu seklian, kalian tidak akan sesat selama kalian
berpegangan kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunah rasulnya”. (HR Imam Malik)
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki kedua fungsi sebagai berikut.
1. Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al Qur’an, sehingga kedunya (Al
Qur’an dan Hadits) menjadi sumber hukum untuk satu hal yang sama. Misalnya Allah
SWT didalam Al Qur’an menegaskan untuk menjauhi perkataan dusta, sebagaimana
ditetapkan dalam firmannya : (lihat Al-Qur’an onlines di google)
Artinya: “…Jauhilah perbuatan dusta…” (QS Al Hajj : 30)
Ayat diatas juga diperkuat oleh hadits-hadits yang juga berisi larangan berdusta.
1. Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih bersifat
umum. Misalnya, ayat Al Qur’an yang memerintahkan shalat, membayar zakat, dan
menunaikan ibadah haji, semuanya bersifat garis besar. Seperti tidak menjelaskan jumlah
rakaat dan bagaimana cara melaksanakan shalat, tidak merinci batas mulai wajib zakat,
tidak memarkan cara-cara melaksanakan haji. Rincian semua itu telah dijelaskan oelh
rasullah SAW dalam haditsnya. Contoh lain, dalam Al Qur’an Allah SWT
mengharamkan bangkai, darah dan daging babi. Firman Allah sebagai berikut: (lihat AlQur’an onlines di google)
Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi…” (QS Al Maidah : 3)
Dalam ayat tersebut, bangkai itu haram dimakan, tetap tidak dikecualikan bangkai mana yang
boleh dimakan. Kemudian datanglah hadits menjelaskan bahwa ada bangkai yang boleh
dimakan, yakni bangkai ikan dan belalang. Sabda Rasulullah SAW:
َّ ْ َ‫ اتَا ْماَ ن ل‬,‫ ََِّ نَ َّ ِن ات ََِّ اَ ا َان‬: ْ‫اا‬
‫ت ِاُا‬
‫ ُاا ْما ََِّ اا َّتياي ل‬,ْ‫ا‬
‫ااْ ات اا ام ل‬
‫ا ام َّتياي ل‬
َّ
‫ل‬
(‫ ت ََِادل‬: ‫َِِ اَا ل ) وتَد ََك َِاا‬
‫ ُااِ اناله ن ات ل‬: ْ‫ا‬
‫َِهْ ام ل‬
Artinya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam
bangkai adalah ikan dan belalalng, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa…” (HR
Ibnu Majjah)
1. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al Qur’an. Misalnya,
cara menyucikan bejana yang dijilat anjing, dengan membasuhnya tujuh kali, salah
satunya dicampur dengan tanah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
‫ل َّا اه ام ْ َ ل‬
‫ء ) وتَد مُ ل‬
‫ت هَاه ت ه ا اَتا ت ن نا َّ نو َل( ل‬
‫ِ َ ا َّتِا لا ْك لَاِيَ ا َ ل‬
‫ ََِّ ان َّْن َ ا َّْ ان َُّ لُ اَ ا‬:‫ااب َ ا اَ له ند َّل َللاَ ات لِ اا لُ َّت ل‬
(‫َِ ا تا قى‬
Artinya: “Mennyucikan bejanamu yang dijilat anjing adlah dengan cara membasuh sebanyak
tujuh kali salah satunya dicampur dengan tanah” (HR Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Baihaqi)
Hadits menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai berikut:
1. Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, sempurna ingatan,
sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud
adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohehan suatu hadits
2. Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat
ingatannya (hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat dan kejanggalan
pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul biasanya dibuat hujjah untuk
sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau tidak terlalu penting
3. Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih syarat-syarat hadits
shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai
perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits
shohih atau hasan yang tidak dipenuhi
Adapun syarat-syarat suatu hadits dikatakan hadits yang shohih, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
Rawinya bersifat adil
Sempurna ingatan
Sanadnya tidak terputus
Hadits itu tidak berilat, dan
Hadits itu tidak janggal
C. Ijtihad
Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak
ada ketetapannya, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits, dengan menggunkan akal pikiran yang
sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukumyang telah
ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga. Hasil ini berdasarkan dialog
nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang bernama muadz bin jabal, ketika Muadz diutus ke
negeri Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada Muadz,” bagaimana kamu akan menetapkan hukum
kalau dihadapkan pada satu masalah yang memerlukan penetapan hukum?”, muadz menjawab,
“Saya akan menetapkan hukumdengan Al Qur’an, Rasul bertanya lagi, “Seandainya tidak
ditemukan ketetapannya di dalam Al Qur’an?” Muadz menjawab, “Saya akan tetapkan dengan
Hadits”. Rasul bertanya lagi, “seandainya tidak engkau temukan ketetapannya dalam Al Qur’an
dan Hadits”, Muadz menjawab” saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri” kemudian,
Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu Muadz bi Jabal, tanda setuju. Kisah mengenai Muadz
ini menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam setelah Al Qur’an dan
hadits.
Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi bebrapa syarat berikut ini:
1. mengetahui isi Al Qur’an dan Hadits, terutama yang bersangkutan dengan hukum
2. memahami bahasa arab dengan segala kelengkapannya untuk menafsirkan Al Qur’an dan
hadits
3. mengetahui soal-soal ijma
4. menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang luas.
Islam menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah, selama ijtihad itu dilakukan sesuai dengan
persyaratan yang telah ditentukan. Dalam hubungan ini Rasulullah SAW bersabda:
‫َْ ات َللاَ اَن اال اتَ َّ ي ا ااها ْ ن ْل َ ا َّم ا‬
) ‫ن َا َّ ذ‬:‫َِ ا ُا ا‬
‫م ا‬
‫وتَد َِ اخاوى ت م ُ ل ( َللاَ اَن اال ََِّ اَا لد ال ُاا َّ ي ا ااها ْ ن ْل َ ا ا‬
‫ن َ ا ا ا ل‬:‫اء ُا ا‬
Artinya: “Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad dan ternyata
hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila seorang hakim dalam
memutuskan perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya salah, maka ia
memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim)
Islam bukan saja membolehkan adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad, tetapi juga
menegaskan bahwa adanya beda pendapat tersebut justru akan membawa rahmat dan kelapangan
bagi umat manusia. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:
…(ِ‫ص َ ن ْميل ٌَّ اوََّ ااْذ )وتَد (ف َِاقه‬
‫َ َّلميلاا ل‬
Artinya: ”… Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa rahmat” (HR Nashr Al
muqaddas)
Dalam berijtihad seseorang dapat menmpuhnya dengan cara ijma’ dan qiyas. Ijma’ adalah
kese[akatan dari seluruh imam mujtahid dan orang-orang muslim pada suatu masa dari beberapa
masa setelah wafat Rasulullah SAW. Berpegang kepada hasil ijma’ diperbolehkan, bahkan
menjadi keharusan. Dalilnya dipahami dari firman Allah SWT: (lihat Al-Qur’an onlines di
google)
Artinya: “Hai orang-oran yang beriman, taatilah Allah dan rasuknya dan ulil amri diantara
kamu….” (QS An Nisa : 59)
Dalam ayat ini ada petunjuk untuk taat kepada orang yang mempunyai kekuasaan dibidangnya,
seperti pemimpin pemerintahan, termasuk imam mujtahid. Dengan demikian, ijma’ ulam dapat
menjadi salah satu sumber hukum Islam. Contoh ijam’ ialah mengumpulkan tulisan wahyu yang
berserakan, kemudian membukukannya menjadi mushaf Al Qur’an, seperti sekarang ini
Qiyas (analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada hukumnya dengan
kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya terdapat persamaan illat atau
sebab-sebabnya. Contohnya, mengharamkan minuman keras, seperti bir dan wiski. Haramnya
minuman keras ini diqiyaskan dengan khamar yang disebut dalam Al Qur’an karena antara
keduanya terdapat persamaan illat (alasan), yaitu sama-sama memabukkan. Jadi, walaupun bir
tidak ada ketetapan hukmnya dalam Al Qur’an atau hadits tetap diharamkan karena mengandung
persamaan dengan khamar yang ada hukumnya dalam Al Qur’an.
Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya mengetahui
Rukun Qiyas, yaitu:
1.
2.
3.
4.
Dasar (dalil)
Masalah yang akan diqiyaskan
Hukum yang terdapat pada dalil
Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan
Bentuk Ijtihad yang lain






Istihsan/Istislah, yaitu mentapkan hukum suatu perbuatan yang tidak dijelaskan secara
kongret dalam Al Qur’an dan hadits yang didasarkan atas kepentingan umum atau
kemashlahatan umum atau unutk kepentingan keadilan
Istishab, yaitu meneruskan berlakunya suatu hukum yang telah ada dan telah ditetapkan
suatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan dari hukum tersebut
Istidlal, yaitu menetapkan suatu hukum perbuatan yang tidak disebutkan secara kongkret
dalam Al Qur’an dan hadits dengan didasarkan karena telah menjadi adat istiadat atau
kebiasaan masyarakat setempat. Termasuk dalam hal ini ialah hukum-hukum agama yang
diwahyukan sebelum Islam. Adat istiadat dan hukum agama sebelum Islam bisa diakui
atau dibenarkan oleh Islam asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Al Qur’an dan
hadits
Maslahah mursalah, ialah maslahah yang sesuai dengan maksud syarak yang tidak
diperoeh dari pengajaran dalil secara langsung dan jelas dari maslahah itu. Contohnya
seperti mengharuskan seorang tukang mengganti atau membayar kerugian pada pemilik
barang, karena kerusakan diluar kesepakatan yang telah ditetapkan.
Al ‘Urf, ialah urursan yang disepakati oelh segolongan manusia dalam perkembangan
hidupnya
Zara’i, ialah pekerjaan-pekerjaan yang menjadi jalan untuk mencapai mashlahah atau
untuk menghilangkan mudarat.
D. Pembagian Hukum dalam Islam
Hukum dalam Islam ada lima yaitu:
1. Wajib, yaitu perintah yang harus dikerjakan. Jika perintah tersebut dipatuhi (dikerjakan),
maka yang mebgerjakannya akan mendapat pahala, jika tidak dikerjakan maka ia akan
berdosa
2. Sunah, yaitu anjuran. Jika dikerjakan dapat pahala, jika tidak dikerjakan tidak berdosa
3. Haram, yaitu larangan keras. Kalau dikerjakan berdosa jika tidak dikerjakan atau
ditinggalkan mendapat pahala, sebagaiman dijelaskan oleh nabi Muhammad SAW dalam
sebuah haditsnya yang artinya:
Jauhilah segala yang haram niscaya kamu menjadi orang yang paling beribadah. Relalah
dengan pembagian (rezeki) Allah kepadamu niscaya kamu menjadi orang paling kaya.
Berperilakulah yang baik kepada tetanggamu niscaya kamu termasuk orang mukmin.
Cintailah orang lain pada hal-hal yang kamu cintai bagi dirimu sendiri niscaya kamu
tergolong muslim, dan janganlah terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak
tertawa itu mematikan hati. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
4. Makruh, yaitu larangan yang tidak keras. Kalau dilanggar tidak dihukum (tidak berdosa),
dan jika ditinggalkan diberi pahala
5. Mubah, yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan. Kalau
dikerjakan tidak berdosa, begitu juga kalau ditinggalkan.
Dalil fiqih adalah Al Qur’an, hadits, ijma’ mujtahidin dan qiyas. Sebagian ulama menambahkan
yaitu istihsan, istidlal, ‘urf dan istishab.
Hukum-hukum itu ditinjau dari pengambilannya terdiri atas empat macam.
1. Hukum yang diambil dari nash yang tegas, yakni adanya dan maksudnya menunjukkan
kepada hukum itu
Hukum seperti ini tetap, tidak berubah dan wajib dijalankan oleh seluruh kaum muslim,
tidak seorangpun berhak membantahnya. Seperti wajib shalat lima waktu, zakat, puasa,
haji dan syarat syah jual beli dengan rela. Imam syafi’ie berpendapat apabila ada
ketentuan hukum dari Allah SWT, pada suatu kejadian, setiap muslim wajib
mengikutinya.
2. Hukum yang diambil dari nash yang tidak yakin maksudnya terhadap hukum-hukum itu.
Dalam hal seperti ini terbukalah jalan mujtahid untuk berijtihad dalam batas memahami
nas itu. Para mujtahid boleh mewujudkan hukum atau menguatkan salah satu hukum
dengan ijtihadnya. Umpamanya boleh atau tidakkah khiar majelis bagi dua orang yang
berjual beli, dalam memahami hadits:
َ ‫او اما ِا َّل ااياْا ْ ْا‬
‫اْ َل َّاِ لختا ل‬
‫َ ا َِّاا َّتَا ل‬
Dua orang yang jual beli boleh memilih antara meneruskan jual beli atau tidak selama keduanya
belum berpisah. Kata “berpisah” yang dimaksud dalam hadits ini mungkin berpisah badan atau
pembicaraan, mungkin pula ijab dan kabul. Sperti wajib menyapu semua kepala atau sebagian
saja ketika wudhu’, dalam memahami ayat:
Artinya: “Dan sapulah kepalamu” (QS Al Maidah : 6)
Juga dalam memahami hadits tidak halal binatang yang disembelih karena semata-mata tidak
membaca basmalah.
:‫اما َا َّ( اا ا َِهْ اا ات لن لد ا َلل اَّل َل اه ا َّت ل‬
Alat apapun yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan padanya nama Allah.
1. Hukum yang tidak ada nas, baik secara qa’i (pasti) maupun zanni (dugaan), tetapi pada
suatu masa telah sepakat (ijma’) mujtahidin atas hukum-hukumnya
Seperti bagian kakek seperenam, dan batalnya perkawinan seorang muslimah dengan
laki-laki non muslim. Di sini tidak ada jalan untuk ijtihad, bahkan setiap muslim wajib
mengakui untuk menjalankannya. Karena hukum yang telah disepakati oleh mujtahdidin
itu adalah hukum untuk seluruh umat, dan umat itu menurut Rasulullah SAW tidak akan
sepakat atas sesuatu yang sesat. Mujtahidin merupakan ulil amri dalam
mempertimbangkan, sedangkan Allah SWT menyuruh hambanya menaati ulil amri.
Sungguhpun begitu, kita wajib betul-betul mengetahui bahwa pada huku itu telah terjadi
ijma’ (sepakat) ulama mujtahidin. Bukan hanya semata-mata hanyan didasarkan pada
sangkaan yang tidak berdasarkan penelitian.
2. Hukum yang tidak ada dari nas, baik qat’i ataupun zanni, dan tidak pula ada kesepakatan
mujtahidin atas hukum itu. Seperti yang banyak terdapat dalam kitab-kitab fiqih mazhab.
Hukum seperti ini adalah hasil pendapat seorang mujtahid. Pendapat menurut cara yang
sesuai denngan akal pikirannya dan keadaan lingkungannya masing-masing diwaktu
terjadinya peristiwa itu. Hukum-hukum seperti itu tidak tetap, mungkin berubah dengan
berubahnya keadaan atau tinjauannya masing-masing. Maka mujtahid dimasa kini atau
sesduahnya berhak membantah serta menetapkan hukum yang lain. Sebagaimana
mujtahid pertama telah memberi (menetapkan) hukum itu sebelumnya. Ia pun dapat pula
mengubah hukum itu dengan pendapatnya yang berbeda dengan tinjauan yang lain,
setelah diselidiki dan diteliti kembali pada pokok-pokok pertimbangannya. Hasil ijtihad
seperti ini tidak wajib dijalankan oleh seluruh muslim. Hanya wajib bagi mujtahid itu
sendiri dan bagi orang-orang yang meminta fatwa kepadanya, selama pendapat itu belum
diubahnya.
Download