Policy Brief Standar SDM Kesejahteraan Sosial

advertisement
Policy Brief
Standar SDM Kesejahteraan Sosial
A. Latar Belakang
1. Masalah sosial yang berkembang menunjukkan bahwa masih ada warga
negara yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya secara layak
karena belum memperoleh pelayanan sosial dari negara yang mengakibatkan
masih ada warga negara yang mengalami hambatan pelaksanaan fungsi
sosial sehingga tidak dapat menjalani kehidupan secara layak dan
bermartabat.
2. Arah pertolongan pekerjaan sosial adalah untuk menolong orang-orang agar
mereka dapat menolong diri mereka sendiri (mandiri). Pertolongan pekerjaan
sosial ditujukan bagi pemulihan dan atau peningkatan keberfungsian sosial
individu, keluarga, kelompok dan komunitas/masyarakat. Terdapat 3 Pilar
Keberfungsian sosial yaitu:
a. Kepuasan dengan dirinya sendiri dalam pengertian perasaan-perasaan
bahwa dirinya berharga.
b. Kepuasan dengan peranan-peranan dalam hidup.
c. Hubungan yang positif dengan orang lain.
3. Hasil pelaksanaan intervensi pekerjaan sosial dalam upaya memulihkan dan
meningkatkatkan keberfungsian sosial PMKS dapat dilihat dari indikator
sebagai berikut:
a. Kemampuan melaksanakan peranan sosial.
b. Kemampuan memenuhi kebutuhan.
c. Kemampuan memecahkan permasalahan sosial yang dialami.
4. Kementerian Sosial diamanatkan untuk melaksanakan penyelenggaraan
kesejahteraan sosial secara terarah, terpadu dan berkelanjutan melalui
pendayagunaan sumber daya manusia kesejahteraan sosial.
5. Dalam melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan sosial, berdasarkan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin,
Kementerian Sosial mempunyai sumber daya manusia kesejahteraan sosial
yaitu: Tenaga Kesejahteraan Sosial, Pekerja Sosial Profesional, Penyuluh
Sosial dan Relawan Sosial sedangkan dalam penanganan fakir miskin
ditambah Tenaga Pendamping.
6. Pasal 71 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial mempunyai
kewenangan dalam memberikan pembinaan teknis sumber daya manusia
penyelenggara kesejahteraan sosial.
7. Dalam pelaksanaan Praktik pendampingan terhadap PMKS yang menjadi
kewenangan Kementerian Sosial, terdapat 25 (dua puluh lima) jenis
Nomenklatur Pendamping sosial yang berbeda-beda.
Policy Brief Standar SDM Kesos-Staf Ahli Bidang Dampak Sosial
Page 1
Daftar Nomenklatur SDM Kesejahteraan Sosial
Pekerja Sosial Profesional
Tenaga Kesejahteraan Sosial
Penyuluh Sosial
Relawan Sosial
Tenaga Kesos Kecamatan
Pekerja Sosial Masyarakat
Karang Taruna
Taruna Siaga Bencana
Wanita Pemimpin Kesos
Relawan Sosial
Kader RBM
Pelopor Perdamaian
Penyuluh Sosial Masyarakat
Pendamping PKH
Pendamping KUBE
Pendamping Kesos Anak
Pendamping KAT
Pendamping JSLU
Pendamping ASODK
Pendamping WKSBM
Satuan Bakti Pekerja Sosial
Satuan Bakti Peksos Pandu Gempita
Satuan Bakti Peksos KAT
Satuan Bakti TKS KAT
Team Reaksi Cepat (TRC)
8. Berdasarkan latar belakang tersebut, diperlukan kebijakan nasional tentang
Standar SDM Kesejahteraan Sosial untuk memastikan agar penyelenggaraan
kesejahteraan sosial dapat mencapai tujuan pembangunan kesejahteraan
sosial secara optimal.
B. Permasalahan Kebijakan
Permasalahan kebijakan pengembangan standar SDM Kesejahteraan Sosial,
antara lain:
1. Belum tersedianya standar nasional tentang kualifikasi dan pembinaan SDM
Kesos yang ditugaskan menjadi pendamping program yang menjadi
kewenangan Kementerian Sosial, maupun kewenangan kementerian/
lembaga negara dan lembaga-lembaga non pemerintah.
2. Belum ditetapkannya kebijakan nasional tentang jenjang kompetensi dan jenis
jabatan berdasarkan kualifikasi SDM kesejahteraan sosial (pekerja sosial,
tenaga kesejahteraan sosial, relawan sosial dan penyuluh sosial).
3. Belum adanya standar pembinaan SDM kesejahteraan sosial yang meliputi
standar pengadaan (analisis kebutuhan, rekruitmen, penempatan) dan
peningkatan kompetensi (pendidikan, pelatihan, renumerasi dan pembinaan
karier).
4. Sistem pengembangan SDM kesejahteraan sosial belum didasarkan
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia yang menghubungkan antara
pendidikan dan pelatihan serta pengalaman kerja dengan kompetensi kerja
yang sesuai dengan struktur pekerjaan yang ditugaskan Kementerian Sosial.
5. Sistem lisensi (sertifikasi, ijin Praktik dan registrasi) bagi SDM kesejahteraan
sosial belum diterapkan secara menyeluruh untuk setiap SDM yang bertugas
sebagai pendamping program dan SDM Peksos yang melaksanakan Praktik
pekerjaan sosial.
Policy Brief Standar SDM Kesos-Staf Ahli Bidang Dampak Sosial
Page 2
6. Diferensiasi tugas dan komplementari pekerjaan antara Pekerja Sosial (Social
worker) dan Pekerja Kesejahteraan/ Tenaga Kesejahteraan Sosial (Welfare
Worker) belum dibangun berdasarkan jenjang kompetensi dan kualifikasi
pekerjaan.
C. Tujuan dan Manfaat
Tujuan yang ingin dicapai dari penyusunan policy brief ini adalah:
1. Dapat memberikan gambaran permasalahan dan tantangan kebijakan
nasional dalam pengembangan SDM Kesejahteraan Sosial.
2. Mengevaluasi pelaksanaan kewenangan Kementerian Sosial selaku
pembinaa umum dan teknis dalam pengembangan SDM Kesejahteraan
Sosial.
3. Menyusun rekomendasi alternatif kebijakan bagi Menteri Sosial dalam
menetapkan Standar Nasional SDM Kesejahteraan Sosial.
4. Sebagai salah satu pembelajaran dalam perumusan policy brief dengan
pendekatan Analisis Kebijakan Sosial (Sosial Policy Analysis).
Manfaat yang ingin diberikan sehubungan dengan penulisan policy brief ini
sebagai berikut:
1. Bagi pengambil keputusan kebijakan (Menteri Sosial dan Pejabat Eselon I),
diharapkan dapat digunakan untuk pertimbangan dalam menetapkan
kebijakan tentang pengembangan SDM Kesejahteraan Sosial.
2. Bagi stakeholder Kementerian Sosial, mengetahui faktor-faktor kritikal
permasalahan dan tantangan dalam penetapan Standar SDM Kesejahteraan
Sosial.
3. Bagi kalangan akademisi, policy brief ini berguna untuk menambah
keragaman penerapan Analisis Kebijakan Sosial yang membuka kesempatan
untuk melanjutkan kajian ini bagi akademisi lainnya.
D. Metode Kajian
Dalam kajian ini secara umum metode yang digunakan adalah analisis kebijakan
sosial (Patton dan Sawicki, 1986). Untuk merumuskan masalah kebijakan
digunakan Analisis Perbandingan dengan Kondisi Ideal (Comparison with an
Ideal) dalam bentuk rumusan masalah dan tantangan. Selama proses analisis,
dilakukan pendefinisian ulang masalah kebijakan agar masalah kebijakan yang
teridentifikasi dapat distrukturkan dan dicarikan solusinya. Proses ini disebut
“Pemecahan Masalah Terbalik” (Backward Problem Solving).
Dalam menstrukturkan masalah SDM Kesejahteraan Sosial digunakan juga
Analisis Klasifikasional (Clasificational Analysis) dengan kriteria yang digunakan
melalui Konsistensi Secara Logis (Logical Consistency). Teknik ini digunakan
untuk memperjelas konsep yang digunakan dalam mendefinisikan situasi
problematik. Untuk mendukung penyusunan policy brief dilakukan juga Focus
Group Discussion dengan stakekolder terkait dan kunjungan lapangan ke
Bandung dengan lokus STKS Bandung.
Policy Brief Standar SDM Kesos-Staf Ahli Bidang Dampak Sosial
Page 3
Para pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penyusunan policy brief
sebagai berikut:
- Para Staf Ahli Menteri Sosial;
- Staf Khusus Menteri Sosial;
- Tenaga Ahli Menteri Sosial;
- Para Sekretaris UKE Kemensos ;
- Ketua STKS Bandung;
- Kapusbin Jabfung Peksos dan Pensos Kemensos;
- Kapus Kajian Hukum Kemensos;
- Para Pejabat Eselon II terkait;
- Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Perlindungan Masyarakat,
Bappenas;
- Tim Peneliti B2P3KS Jogyakarta;
- Ketua Forum Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak;
- Sekretaris Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat;
- Sekretaris Dinas Sosial Kota Bandung dan Kabupaten Bandung;
- Ketua Lembaga Penelitian STKS Bandung;
- Kepala Balai Diklat SDM Pemerintah Provinsi Jawa Barat;
- Makmur Sunusi, Ph.D selaku praktisi pekerjaan sosial;
- Aktivis dari GenTaskin;
- Tenaga Ahli dari GIZ;
- Kabag OHH Set Badiklit Kesos (Anggota Tim Teknis).
E. Evaluasi Kebijakan
Kebijakan pengembangan SDM Kesejahteraan Sosial didasarkan pada landasan
yuridis formal sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
Pasal 33 ayat (1) terdapat sumber daya manusia kesejahteraan sosial terdiri
dari Tenaga Kesejahteraan Sosial, Pekerja Sosial Profesional, Relawan
Sosial dan Penyuluh Sosial
Pasal 52, Sertifikasi untuk Pekerja Sosial dan Tenaga Kesejahteraan Sosial
2. Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika;
Pasal 54 Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib
menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (Rehabilitasi Sosial
dilaksanakan oleh Pekerja Sosial)
3. Undang-Undang Nomor 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin;
Pasal 33 Sumber Daya Manusia penyelenggaraan penanganan fakir miskin
terdiri dari Tenaga Kesejahteraan Sosial, Pekerja Sosial Profesional, Relawan
Sosial dan Penyuluh Sosial dan Tenaga Pendamping.
4. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak Pasal 63 Pekerja Sosial dan Tenaga Kesejahteraan Sosial sebagai
petugas kemasyarakatan;
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa;
Pasal 55 huruf b, Praktik Pekerja Sosial
Policy Brief Standar SDM Kesos-Staf Ahli Bidang Dampak Sosial
Page 4
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah;
Lampiran Pembagian Urusan Pemerintah Bidang Sosial, pemberian
Sertifikasi kepada Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan
Sosial oleh Pemerintah Pusat.
7. Peraturan Pemerintah Nomor
Kesejahteraan Sosial;
39 Tahun 2012
tentang Penyelenggaraan
Pasal 73, Pekerja Sosial dapat berpraktik setelah lulus uji kompetensi
(tersertifikasi dan memiliki ijin praktik)
Praktik pekerjaan sosial di Indonesia merupakan kegiatan utama dalam
pelayanan sosial dan untuk menghasilkan pelayanan sosial yang berkualitas
maka penerapan standardisasi dalam praktik pekerjaan sosial merupakan
sesuatu yang mutlak harus dilaksanakan melalui sertifikasi pekerja sosial.
Pelaksanaan sertifikasi saat ini baru mencapai 120 (seratus dua puluh) orang
Pekerja Sosial Profesional sedangkan sertifikasi terhadap Tenaga
Kesejahteraan Sosial belum dapat dilaksanakan, disebabkan karena adanya
keterbatasan sumber daya dalam sertifikasi. Kebutuhan Pekerja Sosial yang
tersertifikasi dari berbagai setting layanan sangat diperlukan, dalam waktu dekat
diperlukan 700 (tujuh ratus) Pekerja Sosial Napza dan Pekerja Sosial Anak
Berhadapan dengan Hukum disetiap Kabupaten/Kota untuk mendampingi dalam
proses peradilan maupun diversi, sementara baru tersedia Sertifikasi Pekerja
Sosial Generalis.
Berdasarkan hasil penelitian evaluasi yang dilakukan oleh Bappenas tahun
2013, hasil penelitian B2P3KS Jogyakarta tahun 2013, FGD SAM tanggal 1 April
2015 dan FGD di STKS Bandung Tanggal 7 April 2015, diperoleh kesimpulan
dan saran-saran sebagai berikut:
1. Bappenas (2013)
a. Hasil Kajian tentang Pendampingan dan Pekerja Sosial dalam
program kesejahteraan masyarakat, menyimpulkan bahwa:
1) Terdapat dua model pendamping yaitu pekerja sosial dan pendamping
sosial yang dikontrak oleh Kemensos, mendapatkan balas karya
dengan jumlah tertentu serta Pekerja Sosial dan pendamping yang
didasarkan pada kerelawanan. Perbedaan terlihat dari kriteria, pola
rekruitmen, kontrak kerja, sistem balas karya, peningkatan kapasitas
dan mekanisme pertanggungjawaban.
2) Terdapat kerancuan dan tumpang tindih nomenklatur bagi Tenaga
Kerja dalam bidang Kesejahteraan sosial yang langsung bekerja
dengan klien seperti Pekerja Sosial, pendamping, penyuluh, pekerja
sosial masyarakat, tenaga kesejahteraan sosial kecamatan sehingga
pekerja sosial sebagai profesi dan pendamping sebagai salah satu
peran yang bisa dilakukan oleh Pekerja Sosial maupun tenaga
kesejahteraan sosial menjadi tidak jelas batasannya yang
mengakibatkan peran yang dilakukan oleh masing-masing menjadi
tumpang tindih dan kurang jelas perbedaannya.
3) Kerancuan istilah juga terjadi untuk pelaku (tenaga bidang pelayanan
sosial) yang berbasis kerelawanan terdapat istilah Pekerja Sosial
Policy Brief Standar SDM Kesos-Staf Ahli Bidang Dampak Sosial
Page 5
Masyarakat (PSM) memakai istilah Pekerja Sosial tetapi kompetensi,
perannya dan karakteristiknya berbeda dengan Pekerja Sosial
Profesional.
4) Peran dan tugas yang dijalankan oleh pekerja sosial dan pendamping
di lapangan tidak jauh berbeda yaitu menjalankan peran-peran
fasilitiasi, mediator, enabler, educator, advokat, dan broker yang
sebetulnya lebih dari yang termuat dalam pedoman dan yang paling
menonjol yang dilakukan oleh Satuan Bakti Pekerja Sosial,
Pendamping PKH, TKSK, PSM sebagai penghubung dengan berbagai
sumber layanan yang dibutuhkan, juga menjembatani konflik antara
klien dengan lembaga pelayanan, serta peran sebagai fasilitator. Peran
advokasi hanya dilakukan oleh sebagian kecil Sakti Peksos maupun
Pendamping PKH. Sakti Peksos lebih memahami metode dan tehnik
pendampingan karena latar belakang pendidikan mereka yang berasal
dari pendidikan tinggi Pekerjaan Sosial atau Kesejahteraan Sosial.
b. Saran hasil peneltian
1) Kerancuan dalam istilah yang digunakan untuk pekerja/pelaku yang
memberikan pertolongan terhadap PMKS perlu dibenahi dan
disederhanakan dengan menyusun nomenklatur yang berbasis kepada
kompetensi, peran dan tugas yang dijalankan dalam intervensi
terhadap PMKS.
2) Istilah pendamping bisa diberikan kepada individu yang menjalankan
peran fasilitator, mediator, broker, enabler, dan/atau advokat dalam
membantu PMKS memecahkan masalahnya yang berbasis kelompok
dan/atau komunitas dalam kurun waktu yang cukup panjang. Sebagai
penanda yang membedakan pendamping program pelayanan dan
batasan profesi dan kerelawanan, kata pendamping bisa ditambah
dengan jenis pelayanan sosial/program yang relevan. Sebagai contoh:
Pekerja Sosial Pendamping Anak Cacat, Tenaga Kerja Sosial
Pendamping PKH, Relawan Sosial Pendamping KUBE dan lain-lain.
3) Khusus bagi Tenaga Kerja Sosial Kecamatan yang sekarang berfungsi
untuk membantu Camat dalam penyelenggaraan upaya kesejahteraan
sosial, istilah ini bisa tetap dipakai tersendiri tetapi dengan peran yan
diperluas sebagai koordinator upaya pelayanan kesejahteraan sosial
ditingkat kecamatan yang meliputi peran manajerial, penyusunan
database relawan sosial dan database PMKS tingkat kecamatan.
Berkaitan dengan peran yang lebih luas tersebut TKSK tidak lagi bisa
menggunakan skema relawan akan tetapi menggunakan skema
pegawai negeri sipil atau tenaga kontrak dari Dinas Sosial Kabupaten.
Mengingat peran tersebut, makaTKSK harus mensyaratkan latar
belakang pendidikan pekerja sosial atau kesejahteraan sosial.
Policy Brief Standar SDM Kesos-Staf Ahli Bidang Dampak Sosial
Page 6
2. BBPPPKS Yogyakarta, Badiklitkesos (2013).
a. Hasil penelitian tentang Standar Kompetensi Pendamping Sosial
Berbasis Sistem Pekerjaan Sosial, antara lain menjelaskan:
1) Terdapat tenaga pendamping program kesos yang sangat beragam
dengan
kompetensi
yang
berbeda-beda
sehingga
proses
pendampingan yang dilakukan sangat beragam dan tidak terstandar.
2) Banyak tenaga pendamping yang merangkap beberapa program
kesos.
3) Kinerja pendamping sulit diukur tingkat efektivitasnya.
4) Terjadi keragaman besarnya insentif yang diterima oleh pendamping ,
antara program yang satu dengan program yang lain sehingga
menimbulkan kecemburuan sosial di antara para pendamping dan
dapat merusak iklim kerja di lapangan serta mengakibatkan kurang
optimalnya pelayanan yang diberikan pendamping kepada
masyarakat/PMKS.
b. Rekomendasi/ saran hasil dari penelitian antara lain :
1) Perlu segera ditetapkan Peraturan Perundangan tentang standar
nasional pendamping sosial sehingga posisi pendamping sosial
menjadi kuat, demikian halnya dengan mekanisme perekrutan,
manajemen, intervensi sosial dan sistem peningkatan kapasitas
pendamping.
2) Pendamping program hendaknya berlatar
pekerjaan sosial/ilmu kesejahteraan sosial.
belakang
pendidikan
3) Kualifikasi pendamping sosial perlu dikaitkan dengan sistem insentif
yang layak secara kemanusiaan.
4) Standarisasi pendampingan sosial perlu diciptakan dengan
memadukan sistem rekruitmen, sistem managemen, sistem intervensi,
dan sistem pelatihan dengan melibatkan berbagai pihak terkait
(Kemensos/Direktorat terkait, Pemda TK I/II, BBPPKS dan stake
holder).
3. Hasil Fokus Group Disccusion Staf Ahli Menteri
a. Nomenklatur pendamping sosial program yang beragam menimbulkan
kerancuan, tumpang tindih fungsi, membingungkan masyarakat dan
berdampak pada ketidakjelasan keberadaan SDM kesejahteraan sosial
dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Keberagaman pendamping
sosial yang berbasis program/proyek juga mengakibatkan sistem
pendidikan dan pelatihan menjadi kurang terstruktur dan terintegrasi.
b. Muncul nomenklatur SDM Kesejahteraan Sosial yang menjadi
pendamping menunjukkan bahwa belum tertatanya prosedur pengadaan
pendamping dan kurang terkoordinasi dalam penetapan payung hukum
setiap pendamping sosial.
Policy Brief Standar SDM Kesos-Staf Ahli Bidang Dampak Sosial
Page 7
c. Kebutuhan pendamping sosial untuk memastikan setiap program-program
penyelenggaraan kesejahteraan sosial dapat mencapai manfaat
(outcome) dan dampak (impact) bagi penerima manfaat.
d. Analisis kebutuhan pendamping sosial yang belum terintegrasi berdampak
pada ketidakjelasan formasi penyediaan SDM Kesejahteraan Sosial,
termasuk prospek untuk menjadi Aparatur Sipil Negara bagi pendamping
sosial yang potensial.
e. Lemahnya hubungan antar pendamping sosial di lapangan,
mempengaruhi sinergi antar program PKH, KUBE, PKSA, ASODK,
ASLUT, dll.
f. Jengjang karier fungsional atau apresiasi terhadap pendamping sosial
yang berprestasi, mempengaruhi kemajuan kinerja program. Pendamping
sosial yang berkelanjutan merupakan kebutuhan strategis bagi
pencapaian target sasaran program-program kesejahteraan sosial.
g. Permasalahan kesejahteraan sosial baik yang bersifat personal maupun
kelompok bahkan komunitas tidak dapat dilepaskan penyelesaiannya
dengan profesi pekerjaan sosial (Social Work). Pekerja sosial, baik yang
bekerja dalam lembaga rehabilitasi sosial maupun di luar
lembaga/masyarakat, merupakan profesi utama dalam penyelesaian
masalah kesejahteraan sosial. Namun, jumlah pekerja sosial yang
berlatarbelakang pendidikan pekerjaan sosial jumlahnya sangat terbatas.
Upaya yang harus dilakukan adalah mendayagunakan para Tenaga
Kesejahteran Sosial (TKS) dan Relawan Sosial.
h. TKS dan Relawan Sosial dapat membantu menggantikan peran dan
fungsi pekerja sosial dengan baik harus memiliki kemampuan (ability),
kekuatan (power) dan kesempatan (opportunity) untuk melaksanakan hal
itu dengan baik. Maka, TKS dan Relawan Sosial perlu diberi penguatan
guna meningkatkan peran dan fungsi mereka agar mereka dapat
melakukan intervensi dengan berdayaguna memberi efek positif terhadap
penanganan PMKS.
i.
Standarisasi SDM Kesos dengan demikian harus diarahkan pada aspek
kemampuan, kekuatan dan kesempatan, pada dua rumpun: generalis dan
spesialis. Perlu ada stratifikasi pekerja sosial sesuai dengan tingkat
pendidikan.
j.
Terkait penguatan TKS dan Relawan Sosial diarahkan untuk
meningkatkan kinerja mereka dalam melaksanakan penanganan PMKS.
Penguatan itu sendiri dipandang sebagai sebuah proses peningkatan
kapasitas yang mencakup pemberdayaan (empowerment) dan partisipasi
atau pelibatan.
k. Pemberdayaan atau penguatan TKS dan Relawan Sosial berisi kegiatankegiatan dalam rangka peningkatan kapasitas mereka dalam bentuk
transfer pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), transfer budaya
kerja yang baik; dan peningkatan partisipasi atau pelibatan (involvement)
berupa pemberian kesempatan-kesempatan seperti dalam menyusun
rencana program/kegiatan, dalam pembuatan/penentuan keputusan,
perubahan kebijakan dan bentuk partisipasi lainnya.
Policy Brief Standar SDM Kesos-Staf Ahli Bidang Dampak Sosial
Page 8
l.
Penguatan juga diarahkan pada upaya memfasilitasi pembentukan
lembaga atau organisasi yang mampu meningkatkan power TKS dan
Relawan Sosial dalam konteks untuk meningkatkan eksistensi dan
kemanfaatan keberadaan mereka.
4. Hasil Fokus Group Disccusion di STKS Bandung
a. Kebijakan nasional dalam bentuk Peraturan Menteri Sosial tentang
Standar Nasional SDM Kesejahteraan Sosial sudah mendesak ditetapkan
untuk mengeliminasi sengkarut SDM Kesejahteraan Sosial yang ada saat
ini.
b. Penggunaan nomenklatur pendamping sosial dalam berbagai program
strategis nasional telah mereduksi eksistensi Pekerja Sosial (Social
Worker) dan Pekerja Kesejahteraan/Tenaga Kesejahteraan Sosial
(Welfare Worker) yang telah dimanatkan dalam Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Oleh karena itu, upaya
mengembalikan eksistensi pilar-pilar utama SDM Kesejahteraan Sosial
dapat dilakukan melalui penetapan Peraturan Menteri Sosial sebagai
afirmatif action, sebelum lahirnya Undang-Undang tentang Pekerja Sosial.
c. Standar Nasional SDM Kesejahteraan Sosial sangat diperlukan untuk
memastikan sistem pengadaan dan pembinaan SDM di daerah. Karena itu
dalam Permensos tentang Standar Nasional SDM Kesejahteraan Sosial
diharapkan memuat aspek-aspek ratio ideal antara Pekerja Sosial,
Tenaga Kesejahteraan Sosial, Relawan Sosial dan Penyuluh Sosial
dibandingkan dengan target penerima manfaat (PMKS). Selain itu standar
kompetensi dapat segera ditetapkan untuk digunakan dalam
pengembangan sistem pendidikan dan pelatihan di daerah.
d. Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Balai Diklat SDM telah
mengembangkan standar kualifikasi akademik dan standar kompetensi
yang dapat dijadikan masukan dalam penyusunan standar nasional SDM
Kesejahteraan Sosial. Diperlukan orientasi baru dalam membangun citra
pekerja sosial dan tenaga kesejahteraan sosial melalui rekruitmen tenaga
yang professional dan pemberian tunjangan jabatan dan profesi bagi
pekerja sosial dan tenaga kesejahteraan sosial yang sudah tersertifikasi
kompetensinya.
e. Berdasarkan penilaian Dinas Sosial maka kinerja Pekerja Sosial
Profesional diakui telah melaksanakan tugas dan peran-peran profesional
yang lebih baik dibandingkan kinerja petugas yang direkrut tanpa
memperhatikan latar belakang pendidikan pekerjaan sosial/ kesejahteraan
sosial. Karena itu untuk program-program strategis nasional (PKH,PKSA,
PRS Korban Napza, Program Pemberdayaan Fakir Miskin, Program
Pemberdayaan KAT, Program Raskin, Program PSKS, dll.) agar
mendayagunakan Pekerja Sosial Profesional sebagai team leader dari
tenaga-tenaga kesejahteraan sosial, seperti TKSK, PSM, Kader RBM,
dll.). Penyediaan Pekerja Sosial Profesional selayaknya mendayagunakan
lulusan STKS Bandung secara optimal sebagai satuan kerja Kementerian
Sosial.
Policy Brief Standar SDM Kesos-Staf Ahli Bidang Dampak Sosial
Page 9
f. Sistem penempatan SDM Kesejahteraan Sosial dalam konteks
pendampingan program agar dibangun sistem hierarkhi secara fungsional
yang dimasukkan dalam Permensos tentang Standar Nasional SDM
Kesejahteraan Sosial yang akan disusun, misalnya di tingkat kecamatan
diwajibkan ada Pekerja Sosial Profesional sebagai team leader
penyelenggaraan kesejahteraan sosial berbasis wilayah. Selanjutnya
dalam team tersedia para petugas professional lainnya, bisa pekerja sosial
spesialis (berdasarkan keahlian yang dibutuhkan dalam pendampingan
program yang spesifik, misalnya spesialis perlindungan anak, spesialis
penanganan korban bencana, spesialis penanganan korban Napza, dll).
Team tersebut juga didukung oleh tenaga-tenaga kesejahteraan sosial
lainnya, seperti TKSK yang berperan sebagai asisten team sekaligus
mengkordinasikan tenaga-tenaga relawan sosial di tingkat desa/
kelurahan seperti PSM, dan Tagana.
g. Beban tugas TKSK dinilai melampaui kapasitas kompetensinya, antara
lain sebagai pendamping sosial program raskin, pedataan PMKS,
verifikasi dan validasi data PMKS, kordinator penyelenggaraan
kesejahteraan sosial di tingkat kecamatan, pendamping KUBE,
Pendamping KAT, Pendamping WKSBM, dan tugas-tugas lainnya. Pada
prakteknya pelaksana tugas-tugas tersebut ditemukan dirangkap oleh
TKSK. Akibatnya kinerja para pendamping tidak optimal.Karena itu
diperlukan kejelasan tugas dan peran TKSK dan peningkatan persyaratan
kualifikasi dari SMA menjadi Sarjana/ Diploma. Bagi yang belum
memenuhi persyaratan, diperlukan pendidikan kesetaraan yang didukung
dengan dana APBD. Dinas Sosial Kota Bandung sudah memberikan
beasiswa kepada para TKSK agar bisa meraih kompetensi yang lebih baik
di perguruan tinggi. Namun demikian belum ada upaya kerjasama
pengembangan SDM TKSK dengan STKS Bandung.
h. Berdasarkan evaluasi Dinas Sosial Kota Bandung, Dinas Sosial
Kabupaten Bandung dan Forum LKSA bahwa realokasi Satuan Bakti
Pekerja Sosial dalam Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) untuk
didistribusikan ke kota/kabupaten lain dinilai tidak tepat, karena kurang
memperhatikan domisili Peksos. Akibatnya 60 orang dari 68 orang Sakti
Peksos untuk PKSA mengundurkan diri. Hal ini terjadi karena gaji yang
diberikan belum mencukupi kebutuhan fisik minimum, apalagi jika
berpindah tempat tugas. Kebijakan tersebut beresiko Praktik pekerjaan
sosial (misalnya case management, care planning, psikososial teraphy,
reuinifikasi,dll.) di bidang perlindungan anak yang selama ini telah
dilaksanakan bersama-sama LKSA tidak dapat dilaksanakan kembali
secara professional.
i.
Lembaga Penelitian STKS Bandung sedang melakukan kajian tentang
standar kompetensi bagi pekerja sosial dari level Peksos Ahli Pemula
(mampu melaksanakan pratik pekerjaan sosial), Peksos Ahli Muda
(mampu memvalidasi praktik pekerjaan sosial), Peksos Ahli Madya
(mampu mengembangkan praktik pekerjaan sosial) dan Peksos Ahli
Utama (mampu menemukan model praktik pekerjaan sosial) agar jenjang
level 6 sampai dengan level 9 dapat terpenuhi berdasarkan Standar
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Diharapkan hasil kajian
tersebut dapat dijadikan pertimbangan untuk meningkatkan jenjang
Policy Brief Standar SDM Kesos-Staf Ahli Bidang Dampak Sosial
Page 10
jabatan fungsional Pekerja Sosial sampai jenjang Peksos Utama (IV e).
Saat ini hanya bisa sampai Peksos Madya (IV c).
F. Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat kami ajukan rekomendasi kebijakan
sebagai berikut:
1. Perlu ditetapkan Peraturan Menteri Sosial tentang Standar Nasional SDM
Kesejahteraan Sosial yang meliputi standar kualifikasi dan standar
pembinaan SDM Kesos yang ditugaskan menjadi pendamping program, baik
yang menjadi kewenangan Kementerian Sosial, maupun kewenangan
kementerian/ lembaga negara dan lembaga-lembaga non pemerintah.
2. Dalam Peraturan Menteri Sosial dimaksud perlu ditetapkan jenjang
kompetensi dan jenis jabatan berdasarkan kualifikasi SDM kesejahteraan
sosial (pekerja sosial, tenaga kesejahteraan sosial, relawan sosial dan
penyuluh sosial). Permensos yang dimaksud dapat dipertimbangkan disusun
secara terpisah untuk masing-masing pilar SDM kesejahteraan sosial
tersebut, sehingga menjadi Permensos tentang Standar Nasional Pekerja
Sosial, Permensos tentang Standar Nasional Tenaga Kesejahteraan Sosial,
Permensos tentang Standar Nasional Relawan Sosial dan Permensos
tentang Standar Nasional Penyuluh Sosial.
3. Selain jenjang kompetensi dan jenis jabatan, perlu penetapan standar
pembinaan SDM kesejahteraan sosial yang meliputi standar pengadaan
(analisis kebutuhan, rekruitmen, penempatan) dan peningkatan kompetensi
(pendidikan, pelatihan, renumerasi dan pembinaan karier).
4. Perlu dipastikan agar Rancangan Undang-Undang tentang Praktik Pekerjaan
Sosial masuk dalam Program Legislasi Nasional di DPR RI dan mendapat
prioritas pembahasan lebih lanjut untuk ditetapkan menjadi Undang-Undang.
Anatomi RUU Praktik Pekerjaan mencakup antara lain Standardisasi
Pendidikan dan Pelatihan Praktik Pekerjaan Sosial, Standardisasi Kompetensi
Praktik Pekerjaan Sosial, Standardisasi Praktik Pekerjaan Sosial, Sertifikasi,
Registrasi dan Ijin Praktik Pekerjaan Sosial.
5. Untuk membangun eksistensi SDM Kesejahteraan Sosial, maka diperlukan
pemberian identitas yang khas, seperti penyamaan seragam pakaian
(uniform) dengan label yang relevan dan kartu identitas yang berlaku secara
nasional.
6. Sistem pengembangan SDM kesejahteraan sosial agar didasarkan Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia yang menghubungkan antara pendidikan dan
pelatihan serta pengalaman kerja dengan kompetensi kerja yang sesuai
dengan struktur pekerjaan yang ditugaskan Kementerian Sosial.
Policy Brief Standar SDM Kesos-Staf Ahli Bidang Dampak Sosial
Page 11
KESETARAAN JENJANG KUALIFIKASI PADA KOMPETENSI NASIONAL
PEKERJA SOSIAL & TENAGA KESEJAHTERAAN SOSIAL (KNPS & TKS) DENGAN JENJANG
PENDIDIKAN, PELATIHAN KERJA, DAN/ATAU PENGALAMAN KERJA
JENJANG
KUALIFI
KASI KNPS & TKS
JENJANG CAPAIAN PEMBELAJARAN (JCP)
PENDIDIKAN FORMAL
S3
S3(T)
S2
S2(T)
SPESIALIS
AHLI
7
6
S1(T)
D III
TEKNISI/
ANALIS
5
D II
4
DI
Sekolah
Menengah
Umum
9
8
PROFESI
S1
JCP MELALUI PELATIHAN
KERJA DAN/ATAU
PENGALAMAN KERJA
3
Sekolah
Menegah
Kejuruan
OPERATOR
2
1
7. Sistem lisensi (sertfikasi, ijin Praktik dan registrasi) bagi SDM kesejahteraan
sosial perlu diterapkan secara menyeluruh untuk setiap pendampingan
program.
SDM Kesos
Standarisasi
SDM
Pekerja Sosial
Organisasi
LKS
TKS
Sertifikasi
Uji Kompetensi
Pengetahuan, Ketrampilan, Nilai,
Norma & Etika Profesi
Akreditasi
SPM Peny Kessos
Sertifikat Akreditasi
Sertifikat Kompetensi
Ijin Praktik & Regristasi
8. Perlu dibangun kesepakatan kerja tentang diferensiasi tugas dan
komplementari pekerjaan antara Pekerja Sosial (Social Worker) dan Pekerja
Kesejahteraan/ Tenaga Kesejahteraan Sosial (Welfare Worker) yang
didasarkan pada jenjang kompetensi dan kualifikasi pekerjaan.
Policy Brief Standar SDM Kesos-Staf Ahli Bidang Dampak Sosial
Page 12
Kualifikasi SDM Kesejahteraan Sosial
KUALIFIKASI
Social
Worker
Welfare Worker
Volun
teer
(Pendidikan
Peksos/Kesos)
( ex: Psikolog, Antropolog,
Statisian, Sosiolog, Ekonom,
Penyuluh Sosial, dll)
Advanced
Profesional
S3/SP2
S3/SP2
S3/SP2
Spesialist
Profesional
S2/SP1 +
Training/
Practice
S2/SP1 + Training/
Practice
S2/SP1 +
Training/
Practice
Intermediate
Profesional
S2/SP1
S2/SP1
S2/SP1
Basic Profesional
S1/DIV
S1/DIV
S1/DIV
Asisten
SMPS
SMU
SMPS/SMU
9. Sampai saat ini Sertifikasi baru dapat dilaksanakan kepada Pekerja Sosial
pada tingkat generalis. Berdasarkan skala prioritas penyelenggaraan
kesejahteraan sosial, sudah diperlukan sertifikasi, registrasi dan pemberian
ijin Praktik dalam lingkup pendampingan secara spesialis, seperti Pekerja
Sosial Spesialis Adiksi, Pekerja Sosial Spesialis Pelindungan Anak, Pekerja
Sosial Medis, dll. Adapun pada tingkat asisten (care giver) juga diperlukan
untuk memastikan Praktik pekerjaan sosial dapat bersinergi dengan pekerja
sosial profesional dan pekerja profesional lainnya.
10. Dalam OTK Kementerian agar pembinaan Sumber Daya Manusia
Kesejahteraan Sosial dapat terintegrasi, terstruktur dan terstandar diperlukan
satu unit setingkat Eselon II (Pimpinan Tinggi Madya) atau optimalisasi fungsi
Pusat Pembinaan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial dan Penyuluh Sosial
dengan penyesuaian nomenklatur dan pemberian kewenangan yang lebih
luas dalam melaksanakan standarisasi SDM Kesejahteraan Sosial. Oleh
karena itu diusulkan menjadi Pusat Pengembangan SDM Kesejahteraan
Sosial.
11. Perlu dibangun kerjasama pengembangan SDM Kesejahteraan Sosial
dengan para pihak lain dalam dan luar negeri yang mendukung perencanaan
pengembangan SDM (man power planning).
12. Dalam peningkatan profesionalisme Praktik Pekerjaan Sosial, diperlukan
penyempurnaan Road Map Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial Tahun
2015-2019 yang pernah disusun Pusbin Jabfung Peksos dan Pensos, seperti
dalam fish diagram berikut ini.
Policy Brief Standar SDM Kesos-Staf Ahli Bidang Dampak Sosial
Page 13
ROAD MAP PENGEMBANGAN PROFESI PEKERJAAN SOSIAL
LEGAL REFORM
Sertifikasi
Akreditasi
NETWORKING
Asosiasi
Profesi
NA & RUU Praktik
Pekerjaan Sosial
Fasilitasi Kelembagaan
LSPS & BALKS di 6
Regional BBPPKS
Uji Kompetensi di
Ibukota Propinsi
Optimalisasi
Pengangkatan Peksos
& TKS
Sistem Database
Nasional
Asosiasi
Pendidikan
Jabatan
Fungsional
SISTEM
INFORMASI
Online System via
p4s.kemsos.go.id
Lembaga
Koordinasi
Mitra terkait
dalam/luar
negeri
Dialog Interaktif
via facebook
P4s Kemsos
PROFESI
PEKERJAAN
SOSIAL
INDONESIA
Pendidikan Tinggi
Pekerjaan Sosial/Kessos
Pelatihan Kompetensi
Teknis
Capacity Building
Visitasi ke LKS
DESENTRALISASI
SERTIFIKASI &
AKREDITASI
PENINGKATAN KOMPETENSI
PEKERJA SOSIAL &
MANAJEMEN LKS
13. Dalam sistem pengembangan SDM Kesejahteraan Sosial perlu
diinternalisasikan nilai-nilai religius (misal dalam materi Diklat), seperti
keimanan, keikhlasan, integritas, nilai ibadah, pahala dan dosa, serta nilainilai yang mendorong terjadinya revolusi mental SDM Kesejahteraan Sosial
dalam kerangka restorasi sosial. Hal ini akan menjadi pengawasan melekat
untuk setiap individu.
Jakarta, 15 Mei 2015
Dr.Ir. Harry Hikmat, M.Si
Policy Brief Standar SDM Kesos-Staf Ahli Bidang Dampak Sosial
Page 14
Download