Ancaman-Globalisasi-terhadap-Implementasi-Hukum

advertisement
Ancaman Globalisasi terhadap Implementasi Hukum Lingkungan :
Sebuah Tinjauan Perspektif Feminist Legal Theory
Oleh: Adzkar Ahsinin
Pendahuluan
Wilayah hidup rakyat di berbagai kampung di Indonesia telah dan sedang
mengalami perusakan yang mengancam keselamatan dan kesejahteraan rakyat yang
hidup di dalamnya. Ribuan bentuk perusakan dari yang paling halus hingga paling kasat
mata terus menerus mengancam dan menggerogoti wilayah-wilayah hidup rakyat, lahan
pertanian, hutan, lahan peternakan, termasuk meminggirkan cara rakyat bertahan hidup
yang telah lama ada.1 Kondisi serupa juga dialami oleh rakyat miskin kota, penggusuran
hunian sudah jamak terjadi di berbagai kota besar di Indonesia. Gejala penggusuran
yang semakin massif akhir-akhir ini merupakan indikasi betapa tata ruang kota sebagai
salah satu aspek dari tata lingkungan yang bersifat makro tidak mengakomodasi hak
rakyat yang bersifat mendasar.
Setidaknya ada 3 (tiga) jenis perusak lingkungan yang hadir di dunia dan
mengancam keselamatan dan kesejahteraan masyarakat lokal di negara-negara
berkembang. Pertama, adalah industri pertanian global, kedua, industri pertambangan,
dan ketiga, adalah industri kehutanan.2 Dalam konteks tata ruang kota, gejala
transformasi ruang publik menjadi ruang privat merefleksikan komodifikasi ruang hidup
dan ruang sosial yang cenderung memarjinalkan dan mengorbankan rakyat miskin kota.
Manakala suatu komunitas dimarjinalkan dari wilayah hidup, kita harus melihat
bahwa di dalam komunitas-komunitas tersebut terdapat kelompok-kelompok dan
golongan-golongan yang mengalami penderitaan yang lebih dibandingkan dengan
kelompok-kelompok dan golongan-golongan yang lain. Realita menunjukkan bahwa
dalam kasus-kasus kerusakan lingkungan, perempuan dan anak-anak menjadi kelompok
dan golongan yang lebih berisiko dan berpotensi mengalami penderitaan lebih
dibandingkan dengan kelompok dan golongan yang lain.3 Kelompok dan golongan
tersebut lebih rentan menjadi korban karena secara tradisional mereka telah menjadi
sasaran proses dan perlakuan diskriminasi. Doktrin hukum Hak Asasi Manusia (HAM)
mengkategorisasikan kelompok dan golongan ini dengan sebutan kelompok rentan dan
tidak beruntung (vulnerable and disadvantage groups).4
Tulisan ini mencoba mendeskripsikan perempuan sebagai korban atas kerusakan
lingkungan yang terjadi sebagai akibat globalisasi ekonomi dan kemudian
mentautkannya dengan HAM khususnya hak asasi perempuan. Perspektif feminist legal
theory dijadikan pisau analisis untuk memetakan sampai sejauhmana keberpihakan
peraturan perundang-undangan di sektor lingkungan berpihak pada perempuan.
Meentje Simatauw, Leonard Simanjuntak, Pantoro Tri Kuswardono, Gender & Pengelolaan Sumber Daya Alam :
Sebuah Panduan Analisis, Yayasan PIKUL, 2001, hal. 1
2 Ibid, hal. 33
3 Saat Freeport belum masuk, perempuan asli mungkin sekali tidak merasakan beban kehidupan yang berat.
Namun ketika Freeport masuk, dampak yang dirasakan oleh perempuan lebih berat dibandingkan dengan lakilaki. Pembedaan secara tradisional ternyata menimbulkan kesengsaraan bagi peempuan saat terjadi perubahan.
Karena perempuan harus mengurus makan keluarga maka kerja perempuan menjadi lebih berat saat lingkungan
rusak oleh pertambangan. Lihat ibid, hal. 12
4 Economic, Social, and Cultural Committee United Nations memasukan perempuan dan anak-anak sebagai kelompok
rentan dan tidak beruntung
1
1
Globalisasi Ekonomi dan Dampaknya terhadap Lingkungan
Globalisasi memperlihatkan 2 (dua) dimensi yakni, pertama dimensi ekonomi
dan korporasi (economic and corporation globalization). Kedua, dimensi politik dan
negara (political and state globalization).5 Kedua dimensi tersebut nampak pada
kebijakan yang diskenariokan dan didesain oleh negara-negara maju yang tergabung
dalam G 86 melalui 3 (tiga) mesin globalisasi yaitu, pertama lembaga keuangan
internasional (International Financial Institutions/IFI’s),7 kedua Organisasi
Perdangangan Dunia (World Trade Organization/WTO), dan ketiga perusahaan
multinasional (Multinational Corporation/MNC).8
Melalui mesin-mesin globalisasi di atas, negara-negara maju semakin
memperkokoh hegemoni mereka untuk mengatur dan mengontrol sumber-sumber di
dunia. Lewat tangan WTO mereka mengatur kebijakan perdagangan dunia.9 Melalui
lembaga keuangan multilateral, mereka dapat menentukan negara mana yang dapat
menikmati kucuran uang. Kemudian dengan meminjam kekuatan IMF, mereka
menekan negara-negara untuk melakukan deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi.10
M. Ridha Saleh, Ecoside : Politik Kejahatan lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Jakarta, Walhi, 2005,
hal. 50
6 Negara-negara yang tergabung dalam G 8 terdiri dari Amerika Serikat, Kanada, Itali, Perancis, Inggris, Jerman,
Rusia, dan Jepang .
7 Lembaga Keuangan Internasional yakni : Bank Dunia (WB), Dana Moneter Internasional (IMF), Bank
Pembangunan Asia (ADB), Bank Pembangunan Afrika (AfDB), Bank Pembangunan Eropa (EBRD), Bank
Pembangunan antar Amerika (IADB), dan Bank Pembangunan Islam (IDB).
8 Selain melalui institusi-institusi tersebut, negara-negara maju dengan menciptakan lembaga keuangan untuk
mendukung investasi mereka di luar negeri. Lembaga ini umumnya disebut sebagai Lembga Kredit Ekspor
(Export Credit Agencies/ECA) seperti JBIC (Jepang), Exim Bank (AS), EDC (Kanada), Hermes Jerman).
Kemudian mereka juga menciptakan lembaga penjamin yang ditujukan untuk menjamin investasi atas aset-aset
negara tersebut di luar negeri, misalnya OPIC (AS). Lihat Konspirasi Global : Kejahatan yang Terorganisir dalam
Aflina Mustafainah, et. al. Manual Pendidikan Dasar Globalisasi, Jakarta, debtWATCH Indonesia, JK-LPK, dan
Community Development Bethesda, 2004, hal. 14
9 Salah satu aspek yang diatur oleh WTO adalah perdagangan yang terkait dengan Hak atas Kekayaan
Intelektual (HaKI)/Trade Related Aspect of Intelectual Property Rights (TRIPs). TRIPs merupakan instrumen hukum
internasional untuk melindungi kekayaan intelektual dan penemuan termasuk makhluk hidup yang salah
satunya adalah benih atau varietas pertanian. Dengan hak paten atas mahkluk hidup, seseorang atau suatu
lembaga memiliki hak sepenuhnya untuk memanfaatkan atau menjual jenis atau varietas yang telah dipatenkan.
Bila orang lain ingin memanfaatkan atau menjual jenis atau varietas yang sama mereka harus membayar pada
pemilik paten. Implikasinya para petani dan masyarakat adat tidak dapat lagi menjalankan aktivitas seperti
menyimpan benih, mempertukarkan, menanam, dan menjual tanpa seijin pemilik paten. Lihat Posisi Koalisi
Ornop terhadap WTO dalam Meentje Simatauw, Leonard Simanjuntak, Pantoro Tri Kuswardono, op. cit, hal.
38
10 Aflina Mustafainah et. al, loc. cit. Kebijakan yang dikembangkan oleh lembaga keuangan multilateral selalu
mengarah kepada privatisasi (yang selalu didahului oleh restrukturisasi) dan liberalisasi lewat mesin mereka :
pinjaman (loan). Setiap pinjaman yang diberikan kepada negara-negara debitor selalu disertai syarat-syarat
(conditionalities) yang lebih dikenal sebagai Program Penyesuaian Struktural (Structural Adjusment
Program/SAP). Fungsi utama SAP adalah untuk meromabk sistem lama disuatu negara agar sesuai dengan
mekanisme pasar bebas murni yang diusung oleh aliran neoliberalisme. Lihat Arimbi Heroepoetri dalam Fabby
Tumiwa, Listrik yang Menyengat Rakyat : Menggugat Peranan Bank-Bank Pembangunan Multilarel, Jakarta, WGPSR,
2002, hal. Xii. Berdasarkan kesepakatan dengan IMF, Indonesia akan membuka keran impor beras dengan bea
masuk 0% pada bulan Agustus 2002. Artinya beras dari luar akan membanjiri pasar eras di Indonesia dengan
harga murah. Harga beras di pasar dunia pada tahun 2000 berkisar 1500 rupaiah sementara harga beras lokal
berkisar antara 2000 hingga 3000 rupiah perkila gram. Lihat Meentje Simatauw, Leonard Simanjuntak, Pantoro
Tri Kuswardono, ibid. hal 34
5
2
Kemudian dampak dari investasi MNC yang mengakibatkan penderitaan pada
masyarakat adat (indigenous people) dilakukan oleh Hitchock sebagaimna dipaparkan
dalam tabel di bawah ini.11
Tabel 1 :
Proyek MNC yang menyebabkan dampak negatif bagi kesejahteraan masyarakat adapt
Perubahan
Negara
Ecuador oil development
(Petroequador, Maxus oil
Co.)
Ecuador
Total, Unocal (Union Oil
Company of California)
Royal dutch shell
Burma
Tanzania Wheat Project
Tanzania
Borneo Logging
(Mitshubishi)
Western Desert Mining
(Rio Tinto Zinc)
Uranium Mining (KerrMcGee)
Malaysia
Agricultural Project (Swft
Armour, King Ranch)
Brasil
Nigeria
Australia
New Mexico
Dampak
Waorani dan masyarakat adat lainnya
tergusur dari tanahnya, keanekaragaman
hayati hilang, air terkena racun, da kerusakan
lingkungan secara masif karena tumpahan
minyak
Terlibat dalam hak-hak buruh dan
menggunakan budak
Perusakan lingkungan, penindasan,
perampasan milik rakyat ogoni, penangkapan
dan penahanan dengan sewenang-wenang,
dan menghukum mati aktivis lingkungan
Pemindahan secara paksa, pelecehan dan
penahan, serta mengurangi akses
Perusakan hutan, dan penindasan atas suku
Punan dan masyarakat asli lainnya
Aborigin tergusur dari wilayah tradisionalnya,
polusi dan perusakan sumber daya
Penambangan-penambangan Navajo
menderita kanker dan penyakit lainnya, tetapi
mendapat kompensasi dan bantuan sangat
minimal
Pembersihan hutan dan timbulnya konflikkonflik sosial
Selain merusak lingkungan, korporasi global yang didukung oleh negara-negara
maju dan kaya, WTO, kartel utang terutama IMF, Bank Dunia sebagai mesin utama
globalisasi dalam mengakumulasi kekayaan dan menghisap sumber daya negaranegara berkembang, operasi korporasi global tersebut
menyokong terjadinya
12
pemiskinan yang semakin masif.
Kecenderungannya kesenjangan sosial ekonomi
antara negara maju dan negara miskin semakin memprihatinkan sepanjang 10 tahun
terakhir. Data UNDP tahun 1999 menunjukkan bahwa jumlah orang miskin yang
hidupnya kurang dari 1 dollar AS sehari meningkat dari 1,197 milyar pada tahun 1987
menjadi 1,214 milyar pada tahun 1997 atau sekitar 20% dari penduduk dunia. Dua puluh
lima persennya lagi (sekitar 1,6 milyar) dari penduduk dunia bertahan hidup dengan 1-2
dollar AS setiap hari. Dampaknya setiap hari 11.000 anak mati kelaparan di seluruh
dunia, sedangkan 200 juta anak menderita kekurangan gizi dan protein serta kalori
(satu dari empat anak di dunia). Selain itu lebih dari 800 juta orang menderita
Ifdhal Kasim, Hak atas Lingkungan Hidup dan Tanggung Gugat Korporasi Internasional, SUAR, Volume 5 No. 10 &
11 Tahun 2004, hal. 24
12 Kemiskinan merupakan suatu kondisi yang menghambat terpenuhinya hak atas lingkungan yang sehat.
Permasalahan pemenuhan atas hak lingkungan juga terkait dengan hak atas permukiman yang layak (right to
adequate housing) dan akses terhadap layanan air bersih. Rakyat yang hidup dalam kondisi miskin justru sulit
untuk memperoleh kedua penikmatan atas hak ini.
11
3
kelaparan kronis di seluruh dunia dan kira-kira 70% dari mereka adalah perempuan dan
anak.13
Di sisi lain, globalisasi menghasilkan pemusatan kekayaan di tangan segelintir
orang. Tiga orang terkaya di dunia menguasai aset yang nilainya setara dengan milik
600 juta orang di 48 negara miskin. Saat ini pula seperlima penduduk di negeri-negeri
paling menguasai 86 % produk domestik bruto dunia, 82% pasar ekspor dunia, dan 68 %
penanaman modal langsung yang mana pelaku ekonominya didominasi oleh korporaso
global.14 Gejala ini menunjukkan bahwa kekuasaan korporasi kini telah menyaingi
kekuasaan ekonomi-ekonomi negara-negara yang mana proses akumulasi kekayaan
tersebut bukan terjadi secara alamiah tetapi berdasarkan suatu rancangan kebijakan
politik-ekonomi yang kini dikenal sebagai neoliberalisme dan globalisasi kapitalis.15
Demikian juga halnya dengan tata ruang kota yang hanya memfasilitasi kepentingan
pemodal melalui pembangunan apartemen, mal, dan sentra-sentra bisnis lainnya
melalui penggusuran hunian masyarakat miskin kota sebangun dengan kecenderungan
terjadinya komodifikasi ruang-ruang publik sebagai nafas utama kapitalisme.
Perempuan sebagai Korban
Dalam perspektif hukum HAM, kondisi di atas dapat dipetakan menjadi 2 (dua)
pihak di mana pihak yang satu menjadi pelaku, sementara pihak yang lain menjadi
korban. Pihak pelaku selalu dilekati dengan kekuasaan (power) yang bisa bersumber
dari otoritas/kewenangan dan bisa juga berasal dari kekuatan modal. Yang pertama
melekat pada negara/pemerintah, sedangkan yang kedua biasanya melekat pada
korporasi. Pihak korban yang pasti tidak memiliki kedua-duanya atau tuna kuasa
(powerless). Kelompok ini seringkali disebut masyarakat sipil (civil society). Secara
konseptual terdapat 3 (tiga) sektor dengan ukuran, kekuatan, dan kekuasaan relatif
yang bisa mempengaruhi kehidupan masyarakat, yakni : (i) Masyarakat sipil; (ii)
Negara; dan (iii) Pasar.
Dalam konteks globalisasi, liberalisasi ekonomi, penyesuaian struktural, dan
kebijakan privatisasi yang dilakukan negara malahan memperkuat peran pasar dan
cenderung memperlemah bekerjanya negara dan kemampuannya untuk memberikan
layanan dasar. Pintu masuknya melalui deregulasi16 yang membebaskan pasar dari
otoritas negara. Dengan deregulasi terjadi pergeseran locus otoritas dari negara ke
tangan pemilik modal. Akibatnya terjadi ketidakseimbangan peran, kekuatan, dan
kekuasaan dari ketiga sektor tersebut. Kondisi ini pada akhirnya merugikan masyarakat
sipil yang tidak dilekati dengan kewenangan dan modalitas finansial/kapital. Dalam
titik ini negara yang seharusnya mempunyai kewajiban utama memenuhi HAM
warganya gagal menjalani hakikat fungsi filosofi negara yakni mensejahterakan warga
negaranya
Menuju Forum Sosial Indonesia dalam Bukan Sekedar Anti-Globalisasi, Amalia Pulungan dan Roysepta
Abimanyu, Jakarta, IGJ dan Walhi, 2005, hal.169-170
14 Dari 100 pelaku ekonomi terbesar di dunia, 52 di antaranya adalah korporasi global. Gabungan pendapatan
Mitsubishi, General Motor, dan Ford Motor lebih besar dibandingkan gabungan Denmark, Thailand, Turki,
Afrika Selatan, Arab Saudi, Norwegia, Finlandia, Malaysia, Chili, dan Selandia Baru. ibid
15 ibid
16 Deregulasi berarti kemauan pemerintah untuk menyerahkan kedaulatannya demi keuntungan korporasi
transnasional dan para operator pasar keuangan. Lihat Susan George, Republik Pasar Bebas, Jakarta, INFID,
2002, hal. 18
13
4
Jika ketiga sektor tersebut dikerangkakan dalam perspektif pelanggaran HAM, maka
akan didapati tabel sebagai berikut :17
Tabel 2 : Tiga pelaku dan tiga peranan dalam HAM
Pelaku
Korban
Pemberdaya
Negara
Ya
Bukan
Ya
Modal
Ya
Ya
Bukan
Masyarakat Sipil
Bukan
Ya
Ya
Sumber : Galtung, 1994
Dampak kerusakan lingkungan hidup sebagai akibat beroperasinya korporasi
global menempatkan korporasi global sebagai pelaku pelanggaran HAM.18 Matthew
Lippman mengetengahkan 4 (empat) factor bagi masuknya korporasi global sebagai
actor yang berkewajiban menjamin dan melindungi HAM yang tertuang dalam berbgai
konvensi HAM. Keempat argument tersebut meliputi : (i) kekuasaan ekonomi
perusahaan multi nasional; (ii) sifat internasional dari perusahaan multinasional; (iii)
dampak operasi perusahaan multi nasional; dan (iv) terbatasnya kemampuan negaranegara berkembang dalam mengatur tingkah laku perusahaan multinasional.19 Sejalan
dengan pemikiran Matthew LippmanTerdapat satu dokumen penting yang dikeluarkan
Komisi HAM (CHR) Sub Komisi Promosi dan Perlindungan HAM PBB. Dokumen ini
berjudul “Norms on the responsibilities of transnational corporations and other
business enterprises with regard to human rights” – selanjutnya disebut dengan
Norma tentang Tanggungjawab korporasi global. Membaca dokumen CHR ini, maka
‘corporate crime’ secara sederhana, dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan (crime)
yang dilakukan korporasi (badan usaha) mencakup kejahatan HAM, humaniter,
perburuhan, kejahatan terhadap hak konsumen serta praktik-praktif yang luas dari
definisi korupsi.20
Norma tentang Tanggungjawab korporasi global menjadi penting karena 2 (dua)
alasan pokok: pertama, dokumen ini dianggap oleh banyak komentator merupakan
sebuah langkah maju yang diambil PBB – dalam hal ini Komisi HAM – untuk
menegaskan prinsip-prinsip hukum internasional (international legal principle) yang
(dapat) diterapkan pada sektor bisnis. Hukum internasional yang dimaksud, meliputi
hukum hak asasi manusia, humaniter, perburuhan, lingkungan hidup, konsumen, dan
Hari Wibowo, Kampanye Hak Asasi Manusia, dalam Diseminasi Hak Asasi Manusia : Perspektif dan Aksi, E.
Shobirin Nadj, Naning Mardiniah (Editor), Jakarta, CESDA LP3ES, 2000, hal.245
18 Pandangan yang selama ini dominant mengenai konsep pertanggungjawaban (liability) dalam hal pelanggaran
HAM berpusat pada negara (state-centric paradigm) yang menempatkan negara sebagai pelaku utama yang
bertanggung jawab untuk menjamin dan melindungi HAM. Inilah konsep yang dikenal dengan state responsibility.
Namun seiring dengan kecenderungan pergerakan investasi asing yang mengglobal untuk mengekspolitasi
sumber daya alam di negara lain, maka langsung atau tidak langsung korporasi global terlibat dalam pelanggaran
HAM baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, social, dan budaya. Kondisi demikian merubah
state-centric paradigm dalam pelanggaran HAM. Tanggung jawab terhadap pelanggaran HAM sudah seharusnya
mempertimbangkan actor-aktor baru apakah korporasi global, IMF, WTO sebagai subyek hak dan kewajiban
(right and duty holder). Lihat Ifdhal Kasim, op. cit, hal. 26-29
19 ibid
20 Lihat Lihat A. Patra M. Zen, op.cit hal. 89 – 90
17
5
hukum anti-korupsi. Kedua, dokumen ini memberikan norma sekaligus alat analisis
untuk menilai apakah sebuah korporasi melanggar HAM.21
Sebagaimana telah dipapar di atas, setiap pelanggaran HAM yang menimbulkan korban
senantiasa menerbitkan kewajiban negara untuk mengupayakan pemulihan
(reparation) kepada korbannya. Dengan demikian, pemenuhan terhadap hak-hak
korban tersebut harus dilihat sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan
HAM secara keseluruhan. Tidak ada HAM tanpa pemulihan atas pelanggarannya. Hal ini
sama artinya dengan mengatakan bahwa impunitas akan terus berlangsung apabila
tidak ada langkah konkret untuk pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM. 22
Korban pelanggaran HAM didefisinikan melalui studi van Boven dengan
merujuk pada Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan
Penyalahgunaan Kekeuasaan (Declaration of Basic Principle of Justice for Victim of
Crime and Abuse of Power) . Korban didefisinikan sebagai berikut :
Orang yang secara individual maupun kelompok telah menderita kerugian,
termasuk cedera fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi
atau perampasab yang nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik karena tindakan
(by act) maupun karena kelalaian (by omission)…23
Perlu ditegaskan bahwa korban dalm pengertian yang digunakan dalam deklarasi di atas
bukan hanya terbatas pada perseorangan atau kelompok yang mengalami secara
langsung, tetapi juga mencakup orang-orang yang secara tidak langsung menjadi korban
seperti kelurga korban, orang yang menjadi tanggungannya atau orang dekatnya (their
relatives), dan orang-orang yang membantu atau mencegah agar tidak menjadi
korban.24
Dalam konteks kerusakan lingkungan penderitaan yang melingkupi perempuan
dapat di analisis menggunakan analisis feminis sebagai beikut : (ii) stereotipi; (ii)
dominasi; (iii) diskriminasi; (iv) beban ganda; dan (v) kekerasan.25 Bagi perempuan
Sebuah langkah tindak lanjut dari norma yang ditelurkan oleh Komisi HAM PBB, Sekjen PBB Kofi Anan
mengeluarkan Global Compact pada Forum Ekonomi Dunia pada 31 Januari 1999. Saat itu, Anan meminta para
pemilik korporasi untuk bergabung dengan badan-badan PBB, organisasi/serikat buruh, dan organisasi
masyarakat sipil lain bekerjasama dan melakukan aksi-aksi menjawab tantangan global, termasuk menjawab
problem-problem yang ditimbulkan ekonomi global. Secara singkat, merujuk pada dokumen Global Compact,
penilaian HAM atas kinerja korporasi meliputi 9 isu, sebagai berikut:
(1) dukungan dan penghormatan HAM yang diterima secara internasional (internationally proclaimed human
rights) berdasarkan pengaruh yang dimilikinya;
(2) aktivitas yang dilakukan dipastikan tidak melanggar dan menyebabkan timbulnya kejahatan HAM
(human rights abuses);
(3) mewujudkan kebebasan berserikat dan pengakuan terhadap hak atas posisi tawar kolektif buruh (the
right to collective bargaining);
(4) turut serta menghapus segala bentuk perbudakkan dan pemaksaan kerja (forced and compulsory labor);
(5) berpartisipasi menghapus buruh anak;
(6) menghapus praktek-praktek diskriminasi dalam pekerjaan dan lapangan kerja;
(7) mendukung pendekatan pencegahan kerusakan lingkungan;
(8) mengambil inisiatif mempromosikan tanggungjawab lingkungan yang lebih besar;
(9) mendorong pengmbangan dan difusi tekonologi yang ramah lingkungan. Lihat A. Patra M. Zen, ibid
22 Ifdhal Kasim, “Prinsip-Prinsip van Boven” Mengenai Korban Pelanggaran Berat HAM, Kata Pengantar dalam Mereka
yang Menjadi Korban : Hak Korban Atas Restitusi, Kompensasi, dan Rehabilitasi, Jakarta, ELSAM, 2002, hal. xiii
23 ibid
24 ibid, hal. viv
25 Rio Ismail, Risma Umar, Titi Soentoro, Suara Mayoritas yang Samar : Studi tentang Respon Partai Politik terhadap
Kepentingan Perempuan Menjelang Pemilu 2004, Jakarta, Solidaritas Perempuan, 2004, hal. 13 - 21
21
6
kerusakan lingkungan di kawasan industri Mobil Oil (Aceh), Freeport (Papua), Newmont
Minahasa (Sulaewsi Utara), dan Newmont Nusa Tenggara (NTB) jika dianalisis dengan
pisau feminis berdampak berlipat ganda dan berefek domino ketika model kekerasan
yang patriarkhi dan militeristik berpadu dengan factor kekuatan modal internasional.
Di desa Buyat Pantai, Sulawesi Utara, lokasi pembuangan limbah penambangan emas
PT Newmont Minaha misalnya, beberapa perempuan dan anak-anak seperti kehilangan
harapan hidup karena tidak mampu lagi menghadapi proses pemiskinan akibat
hancurnya perairan tempat menangkap ikan.26 Kondisi ini merefleksikan 2 (dua)
persoalan besar sebagai akibat dari konflik kepentingan antara rakyat dan investasi
yang berdampak pada perempuan, yakni pertama kehilangan tanah (wilayah kelola) dan
kedua kerusakan lingkungan.27
Hak Asasi Perempuan atas Lingkungan Hidup yang Sehat
Kesadaran mengenai keterpautan antara HAM dengan lingkungan dipicu oleh
tingginya laju perusakan lingkungan secara global yang diakibatkan oleh pertumbuhan
industri yang cepat di bidang kehutanan, kelautan, energi, dan pertambangan.
Perusakan ini pada gilirannya memustahilkan penikmatan atau pemenuhan HAM, yang
tidak hanya terbatas pada hak-hak ekonomi, social, dan budaya, tetapi juga mencakup
hak-hak sipil dan politik.28 Berdasarkan doktrin hukum HAM internasional, menurut
Karel Vasak, hak atas lingkungan hidup merupakan salah satu hak yang termasuk dalam
kategori generasi ketiga di mana yang mendapatkan perlindungan tidak hanya hak yang
bersifat individu tetapi juga hak-hak kolektif. Paul Sieghart mengidentifikasi sedikitnya
6 (enam) golongan hak-hak kolektif, yaitu : (i) hak atas penentuan nasib sendiri; (ii) hak
atas perdamaian dan keamanan internasional; (iii) hak untuk menggunakan kekayaan
dan sumber daya alam; (iv) hak atas pembangunan; (v) hak kaum minoritas, dan (vi)
hak atas lingkungan hidup. 29 Perkembangan terkini, berdasarkan Konvensi HAM Wina
1993, tidak terdapat lagi perbedaan kategorisasi HAM berdasarkan perkembangan
generasi, kepentingan yang dilindungi, maupun dikotomi antara hak-hak sipil dan
politik dengan hak-hak ekonomi, social, dan budaya karena HAM pada prinsipnya saling
terkait (interdependence) dan tidak dapat dipisahkan (indivisible). Draft Deklarasi
HAM dan Lingkungan Hidup Pasal 2, bagian 1 menyatakan :30
All persons have the right to secure, healthy, and ecologically sound
environment. This right and other human rights, including civil, cultural,
economic, political, and social rights, are universal, interdependent, and
indivisible.
ibid
Bagi perempuan kehilangan wilayah kelola memiliki dampak pada semakin tingginya beban kerja dan
menurunkan pendapatan yang berdampak pada kesehatan, pendidikan, dan kekerasan. Perempuan dalam
masyarakat patriarki merupakan tulang punggung mengelola rumah tangga sehingga merupakan pihak yang
paling merasakan penderitaan tersebut. Meentje Simatauw, Leonard Simanjuntak, Pantoro Tri Kuswardono, op.
cit, hal. 47
28 Tonggak terpenting dari tumbuhnya kesadaran tersebut termanifestasi dengan lahirnya deklarasi Stockholm
1972. Di sini untuk pertama kalinya masyarakat internasional mengakui bukan hanya saling keterkaitan antara
lingkungan hidup dengan HAM, tetapi juga kaitannya dengan hak atas pembangunan. Lihat Ifdhal Kasim, Hak
atas Lingkungan Hidup. Op.cit 24
29 Ridha Saleh, op. cit, hal. 34
30 Ifdhal Kasim, Hak atas Lingkungan Hidup, loc. cit
26
27
7
Meskipun hak atas lingkungan tidak secara spesifik dirumuskan secara hukum dalam
instrument internasional HAM, oleh karena itu keberadaan hak atas lingkungan
dihadirkan dengan membuat penafsiran yang luas terhadap isi dari hak atas hidup (right
to life) dengan merujuk pada survey R.G. Ramcharan yang mencoba melihat keterkaitan
antara hak atas hidup dengan hak atas lingkungan :31
Threats to the environment or serious environmental hazard my threaten the
lives of large groups of people directly; the connection between the rights to life
and the environment is an obvious one… A discussion of the interrelationship
between the two rights should, however, go beyond this…(and) may be
summarized in the following proposition : (i) There is a strict duty upon States, as
well as upon the international community as a whole, to take effective measures
to prevent and safeguard of human being; (ii) every states, as well as the UN,
should establish and operate adequate monitoring and early-warning system to
detect hazard or threats before actually occur; (iii) the right to life, as an
imperative norm, takes priority above economic considerations and should, in all
circumstances, be accorded priority; (iv) States and other responsible entities
(corporations or individuals) may be criminally or civilly responsible under
international law for causing serious environmental hazard posing grave risks to
life.
Dalam kerangka pemenuhan dan perlindungan hak perempuan, maka instrument
hukum HAM internasional menjadi pijakan karena hak asasi perempuan merupakan
bagian dari HAM secara umum.32 Keberadaan hak atas lingkungan sebagai salah satu
hak sudah tercakup pada pasal 28 Deklarasi Universal HAM dan Pasal 12 (b) Kovenan
Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Meskipun formulasinya terbilang sangat
abstract. 33 Untuk itu hak atas lingkungan harus diinterpretasikan secara luas sebagai
hak untuk memperoleh mutu atau kondisi lingkungan yang baik dan sehat, dalam arti
tidak dibatasi hanya menyangkut obyek ruang berupa bumi, air, dan udara. Namun hak
atas lingkungan hidup harus menegaskan pula penjaminan yang meliputi
penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan bagi subyek lingkungan hidup. 34
Meskipun hak atas lingkungan hidup dalam instrument hukum HAM tidak
diatur dan diformulasikan secara khusus, namun hukum nasional telah mengakui hak
atas lingkungan hidup secara expressive verbis, malahan telah menjadi bagian hak
konstitusional setiap warga Negara Indonesia. Pasal 28 H UUD 1945 menegaskan
bahwa setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. 35
Karena hak atas lingkungan telah mendapatkan tempat secara yuridis baik dilevel
ibid
Convention on the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW) yang secara sui generis mengatur hak-hak
perempuan menegaskan bahwa perempuan harus sejajar dengan laki-laki dalam pengakuan, penikmatan atau
penggunaan HAM dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, social, budaya, dan sipil.
Terkait dengan permasalahan hak atas lingkungan maka berdasarkan interpretasi terhadap hak atas hidup,
maka pemenuhan hak-hak politik, sipil, ekonomi, social, dan budaya menjadi conditio sina quanon.
Interpretasi ini diperlukan karena CEDAW tidak secara khusus mengatur hak perempuan atas lingkungan dan
memformulasikan hak atas lingkungan ke dalam pasal-pasalnya.
33 Ifdhal Kasim, Hak atas Lingkungan Hidup, op. cit, hal. 25
34 M. Ridha Saleh, op. cit, hal. 31
35 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM juga mengaskan hal yang serupa khususnya ketentuan Pasal 9 (3)
bagian hak atas hidup : Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Lihat pula ketentuan
Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 1997, Pasal 5 (1) mengaskan
kembali perlindungan tersebut.
31
32
8
internasional maupun nasional, maka hak atas lingkungan merupakan hak yang
justiciable dan enforceability. Artinya hak ini merupakan hak hukum yang apat
dieksaminasi melalui prosedur institusi peradilan baik di level domestic maupun
internasional.
Dampak Globalisasi terhadap Efektifitas Implementasi Hukum Lingkungan
: Kasus Terbitnya Perpu Nomor 1 Tahun 2004
Meskipun hak atas lingkungan telah dijamin dalam instrument hukum, namun
penegakannya mendapatkan hambatan karena pengaruh globalisasi. Dengan demikian
justiciability hak ini tidak efektif lagi dalam menjamin penikmatan hak atas lingkungan.
Pemberian izin kepada 13 perusahaan pertambangan untuk meneruskan
kegiatan penambangan secara terbuka (open-pit mining) di hutan lindung menunjukkan
bahwa pemerintah tidak memiliki visi dalam pengelolaan lingkungan hidup. Kenyataan
itu sekaligus mempertegas bahwa konsep pembangunan berkelanjutan di Indonesia
sekadar jargon. Keppres Nomor 41 Tahun 2004 tersebut ditandatangani Presiden
Megawati Soekarnoputri tanggal 12 Mei 2004, menyusul keluarnya Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perpu) No 1 Tahun 2004 tentang Perubahan
atas UU No 41/1999 tentang Kehutanan, 11 Maret 2004. Perpu itu menegaskan, semua
perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan sebelum
berlakunya UU No 41/1999 dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau
perjanjian tersebut.36 Terkait dengan justiciability hak atas lingkungan hidup yang baik,
efektifitas hak ini mendapatkan hambatan dari institusi peradilan. Ironisnya hambatan
ini berasal dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang bertugas sebagai the guardian of the
constitusion. Salah satu buktinya adalah penolakan MK terhadap permohonan judicial
review37 terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2004 yang diajukan oleh 11 LSM dan 81 warga
masyarakat yang tinggal di lokasi 13 perusahaan pertambangan yang beroperasi di
kawasan hutan lindung itu. MK dapat memahami alasan pemerintah soal perlunya
ketentuan transisional bagi izin eksplorasi hutan lindung.38 Padahal dampak
dikeluarkannya perizinan tersebut berdampak pada kerusakan hutan dan kelestarian
lingkungan dan nyata-nyata melanggar hak atas lingkungan yang telah menjadi hak
konstitusional warga negara Indonesia.
Keluarnya Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tersebut dan dukungan yuridis dari MK
merupakan manifestasi nyata negara memfasilitasi kepentingan korporasi global
melakukan investasi melalui kontrak karya.39 Sebenarnya negara ini mempunyai
kedaulatan berdasarkan prinsip hak menentukan nasib sendiri (the right to selfdetermination) untuk mengelola kekayaan alamnya. Pengalaman Pemerintah Kosta
Rika pada bulan Juni 2002 perlu dijadikan rujukan untuk menentukan sikap terhadap
www.kompas.com/kompas-cetak/0405/19/humaniora
Para pemohon menganggap persyaratan lahirnya Perpu Nomor 1 Tahun 2004 bertentangan dengan Pasal 22
Ayat (1) Undang Undang Dasar 1945, Pasal 28, dan Pasal 33. Lihat www.kompas.com/kompascetak/0507/08/ekonomi
38 ibid
39 Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim menyebut terbitnya perpu itu sebagai suatu kecelakaan. Akan
tetapi, katanya, Perpu No 1/2004 itu tidak perlu dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk. "Seharusnya itu
diperlakukan sebagai suatu kecelakaan. Ini kasus aneh. Mudah-mudahan tidak terulang lagi," kata Makarim. Ia
menjelaskan, masalah tersebut menjadi pelik karena kontrak karya dengan perusahaan pertambangan sudah
ditandatangani sebelum kawasan itu ditetapkan sebagai hutan lindung. "Kita tidak bisa mengatakan kontrak itu
tidak berlaku karena kawasannya ditetapkan sebagai hutan lindung setelah kontrak ditandatangani. Artinya,
kalau kita mau kawasan itu tetap menjadi hutan lindung, harus ditebus dengan ganti rugi. Kita tidak punya uang
untuk itu. Lihat www.kompas.com/kompas-cetak/0405/16/humaniora
36
37
9
intervensi kekuatan korporasi global. Karena menurut Direktur Eksekutif Greenomics
Indonesia Elfian Effendi, presiden Abel Pacheco ketika itu, berani membuat keputusan
melarang praktik tambang terbuka dengan sebuah deklarasi damai terhadap alam dan
lingkungan.40
Praktik-praktik seperti ini akan berdampak pada eksploitasi secara massif
terhadap sumber daya alam. Jika dibiarkan akan mengarah pada tindakan pengerusakan
dan pemusnahan ekosistem lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan. Deplesi
ekologi yang terjadi saat ini lebih disebabkan oleh pengarahan pembangunan yang tidak
memperhatikan kelangsungan hidup dan masa depan generasi manusia yang akan
datang. Praktek ecoside semakin tampak melalui fenomena dan praktik pengrusakan
lingkungan hidup. Franz J. Broswimmer mengartikan ecoside is the killing of an
ecosystem, termasuk mereka yang ikut serta dalam membuat kebijakan dan
mengkonsumsikannya secara massif. 41
Realita di atas menunjukan bahwa globalisasi secara langsung berdampak pada
pengelolaan lingkungan hidup. Apabila dianalisis lebih jauh kondisi ini menunjukkan
bahwa implementasi dan penegakkan hukum lingkungan di Indonesia mengalami
kendala yang justru berasal dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia dilakukan melalui kerja dan
relasi yang sistematis dan massal. Melalui dukungan modal sebagai komprador atau
negara sebagai fasilitator dan regulator, akan tetapi juga melibatkan pengarahan massa
sebagai konsumen aktif. 42 Oleh karenya terbitnya Perpu tersebut perlu dikaitkan dengan
diskursus ecoside karena, pertama, eksploitasi lingkungan hidup selama ini telah
mengarah pada tindakan pemusnahan sumber-sumber kehidupan manusia. Kedua,
pemusnahan tersebut merupakan tindakan yang berkaitan erat dengan praktik
penghilangan hak-hak hidup manusia bahkan telah menyebabkan hak hidup ekosistem
di dalamnya ikut kehilangan kelayakannya. Ketiga, menjadi bagian dari ekspolitasi
sumber daya alam yang mengarah terancamnya keamanan hidup manusia saat ini dan
kehiduoan generasi yang akan datang, demikian pula ancaman terhadap punahnya
keberagaman hidup dan keanekaragaman hayati lainnya. 43
Senada dengan itu, Hardjasoemantri menghubungkan masalah lingkungan
dengan aktivitas pembangunan. Menurutnya, pembangunan dapat menimbulkan risikorisiko kerusakan pada kemampuan dan fungsi sumber alam dan lingkungan. Risikorisiko tersebut dapat berupa: (1) rusaknya berbagai sistem pendukung peri-kehidupan
yang vital bagi manusia, baik sistem biofisik maupun sosial; (2) munculnya bahayabahaya baru akibat ciptaan manusia, seperti bahan berbahaya beracun atau B3 serta
hasil-hasil bioteknologi; (3) pengalihan beban dan risiko generasi berikutnya atau
kepada sektor serta kepada daerah lain; (4) kurang berfungsinya sistem organisasi sosial
dalam masyarakat. Risiko-risiko ini terutama akan berdampak pada: pertumbuhan
penduduk, pertumbuhan produksi untuk memenuhi kebutuhan penduduk dan lembagalembaga masyarakat termasuk teknologi yang dikembangkan untuk meningkatkan
produksi44
ibid
M. Ridha Saleh, Rezim Ecoside & Implikasi Pelanggaran HAM, Majalah SUAR Vol. 5 No. 10 & 11, Tahun
2004, hal. 31
42 Kerusakan lingkungan karena pola konsumsi yang berlebihan bukan oleh 80% penduduk miskin di 2/3
belahan bumi, tetapi oleh 20% penduduk kaya yang mengkonsumsi 86% dari seluruh sumber daya alam dunia.
Lihat M. Ridha Saleh, Rezim Ecoside, ibid, hal. 32
43 M. Ridha Saleh, Rezim Ecoside, ibid
44 Koesnadi Hardjasoemantri, 1986. Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
40
41
10
Analisis Feminist Legal Theory terhadap Substansi Hukum Lingkungan
Perpu Nomor 1 Tahun 2004 yang memberikan ijin kepada perusahaan tambang
untuk membuka tambang terbuka di kawasan hutan lindung
berdampak pada
kerusakan lingkungan dan lebih jauh berdampak pada penderitaan perempuan. Jika
kerusakan lingkungan ditilik berdasarkan perspektif feminis maka harus dilihat
penderitaan perempuan secara personal. Mengingat perspektif feminisme menjunjung
nilai-nilai pengetahuan dan pengalaman personal, rumusan tentang diri sendiri,
kekuasaan personal, dan otentitas.45
Dalam konteks lingkungan hidup, terdapat keterpautan antara pola dominasi
terhadap perempuan dan perlakuan dominasi terhadap alam. Dalam titik ini muncul
aliran ekofiminisme. Karen J. Warren menspesifikan lebih jauh asumsi dasar dari
ekofeminismeyang meliputi :
(1) ada keterkaitan penting antara opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap
alam;
(2) pemahaman terhadap alam dalam kaitan ini adalah penting untuk mendapatkan
pemahaman yang memadai atas opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap
alam;
(3) teori dan praktik feminisme harus memasukkan perspektif ekologi; dan
(4) pemecahan masalah ekologi harus menyertakan perspektif feminisme.46
Terkait dengan perspektif feminisme, maka untuk melihat suatu substansi
peraturan perundang-undangan berperspektif feminis atau tidak, termasuk hukum
lingkungan47 atau hukum yang terkait dengan aspek lingkungan, dapat mempergunakan
pisau analisis Feminist Legal Theory. Teori ini mendekonstruksi terhadap konsep dasar
ilmu hukum terutama wacana prinsip netralitas dan objektivitas. Hukum merupakan
hasil konstentasi politik sehingga suara yang berkuasa di parlemen yang mayoritas lakilaki akan mendominasi materi muatan hukum yang dihasilkannya. Situasi serupa juga
terjadi di lembaga eksekutif dan yudikatif. Netralitas dan objektif pada akhirnya
berdampak tidak adil bagi perempuan.48
Arimbi Heroepoetri, R. Valentina, Percakapan Tentang Feminisme vs Neoliberalisme, Jakarta, debtWATCH
Indonesia dan Institut Perempuan, 2004, hal. 17-19
46 Lebih lanjut Warren menawarkan feminisme transformatif untuk menyikapi kegagalan 4 (empat) cabang
pemikiran feminis – liberal, marxis, radikal, dan sosialis – untuk melaksanakan praktik ekofeminisme.
Feminisme transformatif mempunyai 6 (enam) karakteristik: (1) feminisme transformatif mengakui dan
mengeksplisitkan saling keterkaitaan antara semua sistem opresi; (2) menekankan keberagaman pengalaman
perempuan; (3) menolak logika dominasi; (4) memikirkan ulang apa artinya menjadi manusia; (5) bergantung
pada etika yang menekankan nilai-nilai etika “feminin” tradisional yang cenderung untuk menjalin, saling
menghubungkan, dan menyatukan manusia; dan (6) ilmu pengetahuan dan teknologi hanya dipergunakan
untuk menjaga kelangsungan bumi. Lihat Rosemarrie Putnam Tong, Feminist Thought, Yogyakarta, Jalasutra,
2005, 366 – 391
47 Hukum lingkungan adalah keseluruhan kaedah dan azas yang terkandung di dalam peraturan perundangundangan yang berobyek lingkungan hidup yang oleh masyarakat diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat
melalui lembaga-lembaga dan proses kemasyarakatan. Mengadopsi pemikiran Mochtar Kusumaatmadja
48 Sulistyowati Irianto dan Lim Sing Meij, Penelitian Hukum Feminis: Suatu Tinjauan Sosiologis dalam Metode
Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2009
45
11
Feminist Legal Theory menyangkut 2 (dua) aspek yakni teori hukum
berperspektif feminis dan praktik hukum berperspektif feminis.49 Teori hukum
berperspektif feminis membantu memetakan persoalan-persoalan yang terkait dengan
adanya kebutuhan untuk menangani persoalan yang menyangkut hak-hak perempuan di
hadapan hukum. Untuk itu karakteristik dasar teori hukum berperspektif feminis
menjadi hal yang patut untuk dijadikan pijakan untuk melakukan perubahan substansi
hukum lingkungan. Karakteristik dasar tersebut meliputi : (i) mengubah pandangan
bahwa hukum adalah sesuatu yang netral dan obyektif; (ii) mengidentifikasi implikasi
hukum yang menyokong subordinasi terhadap perempuan; (iii) bagaimana hukum itu
bekerja dalam konteks yang lebih luas.50 Kemudian praktik hukum yang berperspektif
femisnis setidak-tidaknya mencermati pada 2 (dua) focus sebagai berikut: pertama,
bagaimana hukum mempengaruhi perempuan dan menyumbangkan penindasan
terhadap mereka. Kedua, bagaimana hukum digunakan untuk meningkatkan posisi
sosial perempuan.51
Jika substansi hukum lingkungan dianalisis dengan perspektif feminist legal
theory maka perspektif ini dapat dipergunakan untuk mengeksaminasi sampai
sejauhmana substansi tersebut berpihak pada perempuan atau malah menyumbang
terjadinya subordinasi terhdap perempuan.
Dalam kerangka ini maka analisis
substansi, proses pembentukan hukum, metode pemikiran hukum dan epistemology
hukum yang berobyek lingkungan perlu dilakukan.52 Di samping itu upaya mengajukan
permasalahan kerusakan lingkungan hidup yang berdampak pada perempuan melalui
proses penyelesaian melalui mekanisme hukum, baik melalui pengadilan maupun
alternative dispute resolution perlu terus diupayakan. Upaya ini dilakukan dengan
landasan bahwa hak perempuan atas lingkungan hidup yang sehat bersifat justiciable
dan enforceable dalam arti kata dapat diputuskan pemenuhannya lewat pengadilan dan
dipaksa pemenuhannya lewat sebuah vonis hakim karena pelanggaran HAM
menerbitkan upaya pemulihan bagi korbannya.
Terkait dengan upaya pemulihan korban, studi van Boven mengemukakan bahwa
hak-hak korban pelanggaran HAM secara komprehensif tidak hanya terbatas pada hak
untuk tahu (right to know) dan hak atas keadilan (right to justice), tetapi mencakup juga
hak atas reparasi (right to reparation).53 Pemulihan adalah hak yang menunjuk kepada
semua tipe pemulihan baik material maupun non material bagi para korban pelanggaran
HAM. Aspek-aspek pemulihan bagi korban meliputi kompensasi54, retitusi55,
Ratna Kapoor, Pendekatan Hukum Berperspektif Gender, disarikan dan diterjemahkan oleh Sri Wiyanti
Eddyono, dalam Materi Pelatihan HAM bagi Pengacara Angkatan VII, Jakarta, Elsam, 2002
50 ibid. Perspektif feminisme perlu pula dijadikan pisau analisis untuk melengkapi sehingga dalam memandang
persoalan perempuan lebih komprehensif dan lebih utuh. Adapun perpektif tersebut meliputi : (i) pendekatan
holistic; (ii) berorientasi pada proses; (iii) menghargai keanekaragaman; (iv)pendekatan win-win terhadap
konflik; (v) menghargai intuisi, rasio, dan logika; (vi) menolak pemisahan antara pikiran, perasaan, dan
ketubuhan; (vii) pengambilan keputusan tidak hierarkis; (viii) menolak naturalisme; (ix) pembagian kekuasaan
yang adil; dan (x) menghargai pengorganisasian secara kolektif untuk melakukan perubahan. Lihat Arimbi
Heroepoetri, R. Valentina, op. cit, hal. 25-29
51 ibid
52 Ratna Kapoor, op.cit.
53 Ifdhal Kasim, Prinsip-Prinsip van Boven, op. cit. , hal. xv
54 Kompensasi merupakan kewajiban yang harus dibayarkan dalam bentuk uang tunai atau diberikan dalam
berbagai bentuk, seperti perawatan kesehatan mental dan fisik, pemberian pekerjaan, perumahan, pendidikan,
dan tanah. Lihat Ifdhal Kasim, Prinsip-Prinsip van Boven, ibid. xvi
55 Restitusi merupakan kewajiban pengembalian harta milik atau pembayaran atas kerusakan, atau kerugian yang
diderita, penggantian baiaya-biaya yang timbul sebagai akibat jatuhnya korban atau penyediaan jasa oleh
pelakunya sndiri. Lihat, Ifdhal Kasim, ibid
49
12
rehabilitasi56, kepuasan (satisfaction) dan jaminan terhadap tidak terulanginya lagi
pelanggaran (guarantees of non-repetition).57
Dalam titik ini dapat terlihat apakah hak atas lingkungan yang baik dan sehat
yang telah menjadi hak konstitusional efektif berhadapan dengan kekuatan arus utama
neoliberalisme yang digawangi oleh korporasi global.
Rehabilitasi merupakan kewajiban untuk memulihkan korban secara medis dan social., ibid
Sedangkan kepuasan dan jaminan tidak terulangnya pelanggaran merupakan bagian dari kewajiban negara
dan bentuk khusus dari reparasi. ibid
56
57
13
Download