kesepadanan dalam penerjemahan verba bahasa - E

advertisement
WANASTRA Vol. IV No. 1 Maret 2013
KESEPADANAN DALAM PENERJEMAHAN
VERBA BAHASA INGGRIS KE BAHASA INDONESIA
PADA NOVEL TO KILL A MOCKINGBIRD
Terweline Tapilatu
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Port Numbai Jayapura
Jl. Beringin I Entrop Jayapura, Papua
[email protected]
ABSTRACT
In translation, it is the equivalence between the source text and the target one that matters the
most. Failing to maintaining the equivalence will result in wrong or bad translation. This research
aims at understanding deeply how the equivalence between verbs in both texts is and how it is
achieved. It also describes why non-equivalence between both verbs happened. This research is a
qualitative one using the method of content analysis. The data were taken from the English novel
To Kill a Mockingbird by Harper Lee and its translation in Bahasa Indonesia. The findings show
that the equivalence between the English verbs and their translation is not always easy to achieve.
The difference between the two languages linguistically and culturally has contributed to that
matter. Equivalence between verbs in both texts is determined by how the translator understands
the linguistics rules and cultural context of both languages, as well as context in the source text.
To achieve the equivalence, the translator used strategies such as class-shifts, unit-shifts,
modulation, translation by addition, translation by omission, translation by a more general word
(superordinate), translation by paraphrase using unrelated words, and using translation
equivalent that has the same function with the source text. Non-equivalence found in the data are
due to the use of translation equivalent that is not acceptable in the target language linguistically
and culturally, is not the closest equivalent of the source-language message, and has meaning
opposites the meaning of the original verb.
Keywords : Equivalence, Translation Strategies, Non-Equivalence
I. PENDAHULUAN
Bidang penerjemahan dewasa ini
berkembang
dengan
pesat.
Biro-biro
penerjemahan, baik resmi maupun tidak resmi,
banyak ditemukan di berbagai tempat. Bukubuku terjemahan juga menumpuk di toko-toko
buku. Tidak ada yang salah dengan hal itu.
Yang menjadi masalah adalah apakah teks-teks
terjemahan yang dihasilkan tersebut memenuhi
standar terjemahan yang baik dan betul.
Penerjemah, yang menjadi penghubung antara
bahasa sumber (selanjutnya disebut BSu) dan
bahasa sasaran (BSa) bertanggung jawab dalam
menghasilkan teks yang sepadan dengan teks
aslinya.
Masalah kesepadanan ini bukan perkara
mudah dalam penerjemahan. Banyak faktor
yang
mempengaruhi
suatu
proses
penerjemahan untuk mencapai kesepadanan
antara teks sumber dan teks sasaran. Faktorfaktor ini digambarkan Newmark (1988:5)
dalam bagan yang diberi nama “The Dynamics
of Translation”, yang meliputi faktor penulis
bahasa sumber, norma bahasa sumber,
kebudayaan bahasa sumber, latar (setting) dan
tradisi bahasa sumber, komunitas atau
masyarakat pembaca bahasa sasaran, norma
bahasa sasaran, kebudayaan bahasa sasaran,
latar dan tradisi bahasa sasaran, kebenaran
(fakta tentang masalah yang dibicarakan), dan
faktor penerjemah. Faktor “truth” atau
kebenaran menurut Machali (2000:105)
berkaitan dengan makna referensial yang
terdapat dalam teks sumber. Makna ini harus
dipertahankan dalam teks sasaran. Perubahan
yang dilakukan penerjemah dalam proses
penerjemahan selama tidak menyebabkan
terjadinya perubahan makna itu maka
kesepadanannya masih dapat berterima.
Kesepadanan total antara teks sumber dan
teks sasaran sejak lama dianggap sebagai hal
yang agak mustahil dicapai (Bell 1991: 6).
Dikatakan demikian karena bahasa-bahasa
berbeda satu sama lain dalam segi bentuk atau
struktur, dan aturan konstruksi tata bahasanya.
83
WANASTRA Vol. IV No. 1 Maret 2013
Masing-masing
bahasa
mempunyai
keunikannya sendiri. Bell lebih lanjut
menyatakan, mengalihkan teks atau tuturan
dari satu bahasa ke bahasa lain sering
didefinisikan sebagai pengubahan bentuk atau
struktur bahasa. Ia juga berpendapat bahwa
struktur yang berbeda tersebut mengungkapkan
dua makna yang tampaknya sama tapi
sebenarnya tidaklah demikian. Dalam satu
bahasa saja tidak ada sinonimnya yang mutlak
sama apalagi dalam dua bahasa yang berbeda.
Selain memiliki sistem dan struktur yang
berbeda, masing-masing bahasa juga memiliki
latar belakang budaya yang tidak sama yang
mempengaruhi pemakaian bahasa baik secara
lisan maupun tulisan. Dengan demikian faktor
budaya inipun perlu dipertimbangkan dalam
menentukan atau mencari padanan dua kata
atau unsur lain antara dua bahasa.
II. TINJAUAN PUSTAKA
1.
Pengertian Penerjemahan
Penerjemahan menurut beberapa ahli seperti
Nida dan Taber (dalam Hoed 2006), Larson
(1984), Newmark (1988), serta Kridalaksana
(dalam Nababan 2003) pada prinsipnya adalah
pengalihan makna atau pesan atau amanat dari
bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran.
Pengalihan ini harus memperhatikan makna
sebagaimana yang dimaksudkan penulis teks
sumber (Newmark h. 5), menggunakan bentuk
bahasa sasaran yang wajar (Larson h. 6) atau
menggunakan padanan terdekat dan wajar
dalam BSa (Nida dan Taber dalam Hoed
2006:39). Pengertian penerjemahan yang agak
berbeda dikemukakan oleh Catford (1965) dan
House (2009). Kedua ahli ini memandang
penerjemahan lebih dari sekedar pengalihan
makna.
Penerjemahan
adalah
proses
penggantian teks suatu bahasa (bahasa sumber)
ke dalam bahasa yang berbeda (bahasa
sasaran). Catford (h. 20) secara eksplisit
menekankan bahwa teks sasaran hendaknya
sepadan dengan teks sumbernya. House (h. 29)
melihat masalah kesepadanan ini dari sisi yang
berbeda. Menurutnya, karena teks sasaran
merupakan versi lain dari teks sumber atau
berasal dari teks sumber, maka kedua teks itu
dapat dikatakan sepadan.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa penerjemahan melibatkan
dua teks yaitu teks sumber dan teks sasaran.
Dalam teks sumber terdapat makna yang harus
dialihkan ke dalam teks sasaran. Makna yang
dialihkan itu adalah makna seperti yang
dimaksudkan oleh penulis teks sumber. Makna
inilah yang harus dipertahankan dalam teks
84
sasaran agar kedua teks dapat dikatakan
sepadan.
Dalam penelitian ini, peneliti akan
mengungkapkan
bagaimana
kesepadanan
dalam penerjemahan verba bahasa Inggris ke
dalam bahasa Indonesia pada novel “To Kill A
MockingBird.”
Sehingga dapat dipahami
makna verba dalam bahasa Inggris ketika d
terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
2. Kesepadanan dalam Penerjemahan
Kesepadanan menurut Hoed (dalam
Machali 2000:xi) adalah “kesesuaian isi pesan
teks sumber (TSu) dengan teks sasaran (TSa)”.
Hal yang kurang lebih sama dikemukakan oleh
Catford (1965: 50-51) yang menyatakan bahwa
kesepadanan dalam penerjemahan terjadi bila
sebuah teks atau hal dalam BSu dan BSa dapat
dikaitkan dengan paling tidak beberapa ciri
unsur yang sama. Contohnya kata we dalam
bahasa Inggris memiliki kesepadanan dengan
kami dalam bahasa Indonesia pada situasi di
mana si penutur bahasa Inggris tidak
menyertakan orang yang diajak bicara dalam
penyebutan
we.
House
(2009:29)
menambahkan bahwa ketika kita menyebut dua
hal sepadan, maksudnya bukan berarti kedua
hal itu serupa, tetapi keduanya memiliki
beberapa kesamaan dan berfungsi dalam cara
yang sama. Jadi dua hal yang memiliki makna
referensial yang berbeda dapat dikatakan
sepadan bila keduanya memiliki fungsi yang
sama dalam konteks yang dibicarakan.
Menurut Catford (h. 27), kesepadanan
terjemahan terdiri dari kesepadanan tekstual
dan kesejajaran formal. Padanan tekstual
adalah teks atau bagian teks BSa yang diamati
pada situasi tertentu, merupakan padanan dari
teks atau bagian teks BSu. Sedangkan yang
dimaksud dengan kesejajaran formal adalah
bila salah satu kategori dalam BSa (unit, kelas
kata, struktur, unsur struktur dan sebagainya)
menempati posisi yang sama seperti yang
ditempati kategori sejenis dalam BSu.
Nida (dalam Munday 2001:4142) juga membagi kesepadanan menjadi dua
macam, yaitu kesepadanan formal dan
kesepadanan dinamis. Kesepadanan formal
lebih mementingkan BSu baik bentuk maupun
isi pesan. Dalam menerjemahkan, penerjemah
sebisa mungkin mencari padanan dalam BSa
yang sesuai dengan struktur BSu itu.
Sebaliknya, kesepadanan dinamis disebut Nida
sebagai ‘prinsip efek yang sepadan’, di mana
hasil terjemahan memberikan efek pada
pembaca sasaran yang sama dengan efek yang
dialami pembaca BSu. Pesan dalam BSu harus
dialihkan mengikuti kaidah linguistik dan
budaya BSa sehingga menghasilkan terjemahan
WANASTRA Vol. IV No. 1 Maret 2013
yang wajar dan berterima dalam BSa. Jadi
tujuan kesepadanan dinamis adalah mencari
padanan terdekat dan wajar dengan BSu.
3. Kesepadanan di Tataran Leksikal
(Kata)
Menurut Baker (1992:13-26), untuk
mencapai kesepadanan makna di tingkat
leksikal, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan. Di antaranya, penerjemah harus
memahami jenis-jenis makna yang terdapat di
tataran leksikal seperti makna proposisional
yang dipertentangkan dengan makna ekpresif,
makna yang dipraanggapkan (presupposed
meaning), dan makna yang dijolok (evoked
meaning).
Selain itu ada beberapa masalah yang pada
umumnya akan ditemui penerjemah dalam
menerjemahkan suatu kata. Masalah-masalah
itu berkaitan dengan konsep khas-budaya,
konsep dalam BSu yang tidak dileksikalkan
dalam BSa, makna kata dalam BSu yang
kompleks, BSu dan BSa membedakan makna
secara berbeda, kurangnya kata umum
(superordinat) yang dimiliki BSa, kurangnya
kata khusus (hiponim) yang dimiliki BSa,
perbedaan
sudut
pandang
fisik
atau
antarpersona,
perbedaan
dalam
makna
ekspresif, perbedaan dalam bentuk, perbedaan
dalam frekuensi dan tujuan penggunaan bentuk
tertentu, dan penggunaan kata pungutan dalam
TSu.
4. Strategi
untuk
Mencapai
Kesepadanan dalam Penerjemahan
Baker (1992:26-42) memaparkan beberapa
strategi yang dapat digunakan penerjemah
untuk
mencapai
kesepadanan
dalam
penerjemahan
di
tingkat
kata,
yaitu
penerjemahan dengan kata lebih umum
(superordinat), penerjemahan dengan kata yang
lebih
netral
atau
kurang
ekspresif,
penerjemahan dengan penyulihan budaya,
penerjemahan yang menggunakan kata
pungutan atau kata pungutan tambah
penjelasan, penerjemahan dengan parafrasa
yang menggunakan kata yang berkaitan,
penerjemahan
dengan
parafrasa
yang
menggunakan kata yang tidak berkaitan,
penerjemahan dengan menghilangkan, dan
penerjemahan dengan gambar.
Machali (2000:62-73) juga menjelaskan
beberapa
strategi
penerjemahan
yang
disebutnya
prosedur
yang
digunakan
penerjemah untuk mencapai kesepadanan.
Dalam menerjemahkan teks berbahasa Inggris
ke bahasa Indonesia, penerjemah umumnya
melakukan pergeseran bentuk, pergeseran
makna atau modulasi, pemadanan berkonteks,
adaptasi, dan pemadanan bercatatan.
Pergeseran dalam penerjemahan menurut
Catford (1965:73-80) terdiri dari pergeseran
level dan pergeseran kategori. Pergeseran level
terjadi bila suatu hal dalam BSu pada level
linguistik tertentu diterjemahkan ke dalam level
linguistik yang berbeda dalam BSa. Pergeseran
kategori terbagi atas pergeseran struktur,
pergeseran unit, pergeseran kelas kata, dan
pergeseran intra-sistem. Pergeseran struktur
dapat terjadi pada tataran klausa dan tataran
kelompok kata. Pergeseran kelas kata terjadi
bila suatu kelas kata tertentu dalam BSu
diterjemahkan ke dalam kelas kata yang
berbeda dalam BSa. Misalnya dari verba
menjadi nomina. Pergeseran unit terjadi bila
suatu unit tertentu dalam BSu diterjemahkan ke
dalam unit yang berbeda dalam BSa.
Contohnya penerjemahan kata menjadi frasa.
Pergeseran intra-sistem adalah pergeseran yang
terjadi di dalam suatu sistem itu sendiri.
Misalnya, pergeseran di dalam nomina, di
mana
nomina
tunggal
dalam
TSu
diterjemahkan menjadi nomina jamak dalam
TSa.
5. Verba
Menurut Allsop (1989:46,
85)
verba
dalam
bahasa
Inggris
menggambarkan tindakan dan keadaan.
Tindakan bisa berupa tindakan fisik maupun
tindakan mental. Contoh tindakan fisik adalah
play dan sleep, sedangkan contoh tindakan
mental adalah think dan dream. Keadaan dapat
digambarkan dengan be, look, seem, appear,
contain. Verba dapat berupa satu kata maupun
frasa. Frasa verba adalah verba majemuk yang
dibentuk dari sebuah verba dan sebuah adverba
atau preposisi atau verba yang dikombinasikan
dengan keduanya. Contoh frasa verba yang
dibentuk dari verba dan adverba adalah get
away dan fall out. Look for dan take after
merupakan frasa verba yang dibentuk dari
verba dan preposisi, sedangkan run out of dan
put up with adalah contoh frasa verba yang
dibentuk dari verba, adverba dan preposisi.
Littell et al. (1985:359) menyatakan bahwa
verba
merupakan
kata
yang
dapat
menggambarkan tentang waktu. Jadi kata kerja
tidak hanya menggambarkan tindakan atau
keadaan tetapi juga menyatakan kapan sesuatu
terjadi. Dengan mengubah bentuk verba kita
dapat mengatakan apakah tindakan atau
keadaan tersebut terjadi pada masa lampau
(past), masa kini (present), atau masa yang
akan datang (future). Perubahan bentuk untuk
menunjuk waktu disebut tense. Untuk
menyatakan bentuk lampau misalnya, verba
85
WANASTRA Vol. IV No. 1 Maret 2013
dapat dibentuk dengan menambahkan akhiran
-ed atau –d di belakang bentuk dasarnya.
Misalnya open menjadi opened dan bribe
menjadi bribed. Selain penambahan akhiran,
verba bentuk lampau juga memiliki bentuk lain
yang disebut irregular, yaitu perubahan bentuk
verba dasar tanpa penambahan akhiran.
Misalnya, go menjadi went atau sleep menjadi
slept. Untuk menyatakan bentuk present verba
kadang-kadang dibentuk dengan menambahkan
akhiran –s atau –es. Contohnya sleep menjadi
sleeps dan go menjadi goes. Verba yang
menyatakan tindakan fisik yang sedang terjadi
atau berlangsung biasanya mendapat tambahan
akhiran –ing di belakang bentuk dasar.
Contohnya eat menjadi eating dan study
menjadi studying.
Alwi et al. (2003:87-166) menyatakan
bahwa fungsi utama verba adalah sebagai
predikat atau sebagai inti predikat dalam
kalimat walaupun dapat juga mempunyai
fungsi lain seperti subjek. Ciri-ciri verba dalam
bahasa Indonesia dapat diamati dari segi
perilaku semantisnya, perilaku sintaksisnya,
dan bentuk morfologisnya. Dilihat dari segi
perilaku semantisnya maka verba dikatakan
mempunyai makna inheren yang terkandung di
dalamnya. Verba ‘lari’ dan ‘belajar’ misalnya
mengandung makna inheren perbuatan, verba
‘meledak’ mengandung makna inheren proses,
dan verba ‘suka’ mengandung makna inheren
keadaan. Selain itu, ada juga yang disebut
verba pengalaman, contohnya ‘mendengar’ dan
‘melihat’. ‘Mendengar’ dan ‘melihat’ merujuk
pada peristiwa yang terjadi begitu saja pada
seseorang,
tanpa
kesengajaan
dan
kehendaknya.
Dilihat dari segi perilaku sintaksisnya verba
terbagi atas verba transitif, verba taktransitif,
dan verba berpreposisi. Verba transitif adalah
verba yang memerlukan nomina sebagai objek
dalam kalimat aktif, dan objek itu dapat
berfungsi sebagai subjek dalam kalimat pasif.
Verba transitif terbagi atas verba ekatransitif,
verba dwitransitif, dan verba semitransitif.
Verba ekatransitif diikuti oleh satu objek,
contohnya ‘mencari’ dan ‘membeli’. Verba
dwitransitif adalah verba yang dalam kalimat
aktif dapat diikuti oleh dua nomina, satu
sebagai objek dan satunya lagi sebagai
pelengkap, contohnya ‘mencarikan’ dan
‘membelikan’. Verba semitransitif ialah verba
yang objeknya boleh ada dan boleh juga tidak,
contohnya verba ‘membaca’. Verba taktransitif
adalah verba yang tidak memiliki nomina di
belakangnya. Verba taktransitif terbagi atas
verba taktransitif yang berpelengkap wajib,
berpelengkap manasuka dan tak berpelengkap.
Contoh verba taktransitif berpelengkap wajib
86
adalah ‘berjumlah’ dan ‘kedapatan’. Contoh
verba taktransitif berpelengkap manasuka
adalah ‘naik’ dan ‘ketahuan’, sedangkan
contoh verba taktransitif tak berpelengkap
adalah ‘tersipu-sipu’ dan ‘datang’. Verba
berpreposisi ialah verba taktransitif yang selalu
diikuti oleh preposisi tertentu. Contohnya
‘berbicara tentang’ dan ‘bergantung pada’.
Dari segi bentuknya verba terbagi atas
verba asal dan verba turunan. Verba asal dapat
berdiri sendiri tanpa afiks, contohnya ‘ada’,
‘datang’, dan ‘tidur’. Verba turunan dibentuk
melalui transposisi, pengafiksan, reduplikasi,
atau pemajemukan (pemaduan). Transposisi
adalah proses penurunan kata yang berasal dari
kategori sintaksis yang lain tanpa mengubah
bentuknya. Contohnya verba ‘jalan’ diturunkan
dari nomina ‘jalan’. Pengafiksan adalah
penambahan afiks pada dasar. Misalnya ‘beli’
menjadi ‘membeli’. Reduplikasi adalah
pengulangan suatu dasar. Jadi ‘makan-makan’
diturunkan dari ‘makan’. Pemajemukan adalah
penggabungan dua dasar atau lebih menjadi
satu satuan makna. Contohnya ‘jual’ dan ‘beli’
menjadi ‘jual beli’
Verba
dapat
diperluas
dengan
menambahkan unsur-unsur tertentu, tetapi hasil
perluasan ini masih tetap ada pada tataran
sintaksis yang sama. Verba yang telah
diperluas itu dinamakan frasa verbal. Frasa
verbal ialah satuan bahasa yang terbentuk dari
dua kata atau lebih dengan verba sebagai
intinya tetapi bentuk ini tidak merupakan
klausa. Frasa verbal dalam bahasa Indonesia
dilihat dari konstruksinya terbagi atas frasa
endosentrik atributif dan frasa endosentrik
koordinatif. Frasa verbal endosentrik atributif
terdiri atas inti verba dan pewatas (modifier)
yang ditempatkan di muka atau belakang verba
inti. Contohnya : ‘akan menertibkan’ dan
‘menangis lagi’. Frasa endosentrik koordinatif
merupakan dua verba yang digabungkan
dengan kata penghubung ‘dan’ atau ‘atau’.
Contohnya : ‘menyanyi dan menari’.
Verba majemuk adalah verba yang
terbentuk melalui proses penggabungan satu
kata dengan kata yang lain. Penggabungan dua
kata atau lebih itu menumbuhkan makna yang
secara langsung masih bisa ditelusuri dari
makna masing-masing kata yang tergabung.
Contohnya kata ‘terjun’ dan ‘payung’ dapat
digabungkan menjadi ‘terjun payung’. Makna
dari perpaduan ini masih bisa ditelusuri dari
makna kata ‘terjun’ dan ‘payung’, yakni
‘melakukan terjun dari udara dengan memakai
alat semacam payung’.
III. METODE PENELITIAN
WANASTRA Vol. IV No. 1 Maret 2013
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
memperoleh pemahaman yang mendalam
mengenai kesepadanan makna antara verba
bahasa Inggris dan terjemahannya dalam
bahasa Indonesia pada novel To Kill a
Mockingbird karya Harper Lee, strategi atau
prosedur penerjemahan yang digunakan
penerjemah untuk mencapai kesepadanan
makna antara verba TSu dan TSa, serta
penyebab ketidaksepadanan antara verba TSu
dan TSa. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan metode analisis
isi. Sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri dari dua dokumen, yaitu
novel berbahasa Inggris To Kill a Mockingbird
karya Harper Lee dan terjemahannya dalam
bahasa Indonesia yang dikerjakan oleh Femmy
Syahrani. Data diambil dari kalimat-kalimat
yang mengandung verba pada novel asli dan
padanannya dalam novel terjemahan dengan
menggunakan purposeful sampling.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan analisis data, ditemukan
bahwa tidak semua verba bahasa Inggris yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
memiliki kesepadanan dalam hal makna. Dari
100 sampel data ada 83 verba bahasa Inggris
yang memiliki kesepadanan makna dengan
terjemahannya sedangkan 17 verba tidak
memiliki kesepadanan makna dengan TSa.
Kesepadanan makna verba TSu dan TSa
ditentukan tidak hanya dengan melihat verba
tersebut secara mandiri, namun juga dengan
mempertimbangkan konteks di mana verba
tersebut berada. Selain itu, kesepadanan juga
ditentukan oleh keberterimaan dan kewajaran
hasil terjemahan dalam BSa.
1. Kesepadanan
dalam
Penerjemahan
Verba Bahasa Inggris ke Bahasa
Indonesia
Penerjemahan verba bahasa Inggris ke
dalam bahasa Indonesia memperlihatkan
bahwa tercapainya kesepadanan antara TSu
dan TSa bukanlah hal yang mudah untuk
dilakukan. Dalam mengusahakan terjadinya
kesepadanan antara kedua teks, penerjemah
terkadang menggunakan strategi tertentu
bila ia menemukan kesulitan pada saat
menerjemahkan TSu.
Dalam menerjemahkan verba bahasa
Inggris ke bahasa Indonesia, penerjemah
dapat memilih untuk menerjemahkan verba
itu ke dalam kelas kata yang sama. Hal ini
dimungkinkan karena beberapa verba
bahasa Inggris memiliki padanan terdekat
dalam bahasa Indonesia yang juga
berbentuk verba.
Contoh :
BSu : and Jem told me to hush. (2a)
BSa : dan Jem menyuruhku diam. (2b)
Dalam contoh di atas told dan hush yang
merupakan
verba,
masing-masing
diterjemahkan menjadi ‘menyuruh’, dan
‘diam’ yang juga adalah verba. Padanan
yang dipilih penerjemah merupakan
padanan yang berterima dalam BSa. Makna
masing-masing pasangan verba pun
sepadan.
Penerjemahan verba menjadi verba
seperti contoh di atas dapat dilakukan
karena adanya kesamaan konteks antara
TSu dan TSa. Faktor konteks ini dapat
membantu
memecahkan
masalah
penerjemahan. Dalam TSu terkadang
ditemukan adanya penggunaan kata yang
sama pada konteks yang berbeda. Dengan
memperhatikan konteks, penerjemah dapat
menentukan padanan yang betul dari kata
tersebut. Pada contoh berikut terlihat bahwa
dua verba yang sama dalam TSu
diterjemahkan ke dalam dua padanan yang
berbeda.
a) BSu : Uncle Jack said if I talked like
that he’d lick me again,… (33a)
BSa :
Paman Jack berkata, kalau
aku berbicara seperti itu lagi, dia akan
menghukumku lagi,…(33b)
b) BSu : It’s when you know you’re
licked before you begin but you begin
anyway… (40a)
BSa :Keberanian adalah saat kau tahu
kau akan kalah sebelum memulai,
tetapi kau tetap memulai…(40b)
Pada contoh di atas, terlihat bahwa
verba lick atau licked masing-masing
diterjemahkan menjadi ‘menghukum’ yang
merupakan verba dan ‘kalah’ yang
merupakan adjektiva. Walaupun kedua
hasil terjemahan berbeda, masing-masingmasing padanan memiliki makna yang
sepadan dengan TSu. Dalam contoh (b)
terlihat
bahwa
penerjemah
sudah
menerapkan strategi tertentu dalam
menerjemahkan
verba
TSu,
yaitu
transposisi berupa pergeseran kelas kata.
Penggunaan strategi atau prosedur
dalam menerjemahkan verba bahasa
Inggris ke bahasa Indonesia untuk
mencapai
kesepadanan
meliputi
pergeseran kelas kata, pergeseran unit,
pergeseran
makna
atau
modulasi,
penambahan kata, penghilangan kata,
87
WANASTRA Vol. IV No. 1 Maret 2013
penerjemahan dengan kata lebih umum
(superordinat), penerjemahan dengan
parafrasa yang menggunakan kata-kata
yang tidak berkaitan serta penggunaan
padanan verba yang memiliki fungsi yang
sama dengan TSu.
A. Penerjemahan
Verba
dengan
Melakukan Pergeseran Kelas Kata
Pergeseran kelas kata yang ditemukan
dalam data adalah penerjemahan verba menjadi
nomina, verba menjadi adjektiva, dan verba
menjadi adverbia.
1). Verba Diterjemahkan menjadi Nomina
Contoh :
BSu : She knows what she means to this
family. (71a)
BSa : Dia tahu apa arti dirinya bagi
keluarga ini. (71b)
Verba means yang bermakna ‘berarti’
diterjemahkan menjadi ‘arti’ yang merupakan
nomina. Hasil terjemahan ini memiliki makna
yang sepadan dengan TSu walaupun berbeda
kelas kata. Kata means bisa saja diterjemahkan
dengan verba ‘berarti’ namun kalimatnya akan
terdengar tidak wajar. Dengan demikian verba
means sepadan dengan nomina ‘arti’ serta
berterima dalam BSa.
2). Verba Diterjemahkan Menjadi Nomina +
nya
Contoh :
BSu : "How does a snake feel?" (44a)
BSa : "Ular permukaannya seperti apa?"
(44b)
Verba feel dalam contoh klausa BSu di
atas dapat menimbulkan masalah bila
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Sesuai konteks, kata ini memiliki makna “to
have a particular physical quality that you
become aware of by touching”. Padanan verba
feel yang juga berbentuk verba dalam BSa
sebenarnya ada yaitu ‘merasa’ atau ‘terasa’
namun maknanya tidak sesuai dengan konteks
TSu
sehingga
penerjemah
melakukan
pergeseran kelas kata dengan mengubah verba
menjadi nomina dan menambahkan bentuk –
nya yang menyatakan milik di belakang
nomina itu. Hal ini dilakukan agar klausa
tersebut dapat dipahami oleh pembaca. Sesuai
konteks ceritanya, kalimat ini memang
membicarakan tentang permukaan tubuh ular.
Jadi verba feel tepat bila diterjemahkan sebagai
‘permukaannya’. Hasil terjemahan juga
berterima dalam BSa.
88
3). Verba Diterjemahkan Menjadi Adjektiva
Contoh :
BSu : Jem shuddered. (24a)
BSu : Jem gemetar. (24b)
Dalam kalimat di atas verba shuddered
memiliki makna yang sepadan dengan
‘gemetar’. Untuk mencapai kesepadanan ini
penerjemah mengganti kelas kata dalam BSa.
Jadi verba diterjemahkan menjadi adjektiva.
Pergeseran kelas kata ini harus dilakukan
karena padanan verba shuddered yang juga
memiliki kategori yang sama tidak terdapat
dalam BSa.
4). Verba Diterjemahkan Menjadi Adverbia
Contoh :
BSu : He returned to Saint Stephens
only once, to find a wife, and
with her established a line that
ran high to daughters. (3a)
BSa : Hanya sekali Simon kembali ke
Saint Stephens untuk mencari
istri,
dan
bersamanya,
menurunkan anak cucu yang
kebanyakan perempuan. (3b)
Sama seperti contoh sebelumnya,
dalam contoh 4) ini, pergeseran kelas kata juga
harus terjadi karena padanan terdekat verba
returned adalah ‘kembali’ yang dalam BSa
merupakan adverbia. Kedua teks dengan
demikian memiliki kesepadanan pesan.
B. Penerjemahan Verba dengan Melakukan
Pergeseran Unit
Pergeseran unit yang ditemukan dalam
data meliputi pergeseran verba menjadi frasa
verbal dan verba menjadi frasa adjektiva.
1). Verba Diterjemahkan Menjadi Frasa
Verbal
Contoh :
BSu : Walking south, one faced its
porch (9a)
BSa : Kalau berjalan ke selatan, kami
berandanya (9b)
Verba faced pada kalimat di atas
diterjemahkan sebagai ‘akan
berhadapan’.
Pergeseran kata menjadi frasa ini harus terjadi
untuk memenuhi keberterimaan dalam BSa.
Pergeseran ini juga menghasilkan makna yang
sepadan antara TSu dan TSa.
2). Verba Diterjemahkan Menjadi Frasa
Adjektiva
Contoh :
WANASTRA Vol. IV No. 1 Maret 2013
BSu : …Jem could do as he pleased
(41a)
BSa: …Jem boleh berbuat sesuka
hatinya… (41b)
Dalam kalimat di atas verba pleased
diterjemahkan menjadi frasa ‘sesuka hati’.
Terjemahan ini memiliki makna yang sepadan
walaupun terjadi pergeseran dari kata menjadi
frasa. Hasil terjemahan juga berterima dan
wajar dalam BSa.
C. Penerjemahan
dengan
Melakukan
Pergeseran Makna atau Modulasi
1). Perubahan Bentuk Aktif Menjadi Pasif
Contoh :
BSu : Nobody knew what form of
intimidation Mr. Radley
employed to keep Boo out
of sight (8a)
BSa : Tak ada yang tahu bentuk
intimidasi yang digunakan
Mr. Radley agar Boo tak
keluar rumah (8b)
Dalam contoh di atas terlihat adanya
penggunaan verba pasif sebagai terjemahan
verba aktif dalam BSu. Penerjemahan bentuk
aktif menjadi pasif dilakukan penerjemah
untuk memenuhi kaidah linguistik BSa.
Dengan adanya perubahan ini, hasil terjemahan
memiliki sudut pandang yang berbeda dari
TSu. Dalam TSu yang dipentingkan adalah
pelakunya, sedangkan dalam BSa yang
dipentingkan adalah prosesnya. Perubahan ini
tidak mengakibatkan terjadinya perubahan
makna.
2). Menyatakan Secara Tersurat dalam BSa
Apa yang Tersirat dalam BSu
Contoh:
BSu : “Why do you think Miss Rachel
locks up so tight at night?... (10a)
BSa : "Memangnya menurutmu kenapa
Miss Rachel mengunci pintu
rapat-rapat pada malam hari?...
(10b)
Dalam contoh di atas, makna frasa ‘locks
up’ yang tersirat dinyatakan secara tersurat
dalam BSa, yaitu ‘mengunci pintu’. Frasa
‘locks up’ secara implisit mengandung makna
bahwa yang dikunci adalah pintu walaupun
kata ‘door’ tidak digunakan. Kata ‘pintu’ ini
lalu dinyatakan secara eksplisit dalam TSa.
Dalam penerjemahan, gejala seperti ini dikenal
dengan nama gejala eksplisitasi, yakni
memperjelas apa yang tersirat dalam makna
BSu.
D. Penerjemahan dengan Penambahan
Kata
Contoh :
BSu : I was bored, so I began a
letter to Dill. (12a)
BSa : Karena merasa bosan, aku
mulai menulis surat untuk Dill.
(12b)
Dalam kalimat di atas, verba began dapat
saja diterjemahkan dengan ‘mulai’ namun
maknanya akan terasa kurang lengkap dalam
BSa, sehingga penerjemah menambahkan kata
‘menulis’ untuk lebih memperjelas makna dan
memenuhi keberterimaan dalam BSa.
E. Penerjemahan dengan Menghilangkan
Kata
Contoh :
BSu : …Jem had seemed grateful
enough for my company
when he went to read to
her. (42a)
BSa : …saat itu Jem tampaknya
cukup berterima kasih
karena aku menemaninya
waktu dia membaca untuk
Mrs. Dubose. (42b)
Verba went dalam kalimat di atas tidak
diterjemahkan mungkin karena penerjemah
menganggap bahwa kata ini tidak terlalu
berpengaruh pada makna dari klausa ‘waktu
dia membaca untuk Mrs. Dubose’. Walaupun
tidak diterjemahkan hal ini tidak mengurangi
pesan yang disampaikan.
F. Penerjemahan dengan Kata Lebih
Umum (Superordinat)
Contoh :
BSu : He yanked Jem nearly off
his feet. (47a)
BSa : Dia menarik Jem sampaisampai kakinya hampir tidak
meyentuh tanah (47b)
Verba yanked memiliki makna “to pull
somebody hard, quickly and suddenly”. Kata
ini tidak memiliki padanan yang bermakna
sama dalam BSa sehingga penerjemah
menggunakan kata yang lebih umum, yaitu
‘menarik’. Penggunaan verba ini dalam BSa
tidak mengurangi pesan yang disampaikan
penulis TSu.
G. Penerjemahan dengan Parafrasa yang
Menggunakan Kata-Kata yang Tidak
Berkaitan
89
WANASTRA Vol. IV No. 1 Maret 2013
Contoh :
BSu : Jem had outgrown the
treehouse (48a)
BSa : Jem sudah terlalu besar
untuk bermain di rumah pohon
(48b)
Dalam contoh di atas, verba outgrown
diterjemahkan menjadi ‘terlalu besar untuk
bermain’. Kata outgrown tidak memiliki
padanan leksikal dalam bahasa Indonesia
sehingga untuk menerjemahkan kata ini,
penerjemah menggunakan kata-kata yang
berbeda namun mengungkapkan makna yang
sepadan dengan makna TSu.
H. Penggunaan Padanan Verba yang
Memiliki Fungsi yang Sama dengan BSu
Contoh :
BSu : There was a knock on the
front door, Jem answered
it and said it was Mr. Heck
Tate. (49a)
BSa : Seseorang mengetuk pintu
depan, Jem membukanya
dan memberi tahu bahwa
tamunya adalah Mr. Heck
Tate. (49b)
Dalam BSu terlihat bahwa verba
answered digunakan sebagai respon atas
adanya ketukan di pintu. Penggunaan kata
answered dalam konteks ini wajar dalam BSu
namun padanannya dalam Bahasa Indonesia
yaitu ‘menjawab’ tidak tepat digunakan dalam
konteks yang sama. Oleh karena itu
penerjemah memilih untuk menggunakan kata
‘membuka’ sebagai padanan kata answered.
Kedua kata ini memiliki makna referensial
yang berbeda, namun dalam konteks ini
memiliki fungsi yang sama, yaitu sebagai
respon terhadap ketukan di pintu tadi. Dengan
demikian kedua verba ini sepadan dan hasil
terjemahan berterima dalam BSa.
2. Ketidaksepadanan dalam Penerjemahan
Verba Bahasa Inggris ke Bahasa
Indonesia
Ketidaksepadanan
dalam
penerjemahan verba bahasa Inggris ke
bahasa Indonesia yang ditemukan dalam
data antara lain disebabkan adanya hasil
terjemahan yang tidak memenuhi kaidah
linguistik dan budaya BSa, penggunaan
padanan yang bukan merupakan padanan
yang terdekat dengan BSu, dan adanya
penyimpangan makna referensial antara
verba BSu dan BSa.
90
a. Ketidaksepadanan
dalam
Penerjemahan
karena
Tidak
Memenuhi Kaidah Linguistik BSa
Contoh:
BSu : Rain-rotted shingles
drooped over the eaves of the
veranda… (6a)
BSa : Genting yang dikeroposi
hujan menjuntai dari tepian
serambi… (6b)
Hasil terjemahan dalam contoh di
atas tidak memenuhi kaidah linguistik
BSa. Penggunaan verba dalam suatu
klausa menuntut adanya keserasian
makna di antara verba itu dengan
unsur-unsur lain dalam klausa. Verba
‘menjuntai’ sebagai predikat yang
memiliki
makna
‘berjuntai;
menjuntaikan; menjulurkan hingga
berayun-ayun’ menuntut adanya subjek
yang sesuai dengan verba ini. Subjek
‘genting’ yang digunakan penerjemah
tidak memiliki kaitan makna dengan
‘menjuntai’. Genting terbuat dari tanah
liat. Walaupun rusak, genting tidak
mungkin bisa menjuntai karena
merupakan
benda
yang
berat.
Sebaliknya shingles, yang merupakan
sejenis sirap yang digunakan sebagai
atap pada masa itu di AS, jika rusak
terkena hujan dapat berjuntai dari tepi
serambi. Jika subjek shingles dalam
TSu diterjemahkan menjadi ‘sirap’
yang merupakan padanan terdekat,
maka verba ‘menjuntai’ memiliki
kesepadanan makna dengan drooped
over.
b.
Ketidaksepadanan
dalam
Penerjemahan karena Tidak
Memenuhi Konteks Budaya
BSa
Ketidaksepadanan
karena
perbedaan konteks budaya terjadi
karena penerjemah tidak peka akan
latar
belakang
budaya
BSa.
Penggunaan kata tertentu dalam BSu
dapat saja memiliki makna yang wajar
dalam konteks budaya BSu, namun
dalam konteks budaya BSa kata
tersebut dapat memiliki makna yang
tidak wajar. Hal ini terlihat dalam
contoh berikut.
BSu : she married a taciturn
man… (5a)
BSa : dia menikahi lelaki
pendiam…(5b)
WANASTRA Vol. IV No. 1 Maret 2013
Contoh di atas memperlihatkan
verba married diterjemahkan menjadi
verba ‘menikahi’. Kedua verba ini
tidak memiliki kesepadanan makna
karena hasil terjemahan tidak berterima
dalam konteks budaya Indonesia. Dari
teks sumber diketahui bahwa yang
melakukan tindakan ‘married’ adalah
she yang adalah seorang perempuan.
Verba ‘menikahi’ hanya digunakan
dengan subjek yang merujuk pada lakilaki. Bila subjeknya perempuan, maka
verba yang berterima dan wajar adalah
‘menikah dengan’.
d.
Ketidaksepadanan
dalam
Penerjemahan karena Adanya
Penyimpangan
Makna
Referensial
Contoh:
BSu : Jem turned out the
livingroom lights… (46a)
BSa : Jem menyalakan lampu
ruang duduk…(46b)
Dalam contoh di atas terjadi
penyimpangan makna referensial yang
serius karena frasa verbal turned out
yang bermakna ‘mematikan’ atau
‘memadamkan’
diterjemahkan
ke
dalam kata yang maknanya berlawanan
dengan makna TSu. Penyimpangan ini
tidak hanya berpengaruh terhadap
makna klausa tetapi juga koherensi
bagian teks secara keseluruhan.
c.
Penggunaan Padanan yang
Bukan Merupakan Padanan
yang Terdekat dengan Bsu
Contoh berikut memperlihatkan
hasil terjemahan yang tidak sepadan
dengan TSu karena padanan yang
dipilih penerjemah bukanlah padanan
yang terdekat dengan teks sumber.
BSu : Mrs. Radley ran screaming
into the street that Arthur
was killing them all (4a)
BSa : Mrs.
Radley
berlari
menjerit-jerit ke jalanan,
mengatakan bahwa Arthur
sedang membantai mereka
semua (4b)
Dalam contoh di atas kata
‘killing’
yang
memiliki
makna
bernuansa umum yaitu ‘membunuh’
diterjemahkan menjadi kata bernuansa
khusus dalam BSa yaitu ‘membantai’
yang bermakna ‘membunuh secara
kejam dengan korban lebih dari
seorang’. Padanan ini kurang tepat
digunakan sebagai terjemahan dari kata
killing. Dalam konteks TSu tidak
disebutkan bahwa Arthur Radley yang
dikatakan
mencoba
membunuh
keluarganya mengejar mereka dengan
garang. Ia hanya duduk di lantai dan
menusuk kaki ayahnya yang kebetulan
lewat di dekatnya. Jadi kata membantai
tidak terlalu tepat digunakan dalam
konteks ini. Verba killing dan
‘membantai’ tidak memiliki beberapa
kesamaan.
Kesepadanan
juga
ditentukan oleh adanya kesamaan
beberapa unsur antara dua hal baik
yang terdapat dalam BSu maupun BSa.
Penerjemah
seharusnya
dapat
menggunaan padanan terdekat untuk
verba killing yaitu ‘membunuh’.
V.
PENUTUP
5.1
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat
disimpulkan bahwa kesepadanan makna antara
verba BSu dan BSa pada dasarnya cukup baik.
Penerjemah
juga
terlihat
berupaya
menghasilkan terjemahan yang berterima dan
wajar dalam BSa, walaupun adakalanya terikat
pada struktur BSu. Penggunaan strategi atau
prosedur dalam menerjemahkan verba ini juga
bervariasi, yaitu dengan melakukan pergeseran
kelas kata, pergeseran unit, modulasi,
penambahan
kata,
penghilangan
kata,
penerjemahan dengan kata lebih umum
(superordinat), penerjemahan dengan parafrasa
yang menggunakan kata-kata yang tidak
berkaitan, dan penggunaan padanan verba yang
memiliki fungsi yang sama dengan TSu.
Adanya
ketidaksepadanan
yang
ditemukan dalam data menunjukkan bahwa
tidak ada terjemahan yang sempurna.
Ketidaksepadanan makna yang terdapat antara
verba BSu dan BSa terutama disebabkan oleh
adanya hasil terjemahan yang tidak memenuhi
kaidah linguistik dan budaya BSa, penggunaan
padanan yang bukan merupakan padanan yang
terdekat dengan BSu, serta
adanya
penyimpangan makna referensial antara verba
BSu dan BSa.
5.2 SARAN
91
WANASTRA Vol. IV No. 1 Maret 2013
Penerjemahan verba bahasa Inggris ke
dalam bahasa Indonesia pada prinsipnya
merupakan pengalihan makna yang dimiliki
verba itu ke dalam BSa. Pengalihan makna ini
dapat menimbulkan masalah karena adanya
perbedaan antara kedua bahasa yang dapat
berujung pada hasil terjemahan yang tidak
sepadan dengan teks aslinya.
Adanya
ketidaksepadanan
dalam
penerjemahan verba bahasa Inggris ke bahasa
Indonesia yang terdapat pada novel To Kill a
Mockingbird dan terjemahannya menyiratkan
bahwa penerjemah kurang hati-hati dalam
memilih padanan BSa. Hal ini dapat
berdampak pada pemahaman pembaca TSa.
Oleh karena itu, perlu kiranya penerjemah lebih
meningkatkan pemahaman terhadap makna
setiap verba yang digunakan baik dalam BSu
maupun BSa, meningkatkan pengetahuan
mengenai kaidah linguistik dan budaya BSu
serta BSa, dan meningkatkan pemahaman
terhadap konteks TSu pada saat menganalisis
teks itu. Penerjemah juga perlu memiliki
kemampuan dalam merestrukturisasi TSu ke
dalam BSa sehingga menghasilkan terjemahan
yang akurat, sepadan, dan berterima pada
pembaca TSa.
DAFTAR PUSTAKA
Allsop, Jake. 1989. Making Sense of English
Grammar. Jakarta: Binarupa Aksara.
Alwi, Hasan, et al. 2003. Tata Bahasa Baku
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Baker, Mona. 1992. In Other Words: A
Coursebook on Translation. London:
Routledge.
Roger.
1991.
Translation
and
Translating: Theory and Practice.
New York: Longman Inc.
Cambridge Dictionaries Online
[http://dictionary.cambridge.org]
(Accessed 22 Februari 2013)
Hoed, Benny Hoedoro. 2006. Penerjemahan
dan Kebudayaan. Jakarta: PT.
Dunia Pustaka Jaya.
Kamus Bahasa Indonesia. 2008. Jakarta: Pusat
Bahasa Depdiknas.
Larson,
Mildred. L. 1984.Meaning-Based
Translation: A Guide to CrossLanguage Equivalence. Lanham:
University Press of America,
Lee, Harper. 1960. To Kill a Mockingbird. New
York: Warner Books, Inc.
--------------. 2010. To Kill a Mockingbird
terjemahan
Femmy
Syahrani.
Bandung: Qanita.
Littell, J., E. H. Pearson, dan Kraft and Kraft.
1985. Basic Skills in English.
Evanston: McDougal, Littell &
Company.
Machali, Rochayah. 2000. Pedoman Bagi
Penerjemah. Jakarta: PT. Grasindo,
Macmilland
Dictionaries
[http://www.macmillandictionary.co
m] (Accessed 22 Februari)
Munday,
Jeremy.
Translation
Routledge.
2001.
Introducing
Studies.
London:
Nababan, M. Rudolf. 2003. Teori Menerjemah
Bahasa Inggris. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Newmark,
Peter. 1988. A Textbook of
Translation. New York/London:
Prentice Hall.
Bell,
Catford, J. C. 1965. A Linguistic Theory of
Translation: An Essay in Applied
Linguistics.
London:
Oxford
University Press.
House, Juliane. 2009. Translation. Oxford:
Oxford University Press.
92
Oxford Advanced American Dictionaries
[http://oaadonline.oxfordlearnersdi
ctionaries.com/dictionary]
(Accessed 20 Februari 2013)
Download