Konflik Palestina-Israel Ditinjau dari Hukum Internasional

advertisement
Jurnal Saintech Vol. 05- No.01-Maret 2013 ISSN No. 2086-9681
KONFLIK PALESTINA–ISRAEL DITINJAU DARI HUKUM
INTERNASIONAL
Oleh :
Elvira Dewi Ginting, SH., M.Hum *)
*)
Dosen IAIN Medan
Abstract
The Palestinians with Israel Issues are mostly related to human rights issues (rights). Where the role of
international law in it. That is, when there are violations of human rights, then the applicable
international law.
In many cases this conflict are violations of human rights one of them. When, blockade by Israel
against the Palestinian people of Gaza is actually violating Human Rights (HAM), the human rights
violations visible from the blockade by Israel resulted in many Palestinian citizens of Gaza
malnourished and many diseases, meaning that the blockade was not done in a peaceful way.
Supposed good intentions of the Palestinians who want to become members of the United Nations
should not be hindered much less rejected because clearly said to violate international human rights,
every person and nation deserve equality (equality) without having to look at the differences of
religion, race and ethnic background.
Under international law, we can analyze the Israeli-Palestinian armed conflict that Israel committed
serious violations of the basic principles of international humanitarian law governing the procedure of
the war. More detail again, wounding Israel on the protection of the Geneva Convention IV on
civilians in war, as well as degrading the five basic principles of the law of war.
Keywords :Palestine- Israel conflic, international law
I. Pendahuluan
Masalah antara Palestina dengan Israel
ini sebagian besarnya adalah terkait masalah
hak asasi manusia (HAM). Dimana hukum
internasional juga membawahinya. Artinya,
ketika ada pelanggaran HAM, maka hukum
internasional tersebut berlaku. Dan ini yang
dalam konteks piagam PBB pernah
disinggung,”PBB
akan
memajukan
penghormatan dan kepatuhan terhadap HAM
dan kebebasan-kebebasan dasar bagi semua
bangsa membedakan suku, bangsa, kelamin,
bahasa atau agama.”(pasal 55 c paigam PBB)
50 resolusi yang dibuat PBB untuk
menghentikan konflik yang terjadi di palestina
dan israel tidak pernah digubris oleh israel.
Maka disini, kita akan bertanya Apa PBB tidak
bisa menyelesaikan konflik antara palestina
dengan israel?“. PBB itu sebenarnya bukan
tidak bisa, dalam arti sebenarnya PBB itu bisa
menyelesaikan konflik tersebut, lihat saja
konflik di Afrika mampu diselesaikan oleh
PBB. Akan tetapi, ada pihak ketiga yang
senantiasa menggagalkan penyelesaian konflik
tersebut. Masalah antara palestina dengan
Israel ini yang menurut Todung Mulya Loebis
adalah sebuah kejahatan perang (war crime)
dan kejahatan atas kemanusiaan (crime against
humanity). Kenapa kejahatan perang dan
kenapa kejahatan atas kemanusiaan? Dalam
hukum internasional, hukum perang (laws of
war) diatur sedemikian rinci. Semua hukum
yang berlaku mensyaratkan agar dalam perang
semua tindakan (ius in bello) tunduk kepada
hukum perang, dimana penduduk sipil dan
tempat-tempat publik tidak boleh diserang.
Tetapi pada kenyataannya, Israel yang
seharusnya sudah paham dengan hukum ini
tidak sekalipun mau tunduk. Kita melihat di
1
Jurnal Saintech Vol. 05- No.01-Maret 2013 ISSN No. 2086-9681
televisi-televisi;
rumah-rumah,
sekolahsekolah, dan rumah sakit-rumah sakit yang ada
di palestina hancur berantakan. Padahal
seharusnya hal ini tidak boleh dilakukan
karena melanggar hukum internasional itu tadi.
Lalu, syarat yang kedua adalah alasan untuk
perang (lus ad belium), jadi suatu perang itu
dilakukan bukan karena semata-mata ingin
perang atau hanya sekedar menguasai daerah
tertentu. Disinilah ius in bello dan ius ad
beilum berhubungan satu sama yang lainnya,
sehingga membatasi perang ini sebagai self
defense dan atau respon terhadap tindakan
permusuhan (conduct of hostilities).
Jikalau ditelusuri dengan cermat dari
kedua syarat tadi atau bahwasanya perang itu
boleh asalkan sebagai self defense atau
conduct of hostilities, maka Israel tidaklah
memasuki kriteria dan kesemuanya. Jadi
sesungguhnya konflik ini direncanakan oleh
Israel, karena tidak mungkin israel berdalih
dengan self defense dengan persenjataan super
canggih melawan persenjataan apa adanya.
Kalau secara psikologis, tidak mungkin
persenjataan yang apa adanya berani
menantang persenjataan yang super canggih.
Dan Israel tentu juga tidak mungkin berdalih
karena respon terhadap tindakan permusuhan
yang dilakukan oleh palestina. Kalau memang
itu adalah respon terhadap tindakan
permusuhan, maka sudah barang tentu segala
tempat-tempat publik yang ada di israel lebih
parah ketimbang dari milik palestina. Tetapi,
realita di dunia berbicara lain.
Konflik Palestina-Israel adalah konflik yang
diawali dari perebutan wilayah namun meluas
hingga menimbulkan sentimen-sentimen yang
berwarna “rasisme” antara Arab dan Yahudi.
Sebab-sebab konflik mulai meluas, dan
“sekadar” perebutan wilayah kekuasaan antara
Palestina dan Israel hingga akhirnya
menimbulkan konflik yang berkepanjangan
karena masalahnya bukan lagi sekadar
perebutan wilayah tetapi pertahanan atas apa
yang telah direbut dengan berbagai cara
sehingga pihak Israel terus melakukan aksi
perluasan okupasi dengan alasan melindungi
diri dari serangan Palestina sementara pihak
Palestina sulit menghentikan aksi-aksi bom
bunuh diri yang destniktif yang dilakukan oleh
warga negaranya.
Resolusi konflik berupaya mencari
penyelesaian masalah yang jauh dari
2
penggunaan kekerasan. Walaupun pada
akhirnya tetap membutuhkan aksi militer
untuk menurunkan eskalasi konflik pada awal
tahapan resolusi konflik. Setelah tercapainya
keadaan ketiadaan kekerasan barulah dapat
dimulai proses panjang menuju rekonsiliasi
antar pihak yang bertikai. Upaya tersebut
memiliki tujuan jangka panjang yang bukan
sekadar menciptakan keadaan tanpa perang
tetapi menciptakan perdamaian yang positif
yaitu perdamaian dimana tercipta suatu sistem
nilai bersama, norma-norma universal dari
kesadaran dan kemauan untuk memahami
pihak lawan dan memaafkannya sehingga
menghilangkan trauma, ketakutan dan
kebencian, yang membuat proses rekonsiliasi
akan sulit berlangsung.
Lahirnya PBB sebagai penerus tugas
dari
LBB,
tidak
banyak
membantu
penyelesaian konflik yang terjadi di wilayah
Palestina. PBB sebagai Organisasi yang
diharapkan dan dilegitimasikan sebagai hukum
Internasional tidak pernah memberikan sanksi
terhadap Israel yang sudah terbukti melakukan
kejahatan kemanusiaan. Selain itu kontribusi
yang diberikan PBB dalam penyelesaian
konflik Palestina Israel terkesan memihak pada
israel sehingga kerangka penyelesaian yang
diajukan sulit sesuai dengan pihak yang lain
yaitu Palestina. PBB sebagai organisasi
Penjaga Perdamaian dunia telah gagal
melaksanakan perannya dalam konflik
Internasional dalam kasus ini Konflik
Palestina-Israel.
Konflik Israel-Palestina boleh jadi
merupakan konflik yang memakan waktu
panjang setelah Perang Salib yang pernah
terjadi antara dunia Timur dan Barat di sekitar
abad kedua belas. Konflik yang telah
berlangsung enam puluhan tahun ini menjadi
konflik cukup akut yang menyita perhatian
masyarakat dunia. Apa yang pernah diprediksi
Amerika melalui Menteri Luar Negerinya,
Condoleezza Rice, pada Konfrensi Perdamaian
Timur Tengah November 2008 lalu, sebagai
“pekerjaan sulit namun bukan berarti tidak
dapat ditempuh dengan kerja keras dan
pengorbanan” bagi penyelesaian konflik IsraelPalestina, semakin menunjukkan bahwa
perdamaian Israel-Palestina memang sulit
diwujudkan. Pasalnya, akhir 2008 yang
diprediksi dunia Internasional (dalam hal ini
Amerika) sebagai puncak penyelesaian konflik
Jurnal Saintech Vol. 05- No.01-Maret 2013 ISSN No. 2086-9681
Israel-Palestina justru menampakkan kondisi
sebaliknya.
Tercatat tidak kurang dari seribu lebih
warga Palestina mengalami korban jiwa dan
dua ribu korban luka lainnya dalam waktu
sepekan serangan udara yang dilancarkan
pasukan Israel ke jalur Gaza. Tidak hanya
sampai di situ, Israel bahkan mulai melakukan
serangan darat dengan dalih ingin melucuti
sisa-sisa roket yang dimiliki pejuang Hamas,
sebuah gerakan perlawanan Islam di Palestina
yang menjadi alasan penyerangan Israel
kewilayah tersebut. Sulit dibayangkan, jika
serangan udara Israel dalam waktu satu
minggu telah menelan demikian banyak
korban, keadaannya tentu akan semakin parah
setelah Israel melancarkan serangan daratnya,
dan kondisi ini terbukti dengan jatuhnya
korban jiwa melebihi angka seribu dan ribuan
korban luka lainnya.
Agresi meliter Israel ke Jalur Gaza
beberapa waktu terakhir benar menarik
perhatian banyak pihak, tidak saja dari
kalangan masyarakat muslim melainkan
hampir
seluruh
masyarakat
dunia.
Keprihatinan dan simpati masyarakat dunia
akan kondisi Palestina yang menjadi korban
keganasan agresi meliter Israel diungkapkan
dalam berbagai bentuk solidaritas, mulai dari
aksi kecamanan, kutukan dan penolakan
terhadap tindakan Israel hingga pengiriman
bantuan kemanusiaan dalam berbagai bentuk,
seperti tenaga medis, makanan serta obatobatan. Atas nama kemanusiaan, solidaritas
semacam ini wajar dilakukan. Namun yang
cukup menarik dari sekian banyak solidaritas
yang ditujukan pada korban Patestina adalah
simpati dan dukungan yang datang dari
masyarakat Islam. Lebih dari sekedar
memberikan bantuan kemanusiaan pada
masyarakat Palestina, beberapa institusi dan
ormas Islam bahkan siap mengirimkan tenaga
relawannya sebagai “pasukan jihad”.
Fakta yang cukup sulit untuk dibantah,
bahwa konflik Israel-Palestina berhasil
membangun stigma di tengah masyarakat
Islam sebagai konflik bernuansa agama.
Pandangan
ini
setidaknya
dibangun
berdasarkan asumsi bahwa Palestina diyakini
sebagai salah satu simbol spirituatitas Islam,
dan korban yang berjatuhan di tanah Palestina
secara umum adalah masyarakat Islam. lstilah
“jihad” sendiri merupakan terminologi dalam
ajaran Islam yang mengandung pengertian
perang yang dilakukan di jalan Allah, sehingga
jika jihad dapat ditolerir dalam kasus ini, maka
semakin sulit membangun fondasi keyakinan
ditengah masyarakat Islam tentang adanya
“fakta lain” di balik situasi konflik yang sejak
lama terjadi antara Israel dan Palestina.
Fakta lain adalah dimensi politik yang
juga demikian kental dalam konflik Israel
Palestina. Fakta ini setidaknya ditunjukkan
dengan keberpihakan Amerika Serikat sebagai
negara adidaya pada lsrael. Keberpihakan
tersebut semakin terlihat jelas ketika tidak
kurang dari puluhan resolusi yang dikeluarkan
PBB untuk konflik lsrael-Palestina kerap
“dimentahkan” Amerika dengan vetonya. Ada
hal lain yang lebih menarik, sunyinya sauara
negara-negara Arab (khususnya Saudi Arabia
yang dalam banyak hal dianggap sebagai
“kampung halaman Islam” dan berteman dekat
dengan Amerika) semakin memperlihatkan
nuansa politik yang cukup kontras dalam kasus
ini.
Konflik
lsrael-Palestina
dengan
sendirinya dapat diposisikan sebagai konflik
sosial mengingat kasus ini dapat disoroti dari
beberapa aspek: politik dan teologi. Konflik
sosial sendiri sebagai dikatakan Obserscall
mengutip Coser-diartikan sebagai “…a
struggle over values or claims to status, power,
and resource, in wich the aims of the conflict
groups are not only to again the desired values,
but also to neutralise injure or eliminate rivals.
Pengertian ini menunjukkan bahwa konflik
social meliputi spectrum yang lebar dengan
melibatkan
berbagai
konflik
yang
membingkainya, seperti: konflik antar kelas
(social class conflict), konflik ras (ethnics and
ractal conflicts), konflik antar pemeluk agama
(religion conflict), konflik antar komunitas
(communal conflict), dan lain sebagainya.
Dalam kasus Israel-Palestina, aspek
politik bukanlah satu-satunya dimensi yang
dapat digunakan untuk menyoroti konflik
kedua negara tersebut, demikian halnya
dengan dimensi teologis yang oleh banyak
pihak dianggap tidak ada hubungannya dengan
konflik ini. Sebagian pihak memandang
konflik lsrael-Palestina murni sebagai konflik
politik sementara sebagian yang lain
memandang konflik ini sarat dengan nuansa
teologis.
3
Jurnal Saintech Vol. 05- No.01-Maret 2013 ISSN No. 2086-9681
Nuansa teologis dalam konflik IsraelPalestina bukan saja ditunjukkan dengan
terbangunnya stigma perang Yahudi-Islam,
akan tetapi keyakinan terhadap “Tanah yang
Dijanjikan memanjang dari Sungai Nil ke
Eufrat. Itu termasuk bagian Suriah dan
Lebanon” sebagai tradisi teologis Yahudi juga
tidak dapat tidak ada dari kedua aspek di atas
(politik dan teologi) yang dapat dianggap lebih
tepat sebagai pemicu konflik Israel-Palestina,
karena sepanjang sejarahnya kedua aspek
tersebut turut mewarnai konflik.
Maka, jika dilihat secara definisi
memang bisa dikatakan bahwa kasus
Palestina-Israel dapat adalah konflik. Karena
terdapat
salah
satu
pihak
berusaha
menyingkirkan & menghancurkan pihak lain.
Tetapi bila dilihat dari faktor penyebab dan
jenis konflik, tidak ada satu hal pun yang bisa
dikatakan bahwa kasus Palestina-Israel ini
adalah sebagai suatu konflik. Jadi sekali lagi
perlu digarisbawahi bahwa kasus kekerasan
yang terjadi antara Palestina dan Israel adalah
bukan merupakan “konflik”. Lalu istilah apa
yang cocok digunakan ? “Imperialisme”,
adalah istilah yang cocok digunakan dalam
kasus ini.
Untuk itu perlu ditelaah lebih lanjut
pengertian dari istilah tersebut. Asal mula
kata/istilah imperialisme Imperialisme berasal
dari kata Latin “imperare” yang artinya
“memerintah”. Hak untuk memerintah
(imperare) disebut “imperium”. Orang yang
diberi hak itu (diberi imperium) disebut
“imperator”. Yang lazimnya diberi imperium
itu ialah raja, dan karena itu lambat-laun raja
disebut imperator dan kerajaannya (ialah
daerah dimana imperiumnya berlaku) disebut
imperium. Pada zaman dahulu kebesaran
seorang raja diukur menurut luas daerahnya,
maka raja suatu negara ingin selalu
memperluas kerajaannya dengan merebut
negara-negara lain. Tindakan raja inilah yang
disebut imperialisme oleh orang-orang
sekarang, dan kemudian ditambah dengan
pengertian-pengertian lain hingga perkataan
imperialisme mendapat arti-kata yang kita
kenal sekarang ini. Arti kata imperialisme
Imperialisme ialah politik untuk menguasai
(dengan paksaan) seluruh dunia untuk
kepentingan diri sendiri yang dibentuk sebagai
imperiumnya.
4
“Menguasai” disini tidak perlu berarti
merebut dengan kekuatan senjata, tetapi dapat
dijalankan dengan kekuatan ekonomi, kultur,
agama dan ideologi, asal saja dengan paksaan.
Imperium disini tidak perlu berarti suatu
gabungan dan jajahan-jajahan, tetapi dapat
berupa daerah-daerah pengaruh, asal saja
untuk kepentingan diri sendiri. Apakah beda
antara imperialisme dan kolonialisme?
Imperialisme ialah politik yang dijalankan
mengenai seluruh imperium. Kolonialisme
ialah politik yang dijalankan mengenai suatu
koloni, sesuatu bagian dan imperium jika
imperium itu merupakan gabungan jajahanjajahan.
II.
Akar Masalah Palestina-lsrael
Sebelum Israel bercokol di Timur
Tengah khususnya di tanah Palestina yang
mereka diami sekarang. Palestina merupakan
bagian dari wilayah kekhilafahan ustmaniyah.
Secara aqidah, dalam padangan Islam
Tanah Palestina (Syam) adalah tanah milik
kaum Muslim. Di tanah ini berdiri al-Quds.
yang merupakan lambang kebesaran umat ini,
dan ia menempati posisi yang sangat mulia di
mata kaum Muslim. Ada beberapa keutamaan
dan sejarah penting yang dimiliki al-Quds.
Pertama: Tanah wahyu dan kenabian.
Rasulullah saw. bersabda, “Para malaikat
membentangkan sayapnva di atas Syam dan
para nabi telah membangun Baitul Maqdis (AlQuds)” Ibnu Abbas menambahkan bahwa
Rasulullah saw, juga bersabda, “Para nabi
tinggal di Syam dan tidak ada sejengkal pun
kota Baitul Maqdis kecuali seorang nabi atau
malaikat pernah berdoa atau berdiri di sana.”
(HR at-Tirmidzi)
Kedua: Tanah kiblat pertama. Arah
kiblat pertama bagi Nabi Muhammad saw. dan
kaum Muslim setelah hijrah ke Madinah
adalah Baitul Maqdis (al-Quds) sampai Allah
SWT menurunkan wahyu untuk mengubah
kiblat ke arah Ka’bah.
(Surah al-Baqarab: 144)
Ketiga: Masjid al-Aqsha adalah tempat
suci ketiga bagi umat Islam dan satu dari tiga
masjid yang direkomendasikan Nabi saw,
untuk dikunjungi. Beliau bersabda, “Tidaklah
diadakan perjalanan dengan sengaja kecuali ke
tiga masjid: Masjidku ini (Masjid Nabawi di
Jurnal Saintech Vol. 05- No.01-Maret 2013 ISSN No. 2086-9681
Madinah), Masjidil Haram (di Makkah), dan
MasjidAI-Aqsha.”
(HR al-Bukhari dan Muslim)
Rasulullah saw. juga bersabda, “Sekali
shalat di Masjidil Haram sama dengan 100.000
shalat. Sekali shalat di Masjidku (di Madinah)
sama dengan 1000 shalat. Sekali shalat di
Masjid al-A qhsa sama dengan 500 shalat”
(HR ath-Thabrani dan al-Bazzar)
Keempat: Tanah ibu kota Khilafah
Yunus bin Maisarah bin Halbas bahwa Nabi
Muhammad saw. pernah bersabda, “Perkara
ini (Khilafah) akan ada sesudahku di
Madinah, lalu di Syam, lalu di Jazirah, lalu di
Irak, lalu di Madinah, lalu di Al-Quds (Baitul
Maqdis). Jika di khalifah ada di al-Quds,
pusat negerinya akan ada di sana dan siapa
pun yang memaksa ibukotanya keluar dari
sana (al-Khilafah tak akan kembali ke sana
selamanya”.
(HR Ibn Asakir)
Keinginan bangsa Yahudi untuk punya
tanah air sendiri sudah lama terpendam, salah
seorang tokoh Yahudi bernama Theodore
Herzl (1860-1904) menulis cita-citanya dalam
buku yang berjudul Der Judenstadt (Negara
Yahudi).
Pada Juni tahun 1896 M, datanglah
pemimpin Yahudi Internasional Theodore
Herz ditemani Neolanski kepada Khalifah
Abdul Hamid di Konstantinopel. Kedatangan
mereka adalah meminta Khalifah memberikan
tanah Palestina kepada Yahudi. Tidak
tanggung-tanggung, mereka pun memberi
iming-iming: “Jika kami berhasil menguasai
Palestina, maka kami akan memberi uang
kepada Turki (Khilafah Utsmaniah) dalam
jumlah yang sangat besar. Kami pun akan
memberi hadiah melimpah bagi orang yang
menjadi perantara kami. Sebagai balasan juga,
kami akan senantiasa bersiap sedia untak
membereskan masalah keuangan Turki”.
Namun, Khalifah Abdul Hamid
menentang keras. Beliau menyatakan, “Aku
tidak akan melepaskan walaupun segenggam
tanah ini (Palestina,), Karena ia bukan milikku.
Tanah itu adalah hak umat. Umat ini telah
berjihad demi kepentingan tanah ini dan
mereka telah menyiraminya dengan darah
mereka.. Yahudi silahkahkan menyimpan harta
mereka. Jika Khilafah Islam dimusnahkan
pada suatu huri, maka mereka, boleh
mengambil tanpa membayar harganya. Akan
tetapi, sementara Aku hidup, Aku lebih rela
menusukan ke tubuhku daripada melihat tanah
Palestina dikhianati dan dipisahkan dari
Khilafah islam. Perpisahan adalah sesuatu
yang tidak akan terjadt.aku tidak akan
memulai pemisahan tubuh, kami selama kami
masih hidup!”
Kesungguhan sang Khalifah itu
ditunjukkan pula dalam Maklumat yang
dikeluarkannya pada tahun 1890 M: “Wajib
bagi semua menteri (wazir,) untuk melakukan
studi beragam serta wajib mengambil
keputusan yang serius dan tegas dalam
masalah Yahudi tersebut” akibat dari
ketegasan Khalifah Abdul Hamid tersebut
menjadikan Herzl tak berdaya menghadapinya.
Diapun menyampaikan. “Sesungguhnya
saya kehilangan harapan untuk bias
merealisasikan keinginan orang-orang Yahudi
di Palestina. Sesungguhnya orang-orang
Yahudi tidak akan pernah bisa masuk kedalam
tanah yang dijanjikan selama Sultan Abdul
Hamid II masih tetap berkuasa dan duduk di
atas kursinya.”
Kemudian pada Tahun 1902, delegasi
Herzl kembali mendatangi Sultan Hamid.
Delegasi Herzl menyodorkan sejumlah
tawaran seperti:
1) memberikan hadiah sebesar 150 juta
Poundsterling untuk pribadi Sultan,
2) membayar semua utang pemerintah Turkis
Utsmani yang
mencapai 33
juta
Pounsterling
3) Membangun kapal induk untuk menjaga
pertahanan pemerintah Utsmani yang
bernilai 120 juta Frank
4) memberikan pinjaman tanpa bunga sebesar
35 juta Poundsterling dan,
5) membangun sebuah universitas Utsmani di
Palestina.
Namun, semua tawaran itu, ditolak oleh
Sultan
Hamid
II.
Beberapa
catatan
menyebutkan setidaknya ada 6 kali delegasi
yahudi mendatangi istana khalifah untuk
meloloskan roposal ini. Diantaranya dialog
yang “menyarankan” agar orang-orang yahudi
“membeli” Palestina terjadi antara Sir Moses
Haim Montefiore dengan Shah Nasr ad Dhin.
Kemudian Khalifah Abdul Hamid 11
menolaknya dan mengatakan kepada delegasi
tersebut: “Nasehatilah temanmu Hertzl agar
tidak mengambil langkah-langkah baru dalam
masalah ini. Sebab, saya tidak akan bisa
5
Jurnal Saintech Vol. 05- No.01-Maret 2013 ISSN No. 2086-9681
mundur dari tanah suci (Palestina) ini, walau
hanya sejengkal. Karena tanah ini bukanlah
milikku. Tanah ini adalah milik bangsa dan
rakyatku. Para pendahuluku telah berjuang
demi mendapatkan tanah ini mereka lelah
menyiraminya dengan tetesan darah. Biarlah
orang-orang Yahudi itu menggenggam jutaan
uang mereka. Jika negeriku tercabik-cabik,
maka sangat mungkin mendapatkan Palestina
tanpa imbalan dan balasan apapun. Namun
patut dilihat, bahwa hendaknya pencabikcabikan itu dimulai dan tubuh dan raga kami.
Namun, tentu aku tidak menerima ragaku
dicabik-cabik selama hayat masih di kandung
badan.”
Setelah tidak berhasil dengan upaya
tersebut, maka kaum Zionist berpindah cara
yakni dengan cara menggunakan kekuatan
negara Inggris. Bagaimana caranya? Yakni
dengan Menjerat negara Inggrjs dengan Utang
beserta ribanya. Hal ini terjadi pasca perang
dunia pertama.
Dalam kasus konflik ini banyak terdapat
pelanggaran HAM salah satunya. Ketika,
blockade yang dilakukan Israel terhadap warga
Gaza palestina sebenarnya melanggar Hak
Asasi Manusia (HAM), pelanggaran HAM
tersebut terlihat dari blockade yang dilakukan
oleh Israel mengakibatkan banyak warga gaza
Palestina mengalami gizi buruk dan banyak
penyakit, artinya blokade tidak dilakukan
dengan cara damai. Blokade adalah upaya
sengketa internasional berupa pengepungan
suatu wilayah kota atau pelabuhan untuk
memutuskan komunikasi dengan dunia luar,
walau blokade merupakan tindakan yang
dikaui oleh hokum internasional akan tetapi
tidak dibenarkan jika terjadi krisis gizi buruk
dan krisis.
Dari beberapa pelanggaran yang
dilakukan oleh Israel maka pemerintah Turki
melalui
Perdana
Menterinya
Erdogan
menyatakan untuk memutuskan hubungan
diplomatik dengan Israel (persona non grata)
yaitu tindakan hukum yang dikeluarkan oleh
negara penerima dalam hal ini Turki tidak
mengakui perwakilan dari negara pengirim
dalam hal ini Israel dengan alas an tidak
disukai atas tindakan-tindakannya ataupun
tindakan negaranya (Israel) terhadap apa yang
dilakukan pada warga Negara Turki.
Hal inilah penyebab berakhirnya
hubungan diplomatik antara kedua negara
6
tersebut. Persona non grata merupakan
tindakan hukum yang sah dan diakui dalam
hukum internasional yang tercantum dalam
Pasal 9 Konvensi Wina 1961 tentang
Hubungan Diplomatik, tindakan Turki tersebut
dinilai sangat tepat karena sebagai negara yang
berdaulat dan memiliki pemerintahan, idealnya
sebagai kepala pemerintahan. Erdogan
memiliki tanggung jawab moral dan politik
terhadap warga negaranya atas tindakan Israel.
III. Palestina dalam Perspektif Hukum
Internasional
Sejak banyaknya negara-negara dan
berbagai macam organisasi internasional yang
mendukung kemerdekaan Palestina, tetapi
sampai hari ini tidak sama sekali merubah
wajah Palestina. Berbicana mengenai negara,
maka langkah awal yang harus kita ketahui
bersama adalah syarat tentang pembentukan
suatu negara itu sendiri.
Selanjutnya untuk dikatakan sebagai
negara haruslah memenuhi unsur-unsur
tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan
unsur tersebut adalah adanya wilayah,
penduduk dan pemerintahan yang sah tersehut
sesuai dengan isi ketentuan yang ada di dalam
Pasal I Konvensi Montevideo 1933 :“The state
as a person of international law should
possess the following quallfications: (a)
permanent population, (b,) a defined territory,
(c) government and (d) capacity to enter into
relations with the other states.”
Bahkan disebutkan dalam konvensi ini
ketentuan tambahan mengenai kemampuan
untuk melakukan hubungan (diplomatik dan
konsuler)
dengan
negara-negara
lain.
Berdasarkan ketentuan Konvensi Montevideo
1933 kita bisa mengambil sedikitnya beberapa
kesimpulan hasil analisa sederhana yaitu:
1. Palestina
jelas
memiliki
populasi
penduduk, memiliki luas wilayah dan
pemerintahan yang sedang berjalan
menggerakkan roda pemerintahannya.
2. Palestina juga sudah mampu melakukan
hubungan diplomatik dengan beberapa
negara dan organisasi internasional di
dunia.
3. Palestina
jelas
sudah
memiliki
pemerintahan dengan mekanisme yang
sebenarnya yaitu melalui mekanisme
Pemilihan Umum dimana Partai Hamas
Jurnal Saintech Vol. 05- No.01-Maret 2013 ISSN No. 2086-9681
yang
menjadi
pemenangnya,
lalu
bagaimanakah sebenarnya status Palestina
sekarang ini menurut hukum internasional
Pada dasarnya Indonesia sudah lama
mengakui keberadaan negara Palestina. Bukti
bahwa Indonesia telah mengakui Palestina
sebagai negara ditandai dengan adanya
perwakilan kedutaan besar di Jakarta,
Indonesia.
Permasalahan yang sedang diupayakan
oleh negara-negara di dunia saat ini
sebenarnya adalah keikutsertaan Palestina
menjadi anggota baru di Perserikatan BangsaBangsa (PBB), namun anggota tetap dan
Dewan Keamanan PBB seperti Amerika sudah
pasti akan menggunakan hak vetoya untuk
tidak memasukkan dan mengakui Palestina
menjadi anggota PBB.
Seharusnya niat baik dari Palestina yang
ingin menjadi anggota PBB tidak boleh di
halang-halangi apalagi ditolak oleh Amerika
karena jelas dikatakan melanggar HAM
Internasional, setiap orang maupun negara
berhak mendapat kesetaraan (equality) tanpa
harus melihat perbedaan agama, ras dan latar
belakang etnisnya.
Pada saat ini hukum internasional telah
mengakui suatu hak, yaitu hak negara untuk
menentukan nasibnya sendiri (right to selfdetermination) sebagai salah satu bagian dari
hak asasi manusia (HAM) internasional, Hal
tersebut secara tegas telah dinyatakan dalam
Pasal 1 ayat (1) “International Covenant on
Civil and Political Rights” (ICCPR) yaitu: “All
peoples have the right of self-determination.
By virtue of that right they freely determine
their political status andfreely pursue their
economic, social and cultural development
Artinya “berdasarkan hak ini semua
bangsa (peoples) bebas untuk menentukan
status politik dan mengejar pembangunan
ekonomi, sosial dan budayanya” Namun,
dalam
konteks
hukum
internasional
kemerdekaan sebagai wujud dan hak untuk
menentukan nasib sendiri “right to selfdetermination” (dalam bidang ekonomi,
politik, dsb) dalam hat ini sangat jelas
dimaksudkan untuk membebaskan Palestina
dari segala macam bentuk penjajahan dan
dominasi otoriter Israel.
Hukum internasional tidaklah sama
dengan hukum nasional, penegakan hukum
internasional dinilai sangat lemah. Maka dari
itu
kebanyakan
para
pakar
hukum
internasional menganggap hukum internasonal
bersifat primitif karena sangat bergantung
kepada siapa yang melakukan penegakan
hukum tersebut. Bila hukum tersebut
ditegakkan oleh negara yang memiliki
kekuatan ekonomi dan militer seperti Amerika
maka hasilnya akan efektif, sebaliknya jika
hukum internasional ditegakkan oleh negara
yang biasa-biasa saja maka akan sulit
terciptanya keadilan di dunia internasional
terlebih untuk masalah penegakan hukum Hak
Asasi Manusia Interniasional.
Kongres pertama gerakan Zionis yang
didirikan oleh Theodore Herzl pada tahun
1896 merekomendasikan berdirinya sebuah
negara khusus bagi kaum Yahudi yang tercerai
berai diseluruh dunia. Kemudian pada kongres
berikutnya pada tahun 1906, gerakan Zionis
merekomendasikan secara tegas berdirinya
sebuah negara bagi bangsa Yahudi di
Palestina.
Situasi politik di benua Eropa akibat
pecahnya Perang Dunia I (1914-1918),
memberikan peluang bagi gerakan Zionis
untuk mewujudkan cita-cita tersebut. lnggris
yang terlibat pada Perang Dunia I melawan
Jerman, bekerjasama dengan gerakan Zionis
pimpinan Theodore Herzl dan bangsa-bangsa
Arab yang berada di bawah otoritas dinasti
Ottoman khalifah Ustmaniyah. Di satu pihak
lnggris mendorong bangkitnya nasionalisme
bangsa Arab untuk melawan dinasti Ottoman
yang memihak Jerman, sedangkan di pihak
lain lnggris memberikan janji kepada gerakan
Zionis pimpinan Theodore Herzl untuk
mendirikan negara di Pakstina.
Sehingga
terjadi
konspirasi
internasional yang memberi peluang berdirinya
negara bagi bangsa Yahudi di wilayah
Palestina. Negara-negara barat dengan segala
upaya menciptakan suatu kondisi untuk
mendukung cita-cita gerakan Zionis, dan
lemahnya Kekhalifahan Ustmaniyah pada saat
Palestina berada di bawah kekuasaannya
(1526-1917), berperan dalam keberhasilan
gerakan Zionis tersebut. Pada Konferensi
London (1905-1907) muncul gagasan untuk
mendirikan “negara tirai” di wilayah Palestina
dan pada saat itu Perdana Menteri Inggris
Campbell Weizm, merekomendasikan untuk
mendirikan entitas yang menjadi tirai humanis
yang kuat dan asing di wilayah timur laut
7
Jurnal Saintech Vol. 05- No.01-Maret 2013 ISSN No. 2086-9681
tengah dan sebaik-baik pelaksana proyek ini
adalah Yahudi.
Negara Israel berdiri pada tanggai 14
Mel 1948 didasarkan pada Resolusi Majelis
Umum PBB No. 181 tahun 1947. Resolusi
menetapkan Jerusalem sebagai daerah yang
berada di bawah kekuasaan internasional. Pada
tanggal 29 November tahun 1947 Israel
melanggar resolusi ini dengan mengklaim
Jerusalem sebagai jantung kota Israel.
Sejak diklaimnya Palestina sebagai
teritorial negara Israel, maka Israel mulai
melakukan pembangunan pemukiman di
wilayah Palestina dengan dua proses evekuasi
dan substitusi. Proses evakuasi dari substitusi
yaitu dengan mengosongkan wilayah dan
mengganti penduduknya dengan bangsa
Yahudi yang dilakukan dengan cara kekerasan
dan pembunuhan terhadap penduduk sipil
Palestina. Hal ini sesuai dengan kebijakan
utama politik luar negeri Israel adalah ekspansi
wilayah , yang dapat dilihat dan dikuasainya
80% wilayah Palestina pada tahun 1949, jauh
melebihi bagian yang ditetapkan PBB pada
tahun 1947 yaitu hanya sebesar 56%. Proses
substitusi rakyat Palestina dengan penduduk
israel
mencapai proporsi yang sulit
dipecahkan, selain itu pemerintahan Israel
menghancurkan tempat ibadah Islam dan
Kristen dan pada bulan Mei 1949 kemudian
Israel membangun 1.947 pemukiman baru dan
bulan Oktober 1947 imigran Yahudi
berdatangan ke wilyah Palestina, jumlah
mereka mencapai 25.255 imigran.
Salah satu jenis konflik bersenjata
internasional yang merupakan jenis konflik
baru, sebagaimana tercantum dalam Pasal I
ayat (4) Protokol Tambahan I tahun 1977,
adalah konflik bersenjata yang dikenal dengan
nama “pendudukan asing”. Sejak dimulainya
konflik bersenjata antara Israel dan Palestina
dari tahun 1947 hingga saat ini, banyak sekali
pelanggaran
Hukum
Humaniter
yang
dilakukan oleh Israel. Sebenarnya, pelanggaran
yang dilakukan oleh Israel tidak saja
bertentangan dengan Hukum Humaniter, akan
tetapi sekaligus juga bertentangan dengan
Hukum Internasional pada umumnya dan
bertentangan pula dengan Hukum Hak asasi
Manusia lnternasional.
Pendudukan Israel di Palestina menjadi
bagian penting dalam penegakan hak asasi
manusia pencapaian perdamaian dunia.
8
Tantangan bagi komunitas internasional adalah
menegakkan keadilan dengan menyeret
penjahat kemanusiaan ke Pengadilan Pidana
internasional dan menjamin pedamaian untuk
Palestina serta kawasan timur tengah pada
umumnya. Israel adalah negara yang mencari
kekuasaannya dengan melakukan terorisasi
terhadap musuh dan menghalangi segala
potensi yang dapat menentang kekuatannya,
sehingga Israel dapat dikategorikan sebagai
barak
militer
yang
mempraktekkan
penghancuran lawan, pertumpahan darah,
menghancurkan tempat tinggal penduduk sipil,
deportasi secara paksa penduduk sipil dan
menanamkan rasa takut terhadap anak-anak
Palestina.
IV. Kesimpulan
Berdasarkan latar belakang tersebut
membukt ikan bahwa korban jiwa yang
ditimbulkan dari konflik bersenjata antara
Palestina – Israel adalah tidak sedikit dan
kebanyakan dari korban tersebut adalah
penduduk sipil yang tidak ikut berperang
seperti orang tua, wanita dan anak-anak.
Meskipun sudah ada hukum aturan yang
mengatur mengenai konflik bersenjata, namun
tetap saja masih banyak negara yang
melanggar khususnya pelanggaran terhadap
penduduk sipil seperti diatur dalam Konvensi
Jenewa IV 1949 tentang perlindungan
penduduk sipil saat konflik bersenjata”.
Negara-negara di dunia sepakat bahwa
mereka tidak bisa menghindari perang
sehingga lahir hukum humaniter internasional
yang mengatur tata cara perang. Namun, di
Palestina hukum itu kini tinggal kenangan.
Dunia, punya banyak pengalaman
tentang perang. Perang dalam rangka
memperoleh kemerdekaan Indonesia misalnya,
adalah bagian kecil dari sejarah yang
mengajarkan masyarakat dunia bahwa perang,
walaupun kejam, tidak dapat dipungkiri
merupakan salah satu instrumen politik
internasional.
Karenanya,
untuk
meminimalisasi
dampak
perang
yang
mengerikan, lahirlah hukum humaniter
internasional alias hukum perikemanusiaan
internasional atau disebut juga hukum perang.
Konvensi Jenewa 1949, konvensi Den Haag
1899 dan 1907, inilah ‘kitab suci’ hukum
humaniter
internasional.
Betapa tidak,
Jurnal Saintech Vol. 05- No.01-Maret 2013 ISSN No. 2086-9681
konvensi Jenewa memuat aturan tentang
perlindungan korban perang.
Awalnya, dalam konvensi Jenewa I
hanya diatur perlindungan terhadap tentara
yang terlibat dalam perang di darat. Namun,
kemudian dilakukan perluasan meliputi
perlindungan bagi tentara perang dilaut
melalui konvensi Jenewa II. Pada konvensi
Jenewa III, melihat kenyataan adanya tindak
tidak manusiawi terhadap tawanan perang,
ditambahkan hukum yang melindungi mereka.
Dalam konvensi Jenewa IV dengan kesadaran
terancamnya keselamatan pihak sipil di tengah
perang, disahkan pula aturan perlindungan
bagi mereka., Tidak hanya mencakup konflik
antar negara, tahun 1977 dua protokol
tambahan disahkan.
Protokol
tambahan
I
mangatur
perlindungan atas korban konflik bersenjata
dalam rangka perjuangan menentukan nasib
melawan kolonialisme, pendudukan asing, dan
rezim pemerintahan yang rasialis. Sementara
protokol tambahan II melindungi korban
konflik internal dalam suatu negara. Ketika
salah satu pihak mendominasi negara itu
secara geografis. Sedangkan konvensi Den
Haag membatasi metode dan alat-alat yang
digunakan dalam perang.
Berdasarkan
hukum
internasional
tersebut, kita dapat menganalisa konflik
bersenjata Israel-Palestina bahwa israel
melakukan pelanggaran berat terhadap prinsip
dasar hukum humaniter internasional yang
mengatur tata cara perang. Lebih detail lagi,
Israel mencederai konvensi Jenewa IV tentang
perlindugan terhadap pihak sipil dalam perang,
sekaligus merendahkan lima prinsip dasar
dalam hukum perang.
Husnaidi Adian, Israel Sang Teroris yang
Pragmatis, Pustaka Progresif, Jakarta,
2002
Kuncahyono Trias, Kesucian, dan Pengadilan
Akhir, Kompas, Jakarta, 2008
Nasution Harun, Teologi Islam: Aliran-Aliran
Sejarah Analisa dan Perbandingan, UI
Press, Jakarta, 1986
Obert Vail John, “lslam Continuity and
Change in the Modern World”,
Terjemahan: Ajat Sudrajat , Politik Islam
Kelangsungan dan Perubahan Dunia
Modern, Titian Ilahi Press, Yogyakarta,
1997
Shaleh M. Muhammad, Palestina, Sejarah,
Perkembangan dan Konspirasi, Gema
insani Press, Jakarta, 2002
Internet
http://tumbuhberbagidiridhoi.blogspot.com/2O
1
2/02/analisis-faktor-utama-konflikpalestina.
Daftar Pustaka
Al Fandi Safuan, Jihad: Makna dan dalam
Sudut Pandang Islam, Sandang Ilmu,
Solo, 2000
Awaluddin Hamid, Politik, Hukum, &
Kemunafikan Internasional, Kompas
Media Nusantara, Jakarta, 2012
Beriansyah, Kompilasi Dokumen-dokumen
Pokok HAM, UI Press, Jakarta, 1999
Husaini Adian, Israel Sang Teroris yang
Praqmatis, Pustaka Progressif, Jakarta,
2002
9
Download