10. PENGARUH WAYANG DALAM KEHIDUPAN SOSIAL

advertisement
Jakarta, 14 Agustus 2013
Kepada Yth.
Bapak Drs. GBPH Yudaningrat, MM
Kepala Dinas Kebudayaan – Pemda DIY
Di Yogyakarta.
Merujuk pada Surat Kepala Dinas Kebudayaan Pemda DIY No. 436/2146 tanggal 31 Mei
2013 perihal Permohonan sebagai Nara Sumber. Bersama ini kami sampaikan konfirmasi tertulis
kesediaan dan makalah kami yang berjudul: Pengaruh Wayang Dalam Kehidupan Sosial
Masyarakat, Masa Lalu, Masa Kini dan Yang Akan Datang” guna kami presentasikan pada
Seminar dalam rangka Kongres Pewayangan II di Hotel Inna Garuda, Yogyakarta tgl. 22 s/d 24
Agustus 2013.
Mengingat jadwal Kongres yang telah ditetapkan tersebut di atas, kami merencanakan
akan tiba di Yogyakarta tgl 21 Agustus 2013, sehubungan dengan itu kami mohon Bapak
berkenan menugaskan staf Bapak untuk mem-booking kamar hotel penginapan kami di tempat
diselenggarakannya Seminar (Hotel Inna Garuda-Yogyakarta).
Terima kasih kami haturkan atas perhatian Bapak.
Ketua Umum SENA WANGI,
Ttd.
Drs. Suparmin Sunjoyo
PENGARUH WAYANG DALAM KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT, MASA
LALU, MASA KINI DAN YANG AKAN DATANG
Oleh : Suparmin Sunjoyo1
I.
PENDAHULUAN
Pertama-tama kami mengucapkan selamat dan terima kasih kepada Kepala Dinas
Kebudayaan Pemerintah Daerah - Daerah Istimewa Yogyakarta dan jajarannya serta Pimpinan
dan staf Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardja Soemantri Universitas Gadjah Mada yang
menyelenggarakan Kongres Pewayangan ke II pada tgl 22 – 24 Agustus 2013 bertempat di
Hotel Inna Garuda, Yogyakarta. Seperti kami ketahui, penyelenggaraan kongres di Yogyakarta
ini adalah sebagai ganti belum adanya kesanggupan Pemerinta Daerah lain yang bersedia
menjadi Tuan Rumah sejak diselenggarakannya Kongres Pawayangan ke I di Yogyakarta pada
tahun 2005. Tentunya pada kesempatan ini kami berharap agar Pemda-pemda yang lain bersedia
menjadi Tuan Rumah pada Kongres Pewayangan yang ke III mendatang dengan memrosesnya
seawal mungkin melalui prosedur dan birokrasi terkait masing-masing.
Wayang telah diperkenalkan sekitar lebih dari 3500 tahun, yang pada awalnya sebagai
salah satu cara pemujaan arwah nenek wayang sejalan dengan budaya animisme kala itu telah
berkembang dari zaman ke zaman yang secara luwes dapat mengamokomodasi budaya-budaya
lain baik dari dalam negeri maupun dari luar yang masuk ke Nusantara.
Panitia Kongres Wayang ke II telah mengarahkan agar pengaruh wayang dapat diulas
dengan judul: “Pengaruh Wayang Dalam Kehidupan Sosial Masyarakat, Masa Lalu, Masa Kini
dan Yang Akan Datang”.
Pengaruh Wayang yang akan penulis kemukakan pada kesempatan ini adalah adalah dalam
artian pengaruh wayang terhadap individu (perorangan), pada masyarakat dan dan bangsa
Indonesia serta dunia internasional. Di samping itu, pengaruh yang dimaksud adalah dalam
kesatuan aspek: politis-ekonomis dan sosial budaya.
1
. Suparmin Sunjoyo, Ketua Umum Dewan Pengurus SENA WANGI, menyampaikan makalah ini sebagai Nara
Sumber pada Seminar dalam rangka Kongres Pewayangan ke II yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan
Daerah Istimewa Yogyakarta bekerjasama dengan Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardja Soemantri-Universitas
Gadjah Mada, pada tanggal 22-24 Agustus 2013.
Mengamati perkembangan yang terjadi sejak awal hingga saat ini serta menerawang ke
masa yang akan datang, kami percaya bahwa wayang dalam gelombang pasang-surutnya akan
tetap langgeng eksistensinya di bumi nusantara ini.
11.
PENGARUH WAYANG DALAM KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT DI
MASA LALU
Yang dimaksud dengan masa lalu di sini, kami mengambil dari buku yang ditulis oleh Ir.
Sri Mulyono: WAYANG-Asal Usul dan Masa Depannya, tahun 1978. Antara lain disebutkan
bahwa apabila dihitung dari bentuk aslinya wayang sudah berumur lebih kurang 3.478 tahun
yaitu sekitar 1500 tahun Sebelum Masehi sampai tahun 19782 Jadi pada tahun 2013 wayang
sudah berumur sekitar 3.478 + 35 tahun = 3.513 tahun. Sejak diperkenalkan ke publik pengaruh
wayang telah melintasi sejumlah periode-periode yang menonjol yaitu:
1.
Zaman Prasejarah
Dalam zaman prasejarah di Indonesia atau sekitar 4000-2000 tahun Sebelum Masehi
sampai dengan abad ke V Masehi3, alam pikiran nenek moyang kita masih sederhana. Mereka
mempunyai anggapan bahwa semua benda yang ada di sekeliling kita mempunyai nyawa,
mempunyai roh baik yang bersifat baik maupun jahat. Pemujaan kepada nenek-moyang,
kercayaan pada roh-roh yang disebut hyang adalah merupakan kebudayaan Indonesia asli yang
telah ada sebelum kedatangan Hindu di Indonesia.
Pengetahuan mereka mengenai alam sekitarnya masih sederhana, sehingga mereka bebas untuk
menggambarkan fantasi mereka. Misalnya tentang roh-roh yang mereka sebut sebagai Hyang,
ada yang baik dan yang jahat. Roh yang jahat digambarkan sebagai orang hitam berwarna jelek
dan berambut terurai. Roh ini tak kelihatan dan dianggap lebih berkuasa daripada manusia
sehingga mereka berupaya agar tidak mengganggunya. Antara dunia roh dan dunia manusia ada
suatu jembatan yang hanya dapat dilihat oleh orang-orang yang dianggap sakti. Perbuatan untuk
mengadakan hubungan gaib ini disebut upacara. Untuk melakukan upacara ada 3 syarat yaitu
tempat khusus, waktu khusus dan orang sakti. Tempat khusus untuk mengadakan upacara yaitu:
tempat pusat kekuatan gaib keluarga yaitu di bilik atau pendapa, saka guru, pringgitan. Waktu
khusus: malam hari karena pada waktu itulah dianggap bahwa para roh sedang mengembara;
waktu sehabis panen, waktu sebelum dan sesudah melaksanakan tugas berat, waktu perkawinan,
kematian dsb. Orang sakti: pimpinan upacara untuk berhubungan dengan dunia gaib harus
dilakukan oleh orang sakti misal pendeta, pimpinan desa atau keluarga, syaman atau
perewangan, pawang dan akhirnya pada dalang.
Demikianlah saat mula adanya pertunjukan wayang dan pengaruhnya terhadap kehidupan sosial
masyarakat saat itu yang kemudian secara bertahap dalam waktu yang cukup lama namun tetap
2
3
Ir. Sri Moelyono, WAYANG-Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya, halaman 3.
S.d.a, halaman 53, 55, 56.
mempertahankan fungsi intinya sebagai suatu kegiatan gaib yang berhubungan dengan
kepercayaan. Sehingga kini mudah dipahami perubahan yang terjadi yaitu:
Yang semula berupa bayang-bayang, gambar atau wujud roh telah berubah menjadi wayang kulit
purwa. Layar menjadi kelir; medium seperti syaman menjadi dalang; sajian menjadi sajen;
nyanyian dan himne menjadi seni-suara: suluk, gerong sindenan; bunyi-bunyian menjadi
gamelan; tempat pemujaan/tahta-tahta batu menjadi panggung atau debog/batang pisang;
blencong menjadi lampu penerangan dll.
2.
Zaman Kedatangan Hindu dan Budha
Kedatangan pengaruh Hindu di Indonesia mengakhiri zaman prasejarah. Pada zaman ini
mulai terdapat keterangan-keterangan tertulis berupa prasasti yaitu batu bersurat atau bertulisan
berisi keterangan adanya upacara-upacara atau peringatan berkorban. Tulisan yang digunakan
biasanya dalam huruf Pallawa yang berasal dari India Selatan dan dalam bahasa Sansekerta
bahasa resmi India serta berbentuk syair. Penduduk asli sedikit demi sedikit menerima pengaruh
Hindu. Kitab Mahabharata dan Ramayana mulai dikenal dan meluas di Indonesia. Pertunjukan
bayangan atau upacara agama yaitu upacara pemujaan Hyang pun tidak luput dari pengaruh
Hindu. Pengaruh kebudayaan Hindu sangat cepat meresap pada penduduk asli terutama terkait
agama dan bahasa. Hasil-hasil kebudayaan dan kesusastraan Hindu
atara lain: di
Kutai/Kalimantan Timur pada tahun 400an Masehi, terdapat prasasti dalam bahasa Sansekerta
huruf Pallawa tentang raja Kutai waktu itu Mulawarman beragama Hindu anak Aswawarman
cucu dari Kudunga (seorang Kepala Suku penduduk asli yang belum banyak dipengaruhi Hindu).
Prasasti-prasasti sejenis juga ditemukan di Bogor tahun 400-500 Masehi tentang raja Kerajaan
Tarumanegara bernama Purnawarman beragama Hindu; di daerah gunung Merbabu tahun 650
tentang raja yang memerintah bernama Putri Simo; tahun 671-690 di Sumatra Selatan tentang
Kerajaan Sriwijaya yang banyak mengadakan hubungan dengan negara lain seperti Tiongkok.
Banyak pendeta agama Budha yang akan pergi ke India singgah terlebih dahulu di Sriwijaya
untuk beberapa tahun guna belajar bahasa Sansekerta. Waktu itu Sriwijaya mempunyai
Perguruan Tinggi Bahasa Sansekerta.
Menyangkut zaman Kedatangan Hindu dan Budha ini juga penting dikemukakan adanya
kerajaan-kerajaan Mataram ke 1. Tahun 732 di desa Canggal daerah Magelang terdapat prasasti
yang menyebutkan raja yang memerintah bernama Sanjaya. Raja ini mendirikan lambang Siwa
(Batara Guru). Pada tahun 750-850 Jawa Tengah diperintah oleh dua kerajaan yaitu Kerajaan
Sanjaya (Jawa Tengah bagian Selatan) dan Syailendra. Setelah terjadi perkawinan antara
keluarga raja Sanjaya bernama Rakai Pikatan dengan keluarga raja Syailendra bernama
Pramodda Wardhani seorang raja putri Syailendra, Jawa Tengah hidup secara damai dan menjadi
satu. Pada pemerintahan raja ini banyak karya budaya dihasilkan antara lain: Candi Kalasan
tahun 778 sebagai tempat suci pemujaan Dewi Tara, candi Budha Borobudur untuk pemujaan
Budha Gautama. Terkait pewayangan: Candi Prambanan atau Lara Conggrang memuat ceritera
Ramayana. Selanjutnya, Kitab Ramayana ditulis dalam bahasa Jawa Kuna tahun 903 semasa
Raja Dyah Balitung tahun 898-910 bertahta di Mataram
3.
Zaman Kedatangan Islam
Kerajaan Demak
Pada tahun 1478 Majapahit jatuh, pada saat itu bupati-bupati di pesisir sudah banyak
yang memeluk agama Islam dan memisahkan diri dari Majapahit menjadi negara-negara pesisir
Di antara negara pesisir yang menjadi kuat dan besar adalah kerajaan/kesultanan Demak di
bawah pemerintahan Raden Patah, putra Prabu Kertabumi/Brawijaya V dari Majapahit. Setelah
kerajaan Majapahit runtuh, sebagian besar perlengkapan upacara kerajaan Majapahit
dipindahkan/diboyong ke Demak termasuk wayang. Raden Patah (1478-1518), Pangeran
Sabrang Lor (1520-1521) dan para Wali Sanga khusunya Sunan Kalijaga di pulau Jawa gemar
juga pada kesenian daerah termasuk wayang sehingga mereka aktif melakukan penyempurnaan
dan perubahan bentuk wayang, wujud, cara pertunjukan dan alat perlengkapan atau sarana
pertunjukan wayang kulit purwa yang berasal dari Majapahit, agar tidak bertentangan dengan
ajaran-ajaran agama Islam; antara lain: wayang dibuat pipih menjadi dua dimensi dan digambar
miring sehingga tidak menyerupai relief candi, tetapi lebih diperindah dan diperbagus guna
menghilangkan kesan meniru wayang candi. Sedangkan wayang yang berbentuk seperti relief
candi dilanjutkan di Bali sampai sekarang. Dengan demikian dapat diketahui bahwa bentuk
wayang mengalami perubahan, bahkan cara pakelirannya pun mengalami perubahan.
Perkembangan tersebut disebabkan perubahan pengaruh sosio-religius yang sedang berlangsun
dalam masyarakat.
Kerajaan Pajang
Wayang Kidang Kencanan. Pada masa Raden Trenggana (1521-1546) memegang
pemerintahan Demak,tidak banyak perbaikan terhadap wayang. Beliau hanya menyempurnakan
dan memberi warna pakaian wayang dengan prada. Pada tahun 1546 setelah Raden Trenggana
gugur Kerajaan Demak menjadi kacau, pecah belah dan perang saudara. Akhirnya jaka Tingkir
yang waktu itu menjadi Adipati di Pajang dapat mnguasai keadaan dan memindahkan kesultanan
Demak beserta alat upacara kerajaan ke Pajang. Jaka Tingkir mengangkat dirinya sebagai Sultan
Pajang (1546-1586). Pada waktu itu Sultan bersama para ahli kesenian membuat wayang yang
lebih kecil ukurannya daripada wayang umum, setelah selesai dalam satu kotak diberi nama
Wayang Kidang Kencanan.
Wayang Gedog. Pada tahun 1563, Sunan Giri membuat Wayang Gedog dengan ceritera
Panji dan mempergunakan gamelan Pelog. Tahun 1564 Sunan Bonang menciptakan Wayang
Beber untuk ceritera-ceritera Panji, juga mempergunakan gamelan Pelog.
Wayang Krucil/Wayang Golek Purwa. Sunan Kudus pada tahun 1584 dibuat wayang
purwa dari kayu berbentuk pipih persis seperti wayang kulit, hanya tangannya tetap dibuat dari
kulit. Pertunjukkannya tidak memakai kelir hanya gawang saja. Wayang ini kemudian disebut
Wayang Krucil atau Wayang Golek Purwa.
Kerajaan Mataram II
Pada tahun 1582-1586 terjadi peperangan antara Adipati Sutawijaya Mataram dengan
Sultan Pajang. Dengan kemenangan Mataram, Adipati Sutawijaya mengangkut semua
perlengkapan upacara kerajaan Pajang ke Mataram. Sutawijaya yang kemudian bernama
Panembahan Senapati Ing Ngalaga menamakan diri Sunan Mataram. Dalam periode ini
dilakukan penambahan beberapa wayang antara lain binatang-binatang hutan, tatahan
disempurnakan, rambut wayang ditatah gempuran, Wayang Gedog ditambah memakai keris.
Pada masa pemerintahan Mas Jolang atau Pangeran Seda Krapyak dibuat wayang baru
dengan babon Wayang Kidang Kencana dan membuat wanda Arjuna yang disebut wanda Jimat.
Juga membuat wayang-wayang dagelan; wayang diberi gapit yang baik; membuat senjatasenjata: panah, keris, dan lain-lain senjata tajam. Mulai saat ini Murwakala mulai
mempergunakan wayang kulit purwa. Hal ini merupakan salah datu pengaruh wayang yang
menonjol pada kehidupan sosial masyarakat di mana ritual Ruwatan sampai sekarang tetap
marak.
Pada tahun 1613-1645 Sultan Agung Anyakrakusuma dilakukan pembuatan karya filsafat
yang terkenal disebut: Sastragending.
Pada masa kekuasaan Amangkurat I (Tegalarum) 1645-1677 dilaksanakan pembuatan
wayang satu kotak dengan Arjuna wanda Kanyut dan setelah selesai dinamakan Kyai Kanyut.
Menetapkan Kyai Anjang Mas sebagai satu-satunya dalang pangruwat dan pimpinan/sesepuh
dalang. Selanjutnya, Pangeran Pekik dari Surabaya pada tahun 1648 menciptakan ayang untuk
ceritera Damarwulan dan pertunjukan pada siang hari, wayang itu disebut Wayang Klitik.
4.
Zaman Penjajahan
Bangsa Belanda menjajah Indonesia pada tahun 1596-1942. Pemerintah Belanda tidak
berkepentingan pada pertunjukan wayang kulit. Melalui sarjana-sarjananya Belanda lebih banyak
mencurahkan perhatian pada bidang ilmiah. Para sarjana Belanda yang khusus dating di
Indonesia untuk melakukan penelitian tentang wayang, adat istiadat, sastra dan kebudayaan
Indonesia antara lain: Ponsen, Dr. Rassers, Dr. Brandes, Prof Dr. Kern, J. Kats, Prof. Dr. Hazeu,
Prof. Dr. Gonda, Dr. Yuynboll dll.
Teknik cara pertunjukan dan peralatannya maupun wayangnya telah mengalami
kemajuan yaitu telah ditambah dan diatur sehingga menjadi pertunjukan wayang purwa kulit
dengan diiringi gamelan slendro dan pelog, dengan swarawati/waranggana dan wira swara.
Pada masa penjajahan ini telah banyak tercipta bentuk atau ujud wayang dan pakeliran baru
seperti Wayang Madya, Wayang Wong, Wayang Golek, Wayang Tengul, Wayang Dupara,
Wayang Menak, Wayang Kuluk, Wayang Kancil dll.
Kerajaan Surakarta
Pada tahun 1745 Paku Buwana II memindahkan ibu kota Kerajaan Mataram dari
Kartasura ke Surakarta. Paku Buwana II diganti Paku Buwana III yang kemudian secara mutlak
mengakui kekuasaan VOC dan mulai saat itu menjadi jajahan Belanda. Pada masa ini
perkembangan yang terjadi antara lain: pembuatan wayang dua kotak dengan nama Kyai Mangu,
Kyai Kanyut dan Kyai Pramukanya Kadipaten. Paku Buwana III juga membuat penulisan Arjuna
Wiwaha Jarwa (macapat). Pada tahun 1755 Kerajaan Mataram pecah menjadi dua: Surakarta dan
Yogyakarta. Tidak lama kemudian Surakarta pecah menjadi dua: Kasunanan dan
Mangkunegaran (yang dikepalai raden Mas Said) dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati
Harya Mangkunegara ke I tahun 1757.
Pada tahun 1714-1747 Surakarta diperintah oleh Paku Buwana IV Wayang-wayang yang dibuat
diberi nama: Kyai Jimat, Kyai Kyai Kaung, Kyai Dewa Katong. Juga dibuat Pakem Lakon di
mana PB IV membuat kumpulan lakon wayang gedog dan wayang purwa, menghimpun
kumpulan suluk-suluk, ada-ada greget saut dengan mengambil kata-kata dari Kitab Baratayuda
dan Ramayana setelah selesai buku ini dijadikan pakem. PB IV juga membuat wayang Rama
yaitu wayang yang khusus untuk ceritera Ramayana.. Juga dihimpun ceritera-ceritera Lokapala,
Arjunasasra pada tahun 1810 Masehi.
Sekolah/kursus dalang. Pada tahun 1923 oleh Pemerintah Keraton Surakarta didirikan sekolah
dalang benama Pasinaon Dalang Surakarta (PADASUKA). Pertunjukan wayang kulit purwa
sudah tidak lagi hanya berfungsi sebagai ritual keagamaan tetapi telah menjadi bentuk kesenian
klasik tradisional adiluhung. Meski masih tetap ada pertunjukan yang dipakai sebagai ritual:
Murwakala, Suran dan Bersih Desa.
Kerajaan Yogyakarta
Tahun 1755 Pangeran Mangkubumi menjadi raja di Yogyakarta tahun 1755-1792
dengan gelr Sri Sultan Hamengku Buwana I. Dalang yang selalu mengikuti dan mengabdi beliau
bernama Cerma Ganda alias Dalang Kandangwesi dan putranya bernama dalang Paku Waja.
Kedua dalang ini dapat dikatakan sebagai yang membangun pedalangan gaya Yogyakarta.
Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwana V menulis kitab lakon wayang gaya Yogyakarta yang
disebut Purwakanda. Kitab ini kemudian menjadi pakem/babon lakon wayang gaya Yogyakarta.
Sekolah dalang. Pada tanggal 27 Juli 1925 Sri Sultan Hamengku Buwana VIII (19211939) mendirikan kursus dalang dengan nama HABIRANDA singkatan dari (Hanganakake
Biwara Rancangan Dalang) di bawah pimpinan BPH Suryadiningrat dan KRT Jayadipama.
Habiranda tetap berdiri sampai sekarang.
5.
Zaman Merdeka.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Bangsa Indonesia telah memproklamasikan
kemerdekaannya. Pada zaman ini pertunjukan wayang mempunyai pengaruh sosial dan
berkedudukan dalam kekayaan budaya bangsa Indonesia sebagai kesenian tradisional yang
adiluhung. Perbedaan seni pertunjukan wayang pada zaman penjajahan dan zaman kemerdekaan
antara lain adalah:
Pada zaman merdeka, seni pedalangan wayang purwa tidak lagi dibina oleh pemerintah kerajaan
tetapi tumbuh dan hidup dalam masyarakat kesenian daerah dan diurus serta dibina oleh
masyarakat itu sendiri dengan bantuan pemerintah RI dengan instansi terkait antara lain:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dalam kuantitas tertentu oleh Departemen lain seperti
Penerangan. Sedangkan pada zaman penjajahan seni pedalangan pada dasarnya dibina oleh
pemerintah kerajaan Surakarta dan Yogyakarta.
Pada periode-periode berikutnya makin bertambahnya lembaga pendidikan pedalangan,
karawitan dan tarian yaitu dengan didirikannyua ASKI, kemudian menjadi STSI, ISI di Sala,
Yogyakarta, Bandung, Denpasar serta muncul dan berkembangnya puluhan mungkin saat ini
sudah ratusan sanggar-sanggar wayang di seluruh Indonesia.
Pengaruh wayang dalam kehidupan sosial budaya sangat tampak baik pada individu maupun
pada lembaga/instansi. Upaya-upaya untuk meresapkan jiwa-mental ksatria sering diungkap
dalam pidato, pengarahan, training dan di sekolah-sekolah. Misal dengan meresapkan sifat dan
jiwa-karakter ksatria seperti Bima yang berani dan tegas, bijaksana seperti Puntadewa. Namanama perorangan maupun lembaga seperti Pandawa, Larasati, Bharata, Ayodya, Dewa Ruci,
Nanggala, Jabang Tutuka, Srikandi, Kawah Candradimuka dll. Perkumpulan masyarakat,
perkantoran, departemen, lembaga sering menanggap wayang purwa kulit dengan lakon-lakon
sesuai keinginan individu, maupun instansi yang menanggapnya.
Peranan Presiden RI terkait kesukaannya terhadap wayang dalam masyarakat juga sangat
besar pengaruhnya. Sebagai contoh: Presiden Soekarno yang menyukai tokoh Gatutkaca sering
kali dalam pidato beliau menyitir sikap ksatria itu ditrapkan dalam perjuangan bangsa Indonesia.
Istana Negara secara cukup routine pun menanggap wayang semalam suntuk. Demikian pula
Presiden-presiden berikutnya: Presiden Soeharto sangat menyukai dan mendukung gerakan
nasional melestarikan wayang. Atas jasa beliau kini dunia pewayangan Indonesia memiliki
gedung yang didirikan dengan biaya penjualan tanah milik SENA WANGi di atas tanah milik
Yayasan Harapan Kita di mana peranan Presiden Soeharto kala itu sangat memberikan dorongan
dan menentukan agar komunitas pewayangan memiliki gedung sendiri yang diperuntukakan bagi
pemeliharaan dan pelestarian wayang. Sesuai dengan maksud tersebut gedung yang didirikan dan
diresmikan beliau pada tahun 1999 itupun dinamai Gedung Pewayangan Kautaman, terletak di
kawasan Jakarta Timur di mana organisasi pewayangan SENA WANGI dan PEPADI Pusat
berkantor. Demikian pula Presiden Gus Dur, Megawati Soekarno Putri cukup fanatik
menggemari wayang.
III.
MASA KINI
Periode Masa Kini sengaja kami batasi sejak awal reformasi pada tahun 1998 hingga saat
ini, 2013. Ciri-ciri utama zaman reformasi, sesuai dengan slogan dan upaya-upaya yang
dilakukan yaitu pemberantasan KKN: Kolusi, korupsi dan nepotisme. Slogan itu sebagai
ungkapan kekecewaan dan kemarahan atas terjadinya berbagai hal negatif semasa Orde Baru
yaitu kolusi antara pejabat-pejabat pemerintah dengan para pengusaha yang berakibat kerugian
sangat besar atas keuangan negara, misal skandal BLBI, recruitments berbagai jabatan,
terjadinya korupsi dalam banyak instansi dan jabatan serta nepotisme jabatan-jabatan strategis di
negara ini.
Namun demikian, pada kenyataannya zaman reformasi belum dapat membuktikan seperti apa
yang dislogankan pada awalnya. Bahkan saat ini korupsi makin merajalela, bukan hanya oleh
pejabat-pejabat di Pusat tetapi juga di daerah di semua lini: eksekutif, legislative, judikatif. Uang
dikorup pada saat implementasi melalui pelaksanaan pncairan anggaran dari APBN tetapi sudah
digarap sejak dari hulu, contohnya sejumlah anggota DPR terkait penyusunan APBN dengan
pejabat-pejabat/instansi pemerintah terkait. Dalam hal ini peran dan posisi KPK (Komisi
Pemberantasan Kosupsi) memang perlu diperkuat dan dilembagakan secara permanen sampai
korupsi benar-benar terberantas sampai ke akar-akarnya. Bisa mengatasi masalah terkait
pemberatasan, pencegahan korupsi sejak dini. Saat ini nepotisme terjadi dalam kepartaian misal
susunan jabatan-jabatan teras partai berasal dari keluarga terdekat., Hasil reformasi yang sudah
dapat dirasakan adalah adanya kebebasan dan keterbukaan dalam berbagai bidang, namun
banyak terjadi kebebasan yang malah kebablasan. Dalam berbagai pergelaran wayang sudah
sering menyampaikan kritik-kritik sosial atas peristiwa maupun perkembangan aktual yang
terjadi di negara ini.
Capaian-capaian signifikan yang
dalam dunia pewayangan Indonesia
dapat
dikemukakan sebagai salah satu contoh: Revitalisasi sanggar-sanggar wayang. Pada tahun 20052007 SENA WANGI bekerjasama dengan Kantor UNESCO di Jakarta telah merevitalisasi
sejumlah 15 sanggar wayang di Indonesia dan dalam pelaksanaannya sanggar-sanggar tsb
bekerjasama dengan PEPADI. Selanjutnya, munculnya dan dilaksakannya pergelaran-pergelaran
wayang orang yang dilakukan oleh sejumlah pejabat dan pengusaha. Tentu saja lebih baik
kegiatan-kegiatan ini dilihat aspek positifnya yaitu kelompok sosial masyarakat yang telah
mapan ikut serta “nguri-uri” wayang secara nyata, dengan demikian kegiatan ini akan berdampak
menjalar pada lebih memasyarakatkan wayang ke publik.
SENA WANGI bekerjasama dengan fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada telah
menyusun Filsafat Wayang dan kini telah menjadi bahan ajar pada Fakultas Filsafat UGM pada
jenjang S1, S2 dan S3. Diharapkan Filsafat Wayang akan diajarkan pula pada fakultas-fakultas
filsafat dari universitas-universitas maupun lembaga pendidikan yang lain di Indonesia.
Diharapkan Filsafat Wayang akan ikut mengubah mind-set masyarakat khususnya generasi muda
ke arah yang lebih baik.
Terkait dengan hubungan luar negeri, SENA WANGI bersama PEPADI Pusat telah
membentuk ASEAN Puppetry Association (APA) atau Asosiasi Wayang ASEAN/AWA. Sejak
pembentukan dan peresmiannya yang disaksikan oleh Wakil Presiden RI waktu itu Bapak Jusuf
Kalla bertempat di Istana Wapres pada tgl 1 Desember 2006, meskipun dengan segala
keterbatasan dan kekurangannya khususnya pendanaan, APA terus secara routine melakukan
kerjasama dan pertemuan serta pergelaran tahunannya. Berturut-turut Sidang dan Festival APA I
dilaksanakan di Palembang pada bulan September 2007, ke II di Yogyakarta tgl 12-13
Desember 2008, ke 3 di Manila-Philippina tgl 23-25 Februari 2010, ke 4 di Kuala LumpurMalaysia, tgl 1-3 November 2011 dan ke 5 di Singapore tgl 23-25 Januari 2013.
Untuk diketahui bahwa di dunia ini ada organisasi pewayangan internasional bernama Union
Internationale de la Marionnette (UNIMA). Untuk menjadi anggota UNIMA, Indonesia harus
membentuk organisasi di tingkat nasional terlebih dahulu. Sehubungan dengan itu SENA
WANGI dan PEPADI Pusat telah membentuk UNIMA Indonesia dan diresmikan pada tgl 16
Desember 2009 bertempat di Istana Wapres dan disaksikanj oleh Wakil Presiden RI DR.
Boediono. Pada tgl 20-24 Juni 2010 untuk pertama kali Indonesia menghadiri pertemuan
UNIMA Internasional di kota Dordrecht-Belanda. DELRI yang menghadiri pertemuan itu adalah
DR AS Hikam mantan Menristek yang menjabat sebagai salah seorang Councillor UNIMA
Indonesia dan Suparmin Sunjoyo yang kala itu menjabat sebagai Ketua Bidang Hubungan
Internasional SENA WANGI.
Hal-hal yang kami sebutkan di atas sedikit banyak membawa pengaruh pada kehidupan
masyarakat melalui aktivitas pewayangan. Terkait penanggulangan masalah peredaran uang
palsu, telah dilakukan serentetan pergelaran wayang di berbagai daerah di Indonesia yang
dikoordinasikan oleh PEPADI bekerjasama dengan Bank Indonesia. SENA-WANGI-PEPADI
bekerjasama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban telah menyusun buku ptunjuk
bagi para dalang untuk menyosialisasikan sehingga masyarakat akan makin mengetahui apa hakhak dan kewajiban untuk menjadi saksi dan melindungi korban. Kegiatan-kegiatan penyuluhan
serupa telah dilakukan bagi masyarakat agar lebih mengetahui persoalan dan bersikap yang tepat
dalam menghadapai masalah, meliputi juga soal Keluarga Berencana, pemberantasan penyakit
AIDS dll lagi. Dengan demikian nyata sekali peranan wayang dan pengaruhnya dalam
kehidupan sosial masyarakat Indonesia.
Namun demikian pada masa kini kita juga mengamati makin derasnya arus globalisasi
informasi dan masuknya seni-budaya dari manca negara yang hampir tidak bisa dibendung lagi.
Petrkembangan ini membawa dampak negatif pada kehidupan sosial masyarakat khususnya
mengganggu minat mereka pada seni-budaya wayang. Berbagai langkah penangulanganpun telah
dan akan terus dilakukan baik oleh SENA WANGI, PEPADI serta instansi-instansi lain yang
peduli pada pemeliharaan dan pelestarian wayang.
IV.
PENGARUH WAYANG DALAM KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT DI
MASA YANG AKAN DATANG
Untuk periode ini kami dapat merujuk pada rumusan yang telah disahkan oleh Kongres
Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (SENA WANGI) ke VIII pada tgl 20-22 Oktober
2011 di Jakarta, yang dimuat dalam dokumen: Rumusan Strategi Jangka Panjang Pengembangan
Pewayangan Indonesia tahun 2010-20304. Antara lain menyebutkan tentang Dasar Pelestarian
dan Pengembangan Pewayangan dengan Visi dan Misi SENA WANGI sebagai berikut. Visi:
4
SENA WANGI, Rencana Strategi Jangka Panjang Pengembangan Pewayangan Indonesia Tahun 2010-2030, Suroso Printing, Tahun 2011
Halaman 22.
Seni pewayangan menjadi salah satu khasanah unggulan kebudayaan nasional. Seni pewayangan
berperan sebagai wacana dan wahana budaya guna mempertinggi harkat dan martabat manusia.
Misi: 1).Memantapkan peranannya sebagai lembaga konservasi, preservasi dan inovasi seni
pewayangan; 2).Mengembangkan seni pewayangan sesuai dengan tantangan zaman;
3).Meningkatkan apresiasi masyarakat khususnya generasi muda terhadap seni pewayangan;
4).Memasyarakatkan nilai filosofi dan pesan moral seni pewayangan dalam kehidupan
bermasyarakat; 5).Dalam mengembangkan seni pewayangan menerapkan prinsip-prinsip
manajemen serta melakukan komunikasi dan kerjasama dengan lembaga maupun perorangan
baik di dalam maupun di luar negeri.
Visi dan Misi tersebut di atas tentu saja dengan mengantisipasi perubahan-perubahan
sosial yang terjadi dalam masyarakat khususnya akibat derasnya arus informasi dari bebagai
penjuru dunia yang sangat berdampak pada apresiasi masyarakat utamanya generasi muda
terhadap seni pewayangan. Perkembangan yang sudah dapat kita amati antara lain adanya
derasnya masuk jenis-jenis hiburan dari manca Negara berupa musik, film, fashion, gaya hidup
dll mengakibatkan generasi muda dengan mudah larut mengikuti seni-budaya manca negara
tersebut, sehingga minat terhadap seni pewayanganpun sangat terpengaruh. Selanjutnya dapat
mengganggu dalam menerima nilai-nilai dan budi pekerti luhur yang disebarkan melalui
pergelaran-pergelaran wayang.
V.
SEJUMLAH KRITIK TERHADAP PEWAYANGAN INDONESIA DAN
BAGAIMANA SEBAIKNYA KITA MENYIKAPINYA
Kritikan-kritikan merupakan wahana yang bagus untuk saling mengoreksi diri ataupun
introspeksi, dari manapun kritikan itu berasal. Justru dengan kritikan-kritikan itu khususnya
kritik yang membangun akan lebih memudahkan kita untuk mengoreksi diri kita, untuk
introspeksi guna melakukan peningkatan kualitas dan kuantitas pewayangan dalam segala
aspeknya. Berikut ini sejumlah kritikan dan solusinya:
Wayang Pakeman versus kontemporer.
Di satu pihak ada yang ingin agar setiap pergelaran wayang itu harus selalu pada pakem untuk
memelihara sifat edipeni dan adiluhung pergelaran wayang itu sendiri, dengan demikian
pergelaran versi Sujiwo Tejo itu dikatakan sebagai tidak bagus. Sejauh pergelaran itu tidak
mengubah kandungan nilai-nilai luhur atau ajaran budi pekerti yang baik, hal itu masih bisa
ditolerir. Soal durasi yang lebih singkat, bahasa bukan hanya bahasa daerah, semua itu masih
dapat dimengerti karena untuk menarik masyarakat khususnya generasi muda. Setelah tertarik
diharapkan akan mendalami versi yang pakeman. Dengan demikian pergelaran versi Sujiwo Tejo
akan berfungsi menjembatani khususnya generasi untuk mendalami lagi soal pewayangan.
Sementara itu forum-forum, pergelaran-pergelaran yang menjaga pakem juga tetap dipelihara
dan dikembangkan. Karena sering tidaknya pergelaran wayang diadakan iu sangat bergantung
pada pasar atau keingina publik.
SENA WANGI - PEPADI di masa Orde Baru , pada masa kini dan mendatang
Ada yang mengatakan bahwa kedua organisasi besar pewayangan Indonesia ini pada
masa Orde Baru hanyalah merupakan corong pemerintah dan sekarang masih suka mengaturatur. Sebenarnya, kedua organisasi pewayangan ini (SENA WANGI dan PEPADI) telah dan
sedang berupaya keras agar seni-budaya wayang itu terus terpelihara dengan baik dan lestari.
Yang namanya berorganisasi tentulah ada peraturan, ketentuan dan kebijakan-kebijakan yang
kesemuanya itu harus dilakukan dengan baik dan tertib. Untuk mencapai sasarannya tentu saja
perlu dilakukan pengaturan. Kalau segala hal diharapkan berjalan bebas dengan sebebasbebasnya mungkin mereka mengharapkan tidak perlu adanya pengaturan dan organisasi. Di
samping mengikuti alur yang dikehendaki sesuai zamannya. SENA WANGI dan PEPADI terus
berupaya agar Pemerintah memberikan perhatian yang memadai terhadap seni-budaya wayang
dengan mengajukan usul-usul yang konkret. Sebagian sudah mulai dilaksanakan, sebagai contoh:
1. Kementerian Pendidikan dan kebudayaan telah menyetujui dan mulai melaksanakan
usulan SENA WANGI – PEPADI untuk diselenggarakannya Peningkatan Kompetensi
Teknis Pedalangan. Pada tanggal 23-29 Juli 2013 PEPADI Pusat bersama Badan
Pengembngan SDM Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan
Kemdikbud telah menyelenggarakan Peningkatan Kompetensi Teknis Pedalangan yang
diikuti oleh 60 orang dalang (Dwijoworo) dari sanggar-sanggar wayang seluruh
Indonesia , terdiri dari 55 orang dalang dari Pulau Jawa dan 5 orang dari luar Pulau Jawa.
Tujuan peningkatan kompetensi teknis ini adalah untuk meningkatkan kompetsni
pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku para dalang sehingga menghasilkan
dalang yang dapat diandalkan dan berperan sebagai plestari budaya serta nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya.
2. PEPADI Pusat telah mengajukan usul kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
agar pengenalan wayang dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Usul ini diajukan dengan
pertimbangan bahwa salah satu masalah kurangnya animo penonton wayang adalah tidak
atau belum diperhatikannya SDM penonton wayang. Untuk itu PEPADI Pusat telah
merekomendasikan agar pendidikan pengenalan wayang diberikan pada sejumlah sekolah
di Indonesia dan usulan inipun telah disetujui Kemdikbud untuk mana pelaksanaannya
masih menunggu rencana teknis yang sedang dipersiapkan oleh PEPADI.
Jadi kalau ada yang mengatakan bahwa kedua organisasi besar pewayangan itu hanya bekerja
di atas angin atau hanya berangan-angan kiranya perlu dipertanyakan.
Contoh lain: Dengan segala keterbatasan dana, SENA WANGI dan PEPADI terus berupaya
agar kegiatan festival, pergelaran wayang terus berjalan secara teratur. Hal ini dapat
direalisasikan dengan penyelenggaraan Festival Dalang Bocah setiap tahun dan Festival Dalang
Remaja setiap dua tahun. Mengingat partisipasi pemerintah masih sangat minim maka kedua
organisasi terus menggalang kerjasama dengan instansi lain missal dari sektor perbankan, dan
perusahaan swasta baik nasional maupun asing. Bahwa dalam penyelenggaraan events itu ada
kekurangan atau kekeliruan, kedua organisasi besar pewayangan ini tentu sangat memperhatikan
koreksi/kritik dari pihak manapunguna penyelenggaraan yang lebih baik di masa-masa
mendatang. Ibarat pepatah: Tiada gading yang tidak retak.
Selanjutnya, kebiasan pewarisan tradisi lisan yang sudah sekian lama berlangsung, dan
telah melahirkan sejumlah karya seni-budaya pewayangan yang adiluhung dan tokoh-tokoh
terkait pewayangan sampai tingkat maestro, kini makin diperkaya lagi dengan pewarisan tradisi
tertulis berupa bahan-bahan atau dokumen tertulis tentang pewayangan yang dilakukan oleh
SENA WANGI. Di antara sejumlah penulis yang ada, dalam kaitan ini khusus kami dapat
mengemukakan aktivitas Drs. H. Solichin (Ketua Dewan Kebijakan SENA WANGI dan Mantan
Ketua Umum Dewan Pengurus SENA WANGI selama dua periode) yang dengan sangat
produktif telah menulis hampir 10 buku tentang atau terkait pewayangan. Buku-buku tersebut di
samping diedarkan di Indonesia juga telah dikirim ke Kantor Puat UNESCO di Paris. Kiranya
perlu juga untuk diketahui khalayak ramai bahwa pengusulan Wayang Indonesia sebagai
Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO itu dapat besarnya ada di Kantor SENA WANGI –
PEPADI Pusat di samping di instansi Pemerintah yaitu Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
kala itu.
Kritikan dan koreksi dari berbagai pihak akan diterima dengan baik dan dilaksanakan
demi kemajuan dan sukses kita bersama sejauh kritik itu bersifat membangun.
VI.
KESIMPULAN / SARAN
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan:
1.Asal wayang itu asli dari Indonesia bukan dari negara lain seperti disangka banyak orang
bahwa wayang dari India. Yang benar adalah ceritera Ramayana dan Mahabharata itu yang
berasal dari India.
2.Sekitar tahun 1521-1945 dunia pewayangan di Nusantara (kemudin Indonesia) mengalami
kemajuan pesat baik dalam bentuk wayangnya maupun bentuk pakeliran, nilai-nilai isinya
serta penggarapan bidang ilmiahnya.
Pada periode ini fungsi wayang telah mengalami banyak perubahan yaitu dari untuk upacara
agama/kepercayaan menjadi suatu bentuk seni klasik tradisional yang mempunyai unsurunsur: seni, kejiwaan, magis religious, pendidikan, informasi, ilmu pengetahuan dan sebagai
hiburan/entertainment.
3.Pada masa kini meskipun wayang tetap populer namun ancaman terus membuntuti eksistensi
wayang. Hal ini merupakan akibat derasnya arus globalisasi informasi dan jenis-jenis
entertainment baru yang muncul baik dari dalam negeri dan terutama dari manca negara.
4.Kiat-kiat dan strategi khusus perlu terus diupayakan dan diperbaharui guna memelihara,
mengembangkan serta melestarikan wayang, baik eksisitensinya di bumi Indonesia maupun
pengaruhnya di manca negara. Partisipasi semua pihak baik Pemerintah maupun Swasta
perlu dimobilisasi dan disinergikan untuk tercapainya tujuan dimaksud.
5. Pengaruh wayang dalam kehidupan sosial masyarakat pada masa lalu, masa kini dan
mendatang tetap signifikan.
VII.
PENUTUP
Demikian makalah singkat ini kami sampaikan, dengan harapan semoga dapat menjadi
tambahan masukan bagi upaya-upaya pemeliharaan, pengembangan dan pelestarian wayang
sebagai salah satu pilar dan kekayaan kebudayaan nasional Indonesia.
Jakarta, 14 Agustus 2013
Ttd
Drs. Suparmin Sunjoyo
Ketua Umum SENA WANGI
BAHAN BACAAN
Indra Tranggono, WAYANG, GENERASI MUDA DAN NEGARA, PKKH, Yogyakarta, 2013
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, PANDUAN PENINGKATAN KOMPETENSI
TEKNIS PEDALANGAN, Jakarta 23 – 29, Kemdikbud, Juli 2013
SENA WANGI, Rencana Strategi Jangka Panjang Pengembangan Pewayangan Indonesia
Tahun 2010-2030, Suroso Printing, Tahun 2011
SENA WANGI, KONGRES SENA WANGI VIII, 2011 - LAPORAN SENA WANGI MASA
BHAKTI 2006-201, Suroso Printing, Tahun 2011
Solichin, Drs., H., WAYANG - Masterpiece Seni Budaya Dunia, Sinergi Persadatama
Foundation, Tahun 2010
Solichin, Drs., H., FILSAFAT WAYANG, Suroso Printing, Tahun 2011
Sri Mulyono, Ir., WAYANG – Asal-usul, Filsafat dan Masa depannya, TN, 1978
Sutaryo, WAYANG SEBAGAI TONTONAN DAN TUNTUNAN, PKKH, Yogyakarta, 2013
RIWAYAT HIDUP SECARA RINGKAS
Nama
Tempat & tgl lahir
Agama
Alamat
Keluarga
Kegiatan saat ini
:
:
:
:
Suparmin Sunjoyo
Banyumas, 28 Maret
Islam
Jl. Persada II/37, Menteng Dalam RT 11-RW 15
Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan,
Telp. +021-8307686; HP +62 813 820 617 88;
E-mail: [email protected]
: Istri: Sri Budiarti, anak 3, cucu baru 2
: Ketua Umum Dewan Pengurus SENA WANGI dan Sekjen
ASEAN Puppetry Association, keduanya sejak tahun 2011.
Pendidikan terakhir : Fakultas Sospol - HI, UGM, 1967 ; Graduate Study pada Oxford University
Foreign Service Programme, Oxford-England-UK tahun 1978
Kursus
:
*Berbagai kursus a.l. Bahasa Inggris di Oxford-England tahun 1977//
Gamelan Jawa diasuh Bp Sri Hastanto thn 1980-1982 di
KBRI London// Kursus “Pegang Wayang Kulit” diasuh Bp.
Bambang Suwarno (Dosen ISI Surakarta) thn 2003 di KBRI ParamariboSuriname; Kursus “Pegang Wayang Kulit” di Sanggar Redi Waluyo Jakarta
tahun 2007, Sanggar Nirmala Sari, Jakarta tahun 2012, dll kursus
ketrampilan.
Pengalaman
Kerja
:
*1968-1974 Dinas Wajib Militer pada Kepolisian RI,
dengan pangkat terakhir sebagai Ajun Komisaris Polisi/
Kapten Polisi;
*1973-1974 Anggota Kontingen Garuda V tugas di Vietnam;
*1975 pindah ke Departemen Luar Negeri RI, 1975 (melalui
testing masuk umum); dengan penugasan sekitar 10 tahun di
dalam negeri dan 20 tahun di luar negeri yaitu di:
Inggris, Bangladesh, Brunei Darussalam, Vietnam, Suriname.
Karier tertinggi di dalam negeri sebagai eselon II di DEPLU,
Di luar negeri sebagai Konsul Jenderal RI untuk Ho Chi
Minh City, Vietnam 1999-2002 dan Dubes RI untuk
Suriname tahun 2002-2006.
*2006-2013 menjadi ketua dan anggota rombongan berbagai misi pewayangan ke
10 negara-negara ASEAN, India, Hungaria, RRC. Menjadi pembicara pada
berbagai seminar nasional dan internasional di Jakarta, Yogyakarta, SurathaniThailand, Manila-Philippina, Kuala Lumpur-Malaysia.
Hobbies
:
Membaca, olah raga, mendengarkan musik berbagai aliran, nonton wayang.
Jakarta, 14 Agustus 2013
Ttd.
Suparmin Sunjoyo
Download