Filsafat Ilmu - sipadu isi surakarta

advertisement
DRAF BUKU AJAR
Nama Mata Kuliah
: Filsafat Ilmu
Kode MK/SKS
:
Semester
: III
Jurusan
: Pedalangan
/2 SKS
A. Deskripsi Singkat
Mata kuliah ini membahas teori-teori dasar dan metode dasar filsafat ilmu yang
meliputi: ontologi, epistimologi, aksiologi dan logika.
B. Relevansi materi dengan mata kuliah
Pengertian filsafat baik secara umum, sebagai padangan hidup dan keilmuan
merupakan pengetahuan dasar yang harus difahami mahasiswa sebagai pondasi
awal memahami filsafat ilmu.
C. Kompetensi Dasar
Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa dapat menjelaskan pengertianpengertian filsafat
D. Penyajian
1. Pengertian Filsafat
Filsafat bagi sebagian orang dan bahkan institusi pendidikan sering dianggap
tidak memiliki nilai praksis, dan bahkan dianggap mengawang-awang (utopia). Para
pelakunya (filsuf) sering dianggap orang yang selalu mempermasalahkan sesuatu yang
dalam anggapan umum bukanlah sebuah permasalahan. Permasalahan yang
dilontarkan pun terkadang tidak sesuai dengan obyek yang dipersoalkan. Oleh
karenanya seorang filsuf atau mereka yang belajar filsafat dan mencoba untuk
menerapkannya dalam proses keseharian sering dianggap ”orang aneh” diantara orang
yang menganggap dirinya ”waras”.
Steriotip tersebut menjadi kendala tersendiri untuk membangun kerangka berfikir
yang sistematis dan mengakar dalam dunia pendidikan. Karena filsafat yang
merupakan ”mater of scientairum ” sumber utama dari kerangka berfikir sistematis
dihadang di depan gerbang pendidikan. Filsafat hanya dijadikan cara untuk melihat
fenomena tanpa harus terlibat dalam proses pembentukan realitas. Di sisi lain ada
persoalan yang fundamental terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, terutama terkait dengan ketergantungan manusia terhadap ilmu pengetahuan
dan teknologi yang menyebabkan munculnya krisis kemanusiaan, seperti kendurnya
ikatan sosial antara individu ataupun masyarakat karena proses interaksi yang face to
face digantikan dengan perangkat elektronik baik sebagai lawan interaksi ataupun
sebagai media berinteraksi.
Pada kondisi seperti inilah filsafat diperlukan dalam upaya mengembalikan
hakekat ilmu pengetahuan yang menyejahterakan manusia dan menghargai hak-hak
kemanusiaan. Dalam konteks ini filsafat ilmu berperan penting untuk mendudukan
kembali ilmu pengetahuan dalam konteks kemanusiaan. Karena alam dan fenomena
yang diciptakan oleh Yang Kuasa adalah untuk mensejahterakan manusia dan
menjelaskan kehidupan
manusia,
sehingga suatu
penyimpangan ketika
ilmu
pengetahuan yang bahan dasarnya alam dan fenomenanya terlepas dari nilai-nilai
kemanusiaan.
2. Pengertian Filsafat Secara Umum
Dikalangan para filosof
tidak
ada
perbedaan
yang
mendasar
dalam
mendefinisikan filsafat baik dalam arti kebahasaan (etimologis) ataupun batasanbatasan konsepsional (terminologis). Secara etimologis, filsafat berasal dari bahasa
Yunani, philosophia atau philosophos. Philos atau philein berarti teman atau cinta,
dan shopia atau shopos berarti kebijaksanaan, pengetahuan, dan hikmah. Kata
filsafat dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata falsafah (Arab), philosophie
(Prancis, Belanda dan Jerman), serta philosophy (Inggris). Filsafat juga diartikan
sebagai mater of scientiarum yang artinya induk dari segala ilmu pengetahuan yang
dapat kita telusuri secara historis keterkaitan antara filsafat dan ilmu pengetahuan
sebagaimana secara singkat telah disampaikan diatas. Kata philosopia pertama kali
digunakan oleh pythagoras (572-497 SM) yang berarti pecinta kebijaksanaan bukan
kebijaksanaan itu sendiri. Karena menurut pemahaman Pythagoras bahwa kearifan
yang sesungguhnya semata-mata hanya milik Tuhan, sehingga ia tidak mau disebut
sebagai orang arif karena akan menyaingi atau bahkan menyerupai Tuhan , tetapi dia
lebih senang menyebut dirinya sebagai pencinta kearifan atau pecinta kebijaksanaan
(lover of wisdom), sedangkan filsafat adalah cinta kearifan (love of wisdom) (Liang
Gie, 1996:5). Namun secara umum kata Sophia mengandung arti yang lebih luas
daripada kebijaksanaan, antara lain: kerajinan, kebenaran pertama, pengetahuan yang
luas, kebajikan intelektual, pertimbangan yang sehat dan kecerdikan dalam
memutuskan hal-hal yang praktis (Mudhofir, 2007:18).
Secara terminologis, ada beberapa definisi yang disampaikan oleh para filsuf
yang pada dasarnya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Berikut ini adalah
beberapa definisi yang disampaikan oleh para filsuf sesuai dengan perkembangan
zamannya.
Plato (427-347 SM) mengartikan filsafat sebagai pencarian yang bersifat
perekaan (spekulatif) sedang filsuf adalah pencinta pandangan tentang kebenaran
(vision of thruth) lewat proses dialektika (Liang Gie, 1996 : 5). Perekaan merupakan
awal mula dari pengetahuan, karena hal tersebut akan membawa pada pembuktian
terhadap kebenaran dari perekaan. Proses untuk mencapai hal tersebut dilakukan
dengan cara diskusi secara intens di dalam diri individu dalam satu rangkaian dialektis
(Hendrik Rapar, 1996:102-103).
Aristoteles (382 –322 SM) yang merupakan murid dari Plato menambahkan
konsep lain dari pengertian filsafat. Menurutnya, philosophia merupakan padanan kata
dari epistem yakni kumpulan teratur dari pengetahuan rasional mengenai suatu objek
yang sesuai. Shopia (kearifan) menurutnya merupakan kebijakan intelektual yang
tertinggi. Terkait dengan pengetahuan penalaran Aristoteles mengembangkan konsep
analitika dan dialektika. Analitika berpangkal dari premis yang benar dan dialektika
berpangkal pada hipotesis yang belum pasti kebenarannya (Liang Gie, 1996: 7, 33).
Al-Farabi (870–950 ) mengartikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan tentang alam
maujud dan hakekat alam yang sebenarnya. Arti yang sama juga disampaikan oleh
Descartes (1590–1650) mendefinisikan filsafat sebagai kumpulan ilmu pengetahuan
tentang tuhan, alam dan manusia. Immanuel Kant (1724–1804) mendefinisikan filsafat
sebagai ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan.
Menurut Kant ada empat hal yang dikaji dalam filsafat yaitu: apa yang dapat manusia
ketahui? (metafisika), apa yang seharusnya diketahui manusia? (etika), sampai
dimana harapan manusia? (agama) dan apakah manusia itu? (antropologi). Jujun S.
Sumantri Filsafat mengartikan filsafat sebagai cara berfikir yang radikal dan
menyeluruh, suatu cara berfikir yang mengupas sesuatu yang sedalam-dalamnya
(Sumantri, 2006 : 4).
Definisi-definisi diatas pada dasarnya menegaskan bahwa filsafat merupakan
kemampuan berfikir jernih untuk mencapai kebenaran dan atau kebijaksanaan. Dengan
kata lain bahwa filsafat ingin meletakkan keistimewaan manusia sebagai makhluk
berfikir diantara makhluk-makhluk lainnya. Penggunaan akal fikir secara jernih inilah
yang kemudian menjadikan manusia sebagai makhluk yang sempurna. Namun jika
keistimewaan berfikir ini tidak digunakan atau tidak secara jernih digunakan, maka akan
menempatkan manusia lebih rendah dari hewan, ”manusia adalah hewan yang berfikir”
atau ”manusia adalah hewan yang menggunakan simbol (animal symbolicum)”. Karena
dengan fikiran yang jernih akan mengantarkan manusia untuk sampai pada
kebijaksanaan baik dalam berfikir ataupun dalam bertindak.
Kebijaksanaan atau kearifan sebagai capaian akhir dari filsafat di dunia barat
merupakan hasil renungan melalui rasio atau cipta-akal-pikir-nalar, dan berarti
pengetahuan dalam berbagai bidang hidup yang memberi petunjuk tindak-tanduk
sehari-hari. Dalam kebudayaan Jawa, kebijaksanaan berarti tentang asal dan akhir
kehidupan, yang dikenal dengan wikan sangkan paraning dumadi (Suyanto, 2009:).
Pemahaman mengenai kebijaksanaan tersebut tentunya harus disesuaikan dengan
konteks budaya yang berkembang pada suatu masyarakat, namun secara garis besar
kebijaksanaan selalu terkait dengan aspek kemanusiaan dan ke-Tuhanan sebagai
kebenaran tertinggi.
3. Filsafat sebagai pandangan hidup
Penjelasan
filsafat
sebagai
pandangan
hidup,
perlu
diawali
dengan
pemahaman mengenai pandangan hidup yang diposisikan berbeda dengan pedoman
hidup dan dianggap sama dengan ideologi. Karena ketiga istilah ini sering digunakan
untuk menyebut tradisi dan nilai yang diyakini oleh masyarakat atau individu, sehingga
terkadang secara semena-mena kita menggunakannya secara bergantian pada obyek
yang sama tanpa memahami makna yang melekat pada suatu kebudayaan. Sebagai
contoh kalimat yang sering kita dengar bahwa wayang adalah pedoman hidup
masyarakat Jawa, namun terkadang kita mendengar atau bahkan menyebutnya
sebagai pandangan hidup masyarakat. Begitu juga dengan pancasila, apakah sebagai
pedoman hidup atau pandangan hidup bangsa Indonesia.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, padangan hidup diartikan sebagai
konsep yang dimiliki oleh seseorang atau golongan dimasyarakat yang bermaksud
menanggapi dan menerangkan segala masalah di dunia ini. Adapun Pedoman adalah
alat untuk menunjukkan arah/ ketentuan-ketentuan dasar yang memberi arah
(Poerwadarminta, 2005:821,841). Berdasarkan pada pengertian tersebut, maka
Pancasila dan Wayang adalah sebagai pedoman, sebagai alat atau ketentuanketentuan dasar untuk menunjukkan arah yang kemudian dijabarkan dalam
pandangan-pandangan untuk menanggapi dan menerangkan masalah-masalah yang
bersifat teknis. Sebagaimana Pancasila yang dijabarkan dalam segala aspek
kehidupan masyarakat, sehingga segala sesuatunya harus berasaskan pancasila,
seperti dalam pembangunan, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Perbedaan
kedua istilah tersebut juga dapat dilihat dari tingkat kebakuan suatu nilai atau budaya
yang diyakini seseorang. Pandangan hidup karena merupakan konsep maka tingkat
kebakuannya berada dibawah pedoman, sehingga terkadang bersifat elastic. Adapun
pedoman tidak bisa berubah dari segi materialnya karena menjadi sumber dasar dan
diyakini sebagai sumber kebenaran yang hakiki, seperti halnya kitab suci yang tidak
bisa berubah dan diyakini kebenaran yang ada di dalamnya.
Filsafat sebagai pandangan hidup (falsafah) cenderung diartikan sebagai azas
atau suatu pendirian yang mengandung prinsip-prinsip yang kebenarannya telah di
yakini (ideologi) dan diterima apa adanya. Azas atau pendirian yang telah diyakini
tersebut akan mengarahkan sikap, fikiran dan tingkah laku sesuai dengan apa yang
diyakini. Hal ini digunakan sebagai dasar dan arah kehidupan masyarakat untuk
menjawab persoalan-persoalan fundamental yang tidak bisa dijawab secara tehnis
(Kunto Wibisono dlm Suyanto, 2009 : 33). Oleh karenanya dalam kehidupan kita sering
mendengar ungkapan dari seseorang atau suatu kelompok suku bangsa yang
mengatakan bahwa “falsafah hidup saya adalah………, sehingga ……; falsafah hidup
masyarakat Jawa itu adalah……….., sehingga……. Contoh tersebut menunjukkan
bahwa pernyataan pertama menjadi pola bagi pernyataan kedua, dengan kata lain
bahwa pernyataan pertama menjadi arah untuk melakukan sesuatu sehingga
memunculkan makna yang sesuai dengan pernyataan pertama pada pernyataan
kedua.
Contoh lainnya dapat kita fahami dari upacara ruwat yang dilakukan oleh
masyarakat Jawa sebagai usaha untuk menghindari berbagai persoalan hidup yang
bersifat tehnis. Hal tersebut terkait dengan falsafah hidup masyarakat Jawa yang
menginginkan adanya keselarasan antara manusia dengan lingkungannya termasuk
dengan sang Pencipta. Ketika terjadi ketidakselarasan dalam hidup baik personal
ataupun kelompok seperti anak yang nakal, sering ditimpa kesusahan ataupun karena
posisi anak sebagai anak ontang anting1, maka perlu dilakukan ruwat sebagai upaya
menetralisir untuk mengembalikan keseimbangan hidup. Disini kita memahami bahwa
falsafah keselarasan hidup mengarahkan masyarakat Jawa pada aktifitas-aktifitas nontekhnis untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tekhnis.
Filsafat sebagai pandangan hidup menekankan bahwa filsafat bersumber pada
hakekat kodrati manusia sebagai makhluk individu, makhluk social dan makhluk Tuhan.
1
Keterangan lebih lanjut mengenai upacara ruwat dan anak ontang anting dapat dibaca di dalam buku
Soetarno, Ruwantan di Daerah Surakarta, Sukoharjo: CV. Cendrawasih, 1995.
Filsafat tidaklah mengawang-awang sebagaimana yang difahami banyak orang. Oleh
karenanya filsafat tidak pernah lari dari realitas kehidupan manusia dalam ketiga ruang
lingkup kehidupannya tersebut. Di sini filsafat merupakan penjelmaan manusia secara
total dan sentral yang teraplikasi dalam berbagai ruang disiplin ilmu dalam filsafat.
a. Manusia dengan unsur raganya dapat melahirkan filsafat biologi.
b. Manusia dengan unsur rasanya dapat melahirkan filsafat keindahan
(estetika).
c. Manusia dengan unsur monodualismenya (kesatuan jiwa dan raga)
melahirkan filsafat antropologi.
d. Manusia dengan kedudukannya sebagai makhluk Tuhan dapat melahirkan
filsafat ketuhanan.
e. Manusia dengan kedudukannya sebagai makhluk social melahirkan filsafat
social.
f.
Manusia sebagai makhluk berakal melahirkan filsafat berfikir (logika).
g. Manusia dengan unsur kehendaknya untuk berbuat baik dan buruk
melahirkan filsafat tingkah laku (etika).
h. Manusia dengan unsur jiwanya dapat melahirkan filsafat psikologi.
i.
Manusia dengan segala aspek kehidupannya dapat melahirkan filsafat nilai
(aksiologi).
j.
Manusia dengan dan sebagai warga Negara dapat melahirkan filsafat
Negara.
k. Menusia dengan unsur kepercayaannya terhadap supranatural dapat
melahirkan filsafat agama (Achmadi, 2009:7-9).
Filsafat sebagai pandangan hidup pada dasarnya adalah upaya membuat
hidup bermakna dan mudah difahami sesuai dengan kondisi individu ataupun latar
belakang budaya yang membentuknya. Kategorisasi ruang disiplin ilmu dalam filsafat
diatas menegaskan bahwa aktifitas filsafat merupakan realitas nyata yang terkait
secara langsung dengan realitas kemanusiaan.
4. Filsafat sebagai ilmu pengetahuan
Pada saat awal kelahirannya ilmu pengetahuan identik dengan filsafat
sebagaimana telah dijelaskan diatas, namun pada masa-masa awal tersebut corak
mitologik masih mendominasi. Baru setelah dilakukan gerakan demitologisasi yang
dipelopori oleh filsuf pra-Socrates, filsafat setapak demi setapak berkat kemampuan
rasionalitasnya mencapai puncak perkembangan, seperti yang ditunjukkan oleh
Socrates, Plato, dan Aristoteles. Sejak itu filsafat yang semula bercorak mitologik
berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang meliputi berbagai macam bidang.
Filsafat sebagai ilmu pengetahuan karena filsafat mempunyai Gegenstand yakni
obyek sasaran yang ingin diketahui, diselidiki atau sesuatu yang ingin dipelajari.
Dengan kata lain filsafat mempunyai obyek material yang mencakup hal-hal yang
konkrit ataupun hal yang abstrak. Koento Wibisono (2007:2-3) memberikan ramburambu dimensi structural ilmu yang tersusun dari beberapa komponen :
1. Objek sasaran (Gegenstand) yang ingin diketahui.
2. Gegenstand terus-menerus dipertanyakan tanpa mengenal titik henti.
3. Ada alasan (motif) dan dengan sarana dan cara tertentu Gegendstand tadi terus
menerus dipertanyakan.
4. Temuan-temuan yang diperoleh selangkah demi selangkah disusun kembali
dalam satu kesatuan sistem.
Keempat komponen tersebut telah terpenuhi di dalam filsafat, sehingga filsafat
juga dapat dipandang sebagai ilmu pengetahuan selain juga telah mengalami proses
yang panjang dan telah tersusun secara sistematis. Dalam konteks inilah filsafat
mempunyai objek formal dan obyek material sebagai konsekwensi logis ketika filsafat
menjadi ilmu pengetahuan. Obyek material adalah obyek kajian atau obyek yang diteliti
dengan menggunakan sudut pandang tertentu. obyek material ini dapat mencakup apa
saja baik hal yang kongkrit seperti manusia, tumbuhan dan batu, ataupun hal-hal yang
abstrak seperti ide-ide, nilai-nilai, kerohanian. Adapun obyek formal adalah sudut
pandang (point of view) untuk memahami dan menjelaskan fenomena, secara praktis
obyek formal ini terkadang kita sebut dengan pendekatan, atau teori. Objek formal
inilah yang membedakan antara satu bidang ilmu dengan bidang ilmu lainnya. Satu
objek material dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, seperti manusia sebagai
objek material dapat dilihat dari sudut pandang sosiologi, antropologi dan psikologi.
Obyek material filsafat adalah segala sesuatu yang “ada” dan yang “dianggap
ada”. Hal ini menunjukkan bahwa objek material filsafat bersifat umum karena terkait
dengan seluruh kenyataan (Mudhofir, 2007:22-24; Asmoro, 2009:8-9). Segala sesuatu
yang ada ada segala sesuatu yang kongkrit, terindra seperti manusia, benda-benda
kongkrit dan yang secara hakekat harus ada seperti Tuhan. Adapun segala sesuatu
yang mungkin ada biasanya terkati dengan sistem nilai, kepercayaan, seperti Nyi Loro
kidul yang dianggap ada oleh masyarakat pesisir dan orang-orang yang meyakininya,
namun bagi masyarakat lain keberadaan Nyi Loro Kidul dianggap tidak nyata.
Objek formal filsafat terarah pada unsur-unsur keumuman yang secara pasti
ada pada ilmu-ilmu khusus. Sebagai contoh objek material berupa wayang. Seorang
ahli ekonomi akan memfokuskan pada aspek ekonomi dari wayang, berapa harga
wayang, atau bagaimana wayang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dalam
pengembangan ekonomi kreatif. Bagi seorang antropolog focus perhatianya bukan
pada wayang, namun pada proses interaksi antara manusia dengan wayang, sehingga
dapat dilihat aspek simboliknya, ataupun konsepsi-konsepsi masyarakat mengenai
wayang. Hal ini akan berbeda jika dilihat dari perspektif filsafat yang lebih bersifat
umum, hal-hal yang dipertanyakan terkait dengan hakekat dari nilai dalam wayang
ataupun sistem pengetahuan masyarakat mengenai wayang. Oleh karenanya aktifitas
yang semacam ini sangat mungkin bersifat multidisipliner yang berarti juga mencari
hubungan-hubungan antara bidang ilmu yang bersangkutan.
Filsafat sebagai ilmu pengetahuan mempunyai tiga bidang kajian yang
merupakan prinsip-prinsip pokok yakni ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketiga
bidang ini dipandang sebagai pilar utama suatu bangunan filsafat untuk melihat arah
pemikiran dan visi keilmuan terutama dalam filsafat. Dalam filsafat ilmu ketiga bidang
kajian tersebut juga menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu.
Ontologi atau dikenal dengan metafisika umum karena merupakan bagian
dari kajian metafisika. Ontology meliputi hakekat dari sesuatu, apa hakekat dari
kenyataan yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagimana (yang)
“Ada” itu (being). Ontology juga membicarakan mengenai kenyataan, apakah
kenyataan itu tunggal adanya, dan berbagai macam keanekaragaman, perbedaan serta
perubahan
bersifat
semu
belaka
(Kattsoft,
2004:185-187).
Paham
idealism,
materialism, dualism merupakan paham-paham ontologik yang mempunyai pandangan
masing-masing mengenai dan bagaimana (yang) ada tersebut. Jadi disini landasan
ontologis ilmu pengetahuan sangat tergantung pada cara pandang ilmuan terhadap
realitas.
Epistemologi atau teori pengetahuan membahas tentang sumber, asal mula,
dan
sifat
dasar
pengetahuan.
Perbedaan
dalam
memahami
sumber-sumber
pengetahuan menyebabkan adanya perbedaan aliran-aliran epistemologik: seperti
rasionalisme, empirisme, kritisisme, positivism, fenomenologi dan beragam variasinya.
Disini ditunjukkan juga bagaimana kelemahan dan kelebihan suatu model epistemology
dnegan bertolak ukur pada pengetahuan ilmiah, seperti teori korespondensi, koherensi,
pragmatism dan teori intersubjektive.
Aksiologi, meliputi nilai-nilai yang bersifat normative, hal ini juga terkait
dengan sikap etis seorang ilmuan, terutama terkait dengan nilai-nilai yang diyakini
kebenarannya. Aksiologi dalam filsafat banyak dikembangkan pada aspek etika dan
estetika
Secara garis besar ketiga bidang kajian tersebut dapat digambarkan dalam
bagan dibawah ini.
Kajian Filsafat
Ontologi
Epistemologi
Aksiologi
Apa?
Bagaimana
Mengapa/ untuk
apa?
realitas
Metodologi
Tujuan/Nilai
5. Keterkaitan Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
Secara historis dan substansial filsafat dan ilmu pengetahuan mempunyai
keterkaitan yang kuat bahkan tidak dapat dipisahkan. Kondisi ini dapat ditelusuri dari
sejarah perkembangan filsafat barat zaman Yunani kuno dimana semua hasil pemikiran
manusia waktu itu disebut dengan filsafat (Mustansyir dan Munir, 2008 : 55). Hal
esensial keterkaitan yang erat antara filsafat dan ilmu adalah pada pengetahuan
rasional (epistem) yang diperoleh dari pemikiran manusia baik dalam filsafat ataupun
ilmu (Liang Gie, 1996 : 1). Berfikir reflektif adalah suatu upaya memahami fakta-fakta
dunia dan kehidupan. Terhadap hal-hal tersebut baik filsafat maupun ilmu bersikap
kritis, berfikiran terbuka serta sangat konsern pada kebenaran, disamping perhatiannya
pada pengetahuan yang terorganisisr dan sistematis.
Pada saat kelahirannya ilmu pengetahuan identik dengan filsafat yang pada saat
itu bercorak mitologik, gejala-gejala alam dijelaskan dengan cara-cara theogoni dimana
dewa menjadi unsur penentu terhadap segala sesuatu. Hal ini menjadi titik tolak
perkembangan ilmu pengetahuan yang berani menerobos dunia pergejalaan untuk
mengetahui yang abadi, yang eka dan sesuatu dibalik yang bhineka, materi dan
sementar.
Gerakan demitologisasi yang dipelopori oleh para filsuf pra-Socrates terus
berkembang dan mengarah pada ilmu pengetahuan karena rasionalitas mengalami
puncak perkembangan terutama pada masa Socrates, Plato dan Aristoteles. Hal ini
dapat difahami dari kategorisasi yang dibuat oleh Aristoteles, pertama adalah ilmu
pengetahuan poietis (terapan), ilmu pengetahuan praktis (dalam arti normative seperti
etika, politik) dan ilmu pengetahuan teoritik. Pengetahuan rasional yang dikembangkan
oleh para filsuf tersebut membuka akses berfikir yang terhadap gejala-gejala alam yang
dihadapi.
Pudarnya kekuasaan Romawi menjadi isyarat datangnya tahapan baru, yakni
dimana filsafat menghadapi agama. Filsafat menjadi bercorak teologik, dimana biara
tidak saja menjadi pusat kegiatan agama, akan tetapi juga menjadi pusat kegiatan
intelektual (Wibisono, 2007:3). Ilmu pengetahuan memang dianggap sebagai the
supreme art (pengetahuan yang tertinggi), namun kedudukan dan peranannya adalah
sebagai pelayan teologi. Kebenaran yang diterima oleh kepercayaan melalui wahyu
tidak dapat ditentang oleh keberadaan filsafati yang dicapai dengan akal manusia (liang
Gie, 1996:9). Agama dan gereja mendominasi sistem pengetahuan pada saat itu,
sehingga ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan ketetapan gereja harus
dihilangkan, seperti yang dialami oleh Copernicus. Dia berpendapat bahwa “bumi yang
mengitari matahari yang dikenal dengan teori heliocentris. Pendapat tersebut
bertentangan dengan keyakinan gereja yang beranggapan bahwa mataharilah yang
mengelilingi bumi yang disebut dengan teori geocentris. Karena perbedaan pendapat
inilah Copernicus akhirnya dihukum mati oleh pihak gereja.
Gerakan renaissance2 pada abad ke 15 dan dimatangkan oleh gerakan
Aufklaerung 3abad ke 18 merupakan pondasi revolusi filsafat memasuki tahap modern.
Pada tahap ini kebebasan dan otonomi pada manusia sangat dihargai, kondisi
mengarahkan manusia pada kehidupan dunia sekuler, yakni suatu kehidupan
pembebasan dari kedudukannya yang semula terkooptasi oleh dominasi agama dan
gereja. Hal ini ditandai dengan ditinggalkannya agama oleh filsafat, kemudian berlanjut
dengan ditinggalkannya filsafat oleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang semula
merupakan anak dari filsafat mengembangkan spesialisasinya sendiri-sendiri dan
meninggalkan filsafat jauh dibelakang. Lepasnya ilmu-ilmu pengetahuan ini diawali oleh
ilmu alam atau fisika, melalui tokoh-tokohnya seperti berikut ini.
1. Copernicus (1473-1543) yang dengan astronominya menyelidiki bendabenda
angkasa.
Karyanya
de
Revolusionibus
Orbium
Caelistium
dikembangkan dan disebarluaskan oleh Galileo Galilei (1564-1642) dan
Johannes Kepler (1571-1630).
2. Versalius (1514-1564) melalui karyanya De Humani Corporis Fabrica telah
melahirkan pembaharuan dalam bidang anatomi dan biologi.
2
Renaissance berasal dari bahasa prancis yang berarti kelahiran kembali.yakni kembalinya kesadarankesadaran baru terhadap humanism dan pengakuan terhadap hak-hak individu, seperti dalam
berkeyakinan, pendapat dan ilmu pengetahuan.
3
Zaman Aufklarung atau zaman pencerahan ini berkembang di Jerman yang di Inggris dikenal dengan
Enlightenment,yaitu suatu zaman baru dimana seorang ahli pikir yang cerdas mencoba menyelesaikan
pertentangan antara rasionalisme dengan empirisme. Era ini mengusung ide pengakuan terhadap
rasionalitas, kebebasan, kreativitas, keanekaragaman dan tanggung jawab pribadi.
3. Issaac
Newton
(1642-1727),
karyanya
Philosopie
Natural
Principia
Mathematica telah menyumbangkan bentuk definitive bagi mekanika klasik
(Wibisono, 2007:4-5).
Ilmu-ilmu social dan humaniora yang berkembang kemudian, banyak mengambil
model-model dalam ilmu alam tersebut. Hal ini dikarenakan ilmu alam dianggap lebih
akurat dan dapat dibuktikan sebagaimana yang dilakukan oleh Auguste Comte (17981857) seorang filsuf dan juga sosiolog berkebangsaan Prancis. Melalui karyanya Cours
de Philosophie Positive melihat bahwa cara berfikir manusia akan mencapai puncaknya
pada tahap positif setelah melalui tahap theologik4 dan metaphisik5. Pandangan Comte
yang meletakkan positif sebagai tahap tertinggi dari keberadaban manusia yang
ditandai dengan peran akal yang mendominasi pemahaman terhadap gejala alam
selanjutnya dikenal dengan aliran positivism.
Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang logis, ada
bukti kongkritnya yang terukur (measurable). Kata “terukur” ini merupakan masukan
yang penting dalam positivism seperti yang dilakukan oleh ilmu alam. Air mendidih jika
mencapai 100 drajat celcius, besi akan memuai jika dipanaskan mencapai 1000 derajat
celcius. Dalam ilmu social keterukuran juga menjadi indikasi kebenaran suatu teori,
seperti masalah kemiskinan yang dapat diukur dengan jumlah asupan gizi perhari
ataupun diukur dengan pendapatan perkapita perhari, seperti World Bank menyebutkan
bahwa masyarakat miskin adalah mereka yang berpendapatan dibawah $2 perhari.
Disini kita melihat bahwa aturan untuk mengatur alam dan manusia bersifat pasti dan
4
Tahap ini merupakan tahap paling awal dari perkembangan berfikir manusia. Ia membaginya kedalam
tiga periode, Fetisisme merupakan bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi
kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Politeisme
merupakan kepercayaan akan sejumlah hal-hal supernatural yang meskipun berbeda-beda dari benda
benda-alam, namun terus mengontrol semua gejala alam. Monoteisme merupakan kepercayaan dengan
satu sang pencipta alam semesta, begitu pikiran manusia terus maju, kepercayaan terahdap banyak
dewa itu digantikan dengan kepercayaan terhadap satu Tuhan.
5
Pada tahap ini masyarakat menganggap adanya hukum alam yang akan dapat membatasi perbuatanperbuatan yang dianggap dapat merusak keseimbangan dari alam itu sendiri serta ekosistem lainnya,
misalnya adanya penebangan hutan berlebihan yang menyebabkan hutan menjadi gundul sehingga akan
menimbulkankan sebuah bencana besar, yang dianggap oleh masyarakat alam akan menjadi marah yaitu
dengan adanya banjir, tanah longsor dan lain sebagainya. Dengan adanya hal semacam ini akan
membuat masyarakat untuk mematuhi segala sesuatu yang dapat dinggap menimbulkan bencana bagi
masyarakat itu sendiri.
rinci. Selain kongkrit dan terukur, mengajukan kriteria lain dari ukuran kebenaran yakni
kemanfaatan. Sesuatu dianggap benar jika memberi manfaat positif bagi manusia, oleh
karena itulah pengembangan ilmu pengetahuan pada tahap selanjutnya lebih di
dominasi oleh ilmu-ilmu terapan.
E. Rangkuman
 Filsafat berasal dari kata philos yang berarti cinta dan Sophia yang berarti
kebijaksanaan
 Filsafat juga mempunyai definisi-definisi khusus yang disesuaikan dengan fungsi
dari filsafat tersebut yakni :
 Sebagai pandangan hidup filsafat merupakan azas atau suatu pendirian yang
mengandung prinsip-prinsip yang kebenarannya telah di yakini (ideologi) dan
diterima apa adanya.
 Sebagai ilmu pengetahuan filsafat mempunyai Gegenstand yakni obyek
sasaran yang ingin diketahui, diselidiki atau sesuatu yang ingin dipelajari.
Dengan kata lain filsafat mempunyai obyek material yang mencakup hal-hal
yang konkrit ataupun hal yang abstrak.
 Filsafat sebagai ilmu pengetahuan, maka filsafat mempunyai tiga bidang kajian
utama yakni ontologi, epistemology dan aksiologi.
F. Soal-soal
1. Filsafat secara etimologis diartikan cinta akan kebijaksanaan, jelaskan apa
maksud ”cinta akan kebijaksanaan” tersebut.
2. Jelaskan maksud dari filsafat sebagai pandangan hidup dan berikan contohnya.
3. Jelaskan bagaimana keterkaitan antara filsafat dan ilmu pengetahuan?
G. Penugasan

Membuat ringkasan mengenai definisi dasar filsafat
H. Daftar Pustaka
Achmadi, Asmoro, Filsafat Umum, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2009
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Gie, The Liang,Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty, 1996.
Suyanto, Nilai Kepemimpinan Lakon Wahyu Makutharama dalam Prespektif Metafisika.
Surakarta: ISI Press 2009
Kattsoff, Louis O., Pengantar Filsafat. Soejono Soemargono (Terj).Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2004.
Mustansyir, Rizal, dkk, Filsafat Ilmu, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008
Mudhofir, Ali, Pengenalan Filsafat, dalam Filsafat Ilmu (Tim Dosen Filsafat Imu UGM),
Yogyakarta: Liberty, 2007. Hlm. 17-43.
Poerwadarminta, Kamus Besar bahasa Indonesia,
Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1996
Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu : mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
Pengetahuan, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2009.
Wibisono S., Koento, Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum mengenai Kelahiran
dan Perkembangannya sebagai Pengentar Untuk memahami Filsafat Ilmu
dalam Filsafat Ilmu (Tim Dosen Filsafat Imu UGM Tim Dosen Filsafat Imu
UGM), Yogyakarta: Liberty, 2007. Hlm. 1-16.
Download