Konflik Antar Kelompok - Universitas Mercu Buana

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Kognisi Sosial
Konflik Antar Kelompok
Fakultas
Program Studi
Psikologi
Psikologi
Tatap Muka
10
Kode MK
Disusun Oleh
61017
Filino Firmansyah, M.Psi
Abstract
Kompetensi
Materi tentang konflik antar kelompok
Mahasiswa mampu memahami dan
menjelaskan kembali mengenai konflik
antar kelompok
Konflik Antar Kelompok
Pada modul ini akan dibahas beberapa teori Konflik antar Kelompok. Materi diambil dari
Buku Psikologi Sosial karangan Sarlito WIrawan Sarwono dan Eko Meinanrno (2009).
Bentrokan Antarkelompok Terjadi di Cakung (02 Juli 2002)
Eduardus Karel Dewanto-Tempo News Room
Bentrokan antarkelompok “Pak Ogah” terjadi di Jalan Cakung-Cilincing, Jakarta
Timur persis di depan Dapyek ABRI, selasa (2/7). Petugas Polsek Metro Ckaung,
Brigadir Dua Polisi Sukirno kepada Temp News Room, mengatakan bahwa
bentrokan terjadi karena perebutan lahan menarik uang dari pengguna jalan di
putaran jalan tersebut. “Petugas sekarang sudah ada disana semua untuk
mengamankan lokasi,” ujarnya dengan nada tergesa-tegas. Menurut Sukirno,
peristiwa berawal sekitar pukul 11.00 WIB. Petugas menduga kedua kelompok yang
berbeda etnis itu telah bermusuhan sejak lama itu. Mencium gelagat bakal
meluasnya bentrokan Polres Metro Jakarta Timur dan Polsek Cakung segera
meluncur ke lokasi kejadian. Bentrokan pun berhasil direda. Namun, hingga pukul
16.30 WIB, kedua kelompok masih bersitegang dan aparat masih berjaga di tempat
tersebut.
Sumber : www.tempo.co.id/hg/jakarta/2002/07/brk,20020702-14,id,html
BATASAN, DEFINISI, DAN RUANG LINGKUP PERILAKU ANTARKELOMPOK
Manusia merupakan makhluk yang selalu berada dalam kelompoknya. Sejak bayi
sampai wafat, manusia menghabiskan kegiatannya, berinteraksi, dan melakukan berbagai
hal dengan kelompok di sekitarnya. Perilaku antarkelompok berkaitan dengan bagaimana
anggota kelompok memersepsikan, memikirkan, menghayati, dan bertingkah laku terhadap
seseorang dari kelompok lain. Kelompok yang dibahas dapat berupa kelompok kecil
(keluarga), kelompok yang tidak terlalu besar (perusahaan, organisasi), serta kelompok
yang jauh lebih besar dan kompleks (suku, agama, bangsa). Perilaku antarkelompok dapat
dilihat dan ditemui di sekitar kita secara langsung maupun tidak langsung (melalui berbagai
media cetak, audio visual, dan sebagainya). Beberapa contoh yang kita temui, diantaranya
tawuran SMA dengan STM, perkelahian antardesa di Ambon, protes pemilih terhadap
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), konflik antaretnis di Kalimantan, kecurigaan
penduduk daerah tertentu bahwa terjadi manipulasi hasil pemilihan oleh KPUD, perang
antara Amerika dengan Afghanistan, negosiasi antara penduduk korban Lumpur Lapindo
dengan wakil dari Lapindo Brantas, protes buruh kepada atasannya, dan kekerasan antara
Fron Pembela Islam (FPI) terhadap pengunjuk rasa pluralisme di Monas.
‘13
2
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Sebaliknya, kerja sama antarbangsa, tolong-menolong, dukungan langsung maupun
tidak langsung untuk korban bencana di Situgintung juga merupakan tingkah laku
antarkelompok.
Konflik, perang, perkelahian, kecurigaan, negosiasi, ataupun kerja sama merupakan
perilaku antarkelompok karena melibatkan sejumlah orang yang berasal dari kelompok yang
berbeda dan karena mereka menghayati dirinya sebagai bagian dari kelompok yang
berbeda. Bahkan, pada situasi di mana, misalnya, Nana mengatakan pada pacarnya, Andi:
“Selama kita pacaran satu tahun ini, selalu saja saya yang harus mengeluarkan uang bila
kita makan siang bersama. Sebagai pria, kamu (Andi) seharusnya yang membayar makan
siang jika kita makan bersama”, sehingga pertengkaran mereka yang tadinya merupakan
pertengkaran
antarpribadi/individu
kemudian
berubah
dan bergeser
menjadi
pertengkaran/konflik antarkelompok. Pergeseran ini terjadi karena pada saat ia berbicara,
Nana menghayati dirinya sebagai bagian dari ‘kelompok wanita’ sehingga pada saat yang
sama is menganggap Andi bukanlah sebagai pacarnya semata, melainkan sebagai bagian
dari kelompok pria. Contoh perilaku Nana menunjukkan bahwa penghayatan dan pemikiran
bahwa seseorang merupakan bagian dari kelompok tertentu dapat membuat interaksi yang
terjadi antara dua orang berubah menjadi interaksi antarkelompok.
Ada berbagai definisi tentang perilaku antarkelompok; definisi berikut sangat
menekankan adanya interaksi yang saling bertatap muka (face to face) antara kelompok
yang berinteraksi. “Intergroup behavior is any behavior that involves interaction between one
or more representative of two or more separate groups” (Vaughan dan Hogg, 2005).
Batasan tersebut menunjukkan dengan sangat jelas ciri yang selalu akan ditemukan dalam
hubungan antarkelompok, yaitu adanya interaksi antara dua kelompok atau lebih dan
interaksi kelompok tersebut dilakukan secara tatap muka. Namun pada kenyataannya,
terdapat banyak sekali interaksi yang dilakukan dengan cara yang berbeda dan tidak selalu
bertatap muka. Apabila jumlah anggota kelompok cukup besar (misalnya partai, warga desa,
kelompok mahasiswa, dan lain-lain), interaksi yang terjadi biasanya harus melalui juru bicara
atau sejumlah wakil dari kelompok tersebut sehingga interaksi yang tatap muka hampir tidak
mungkin dilakukan.
Kini, dengan adanya sarana teknologi bahkan memungkinkan untuk dilakukannya
perundingan secara ‘remote’ antarkelompok yang berbeda pendapat. Vaughan dan Hogg
kemudian mengemukakan definisi perilaku antarkelompok yang lebih luas dari yang pertama
dan menekankan hal yang agak berbeda. “Intergroup behavior is any perception, cognition
or behavior that is influenced by people's recognition that they and others are members of
distinct socialgroups”(Vaughan dan Hogg, 2005). Definisi ini menekankan adanya persepsi
dan penghayatan anggota kelompok bahwa mereka merupakan anggota dari kelompok
sosial yang sangat berbeda satu sama lainnya. Implikasi dari definisi ini adalah bahwa
tingkah laku anggota kelompok kemudian akan dipengaruhi oleh persepsi dan penghayatan
tersebut. Seseorang tetap dapat menampilkan tingkah laku antarkelompok meskipun ia
berada jauh dari kelompok ‘aslinya’ dan interaksi yang terjadi dengan kelompok lain juga
tidak selalu dilakukan secara tatap muka. Hal yang penting adalah perilaku itu ia tampilkan
karena merasa bahwa ia dan kelompok lainnya berasal dari kelompok yang sangat berbeda.
Sebagai contoh, bila seseorang merasa dirinya adalah fans fanatik dari Persija, maka ia
akan merasa sangat berlawanan dengan fans Persib yang merupakan musuh bebuyutan
Persija. la akan menunjukkan fanatisme kelompoknya dengan memakai warna dan atribut
Persija, memasang foto Persija di kamarnya, mengumpulkan cerita tentang Persija, serta
‘13
3
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
mendukung Persija saat menonton bola. Selain itu, apabila ia bertemu dengan fans dari
Persib yang merupakan musuh bebuyutan Persija, ia akan menyatakan bahwa Persib
adalah ‘lawannya’ secara eksplisit dengan berbagai cara.
Berbagai tingkah laku antarkelompok di atas hanya mungkin terjadi dalam situasi di
mana terdapat sejumlah kelompok yang saling berhubungan dan berinteraksi. Interaksinya
dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Hal yang penting adalah anggota
kelompok tersebut merasa bahwa mereka berasal dari kelompok yang berbeda. Hal ini
sesuai dengan batasan yang dikemukakan oleh Sherif (1962) mengenai hubungan
antarkelompok, yaitu “relations between two or more groups and their respective members.
Whenever individuals belong to one group interact, collectively or individually, with another
groups or its members in terms of their group identifications we have an instance of
intergroup behavior” : Hubungan antarkelompok terjadi apabila anggota dua kelompok atau
lebih saling berinteraksi dan terjadi berdasarkan penghayatan anggota kelompok tersebut
pada kelompoknya atau berdasarkan seberapa kuat ia mengidentifikasikan diri pada
kelompoknya. Seseorang yang mengidentifikasikan diri dengan kuat pada kelompok tertentu
akan sangat merasa sebagai bagian dari kelompok tersebut, merasa bangga, dan sama
seperti anggota kelompok lainnya. Apabila ketua FPI, Habib Riziq misalnya, menyatakan:
“Sebagai ketua FPI, saya menuntut petugas keamanan atas perlakuan buruk terhadap
anggota saya.” Pernyataan tersebut berarti ia memosisikan diri dalam hubungan
antarkelompok atau institusi dan bukan mengenai hubungan antara dirinya pribadi dengan
seorang aparat.
Tingkah laku yang mungkin terjadi pada hubungan antarkelompok ini bisa jadi
berbeda dengan hubungan antarpribadi. Berbagai perilaku kelompok seperti prasangka,
diskriminasi, kerja sama, konflik, dan kompetisi menjadi mungkin terjadi apabila individu
menempatkan serta menghayati dirinya sebagai bagian dari kelompok tertentu pada saat ia
berinteraksi. Namun, perilaku kelompok yang positif juga banyak dilakukan, misalnya kerja
sama, kompetisi, tolong-menolong antarkelompok, saling mendukung antarbangsa, dan lainlain.
Berikut akan dibahas beberapa teori mengenai perilaku antarkelompok, khususnya
perilaku yang sering menimbulkan masalah seperti konflik, prasangka, diskriminasi, dan lainlain. Dalam psikologi, teori merupakan upaya untuk menjelaskan mengapa perilaku tersebut
terjadi; selain itu juga memungkinkan kita mengantisipasi kemungkinan munculnya suatu
kejadian atau perilaku. Teori yang baik akan memenuhi tiga ciri tertentu, yaitu (1)
proposisinya (hukum, konsep, ‘dalil’) harus logis dan konsisten satu sama lainnya; (2) teori
tersebut harus sesuai dengan fakta dan observasi; (3) harus dapat diuji kebenarannya untuk
menentukan kegunaannya (Shaw dan Constanzo, 1982). Pada bab ini akan dibahas
beberapa teori mengenai perilaku antarkelompok, yaitu etnosentrisme, realistic conflict
theory, teori deprivasi relatif, teori frustrasi agresi, dan teori identitas sosial.
ETNOSENTRISME-CIRI KEPRIBADIAN OTORITARIAN
Psikologi sejak lama berusaha memahami dan menjelaskan bagaimana seseorang
dapat berkembang menjadi penuh dengan prasangka, sedangkan ada orang lain yang tidak
demikian. Adorno et al. (1950 dalam Vaughan dan Hogg, 2005) menjelaskan hal ini dengan
‘13
4
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
apa yang disebutnya kepribadian otoritarian. Adorno yakin bahwa prasangka merupakan
konsekuensi dari struktur kepribadian tertentu, yaitu kepribadian otoritarian. Pada zaman itu,
Eropa baru bebas dari Nazi, di mana Holocaust dan pembunuhan kepada jutaan orang yang
dilakukan Hitler sangat mengguncang banyak orang. Hampir tidak bisa dipercaya bahwa
manusia bisa menyiksa dan membunuh sekelompok orang dengan kejam semata-mata
karena mereka berasal dari ras yang berbeda (Yahudi). Adorno menjelaskan perilaku di atas
dengan mengadopsi pandangan Freud bahwa prasangka merupakan gejala dari keadaan
fungsi psikologis yang tidak normal, yang diinternalisasi seorang anak melalui pola asuh
orang tuanya. Anak yang dibesarkan dengan cara yang ‘keras’ dan sangat menekankan
aturan, kewajiban, otoritas, serta kepatuhan pada orang tuanya, akan tumbuh menjadi anak
yang sangat patuh dan takut. Akan tetapi, pada saat yang sama, anak tersebut juga
menyimpan dendam dan membenci orang tuanya. Orang tua oleh anak selalu dikagumi,
namun sebenarnya anak menekan kebencian pada orang tua mereka dalam-dalam.
Identifikasi pada orang tua digeneralisasi pada kelompok otoritas lainnya, sedangkan
kritisisme terhadap orang tua maupun figur otoritas lain cenderung ditekan, bahkan dialihkan
dan diproyeksikan pada kelompok lain yang lebih lemah.
Ciri apakah seseorang memiliki kepribadian otoritarian adalah mereka menghormati
dan menghindari figur otoritas, terobsesi dengan ranking dan status, memiliki toleransi
rendah terhadap ketidakpastian dan ambiguitas, membutuhkan lingkungan yang strukturnya
jelas, serta mengekspresikan kebencian dan diskriminasi terhadap orang lain yang lebih
lemah dari dirinya. Adorno mengembangkan teorinya setelah melakukan penelitian pada
dua ribu orang kulit putih mengenai sikap terhadap Yahudi, sikap terhadap ‘anti-Negro’;
Political dan Economic Conservatism, serta Etnosentrisme. Adorno menemukan bahwa
setiap orang memiliki kebencian yang berbeda terhadap berbagai kelompok etnis. Dalam
hubungan antarkelompok, anggota kelompok biasanya menjadikan kelompoknya sendiri
sebagai acuan utama untuk menilai kelompok lain. Fenomena ini dikenal dengan istilah
etnosentrisme dan dianggap sebagai salah satu faktor kunci dalam penyebab konflik.
Etnosentrisme adalah cara seseorang memandang lingkungan sekitarnya di mana ia
menjadikan kelompoknya sebagai pusat dari segala hal, sehingga berbagai hal lain diukur
dengan mengacu pada kelompoknya sendiri. Konsep ini dikemukakan oleh seorang sosiolog
bernama William Sumner pada tahun 1906 dan Adorno mengadopsi konsep ini dalam
teorinya. Pada orang yang etnosentris (menurut Sumner) atau memiliki authoritarian
personality (menurut Adorno), outgroup dipersepsi sebagai kelompok yang mencari
kekuasaan dan mengancam serta survival dari ingroup bergantung pada penghancuran
semua outgroup.
TEORI KONFLIK REALISM
Salah satu teori yang paling berpengaruh dan memberi penjelasan mengapa
kelompok saling membandingkan diri atau berkompetisi satu sama lain adalah teori konflik
realistik (theory conflict realistic-TCR). Berbeda dengan penjelasan otoritarianisme atau
etnosentrisme yang menerangkan penyebab perilaku antarkelompok sebagai proses yang
bersifat individual atau interpersonal, teori konflik realistik menjelaskan perilaku
antarkelompok sebagai fenomena yang hanya dapat dijelaskan pada level kelompok.
‘13
5
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Teori ini dikemukakan oleh Sherif (1966), di mana ia menekankan pentingnya peran
hubungan fungsional antara dua kelompok atau lebih dalam hubungan antarkelompok. Ia
juga menyatakan bias, prasangka, ataupun konflik antarkelompok terjadi karena adanya
kompetisi untuk memperebutkan sumber daya yang terbatas. Sumber daya ini dapat berupa
benda, peluang, wilayah, orang, informasi, atau apa pun juga. Tiga asumsi dasar teori ini
adalah (1) manusia pada dasarnya egois dan selalu berusaha memaksimalkan keuntungan
pribadinya; (2) konflik merupakan hasil dari adanya ‘kepentingan’ yang tidak sesuai satu
sama lain (incompatibel); dan (3) bahwa aspek psikologi sosial dari hubungan
antarkelompok ditentukan oleh kecocokan atau kesamaan minat kelompok.
Sheriff, dkk. mengembangkan teori konflik realistik berdasarkan tiga rangkaian
studinya (1949, 1953, dan 1954) pada sekelompok remaja kulit putih kelas menengah
berusia sekitar 11-12 tahun. Studi ini dilakukan dalam seting alamiah, dalam sebuah
‘summer camp’. Hipotesis dasarnya, apabila sebuah kelompok ‘memisahkan’ diri dari
kelompok lain, maka kelompok tersebut akan terbentuk suatu norma, yang kemudian akan
menjadi dasar untuk menetapkan reward ataupun sanksi tertentu. Kemudian, kelompok
akan menetapkan stereotip terhadap outgroup yang biasanya merupakan sesuatu yang
merendahkan dan bersifat negatif.
Pada eksperimen lapangan yang berlangsung beberapa minggu ini, para remaja
menyangka mereka benar-benar beraktivitas dalam suatu kemping untuk anak-anak muda.
Sherif, dkk. meneliti berbagai proses yang terjadi, dari pembentukan kelompok sampai
terbentuknya konflik, kerja sama, dan solusi konflik. Terdapat empat tahap eksperimen, yaitu
(1) tahap perkenalan secara spontan; (2) pembentukan kelompok; (3) konflik antarkelompok;
(4) kerja sama antarkelompok atau menurunnya konflik antarkelompok.
Pada tahap pertama eksperimen ini, sejumlah remaja yang belum saling mengenal
diberi kesempatan untuk berkenalan dan melakukan aktivitas bersama. Mereka bebas
memilih teman, kemah, dan aktivitas yang mereka sukai, sehingga mereka menjadi cukup
akrab. Pada tahap kedua, peserta yang sudah akrab tadi dibagi menjadi dua kelompok baru,
sehingga kini mereka terpisah dari teman akrabnya dan menjadi sekelompok dengan orang
lain. Menurut Sherif, dalam kelompok baru ini, pola individu dalam memilih teman ternyata
menjadi berubah, dari rasa tertarik/cocok pada teman menjadi berdasarkan memilih teman
karena dia ada dalam kelompoknya (ingroup exclusiveness). Dalam tahap kedua ini,
anggota kelompok harus berinteraksi dan melakukan beberapa tugas kompetitif bersama
teman sekelompoknya, seperti memasak, kemah bersama, naik kano, dan lain-lain. Mereka
kemudian membuat nama kelompok (The Eagles dan The Rattlers), yel, jargon, serta
membuat sejumlah norma dan aturan untuk dipatuhi anggotanya. Tahap ketiga dirancang
untuk melihat apa yang akan terjadi apabila kedua kelompok terlibat dalam kompetisi yang
memberikan hadiah, misalnya bertanding bola basket, mencari jejak, dan lain-lain. Ternyata,
dalam proses kompetisi ini mereka kemudian menjadi saling mengejek, meledek, bahkan di
akhir kompetisi mereka menjadi sangat bermusuhan dan tidak mau saling bicara.
Dalam studi Sherif yang dikenal dengan “Robber's Cave study” (1954), kedua
kelompok dikumpulkan dan berkompetisi untuk mengumpulkan sejumlah ‘biji’ sebanyak
mungkin dalam waktu tertentu. Ternyata mereka memperkirakan jumlah ‘biji’ yang
dikumpulkan kelompoknya sendiri jauh lebih tinggi daripada yang dikumpulkan kelompok
lain. Oleh karena kompetisi yang ada membuat anggota kelompok tampaknya semakin
menjadi kasar dan membenci satu sama lain, Sheriff kemudian memutuskan untuk
‘13
6
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
menghentikan studi ketiganya karena ia sangat khawatir apabila perkembangan yang terjadi
mengarah pada kebencian antarkelompok. Ia kemudian merancang untuk memperbaiki
hubungan antarkelompok dan menurunkan konflik yang ada (tahap keempat). Hal ini ia
upayakan dengan berbagai cara, antara lain memberi kuliah mengenai cinta dan pemberian
maaf-yang ternyata tidak membantu. Ia kemudian memperkenalkan apa yang dikenal
dengan musuh bersama (‘common enemy’), yang meskipun cukup berhasil memperbaiki
hubungan antarkelompok, tetapi dikhawatirkan justru akan memperbesar skala konflik. Pada
Robber's cave study ia memunculkan superordinate goal, suatu tujuan bersama yang
penting bagi kedua kelompok, tetapi tidak mungkin dicapai hanya oleh salah satu kelompok
saja; kedua kelompok harus bekerja sama untuk mencapai dan mewujudkannya. Sherif
memunculkan superordinate goal dengan membuat situasi ‘krisis’ di mana tangki untuk
suplai air mereka bocor dan kedua kelompok harus bekerja sama untuk mengatasi situasi
tersebut. Superordinate goal berikutnya adalah membuat situasi di mana pengurus camp
tidak bisa membayar film yang ingin ditonton oleh anak-anak dan bila ingin menonton film
tersebut, mereka semua harus ikut patungan. Superordinate goal ketiga terjadi pada saat
truk makanan mereka mogok waktu mereka akan jalan-jalan ke danau. Truk tersebut baru
bisa berjalan apabila mereka semua menariknya dengan tali agar bisa dihidupkan.
Penelitian Sherif merupakan tonggak penting bagi psikologi sosial karena
menunjukkan adanya diskontinuitas antara proses individual dengan proses kelompok serta
membuktikan bahwa proses kelompok merupakan proses yang terpisah dan berbeda
dengan proses individual. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa tingkah laku agresif
antarkelompok ternyata bukan merupakan proses yang bersifat individual ataupun
hubungan antarpribadi.
TEORI IDENTITAS SOSIAL
Teori ini dikembangkan oleh Tajfel dan Turner (Turner dkk., 1987). Menurut teori
identitas sosial, perilaku kelompok terjadi karena adanya dua proses penting, yaitu proses
kognitif dan proses motivasional. Proses kognitif membuat individu melakukan kategorisasi
pada berbagai stimulus yang ia hadapi, termasuk juga pada kelompok yang ia temui,
sehingga individu cenderung untuk memandang orang lain sebagai anggota ingroup atau
anggota outgroup (Hogg dan Abrams, 1990). Sementara itu, sebagai proses motivasional,
perilaku yang ditampilkan anggota suatu kelompok merupakan usaha individu agar
memperoleh harga diri dan identitas sosial yang positif. Setiap individu memiliki motivasi
untuk memiliki harga diri yang positif dan untuk ‘memelihara’ harga dirinya. Ia
mengidentifikasikan diri pada kelompok tertentu terutama yang memiliki berbagai kualitas
positif.
Menurut teori ini, perilaku kelompok menekankan adanya tiga struktur dasar. Struktur
pertama adalah kategorisasi, yaitu proses di mana individu memersepsi dirinya sama atau
identik dengan anggota lain dalam kelompok yang sama. Di samping individu memersepsi
dirinya memiliki identitas sosial yang sama dengan anggota tersebut, individu juga akan
bertingkah laku sesuai dengan kategori di mana ia termasuk di dalamnya. Kategorisasi ini
akan mendorong individu untuk menekankan kesamaan dengan sesama anggota yang
berada dalam kelompok yang sama, tetapi akan menekankan perbedaan dengan anggota
dari kelompok yang lain. Struktur kedua adalah identitas, yang dapat didefinisikan sebagai
‘13
7
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
citra diri, konsep diri, atau pemaknaan seseorang terhadap diri sendiri (Augoustinos dan
Walker, 1995; Hogg dan Abrams, 1990). Identitas merupakan hal yang penting karena
setiap individu memiliki dorongan kuat untuk menganggap bahwa dirinya baik dan memiliki
identitas serta harga diri yang positif. Menurut teori ini, individu juga dapat memperoleh
identitas sosial melalui keanggotaannya pada kelompok tersebut (Hogg dan Abrams, 2000).
Menurut Turner (1999), untuk mencapai dan mempertahankan identitas sosial yang
positif, individu cenderung mengutamakan kelompok sendiri (ingroup) dibandingkan
kelompok lain (outgroup). Hal ini dapat menimbulkan intergroup bias di mana individu
memberi penilaian yang tidak objektif untuk kelompoknya, cenderung untuk lebih
mengutamakan kelompok sendiri dan tidak mengutamakan kelompok lain (Augoustinos dan
Walker, 1995; Myers, 1996). Struktur ketiga dari proses kelompok adalah perbandingan
sosial. Penilaian seseorang tentang diri sendiri tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan
perbandingan dengan orang lain. Individu memaknai dan menilai dirinya berdasarkan
kelompok di mana ia berada serta individu biasanya menggunakan kelompoknya sendiri
sebagai acuan utama. Individu yang memiliki harga diri positif merupakan individu yang
menilai dirinya lebih baik dibandingkan orang lain. Individu juga memperoleh identitas sosial
melalui keanggotaannya pada kelompok tersebut (Hogg dan Abrams, 2000).
Teori ini dikembangkan berdasarkan studi Tajfel dan Turner yang dikenal dengan
istilah minimal group paradigm. Pada studi ini, sejumlah anak sekolah dibagi ke dalam
kelompok yang berbeda berdasarkan preferensi mereka terhadap lukisan yang lebih mereka
senangi (lukisan Klee atau Kadinsky). Mereka kemudian diminta membagi sejumlah uang
untuk anggota kelompok mereka sendiri atau anggota kelompok lain, tetapi tidak untuk
dirinya sendiri. Hasil studi Tajfel membuktikan bahwa anak-anak ternyata memberi lebih
banyak uang untuk anggota kelompoknya sendiri dan bukan untuk anggota kelompok lain.
Temuan studi ini membuktikan bahwa meskipun dalam kondisi minimal, individu tetap
membentuk kelompok, terlihat dari kecenderungan mereka untuk memberi jumlah yang lebih
banyak pada kelompoknya sendiri. Maksud dari ‘minimal’ di sini, meskipun individu tidak
mengetahui identitas kelompok sendiri maupun kelompok lain, tidak ada self-interest sama
sekali atau kelompok tersebut tidak mempunyai latar belakang sejarah sama sekali,
seseorang akan tetap membagi diri dan kelompok lain ke dalam dua kelompok yang
berbeda. Individu tetap mengategorikan dirinya dan orang lain ke dalam kelompok yang
berbeda. Temuan ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk
mengategorisasikan diri dalam kelompok tertentu.
Berbagai studi replikasi kemudian dilakukan untuk menguji kecenderungan ini
dengan menggunakan partisipan dari berbagai kelompok. Tajfel dan Billig (1973) membagi
kelompok ke dalam kategori X dan Y untuk membuat kelompok yang terbentuk semakin
‘minimal’ karena tidak didasarkan pada kesamaan minat atau pelukis. Alokasi sumber
dayanya dapat berupa uang, poin, ataupun pengukuran aspek sikap, afek, dan konatif dari
etnosentrisme. Temuan berbagai studi replikasi terhadap minimal group paradigm ini
menunjukkan hasil yang konsisten, yaitu penggolongan individu ke dalam kategori tertentu
dapat menimbulkan etnosentrisme dan tingkah laku kompetitif kelompok (Bourhis, Sachdev,
dan Gagnon, 1994).
Menurut teori identitas sosial, intergroup bias terjadi karena adanya kebutuhan
anggota kelompok untuk menilai kelompok sendiri-dan berarti dirinya sendiri-secara positif.
Bias ini dapat berupa (1) menampilkan perilaku diskriminatif dalam upayanya untuk
‘13
8
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
meningkatkan harga dirinya atau (2) individu yang tadinya memiliki harga diri yang rendah
(misalnya status rendah dan kelompok marginal) berusaha meningkatkan harga dirinya agar
mencapai tingkat ‘normal’.
Bukti tentang adanya intergroup bias terlihat pada studi yang dilakukan Taylor dan
Jaggi (1974). Mereka meneliti mengenai intergroup attribution bias pada dua kelompok di
India bagian selatan yang memiliki latar belakang konflik antara kelompok Islam dan Hindu.
Partisipan Hindu diminta untuk membayangkan seorang Hindu (ingroup) atau Muslim
(outgroup) melakukan tindakan yang secara sosial dapat diterima dan yang secara sosial
tidak dapat diterima. Kemudian, mereka diminta menilai sejauh mana tingkah laku tersebut
disebabkan oleh faktor internal atau eksternal/situasional. Ternyata, konsisten dengan
intergroup attribution bias, partisipan Hindu lebih memberikan atribusi internal pada tingkah
laku positif yang dilakukan orang Hindu daripada Muslim. Sebaliknya, mereka lebih
memberikan atribusi eksternal terhadap tingkah laku negatif yang dilakukan orang Hindu
dibandingkan tingkah laku positif yang dilakukan orang Muslim.
Intergroup bias dapat terlihat dalam berbagai macam bentuk. Salah satu bentuknya
adalah fenomena ultimate attribution error/attribution bias (kecenderungan untuk memberi
penjelasan secara bias), di mana individu cenderung memberikan penjelasan yang lebih
baik terhadap anggota kelompoknya dibandingkan kepada anggota kelompok lain (Baron
dan Byrne, 2002). Intergroup bias juga dapat timbul dalam bentuk outgroup homogeneity
effect yang merupakan kecenderungan kelompok untuk melihat anggota kelompok lain lebih
homogen dibandingkan dengan anggota kelompok mereka sendiri (Jones, Wood, dan
Quattrone, 1981; Linville dan Jones, 1980). Bentuk intergroup bias lainnya adalah black
sheep effect, yaitu suatu keadaan bila anggota kelompok melakukan tingkah laku yang
buruk dan dianggap menyimpang dari kelompoknya akan mendapat penilaian lebih buruk
dibandingkan hal yang sama yang dilakukan oleh anggota dari kelompok lain (Marque dkk.,
1988). Suatu bentuk intergoup bias yang agak khusus dan terkait dengan kritisisme
antarkelompok adalah intergroup sensitivity effect atau kecenderungan anggota kelompok
untuk lebih mau menerima kritik dari sesama kelompok sendiri dibandingkan dari anggota
kelompok lain.
Sebuah studi mengenai kesediaan menerima kritik (intergroup sensitivity effect) pada
atasan-bawahan (Melissa A, 2006) menemukan bahwa reaksi atasan ketika menerima kritik
ternyata berbeda pada saat ia menerima kritik dari sesama atasan (ingroup) atau dari
bawahannya (outgroup). Studi ini membuktikan adanya pengaruh dari keanggotaan sumber
kritik terhadap kesediaan menerima kritik. Kritik dari sesama atasan dianggap memang
ditujukan untuk kebaikan atasan sehingga cenderung disetujui. Mereka juga lebih mau
berubah berdasarkan kritik dari sesama rekan atasan tersebut dibandingkan ketika kritik
yang sama disampaikan oleh bawahannya. Namun, kritik dari sesama atasan dianggap
lebih menyinggung perasaan dibandingkan apabila berasal dari bawahan.
Di Indonesia, sebuah studi tentang intergroup bias pada pengguna jalan di Jakarta
(draft RUUI 08/09) menemukan adanya bias persepsi yang timbal balik antara pengemudi
kendaraan umum terhadap pengemudi mobil pribadi dan antara pengemudi kendaraan
umum terhadap pengendara motor. Pengendara motor dan mobil pribadi menganggap
pengemudi kendaraan umum mengakibatkan kemacetan jalan dengan berhenti
‘13
9
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
sembarangan mengambil penumpang dengan tidak memperhatikan keadaan, sebaliknya
pengemudi kendaraan umum merasa tidak dimengerti bahwa mereka butuh mencari sewa
dari penumpang. Pengemudi kendaraan umum justru menganggap pengendara motor yang
membahayakan penumpang mereka dan pengemudi mobil pribadi dianggap tidak
peduli/egois. Studi ini dilakukan terhadap sekitar 50 pengemudi kendaraan umum di Jakarta.
Hal yang menarik, dalam hal bias atribusi terhadap perilaku positif kelompok pengguna jalan
yang lain, pengemudi kendaraan umum tidak menunjukkan adanya penilaian yang bias.
Perilaku positif semua pengguna jalan (pengemudi mobil pribadi, motor, pejalan kaki,
polantas, dan pedagang kaki lima) diatribusikan kepada faktor internal. Namun, terhadap
perilaku positif kelompoknya sendiri, mereka juga mengatribusikannya pada faktor internal,
yang merupakan indikasi adanya bias atribusi. Terhadap perilaku negatif ingroup ataupun
outgroup, studi ini tidak menemukan indikasi adanya bias atribusi. Partisipan
mengatribusikan perilaku negatif ingroup maupun outgroup-nya pada faktor eksternal,
perilaku negatif yang ada dianggap disebabkan oleh berbagai kondisi yang ada di luar diri
pengguna jalan (aturan yang tidak jelas, macet, jalan buruk, hujan, dan lain-lain).
TEORI DEPRIVASI RELATIF
Apabila teori identitas sosial menekankan pentingnya peran motivasional individu
dalam perilaku kelompok yang ia tampilkan. Teori deprivasi relatif menekankan pada
pengalaman individu dan kelompok dalam kondisi ‘kekurangan’ (deprivasi) dan ‘kurang
beruntung’ (disadvantage). Konsep ini dikemukakan oleh Stouffler dkk. (1949) dalam studi
mengenai tentara Amerika Serikat. Mereka menemukan bahwa dalam kelompok air force di
mana banyak tentara yang mendapat promosi, justru lebih banyak tentara yang mengajukan
komplain dibandingkan dalam kelompok polisi, yang umumnya jarang memperoleh promosi.
Oleh karena di antara polisi tidak banyak yang memperoleh kenaikan pangkat, mereka tidak
merasa kekurangan (deprive) dan tidak merasa perlu mengajukan komplain pada
atasannya. Konsep ini kemudian dikembangkan menjadi lebih formal oleh Davis (1959) dan
didefinisikan sebagai persepsi terhadap adanya perbedaan (discrepancy) antara kenyataan
(what is) dengan harapan atau keinginan (what ought to be). Menurut Gurr (1970), keadaan
deprivasi relatif ini bersumber dari pembandingan antara pengalaman dengan harapan yang
dimiliki seseorang dan merupakan kondisi yang bersifat relatif. Kondisi deprivasi relatif
merupakan prakondisi yang sangat menentukan bagi terjadinya agresi antarkelompok,
seperti perilaku agresi kolektif atau riot.
Aplikasi yang terkenal dari teori ini adalah dalam menjelaskan Watt's riot, suatu
kerusuhan yang terjadi di Los Angeles pada tahun 1967. Pada saat itu, sedang musim
panas dan kondisi ini memfasilitasi terjadinya kekerasan kolektif. Menurut Berkowitz, dalam
kondisi di mana orang merasa bahwa kenyataan yang dihadapi berbeda dengan yang ia
harapkan (terdapat deprivasi relatif) banyak orang yang merasa frustrasi. Temperatur yang
tinggi pada musim panas (summer) memperkuat frustrasi yang dirasakan individu, terutama
pada daerah ‘slum’ di mana mereka tidak memiliki AC atau kipas angin. Agresivitas individu
menjadi meningkat, menyebar, dan melalui proses fasilitasi sosial dapat mengalami
transformasi menjadi kekerasan kolektif. Penjelasan deprivasi relatif juga dapat diterapkan
misalnya untuk kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, di mana pada saat itu masyarakat sangat
frustrasi terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia.
‘13
10
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
“Hostile media bias” dalam kaitan dengan pemberitaan konflik yang tinggi
Penelitian ini mengkaji tentang fenomena `hostile media bias" atau tentang sejauh
mana pemberitaan media dipersepsi sebagai bias, tidak objektif, dan berpihak. Meskipun
seseorang membaca, mendengar, atau melihat informasi yang sama, informasi tersebut
dipersepsi sebagai bias, berpihak pada ‘outgroup’, dan dianggap dapat memengaruhi
seseorang yang tadinya netral menjadi berpihak pada outgroup. Fakta bahwa berita yang
sama dinilai secara berbeda menunjukkan bahwa bias yang terjadi adalah bias persepsi.
Gunther (1992) menemukan bahwa keanggotaan pada kelompok merupakan prediktor
terbesar bagi apakah media akan dipersepsi secara bias.
Penelitian ini dilakukan pada periode tahun 2000-2004, saat konflik Ambon sedang
pada puncaknya. Konflik ini sering diberitakan dalam media sebagai konflik antara kelompok
Islam dan Kristen. Partisipan penelitian adalah 215 mahasiswa beragama Islam dan Kristen
dari 3 universitas di Jakarta. Partisipan diminta membaca sebuah artikel mengenai konflik
‘antar agama’. Artikel ini diambil dari sebuah koran, tetapi dimodifikasi dalam hal waktu,
tempat, dan pelakunya. Tiga kelompok mahasiswa membaca artikel tersebut dalam 3
kondisi, yaitu dalam koran ‘Islam’, koran ‘Kristen’, dan koran yang tidak berorientasi pada
kelompok agama tertentu. Hasil penelitian menunjukkan adanya kecenderungan ‘hostile
media bias’, tetapi hanya pada responden yang memiliki identifikasi tinggi pada agamanya.
Selain itu, ditemukan pula peran latar belakang media dalam memengaruhi bias persepsi
yang terjadi: artikel di persepsi sebagai memihak pada kelompok muslim apabila ditulis
dalam koran “Islam”, berpihak pada kelompok Kristen apabila ditulis dalam koran “Kristen”,
dianggap tidak jelas berpihak apabila ditulis dalam koran yang tidak terkait dengan agama
tertentu. Efek dari latar belakang ‘agama’ koran dimediasi oleh adanya ‘prior belief’ tentang
adanya bias.
Sumber: Disertasi oleh Ariyanto AA, School of Psychology, University of
Queensland, Brisbane tahun 2005
Runciman (1966 dalam Hogg, 1988) mengemukakan adanya dua macam deprivasi
relatif. Pertama adalah deprivasi relatif egoistik, yaitu perasaan deprivasi yang dialami
individu dalam hubungan dengan individu lain yang berasal dari kelompok yang sama
dengan dirinya. Misalnya, seorang guru yang membandingkan diri dengan guru lain yang
menurutnya lebih berhasil dan memperoleh banyak penghasilan dibandingkan dirinya.
Bentuk lainnya adalah deprivasi relatif fraternal, yaitu deprivasi relatif yang dirasakan
saat seseorang membandingkan dirinya dengan orang lain yang berbeda, yang berasal dari
kelompok lain. Misalnya, seorang guru, yang membandingkan diri dengan seorang
pengusaha. Guru tersebut merasa kekurangan karena si pengusaha memperoleh lebih
banyak penghasilan, status, maupun kekuatan yang dianggapnya jauh lebih banyak
dibandingkan dirinya.
Strategi meningkatkan hubungan antarkelompok. Kelompok yang berkonflik dapat
berusaha memperbaiki hubungan dengan yang lain, dengan membina komunikasi secara
langsung antara mereka. Komunikasi ini dapat dilakukan dengan cara negosiasi
(bargaining), mediasi (menggunakan perantara), atau arbitrase. Ketiga cara ini melibatkan
prosedur yang cukup kompleks karena melibatkan berbagai upaya untuk mengurangi
‘13
11
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
hambatan psikologis yang telah terbentuk agar dapat mencapai sebuah resolusi antara
kedua kelompok. Berbagai hambatan psikologis yang telah terbentuk antarkelompok selama
kelompok tersebut berinteraksi (misalnya harga diri, emosi, bias atribusi, ‘luka emosi’, ingkar
janji, dan lain-lain) mempersulit terbentuknya komunikasi yang baik dan efektif antara
kelompok yang berkonflik.
Negosiasi (Bargaining). Negosiasi antarkelompok biasanya dilakukan antara pihak
yang terlibat langsung dalam konflik yang terjadi. Misalnya, antara kelompok buruh dengan
pimpinan perusahaan, antara korban Lapindo dengan pihak Lapindo Brantas, dan lain-lain.
Negosiasi (bargaining) adalah proses resolusi konflik di mana perwakilan antara kedua
kelompok berusaha mencapai kesepakatan melalui negosiasi langsung. Pengalaman
mengenai negosiasi menunjukkan bahwa apabila kedua kelompok bernegosiasi langsung
atas nama kelompoknya, proses yang terjadi bisa cukup ‘keras’ dan sulit tercapai kompromi
daripada apabila mereka bernegosiasi semata-mata untuk dirinya sendiri. Suatu studi
menemukan bahwa proses negosiasi dapat menjadi lebih sulit apabila negosiator yang
terlibat menyadari bahwa mereka diawasi oleh anggota kelompoknya, baik secara langsung
ataupun melalui media. Negosiasi secara langsung antara perwakilan kelompok yang
bertikai juga menjadi cukup sulit dan kedua kelompok dapat menganggap bahwa mereka
sukar untuk bisa mencapai kompromi tanpa merasa kehilangan ‘muka’.
Mediasi. Untuk mengatasi ‘deadlock’, biasanya diminta bantuan orang atau pihak
ketiga untuk menjadi mediator antara kelompok yang bertikai. Agar efektif, mediator
seharusnya merupakan pihak yang memiliki ‘power’, dianggap tidak berpihak, dan kelompok
yang berkonflik sudah berada pada tahap yang ‘agak dekat’ satu sama lain. Apabila
mediator dinilai sebagai tidak objektif, berpihak, dan ‘lemah’, biasanya ia akan merupakan
negosiator yang tidak efektif. Namun, meskipun dianggap lemah, adanya mediator tersebut
tetap dapat menumbuhkan beberapa efek positif seperti:
-
mengurangi tekanan emosi bahwa perundingan yang dilakukan mengalami deadlock’;
-
dapat mengurangi kesalahan persepsi, menambah saling pengertian antarkelompok,
dan menumbuhkan ‘trust’;
-
membantu kedua kelompok untuk mengalah tanpa kehilangan muka;
-
mengurangi konflik intrakelompok dan membantu kelompok menemukan posisi mereka
dalam konflik yang terjadi.
Arbitrase. Arbitrase merupakan proses untuk mengatasi konflik dimana sebuah
kelompok yang dianggap netral diminta untuk menengahi dan mengembangkan ikatan
antara kelompok yang bertikai. Cara ini dianggap merupakan ‘upaya terakhir’ yang bisa
dilakukan untuk mengatasi konflik antarkelompok, setelah negosiasi dan mediasi tidak
berhasil mencapai resolusi konflik. Namun, kadangkala prospek dari sebuah arbitrase justru
dapat menjadi ‘melemahkan’ upaya yang telah dicapai karena pihak yang berpihak menjadi
terlalu berharap akan dicapai suatu kompromi yang baik. Oleh karena itu, kadang dilakukan
‘final-offer arbitrase’, di mana pihak ketiga kemudian memilih satu ‘upaya final yang
ditawarkan’ dalam upaya mendorong dicapainya posisi final yang lebih dapat diterima kedua
belah pihak.
‘13
12
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
KESIMPULAN
Hubungan antarkelompok terjadi apabila anggota dua kelompok atau lebih saling
berinteraksi, dan interaksi tersebut terjadi berdasarkan penghayatan anggota kelompok
tersebut pada kelompoknya atau seberapa kuat ia mengidentifikasikan diri pada
kelompoknya. Perilaku antarkelompok dapat melibatkan pertemuan yang tatap muka
maupun tidak, melibatkan interaksi, dan individu yang terlibat merasa bahwa dirinya
merupakan bagian yang terpisah dari kelompok lainnya. Beberapa teori yang dapat
menjelaskan perilaku antarkelompok ini adalah teori konflik realistik, teori identitas sosial,
teori authoritarian personality, dan teori deprivasi relatif. Beberapa upaya meningatkan
hubungan antara kelompok adalah melakukan negosiasi, mediasi, atau arbitrase.
Daftar Pustaka
Sarwono, S.W., & Meinarno, E.A. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika
‘13
13
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download