sakramen baptis - UNPAR Institutional Repository

advertisement
SAKRAMEN BAPTIS
Problematika Baptis Bayi
Oleh
Yusuf. Siswantara. S.S., M. Hum
Pene!itian Pustaka Pribadi dalam bidang Teologi Pastoral
Untuk Fakultas Filsafat
Falmltas Fisafat
Universitas Katolik Parahyangan
2010
Diketahui Oleh
Dr. Ign. Eddy Putranto, OSC., S.Ag., MA
Wakil Dekan I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan
Fakultas Filsafat
2
A. PENGANTAR
Saat mendengar kata "Sakramcn", dalam bcnak kita -tnnat katolik-, yang muncul
adalah tujuh sakramcn, cntah sebagai salah satu atau kcseluruhan sakramen (baptis,
pengakuan dosa, ckaristi, penguatan, perminyakan suci, perkawinan, dan tahbisan).
Sementara itu, umat Kristiani lainnya -Kristen Protestan, misalnya- hanya terbayang
dua atau tiga sakramcn saja. Di sini, dapat dilihat bahwa sakramen dipandang dan
dihayati secara berbeda oleh pengikut Kristus.
Baptis, sabh satu dari kctujuh sakramcn, pun tidak luput dari perbedaan
pandang dan penghayatan. Pcrbcdaan tersebut tampak, salah satunya, dalam
praktik baptis bayi. Bagi umal Katulik, baptis bayl harus dilaksanakan. Dan memang,
praktik ini dianjurkan bahkan diatur dengan serius oleh Gereja Katolik. Sementara
-.., -.. ·----------"~--- ..... " ..
--..-
itu, di lain pihak, praktik ini dikritik oleh Gereja Kristen dengal1 beriJi!gai___ ~--·-~·~-
.. "~------~---~-----------------·---·-----------·-"----------------·-----·---·-----------------·------------··----------------
----
..
argumentasi penolakannya. lnilah problematika baptis bayi yang ingin kita bahas
dalam makalah ini.
Pemhahasan problematika baptis bayi ini tidak bisa tidak mengajak kita untuk
melihat maksud dan makna sakramen-sakramen. Untuk itu, pertama-tama, arti dan
pemahaman sakramen hendak ditelusuri dengan ujung benang mcrahnya: relasi
kebersamaan dalam simbol antara yang ilahi dan yang manusiawi. Dari penelisikan
sejarah tujuh sakramen, sifat kebersamaan dan kesatuan sakramen ditampakkkan.
Sakramcn
bukanlah sakramen 'sckali
jadi', melainbn
sesuatu yang terus
berkembang, bergumul dan berproses bersama budaya dan lingkungan di luar
Gereja.
Sakramen lnisiasi terbentuk secara deflnitif setelah bergumul sekian lama. Dari
refleksi teologisnya, ditemukan kcbersaman dan kesatuan sarkamen inisiasi dengan
Allah Trinlter. Refleksi kesatuan itu menJIWaJ ketiga sakramen inisiasi. Pembahasan
mengerucut
pada
sakramen
baptis
dan
problematika
baptis
bayi.
Dalam
memandang dan menyikapinya, unsur kebersamaan dan keutuhan tetap menjadi
cara memahami persoalan. Demikian pula dengan baptis bayi. Baptis bayi dilihat
penting karena dengan baptis ia hidup dalam kebersamaan dalam keseluruhan,
yaitu: Allah, sesama, dan a lam.
3
B. SAKRAMEN-SAKRAMEN
l.
Peristilahan Sakramcn 1
a. Sacramentum
Kata sakramen (indo) berasal dari
kata Sacramentum (Latin). Kata
sacramentum ini berakar dari kata: sacr, sacer (kata benda) yang berarti:
suci, lingkungan orang kudus. Dan saCI·are (kata kerja) berarti menyukcikan,
mengkuduskan, atau mengkhususkan sesuatu bagi bicang suci. Sacramentum
menunjuk tindakan pcnyucian atau hal pengkhususan kepada bidang suci.
Sementara itu, dalam kebudayaan romawi, sacramentum digunakan untuk 2
pengertian: pertama, sump<1h pr<Jjurit yang mengabdikan diri kepada dewata
dan negara, dan kedua, uang jaminan atau denda dari pihak berperkara
-·-···--~- ------~ala!ll_k_uil _P~r~ ~ewa~_La~i,__~engan _jeias terli)J_~ ba~_\"<3_ sacramentum
melingkupi dua bidang sekaligus, yakni: bidang rohani (kesucian dan
kehudusan) serta bidang duniawi (uang jaminan dan sumpah prajurit).
b. Mysterion
Dalam penterjemahan
Kitab Suci, sacramentum digunakan untuk
engganti istilah mysterion (kata yunani yang mengganti istilah sod (ibrani)
atau raz (AramjPersia). Apa arti mysterion itu? Mysterion berasal dari my,
myein; artinya, menutup mata atau mulut sebagai reaksi atas pengalmaan
yang mengatasi nalar dan tida terungkapkan. Makna dasar kata ini
erhubungan dengan pengalaman akan Yang Ilahi. Begitu pulalah, kata
mysteria bertautan dengan hal yang tak terungkap (misteri).
Dalam
I<SPL,
mysterion
mengacu
pada
dinamika
Allah
yang
menyingkapkan atau menyatakan diriNya atau rencana penyelamantanNya
dalamsejarahmanusla (bdk.Daii . 2,.28'30.47), yar1gmengungkapkan rahasia
pada zaman yang akan dantang). Di sisi lain, KSPB menyatakan bahwa
pernyataan diri Allah dan seluruh rencana keselamatan-Nya itu terwujud dan
terpenuhi secara utuh dan penuh dalam diri Yesus Kristus. Untuk itu, dalam
perjanjian haru, mysterion senantiasa bersifat kristologis: kristus menjadi
pusatnya.
Martasudjita, E.P.D., Sakramen·sakramen Gereja, Yogyakarto, J(anisius: 2003, him. 61,
Bdk. O'Collins S}, (;era!J & Farrugia Sj, Edward D, f(amus Teologi, Yogyokarta, Kanisius: 1996, him. 283
4
c. Simpulan
Kata 'sakramen', pertama-tama, tidak menujuk pada ketujuh sakramcn.
lstilah sakramcn lchih mcnunjuk pada dua unsur pokok. Pertama, kata
mysterion menyentuh pada rclasi Allah (yang tidak terlihat) dan manusia
(yang terlihat), yang tak kelihatan dan yang kelihatan, rencana kcsclamatan
Allah dan penyingkapannya dalam sejarah manusia.
Kedua, kata mysterion berfokus pada keselamatan yang pnsatnya kristus.
Artinya, pcwahyuan dan rcncana kcsclamat;m Allah berpusat pada Yesus.
Sakramen mencakup apa saja yang memuat: unsur ilahi (pengalaman akan
Allah) dan unsur manusiu yang berupa pengalaman konkret-historis yang
menjadi simbolisasinya. z
2. Makna Sakramen
-~------------~-
-
- - - - - - - ------ - - - - - - - - -
----------------
--·--------------~-------~------~----
Dalam mengungkap maknanya, sakramen dilihat dari beberapa cara pandang,
yaitu: konsili Suci, Pandangan teologis dan Hukum Gercja.
a. Konsi/i Vatikan IJ3
Pemahaman Konsili Suci tentang sakramen tertuang dalam Konstitusi
tentang Liturgi Suci, Sacrosanctum Concilium, art. 59, 1-!akekat Sakramen. Di
sana,
dinyatakan
bahwa
sakramen-sakramen
dimaksudkan
untuk
menguduskan manusia, membangun Tubuh Kristus, dan mempersembahkan
ibadat kepada Allah. Sclain itu, sakramen mampu memupuk, meneguhkan,
dan mengungkapkan iman. Secara ringkas, sakramen dimaksudkan untuk:
l. Pengudusan manusia
2. Pembangunan tubuh Tuhan
3. Persembahan ibadat kepada Allah
4. Pemupukan, peneguhan, dahfJer1gllhgkaJ1at1iriiaiikri.5tialli.
b. Teologi Sakramcn4
Teologi sakramen mclihat sakramcn dengan beragam cara pandang atau
model. Model-model tcologi sakramen terscbut mcnyumbang kekayaan
pcmahaman tentang sakramcn. Di bawah ini, disampaikan bcbcrapa model
pemahaman tentang sarkamen, yaitu: perjumpaan, relasi sirnbolik, dan
persitiwa kornunikasi dalam kebersamaan.
(Martasudjita, EPD, Sakramen-sakraman Gcreja, Yogyakarta, 1\anislus: 2003).
Hardawiryana SJ, R (terj), Sacrosanctwn Conciliwn dalam Konsi/i Vatikan II, Jakarta, KWL 1993, art. 59
Martasudjita, ibid, hlm.126-13l
5
1. Mcclan Perjumaan dalam Simbol
Sakramen dipahami sebagai suatu wilayah 'perjumaan' atau pertemuan
personal-relasional antara manusia dengan Allah. Dalam sakramen itu,
Allah menyatakan keselamatan dan manusia menanggapi tawaran dialog
keselamatan Allah dalam Kristus. Perjumaan manusia (Gereja) dengan
Allah bukanlah perjumpaan langsung, melainkan berlangsung dalam
simbol.
L.
Realisasi Simbollman
Manusia tidak hanya memahami dirinya dan dunianya secara
diskursif (rasional-cmpiris). !a juga mekanai diri dan seluruh dunianya
dalam unsur transformatif-simbolis. Makna dan nilai hidup dicari melalui
____ _ -~-
~---
__ _ :;1m bol._~<<l["I_Ra~n::'__tlln}':r<J~<<lll_~a~l W<l__l1lantJ_Si<J_~elaksat1akan_dan -~­
mengungkapkkan dirinya selalu hanya dan melalui simbol karena
manusia itu tidak lain adalah simbol iduk dari seluruh simbol dan
lam hang yang ada.
Dalam wilayah simbol inilah, sakramen mendapat tempatnya.
Sakramen dipandang sebagai simbol-simbol yang melaluinya terjacli
pengungkapan dan pelaksanaan dari rclasi Allah dan man usia. Karena itu,
sakramcn dihayati scbagai simbol-real sebab mengungkapkan dan
mel<Jksanakan diri Gereja sebagai sakramen Kristus.
3. Medan Peristiwa Komunikasi dalam Kebersamaan
Sakramen dihayati scbagai pcristiwa kornunkasi. Di dalamnya,
terdapat tiga tokoh: pemberi, penerima, dan perantara (medium). Dalam
komunikasi tersebut, kedua pelaku (Allah dan manusia) bertindak ganda,
yaitu sehagai pemheri dan sekaligns penetilna. Semel1tai'illtu; sakiarrieri
menjadi perantara.
Dalam
sakramen,
Allah
adalah
sumber
yang
memberikan
kcsalamatan. Ia aktif mcndckati manusia. Di sisi lain, manusia adalah
pihak yang tidak tinggal diam (pasif). Dengan inisiatif-mandiri dalam
dirinya sendiri, manusia menanggapi tawaran Allah tcrsebut. Maka, clalam
pcrayaan sakramen, yang pertama dan terutama adalah komunkiasi dari
pihak-pihak yang tcrlibat, yaitu Allah dan manusia; sakramen adalah
perantara a tau medium keduanya.t komuniasi ini mendapat warn a dalam
6
kebersamaan. Sebabnya, komunkasi Allah-manusia bukanlah komunikasi
fungsional mclainkan komunkiasi personal. Maka, kata kunci lain untuk
mcmahami sakramen adalah kebersamaan atau hidup bersama. Di dalam
sakramen, komunikasi Allah dan manusia itu mencapai relasinya yang
personal dalam kebersamaan.
4. l<arya l<eselamatan Allah dalarn Yesus l<ristuss
Sakramen dapat dipandang sebagai suatu perayaan kesclamatan karena
absan dan isi sakramcn adalah peristiwa kcselamatan Allah dalam
l<ristus. Karcna alasan ini, umat berkumpul, menggunakan simbol dan
land;\; di sana Lenlapal pula persaudaraan dan dialog dari yang
menghaclirinya.
Pcrayaan
sakramen
merupakan
pengenangan
dan
··-··-···~····-··-·-·~·-·~~- ~- _ _ll?~~1ad~~l1_~mb~li_~arya~_:selam~.tan_.______ . __, ___ ._____ ._.---·-··-··- ~~
c.
Kitab Hukum Kanonik 6
Dalam !<anon Doktriner tentang sakramen (l<HK Kan. 840), dinyatakan
bahwa sakrarncn diadakan oleh Kristus Yesus dan dipcrcayakan kcpacb
Gereja-Nya.
Sakrarnen
dilihat sebagai
perbuatan
Kristus
dan
Gereja.
Scmentara itu, maksud adanya sakramen adalah sebagai sarana bagi
pengudusan manusia, penghormatan kepada Allah, pengungkapan dan
penguata.n irnan.
d. Simpulan
Makna sakramen berhubungan dengan relasi Allah clan manusia dalam
simbol. Pusat dari relasi simbolis ini adalah nilai kebersamaan atau hiclup
bersama. ·NiJal l!Yi rct~ganihili' dati. dua arah.
Pertamo, dari pihak Allah. Dalam relasi itu, Allah menyatakan dirinya
dalam kescluruhan rcncana keselamatan. Pewahyuan diri dan rencana
kesclamatan Allah tcrlaksana dan tcrwujud dalam sejarah urnat manusia,
yang secara pcnuh mernuncak clalam diri Yesus Kristus, sang Penyelamat.
Gereja rnenghadirkan clan rnelaksanakan di clalam sakramen-sakramen.
Martasudjita, ihid, him. 66
Hadiwikarta Pr, J (ed LeJjf J{iwb Nulwm Kononik, jakarta, Sekretariat KWJ: 1991, Kan. 840
7
Keduo, dari pihak manusia. Tindakan Allah itu mengundang manusia
untuk menanggapinya, yakni dalam penyerahan diri seutuhnya kepada Allah.
Di sini, terdapat komunikasi timbal-balik, yakni pengudusan manusia dan
persembaban kepada Allah. Komunikasi timbal-balik ini, oleh Gereja
dilaksanakan dalam sakramen-sakramen. Di dalam sakramen inilah, karya
keselamatan dirayakan. Perayaan keselamatan umat beriman berada dalam
kebersamaan. Di sanalah iman dipupuk dan dikembangkan.
3. Tujuh Sakraman Sebagai Sakramen Gereja
Seluruh pewahyuan Allah dalam scjarah
llllldl
manusia adalah demi
keselamatan umat manusia. Secara konkrit, keselamatan itu berada dalam
kesatuan a tau kebersamaan man usia dengan Allah. Dengan kelahiran-Nya, Yesus
hadir demi persatuan itu. Dalam diri Yesus, Allah turun dan menyapa manusia,
hidup bersama, dan solider dengan manusia. Dengan karnatian dan kebangkitanNya, Yesus mengangkat dan rnenyatukan man usia dengan Allah, Bapa-Nya.
Dalam Gercja-Nya, penyclamatan dalam kebersamaan itu terlaksana dalam
sakramen-sakramen Gereja. Melalui sakramen-sakramen, misteri penyelamatan
Allah dalam l<ristus itu dihadirkan dan berdaya guna. Dalam konteks inilah akan
dibicarakan: jumlah sakramen, sejarahnya, dan malma teologis.
a. jum!ah sakramen Gereja
Dalam Gereja Katolik, kita mengenal tujuh sakramen. Mengenai jumlah
sakramen ini, dipertanyakan: mengapa Gereja mempunyai tujuh sakramen?
Pertanyaan ini mendasarkandiri pada beberapa alasan:
1. Dalam gercja perdana, tidak ditemukan (atau bakhakn belum mengenal)
sakrarnan ,Yilng berjumlah tujun terscbut. Santo Petrus pun belum
rnengcnal jumlah tujuh tersebut.
2. Sakramen dalam Kitab Suci pun tidak menunjuk pada tujuh sakraman. KS
banya menunjuk pada unsur-unsur yang menonjol tentang sakramen,
yakni: 1) relasi yang ilahi dan yang manusiawi, dan 2) perwujudan atau
pelaksanaan rencana keselamatan Allah melalui Yesus dalam sejarah
man usia.
B
Sejak abad XJ/jX/11, karcna pcngaruh skolastik yang mcndefinisikan
segala sesuatu, sakramcn-sakramen diusahakan untuk didefinisikan secara
tegas dan jelas. Begitulah, secara rcsmi Konsili Lyon II (1274-) menerima dan
menetapkan tujuh sakramen. Hal yang sama dinyatakan oleh konsili Florenz
{1439) bagi orang Armenia (yang kembali ke pangkuan Gereja). Lalu, Konsili
Trente (154-7) menegaskan kembali ajaran Gereja mengenai tujuh sakramcn.
Ternyata,
keputusan
konsili·konsili
untuk
mencrima tujuh sakramen
disetujui dan diterima pula olch Gcrcja Timur yang sudah berpisah lama
dengan Gereja Roma.
c.
Maim a Tcologis Sakramen
Beberapa teologi mencoba menjclaskan jumlah sakramen yang tujuh itu.
Alexander Hales (124-S)membawa tujuh sakramen dengan mendasarkan diri
pada teks 2 Raja 5:10 tentang Naaman yang mandi tujuh kali bagi
kesembuhannya. Bonaventura (1274-) mcmaknai tujuh sakramen dalam
konteks pertempuran melawan dosa. Thomas Aquinas (1274-) membawa
sakramen daam pcmikiran teologis tentang sakramen. Baginya, sakramcn
cliadakan Allah untuk esembuhan jiwa. Sarana untuk itu adalah tujuh
sakramen suci.
Tcologi modern tidak lagi mendiskusikan mcngenai tujuh sakramen
sebagai jumlah keramat; tidak herkutat untuk membela jumlah sakramen.
Mereka menitik·beratkan refleksi tcologis tentang sakramen dengan kembali
kepada makna sakramentalitas biblis dalam terang Yesus Kristus sebagai
Sakraman induk atau pokok Dalam kerang ini, sakramen dilihat clan
clirefleksikan dalam karya keselamatan Allah bagi man usia.
Schillei.Jeeckx mereOeksikan ketujuh sakramen sebaga1 tujuh ·saat atau
persitiwa' utama hidup manusia. Karl Raimer meletakkan sakramen dalam
kerangka aktualisasi pelaksanaan tugas Gereja sebagai yang menghadirkan
Kristus. Teologi modern meretleksikan bagaimcma tradisi dan ajaran Gereja
mengenai tujuh sakramen tersehut memang sesuai dengan penga/aman
man usia secara antropologis.
C. SAKRAMEN INISIASI
1. Arti dan Malma lnisiasi
10
Proses inisiasi selalu tcrjadi dalam kehidupan kit:a sehari·harL Pada saat
metnasuki suatu lingkungan tertentu, misalnya universitas, seorang siswaji akan
melalui satu proses 'inisiasi', yakni OSPEI<. Contoh lainnya, seorang pcmuda yang
masuk suatu kelompok, mungkin akan disambut dengan 'Well come Party"
sebagai acara penerimaan anggota baru. lni juga merupakan bentuk inisiasi
dalam hid up.
I<ata 'inisiasi' berarkar dari kata inire, initiare, initiatio, initium. Artinya,
proses memasuki, bcrgabung ke dalam suat:u kelompok; berarti pula proses
memasukkan atau menerima seseorang ke dalam kelompoknya. Dalam proses
initiatio ini terdapat gerak sekaligus: 1) proses masuknya seseorang ke dalam
kelompok, dan 2) proses penerimaan kelompok atas masuknya anggota baru.
2. Sejarah Sakramen lnisiasi
Gereja Perdana tidak mengenal istilah inisiasi sebagai suatu konsep
pemikiran seperti dewasa ini; tetapi sudah mempraktikkan proses inisiasi ini
bagi anggota jemaat yang banl. Artinya, terdapat suatu proses upacara supaya
seseorang secara sungguh menjadi bagi;:.tn dari jemaat Gereja. Bentuk praktik
inisiasi Gereja Perdana ini rupanya tidak sarna atau tidak seragam. Suatu jemaat
melakukan proses inisiasi dengan membaptis; sementara itu jemaat yang lain
melakukannya dengan pembaptisan dan penumpangan tangan (sakramen
krisma).
Pada abaci pertama, Gereja bersentuhan dengan kultur dan dunia YunaniRomawi. !<arena sentuhan itu, unsur-unsur budaya dan kultur Yunani·Romawi
masuk ke dalam khazanah praktik kristiani. lstilhan inisiasi mulai dtet"ima dan
digunakan dalam tahap-tahap inisiasi. Cyrillus dari Yerusalem rnulai membuat
refleksi atas hubungan intern atas tabap inisiasi tersebut: baptisan, krimsa, dan
ekaristi. Tapi dalam praktiknya, sakramen inisiasi ini rnasih diberikan bersamasama. Tetapi mulai abaci IV JV, muncul praktik bahwa sakramen krisma
dipisahkan dari sakramen baptis. Sementara itu, pemberi sakramen krisma
mulai menjadi hak ist:imewa uskup.
Memasuki abaci Pertengahan, praktik inisiasi antara Gereja Barat dan
Gereja Timur mulai mengalami perbedaan. Gereja Barat meneruskan tradisi
pemisahan sakr;unen Krisma dan Baptis; Gereja Tirnur kembali kc praktik tradisi
11
Gereja Perc!ana yaitu pcnyatuan kctiga sakramcn inisiasi (sakramen baptis,
krisma dan ckaristi dibcrikan bcrsama-sama).
Dewasa ini, Gereja menyadari kqnbali kcsatuan sakramen ..inisiasL Untuk
itu, Konsili Vat:ikan II meneguhkan dan mcngajarkan unsur kcsatuan sakramensakramen inisiasi itu. Para Bapa Konsili Vatikan II mengajarkan: "Uparacara
Krisma hendaknya ditinjau kembali juga supaya tampak lebih jelas hubungan
erat sakramen itu dcngan seluruh inisiasi Kristiani (SC. Art. 71). Maka, secara
urnurn, Cereja rnenekankan untuk memperlihatkankesatuan ketiga sakramen
inisiasi.
Penekananini
"Sakrarnen~sakramcn
dirumuskan
dalam
Kitab
Hukum
Kanonik
1983:
permandian, penguatan, dan ekaristiti suci terjalin satu
sama lain sedcmikian rupa sehingga dibutuhkan untuk menghasilkan inisiasi
~~~~···········-···~·-···-~k~ri~str~·a~niyang utuh (Kan 842 §~:Q,_.~~~
3. Teologi Sakramen Inisiasi
Secara antropologis, orang melihat sakramen inisiasi, yakni baptis,
krisma, dan ekaristi sehagai proses kehidupan: lahir, tumbuh, dan dewasa.
Namun, sccara tcologis, sakramen··sakramen inisiasi ini berpusat pada kesatuan
pcrutusan triniter, yaitu perutusan dalam Allah Tritunggal maha kudus.
Pcrutusan ini terdapat dua gerak: 1.) Bapa mengutus Putra dalam Roh Kudus.
Dalam perutusan Putra, Bapa melaksanakan dan mcwujudkan kesalam3t3n
dalam sejarah manusia. I<arya keselamatan itu mcmuncak dalam diri Yesus
Kristus. 2) Bapa dan Putra mengutus Roh Kuc!us bagi Gcreja. Dama perutusan
Roh Kudus, Allah Bapa membuat dan mcnjamin karya keselamatan-Nya tctap
hadir dan tinggal dalam Gcreja bagi seluruh dunia dan man usia.
Yesus hadir dan bersatu dengan kita manusia. Maka, perutusaan
inkarnatif Yesus cocok bertemu dalam baptisan. Dalam baptis, secara eksplisit,
kita disatukan dengan Kristus dalam keutuhan. Tctapi, persatuan ini (baru)
hanya mungkin terjadi karena penyertaan Roh kudus yang kita terima.
Penerimaan Roh Kudus ini secara eksplisit terdapat dalilm sakramen Krisma.
Dengan demikian, sakramen baptis dan l<risma tidak dapat dipisahkan.
Kesatuan itu terscmpurnakan dalam sakramcn ckaristi sendiri. Dalam Ekaisti
pulalah, kedua perutusan Putra dan Roh 1\udus mengalami puncaknya, yaitu
12
dalam kcmatian dan kebangkitan Kristus. Di situlah, karya keselamatan
terlaksana secara pcnuh, utuh, dan dcfinitif.
jadi, melalui sakramen Raptis, kita dipcrsatukan dengan seluruh hidup
Yesus Kristus yang diutus oleh Bapa. Melalui sakrramen penguatan (I<risma],
kita dipersatukan dengan Roh I<udus yang diutus oleh Bapa dan Putera.
Akhirnya, melalui Ekaristi, kita mengalami seluruh karya penyelamatan Allah
bapa melalui putra·Nya Yesus I<ristus dalam Roh I<udus ini secara sakramental
a tau dalam bcntuk simbol istimcwa, yakni dalam rupa roti dan anggur.
D. S/\.I<R/\.MEN BAPTIS
1. Peristilahan 'Sakrarnen Baptis'
I<ata 'baptis' berasal dari kata baptizein, baptisma (Yunani]. 1\.rtinya,
membenamkan,
mcncemplungkan, menenggelamkan ke dalam air, entah
seluruhnya atau sebagian saja. Kata ini biasanya digunakan dalam KSPB.
Persoalannya adalah dari mana kcbiasaan ini muncul?
Tradisi
menggunakan
Israel sudah rnengenal aneka upacara pentahiran dengan
air,
cnt:ah
percikan
atau
mandi
(menenggelamkan
diri).
Pent:ahiran atau pembersihan diri ini harus dilakukan oleh seorang yang
menyentuh mayat, orang yang berpenyakit kusta, a tau lainnya. Dalam proses ini,
orang menenggelamkan diri dalam aliran air. Tradisi ini telah dilakukan
berabad-abad, turun-temurun.
Selanjutnya, tradisi ini digunakan oleh kelornpok Eseni (seperti kelompok
Qumran]. Dalam pembaptisan mereka memandang diri scbagai kelompok
terpilih. Dalam ritusnya, mereka rnenenggelamkan diri sendiri ke dalam air
(yangmengalir).··Ha!··ini·dilalmkan juga hagiorangnowYalmdiyangmarrmenjadi
warga Yahudi. Yang menarik di sini adalah bahwa ritus 'inisiasi' dengan
mencnggelarnkan diri ini dilakukan olch diri sendiri. Selain penenggelarnan diri,
ritus inisiasi lain (yang jauh lebih penting] adalah sunat.
Yohanes Pembaptis melakukan hal yang sama sekaligus berbeda. Dalam
melaksanakan tugas profetisnya, Yohanes juga mengadakan penenggelaman
(scperti adat dan tradisi). lnilah kesamaannya. Tetapi dalam pembaptisan,
Yohanes Pembaptislah yang rnenenggelamkan orang ke dalam sungai Yordan.
Artinya, orang lainlah yang melakukan proses inisiasi; bukan diri sendiri. lnilah
13
·~·~·~····
perbedaannya. Baptisan Yohanes dilakukan olch orang Jain (Yohanes sendiri)
dan sifat khasnya adalah pcmbaptisan pcrtobatan. Dalam hal inilah, Yesus pun
mcnjalani pcmbaptisan Yohanes.
Yesus memberikan diri dibaptis oleh Yohens di awal karya-Nya. Ada dua
alasan mengapa Yesus (mau) dipabtis. Pertama, Yesus juga menempatkan diri
sebagai pribadi yang ikut menantikan kedatangan I<erajaan Allah pac!a akhir
zaman. Kedua, Yesus mau menunjukkan solic!aritas pac!a bangsa-Nya yang
membutuhkan penyelamatan c!ari Allah.
Bagi Gereja, pcristiwa pembaptisan Tuhan ini dijac!ikan c!asar bagi
pcmbaptisan anggota Gereja (selain perintah Tuhan scndiri supaya scmua orang
c!ipatis dalam nama Bapa, Puu·a, dan Roh I<uc!us). Dengan c!emikian, baptisan
yang dilakukan oleh Gereja berakar pada seluruh pengalaman iman I<ristiani
---···~····~·--·-·-···~--·--~---~····~·-·····-~~-·-·~-··-·-···
akan Tuhan Yesus Kristus. 13aptisan Kristiani adapat dilangsungkan dengan
bertolak dari apa yang dibuat Yesus: membiarkan diri dibaptis.
2. Makna Baptis
Beberapa makna baptis dari refleksi teologis adalah sebagai berikut:
a. Baptisan sebagai tanda iman.
Maksudnya, dalam suatu pembaptisan, di satu sisi, diandaikan adanya iman
dalam diri orang itu; di sisi lain, iman yang telah bersemi itu harus
ditumbuhkan dan dikembangkan dalam seluruh hic!upnya.
b. Baptisan sebagai penyerupaan pada Yesus Kristus
Artinya, dengan dibaptis, kita bcrgerak masuk ke dalam misteri Tuhan Yesus.
Kita turut berpartisipasi dan mengambil bagian c!alam seluruh hic!up dan
nasib ··Kristus; Kita menjadi···serupa dengan Kristus dalann;cluruhhidup dan
nasib-Nya.
c. Baptisan sebagai pengampunan dosa
Seperti kata St. Petrus: "Bertobatlah dan hendaklah kamu ... dibaptis dalam
nama Yesus Kristus untuk pcngampunan c!osamu" (Kis 2: 38) dan "Berilah
dirimu diselarnatkan c!ari angkatan yang jahat ini (Kis 2: 39). Baptisan
membawa orang pac!a pengampunan dosa. Dengan dibaptis, c!osa orang
dihapuskan.
d. Baptisan sebagai pengkanmiaan Roh Kudus.
14
Melalui baptis, kita akan mendapat pengampunan dosa dan anugerah Roh
I<udus (Kis 2: 4.8-11). Dengan karunia Roh I<udus ini, kita mengalami Paskah,
yakni pengalaman akan Yesus Kristus yang bangkit dan menyelamatkan kita,
seperti dialami oleh para muriel.
e. Baptisan sebagai pemersatuan diri kita kc dalaam satu tubuh mistik.
Melalu baptis, Gereja membangun dan tumbuh. Hubungan dari orang-orang
yang dibaptis itu tidak hanya berkatian dengan penambahan jumlah
ktwntitatif saja, tetapi juga yang Iebih penting Iagi: memasukkan orang ke
dalam relasi orang Kristiani yang memiliki martabat yang sama dan hidnp
dalam satu tubuh.
f.
Baptisan sebagai karunia hidup baru.
~- _ _ ~-~ ~~-~Y~h~ane~'s~Ia~h _)'ang meng_e_m_b~a11g~k~ar~1~gaga_:san baptisan sebagai kelahiran baru~-~~~·---~·.
Dan percakapan dengan Nikodemus, Yesus menyinggung soal tersebut: " ...
jika seorang tidal< dilahirkan dari Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam
Kerajaan Allah" (Yoh 3: S-7). Baptis membuat orang dilahirkan kembali
dalam
Roh.
Ia
dikarumai
hidup
baru
dan
sepanjang
hidupnya
ia
mewujudkannya dalam gaya hidup dan tindakannya sehari-hari.
3. Problcmatika Baptis Bayi. 7
a. Problem Baptis Bayi
Problem baptis bayi muncul saat orang mempertanyakan praktik baptis bayi.
Apakah baptis bayi tidak melanggar hak assasi manusia, walau itu adalah
anak-anok kita sendiri? Secara teologis, dipersoalkan dan dipertanyakan
relasi iman dan baptis bayi. Anak-anak belum bisa beriman secara pribadi;
lalu, bagaimana anal< tersebut dibaptis; padahal belum bisa beriman?
Bukanlmh··· baptisan itzr mengandaikoil··· ittlatl? Melihaf har TtLC cirang
mengusulkan: apakah tidak lebih baik bahwa anak-anak dibiarkan tumbuh,
dan setelah dewasa dipersilahkan memilih sendiri iman kepercayaannya.
Bagaimana problematika ini dijawab oleh Gereja?
b. Sejarah
Gereja Perdana (KSPB) tidak memberi petunjuk baptisan bayi. Pada masa
selanjutnya, Tertulianus (220) dan Origenes (253) baru menunjukkan secara
Marlosudjita, E.P.D., ibid, hlm. 235-239.
1.5
cksplisil adanya praktik baptis bayi. Pada masa mercka, baptis bayi sudah
lazim dan bahkan diakui scbagai warisan tradisi apostolik
Pacla abad V, praktik baptis bayi suclah umum dan tersebar eli manamana. Hal ini tidal< terlepas clari pertikaian clengan kaum pelagianisme.B
Dalam pertikaian itu, St. Agustinus membuktikan bahwa bayi clilahirkan
clengan dosa Adam (dosa asal). Selanjutnya, ditegaskan St. Agustinus, bahwa
dengan baptis, scorang bayi dilepaskan dari dosa asal tersebut. St. Agustin us
juga membcdakan dosa asal (peccatum origenalc) dan dosa pribadi
{peccatum morale).
Apa yang diajarkan St. Agust:inus didukung oleh
daH
uileguhkan uleh
Konsili Karthago (41B), Konsili Lateral IV (1215), dan Konsili Trente (16241627). Dengan demikian, secara eksplisit, Gereja telah menegaskan dan
~~~~
-~·~··~~-~·
··~·--·~~~~
~~~~~-~~~--~-
mendukung praktik dan makna baptis bayi. Dan, walaupun dari kaum
reformator dan gereja Anabaptis sampai dengan teolog besar Karl Bart
menolaknya, praktik baptis bayi masih dilaksanakan oleh Gereja Katolik.
c.
Argumcntasi-Argumentasi
Gercja sudah tidak lagi mempersoalkan dan memperdebatkan soal apakah
Gereja harus membaptis bayi. Gereja justru sudah yakin bahwa Gereja harus
membaptis semua orang, tennasuk hayi. Tetapi, menghaclapi problem baptis
bayi, Gereja tctap harus memberi jawab atau argumentasi tinclakannya.
Untuk itu
perlu
kita
Iihat argumentasi
penolakan dan artumentasi
penerimaan Gereja soal baptis bayi.
1. Penolakan
Ala san penolakan baptis bayi adalah sebagai berikut:
a. lmanadalah····tindakan pengakuanterhadap··· wahyu Allah setata
pribadi. !man adalah urusan pribadi dan bukan urusan orang lain. Bayi
bclum bisa melakukan hal-hal tersebut secara pribadi dan personal.
Maka, baptis bayi ditolak.
b. Baptisan mengandaikan pewartaan dan pemahaman terlebih dahulu.
Dalam praktik baptis bayi, pewartaan dan pengakuan iman tidak ada.
Bayi Iangsung dibaptis begitu saja. jadi, Baptis bayi tidak bisa
dilaksanakan.
n
Pelagianisme adalah aliran yang menolak bahwa scorang bayi itu lahir dengan membawa dosa Adam.
16
~~~·-··--···
c.
!man
adalah
tindakan
yang
menuntut
tanggung
jawab
dan
mensyaratkan kebebasan pribadi. Dalam perkembangan kepribadian
moral Lawence Kohl berg, scorang bayi bclum bisa bcrtanggung jawab
dan belum bisa menentukan tindakannya sendiri. Dengan dcmikian,
baptis bayi tidak mungkin terjadi.
2. Pcndukungan
Para pendukung atau pencrima praktik baptis bayi mcmbcrikan alasan
a tau dasar pencrimaannya sebagai berikut:
a.
lm:m tidak bi:;a diccmpitkan scbagai urusan pribadi semata. Struktur
dasar manusia adalah eksistensi-bersama. Hal ini memungkinkan
warisan generasi pendahulu ke generasi selanjutnya; misalnya: adat,
pengelahuan, bahasa. !man ada dalam suatu komunitas manusia.
Bukan urusan pribadi.
b. Model iman tidak bisa disempitkan sebagai hasil pcwartaan semala.
!man adalah suatu proses yang tidak bisa 'sekali jadi'. !man
mcngandaikan suatu pcrtumbuhan dan perkembangan. Maka, bukan
hanya iman yang membawa orang kcpada pembaptisan, melainkan
juga baptisan mampu membawa orang kepada iman dengan segala
proses pertumbuhannya.
c.
!man adalah suatu rahmat. !a bukan sekedar usaha manusia, sekcdar
hasil keputusan bebas, mandiri, personal-pribadi dari sescorang.
Schab, tinrhkan manusia tidak bisa dilepaskan dari campur tangan
Allah; tcnnasuk di dalamnya pcrsoalan iman. Tcntang iman, manusia
hendaknya· mcmnhonrahmat itu supaya Allah····menambahkannya
sendiri. Tepatnya, rahmat iman membutuhkan komunikasi dan
kesatuan relasi manusia dengan Allah, bukan hanya keputusan
man usia belaka.
d. Pertimbangan kondrat manusiawi. Manusia bisa bertumbuh atau
minimal bertahan hidup dan tidak mati dengan cara makan. Tanpa
makan-minum, manusia mati. ltulah kodrat manusia. Andaikan kita
menggunakiln prinsip kebebasan, mandiri, keputusan dan sebagainya,
maka apakah kita akan membiarkan dan tidak akan memberi makan
17
kcpada bayi kit<1 sampai ia sendiri memutuskan dan mcngatakan
bahwa ia ingin makaifl 13oyi pun horus diboptis seperti io horus diberi
malwn supaya hidup, bail< secara jasmani ataupun rohani, bail< ia
meminta CW!lUi!Wklwzminta.
4. KHK ten tang Sakramcn Baptis Bayi
Bagaimana I<itab Hukum 1\anonik rnelih;It masalah ini7 Sccara cksplisit, Kitab
Hukum I<anonik (I<HK) mcnunjukkan beberapa titik tentang baptis bayi. Dalam
uraian berikut, kita akan melih;It pandangan Ccrcja dalam rumusan hukumnya.
a.
Pcmbaptisan bayi hendaknya dilaksanjakan sesegera mungkin. Kanan 867 §
1 menyatakan bahwa baptis bayi hendaknya dilal<ukan dalam minggu~~~~---~~-~~-----~·~-
minggu pertama a tau scgcra scsudah kclahiran anaknya.
b. Pembaptisan bayi dibutuhkan persiapan secukupnya bagi orang tua sang
bayi. [{anon 867 § 1 juga menyatakan bahwa sehelum kelahiran pun,
hendaknya orang tua lllengl1adap pastor paroki untuk meminta sal<ramen
bagi anaknya.
Dengan
demikian
diharapkan
orang tua
dipersiapkan
selayaknya. Kanan 851 § 2 menegaskan bahwa orang tua dan wali baptis
hendal<nya diberitahu tugas dan kewajiban yang melekat pada dirinya.
Dcngan demikian, ditegaskan bahwa bayi yang sudah dibaptis tidak
dibiarkan sendirian. Ia berada dalam l<esatuan dankebersamaan dengan
sesama (dalam hal ini adalah orang tua). Maka, ia mcmbutuhl<an bimbingan
dalam langkah hid up bNimannya.
c.
Baptisan bukanlah tindakan sekali saja, melainkan suatu proses panjang yang
semakin bertumbuhdan berkembang. Pandangan·ini· terlihatdalam Kanan
867 § 2. Dalam sisi, dikatakan bahwa pembaptisan bayi dapat dilai<sanal<an
jika ada harapan bahwa anak itu akan dididik dalam agama I<atolik; jika
harapan itu tidal< eida, baptis bayi ditunda. jelaslah bahwa baptis bayi
merupakan suatu proses pertumbuhan iman. Dalam lingkungan dimana ia
hidup-lah, yang akan menuntun dan mendukungnya untuk berkembang dan
bertumbuh. Sebab, bcriman berarti beriman dalam proses, yaitu hidup
bersama dengan orang lain
18
d. Kcsclamatan jiwa mcndapat perhatian pcrtama. Untuk itu, baptis bayi tctap
dilaksanakan mengingat bahwa tindakan it:u sangat penting bagi kcsclamatan
jiwa yang bcrsangkutan. Dalam kasus dimana anak akan mcninggal,
pengguguran, atau bayi buangan, baptis bayi hendaknya diberikan. Hal itu
tcrlihat dalam Kanon 867 § 3, yang mcnyatakan bahwa anak yang akan mati
hcndaknya dibaptis meskipun orang tua tidak sctuju. Dipertegas oleh kanon
870, bahwa bayi yang dibuang hendaknya dibaptis, kecuali sudah dibaptis.
Lalu, kanon 871 mengatakan bahwa bayi kcguguran, jika hidup, scdapat
mungkin dibaptis.
Sangat tcrasa bahwa KHK mcncgaskan bctapa pentingnya baptis sedemikian
rupa schingga sedapat mungkin bayi kritis pun dibaptis. Baptis mcnyclamatkan
~~~~--~~~··iwB~)afl;!oenyelamatanjtwatit!ai(:'{,isa·dittmde~·i:nmla+agi·:·
5. Reksa Pastoral
Dengan mclihat paparan di atas, kit8 mcngetahui bahwa baptis bayi mempunyai
dasar historis dan teologis yang kuar. Untuk itu, para gembala umat hendaknya
tetap mclcstarikan Tradisi Suci Gereja, yaitu Baptis Bayi. Dalam menghadapi
berbagai pihak yang mempertanyakan praktik ini, kita mcmpunyai dasar yang
culmp kuat untuk tetap melaksanakan baptis bayi. I<HK malah mendesak kita
untuk membaptis 'bayi yang seperti apapun' dcmt penyelamatan jiwa. Kepada
umat, hendaknya bisa diberi penerangan dan dasar baptis bayi tersebut sehingga
umat sendiri tidak mcngalami kebingungan dalam melaksanakan baptis bayi.
Dcngan pasti dan yakin, mantap dan berdasar, orang tua membaptis bayi
mereka: dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus.
1<J
DAFTAR PUSTAKA
1. Martasudjita, EPD., 2003, Sakramen-sakramen Cereja, Yogyakarta, Kanisius.
2. O'Collins SJ, Ccr<J!d & Farrugia
~;J,
Edward C, 199G, Kanws Teologi, Yogyaka1ta,
Kanisius.
3. Hardawiryana SJ, R (Penterjemah), 1993, Sacrosanctum Concilium dalam f{onsili
Vatikan II, jakarta, KWI.
4. Hadiwikarta Pr, j (Editor), 1991, Kitah Hukum Kanonik, jakarta, Sckrctariat KWI.
5. Bcbcrapa pendukung (website a tau buku]:
a. hl1Jl;LJid.wikipedia.orgjwiki /Baptisan
&
http: //id.wikipeg_@m:g/wiki /lnisiasi
b. llttpJjwww.imankatolik.()Lid/5"'1kranlcnbaptis.html
-~-G,--:lld:cti:h';LL-katedr-almakassil1'>hteg;;:j?f!H:-em/-20±7{H+jsilkmmen·baptttrla+am··
gcreja-katolik.html
d. http: //www.kaj.or. id I dokumenJ.sakramen -sakramcn /sakramen · ba ptis
a. Kennedy, David J, 2008 Eucharistic Sacra mentality, in an Ecumenical Context,
The Anglican Epic/esis, Ashgate Publishing Company, USA.
20
Download