Keberagaman kompleks gender dan seksualitas di

advertisement
Keberagaman kompleks gender
dan seksualitas di Indonesia
(Dédé Oetomo)
Matatimoer Institute 2017
Keberagaman kompleks gender
dan seksualitas di Indonesia1
Dédé Oetomo
Yayasan GAYa NUSANTARA
[email protected]
Sepanjang sejarah berbagai masyarakat di Kepulauan Nusantara, konstruksi sosial
gender senantiasa beraneka ragam, tidak melulu lelaki dan perempuan saja.
Individu yang terlahir sebagai jantan (lelaki biologis) tidak semuanya tunduk pada
konstruksi gender lelaki secara sosial-budaya. Mereka memilih atau mengkonstruksi
sendiri perilaku dan identitas gendernya, dan masyarakat pun dengan berbagai
derajat toleransi atau penerimaan mengenali mereka sebagai banci atau kedi
(Melayu), bandhu (Madura), calabai (Bugis), kawe-kawe (Sulawesi umumnya), sara
siwe (Bima), wandu (Jawa) dan istilah-istilah lainnya yang belum semuanya dikenali
bahkan oleh para peneliti gender dan seksualitas pun, namun memang ada dan
dikenali oleh masyarakat setempat. Belum lagi adanya orang-orang yang interseks,
yang dalam derajat tertentu memiliki (sebagian) ciri-ciri kelamin biologis lelaki
dan/atau perempuan dalam berbagai kombinasi, yang acapkali disebut juga dengan
istilah-istilah tadi.
Pada beberapa masyarakat adat, tidak saja penerimaan yang terjadi pada
orang-orang yang menyeberang gender atau memadukan dua atau lebih gender
dalam dirinya: ada pranata-pranata (institusi) yang secara signifikan melibatkan
orang-orang macam itu, seperti bissu di masyarakat Bugis, yang dahulu menjaga dan
memelihara arajang (pusaka kerajaan) di lingkungan istana, dan hingga kini pun
masih menjadi perantara manusia dengan para dewata, yang membantu Allah,
Tuhan yang Esa; atau basir di masyarakat Dayak Ngaju, yang juga menjadi
perantara antara dunia ini dengan dunia para arwah nenek-moyang; atau tadu
mburake pada masyarakat Toraja Pamona, yang memimpin ritus-ritus spiritual; atau
para seniman pertunjukan tradisional yang memerankan gender yang lain, seperti
pada ludruk di Jawa Timur.
Secara lebih terbatas, umumnya karena androsentrisme (virisentrisme) dunia
ilmu pengetahuan kita, kita kenal juga dengan konstruksi gender orang-orang yang
secara biologis perempuan (betina), tetapi mengkonstruksi perilaku dan identitas
gender yang sesuai atau lebih mirip konstruksi gender lelaki. Masyarakat Bugis
Naskah acuan untuk Sekolah Kritik Budaya, Matatimoer Institute, Jember, 18 Mei 2017. Untuk
uraian yang lebih lengkap, periksa Dédé Oetomo, “Homoseksualitas di Indonesia,” dlm Memberi Suara
pada yang Bisu (Yogyakarta, Galang, 2001), hal. 30–36. Informasi tambahan dan kerangka pikir seks
dan gender mengenai bissu dan gender-gender lain pada masyarakat Bugis diperoleh dari Sharyn
Graham, “Sulawesi’s Fifth Gender,” Inside Indonesia (www.insideindonesia.org) 66 (April–June 2001),
hal. 16–17.
1
1
Keberagaman kompleks gender
dan seksualitas di Indonesia
(Dédé Oetomo)
Matatimoer Institute 2017
mempunyai nama calalai untuk orang-orang macam ini, dan pada masyarakat Bima
dikenal juga istilah sara siwe, tetapi pada masyarakat-masyarakat lainnya,
walaupun orang penyeberang gender macam ini dikenal, tidak ada istilah yang
dipakai untuk menyebut mereka. Kadang istilah seperti banci dipakai untuk
menyebut orang-orang ini juga. Dalam budaya nasional kita pun dikenal identitas
gender waria (wadam), dan sampai batas tertentu, tomboi. Belakangan mulai
muncul identitas gender priawan dan lelaki transgender (trans man). Sebagian
masyarakat merancukan identitas gender ini dengan identitas seksual macam
homoseks/gay atau lesbian, dan memang acapkali terjadi tumpang-tindih antara
identitas gender dan orientasi/identitas seksual seperti ini bahkan di kalangan waria
maupun gay/lesbian sendiri. Belakangan ini ditengarai juga mulai timbulnya
orangorang beridentitas biseks, namun wacana sosial di seputar ini masih terbatas di
masyarakat kita.
Menengok berbagai masyarakat adat, dalam rekaman sejarah, kita temukan
juga hubungan seksual dan/atau emosional antarlelaki, baik di antara mereka yang
sebaya maupun yang beda usia (transgenerasi). Apakah di Atjeh di kalangan
ulëëbalang (umumnya dengan budak belian dari Nias) maupun di lingkungan
perdagangan di pantai timur dan barat di masa lampau, di Minangkabau (induak
jawi—anak jawi) dalam konteks kehidupan di surau, di Ponorogo (warok, warokan,
gemblakan) dalam konteks ilmu kanuragan dan kesenian reyog, di pesantrenpesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur (mairilan, amrot-amrotan) serta Madura
(laq-dalaqan) dalam konteks kehidupan nyantri/nyantre, maupun di beberapa
budaya Melanesia dalam konteks ritus inisiasi anak laki-laki, hubungan antarlelaki,
dengan berbagai pemaknaan sosial-budaya, memang ada, termasuk hubunganhubungan “biasa” (artinya, tidak dalam konteks ritual tertentu) seperti di Jawa dan
Bali, umpamanya. Yang signifikan adalah bahwa hubungan itu hampir senantiasa
terjadi bersamaan dengan maupun disusul oleh pernikahan atau hubungan dengan
perempuan atau kadang-kadang juga individu semacam waria.
Dalam budaya nasional kita, di mana dikenal pranata waria, juga cukup
banyak lelaki yang menjalin hubungan seksual dan/atau emosional, baik kasual
maupun lebih permanen, dengan waria. Dalam berbagai kasus anekdotal pun kita
temukan perempuan (baik yang beridentitas lesbi maupun tidak) yang menjalin
hubungan dengan waria, baik dalam pernikahan sah (karena warianya dipandang
lelaki oleh agama dan hukum) maupun di luarnya.
Kembali kiranya karena androsentrisme ilmu pengetahuan, belum banyak yang
kita ketahui tentang hubungan antarperempuan dalam berbagai masyarakat adat
kita. Pernah dicatat adanya warok perempuan dan gemblakannya di Ponorogo,
namun tampaknya tidak banyak. Di dunia pesantren budaya Jawa dan Madura
ditengarai juga ada hubungan antarsantri perempuan, yang disebut dengan istilah
2
Keberagaman kompleks gender
dan seksualitas di Indonesia
(Dédé Oetomo)
Matatimoer Institute 2017
sihaq atau musahaqah. Sebagaimana pada hubungan antarlelaki tadi, perlu
dicamkan bahwa hubungan antarperempuan ini berjalan bersamaan dengan atau
disusul oleh hubungan dengan gender lain, apakah itu dalam pernikahan atau tidak,
dan unsur kesukarelaan acapkali tidak relevan, terutama untuk perempuan ini,
mengingat sifat pernikahan yang cenderung masih didasarkan pada anggapan
bahwa perempuan tidak sepatutnya berkehendak bebas dan seksualitas.
Di masyarakat modern tentunya kita kenal hubungan seksual dan/atau
emosional antarperempuan, baik oleh mereka yang mengenal konsep lesbian atau
tidak. Ditengarai di kalangan perempuan yang bekerja di industri seks, di kalangan
buruh pabrik dan buruh migran, terutama di Hong Kong, juga cukup banyak terjadi
hubungan macam ini, yang baru sedikit dikenal oleh dunia ilmu pengetahuan.
Pendek kata, dapatlah dikatakan bahwa konstruksi gender dan seksualitas di
masyarakat-masyarakat Nusantara maupun masyarakat Indonesia masa kini adalah
teramat kompleks dan beragam. Kaum ilmuwan, aktivis sosial, maupun anggota
masyarakat sendiri, seringkali masih tidak tahu atau sengaja membisukan (karena
berbagai alasan: moralitas, rasa risih, kemalasan berpikir) kenyataan yang rumit
dan kaya ini. Mereka yang berpretensi menekuni bidang kajian gender pun
cenderung hanya mewacanakan isu-isu perempuan (dengan hampir secara kategoris
melupakan kaum lesbian maupun kemungkinan perilaku biseksual, maupun
acapkali enggan membahas perempuan dalam industri seks dengan berbagai
kompleksitasnya),
sehingga
akhirnya
kajian
gender
di
Indonesia
hanyalah
merupakan istilah lain untuk “kajian perempuan,” serta tidak memproblematikkan
maskulinitas. Konstruksi teoretis gender mereka pun umumnya tidak menangkap
kemungkinan kompleks kecairan, kehibridan dan liminalitas gender. Orang-orang
yang sama juga cenderung tidak memperhatikan seksualitas, selain dalam wujud
perilaku reproduksi atau perkosaan dan tindak kekerasan lainnya. Juga yang kurang
diperhatikan adalah kompleksitas berbagai dimensi hubungan seksual dan/atau
emosional: perbedaan anatomi (termasuk difabilitas), kebangsaan dan etnisitas,
kelas sosial, keterlibatan uang dan materi lainnya, serta dimensi-dimensi relasi
kuasa lainnya.2
Untuk kajian komprehensif mengenai hal ini, periksa Tom Boellstorff, The Gay Archipelago: Sexuality
and Nation in Indonesia (Princeton, Princeton Univ. Press, 2005), diterjemahkan [oleh Esti Sumarah]
sebagai The Gay Archipelago: Seksualitas dan Bangsa di Indonesia ([Jakarta: Qmunity, 2009]).
2
3
Download