nilai sosial, budaya, dan religius dalam tradisi mekotek di desa adat

advertisement
NILAI SOSIAL, BUDAYA, DAN RELIGIUS DALAM TRADISI MEKOTEK DI
DESA ADAT MUNGGU, KECAMATAN MENGWI,
KABUPATEN BADUNG
ARTIKEL
OLEH
NI PUTU AGUSTINA PUTRI JAYANTI
NIM: 0914041017
JURUSAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2013
NILAI SOSIAL, BUDAYA, DAN RELIGIUS DALAM TRADISI MEKOTEK DI
DESA ADAT MUNGGU, KECAMATAN MENGWI,
KABUPATEN BADUNG
Oleh:
Ni Putu Agustina Putri Jayanti
Drs. I Nyoman Pursika, M.Hum
Drs. I Ketut Sudiatmaka, M.Si
Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) latar belakang tradisi mekotek;
2) tata cara pelaksanaan tradisi mekotek; 3) makna yang ada dalam tradisi mekotek
ditinjau dari nilai sosial, budaya, dan religius; 4) pandangan masyarakat dan generasi
muda terhadap tradisi mekotek yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Adat
Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung.
Penelitian ini menggunakan pendekatan study etnografi dengan metode
kualitatif. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh masyarakat dan generasi muda
di Desa Adat Munggu. Sampel penelitian adalah pandangan tradisi mekotek yang
terdapat di Desa Adat Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan peneliti dalam memperoleh data yang akurat
dan relevan dalam kajian penelitian, peneliti perlu menentukan informan. Penentuan
informan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara snowball sampling (bola salju).
Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan: 1) Metode observasi atau
pengamatan; 2) Metode wawancara; 3) Metode studi dokumen. Data yang terkumpul
dianalisis dengan menggunakan analisis data deskriptif kulitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya nilai sosial, budaya, dan
religius dalam pelaksanaan tradisi mekotek. Nilai sosial pelaksanaan tradisi mekotek
terlihat dari interaksi atau komunikasi antar warga desa, terdapatnya partisipasi
masyarakat yang sangat tinggi, adanya unsur kebersamaan, rela berkorban,
kekeluargaan dan gotong-royong, serta pengendalian diri dari tiap-tiap individu. Nilai
budaya pelaksanaan tradisi mekotek ialah adanya penambahan wawasan ilmu
pengetahuan mengenai sejarah budaya mekotek, serta adanya tanggung jawab bagi
masyarakat Desa Adat Munggu dalam menjaga dan melestarikan kebudayaan yang
telah diwariskan oleh leluhur. Nilai religius dapat dirasakan dari unsur magis yaitu
adanya kesurupan/kerauhan yang diyakini oleh warga Desa Adat Munggu, jika
tradisi mekotek tidak dilaksanakan dikhawatirkan akan menimbulkan bencana yang
besar, seperti: kematian, kekeringan yang mengakibatkan gagal panen dan “gerubug”,
serta keributan di Desa Adat Munggu, sehingga desa pun tidak kondusif.
Kata Kunci : Nilai Sosial, Nilai Budaya, Nilai Religius, Mekotek
ABSTRACT
This research aimed to to know 1) tradition background of mekotek;
2) procedures execution of tradition of mekotek; 3) existing meaning in tradition of
mekotek evaluated from social value, culture, and is religion; 4) society view and the
rising generation to tradition of mekotek executed by Countryside custom society of
Munggu, District of Mengwi, Sub-Province of Badung.
This research use approach of ethnography study with method qualitative.
Population of this research is entire the rising generation and society in Countryside
Custom of Munggu. Sampel Research is tradition view of mekotek which there are in
Countryside Custom of Munggu, District Of Mengwi, Sub-Province of Badung.
Technique intake of used by sampel is researcher in obtaining accurate data and
relevant in research study, researcher require to determine informan. Determination
of informan in this research is conducted by sampling snowball (snowball). Research
data collected by using 1) Observation method or perception 2) Interview method 3)
Method Study document. gathered to be data to be analysed by using descriptive data
analysis of kulitatif.
Result of this research indicated that the existence of social value, culture, and
religion in execution of tradition of mekotek. Social value of execution of tradition of
mekotek was seen from communications or interaction between countryside citizen,
there were very high society participation him, existence of togetherness element,
volunteer hold the bag, familiarity and cooperate, and also selfcontrol from every
individual. Cultural value of execution of tradition of mekotek was the existence of
addition of science knowledge concerning cultural history of mekotek, and also the
existence of responsibility to Countryside custom society of Munggu in taking care of
and preserve culture which have been endowed by ancestor. Religion value can be
felt from magical element that was existence of kesurupan/kerauhan believed by
Countryside custom citizen of Munggu, if tradition of mekotek did not be executed, it
would generate big disasters, like: death, dryness resulting to fail and crop"gerubug",
and also hub in Countryside custom of Munggu, so that countryside even also would
not kondusif.
Keyword : Social Value, Cultural Value, Religion Value, Mekotek.
1. PENDAHULUAN
Perbedaan prinsip dan pendapat dalam kasus adat mengakibatkan terjadinya
konflik. Menurut Prista, 2011 “konflik diartikan sebagai percekcokan dan
perselisihan”. Salah satu contoh konflik yang dimaksud seperti pertikaian antara
warga satu dengan warga lainnya dalam satu Desa. Adanya konflik mengakibatkan
Desa tidak kondusif, sehingga akan menghambat upaya pembangunan Nasional.
Dalam upaya pembangunan Nasional diperlukan suatu perwujudan harmonisasi
dalam konsep Tri Hita Karana, yaitu hubungan manusia dengan manusia
(pawongan), hubungan manusia dengan alam (palemahan), dan hubungan manusia
dengan Tuhan/Sang Hyang Widhi Wasa (parhyangan).
Dalam mewujudkan karakteristik kearifan lokal pada masyarakat diperlukan
dalam menjaga dan melestarikan kebudayaan yang telah ada. Kebudayaan merupakan
pengetahuan manusia sebagai mahkluk sosial. Ini dimaksudkan pengetahuan tidak
diperoleh manusia lewat warisan genetika yang ada dalam tubuhnya, melainkan
diperoleh lewat kedudukan manusia sebagai mahkluk sosial.
Kebudayaan Bali merupakaan perpaduan yang utuh antara tradisi Bali asli
dengan agama hindu. Bali juga tidak pernah lepas pada keyakinan dan tradisi-tradisi
yang dianggap menjadi suatu mitos bagi masyarakat setempat. Bali memiliki daya
tarik tersendiri baik dari segi keindahan alamnya, keramahan dari masyarakatnya,
serta adat-istiadat yang memiliki ciri khas tersendiri.
Kehidupan masyarakat Bali berkaitan dengan sosial budaya termasuk dalam
cara berpikir maupun bertindak, serta selalu berpedoman pada nilai dan norma yang
berlaku di masyarakat. Selain itu, yang berkaitan dengan religius
masuk dalam
pagelaran kesenianya. Ini dapat dirasakan dari unsur magis yaitu adanya kesurupan
atau kerauhan yang diyakini oleh masyarakat setempat, jika tradisi mekotek tidak
dilaksanakan dikhawatirkan akan menimbulkan bencana.
Hampir semua kegiatan keagamaan hindu di Bali merupakan pencerminan
dan realisasi dari budaya-budaya yang telah ada. Salah satu contoh keanekaragaman
kebudayaan di Pulau Bali adalah tradisi mekotek yang dilakukan di Desa Adat
Munggu. Warga Desa Adat Munggu telah meyakini unsur magis yang ada dalam
pelaksanaan tradisi mekotek dari tahun 1946 hingga sekarang. Apabila tradisi mekotek
tidak dilaksanakan, dikhawatirkan akan menimbulkan dampak negatif bagi warga
Desa Adat Munggu.
Tradisi mekotek memiliki keunikan sebagai pertunjukkan yang hanya terdapat
di Desa Adat Munggu, ini dikarenakan desa yang lain tidak memiliki sejarah yang
sama dengan Desa Adat Munggu. Tradisi mekotek hanya dilaksanakan setiap hari
Sabtu (Saniscara) Kliwon Wuku Kuningan tepatnya pada hari Raya Kuningan.
Adanya pengetahuan mengenai sejarah budaya mekotek yang perlu kita ketahui
sebagai generasi penerus bangsa. Di dalam pelaksanaan tradisi mekotek terdapat
pantangan bagi para peserta, yaitu bagi warga yang mengalami cuntaka atau sebel
dilarang ikut menjadi peserta pelaksanaan tradisi mekotek.
Tradisi
mekotek
juga
memiliki
ketertarikan
tersendiri,
di
dalam
pelaksanaannya tidak mengenal batas usia maupun golongan untuk menjadi peserta
pelaksanaan tradisi mekotek. Selain itu, tradisi mekotek juga dapat membuat badan
menjadi sehat dan kuat karena dalam pelaksanaanya peserta melakukan permainan
tradisional yang dapat mengeluarkan keringat. Di samping itu,
peralatan yang
digunakan dalam pelaksanaan tradisi mekotek menggunakan alat berupa kayu pulet.
Kayu pulet ini biasanya ditemukan atau berada di Desa Adat Munggu.
Manfaat dari pelaksanaan pertunjukkan tradisi mekotek ialah untuk
menetralisir keadaan Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit di Desa Adat Munggu.
Sementara, apabila tradisi mekotek tidak dilakukan oleh masyarakat setempat akan
menimbulkan bencana besar yang disebut dengan istilah “Gerubug” atau istilah
lainnya mendapatkan penyakit secara keseluruhan yang dirasakan oleh semua
masyarakat Desa Adat Munggu. Tradisi mekotek juga bermafaaat untuk melestarikan
kebudayaan yang telah diwariskan dari nenek moyang kita terdahulu agar tradisi
mekotek tetap lestari dan ajeg.
Dari latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa rumusan
permasalahan, yaitu (1) Apa yang melatar belakangi adanya tradisi mekotek di Desa
Adat Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung? (2) Bagaimana pelaksanaan
tradisi mekotek di Desa Adat Munggu? (3) Apa makna yang terkandung dalam tradisi
mekotek ditinjau dari segi nilai sosial, budaya, dan religius? (4) Bagaimana
pandangan masyarakat dan generasi muda terhadap tradisi mekotek yang terdapat di
Desa Adat Munggu?
2. METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini digunakan rancangan deskripsi dengan pendekatan studi
etnografi, metode kualitatif. Lokasi penelitian ditetapkan di Desa Adat Munggu,
Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Populasi adalah suatu kelompok individu
atau unsur-unsur yang memiliki kesamaan ciri-ciri yang merupakan sumber data yang
diteliti. Berdasarkan rumusan masalah yang diangkat oleh peneliti, peneliti
menentukan populasi untuk menetapkan penelitian ini ialah seluruh masyarakat dan
generasi muda yang berada di Desa Adat Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten
Badung. Sampel merupakan bagian dari populasi yang menjadi subjek sesungguhnya
dari suatu penelitian. Sampel dari penelitian ini adalah pandangan tradisi mekotek
yang terdapat di Desa Adat Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan peneliti dalam memperoleh data yang
akurat dan relevan dalam kajian penelitian, peneliti perlu menentukan informan.
Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara snowball sampling
(bola salju).
Dalam penelitian ini digunakan beberapa metode pengumpulan data yang
relevan untuk menunjang proses penelitian yaitu: 1). Menurut Agung (2011:55),
metode observasi ialah suatu cara memperoleh data dengan jalan mengadakan
“pengamatan dan pencatatan” secara sistematis tentang sesuatu objek tertentu. 2).
Metode wawancara merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan cara
melakukan tanya jawab yang sistematis, dan hasil tanya jawab ini dicatat atau
direkam secara cermat (Agung, 2011:56). 3). Metode studi dokumen ialah teknik
pengumpulan data yang dilakukan dengan mengadakan telaah terhadap sumbersumber kepustakaan atau dokumen.
Dalam penelitian ini dilakukan langkah yang sistematis untuk menyusun data
yang telah diperoleh dalam beberapa tahapan. Data yang terkumpul dianalisis dengan
menggunakan analisis data deskriptif kulitatif. Menurut Agung (2011:61), metode
analisis deskriptif kualitatif ialah suatu cara analisis/pengolahan data dengan jalan
menyusun secara sistematis dalam bentuk kalimat atau kata-kata, kategori-kategori
mengenai suatu objek (benda, gejala, variabel tertentu), sehingga akhirnya diperoleh
kesimpulan umum. Dengan cara membandingkan teori atau sumber yang ada, serta
melakukan kajian pustaka. Dalam melakukan analisis translit data, klasifikasi data,
dan interprestasi data untuk mendapatkan kesahihan data yang diperoleh. Penulis
menggunakan metode triangulasi data, yaitu mengecek atas informasi data yang
diperoleh.
3.1 HASIL PENELITIAN
3.1.1 Latar Belakang Adanya Tradisi Mekotek di Desa Adat Munggu
Diawali dengan zaman Kerajaan dahulu kala, Raja Mengwi
berkuasa di
daerah Mengwi sampai ke daerah Desa Adat Munggu. Dengan rencana akan
menjajah Kerajaan Blambangan yang berada di Pulau Jawa. Untuk
persiapan
tersebut, Raja Mengwi sembahyang dan memohon doa restu di Pura Dalam Wisesa
Desa Adat Munggu bersama seluruh rakyat dan pepatihnya dengan upakara caru
kerbau yang kulinya dipakai titi mahmah. Atas anugrah Ida Sang Hyang Widhi Wasa
yang beristna di Pura Dalam Wisesa Desa Adat Munggu. Beliau diberkahi suatu
tombak dan tameng yang berguna sebagai senjata untuk melawan Raja Blambangan
di Pulau Jawa.
Singkat cerita, Raja Mengwi dapat menaklukan Raja Blambangan. Raja
Mengwi kembali pulang ke tanah Mengwi beserta rakyat yang saat itu ikut serta
ke Blambangan. Setibanya di tanah Gilimanuk (di tanah Pulau Bali) rakyat Raja
Mengwi saling serang antar temannya sebagai wujud rasa kegembiraan dan
kemenangan yang dapat menaklukan Raja Blambangan.
Beliau pun bersumpah dan berkata, akan mengadakan kegiatan Mekotek atau
upacara “Ngerebeg” di wilayah Desa Adat Munggu setiap Saniscara (Hari Sabtu)
Kliwon Wuku Kuningan yang bertepatan pada hari Raya Kuningan. Pelaksanaan
mekotek hanya dilaksanakan pada hari Raya Kuningan .
Tradisi mekotek atau upacara “ngerebeg” ini mulai dilaksanakan pada tahun
1934. Dengan mengelilingi seluruh wilayah Desa Adat Munggu, serta memohon
(menunas) tirta di setiap pura yang ada di sekitar wilayah Desa Adat Munggu oleh
seluruh warga Desa Adat Munggu, baik kaum perempuan dan kaum laki-laki tanpa
memandang usia maupun golongan.
Pada tahun 1940 ketika kedatangan penjajah dari Belanda, mekotek atau
upacara “ngerebeg” yang menggunakan tombak dan tameng digantikan dengan
menggunakan kayu pulet yang berisikan daun pandan berduri, serta jejaritan
tamiang. Hal ini dilakukan oleh warga Desa Adat Munggu untuk menghindari
anggapan adanya serangan dari warga Desa Adat Munggu melawan penjajahan
Belanda. Masyarakat Desa Adat Munggu takut keluar karena membawa tombak dan
tameng yang dikira akan menyerang Belanda, maka masyarakat Desa Adat Munggu
mengganti tombak dan tameng dengan menggunakan kayu pulet yang berisikan daun
pandan berduri, serta jejaritan tamiang.
Pada tahun 1946 Mekotek atau upacara “ngerebeg” pernah tidak terlaksana
akibat adanya wabah penyakit cacar yang mengakibatkan masyarakat Desa Adat
Munggu menjadi “gerubug”, serta Pura Khyangan Desa Adat Munggu menjadi
“sepung” atau kotor. Dengan adanya kesibukan masyarakat untuk mengobati wabah
penyakit cacar, maka tradisi mekotek atau upacara “ngerebeg” tidak dilaksanakan.
Akibat dari tidak terlaksananya prosesi tradisi mekotek menimbulkan sebuah bencana
yang besar, seperti: kematian yang terus menerus terjadi, kekeringan yang
mengakibatkan gagal panen, serta keributan di Desa Adat Munggu, sehingga desa
pun tidak kondusif. Dengan banyaknya musibah yang terjadi, maka diadakanlah
rapat Prajuru Adat. Dalam rapat tersebut diputuskan bahwa mekotek atau upacara
“ngerebeg” harus tetap terlaksana pada setiap hari Raya Kuningan tanpa mengenal
adanya hujan, panas dan kesibukan-kesibukan lainnya.
Warga Desa Adat Munggu dalam melakukan kegiatan mekotek atau upacara
“ngerebeg” menggunakan kayu pulet dengan ukuran panjang 3 m, diujung kayu
pulet diberikan daun pandan berduri dan digantungkan hiasan jejaritan tamiang yang
dilakukan hingga saat ini. Mekotek juga telah menjadi sebuah tradisi bagi masyarakat
Desa Adat Munggu. Adapun makna yang terkandung dalam alat yang digunakan
pada prosesi tradisi mekotek atau upacara “ngerebeg” .
3.1.2
Pelaksanaan Tradisi Mekotek Di Desa Adat Munggu
Adapun pelaksanaan tradisi mekotek ini, antara lain:

Tradisi mekotek ini dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Desa Adat Munggu
baik itu dari pihak kaum laki-laki maupun kaum perempuan, namun bagi yang
sedang mengalami cuntaka atau sebel dilarang untuk ikut dalam pelaksanaan
tradisi mekotek.

Adanya rapat prajuru adat untuk menentukan mekanisme dalam pelaksanaan
tradisi mekotek. Setelah itu, dilakukan pembagian kelompok dari 12 banjar
adat Desa Pakraman Adat Munggu yang telah dibagi menjadi 4 kelompok
masing-masing kelompok terdiri dari 3 Banjar Adat yang dilaksanakan secara
bergiliran.

Adanya persiapan banten pensucian yaitu banten biukaon yang bermakna
untuk mensucikan peralatan yang akan digunakan dalam pagelaran tradisi
mekotek.

Khusus bagi peserta tradisi mekotek mempersiapkan peralatan berupa kayu
pulet, berisi jejaitan tamiang dan daun pandan yang berduri dan menggunakan
pakaian adat madya. Sementara, bagi pengiring menggunakan pakaian adat ke
pura dan membawa benda-benda pustaka suci, seperti: tedung, canang,
tombak, tameng, dan banten.

Kegiatan tradisi mekotek ini dilaksanakan mulai pukul 14.00 sampai 16.00
wita. Setelah selesai di Pura puseh dan Desa langsung menuju Pura Dalam
Wisesa, dan mengelilingi Desa Adat Munggu. Berakhir di Pura Puseh dan
Desa, dalam perjalaan melewati Pura Khyangan Tiga peserta selalu diperciki
tirta ini bermakna sebagai keselamatan dan ketentraman. Selain dengan
diperciki tirta oleh para Mangku Khyangan Tiga, terdapat juga pihak
keselamatan dari pihak Kepolisian, Hansip, dan Pecalang.
3.1.3 Makna Tradisi Mekotek ditinjau dari Nilai Sosial, Budaya, dan Religus
Tradisi mekotek yang ada di Desa Adat Munggu memiliki makna yang
terkandung dari nilai sosial, budaya, dan religius, adalah sebagai berikut:
a. Makna tradisi mekotek dilihat dari nilai sosial yaitu:
 Adanya komunikasi/interaksi warga Desa Adat Munggu yang terjalin dengan
baik. Ini terlihat ketika melakukan wawancara dengan salah satu karang
truna-truni dari Banjar Pempatan yang menyatakan adanya tradisi mekotek
dapat menyatukan atau mempertemukan/reunian dengan muda-mudi/karang
taruna-truni dari banjar lainnya yang masih menjadi satu desa.
 Adanya unsur kebersamaan yang terlihat saat pelaksanaan tradisi mekotek
dilakukan oleh semua warga Desa Adat Munggu tanpa adanya batas usia
maupun golongan.
 Adanya unsur rela berkorban, ini terlihat dari seluruh warga masyarakat yang
berkorban demi kepentingan bersama diatas kepentingan pribadinya, yaitu
bersedia meluangkan waktu dalam persiapan pelaksanaan tradisi mekotek.
 Terdapatnya unsur kekeluargaan dan gotong-royong yang terlihat dalam
pelaksanaan tradisi mekotek yang mampu mengurangi sifat-sifat manusia
yang kebanyakan bersifat individualisme maupun egoisme.
 Masyarakat juga mampu dalam mengendalikan diri, serta tidak mudah
tersinggung, maupun dihasut oleh orang lain, yang dapat menimbulkan
kerugian-kerugian atau konflik. Ini terlihat saat pelaksanaan tradisi mekotek
berlangsung ketika menyatukan kayu-kayu pulet yang dibawa warga, ketika
jatuh/mebriyuk menimpa salah satu warga, bagi warga yang terkena jatuhan
kayu pulet tidak memiliki rasa marah maupun dendam.
b. Makna tradisi mekotek dilihat dari nilai budaya yaitu adanya penambahan
wawasan ilmu pengetahuan mengenai sejarah budaya mekotek, serta adanya
tanggung jawab bagi masyarakat Desa Adat Munggu dalam menjaga dan
melestarikan kebudayaan yang telah diwariskan oleh nenek moyang terdahulu.
c. Makna nilai religius dapat dirasakan dari unsur magis yaitu adanya
kesurupan/kerauhan yang diyakini oleh warga Desa Adat Munggu, jika tradisi
mekotek tidak dilaksanakan dikhawatirkan akan menimbulkan bencana yang
besar, seperti: kematian, kekeringan yang mengakibatkan gagal panen, serta
keributan di Desa Adat Munggu, sehingga desa pun tidak kondusif.
3.1.4 Pandangan Masyarakat dan Generasi Muda terhadap Tradisi Mekotek
Berdasarkan pandangan masyarakat luar, serta pandangan dari generasi muda
yang ada di Desa Adat Munggu menyatakan adanya tradisi mekotek dapat
membangun hubungan yang harmonis antara individu-individu lainnya dalam
kehidupan di masyarakat. Antusias dari masyarakat Desa Adat Munggu dalam
prosesi pelaksanaan tradisi mekotek sangat tinggi, baik itu dari usia muda sampai
dengan usia tua. Khusus pada masyarakat Desa Adat Munggu sendiri menyatakan
bahwa adanya tradisi mekotek merupakan suatu kewajiban bagi masyarakatnya untuk
tetap menyelenggarakan dan melestarikan guna menjaga keseimbangan dalam konsep
ajaran agama hindu yaitu Tri Hita Karana. Menjaga tradisi warisan leluhur nenek
moyang dan menghargai pengorbanan beliau karena dapat memperebutkan daerah
kekuasaan dari tangan Raja Blambangan.
Adanya kewajiban yang mendatangkan hak. Hak yang diterima oleh
masyarakat Desa Adat Munggu setelah
pelaksanaan tradisi mekotek adalah
kesejahteraan dan ketentraman, kesuburan dalam bidang pertanian, kesehatan bagi
masyarakatnya, serta dapat menanamkan akhlak dan budi pekerti yang luhur sesuai
dengan nilai-nilai pancasila.
Bagi muda-mudi/karang truna-truni di Desa Adat Munggu menyatakan
adanya suatu keyakinan dan tanggung jawab yang penuh dalam memutuskan ikut dan
tidaknya menjadi peserta pelaksanaan tradisi mekotek. Dengan menjadi peserta dalam
prosesi pelaksanaan tradisi mekotek dapat sedikit tidaknya meningkatkan interaksi
sosial sesama manusia, serta adanya rasa gembira untuk berkumpul dengan mudamudi/karang truna-truni dari banjar lainnya dalam satu Desa Adat Munggu.
Pandangan masyarakat dari luar Desa Adat Munggu (wisatawan mancanegara
maupun domestik) terhadap tradisi mekotek ini adanya unsur kerjasama secara nyata
yang terlihat melalui panca indra. Adanya unsur hiburan yang bagus dan unik. Unsur
hiburan yang dimaksud adalah baik penonton maupun pelaksanaan dari masyarakat
Desa Adat Munggu terhadap tradisi mekotek ini merasakan kenyamanan, sehingga
hati menjadi senang. Sementara itu, unsur unik yang dimaksud yaitu perasaan ingin
tahu tentang asal-usul tradisi mekotek.
3.2 PEMBAHASAN
Pada dasarnya tradisi mekotek merupakan sebuah kebudayaan yang dianggap
sebagai bagian dari kearifan lokal masyarakatnya. Tradisi mekotek sangat memiliki
peran penting dalam kehidupan sosial kemasyarakatan bagi Desa Adat Munggu
karena dalam pelaksanaannya tradisi mekotek banyak mengandung fungsi nilai-nilai
sosial (pandangan Drs. Suparto sebagaimana dikutip oleh Budiyanto, 2004:42).
Fungsi nilai sosial dalam tradisi mekotek ini terlihat dari antusias dari warga
masyarakat Desa Adat Munggu yang sangat tinggi dalam prosesi persiapan dan
pelaksanaan tradisi mekotek (tingkat solidaritas yang tinggi). Tradisi mekotek juga
memiliki fungsi nilai (Budiyanto, 2004:40) yaitu sebagai pelindung yang dikenal
dengan konsep Tri Hita Karana, sebagai alat dalam pemersatu, serta pendorong
untuk berperilaku yang sesuai dengan ajaran agama hindu.
Tradisi mekotek tetap dilakukan karena adanya peran dan manfaat yang besar
yang dirasakan oleh warga Desa Adat Munggu. Manfaat itu sangat terlihat dan
terbukti saat tradisi mekotek pernah tidak dilakukan oleh masyarakat Desa Adat
Munggu yang mengakibatkan timbulnya bencana yang besar, seperti: kematian
“gerubug”, kekeringan dalam bidang pertanian yang mengakibatkan gagal panen,
serta keributan di Desa Adat Munggu yang menjadikan kondisi Desa tidak kondusif.
Adanya musibah tersebut warga tidak berani lagi untuk tidak melaksanakan prosesi
tradisi mekotek. Tanpa mengenal hujan, panas, dan kesibukan-kesibukan lainnya
tradisi mekotek harus tetap berjalan dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Sejak kembalinya tradisi mekotek dilakukan sampai saat ini, Desa Adat
Munggu tidak pernah lagi mengalami musibah. Di samping tidak pernah mengalami
musibah, tradisi mekotek juga diharapkan untuk mempererat tali persaudaraan. Oleh
karena itu, warga Desa Adat Munggu meyakini bahwa tradisi mekotek dapat
membuat suasana Desa Adat Munggu menjadi tentram, harmonis, dan sejahtera,
Selain tradisi mekotek memiliki makna nilai sosial, budaya, dan religius,
tradisi mekotek juga memberikan sebuah tontonan hiburan saat hari Raya Kuningan
tiba. Banyaknya wisatawan mancanegara dan wisatawan domestik yang suka dan
kagum akan pagelaraan pelaksanaan tradisi mekotek dikarenakan adanya keunikan
dan ketertarikan.
Hal ini yang menjadikan Desa Adat Munggu tetep melestarikan dan
mempertahankan kebudayaan daerahnya, agar tetap terjaga kelestarianya dan mampu
menarik wisatawan luar untuk datang mengunjungi Desa Adat Munggu. Kita tahu
bahwa Desa Adat Munggu merupakan bagian dari Pulau Bali yang memiliki
keunikan dalam tradisi upacara keagamaan.
4. PENUTUP
Sesuai dengan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
4.1 Adanya tradisi mekotek ini dilatar belakangi dari adanya sebuah peperangan
antara Raja Mengwi dengan Raja Blambangan.
Saat Raja Mengwi dapat
menaklukan Raja Blambangan. Raja Mengwi yang kembali pulang ke tanah
Mengwi beserta rakyat yang ikut serta ke Blambangan. Setibanya di tanah
Gilimanuk (di tanah Pulau Bali) rakyat Raja Mengwi saling serang antar
temannya sebagai wujud rasa kegembiraan dan kemenangan yang dapat
menaklukan Raja Blambangan. Beliau pun bersumpah dan berkata akan
mengadakan kegiatan mekotek atau dengan Istilah upacara “ngerebeg” di wilayah
Desa Adat Munggu pada setiap Saniscara (Hari Sabtu) Kliwon Wuku Kuningan
bertepatan pada hari Raya Kuningan.
4.2 Adapun pelaksanaan tradisi mekotek ini, antara lain:
4.2.1
Tradisi mekotek ini dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Desa Adat Munggu
baik itu dari pihak kaum laki-laki maupun kaum perempuan, namun bagi yang
sedang mengalami cuntaka atau sebel dilarang untuk ikut dalam pelaksanaan
tradisi mekotek.
4.2.2
Adanya rapat prajuru adat untuk menentukan mekanisme dalam pelaksanaan
tradisi mekotek. Setelah itu, dilakukan pembagian kelompok dari 12 banjar
adat Desa Pakraman Adat Munggu yang telah dibagi menjadi 4 kelompok
masing-masing kelompok terdiri dari 3 Banjar Adat yang dilaksanakan secara
bergiliran.
4.2.3
Adanya persiapan banten pensucian yaitu banten biukaon yang bermakna
untuk mensucikan peralatan yang akan digunakan dalam pagelaran tradisi
mekotek.
4.2.4
Khusus bagi peserta tradisi mekotek mempersiapkan peralatan berupa kayu
pulet, berisi jejaitan tamiang dan daun pandan yang berduri dan
menggunakan pakaian adat madya. Sementara, bagi pengiring menggunakan
pakaian adat ke pura dan membawa benda-benda pustaka suci, seperti:
tedung, canang, tombak, tameng, dan banten.
4.2.5
Kegiatan tradisi mekotek ini dilaksanakan mulai pukul 14.00 sampai 16.00
wita. Setelah selesai di Pura puseh dan Desa langsung menuju Pura Dalam
Wisesa, dan mengelilingi Desa Adat Munggu. Berakhir di Pura Puseh dan
Desa, dalam perjalaan melewati Pura Khyangan Tiga peserta selalu diperciki
tirta ini bermakna sebagai keselamatan dan ketentraman. Selain dengan
diperciki tirta oleh para Mangku Khyangan Tiga, terdapat juga pihak
keselamatan dari pihak Kepolisian, Hansip, dan Pecalang.
4.3 Adanya 3 makna nilai yang terkandung dalam pelaksanaan tradisi mekotek, yaitu:
1. Makna tradisi mekotek dilihat dari nilai sosial yaitu:
 Adanya komunikasi/interaksi warga Desa Adat Munggu yang terjalin dengan
baik.
 Adanya unsur kebersamaan.
 Adanya unsur rela berkorban.
 Terdapatnya unsur kekeluargaan dan gotong royong.
 Masyarakat juga mampu dalam mengendalikan diri, serta tidak mudah
tersinggung, maupun dihasut oleh orang lain, yang dapat menimbulkan
kerugian-kerugian atau konflik. Ini terlihat saat pelaksanaan tradisi mekotek
berlangsung ketika menyatukan kayu-kayu pulet yang dibawa warga, ketika
jatuh/mebriyuk menimpa salah satu warga, bagi warga yang terkena jatuhan
kayu pulet tidak memiliki rasa marah maupun dendam.
2. Makna tradisi mekotek dilihat dari nilai budaya yaitu adanya penambahan
wawasan ilmu pengetahuan mengenai sejarah budaya mekotek, serta adanya
tanggung jawab bagi masyarakat Desa Adat Munggu dalam menjaga dan
melestarikan kebudayaan yang telah diwariskan oleh nenek moyang terdahulu.
3. Makna nilai religius dapat dirasakan dari unsur magis yaitu adanya
kesurupan/kerauhan yang diyakini oleh warga Desa Adat Munggu, jika tradisi
mekotek tidak dilaksanakan dikhawatirkan akan menimbulkan bencana yang
besar, seperti: kematian, kekeringan yang mengakibatkan gagal panen, serta
keributan di Desa Adat Munggu, sehingga desa pun tidak kondusif.
4.4 Berdasarkan pandangan masyarakat luar dan pandangan dari generasi muda yang
ada di Desa Adat Munggu menyatakan adanya tradisi mekotek dapat membangun
hubungan yang harmonis antara individu-individu lainnya dalam kehidupan di
masyarakat. Khusus bagi masyarakat Desa Adat Munggu menyatakan bahwa
adanya tradisi mekotek merupakan kewajiban bagi masyarakat setempat untuk
selalu menyelenggarakan dan melestarikan guna menjaga keseimbangan, serta
menjaga tradisi warisan leluhur nenek moyang kita. Selain adanya kewajiban
pasti menghasilkan hak. Hak yang dapat diterima oleh masyarakat Desa Adat
Munggu setelah
pelaksanaan tradisi mekotek sangat dirasakan, seperti:
kesejahteraan dan ketentraman, kesuburan dalam bidang pertanian, kesehatan
masyarakatnya, dapat menanamkan akhlak dan budi pekerti yang luhur yang
sesuai dengan nilai-nilai pancasila. Bagi muda-mudi/karang truna-truni di Desa
Adat Munggu menyatakan adanya suatu keyakinan dan tanggung jawab yang
penuh dalam memutuskan ikut menjadi peserta dalam prosesi pelaksanaan tradisi
mekotek. Adanya pelaksanaan tradisi mekotek dapat meningkatkan interaksi sosial
sesama manusia, serta adanya rasa gembira berkumpul dan bertemu dengan
muda-muda dari banjar lainnya yang masih berada dalam satu Desa Adat
Munggu. Sementara, menurut pandangan masyarakat luar Desa Adat Munggu
terhadap prosesi pelaksanaan tradisi mekotek yaitu adanya unsur kerjasama yang
terlihat secara nyata.
DAFTAR PUSTAKA
Agung, A. A. Gede. 2011. Metodologi Penelitian Pendidikan Suatu Pengantar.
Singaraja : Penerbit Undiksha
Budiyanto. 2004. Kewarganegaraan. Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama
Prista. 2011. “Konflik Sosial”. (diakses tanggal 4 Oktober 2012)
Download