Bab 2 Tinjauan Pustaka

advertisement
Bab 2
Tinjauan Pustaka
Dalam bab ini akan berisikan teori-teori mengenai variable-variable,
teori subjek penelitian yang akan diteliti dan juga kerangka berfikir. Teori
variable akan terdiri dari teori tentang gaya kepemimpinan, jenis gaya
kepemimpinan, dan teori tentang stres kerja serta faktor penyebabnya. Teori
subjek penelitian juga akan membahas teori dewasa muda yaitu karyawan
yang akan menjadi subjek penelitian yang akan diteliti. Selain itu, pada bab
ini juga akan menjabarkan kerangka berfikir serta asumsi yang akan muncul
dari penelitian ini berdasarkan penelitian yang telah ada sebelumnya.
2.1
Kepemimpinan
Terdapat beberapa jenis teori kepemimpinan (Zedeck, 2011), yaitu:

Consideration-initiating strcture and leadership

Situational leadership theory

Path goal theory

Substitues for leadership

Leader-member exchange or vertical dyad lingkage

Transformational leadership

Charismatic leadership

Romance of leadership

Implicit leadership theories

Prototypicality

Followership

Shared leadership

Authentic leadership
Pada penelitian ini, peneliti terfokus kepada teori kepemimpinan
situasional. Dasar dari teori situasional adalah berasal dari teori kontigensi
kepemimpinan. Situasi atau pendekatan kontigensi untuk membentuk
kepemimpinan pada teori early behavioral. Menurut Barling, Christie, dan
Hoption (dalam Zedeck, 2011), Isi dari teori situasional adalah
kepemimpinan yang efektif dari sikap maupun prilaku bergantung pada
karakteristik dari situasi, termasuk fitur dalam organisasi, tempat kerja, dan
bawahan (Zedeck, 2011).
Terdapat tiga teori kepemimpinan situasional, yaitu:
2.1.1

Fiedler’s contigency theory

Path-goal leadership theory

Substitutes of
Gaya Kepemimpinan Situasional
2.1.1.1 Definisi Gaya Kepemimpinan Situasional
Gaya kepemimpinan mengandung pengertian sebagai suatu
perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin yang menyangkut
kemampuan seseorang untuk memimpin yang biasanya membentuk suatu
pola tertentu. Pengertian gaya kepemimpinan ini juga sesuai dengan
pendapat Davis dan Newstrom (1995) (Sudaryono, 2014), dimana
keduanya menyatakan bahwa pola tindakan pemimpin secara keseluruhan
seperti yang dipresepsikan atau diacu oleh bawahan tersebut dikenal sebagai
gaya kepemimpinan. Menurut Veithzal Rivai (2004) gaya kepemimpinan
adalah pola menyeluruh dari tindakkan seorang pemimpin, baik yang
tampak maupun yang tidak tampak oleh bawahannya. Gaya kepemimpinan
menggambarkan kombinasi yang konsisten dari falsafah, sifat, dan sikap
yang mendasari prilaku seseorang. Gaya kepemimpinan secara langsung,
tidak langsung mau menunjukan tentang keyakinan seorang pemimpin
terhadap kemampuan bawahanya, dengan arti gaya kepemimpinan adalah
prilaku dan strategi, sebagai hasil kombinasi dan falsafah, keterampilan
sifat, sikap, yang sering diterapkan oleh seorang pemimpin ketika ia
mencoba mempengaruhi kinerja bawahannya.
Paul Hersey dan Kenneth H. Blanchard (Sudaryono, 2014)
mengembangkan sebuah teori tentang prilaku dan gaya kepemimpinan
situasional (situational leadership theory). Teori ini berpijak dari prinsip
bahwa kepemimpinan yang efektif dapat diwujudkan melalui kemampuan
memilih prilaku atau gaya kepemimpinan yang tepat berdasarkan tingkat
kesiapan (readiness) dan kematangan (maturation) anggota organisasi dan
bawahan.
2.1.1.2 Model Kepemimpinan Situasional (Model of Situasional
Leadership)
Studi-studi tentang kepemimpinan situasional mencoba
mengidentifikasi karakteristik situasi atau keadaan sebagai faktor penentu
utama yang membuat seorang pemimpin berhasil melaksanakan tugas-tugas
organisasi secara efektif dan efisien. Model ini menyatakan bahwa faktor
situasi lebih menentukan keberhasilan seorang pemimpin dibandingkan
dengan watak pribadinya. Model kepemimpinan situasional berasumsi
bahwa situasi yang berbeda membutuhkan tipe kepemimpinan yang berbeda
pula. Hersey & Blanchard (dalam Sorby Sutikno, 2014) mengembangkan
model kepemimpinan situasional efektif dengan memadukan tingkat
kesiapan dan kematangan anak buah dengan pola perilaku yang dimiliki
pimpinannya. Model kepemimpinan situasional ini merupakan teori
kontingensi yang memfokuskan pembahasannya pada para pengikut atau
anggota organisasi sebagai bawahan. Teori kepemimpinan situasional ini
juga dibangun berdasarkan asumsi bahwa tidak ada satupun gaya atau
prilaku kepemimpinan yang dapat mempengaruhi prilaku manusia atau
anggota organiasasi untuk bertindak, berbuat atau berkerja pada semua
situasi. Oleh karena itu, Hersey & Blanchard membagi model
kepemimpinan situasional menjadi empat tipe yaitu telling style, selling
style, participanting style, dan delegating style.
2.1.1.3 Tipe Gaya Kepemimpinan Situasional
Gaya kepemimpinan situasional merupakan sebuah kesatuan dari
perilaku yang ditampilkan atasan dengan situasi anggota organisasi Hersey
dan Blanchard (1998) menjelaskan bahwa ada 4 (empat) gaya
kepemimpinan, masing-masing adalah telling style, selling style,
participating style, dan delegating style. Adapun penjelasannya adalah
sebagai berikut: telling ditandai oleh tingkah laku mengarahkan dengan
intensitas tinggi dan tingkah laku mendorong dengan intensitas rendah (high
task & low relation), selling ditandai oleh tingkah laku mengarahkan dan
mendorong dengan intensitas tinggi (high task & high relation),
participating ditandai oleh tingkah laku mengarahkan dengan intensitas
rendah dan tingkah laku mendorong dengan intensitas tinggi (high relation
& low task), delegating ditandai oleh tingkah laku mengarahkan dan
mendorong dengan intensitas rendah (low relation & low task).
Berdasarkan kesiapan dan kematangan (skill, kemauan kerja)
seorang pemimpin terbagi menjadi empat tipe gaya kepemimpinan
situasional menurut Hersey & Blanchard (Sudaryono, 2014) yaitu;
1. Telling style adalah perilaku atau gaya kepemimpinan ini
berorientasi tinggi pada tugas dan rendah terhadap hubungan
dengan bawahan atau anggota organisasi. Pemimpin disini
menjadi pusat atau berperan penting bagi bahawanya dalam
organisasi yang tingkat kematangan dan kesiapannya rendah.
Bawahan yang tidak memiliki kemauan dan kemampuan
perlu didampingi oleh pemimpin seperti ini untuk memberi
instruksi secara spesifik, mengarahkan, dan mengawasi kerja
organisasi dengan ketat, sehingga pemimpin dapat
memberikan pengaruh ke organisasi.
2. Selling style adalah perilaku atau gaya kepemimpinan ini
dilaksanakan dengan perilaku orientasi tugas dan hubungan
yang kedua-duanya tinggi. Dalam kondisi situasi organisasi
yang memiliki anggota yang kesiapan dan kematangannya
masih rendah dimana kemampuan kerjanya belum memadai
(sekedarnya) dan kadang-kadang berkemauan atau
sebaliknya tidak memiliki kemauan untuk menyelesaikan
tugas pekerjaannya. Dengan kondisi bawahan atau organisasi
tersebut, pemimpin dapat menawarkan tugas-tugas kepada
bawahan yang berkemauan dan memberikan pengarahan
kepada bawahan yang tidak memiliki kemauan dan
kemampuan sebagai tanda pemimpin yang dapat
memberikan pengarahan dan dukungan (support) bagi setiap
anggota organisasi sebagai bawahan.
3. Participating style adalah perilaku atau gaya kepemimpinan
ini dilaksanakan dengan orientasi pada tugas rendah dan
orientasi hubungan dengan anggota organisasi tinggi. Pada
dasarnya gaya prilaku kepemimpinan ini menunjukan
kesedian dan kemauan pemimpin dalam mengikutsertakan
atau mengpartisipasikan atau mendayagunakan anggota
organisasi sebagai bawahan. Bawahan yang sudah memiliki
kemampuan dan kemauan dalam menyelesaikan tugasnya,
dapat dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang diambil
bersama atau dilakukan sendiri oleh pemimpin sebagai
atasan.
4. Delegating style adalah perilaku atau gaya kepemimpinan ini
dilaksanakan dengan orientasi tugas rendah dan hubungan
dengan anggota organisasi sebagai bawahan rendah.
Bawahan atau anggota organisasi yang tingkat kesiapan dan
kematangannya dalam berkerja tinggi, tentu dapat memiliki
kemampuan untuk mengerjakan tugas dengan baik, serta
memiliki kemauan untuk menyelesaikan tugas pekerjaan
yang diberikan. Dalam situasi organiasasi yang seperti ini,
pemimpin dapat melimpahkan wewenang dalam berkerja
kepada bawahannya.
Keseluruhan perilaku atau gaya kepemimpinan situasional dapat
dilihat pada gambar berikut menurut Hersey, Blanchard & Johnson (1996):
Gambar 0.1: Model Kepemimpinan Situasional dari Hersey dan Blanchard.
Sumber: www.Google.co.id
“S” pada table adalah singkatan dari Style, dan “R” pada table
merupakan singkatan dari Readiness. Gambar table ini dibaca mulai bdari
bagian kanan terlebih dahulu, dimana keadaan dalam organisasi seperti R1,
akan efektif apabila gaya kepemimpinan yang digunakan adalah dengan
gaya S1 pada table, begitu juga seterusnya. Kurva pada gambar mau
menunjukan pula tinggi rendahnya hubungan kerja antara leader dan juga
follower, dimana letak S dibawah menunjukan rendahnya hubungan dan
apabila S diatas menunjukan tingginya hubungan kerja antara atasan dengan
bawahan.
2.2 Stres Kerja
2.2.1
Definisi Stres Kerja
Definisi stres kerja menurut para ahli-ahli berbeda-beda, namun
tetap pada satu konsep yang sama. Stres kerja merupakan beban kerja yang
berlebihan, perasaan susah dan ketegangan emosional yang menghambat
performa individu (Robbins, 2004). Menurut Ringgo (2003) stres kerja
sebagai reaksi fisiologis dan atau psikologis terhadap suatu kejadian yang
dipersepsi individu sebagai ancaman. Seperti pada reaksi stres pada
umumnya dimana keadaan tersebut berpengaruh terhadap kondisi fisiologis
dan psikologis individu, akan tetapi yang lebih membedakannya adalah stres
kerja ini lebih spesifik mengarah pada faktor penyebabnya. Evan dan
Johnson (2000) menyebutkan bahwa stres kerja merupakan satu faktor yang
menentukan naik turunnya kinerja karyawan. Dari pernyataan tersebut dapat
disimpulkan bahwa stres kerja tentu berpengaruh terhadap kinerja karyawan
yang berujung pada organisasi. Luthans (1998) juga menyatakan bahwa
pemicu stres kerja tersebut berasal dari interaksi seseorang dengan
pekerjaan dan lingkungan kerjanya yang tidak nyaman. Hal inilah yang
menjadi pendukung penelitian dilakukan karena pemicu stres kerja juga
berasal dari interaksi seseorang dalam lingkungan organisasi antara atasan
dan bawahan.
Persamaan stres kerja yang dikemukakan oleh para ahli disini
menunjukan bahwa stres kerja merupakan kondisi yang dirasakan manusia
dan mempengaruhi kondisi seseorang dalam melakukan pekerjaannya.
2.2.2
Faktor Penyebab Stres Kerja
Menurut Robbins (2008) beberapa penyebab stres kerja terdiri dari
beberapa faktor adalah :
1.
Faktor Organisasi
Dalam faktor organisasi berpengaruh juga terhadap stres kerja
karyawan dimana semua aktivitas di dalam perusahaan
berhubungan dengan karyawan. Seperti tuntutan kerja atau beban
kerja yang terlalu berat, kerja yang membutuhkan tanggung
jawab tinggi sangat cenderung mengakibatkan stres tinggi.
2.
Faktor Lingkungan
Adanya lingkungan sosial turut berpengaruh terhadap stres kerja
pada karyawan. Dimana adanya dukungan sosial berperan dalam
mendorong seorang dalam pekerjaannya, apabila tidak adanya
faktor lingkungan sosial yang mendukung maka tingkat stres
karyawan akan tinggi.
3.
Faktor Individu
Adanya faktor individu berperan juga dalam mempengaruhi stres
karyawan dalam faktor individu kepribadian seorang lebih
pengaruh terhadap stres pada karyawan. Dimana kepribadian
seseorang akan menentukan seseorang tersebut mudah
mengalami stres atau tidak.
2.2.3
Gejala Yang Ditimbulkan
Gejala dari stres kerja menurut Robbins (2008) terbagi menjadi tiga
kategori yaitu;
1.
Gejala fisiologis, bahwa stres dapat menciptakan perubahan
dalam metabolisme, meningkatkan laju detak jantung, dan
pernafasan, menimbulkan sakit kepala, dan menyebabkan
serangan jantung.
2.
Gejala psikologis, stres yang berkaitan dengan pekerjaan
dapat menyebabkan ketidakpuasan dalam berkerja. Dalam
berkerja, akan muncul ketegangan, kecemasan, mudah marah,
kebosanan, konsentrasi berkurang dan menunda-nunda
pekerjaan.
3.
Gejala perilaku, mencakup perubahan dalam kebiasaan
hidup, gelisah, merokok, nafsu makan berlebihan, dan gangguan
tidur.
Dapat disimpulkan bahwa dampak stres sangatlah banyak, baik
secara fisiologis, psikologis, dan perilaku individu, yang tentu saja
menggangu individu itu sendiri, maupun orang lain, dan juga tidak luput
memberikan efek negatif pada organisasi. Individu yang mengalami stres
kerja akan berdampak pada aktivitas atau pekerjaan. Gejala stres kerja yang
dialami karyawan karena adanya tekanan kerja dan faktor lainnya,
kebanyakan akan berakibat negatif bagi individu itu sendiri maupun
organisasi.
2.3 Dewasa Muda (Young Adult)
Subjek untuk penelitian ini adalah pria dan wanita dengan umur 2040 tahun yang merupakan seorang karyawan yang masih aktif berkerja.
Menurut Papalia (2007) mengatakan bahwa masa dewasa awal adalah masa
untuk bekerja dan menjalin hubungan dengan lawan jenis, terkadang
menyisakan sedikit waktu untuk hal lainnya. Secara umum mereka yang
tergolong dewasa muda (young adulthood) ialah mereka yang berusia 20-40
tahun. Sebagai seorang individu yang sudah tergolong dewasa, peran dan
tanggung jawabnya tentu semakin bertambah besar. Individu tersebut tak
lagi harus bergantung secara ekonomis, sosiologis maupun psikologis pada
orangtuanya.
Berdasarkan pernyataan tersebut, dewasa awal adalah individu yang
berada pada rentang usia antara 20 hingga 40 tahun, dimana terjadi
perubahan fisik dan psikologis pada diri individu yang disertai
berkurangnya kemampuan reproduktif, merupakan masa dimana individu
tidak lagi harus bergantung secara ekonomis, sosiologis, maupun psikologis
pada orangtuanya, serta masa untuk bekerja, terlibat dalam hubungan
masyarakat, dan menjalin hubungan dengan lawan jenis (Papalia, Olds, &
Feldman, 2007).
Pada usia dewasa muda ini dapat dinyatakan bahwa usia
kepribadiannya sudah stabil, tidak bergantung dengan orang tuanya lagi
karena sudah berkerja, dan kebanyakan telah memikirkan tentang memiliki
hubungan dan kebanyakan sudah memiliki komitmen dalam berhubungan
dalam ikatan pernikahan dan menjadi orang tua.
2.4 Kerangka Berfikir
Gambar 0.2: Bagan Kerangka Berfikir
Adanya hubungan antara tipe gaya kepemimpinan situasional yang
digunakan atasan dalam memimpin sebuah organisasi, terhadap karyawan
atau anggota organisasi yang mengakibatkan stres kerja pada karyawan.
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Prawasti dan
Napitulu (2005) membuktikan bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh
besar terhadap stres kerja yang dialami guru SMU di Jakarta yang berakhir
kepada burnout. Hal ini tentu membuat peneliti ingin meneliti apakah ada
hubungan antara tipe gaya kepemimpinan situasional terhadap stres kerja
yang dialami karyawan. Satu dari pada empat tipe gaya kepemimpinan
situasional yaitu delegating style-lah yang dianggap banyak menyumbang
penyebab stres kerja yang dialami guru sehingga berakhir dengan burnout.
Maka dari itu kali ini peneliti ingin melihat apakah tipe gaya kepemimpinan
situasional ini memiliki hubungan terhadap stres kerja karyawan di Jakarta
Barat, atau tidak.
Download