Presentasi agama dan kebudayaan

advertisement
Oleh:
Kelompok 1 (satu)
 Agama dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak
terpisahkan dari kehidupan masyarakat.
 Agama dipercaya pemeluknya sebagai doktrin yang suci
dari Tuhan, sedangkan kebudayaan merupakan hasil karya
yang diperoleh manusia melalui proses belajar dengan
lingkungannya.
 Hubungan agama dan kebudayaan berlangsung secara
timbal balik.
 Agama secara praksis merupakan produk pengalaman dan
pemahaman masyarakat berdasarkan budaya yang sudah
dimilikinya.
 Ada pendapat yang mengatakan bahwa suatu sistem religi merupakan
suatu agama hanya bagi penganutnya.
 Pendapat lain mengatakan bahwa agama adalah semua sistem religi
yang secara resmi diakui oleh negara kita.
 Setiap religi merupakan suatu sistem yang terdiri dari empat
komponen:
1. Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia bersikap religius.
2. Sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta
bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, wujud alam gaib,
serta segala nilai, norma dan ajaran dari religi tersebut.
3. Sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha manusia untuk
mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa, atau makhluk
halus yang mendiami alam gaib.
4. Umat atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan (pada
poin 2) dan melaksanakan sistem ritus dan upacara (pada poin 3).
Emosi
keagamaan
Sistem
kepercayaan
Kelompok
keagamaan
Sistem
upacara
 Menurut Koentjaraningrat sistem kepercayaan, sistem
upacara, serta kelompok sosial yang menganut sistem
kepercayaan dan menjalankan upacara religius adalah
hasil cipta dan karsa manusia (kebudayaan).
 Sedangkan emosi keagamaan bukan kebudayaan, karena ia
digetarkan oleh cahaya Tuhan.
 Berbeda dengan Koentjaraningrat, saya berpendapat
bahwa sistem kepercayaan dan sistem upacara
tertentu bukan kebudayaan, karena ia bersumber dari
Tuhan. Sedangkan dua komponen yang lain
merupakan kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa, dan
karsa manusia.
 Ketika agama dimasukkan dalam kategori kebudayaan,
maka yang dimaksud adalah penafsiran (dan pengamalan)
terhadap kitab suci agama itu.
 Sebab, berbagai tingkah-laku keagamaan bukanlah diatur
oleh ayat-ayat kitab suci secara mandiri, melainkan oleh
interpretasi atas ayat-ayat kitab suci tersebut.
 Melalui kegiatan kebudayaan, manusia berusaha
mewujudkan sesuatu yang sebelumnya hanya merupakan
kemungkinan menjadi kenyataan yang bernilai.
 Demikian juga dalam kegiatan penafsiran kitab suci, berbagai
kemungkinan makna yang tersembunyi di balik teks berusaha
diwujudkan dalam bentuk karya yang berisi sistem nilai, gagasangagasan dan norma-norma, sehingga teks tersebut bernilai.
Hubungan Agama & Budaya
 Pada saat manusia melakukan penafsiran terhadap
agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan
budaya-primordial yang telah melekat di dalam
dirinya.
 Dengan demikian, terjadi pertautan antara agama
dan realitas budaya, dan ini dimungkinkan karena
agama tidak berada dalam realitas hampa dan
vakum.
 Mengingkari keterpautan agama dengan realitas
budaya berarti mengingkari realitas agama itu
sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia
dan yang pasti dilingkari oleh budayanya.
 Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat




dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan
dengan lingkungan budaya.
Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat sangat
jelas dalam praktik ritual agama.
Dalam Islam, misalnya saja perayaan Idul Fitri di Indonesia yang
dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi kepada yang lebih
tua-adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan
kebudayaan.
Kenyataan yang demikian itu juga memberikan arti bahwa
perkembangan agama dalam sebuah masyarakat-baik dalam wacana
dan praktis sosialnya-menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia.
Ini tentu tidak berarti bahwa agama semata-mata ciptaan manusia,
melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi
Tuhan-seperti yang tercermin dalam kitab-kitab suci-dan konstruksi
manusia- berupa terjemahan dan interpretasi dari nilai-nilai suci
agama yang direpresentasikan pada praktek ritual keagamaan.
 Perbedaan lingkungan budaya-primordial-yang telah
melekat di dalam diri masyarakat yang memengaruhi
interpretasi terhadap ajaran agama, dapat menjelaskan
mengapa interpretasi terhadap ajaran agama berbeda dari
satu masyarakat ke masyarakat lainnya.
 Kajian komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang
dilakukan oleh Clifford Geertz, misalnya, membuktikan
adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam.
 Di Indonesia, Islam menjelma menjadi suatu agama yang
sinkretik, sementara di Maroko Islam mempunyai sifat
yang agresif dan penuh gairah.
 Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa
realitas agama sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya.
 Islam yang bercampur dengan budaya lokal adalah gejala normal dari
dinamika umat Islam .
 Kandungan Al-Quran sendiri menggambarkan adanya akomodasi
terhadap budaya lokal (Arab).
 Respon Al-Quran bermuara pada dua kemungkinan, yakni mengkritik
atau mengonfirmasi budaya lokal tersebut.
 Kritik dilakukan sepanjang budaya tersebut menistakan
kehormatan manusia.
 Konfirmasi diberikan kepada budaya yang sejalan dengan cita-cita
kemanusiaan.
 Dalam hal ini Imam Syatibi merumuskannya secara sistematis dalam
maqoshid al-syari’ah (tujuan syari’at),yaitu:
 Hifdh al-nafsi (menjaga dan memelihara jiwa)
 Hifdh al-nasli (menjaga dan memelihara keturunan)
 Hifdh al-irdli (menjaga dan memelihara harga diri)
 Hifdh al-mal (menjaga dan memelihara harta)
 Hifdh al-din (menjaga dan memelihara agama).
 Islam dibangun dengan prinsip-prinsip kausalitas:
senantiasa terdapat pola sebab akibat yang dapat diteliti
oleh manusia, sehingga otoritas agama tidak diserahkan
kepada al-Quran secara pasif.
 Pernyataan senada diungkapkan oleh Ali r.a. bahwa teks alQuran tidak bisa “berbicara”, manusialah yang
membuatnya “berbicara”.
 Otoritas itu tidak diletakkan secara ekstrim pada manusia
semata, melainkan pada kemampuan memahami tujuan
syariat.
 Produk pengetahuan manusia itu pun memang bersifat
relatif, sebagaimana relatifnya kemampuan manusia
sendiri dalam memahami pola sebab akibat tersebut.
 Dalam kasus Islam di Indonesia, tidak dapat dipungkiri adanya




kontestasi di masa penyebaran Islam di Indonesia (abad ke-14 M)
antara pedagang dan pendakwah Muslim di satu sisi, dengan elit-elit
lokal di lain sisi.
Sikap akomodatif Islam terhadap budaya menggambarkan adanya
pengaruh elit-elit lokal yang cukup kuat.
Budaya lokal umumnya terkait dengan legitimasi terhadap kekuasaan
penguasa lokal. Karena itu semakin kuat pengaruh penguasa lokal,
akan semakin besar kemungkinan sikap akomodatif Islam terhadap
budaya lokal.
Kecenderungan ini masih dinilai normal, dalam arti sejalan dengan
ajaran Islam, sepanjang budaya lokal tersebut tidak menistakan nilainilai kemanusiaan dan prinsip-prinsip dasar Islam.
Kiprah Wali Songo dalam islamisasi masyarakat di Nusantara
mencerminkan sikap akomodatif yang berlandas pada maqoshid alsyari’ah. Budaya lokal diadopsi sebagai instrumen untuk
“membungkus” isi Islam, dan dijadikan sebagai bagian dari ajaran
Islam sepanjang itu sesuai dengan semangat memuliakan manusia.
 Selamat Belajar
 Tetap Semangat!
Download