6-dwi-edit - WordPress.com

advertisement
PEMBENTUKAN KONSEP MELALUI PENDIDIKAN
MATEMATIKA REALISTIK
Dwi Purnomoï‚·
Abstract: One of the indicators of the student’s achievement at elementary
and secondary levels is determined by the student’s mathematics mastery.
Board of Education National Standard on national test of 2009 require
everage score 5.50 on every subject tested. The improvement of everage
0.25 needs strategies and method wich can provide mastery of the
student’s concept of mathematics. So mathematics which contains verry
difficult formula and sums will be interesting and won’t have any more
problems for some students. Serious problems which are emerging so far
in mathematics ay be eliminated by one of the innovative learning
approach, namely realistic mathematics education (RME). This approach
has characteristic of context use in children real world using models,
student’s production and constructions, interaction, and interrelationship.
Finally, it is expected that mathematics is more meaningful. The steps in
RME are comprehending contextual problems, completing contextual
problem, comparing and discussing and concluding answers.
Keywords: realistic mathematics education, mathematizing models
constructions
A. PENDAHULUAN
Matematika merupakan pelajaran yang sangat menentukan keberhasilan
peserta didik. Tolok ukur ini berlaku di tingkat pendidikan dasar sampai tingkat
lanjutan. Indikasi yang terlihat pada ujian akhir nasional, matematika merupakan
mata pelajaran yang diujikan. Selain itu, matematika oleh ”sebagian” siswa
dianggap sulit, rumit, bahkan momok. Berdasarkan kenyataan ini maka diperlukan
adanya inovasi pembelajaran yang diharapkan mampu meningkatkan prestasi
belajar anak. Suparlan (2004) menyatakan ada hal penting yang harus dilakukan
oleh guru dalam meningkatkan prestasi matematika siswa, di antaranya adalah
memberikan kesempatan belajar kepada siswa secara langsung dan sesuai
kemampuannya, fokuskan kepada pelajaran matematika yang bermakna dalam
kehidupan, berikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan praktik dan
menemukan sendiri, perbaiki prasyaratnya, gunakan metode kelompok kecil
dalam proses pembelajaran, dan memulailah sesuatu dari hal yang sifatnya konkrit
(www.suparlan.com).
Ujian akhir nasional yang merupakan alat ukur kerberhasilan menggunakan
kriteria kelulusan yang setiap pelaksanaan ujian selalu mengalami kenaikan. Ujian
akhir nasional tahun 2007 untuk SMP dan SMA standar kelulusan rata-rata 5,25.
ï‚·
Dwi Purnomo adalah dosen Program Studi Pendidikan Matematika IKIP Budi Utomo Malang
sedangkan dalam pelaksaaan ujian akhir nasional tahun 2008 Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP) mematok standard kelulusan 5,50 (Jawa Pos, 3
September 2008). Fakta ini membuat para guru dan siswa mempunyai beban dan
tanggung jawab yang lebih berat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Dengan
demikian untuk membelajarkan matematika kepada siswa diperlukan sebuah
metode dan strategi yang lebih jitu dalam rangka memenuhi ketentuan yang
disyaratkan oleh Badan Nasional Standar Pendidikan. Dengan demikian sekolah
sebagai penyelenggara ujian akan merasakan ”pukulan” yang luar biasa jika
dalam pelaksanaan ujian siswanya banyak yang tidak berhasil.
Di sisi lain, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun
2003 menyebutkan bahwa: pendidikan adalah suatu usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dengan
demikian matematika yang merupakan bagian penting dalam proses pendidikan di
sekolah diharapkan dapat diaplikasikan dalam kehidupan yang lebih nyata
menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari
berbagai bidang ilmu pengetahuan yang penekanannya pada penguasaan konsep
serta keterampilan dalam penerapan matematika yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Pengalaman di sekolah, biasanya siswa yang kurang berminat belajar
matematika dikarenakan mereka mengalami kesulitan untuk memahami konsepkonsep maupun berbagai rumus dalam matematika. Matematika mempunyai
objek yang bersifat abstrak. Sifat abstrak inilah yang merupakan kendala bagi
siswa dalam belajar matematika. Selain itu, dalam pembelajaran di kelas guru
tidak mengaitkan dengan skema yang telah dimiliki oleh siswa dan siswa kurang
diberikan kesempatan untuk menemukan kembali dan mengkonstruksi sendiri
konsep-konsep matematika. Siswa hanya menghafalkan puluhan rumus
matematika kemudian mengerjakan soal secara prosedural tanpa adanya penalaran
dan pemahaman konsep yang kuat.
Secara umum apabila siswa belajar matematika dengan cara menghafal akan
cepat lupa dan tidak dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ausebel
mengemukakan bahwa belajar dikatakan bermakna bila informasi yang akan
dipelajari siswa sesuai dengan struktur kognitif yang dimilikinya, sehingga siswa
dapat mengaitkan informasi baru dengan struktur kognitif yang dimiliki (Hudoyo,
1990:138). Maka dari itu supaya pembelajaran matematika dapat lebih bermakna
harus ditekankan pada keterkaitan konsep-konsep matematika dengan pengalaman
yang sudah dimiliki oleh siswa.
Permasalahan-permasalahan yang terjadi sebagaimana disebutkan di atas
dapat diatasi melalui pendekatan yang mendukung proses pembelajaran
matematika yang menyenangkan dan bukan menyeramkan. Pembelajaran yang
dapat meningkatkan motivasi sekaligus mempermudah pemahaman siswa dalam
belajar matematika. Salah satu pendekatan yang mengacu pada konstruktivisme
dan berorientasi pada dunia nyata serta menerapkan matematika dalam kehidupan
sehari-hari adalah pendidikan matematika realistik (PMR). Dengan memahami
pendekatan ini memungkinkan prestasi belajar matematika siswa dapat mencapai
tujuan yang digariskan dalam pembelajaran matematika di kelas.
``
2
B. APAKAH PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK?
Pendidikan matematika realistik atau realistic mathematics education mulai
berkembang karena adanya keinginan meninjau kembali pendidikan matematika
di Belanda yang dirasakan kurang bermakna bagi siswa. PMR merupakan teori
belajar mengajar dalam pendidikan matematika. Adalah Wijdeveld dan Goffre
(1968) sebagai pemrakarsa ide adanya pembelajaran realistik dalam matematika.
Selanjutnya Freudental (1977) mengembangkan model PMR yang berkembang
hingga saat ini. Menurut Freudenthal matematika harus dikaitkan dengan realita
dan matematika merupakan aktivitas manusia, sehingga matematika harus dekat
dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Matematika sebagai
aktivitas manusia berarti manusia harus diberi kesempatan untuk menemukan
kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa.
Treffers (1978, 1987) secara eksplisit merumuskan ide PMR dalam 2 tipe
matematisasi dalam konteks pendidikan yaitu matematisasi horizontal dan
matematisasi vertical (www.ditnaga.com). Dalam matematisasi horizontal siswa
diberi perkakas matematika yang dapat menolongnya menyusun dan memecahkan
masalah dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan matematisasi vertikal di satu
pihak merupakan proses reorganisasi dalam system matematis, misalnya
menemukan hubungan langsung dari keterkaitan antara konsep-konsep dan
strategi-strategi yang pada akhirnya menerpakan temuan tersebut. Dengan
demikian matematisasi horizontal bertolak dari ranah nyata menuju ranah simbul,
sedangkan matematisasi vertikal bergerak dalam ranah simbul. Namun demikian
menurut Freudenthal (1991) kedua bentuk matematisasi ini sesungguhnya
maknanya tidak berbeda, bahkan cenderung sama nilainya. Hal ini disebabkan
oleh pemaknaan “realistik” yang berasal dari bahasa Belanda “realiseren” yang
artinya bukan berhubungan dengan kenyataan, akan tetapi “membayangkan” yang
kegiatannya mudah dilakukan jika berangkat dari dunai nyata. Kegiatan realistik
ini oleh Zainuri dikatakan sebagai penggunaan model-model, produksi dan
konstruksi siswa, keterkaitan (interwinment) dan interaksi (www.zainurie.
wordpress.com). Selanjutnya Zainuri menyatakan bahwa pendidikan matematika
realistik memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan kembali dan
merekonstruksi konsep-konsep matematika, sehingga siswa mempunyai
pengertian kuat tentang konsep matematika.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas pendidikan matematika
realistik pada prinsipnya adalah menemukan kembali ide-ide melalui bimbingan
guru (Gravenmeijer, 1994) dan tidak mengacu pada realitas, akan tetapi pada
sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa (Slettenhaar, 2000). Indonesia telah
mengadopsi pendidikan matematika realistik, sama halnya dengan negara lain
yaitu Inggris , Jerman, Denmark, Spanyol, Portugal, Afrika Selatan, Brazilia,
Amerika Serikat, Jepang dan Malaysia. Salah satu hasil yang dicapai oleh negaranegara tersebut adalah prestasi siswa yang meningkat, baik secara nasional
maupun internasional (Romberg, 1998; www.zainurie.wordpress.com).
C. KARAKTERISTIK PMR
Sesuai dengan sifat matematika realisitik yang berbasis masalah nyata,
maka strategi umum pendidikan matematika realistik meliputi pemberian masalah
untuk dipecahkan pebelajar, memberikan kesempatan kepada pebelajar untuk
mengkonstruksi sendiri pemecahan masalah, dan presentasi hasil pemecahan
``
3
masalah dilanjutkan dengan diskusi (www.ditnaga-dikti.org).
Untuk
melaksanakan sebuah proses yang sesuai dengan strategi pembelajaran
matematika realistik, maka guru harus memahami karakteristik dari PMR.
Karakteristik PMR adalah menggunakan konteks ”dunia nyata”, modelmodel, produksi dan konstruksi siswa, interaktif dan keterkaitan (Van den HeuvelPanhuizen, 1998; www.geocities.com). Selengkapnya karakteristik tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut.
1) Menggunakan konteks dunia nyata. PMR, diawali dengan masalah kontekstual
(dunia nyata) sehingga memungkinkan mereka mereka menggunakan
pengalaman sebelumnya secara langsung. Proses penyarian dari konsep yang
sesuai dengan situasi nyata oleh De Lange (1987) disebut sebagai
matematisasi konseptual. Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan
mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian siswa dapat
mengaplikasikan konsep-konsep matematika kebidang baru dunia nyata. Oleh
karena itu untuk menjembatani konsep-konsep matematika dengan
pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisasi pengalaman
sehari-hari dan penerapan matematika dalam kehidupan sehari-hari (Cinzia
Bonotto, 2000).
2) Menggunakan model-model (matematisasi). Istilah model dalam PMR
berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan
oleh diri sendiri. Peran diri sendiri merupakan jembatan bagi siswa dari situasi
real ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal.
Hal ini berarti dalam menyelesaikan masalah siswa membuat model sendiri.
Pertama adalah model situasi yang dekat dengan dunia nyata siswa.
Generalisasi dan formalisasi model tersebut akan berubah menjadi model-of
masalah tersebut. Melalui penalaran matematika model-of akan bergeser
menjadi model-for masalah yang sejenis, sehingga pada akhirnya diperoleh
model matematika formal.
3) Menggunakan produksi dan konstruksi. Streefland (1991) menekankan bahwa
dengan pembuatan ”produksi bebas” siswa terdorong untuk melakukan
refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses belajar.
Strategi-strategi informasi siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah
kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran
lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika formal.
4) Menggunakan interaktif. PMR mengutamakan interaksi antara siswa dan guru.
Secara eksplisit interaksi dapat berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran,
setuju atau tidak setuju, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk untuk
mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.
5) Menggunakan keterkaitan (interwinment). Hal yang sangat esensial dalam
PMR adalah pengintegrasian unit-unit matematika. Jika dalam pembelajaran
kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain, maka akan
berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika,
biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak hanya
aritmetika, aljabar, atau geometri tetapi juga yang lainnya.
D. LANGKAH-LANGKAH PMR
Tujuan pembelajaran matematika adalah pencapaian transfer belajar. Salah
satu aspek penting dalam pencapaian transfer belajar matematika itu agar siswa
``
4
menguasai konsep-konsep matematika, dan dapat mengaplikasikannya dalam
pemecahan masalah sehari-hari. Dalam pembelajaran matematika selama ini,
siswa dianggap belum tahu apa-apa dan gurulah yang mempunyai pengetahuan
dan pemegang otoritas tertinggi . Materi pembelajaran matematika diberikan
dalam bentuk jadi dan itu terbukti tidak dapat membuat siswa memahami dengan
baik apa yang mereka pelajari. Penguasaan dan pemahaman siswa terhadap
konsep-konsep matematika lemah, sehingga prestasi belajar matematika rendah.
Sudah saatnya paradigma mengajar diganti dengan paradigma belajar.
Perubahan paradigma pembelajaran dari pandangan pembelajaran yang berpusat
pada guru ke pembelajaran yang berpusat pada siswa membawa konsekuensi
perubahan yang mendasar pada proses pembelajaran di kelas. Perubahan tersebut
menuntut agar guru tidak lagi sebagai sumber informasi yang serba tahu
segalanya, melainkan sebagai teman belajar. Siswa dipandang sebagai individu
yang aktif dan memiliki kemampuan untuk membangun pengetahuannya sendiri.
Dengan menemukan dan membangun sendiri pengetahuannya siswa akan lebih
memahami apa yang telah dipelajarinya, hal ini juga akan berpengaruh pada
sejauh mana siswa dapat menguasai konsep-konsep matematika.
Pembelajaran yang sesuai dengan perubahan tersebut dan sesuai dengan
tujuan pendidikan pembelajaran matematika, diperlukan suatu pengembangan
materi pelajaran matematika yang difokuskan pada aplikasi dalam kehidupan
sehari-hari (dunia nyata), dengan demikian pendekatan pendidikan matematika
realistik adalah salah satu pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan
perubahan tersebut.
Dolk (2006:14) merumuskan 3 prinsip pokok dalam pendidikan matematika
realistik, berikut ini.
1) Guided Reinvention and Progressive Mathematizing. Pembelajaran yang
mengacu pada PMR harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan kembali konsep atau algoritma sebagaimana ditemukannya
konsep itu secara matematis. Berawal dari pemahaman yang telah dimiliki
siswa, kemudian siswa berpikir dari matematika informal bergerak kearah
matematika formal. Peran guru hanyalah sebagai pendamping dan fasilitator.
2) Didactical Phenomenology. Fenomena pembelajaran harus menekankan
bahwa masalah dunia nyata yang diajukan kepada siswa harus dapat
membelajarkan siswa kearah konsep atau algoritma yang dituju dan dapat
membantu siswa memahami proses matematisasi.
3) Self Developed Models. Model yang dikembangkan siswa harus dapat
menjembatani pengetahuan informal kea rah pengetahuan matematika formal.
Model matematika dikembangkan oleh siswa secara mandiri untuk
memecahkan masalah.
Menurut Hadi (2005), PMR meliputi aspek-aspek: (1) memulai pelajaran
dengan mengaujukan masalah yang “riil” bagi siswa, (2) permasalah yang
diajukan harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, (3) siswa
mengembangkan model-model simbolik secara informal terhadap masalah yang
diajukan, dan (4) pengajaran berlangsung secara interaktif. Berdasarkan aspekaspek tersebut, maka peran guru dalam PMR, adalah (1) guru hanya sebagai
fasilitator belajar, (2) guru harus membangun pembelajaran yang interaktif, dan
(c) guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif
``
5
menyumbang pada proses belajar dirinya dan membantu siswa menafsirkan
persoalan riil (www.jurotunguru.wordpress.com).
Agar aspek-aspek dan peran guru dalam pendidikan matematika realistik
sesuai dengan yang diharapkan, maka langkah-langkah dalam pembelajaran yang
mengacu pada PMR hendaknya terdiri dari 4 langkah sebagai berikut.
1) Memahami masalah konteksual. Langkah ini merupakan kegiatan siswa dalam
memahami masalah yang mengacu pada konteks siswa. Guru memberikan
pertanyaan pancingan agar siswa terarah pada permasalahan kontekstual
tersebut.
2) Menyelesaikan masalah kontekstual. Untuk menyelesaikan masalah
kontektual, perlu digunakan model berupa benda manipulatif, skema atau
diagram untuk menjembatani antara konkrit dan abstrak. Di sini terjadi
interaksi antara siswa dan sumber belajar.
3) Membandingkan dan mendiskusikan jawaban. Langkah ini merupakan tempat
siswa berkomunikasi dan memberikan sumbangan gagasan kepada siswa lain.
Siswa memproduksi dan mengkonstruksi gagasan mereka, sehingga proses
pembelajaran menjadi konstruktif dan produktif.
4) Menyimpulkan. Pada langkah ini siswa dan guru membuat kesepakatan untuk
sampai pada konsep atau logaritma. Siswa dengan arahan guru diminta untuk
membuat kesimpulan tentang apa yang telah dikerjakan pada masalah
sebelumnya.
Model pembelajaran yang diterapkan dalam PMR, mempunyai beberapa
keuntungan dan keunggulan, di antaranya adalah: (1) karena siswa membangun
sendiri pengetahuannya maka siswa tidak mudah lupa dengan pengetahuannya,
(2) suasana dalam proses pembelajaran menyenangkan karena menggunakan
realitas kehidupan, (3) sehingga siswa tidak cepat bosan untuk belajar
matematika, (4) siswa merasa dihargai dan semakin terbuka karena setiap jawaban
siswa ada nilainya, (5) memupuk kerjasama dalam kelompok, dan (5) melatih
keberanian siswa karena harus menjelaskan jawaban serta melatih siswa untuk
terbiasa berpikir dan mengemukakan pendapat.
Ide utama dari pendekatan PMR adalah siswa harus diberi kesempatan untuk
menemukan kembali (reinvent) ide dan konsep matematika dengan bimbingan
guru melalui berbagai situasi dan persoalan-persoalan dunia nyata atau real world.
Matematika tidak disajikan dalam bentuk hasil jadi (a ready-made product), akan
tetapi siswa harus belajar menemukan kembali konsep-konsep matematika. Siswa
membentuk sendiri konsep dan prosedur matematika melalui penyelesaian soal
yang realistic dan kontekstual. Pembelajaran matematika dengan menghadirkan
masalah-masalah kontekstual dan realistik tersebut akan lebih bermakna dan
menarik bagi siswa. Masalah kontekstual dapat digunakan sebagai titik awal
pembelajaran matematika dalam membantu siswa mengembangkan pengertian
terhadap konsep matematika yang dipelajari dan juga bisa digunakan sebagai
sumber aplikasi matematika. Dengan penerapan pendekatan PMR tersebut dapat
memberikan dampak berupa hasil pembelajaran yang bersifat akademik, yaitu
penguasaan siswa pada materi pembelajaran. Penguasaan itu berupa pemahaman
konsep, keterampilan procedural, dan kemampuan pemecahan masalah. Dengan
demikian pendekatan PMR akan mempunyai kontribusi yang cukup tinggi dalam
menguatkan pemahaman konsep-konsep matematika siswa.
``
6
E. EVALUASI DAN PENERAPAN
Bagi komponen pendidikan sekolah, pendidikan matematika realistik
bukanlah hal yang baru. Karena itu dalam pelaksanaannya evaluasi keberhasilan
dan bagaimana pengimplementasiannya adalah menjadi tujuan yang diharapkan.
Evaluasi yang digunakan disesuaikan dengan tingkat berpikir siswa.
Sebuah ilustrasi yang dapat menunjukkan tingkat berpikir pebelajar secara
longitudinal adalah model garis bilangan. Misalnya untuk mengevaluasi
kemampuan pebelajar dalam menjumlahkan 36 dan 19 dapat dipilih beberapa cara
berdasarkan kemajuan bertahap tingkat berpikir pebelajar dari yang rendah
menuju tahap yang lebih tinggi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.
1) Menggunakan butiran manik-manik berwarna, misalnya 36 butir putih dan 19
butir hitam dirangkai menjadi sebuah kalung. Pebelajar masih dalam tahap
berpikir konkrit diberi kesempatan menghitung jumlah seluruh manik-manik
tersebut.
2) Untuk pebelajar yang telah mampu berpikir dalam taraf yang lebih tinggi,
digunakan garis bilangan yang kosong untuk melakukan penambahan dan
pengurangan.
3) Pada taraf berpikir yang lebih tinggi, digunakan garis bilangan berganda.
4) Modifikasi lain terhadap garis bilangan dapat digunakan untuk membekali
pengerjaan pembagian dan prosentase sebagai perluasan dari garis bilangan
dibuat gambar empat persegi panjang yang dibagi menjadi 2 bagian dengan
luas yang sama dan ditandai dengan bilangan yang menyatakan luas tiap
bagian tersebut. Dibagian bawah tiap bilangan dicantumkan prosentase
luasnya. Selanjutnya pebelajar ditugaskan untuk menaksir luas daerah yang
ditunjukkan.
Dengan demikian evaluasi yang dilakukan dapat disusun sesuai dengan
kompetensi yang ingin dicapai melalui pembelajaran berdasarkan tahap
pencapaian tingkat berpikir yang tepat untuk tingkat kelas belajar. Evaluasi yang
dilakukan tidak hanya melalui tes saja, akan tetapi dilakukan pula selama proses
belajar berlangsung. Hal ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana proses
interaksi yang terjajdi selama proses pemecahan masalah, presentasi yang
disajikan pebelajaran dalam menemukan sesuatu dan diskusi berlangsungnya
pemecahan masalah. Pebelajar dalam PMR juga dievaluasi kemampuannya
melakukan refleksi, karena refleksi dapat mendorong pebelajar memiliki
kemampuan melakukan matematisasi vertikal.
Model pembelajaran PMR dapat diterapkan disemua jenjang pendidikan
sekolah, mulai tingkat sekolah dasar, menengah, bahkan perguruan tinggi
sekalipun khususnya perguruan tinggi pencetak calon guru. Pada jenjang sekolah
yang lebih rendah penekanannya pada matematisasi horizontal yang bertolak dari
fakta dalam kehidupan nyata, sedangkan makin tinggi jenjang pendidikannya akan
lebih menitikberatkan pada matematisasi vertikal yang bergerak dalam ranah
simbul-simbul. Dengan cara ini guru matematika menurut Sutarto Hadi (2006)
bersifat dan mengambil peran sebagai mediator, yaitu tidak serta merta menyuapi
informasi kepada anak-anak didiknya (www.pmri.or.id).
``
7
F. PENUTUP
Paradigma pembelajaran matematika di kelas sampai saat ini masih
didominasi oleh paradigma megajar bukan paradigma belajar. Proses
pembelajaran berpusat pada guru, sedangkan siswa pasif menerima apa yang
disampaikan oleh guru. Hal ini mengakibatkan independensi berpikir siswa
kurang berkembang karena tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengembangkan ide-ide kreatif, kurang melatih daya nalar, dan tidak terbiasa
melihat alternatif lain yang mungkin dapat dipakai dalam menyelesaikan suatu
masalah. Akhirnya, siswa harus selalu mengikuti aturan atau prosedur yang
berlaku, siswa hanya menghafalkan saja semua rumus atau konsep-konsep
matematika tanpa memahami maknanya dan tidak mampu menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Permasalahan-permasalah matematika dapat diatasi melalui perubahan
pembelajaran dari paradigma mengajar menjadi paradigma belajar atau
pembelajaran yang berpusat pada guru ke pembelajaran yang berpusat pada siswa.
Perubahan paradigma pembelajaran tersebut sesuai dengan paham
konstruktivisme yang menyatakan bahwa pengetahuan matematika tidak dapat
diajarkan oleh guru, melainkan harus dibangun sendiri oleh siswa. Paham inilah
yang mendasari pendekatan PMR yaitu pendekatan pembelajaran matematika
yang berorientasi pada pematematisasian pengalaman hidup sehari-hari dan
mengaplikasikannya dalam dunia nyata yang ditemukan dalam kehidupan seharihari.
Kajian terori yang telah dikemukakan di atas menunjukkan bahwa RME
layak dipertimbangkan untuk digunakan dalam pembelajaran matematika guna
meningkatkan kemampuan penguasaan konsep-konsep matematika siswa yang
pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam matematika.
Gagasan dan pemikiran yang disampaikan oleh para pakar pendidikan matematika
tersebut dapat memberikan secercah harapan dan menumbuhkan optimisme akan
masa depan pembelajaran matematika yang lebih baik dan bermutu. Bahkan
menurut Fathani (2008) kehadiran PMR dirasakan dapat memperbaiki kondisi
pembelajaran yang tradisional, yaitu mengubah pendekatan yang kering dan
mekanistik menjadi lebih menyenangkan da bermakna baik bagi guru maupun
para siswa. Oleh karena itu menyelenggarakan pembelajaran matematika realistik
secara efektif dapat membuat siswa bergairah untuk mengikutinya. Dengan
memperhatikan strategi pembelajaran ini diharapkan “inti” persoalan dalam
matematika dapat terselamatkan. Dengan kata lain siswa menjadi senang untuk
beajar matematika dan terbebas dari “fobia” matematika, sehingga tuntutan
standar kelulusan 5,50 yang diprogamkan tercapai yang berakibat siswa, guru,
dan orang tua merasa SENANG dengan prestasi tersebut.
``
8
BAHAN PUSTAKA
Abdul Halim Fathani, 18 Maret 2008. Pembelajaran Realistik, Atasi Fobia
Matematika, (Online), (http://www.koranpendidikan.com, diakses 5
September 2008).
Hadi, S. 2003. Paradigma Baru Pendidikan Matematika, Makalah Ilmiah,
(Online), (http://www.jurotuguru.wordpress.com, diakses 1 Maret 2008).
Herman Hudojo, 1979. Pengembangan Kurikulum Matematika dan
Pelaksanaannya di Depan Kelas. Surabaya: Usaha Nasional.
Jawa Pos. 3 Nopember 2008. Standar Lulus SMP-SMA 5,5 Berlaku 2009 Naik
0.25 Poin. halaman 31.
Suparlan, 27 Februari 2004. Sepuluh Kaidah untuk Meningkatkan Citra
Matematika sebagai Pelajaran yang Menyenangkan. (Online),
(http://www.suparlan.com, diakses 5 September 2008).
Sutarto Hadi, 2006. PMRI, Benih Pembelajaran yang Bermutu, (Online),
(http://www.pmri.or.id, diakses 5 September 2008).
Pembelajaran Matematika Realistik, (Online). (http://www.ditnaga-dikti.org,
diakses 5 September 2008).
Zainuri, 13 April 2007. Pembelajaran Matematika Realistik (RME) ”APA KATA
DUNIA?”, (Online), (http://www.zainuri.wordpress.com, diakses 5
September 2008).
Zulkardi, 2007. RME suatu Inovasi dalam Pendidikan Matematika di Indonesai
(Suatu Pemikiran Pasca Konferensi Matematika Nasional 17-20 Juli di ITB),
(Online), (http://goecities.com, diakses 5 September 2008).
``
9
Download