6 Bab II Metoda Geolistrik Tahanan Jenis 2D Metoda Geolistrik

advertisement
Bab II
Metoda Geolistrik Tahanan Jenis 2D
Metoda Geolistrik tahanan jenis merupakan salah satu metoda geolistrik yang
sering digunakan dalam survei geofisika untuk eksplorasi yang relatif dangkal,
diantaranya digunakan dalam eksplorasi sumber mata air, keadaan struktur bawah
permukaan dan juga dapat digunakan sebagai pendukung eksplorasi bahan-bahan
tambang. Dalam aplikasi eksplorasi, metode geolistrik (resistivity) dapat
memberikan informasi yang tidak mungkin diberikan oleh metoda lain.
Dalam survei metode geolistrik akan diperoleh nilai beda potensial, kuat arus dan
nilai tahanan jenis batuannya. Tahanan jenis batuan yang didapat secara langsung
merupakan tahanan jenis semu yang memerlukan suatu pengolahan data lebih
lanjut untuk mendapatkan tahanan jenis yang sebenarnya untuk tiap-tiap lapisan.
Tahanan jenis sebenarnya tersebut digambarkan sebagai penampang 1D pada
setiap stasiun. Kemudian dari penanmpang 1D tersebut, dapat dikembangkan
menjadi penampang 2D dengan metoda mapping dengan cara korelasi tiap-tiap
stasiun.
II.1. Prinsip Dasar Metoda Resistivitas
Konsep dasar dari Metoda Geolistrik adalah Hukum Ohm yang pertama kali
dicetuskan oleh George Simon Ohm. Dia menyatakan bahwa beda potensial yang
timbul di ujung-ujung suatu medium berbanding lurus dengan arus listrik yang
mengalir pada medium tersebut. Selain itu, dia juga menyatakan bahwa tahanan
listrik berbanding lurus dengan panjang medium dan berbanding terbalik dengan
luas penampangnya. Formulasi dari kedua pernyataan Ohm di atas, dapat
dituliskan sebagai berikut:
V ∞ I atau V = I .R
R∞
(2.1a)
L
L
atau R = ρ
A
A
(2.1b)
6
Arus listrik diasumsikan muatan positif yang bergerak ke arah terminal megatif,
sedangkan muatan negatif bergeraka ke terminal positif. Namun kesepakatan
menyatakan bahwa arus listrik bergerak dari muatan positif ke arah muatan
negatif.
Prinsip pelaksanaan survei resistivitas adalah mengalirkan arus listrik searah ke
dalam bumi melalui dua elektroda arus yang ditancapkan pada dua titik
permukaan tanah dan kemudian mengukur respon beda potensial yang terjadi
antara dua titik yang lain di permukaan bumi dimana dua elektroda potensial
ditempatkan dalam suatu susunan tertentu.
Dari data pengukuran yang didapat yakni beda potensial dan kuat arus, akan
diperoleh harga-harga resistivitas semu untuk setiap spasi elektroda yang
dibentang. Harga-harga tersebut digambarkan pada kertas grafik log-log untuk
mendapatkan kurva lapangan. Kurva lapangan ini kemudian diinterpretasikan
untuk mendapatkan harga-harga ketebalan dan resistivitas lapisan bawah
permukaan bumi.
Dalam pendugaan resistivitas, digunakan asumsi-asumsi sebagai berikut:
-
Pada bawah permukaan bumi terdiri dari lapisan-lapisan dengan ketebalan
tertentu, kecuali pada lapisan terbawah yang mempunyai ketebalan tidak
berhingga
-
Bidang batas antar lapisan adalah horizontal.
-
Setiap lapisan dianggap homogen isotropis
Apabila pada medium homogen isotrropis dialiri arus searah (I) dengan medan
listrik (E), maka elemen arus (dI) yang melalui suatu elemen luasan (dA) dengan
rapat arus ( J ) akan berlaku hubungan:
dI = J ⋅ dA
(2.2)
Dengan demikian rapat arus ( J ) di setiap elemen luasan akibat medan listrik (E),
akan memenuhi hubungan sebagai berikut:
7
J = σE
(2.3)
dengan E dalam Volts per meter dan σ adalah konduktivitas medium dalam
siemens per meter (S/m) atau MHO/m (Ω-m)-1.
Medan listrtik adalah gradien dari potensial skalar,
E = −∇V
(2.4)
sehingga kita mendapatkan
J = −σ∇V
(2.5)
Apabila arus stasioner dengan koefisien konduktivitas σ konstan, maka akan
diperoleh persamaan Laplace dengan potensial harmonis. Hal ini akan dijabarkan
pada seksi berikut.
II.2. Potensial Pada Bumi Homogen Isotropis
Lapisan bumi bersifat homogen isotropis adalah merupakan pendekatan yang
sederhana dalam penentuan tahanan jenis lapisan-lapisan batuan bumi, sehingga
tahanan jenis ρ dianggap tidak bergantung pada sumbu koordinat dan ρ
merupakan fungsi skalar jarak titik pengamatan. Arus tunggal I menyebabkan
timbulnya distribusi potensial. Dalam hal ini hukum-hukum fisika dasar yang
dapat digunakan adalah terutama Hukum Kekekalan Muatan dan Hukum Ohm.
Aliran arus yang mengalir dalam bumi homogen isotropis didasarkan pada
Hukum Kekekalan Muatan yang secara matematis dapat dituliskan sebagai
berikut:
∇⋅J = −
∂q
∂t
(2.6)
Dimana, J = rapat arus (A/m2)
q = rapat muatan (C/m3)
Persamaan di atas disebut juga sebagai persamaan kontinuitas. Bila arus stasioner
maka persamaan (2.6) menjadi :
∇⋅J = 0
(2.7)
8
Hukum Ohm menyatakan bahwa besarnya rapat arus J akan sebanding dengan
besarnya medan listrik E , sehingga diperoleh persamaan matematis seperti
berikut :
J =
1
ρ
E = σ E = −σ ∇ V
(2.8)
Arah J sama dengan arah E dan σ konstan bila medium homogen isotropis.
dimana: ρ = tahanan jenis medium
E = medan listrik (volt/m)
σ = 1 ρ = hantaran medium (mho/m)
V = potensial listrik (volt)
Dari persamaan (2.7) dan (2.8) untuk medium homogen isotropis ρ konstan, maka
σ juga konstan atau ∇σ = 0, sehingga diperoleh persamaan Laplace sebagai
berikut:
∇ 2V = 0
(2.9)
Persamaan (2.9) ini termasuk persamaan dasar dalam teori penyelidikan geolistrik
tahanan jenis. Dengan demikian distribusi potensial listrik untuk arus listrik
searah dalam medium homogen isotropis memenuhi persamaan Laplace.
II.3 Potensial Elektroda Arus Tunggal pada Permukaan Medium Isotropis
Y
θ
C1
X
Power
Pb
C2
φ
Z
Arah aliran arus
Muka potensial sama
Gambar II.1. Sumber arus tunggal di permukaan medium homogen isotropis
(Loke, 2004)
9
Pada model bumi yang berbentuk setengah bola homogen isotropis memiliki
konduktivitas udara sama dengan nol. Dengan demikian arus I yang dialirkan
melalui sebuah elektroda pada titik P di permukaan, akan tersebar ke semua arah
dengan besar yang sama. (Gambar II.1). Potensial pada suatu jarak r dari titik P,
hanya merupakan fungsi r saja. Persamaan Laplace yang berhubungan dengan
kondisi ini dalam sistem koordinat bola adalah:
1 ∂ ⎛ 2 ∂V ⎞ 1 1 ∂ ⎛
∂V ⎞
1
∂V
=0
⎜r
⎟+ 2
⎜ sin θ
⎟+ 2
2
2
∂θ ⎠ r sin θ ∂φ 2
r ∂r ⎝ ∂r ⎠ r sin θ ∂θ ⎝
(2.10)
Mengingat arus yang mengalir simetri terhadap arah θ dan φ pada arus tunggal,
maka persamaan di atas menjadi:
∂ 2V 2 ∂V
+
=0
∂r 2 r ∂r
(2.11)
Dengan demikian potensial di setiap titik yang berhubungan dengan sumber arus
pada permukaan bumi yang homogen isotropis adalah:
V =
1 Iρ
r 2π
atau
ρ = 2π r
V
I
(2.12)
II.4 Potensial Dua Elektroda Arus pada Permukaan Homogen Isotropis
Pada pengukuran geolistrik tahanan jenis, biasanya digunakan dua buah elektroda
arus C di permukaan. Besarnya potensial pada titik P di permukaan akan
dipengaruhi oleh kedua elektroda tersebut (Gambar II.2).
Gambar II.2. Dua elektroda arus dan potensial di permukaan bumi homogen
isotropis (Loke & Barker, 1996)
10
Potensial pada titik P1 yang disebabkan oleh arus dari elektroda C1 dan C2
(berdasarkan persamaan (2.12)) adalah:
V1 =
Iρ
Iρ
dan V2 = −
2π r1
2π r2
Beda potensial di titik P1 akibat arus C1 dan C2 menjadi:
V1 + V2 =
Iρ
2π
⎛1 1⎞
⎜⎜ − ⎟⎟
⎝ r1 r2 ⎠
(2.13)
Demikian pula potensial yang timbul pada titik P2 akibat arus dari elektorda C1
dan C2, sehingga beda potensial antara titik P1 dan P2 ditulis sebagai:
∆V =
Iρ
2π
ρ =k
∆V
I
⎡⎛ 1 1 ⎞ ⎛ 1 1 ⎞⎤ Iρ
⎢⎜⎜ − ⎟⎟ − ⎜⎜ − ⎟⎟⎥ =
⎣⎝ r1 r2 ⎠ ⎝ r3 r4 ⎠⎦ k
(2.14)
atau
k=
2π
⎛1 1⎞ ⎛1 1
⎜⎜ − ⎟⎟ − ⎜⎜ −
⎝ r1 r2 ⎠ ⎝ r3 r4
⎞
⎟⎟
⎠
(2.15)
dimana k adalah faktor geometri yang bergantung pada susunan elektroda.
Harga resistivitas pada persamaan (2.15) merupakan harga resistivitas semu yang
diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan. Harga resistivitas sebenarnya dapat
diperoleh dengan melakukan suatu proses perhitungan, baik secara manual
maupun secara komputerisasi. Perhitungan secara manual dilakukan dengan
bantuan beberapa jenis kurva yang dikenal dengan kurva standar dan kurva bantu.
Sedangkan cara komputerisasi membutuhkan suatu perangkat lunak berupa
software. Software yang umum digunakan adalah IP dan RES2DINV.
Gambar II.3 dan II.4 memperlihatkan kisaran harga resistivitas dari beberapa jenis
batuan. Harga resistivitas batuan dapat berubah-ubah, apabila kandungan fluida
dalam pori-pori batuan mengalami perubahan atau terjadi perubahan secara
signifikan kandungan kimia yang memiliki kontras harga resistivitas.
11
Gambar II.3. Kisaran rata-rata harga resistivitas spesifik dan permitivitas relatif
beberapa jenis batuan.(Schön, 1996)
Gambar II.4. Kisaran harga resistivitas beberapa jenis batuan, tanah, dan
mineral (Loke, 2004)
II.5 Konfigurasi Elektroda dan Sensitivitasi
Ada beberapa bentuk konfigurasi elektroda (potensial dan arus) dalam eksplorasi
geolistrik tahanan jenis dengan faktor geometri yang berbeda-beda, yaitu: Wenner
Alpha, Wenner Beta, Wenner Gamma, Pole-Pole, Dipole-Dipole, Pole-Dipole,
Wenner–Schlumberger, dan Equatorial Dipole-Dipole. Setiap konfigurasi
12
memiliki kelebihan dan kekurangan, baik ditinjau dari efektivitas dan efisiensinya
maupun dari sensitifitasnya. Gambar II.5 menunjukkan berbagai bentuk susunan
(konfigurasi) elektroda.
Gambar II.5. Konfigurasi elektroda dalam eksplorasi geolistrik (Loke, 2004)
II.5.1. Wenner Alpha
Wenner Alpha memiliki konfigurasi elektroda potensial berada di antara elektroda
arus yang tersusun dari C1 – P1 – P2 – C2. Jarak elektroda yang satu dengan
lainnya sama dengan a, seperti terlihat pada Gambar II.5a. Faktor geometri
konfigurasi ini adalah k = 2 π a. Keuntungan dan keterbatasan konfigurasi Wenner
Alpha (Taib, 2004), adalah:
1. Konfigurasi elektroda Wenner Alpha, sangat sensitif terhadap perubahan
lateral setempat dan dangkal; seperti gawir, lensa-lensa setempat. Hal tersebut
terjadi karena anomali geologi diamati oleh elektroda Ci dan Pi berkali-kali.
Namun demikian untuk jarak C-P yang lebih pendek, daya tembus (penetrasi)
lebih besar, sehingga berlaku untuk eksplorasi resistivitas dalam.
13
2. Karena bidang equipotensial untuk benda homogen berupa bola, maka datadata lebih mudah diproses dan dimengerti. Disamping itu, errornya kecil.
3. Karena sensitif terhadap perubahan-perubahan ke arah lateral di permukaan,
konfigurasi ini disukai dan banyak digunakan untuk penyelidikan Geotermal.
4. Karena pengukuran setiap elektroda harus dipindahkan, maka memerlukan
buruh yang lebih banyak.
II.5.2. Wenner Beta
Wenner beta merupakan kasus khusus untuk konfigurasi Dipole-Dipole dengan
susunan elektroda seperti terlihat pada Gambar II.5b. Elektroda potensialnya
berdekan pada satu sisi dan elektroda arusnya di sisi yang lain, dengan susunan
mulai dari C2 – C1 – P1 – P2. Jarak elektroda yang satu ke elektroda yang lain juga
sama dengan a. Faktor geometri konfigurasi ini adalah k = 6 π a. Keunggulan dan
kelemahan konfigurasi ini hampir sama dengan Wenner Alpha, hanya berbeda
pada sensitivitas. Wenner Beta lebih sensitif ke arah horisontal dibandingkan
Wenner Alpha, sementara Wenner Alpha lebih sensitif ke arah vertikal atau
penetrasi Wenner Alpha lebih dalam daripada Wenner Beta.
II.5.3. Wenner Gamma
Jarak elektroda konfigurasi ini juga seperti Wenner Alpha dan Beta yaitu sejauh a,
akan tetapi kedudukan elektrodanya berselang-seling mulai C1 – P1– C2 – P2,
seperti pada Gambar II.5c. Faktor geometri konfigurasi ini adalah k = 3 π a.
Konfigurasi ini jarang digunakan karena memang tidak dapat memberikan hasil
yang lebih baik dan memuaskan.
II.5.4. Pole-Pole
Jarak elektroda konfigurasi ini juga sama dengan a, namun elektrodanya hanya
terdiri dari satu elektroda arus dan satu elektroda potensial seperti terlihat pada
Gambar II.5d. Faktor geometri konfigurasi ini adalah k = 2 π a. Karena cuma satu
elektroda arus dan satu elektoda potensial, maka tidak membutuhkan buruh yang
banyak. Akan tetapi terlalu banyak potensial yang tidak terukur.
14
II.5.5. Dipole-Dipole
Konfigurasi ini mempunyai susunan elektroda sama dengan Wenner Beta, hanya
jarak antara elektroda arus dengan elektroda potensial sama dengan n kali jarak
kedua elektroda yang sama (P1 ke P2 atau C1 ke C2). Konfigurasinya dapat dilihat
pada Gambar II.5e, dengan faktor geometri sama dengan k = πn(n + 1)(n+2)a.
Kelemahan konfigurasi ini memerlukan buruh yang banyak, tetapi dapat
memberikan informasi secara horisontal yang cukup jauh.
II.5.6. Pole-Dipole
Konfigurasi Pole-Dipole merupakan gabungan antara Pole-Pole dengan DipoleDipole, sehingga elektroda yang digunakan hanya 3 masing-masing satu elektroda
arus dan dua elektroda potensial. Adapun susunannya diperlihatkan dalam
Gambar II.5f, dengan faktor geometri k = 2πn(n + 1)a. Karena Cuma satu
elektroda arus, maka tidak membutuhkan buruh yang banyak. Akan tetapi untuk
interpretasi, sebaiknya digunakan pengukuran inverse.
II.5.7. Wenner – Schlumberger
Dalam konfigurasi ini, posisi elektroda sama dengan Wenner Alpha, tetapi jarak
antara elektroda arus dan elektroda potensial adalah n kali jarak kedu elektroda
potensial. Konfigurasi ini ditunjukkan dalam Gambar II.5g dengan dengan faktor
geometri sama dengan k = π n(n + 1)a. Keuntungan dan keterbatasan konfigurasi
Wenner- Schlumberger (Taib, 2004), adalah:
1. Dalam konfigurasi ini, MN tidak terlalu sering dipindahkan, sehingga
mengurangi jumlah buruh yang dipakai.
2. Referensi dan kurva-kurva lebih banyak, dan studi yang dilakukan cukup
banyak.
3. Konfigurasi ini tidak terlalu sensitif terhadap adanya perubahan lateral
setempat, sehingga metoda ini dianjurkan dipakai untuk penyelidikan dalam.
4. Kelemahannya: AB/MN harus berada pada rasio 2,5 < AB/MN < 50. Di luar
rasio tersebut, faktor geometri sudah berdeviasi.
15
II.5.8. Equatorial Dipole-Dipole
Konfigurasi ini lain dari ke-7 konfigurasi yang lain, karena elektrodanya tegak
lurus dengan arah lintasan, seperti terlihat pada Gambar II.5h. Faktor geometri
konfigurasi ini adalah k = 2 π b L/(L – b), dimana b = n a dan L = (a*a + b*b)0,5.
Konfigurasi ini disamping memerlukan buruh yang banyak juga butuh strategi
yang mantap, karena bentangan elektroda tegak lurus dengan arah lintasan.
Dengan kata lain elektroda arus dan elektroda potensial dipasang sejajar tapi tidak
segaris. Namun dalam satu kali mengukur dapat mencapai daerah yang luas.
Gambar II.6. Model sintetik yang menunjukkan sensitifitas tiap konfigurasi
elektroda dalam eksplorasi geolistrik (Darlin dan Zhou, 2004)
Setiap konfigurasi elektroda memiliki sensitivitas yang berbeda-beda, misalnya
Wenner Alpha dan Schlumberger memiliki kedudukan elektroda yang sama dan
sama sensitif terhadap perubahan vertikal, akan tetapi jangkauan penetrasinya
berbeda karena dipengaruhi oleh faktor jarak. Begitu pula Wenner Beta dan
Dipole-Dipole yang sensitif terhadap perubahan horisontal, namun Dipole-Dipole
lebih baik untuk daerah yang lebih luas. Seperti yang terlihat pada Gambar II.6.
16
Tabel II.1 menunjukkan harga setengah dari kedalaman investigasi untuk setiap
bentangan yang berbeda dengan panjang bentangan maksimum (L). Dari tabel
tersebut dapat diketahui kedalaman penetrasi setiap konfigurasi.
Tabel II.1.
Setengah kedalaman yang diketahui (ze) untuk bentangan yang
berbeda. L adalah panjang bentangan maksimum. Merujuk pada
Gambar II.5 untuk konfigurasi elektroda dari bentangan yang
berbeda. Faktor geometri untuk nilai “a” 1 meter. (Loke, 2004)
17
Apabila bumi dalam keadaan homogen, maka tahanan jenis (ρ) tidak bergantung
pada perubahan arus (I) dan jarak elektroda. Kenyataannya angka/nilai ρ sering
tidak konstan bila jarak diubah. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi bawah
permukaan bumi tidaklah homogen. Dengan demikian tahanan jenis yang diukur
di lapangan bukanlah nilai sebenarnya tetapi tahanan jenis semu (apparent
resistivity = ρa).
II.6 Model Sintetik
Pada Gambar II.7 disajikan sebuah model sintetik. Model tersebut terdiri atas
sebuah kotak berukuran 10 x 6 meter yang mempunyai harga resistivitas 10 Ωm
dan terletak di tengah-tengah model dengan kedalaman puncak kotak ke
permukaan sebesar 5 meter. Sedangkan latar belakang model kotak tersebut
adalah material dengan harga resistifitas 200 Ωm.
10 Ωm
200 Ω m
Gambar II.7. Model sintetik satu blok
Model pada Gambar II.7 digunakan sebagai masukan untuk pemodelan ke depan
(Forward Modeling). Merbagai macam konfigurasi elektroda digunakan di dalam
pemodelan ke depan ini. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kelebihan dan
kekurangan dari masing-masing konfigurasi.
Pada pemodelan sintetik ini, yang akan ditampilkan hanya konfigurasi Wenner
Alpha, Wenner Beta, Pole-Pole, dan Pole-Dipole.
18
II.6.1 Konfigurasi Wenner Alpha
Gambar II.8 memperlihatkan penampang resistivitas semu, sebagai hasil
pemodelan ke depan dengan input model pada Gambar II.7. Penampang
resistivitas ini menggunakan konfigurasi Wenner Alpha.
Gambar II.8. Model penampang resistivitas semu konfigurasi Wenner Alpha.
a
b
c
Gambar II.9. Hasil inverse dari model sintetik konfigurasi Wenner Alpha. (a)
Resistifitas semu pengukuran, (b) Resistifitas semu perhitungan
(respon model), (c) Hasil inversi
Pada Gambar II.9 terlihat resistivitas semu pengukuran, respon model, dan hasil
inversi dari model sintetik pada Gambar II.8 dengan menggunakan konfigurasi
Wenner Alpha. Pada model inversi warna hijau dianggap sebagai target dengan
19
harga resistivitas 52-70 Ωm mempunyai dimensi lebih besar dengan lebar sekitar
10 meter dan kedalaman puncak target sekitar 5 meter dari permukaan, sementara
batas bawahnya berada pada kira-kira 12 meter.
II.6.2 Konfigurasi Wenner Beta
Penampang resistivitas semu pada Gambar II.10 merupakan hasil pemodelan ke
depan dari model input Gambar II.7. Penampang resistivitas ini menggunakan
konfigurasi Wenner Beta. Hasil inversi yang diperoleh dari model sintetik di atas,
dapat dilihat pada Gambar II.11.
Gambar II.10. Model penampang resistivitas semu konfigurasi Wenner Beta.
a
b
c
Gambar II.11. Hasil inverse dari model sintetik konfigurasi Wenner Beta. (a)
Resistifitas semu pengukuran, (b) Resistifitas semu perhitungan
(respon model), (c) Hasil inversi
20
Pada Gambar II.11, ditunjukkan resistivitas semu pengukuran, respon model dan
hasil inversi dari model sintetik dengan konfigurasi Wenner Beta. Target (model)
diperkirakan memiliki harga resistivitas berkisar antara 29-44 Ωm (warna biru
hingga hijau) dengan kedalaman puncak sekitar 6m dari permukaan dan lebar
sekitar 10m, sedangkan batas bawahnya diperkirakan pada kedalaman 12 m dari
permukaan. Dimensi target sekitar 6 x 10 meter yang hampir sama dengan model.
II.6.3 Konfigurasi Pole-Pole
Pada Gambar II.12 diperlihatkan penampang resistivitas semu yang merupakan
hasil pemodelan ke depan dengan input model pada Gambar II.7. Penampang
resistivitas ini menggunakan konfigurasi Pole-Pole.
Gambar II.12. Model penampang resistivitas semu konfigurasi Pole-Pole
a
b
c
Gambar II.13. Hasil inverse dari model sintetik konfigurasi Pole-Pole. (a)
Resistifitas semu pengukuran, (b) Resistifitas semu perhitungan
(respon model), (c) Hasil inversi
21
Hasil inversi dari model sintetik (Gambar II.12) dengan konfigurasi Pole-Pole
ditunjukkan pada Gambar II.13 dengan resistivitas 29-52 Ωm yang berwarna
hijau. Kedalaman puncak target dari hasil inversi sekitar 4.5m dari permukaan
dengan lebar rata-rata 9 m, batas bawah target sekitar kedalaman 11 m.
II.6.4 Konfigurasi Pole-Dipole
a
b
Gambar II.14. Model penampang resistivitas semu konfigurasi Pole-Dipole. (a)
Forward Pole-Dipole dan (b) Reverse Pole-Dipole
Pada Gambar II.14 diperlihatkan dua penampang resistivitas semu yang
merupakan hasil pemodelan ke depan dengan input model pada Gambar II.7.
Penampang resistivitas ini menggunakan konfigurasi Pole-Dipole. Hasil inversi
dari model sintetik ini juga diperlihatkan dua bentuk.
Gambar II.15 menunjukkan hasil inversi dari kedua model sintetik di atas yang
menggunakan konfigurasi Pole-Dipole. Masing-masing inversi dilengkapi dengan
penampang resistivitas semu dan respon model yang ditebak. Kedalaman puncak
target dari kedua hasil inversi hampir sama bahkan tidak dapat dibedakan sekitar
5m dari permukaan. Dimensi target hasil inversi dari kedua model, baik Forward
Pole-Dipole maupun Reverse Pole-Dipole memiliki lebar rata-rata sekitar 9 meter
dan batas bawah target diperkirakan pada kedalaman 13 meter dari permukaan.
Jadi tinggi target sekitar masing-masing 7 meter, namun pada konfigurasi Reverse
Pole-Dipole, model target tidak segiempat tapi mendekati jajaran genjang.
22
a
b
Gambar II.15. Hasil inverse dari model sintetik konfigurasi Pole-Dipole (a) ke
depan dan (b) ke belakang, masing-masin (atas) Resistifitas semu
pengukuran, (tengah) Resistifitas semu perhitungan, (bawah) Hasil
inversi
23
II.7 Hubungan Parameter Geolistrik dengan Parameter Gerakan Tanah
Umumnya batuan menghambat arus listrik, dan kebanyakan batuan penyusun
kerak bumi merupakan senyawa ionik atau kovalen. Setiap batuan dalam kerak
bumi memiliki pori-pori yang biasanya terisi oleh fluida terutama air. Air dalam
pori tersebut mengandung larutan garam atau zat-zat kimia sehingga bersifat
elektrolit dan besaran yang menyangkut pori-pori ini disebut Porositas. Porositas
didefinisikan sebagai perbandingan antara volume pori (ruang pori) dengan
volume total batuan.
φ=
Vp
V
= 1−
Vp
Vm
atau φ = 100%
V
V
(2.16)
dimana Vp = volume pori
Vm = volume matrix
V = volume total batuan
φ = porositas
Besar kecilnya tahanan jenis batuan ditentukan oleh besar kecilnya
tahanan jenis fluida (cairan) yang mengisi pori-porinya. Tahanan jenis suatu
benda berbanding lurus dengan tahanan (Ω) dan luas penampang bendan yang
dilewati arus (A) serta berbanding terbalik dengan jarak sisi benda bertolak
belakang (l). Untuk menuliskan formulasi dari tahanan jenis benda ini, maka
persamaan (2.1b) dimodifikasi menjadi:
ρ=
RA
l
(2.17)
dimana ρ = tahanan jenis benda (Ω-m)
R = tahanan atau hambatan (Ω)
A = luas permukaan yang dilewati arus (m2)
l
= panjang benda yang dilewati arus (m)
Persamaan Archie I menyangkut hubungan antara tahanan jenis batuan dengan
pori-pori dan cairan yang mengisinya ditulis dalam bentuk matematikan:
ρ = a ρ w φ −m
(2.18)
24
dimana ρw = tahanan jenis cairan yang terkandung dalam pori batuan (Ω-m)
a
= tetapan empiris yang mencirikan karakter batuan
m
= tetapan empiris yang mencirikan karakter sementasi
Banyak varian yang dikembangkan oleh beberapa ahli, sehingga a dan m pada
persamaan (2.18) ditulis dalam Tabel II.2 berikut.
Tabel II.2.
Hubungan resistivitas dengan porositas (Taib, 2004)
No
1
2
3
Ahli
Archie (1942)
Boyce (1968)
Winsaner (1952)
a
1.00
1.30
0.62
m
2.00
1.45
2.15
Menurut Archie (1942,1950) bahwa porositas batuan tidak lepas dari pengaruh
faktor formasi, yang ditulis
F=
1
φm
dengan F =
ρ
ρw
(2.19)
Akan tetapi Wyllie dan Gregorie (1953) berpendapat lain tentang hubungan
tersebut, beliau menyisipkan suatu konstatan D seperti berikut:
F=
D
(2.20)
φm
Kisaran harga porositas suatu benda dapat dilihat pada Tabel II.3 berikut.
Tabel II.3.
Kisaran porositas bahan sedimen (Todd, 1961)
Jenis Bahan Sedimen
Tanah/Soil
Lempung/clay
Lanau/silt
Pasir sedang-kasar
Pasir ukuran sama
Pasir halus-sedang
Kerikil
Kerikil dan pasir
Batupasir/breksi
Batuserpih
Batu kapur/gamping
Porositas (%)
50 – 60
45 – 55
40 – 50
35 – 40
30 – 40
30 – 35
30 – 40
20 – 30
10 – 20
1 – 10
1 – 10
25
Porositas dapat pula dikaitkan dengan permeabilitas butiran K, sebagaimana yang
dirumuskan berikut:
φ =CKn
(2.21)
Menurut Worthington dan Barker (1973) dari persamaan (2.20) dan (2.21) C, n,
D, dan m merupakan tetapan dengan harga masing-masing 0.44; 0.113; 1.05; dan
1.47. sehingga kedua persamaan ini dapat ditulis seperti:
F = 3.3 K −0.17
(2.22)
Apabila porositas dihubungkan dengan densitas, maka akan diperoleh:
φ = dw − dd
(2.23)
dimana dw = densitas basah
dd = densitas kering
Jika batuan yang ditinjau adalah porous dan mudah pecah, maka porositas total
dan porositas efektif tidak jauh perbedaan dan dianggap ekuivalen. Densitas
material (ds) dapat dihitung dari:
ds =
dd
1−φ
(2.24)
Dalam Tabel II.3 dapat dilihat hubungan antara porositas dan densitas beberapa
jenis sedimen.
Tabel II.4.
Diameter ukuran butir rata-rata, densitas dan porositas dari beberapa
jenis sedimen; teras kontinen (shelf dan slope); (Hamilton &
Bachman, 1982)
Sediment types
Sand, coarse
fine
very fine
Silty sand
Sandy silt
Silt
Sand-silt-clay
Clayey silt
Silty clay
Mean Grean Diameter (mm)
0.5285
0.1638
0.0988
0.0529
0.0340
0.0237
0.0177
0.0071
0.0022
26
Density (g/cm3)
2.034
1.962
1.878
1.783
1.769
1.740
1.575
1.489
1.480
Porosity (%)
38.6
44.5
48.5
54.2
54.7
56.2
66.3
71.6
73.0
Download