Dukungan Proklamasi Kemerdekaan di Bali

advertisement
1
Dukungan Proklamasi Kemerdekaan di Bali
Dr. Abdul Syukur, M.Hum
Pendahuluan
Tulisan ini disusun berdasarkan permintaan dari panitia Seminar Nasional
Proklamasi Kemerdekaan RI di 8 Wilayah Propinsi yang diselenggarakan Museum
Perumusan Naskah Proklamasi Kemenetrian Pendidikan dan Kebudayaan pada 30
Oktober 2014 di Jakarta. Thema yang diberikan panitia untuk penulis adalah Peran
Aktif Golongan Pro-Republik Era Awal Kemerdekaan Indonesia di Sunda Kecil,
khususnya Bali.
Pulau Bali menjadi pusat pemerintahan Propinsi Sunda Kecil yang dibentuk
oleh pemerintah Republik Indonesia pada awal kemerdekaan. Kebijakan ini
sesunggunya merupakan kelanjutan dari kebijakan dua pemerintahan sebelumnya,
yakni pemerintah kolonial Hindia Belanda dan pemerntahan pendudukan militer
Jepang.
Fokus tulisan ini adalah peran akif golongan pro-repubik di Bali terhadap
proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945. Explanasi
(Penjelasan) terhadap peran aktif mereka dibahas dengan menelusuri mentifact (fakta
mental) dan sosiofact (fakta sosial) yang mengintegrasikan Bali dengan seluruh
wilayah koloni pemerintah Hindia Belanda. Penelusuran dijelaskan dalam kerangka
berpikir kausalitas yang sangat penting dalam studi-studi kesejarahan.
Kolonisasi Belanda di Bali
Kolonisasi Belanda berawal dari kegiatan perdagangan yang dilakukan
gabubungan perusahaan-perusahaan dagang Belanda yang terhimpun dalam VOC
(Verenigde Oostindische Compagnie). Perusahaan ini dibentuk pada 20 Maret 1602

Dr. Abdul Syukur, M.Hum adalah dosen di Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas
Negeri Jakarta (UNJ)
2
dan mendapatkan dukungan politik dari Staten General, sebuah dewan perwakilan
tujuh negara bagian Belanda. Di antara bentuk dukungan adalah menerbitkan Octrooi
(Surat Izin) kepada VOC melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah di
Hindia Timur. Di samping itu pihak kerajaan Belanda memberikan perlindungan
dengan melakukan pengawalan terhadap kapal-kapal dagang VOC yang berlayar dari
Belanda ke Hindia Timur, dan sebaliknya. Perusahaan VOC beroperasi selama 197
tahun lamanya. Pemerintah Belanda membubarkan VOC pada tahun 1799 karena
tidak sanggup membayar dividen dari saham-saham yang dijualnya.
Seluruh
kekayaan VOC disita pemerintah Belanda sebagai pengganti pelunasan hutanghutangnya, seperti benteng-benteng atau daerah-daerah produksi rempah-rempah di
Nusantara. Seluruh wilayah ini sempat dikuasai Perancis dan Inggris. Pada tahun
1816 pihak Inggris mengembalikan Hindia Timur kepada Belanda. Sejak itulah
sesungguhnya pemerintah Belanda mengawali kolonisasi dengan membentuk
kolonial Hindia Belanda dengan ibukotanya di Batavia, sekarang Jakarta. (Marwati
Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 2012: 52).
Setelah berhasil memperkuat kekuasaannya di seluruh Pulau Jawa,
pemerintah kolonial mengirimkan pasukannya untuk menguasai Pulau Bali yang
dikuasai beberapa kerajaan: Buleleng, Karangasem, Klungkung, Gianyar, Badung,
Jembrana, Tabanan, Mengwi, dan Bangli. Masing-masing kerajaan dipimpin seorang
raja dengan pemerintahannya sendiri. Raja Dewa Agung dari Klungkung diakui
sebagai raja tertinggi karena secara adat diakui sebagai pemimpin agama Hindu di
seluruh Bali.
Kerajaan Karangasem yang terletak di ujung timur Pulau Bali meluaskan
wilayah kekuasaanya hingga ke Pulau Lombok pada tahun 1740 dengan menaklukan
kedatuan Selaparang yang merupakan kedatuan yang terkuat di Pulau Lombok1 Sejak
tahu 1774 kekuasaan kerajaan Karangasem di Pulau Lombok terbagi menjadi empat
1
Menurut Babad Lombok, ada tiga kedatuan di Pulau Lombok sebelum dikuasai Kerajaan
Karangasem, yaitu Selaparang,, Pejanggi, dan Bayan. Sejak dikuasai Kerajaan Karangem, kedatuan
dihapuskan dan gelar tertinggi yang semula Datu digantikan dengan Gusti
3
kerajaan otonom: Karangasem Sasak, Mataram, Pugutan, dan Pagesangan.
Keempatnya terlibat perang memperebutkan hegemoni yang mencapai puncaknya
pada tahun 1838-1839. Perang ini dimenangkan Kerajaan Mataram. Raja-raja
Mataram mempunyai pertalian kerabat dengan raja-raja Karangasem.
Kerajaan Karangasem dan kerajaan-kerajaan Bali lainnya sudah menjalin
hubungan perdagangan dengan Belanda sejak masa VOC. Mereka dikenal sebagai
pemasok budak.Pihak VOC dan pemerintah kolonial menjadikan budak-budak dari
Bali sebagai anggota pasukan tempurnya. Pada tahun 1841 hubungan perekonomian
itu berubah menjadi hubungan politik setelah Raja Karangasem meminta bantuan
pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk menghancurkan pemberontakan di
Lombok.
Selain menjalin hubungan politik dengan Kerajaan Karangasem, pemerintah
kolonial mengadakan hubungan politik dengan Kerajaan Klungkung, Bueleng dan
Badung. Hubungan politik ini dilakukan melalui sebuah perjanjian yang berisi
tentang pengakuan terhadap kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda, dan
melarang mereka menjalin hubungan dengan negara-negara Eropa lainnya.
Hak Tawan Karang, sebuah tradisi di Bali untuk merampas perahu yang
terdampar di pantai wilayah kekuasaannya, menjadi masalah yang meengganggu
hubungan baik kerajaan-kerajaan di Bali dengan pemerintah kolonial. SEdikitnya dua
kali kapal-kapal dagang pemerintah Hindia Belanda dirampas oleh kerajaan Bali,
yaitu pada tahun 1841 di pantai wilayah Kerajaan Badung, dan tahun1844 di pantai
wilayah
Kerajaan
Buleleng.
Raja
Badung
dan
Buleleng menolak
untuk
mengembalikan kapal-kapal dagang Belanda yang terkena hak tawan karang.
Keduanya memilih berperang melawan pasukan Hindia Belanda.
Raja Buleleng menolak konsep perjanjian penghapusan hak tawan karang
yang disusun pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1841 dan 1843.
Penolakannya mendapat dukungan Raja Karangasem dan Raja Klungkung. Akibat
penolakan ini pasukan Hindia Belanda menyerang Bali pada tahun 1846. Tiga tahun
4
kemudian Kerajaan Buleleng dihancurkan. Keberhasilan ini mengakibatkan beberapa
kerajaan di Bali berdamai seperti Kerajaan Badung, Bangli, Jembrana, Tabanan, dan
Gianyar Mereka mengirimkan pasukannya untuk membantu pasukan Hindia Belanda
menghancurkan pasukan Kerajaan Karangasem dan Buleleng. Bantuan pasukan juga
diberikan Kerajaan Mataram dari Pulau Lombok yang sudah lama bermusuhan
dengan Kerajaan Karangasem. Bantuan mereka sangat membantu pasukan Hindia
Belanda menghancurkan pasukan Karangasem dan Buleleng pada tahun 1849.
Namun hubungan antara pemerintah Hindia Belanda dengan bekas sekutu lokalnya
(Badung, Bangli, Jembrana, Tabanan, Gianyar, dan Mataram Lombok) segera
berubah dari persekutuan menjadi permusuhan hingga terjadi perang besar selama
dekade 1900-an. Pengalaman pahit ini menanamkan kebencian yang meluas terhadap
pemerintah Hindia Belanda.
Tokoh Bali Mempersiapkan Kemerdekaan
Pulau Bali dan Lombok oleh pemerintah Hindia Belanda disatukan dalam satu
pemerintahan setingkat karesidenan. Pusat pemerintahannya berada di kota Singaraja.
Dalam struktur birokrasi kolonial, para raja Bali menjadi bawahan sebagai
kepanjangan tangan kekuasan pemerintah Hindia Belanda. Dalam struktur
pemerintahan,
Keresidenan
Bali-Lombok
dimasukan
ke
dalam
wilayah
Gouvernement Groote Oost (Indonesia Bagian Timur) yang terdiri dari Keresidenan
Sulawesi dan sekitarnya (Celebes en Onderhoorigheden), Keresidenan Menado,
Kerisidenan Maluku dan Karesidenan Timor.
Di luar Jawa, pemerintah kolonial membentuk wilayah otonom zelfbesturen
landshchapen. Pembentukannya didasarkan pada kesepakatan politik antara raja
setempat dengan gubernur jenderal Hindia Belanda. Kesepakatan politik ini terdiri
dari dua: lange politieke cnotracten (kontrak politik, plakat panjang) dan korte
verklaring (perjanjian/plakat pendek). Berdasarkan peraturan tahun 1940 inilah bekas
kerajaan-kerajaan di Bali dijadikan sebagai zelfbesturen landschapen.
5
Persyaratan pemimpin zelfbuesterun landschapen harus berpendidikan calon
pangreh pradja. Pada awalnya pendidikannya dilakukan di Hoofdenschool yang
didirikan pemerintah kolonial pada tahun 1878 di Bandung, Magelang dan
Probolinggo. Dua puluh dua tahun kemudian Hoofdenschool direorganisasi menjadi
OSVIA (Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren). Pendidikan OSVIA
berpusat di Bandung, Magelang, Probolinggo, Serang, Madiun dan Blitar. Pemerintah
kolonial mereorganisasi OSVIA menjadi MOSVIA (Middelbare Opleiding School
voor Inlandsche Ambternaren). Reorganisasi ini didahului dengan penutupan OSVIA.
Pendidikan MOSVIA dipusatkan di Bandung, Magelang, Madiun, dan Probolinggo.
Melalui sistem pendidikan ini anak raja-raja Bali berinteraksi dan berintegrasi dengan
anak raja-raja dari daerah lainnya. Pemerintah Hindia Belanda memasukan mereka ke
dalam golongan inlander atau Bumiputera.
Pemerintahan Hindia Belanda berakhir pada tahun 1942 setelah pasukannya
dihancurkan pasukan Jepang. Bekas wilayah koloni Hindia Belanda ini oleh
pemerintah Jepang dibagi menjadi tiga wilayah pemerintahan militer, yaitu
pemerintahan militer Tentara ke-25 Angkatan Darat Jepang dengan pusat
pemerintahannya di Bukittinggi dan wilayahnya mencakup seluruh Pulau Sumatera,
pemerintahan militer Tentara ke-16 Angkatan Darat Jepang dengan pusat
pemerintahan di Jakarta dan wilayahnya mencakup Pulau Jawa-Madura, dan
pemerintahan Armada Selatan ke-2 Angkatan Laut Jepang dengan pusat
pemerintahannya di Makasar dan wilayahnya meliputi Pulau Sulawesi, Kalimantan,
Kepulauan Maluku, Bali, Lombok, Nusatenggara, dan Timor.
Pemerintahan militer Jepang yang dibangun Angkatan Darat disebut
gunseikan, sedangkan yang dibentuk Angkatan Laut adalah Meinsifu. Kantor
bawahan Meinsifu terdapat di Sulawesi, Kalimantan, dan Seram dalam kepulauan
Maluku. Memasuki tahun 1943 kantor bawahan Meinsifu di Seram dipindahkan ke
Bali. Kepindahan ini didasarkan pada strategi miiliter untuk menghadapi pasukan
sekutu.
6
Jakarta menjadi pusat pemerintahan yang dibangun Angkatan Darat maupun
Angkatan Laut Jepang. Olek karena itu Angkatan Laut Jepang membuka kantor
penghubung (Bukanfu) di Jakarta. Kepala kantor penghubung dijabat Laksamana
Tadashi Maeda. Ia mempunyai hubungan dekat dengan para tokoh pergerakan
nasional karena sudah berada di Jakarta sejak tahun 1930-an dalam tugas penyamaran
sebagai bagian persiapan pasukan Jepang menguasai Hindia Belanda. Banyak tokoh
pergerakan yang bekerja di kantor penghubung. Di antaranya adalah Mr. Achmad
Subardjo.
Sebagian besar tokoh pergerakan nasional mendukung pemerintahan Jepang
karena mereka sangat dikecewakan secara politik pemerintahan Hindia Belanda. Oleh
karena mereka menjadi bagian dari pemerintahan militer yang dibangun Angkatan
Darat maupun Angkatan Laut Jepang, termasuk memimpin organisasi-organisasi
pengerahkan dukungan rakyat. Dukungan mereka bertambah kuat setelah Perdana
Menteri Jepang yang baru terpilih Jenderal Kuniaki Koiso pada 7 September 1944
mengumumkan keputusannya untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa
Indonesia. Berdasarkan keputusan ini Pemerintah Pendudukan Jepang di Jakarta
Letnan Jenderal Kumakici Harada pada 1 Maret 1945 membentuk Dokuritsu Junbi
Cosokai
(Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan)
dengan
melibatkan 60 tokoh nasional maupun daerah dan golongan yang berpengaruh. Badan
ini dipimpin dr. K.R.T. Radjiman Wediodingrat.
Janji Perdana Menteri Koiso dan pembentukan Dokuritsu Junbi Cosokai
disebarkan secara luas oleh pemerintah Jepang melalui siaran radio maupun surat
kabar. Badan ini berhasil menyusun konstitusi dan dasar negara. Karena tugasnya
telah selesai, pemerintah Jepang membubarkannya dan menggantinya dengan badan
baru: Dokuritsu Junbi Inkai (Panitia Persiapan Kemerdekaan). Badan ini dibentuk
pada 7 Agustus 1945 berdasarkan keputusan Panglima Tentara Umum Selatan
Jenderal Besar Terauchi yang bermarkas di Dalat, Vietnam Selatan. Ketua badan
persiapan adalah Ir. Soekarno dan wakilnya Drs. Mohammad Hatta. Keduanya
7
dikenal sebagai tokoh pergerakan yang sangat berpengaruh. Keanggotaannya
mewakili seluruh wilayah pendudukan, yakni 12 wakil dari Pulau Jawa-Madura, 3
wakil dari Sumatera, dan 5 daerah wilayah di bawah kekuasaan Angkatan Laut
Jepang (Sulawesi, Kalimantan, Bali, dan Maluku), dan seorang wakil golongan
(Cina).
Wakil dari Bali dalam Badan Persiapan Kemerdekaan adalah Mr. I Gusti
Ketut Pudja, seorang pejabat pemerintahan Meinsifu. Ia berada di Jakarta sejak 7
Agustus 1945 untuk keperluan pelantikan. Dua hari setelah pelantikan, pimpinan
Badan Persiapan Kemerdekaan (Ir. Sekarno dan Drs. Mohammad Hatta) menghadap
Jenderal Besar Terauchi di Dalat. Keduanya ditemani mantan ketua Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat.
Pertemuan antara tokoh Indonesia dengan Jenderal Besar Terauchi di Dalat
berlangsung pada 12 Agustus 1945. Dua hari kemudian ketiga tokoh Indonesia tiba di
tanah air dan belum mengetahui berita tentang penyerahan Jepang kepada Sekutu.
Menurut rencana Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta akan memimpin rapat
Panitia Persiapan Kemerdekaan di Hotel Des Indies pada 16 Agustus 1945. Namun
rapat ini tidak dapat dilaksanakan karena para tokoh pemuda menculiknya ke
Rengasdengklok. Mr. Achmad Subardjo kemudian menjemput keduanya kembali ke
Jakarta. Naskah proklamasi dirumuskan di rumah kepala kantor penghubung
Angkatan Laut Jepang Laksamana Tadashi Maeda. Proses perumusan naskah
proklamasi dihadari seluruh anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan.
Teks Proklamasi dibacakan pada 17 Agustus 1945 oleh Ir. Soekarno.
Keesokan harinya dibentuk pemerintahan yang dipimpin Ir. Soekarno sebagai
Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden. Panitia Persiapan
Kemerdekaan dibubarkan. Kedudukannya digantikan Komite Nasional Indonesia
yang terdiri dari tingkat daerah dan pusat. Pemerintah membagi wilayah Indonesia
menjadi 8 provinsi: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi,
8
Maluku, Sunda Kecil, dan Sumatera. Masing-masing provinsi dipimpin seorang
gubernur.
Tokoh dari Bali Mr. I Gusti Ketut Pudja diangkat sebagai Gubernur Sunda
Kecil dengan wilayah meliputi Pulau Bali, Lombok, Sumbawa dan Nusa Tenggara.
Melalui
keterlibatannya
di
dalam
Panitia
Persiapan
Kemerdekaan
dan
pengangkatannya sebagai gubernur memudahkan penyebaran berita proklamasi di
seluruh Bali. Sekembalinya dari Jakarta, I Ketut Pudja langsung membentuk Kominte
Nasional Indonesia Daerah. Tugas terberatnya adalah memberitahu kepala daerah
Meinsifu di Bali yang dijabat perwira Angkatan Laut Jepang. Tugas ini sangat berat
karena pihak Jepang dilarang memberikan bantuan perubahan status quo di wilayah
yang dikuasainya. Seluruh wilayah pendudukannya akan diserahkan kepada pihak
Sekutu sebagai pemenang perang. Larangan mengubah statu quo berlaku sejak
penyerahanan Jepang kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945.
Sebagai Gubernur Sunda Kecil, Ketut Pudja menndaklanjuti kebijakan
pemerintah pusat membentuk KNID Sunda Kecil dan Badan Keamanan Rakyat
Sunda Kecil (BKR SK). Dua tokoh Bali diangkat sebagai pemimpinnya, yaitu Ida
Bagus Putra Manuaba memimpin KNID Sunda Kecil, dan I Gusti Ngurah Rai
memimpin BKR Sunda Kecil. Pengangkatan Ngurah Rai didasarkan pada latar
belakang pendidikan dan sosial. Ia keturunan bangsawan Kerajaan Badung yang
mendapatkan pendidikan militer pada masa kolonial di Corps Opleiding Voor
Reserve Officieren (CORO), Magelang.
Pada 5 Oktober 1945 pemerintah pusat mengubah seluruh BKR menjadi
TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Gubernur Sunda Kecil juga mengubah BKR SK
menjadi TKR SK pada 1 Nopember 1945 melalui rapat bersama Ketua Komite
Nasional Indonesia (KNI) Sunda Kecil Ida Bagus Putra Manuaba, pimpinan badanbadan perjuangan dan dewan raja-raja di Bali. Dalam rapat tersebut, I Gusti Ngurah
Rai dikukuhkan sebagai panglima TKR SK.
9
Untuk mempersenjatai pasukan TKR SK, Ngurah Rai berunding dengan
pimpinan tentara Jepang di Bali agar menyerahan persenjataan mereka secara damai.
Pihak Jepang menolak permintaannya sehingga mendorongnya menyusun rencana
penyerangan secara serentak terhadap markas-markas tentara Jepang di seluruh Bali.
Serangan dilaksanakan pada tengah malam 13 Desember 1945 di bawah
pimpinannya. Namun serangan mengalami kegagalan karena tidak dapat menguasai
markas-markas tentara Jepang. Bahkan pasukan memukul mundur TKR SK,
termasuk pasukan Ngurah Rai di kota Denpasar. Pasukannya terkepung di Puri
Kesiman, Kota Denpasar, dan meloloskan diri dari kepungan pasukan Jepang ke
Banjar Mungsengan, Desa Catur, Kabupaten Bangli. Pada 19 Desember 1945 Ngurah
Raid dan beberapa pimpinan TKR SK ke markas TKR pusat di Pulau Jawa.
Perjalanan ditempuh dengan menerobos hutan belantara menuju pantai Celukan
Bawang, Kecamatan Grokgak, Kabupaten Buleleng. Dengan perahu nelayan
rombongan ke pantai Bayuwangi. Untuk sementara kepemimpinan TKR SK dijabat I
Made Widjakusuma.
Misi utama Ngurah Rai ke Jawa adalah meminta bantuan. yang dikenal
dengan nama Pak Joko. I Made Widjakusuma menjalankan tugas-tugas
kepemimpinan selama masa tersebut, berdasarkan instruksi pucuk pimpinan Resimen
TKR Sunda Kecil I Gusti Ngurah Rai. Ia kembali ke Bali pada 5 April 1946 dan
langsung menuju Banjar Munduk Malang, Desa Dalang, Kabupaten Tabanan yang
terletak di pedalaman. Ngurah Rai membentuk Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia
Sunda Kecil (DPRISK) sesuai perintah Menteri Pertahanan Keamanan RI untuk
menggabungkan TKR dengan lascar-laskar perjuangan. Pada setiap kabupaten
dibentuk Markas Besar (MB) yang membawahi Markas Cabang di kecamatan,
Markas Ranting di tingkat desa, dan Markas Anak Ranting (MAR) di tingkat banjar.
Pembentukan DPRI SK merupakan persiapan Ngurah Rai untuk menghadapi
pasukan Sekutu dan Belanda di Bali. Kekuatannya mendapatkan bantuan dari
Angkatan Laut RI. Pada tanggal 16 April 1946 datang satu kompi Kompi Angkatan
10
Laut (AL) pimpinan Kapten P. Markadi di Pantai Cekik, Gilimanuk, Kabupaten
Jembrana. Pada 18 Nopember 1946 pasukan TKR SK pimpinan I Gusti Ngurah Rai
menyerang pasukan Belanda di Tabanan. Pasukan Belanda mendapatkan bantuan dari
daerah lain termasuk mendatangkan pasukan dari Lombok. Serangan balik pasukan
Belanda menghancur seluruh garis pertahanan TKR SK. Ngurah Rai beserta
pasukannya terdesak di Desa Margarana. Mereka menolak untuk menyerah kepada
pasukan Belanda dan memilih perang puputan, suatu tradisi Bali berjuang hingga
mati. Oleh karena itu perang antara pasukannya melawan pasukan Belanda yang kuat
dan besar pada 20 November 1946 di Margarana dikenang sebagai Puputan
Margarana.
Kesimpulan
Kolonisasi Belanda di Bali menndoong pengintegrasian Bali dengan daerah
koloni lainnya, terutama dengan Jawa. Kaum bangsawan dan rakyat Bali oleh
pemerintah kolonial dimasukan ke dalam golongan Bumiputera atau inlander.
Kebijakan ini mempercepat proses integrasi sehingga gagasan kebangsaan Indonesia
mendapat dukungan dari para bangsawan Bali yang mengikuti pendidikan tinggi di
Jawa seperti STOVIA, NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School), THS
(Technische Hoge School / Sekolah Tinggi Teknik), RHS (Rechtskundige
Hogeschool / Sekolah Hakim Tinggi), dan Rechshool (Sekolah Hakim).
Melalui pendidikan itulah anak-anak bangsawan Bali berintegrasi dengan
anak-anak bangsawan dari berbagai daerah. Di antaranya I Ketut Pudja yang
menamatkan pendidikan hukumnya di RHS dan sejak awal terlibat dalam
menyiapkan kemerdekaan Indonesia karena diangkat oleh pemerintahan militer
Jepang menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan. Setelah merdeka, ia
diangkat oleh pemerintah RI menjadi Gubernur Sunda Kecil dan mendapatkan tugas
khusus menyebarkan berita proklamasi serta memberikan pemahaman kepada para
11
raja dan bangsawan Bali agar mendukung proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia
dan pembentukan negara Republik Indonesia.
Tokoh Bali lainnya yang berjasa dalam menyatukan Bali ke dalam negara
Republik Indonesia adalah I Gusti Ngurah Rai, seorang keturunan bangsawan dari
Kerajaan Badung di Denpasar. Sesuai latar belakang pendidikan militernya, ia
menjabat Komandan TKR Sunda Kecil. Namanya dikenal sebagai pahlawan dalam
Puputan Margarana menghadapi pasukan Belanda.
Download