BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kitin dan Bakteri

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kitin dan Bakteri Kitinolitik
Kitin adalah polimer kedua terbanyak di alam setelah selulosa. Kitin merupakan
komponen penyusun tubuh serangga, udang, kepiting, cumi-cumi, dan artropoda
lainnya, serta bagian dari dinding sel kebanyakan jamur dan alga. Setiap tahun dari
perairan (laut) dihasilkan sekitar 1011 ton kitin, namun kurang dari 0,1% yang
dimanfaatkan kembali. Kitin memiliki struktur yang mirip selulosa. Selulosa tersusun
atas monomer glukosa, sedangkan kitin tersusun dari monomer N-asetilglukosamin.
Keduanya memiliki kelarutan sangat rendah dalam air serta mengalami biodegradasi
melalui mekanisme yang hampir serupa dengan melibatkan komplek enzim
(Toharisman, 2007).
Berbagai mikroorganisme mensekresi metabolit yang dapat mempengaruhi
aktivitas dan pertumbuhan patogen. Banyak mikroorganisme menghasilkan dan
mengeluarkan enzim litik yang dapat menghidrolisis sebagian besar senyawa polimer
termasuk kitin (Pal & Gardener, 2006). Kitinase ialah enzim yang mendegradasi kitin
menjadi N-asetilglukosamin. Degradasi kitin dapat dilakukan oleh organisme
kitinolitik dengan melibatkan enzim kitinase, seperti dari kelompok bakteri (Muharni,
2009).
Bakteri kitinolitik merupakan kelompok bakteri penghasil kitinase yang dapat
mendegradasi senyawa kitin. Menurut Toharisman (2007), kitinase dari organisme
laut berperan dalam proses daur ulang kitin. Banyak bakteri dan jamur mengeluarkan
kitinase untuk menguraikan kitin menjadi karbon dan nitrogen. Dua senyawa tersebut
selanjutnya dipakai sebagai sumber energi biota lainnya. Dengan adanya kitinase
6
penguraian kitin berlangsung terus-menerus sehingga tidak terjadi akumulasi kitin dari
sisa cangkang udang, kepiting, cumi dan organisme laut lainnya.
2.2 Jamur Patogen Sclerotium rolfsii
Menurut Alexopoulos & Mims (1979), Sclerotium rolfsii dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
Kingdom
: Mycetaceae
Divisi
: Mycota
Kelas
: Deuteromycota
Ordo
: Mycelia Steril
Famili
: Agonomycetaceae
Genus
: Sclerotium
Spesies
: Sclerotium rolfsii Sacc
Sclerotium rolfsii memproduksi hifa putih kemudian miseliumnya menginfeksi
jaringan tanaman inang yang biasanya setelah 3-4 hari setelah infeksi ketika kondisi
kering. Cabang hifa utama umumnya besar (5-9 µm) dibandingkan pada banyak
kelompok jamur yang biasanya mempunyai diameter hifa 2-4 µm. Sekitar tujuh hari
setelah infeksi, hifa mulai membentuk sklerotia. Sklerotia berdiameter 0,5-2 mm,
tetapi beberapa dapat berdiameter sampai 8-9 mm. Sklerotia dapat bertahan selama
beberapa tahun di dalam tanah, media, atau di tanaman yang terserang. S. rolfsii tidak
memproduksi spora aseksual. Pertumbuhan hifa dan sklerotia terjadi pada suhu
optimum yang berkisar antara 27-35oC seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.2.1.
Pada suhu 27oC di media PDA. Sklerotia terbentuk setelah hari kelima sampai hari
ketujuh (Mullen, 2001).
Menurut Hartati et al., (2008), Sclerotium sp. dapat hidup pada kondisi
lingkungan yang bervariasi. Hal ini disebabkan oleh jamur tersebut mampu tumbuh
pada kisaran suhu antara 28-350C, kelembapan 55-100%, kisaran pH antara 4-8.
7
a
b
Gambar. 2.2.1 Koloni Sclerotium rolfsii (a) pada media PDA, (b) menginfeksi
kecambah kedelai. Sumber: Agrios (2004) dan Siregar (2011)
Jamur tular tanah Sclerotium rolfsii menginfeksi lebih kurang 19 tanaman
herba. Jamur ini merupakan suatu patogen yang menyebabkan beberapa gejala
penyakit tanaman di wilayah yang bersuhu panas dan bersuhu dingin termasuk
Amerika Selatan (Edmunds & Gleason, 2003).
2.3 Penyakit Rebah Kecambah pada Kedelai
Kebutuhan kedelai semakin meningkat di Indonesia. Oleh karena itu, produksi
kedelai perlu ditingkatkan. Salah satu hambatan dalam upaya meningkatkan produksi
kedelai adalah serangan penyakit tanaman. Salah satu penyakit tanaman yang sering
menyerang kedelai adalah rebah semai/kecambah (damping off). Menurut Djafaruddin
(2008), jamur yang menembus masuk ke akar, tanpa memperlihatkan gejala luar
dengan segera, dan kemudian menyerang dan menyumbat sistem jaringan pembuluh
pengangkutan, hingga menyebabkan gejala layu dan terbatas pada persemaian
dinamakan rebah kecambah. Diantara penyebab damping off pada bibit persemaian
yang paling penting (kadang-kadang pada tanaman yang lebih tua tampak juga, baik
berupa busuk akar atau busuk batang), adalah kelompok jamur yang tergolong kepada
cendawan busuk akar (root rot) dari genera Corticium, Pellicularia, Pythium,
Rhizopus, Phoma, Macrophoma, Phytophthora, Vertillicium, Rhizoctonia, dan
Fusarium, maupun Sclerotium.
Kehilangan hasil kedelai akibat infeksi S. rolfsii diperkirakan mencapai 2.500
ton/tahun di Indonesia. Intensitas kerusakan tanaman kedelai yang terinfeksi patogen
tular tanah seperti S. rolfsii, Fusarium solani, dan Pythium sp. dapat mencapai 35% di
Nusa Tenggara Barat (Sudantha 1997).
8
Jamur patogen tular tanah memiliki kisaran inang yang luas dan beberapa
diantaranya mempunyai struktur istirahat, sehingga penyakit yang ditimbulkannya
menjadi sulit dikendalikan. S. rolfsii merupakan salah satu jenis jamur patogen tular
tanah yang dapat menyebabkan berbagai jenis penyakit pada lebih dari satu jenis
tanaman (Papuanga, 2008).
Rebah kecambah yang disebabkan oleh S. rolfsii merupakan penyakit penting
tanaman kedelai, terutama pada musim hujan atau pada lahan yang drainasenya buruk.
Infeksi S. rolfsii pada kedelai biasanya mulai terjadi di awal pertumbuhan tanaman
dengan gejala busuk kecambah atau rebah kecambah seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 2.2.1. Pada tanaman kedelai berumur lebih dari 2-3 minggu, gejalanya berupa
busuk pangkal batang dan layu, pada bagian terinfeksi terlihat bercak berwarna coklat
pucat dan di bagian tersebut tumbuh miselia jamur berwarna putih (Punja, 1988;
Semangun, 1993).
Gejala serangan mulai tampak pada minggu kedua setelah inokulasi yang
ditandai dengan mulai membusuknya bagian pangkal batang, yaitu pada batas
permukaan tanah, diikuti dengan daun layu secara perlahan-lahan, kemudian
menguning dan mati. Pada tingkat serangan yang lebih lanjut pada bagian pangkal
batang terlihat adanya miselium jamur dan butir-butir sklerotia yang mula-mula
berwarna putih kemudian berubah menjadi coklat (Ratulangi, 2004).
2.4 Pengendalian Hayati oleh Bakteri Kitinolitik
Pengendalian S. rolfsii umumnya secara mekanis dengan mencabut dan membuang
tanaman yang sakit. Cara pengendalian tersebut kurang efektif karena patogen masih
mampu bertahan lama di dalam tanah, dengan membentuk organ pembiakan, yaitu
sklerotia. Sklerotia merupakan pemampatan dari himpunan miselium jamur, warnanya
kecoklatan, berbentuk butiran kecil dengan diameter sekitar 1 mm, berkulit keras, dan
mampu bertahan lama (dorman) di tanah (Rahayu, 2008).
9
Pengendalian penyakit tanaman juga dilakukan dengan menggunakan senyawa
kimiawi. Namun demikian, penggunaannya yang berlebihan dan dalam jangka waktu
yang lama dapat berdampak negatif pada kesehatan manusia dan pencemaran
lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan upaya penanggulangan alternatif untuk
mengendalikan jamur patogen tanaman misalnya dengan memanfaatkan agen
pengendali hayati yang lebih ramah lingkungan (Papuanga, 2009).
Pemanfaatan mikroorganisme untuk mengendalikan penyakit tanaman
merupakan bidang yang relatif belum lama berkembang. Pengendalian hayati jamur
penyakit tanaman sering menggunakan mikroorganisme seperti jamur dan bakteri
(Suryanto, 2009). Selain bakteri penghasil antibiotik, bakteri kitinolitik juga berperan
dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman (Suryanto & Munir, 2006).
Degradasi kitin dapat dilakukan oleh mikroorganisme kitinolitik dengan
melibatkan enzim kitinase. Sebagian besar mikroorganisme ini ialah dari kelompok
bakteri, misalnya Streptomyces, Bacillus, Aeromonas, Serratia, dan Enterobacter.
Beberapa tumbuhan tingkat tinggi juga dilaporkan memiliki aktivitas kitinolitik.
Enzim kitinase yang dihasilkan oleh mikroorganisme kitinolitik memiliki banyak
kegunaan. Adanya enzim kitinase memungkinkan konversi kitin menjadi produk yang
berguna dalam industri pangan, kosmetik, farmasi dan lain-lain. Aplikasi lainnya dari
aktivitas kitinolitik adalah untuk pengendalian jamur patogen secara biologis
(Pujiyanto & Wijanarka, 2004). Bakteri antagonis Serratia marcescens menghasilkan
enzim glukanase dan kitinase. Enzim kitinase yang dilepas oleh bakteri antagonis ini
akan menyebabkan lisis pada ujung hifa. Bagian ujung hifa, sekat dan percabangan,
umumnya peka terhadap penguraian karena enzim (Soesanto, 2008).
Download