TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Kelelawar

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Kelelawar
Kelelawar merupakan mamalia yang dapat terbang yang termasuk ordo
Chiroptera. Hewan ini merupakan satu-satunya mamalia yang dapat terbang dengan
menggunakan sayap. Hewan ini bersifat nokturnal karena aktif mencari makan dan
terbang hanya pada waktu malam hari, sehingga kelelawar memerlukan tempat
bertengger (roosting area) dan tidur dengan bergelantung terbalik pada siang hari
(Suyanto, 2001). Dijelaskan lebih lanjut bahwa sayap kelelawar sangat sensitif
terhadap dehidrasi (kekurangan air). Djuri dan Madya (2009) menjelaskan bahwa
sayap kelelawar dibentuk karena perpanjangan jari kedua sampai jari kelima yang
ditutupi selaput terbang atau patagium, sedangkan jari pertama bebas dan berukuran
relatif normal. Kelelawar memiliki cakar pada jari kedua, terutama pada famili
Pteropodidae. Pada umumnya banyak kelelawar tidak memiliki ciri tersebut.
Dinyatakan lebih lanjut bahwa dalam mengidentifikasi kelelawar dapat dibantu
dengan keberadaan ekor. Jenis-jenis kelelawar yang tidak memiliki ekor atau ekor
berukuran sangat kecil adalah Pteropus, Acerodon, Harpyionycteris, Styloctenium,
Balionycteris,
Aethalops,
Megaerops,
Syconycteris,
Thoopterus,
Chironax,
Macroglossus, Megaderma dan Coelops. Ujung ekor bercabang dan membentuk
huruf T, ditemukan pada jenis anggota marga Nycteris (Suyanto, 2001).
Kelelawar diklasifikasikan ke dalam kingdom Animalia, filum Chordata,
kelas Mammalia, ordo Chiroptera, sub-ordo Megachiroptera dan Microchiroptera,
famili Pteropodidae, Megadermatidae, Nycteridae, Vespertilionidae, Rhinolophidae,
Hipposideridae, Emballonuridae, Rhinopomatidae dan Molossidae (International
Union for Conservation of Nature, 2008). Famili Pteropodidae terdiri atas 72
spesies, famili Megadermatidae terdiri atas satu spesies, famili Nycteridae terdiri
atas dua spesies, famili Vespertilionidae terdiri atas 63 spesies, famili Rhinolophidae
terdiri atas 19 spesies, famili Hipposideridae terdiri atas 26 spesies, famili
Emballonuridae terdiri atas 11 spesies, famili Rhinopomatidae terdiri atas satu
spesies dan famili Molossidae terdiri atas 11 spesies (Suyanto, 2001).
Sub-ordo Megachiroptera merupakan kelelawar pemakan buah-buahan;
sedangkan sub-ordo Microchiroptera kelelawar pemakan serangga. Suyanto (2001)
menyatakan bahwa sub-ordo Megachiroptera berukuran besar, telinga tidak memiliki
tragus (bagian yang menyerupai tangkai dalam telinga) atau anti tragus (bagian datar
yang terletak dalam telinga), cakar ditemukan pada jari sayap kedua dan terdiri atas
dua tulang jari. Dijelaskan lebih lanjut bahwa sub-ordo Microchiroptera berukuran
kecil, telinga memiliki tragus atau anti tragus, jari sayap kedua tidak bercakar dan
tidak memiliki tulang jari (Chairunnisa, 1997).
Sub-ordo Megachiroptera dan
Microchiroptera memiliki perbedaan. Pada umumnya sebagian besar
sub-ordo
Microchiroptera memiliki telinga yang besar dan kompleks, memiliki tragus dan anti
tragus. Sub-ordo Megachiroptera memiliki kuku pada jari kedua yang tidak dimiliki
Microchiroptera. Ukuran tubuh sub-ordo Megachiroptera relatif besar, memiliki
telinga luar yang sederhana tanpa tragus, jari kedua kaki depan bercakar dan mata
berkembang dengan baik (Wund dan Meyrs, 2005).
Sub-ordo Microchiroptera menggunakan ekolokasi yang rumit untuk
orientasi (navigasi) dan tidak menggunakan penglihatan pada saat terbang, serta
umumnya memiliki mata kecil. Sub-ordo Megachiroptera lebih menggunakan
penglihatan pada saat terbang, memiliki mata yang menonjol dan terlihat jelas,
meskipun beberapa jenis marga Rousettus ditemukan menggunakan ekolokasi.
Ekolokasi merupakan kemampuan kelelawar menangkap pantulan gelombang
ultrasonik dari suara kelelawar yang bersentuhan dengan benda diam atau bergerak.
Kelelawar pada saat terbang, mengeluarkan suara berfrekuensi tinggi (ultrasonik)
yaitu sekitar 50 Khz yang tidak dapat ditangkap telinga manusia. Manusia hanya
dapat menangkap suara pada kekuatan frekuensi 3-18 Khz (Suyanto, 2001).
Famili Pteropodidae
Kelelawar yang terdapat di Indonesia diklasifikasikan ke dalam famili
Pteropodidae. Suyanto (2001) menjelaskan bahwa 21 marga dan 72 jenis famili
Pteropodidae ditemukan di Indonesia. Anggota famili ini dikenal sebagai kelelawar
penyebar biji, penyerbuk bunga (Eonycteris, Macroglossus, Syconycteris) dan
penghasil guano (Lalai Kembang dari jenis Eonycteris spelaea dan Pentae’n Coboe
Penthetor lucasi). Nyctimene minutus diklasifikasikan ke dalam kingdom Animalia,
phylum Chordata, class Mammalia, order Chiroptera, sub-order Megachiroptera
dan family Pteropodidae (International Union for Conservation of Nature, 2008a).
Kelelawar N. minutus diillustrasikan pada Gambar 1; sedangkan penyebaran marga
anggota famili Pteropodidae di Indonesia; disajikan pada Tabel 1.
4
Tabel 1. Penyebaran Marga Anggota Famili Pteropodidae
Marga
Penyebaran
Acerodon
Sulawesi dan Nusa Tenggara
Aethalops
Sumatera, Kalimantan dan Pegunungan
Jawa
Balionycteris, Dyacopterus dan
Penthetor
Sumatera dan Kalimantan
Boneia, Harpyionycteris dan Neopteryx
Sulawesi
Chironax
Sumatera, Lombok, Kalimantan, Jawa,
Bali dan Sulawesi
Dobsonia
Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan
Papua
Eonycteris
Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Nusa
Tenggara
Nyctimene
Sulawesi, Maluku dan Papua Barat
Megaerops
Sumatera, Kalimantan dan Jawa
Syconycteris dan Paranyctimene
Maluku dan Papua Barat
Macroglossus, Pteropus dan Rousettus
Seluruh Indonesia
Cynopterus
Seluruh Indonesia, kecuali Papua Barat
Sumber: Suyanto (2001)
Gambar 1. Nyctimene minutus
Sumber: Tafais (2011)
5
Famili Megadermatidae
Famili Megadermatidae hanya terdiri atas satu marga dan satu jenis anggota,
yaitu vampir palsu (Megaderma spasma). Jenis ini dikenal sebagai vampir palsu
karena vampir asli yang menghisap darah binatang hanya ditemukan di Amerika
Selatan. Vampir asli memangsa jenis kelelawar lain, sedangkan
vampir palsu
memakan serangga, seperti jangkrik dan belalang. Famili Megadermatidae memiliki
ukuran lengan bawah sayap 53-58 mm; betis 29-32 mm; kaki belakang 14-17 mm
dan telinga 32-39 mm. Famili Megadermatidae menyebar di Thailand, Malaysia,
Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali dan Sulawesi. Kelelawar Megaderma spasma
memiliki ukuran ekor kecil (Suyanto, 2001). Megaderma spasma diklasifikasikan ke
dalam kingdom Animalia, phylum Chordata, class Mammalia, order Chiroptera,
sub-order Microchiroptera dan family Megadermatidae (International Union for
Conservation of Nature, 2008b). Megaderma spasma diillustrasikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Megaderma spasma
Sumber: Heideman (2008)
Famili Nycteridae
Marga Nycteris memiliki dua jenis anggota di Indonesia yaitu Nycteris
javanca dan Nycteris tragata. Jenis Nycteris javanica menyebar di Jawa; Bali dan
Kangean; sedangkan jenis Nycteris tragata menyebar di Thailand, Malaysia,
6
Sumatera dan Kalimantan. Kelelawar dari famili Nycteridae memiliki ekor dengan
ujung bercabang membentuk huruf T (Suyanto, 2001). Nycteris javanica
diklasifikasikan ke dalam kingdom Animalia, phylum Chordata, class Mammalia,
order Chiroptera, sub-order Microchiroptera dan family Nycteridae (International
Union for Conservation of Nature, 2008c). Nycteris javanica diillustrasikan pada
Gambar 3.
Gambar 3. Nycteris javanica
Sumber: Falconeyestudios (2011)
Famili Emballonuridae
Famili Emballonuridae di Indonesia meliputi tiga marga dan 11 jenis. Marga
famili Emballonuridae hanya memiliki satu jenis anggota yaitu kelelawar Ekor
Trubus Hitam atau Mosia nigrescens dan Kubar Trubus atau Saccolaimus
saccolaimus. Famili ini hidup pada habitat yang meliputi gua dangkal dan ronggarongga pohon (Suyanto, 2001). Penyebaran anggota famili Emballonuridae di
Indonesia meliputi jenis Emballonura, Saccolaimus dan Taphozous (seluruh
Indonesia) dan anggota Mosia (Maluku dan Papua Barat) (Suyanto, 2001).
Mosia nigrescens merupakan anggota Mosia yang ditemukan di Maluku
(Suyanto, 2001). M. nigrescens diklasifikasikan ke dalam kingdom Animalia, phylum
Chordata, class Mammalia, order Chiroptera, sub-order Microchiroptera dan family
Emballonuridae (International Union for Conservation of Nature, 2008g). Mosia
nigrescens diillustrasikan pada Gambar 4.
7
Gambar 4. Mosia nigrescens
Sumber: Gstatic (2010)
Famili Molossidae
Famili Molossidae di Indonesia meliputi enam marga dan 11 jenis. Anggota
Molossidae dapat terbang tinggi dan merayap di permukaan tanah atau tumbuhan.
Jenis Chaerephon plicata diduga memakan wereng di areal persawahan, dengan
makanan utama pijer (kupu-kupu malam). Pengklasifikasian jenis famili Molossidae
didasarkan pada keberadaan bulu, processus postorbitalis, kantong tenggorokan,
ketebalan dan panjang daun telinga, ukuran bulla tympanica dan lengan bawah
sayap. Habitat famili Molossidae ditemukan di gua, rongga pepohonan dan atap
gedung (Suyanto, 2001).
Gambar 5. Chaerephon plicata
Sumber: Bio Cris (2007)
8
Chaerephon plicata ditemukan di Maluku (Suyanto, 2001). Chaerephon
plicata diklasifikasikan ke dalam kingdom Animalia, phylum Chordata, class
Mammalia, order Chiroptera, sub-order Microchiroptera dan family Molossidae
(International Union for Conservation of Nature, 2008i). Chaerephon plicata
diillustrasikan pada Gambar 5.
Famili Hipposideridae
Kelelawar Indonesia memiliki tiga
marga dan 26 jenis anggota famili
Hipposideridae. Tiga marga tersebut diklasifikasikan berdasarkan bentuk daun
hidung. Marga Hipposideros memiliki jumlah anggota yang terbanyak. Anggota
Hipposideros diklasifikasikan berdasarkan jumlah daun hidung tambahan (terletak
di samping daun hidung depan dan berbentuk tapal kuda), bentuk telinga, struktur
berdaging seperti tabung pada dahi di belakang lanset (daun hidung), ciri tengkorak
dan ukuran tubuh (Suyanto, 2001).
Gambar 6. Hipposideros cervinus
Sumber: Australian Museum (2010)
Jumlah anggota Hipposideros di Indonesia sangat banyak sehingga
dikelompokkan ke dalam kelompok bicolor, speoris, diadema dan cylops. Habitat
anggota Hipposideros ditemukan di gua dan rongga pohon (Suyanto, 2001).
Hipposideros cervinus merupakan salah satu spesies yang ditemukan di Maluku
(Suyanto, 2001). Hipposideros cervinus diklasifikasikan ke dalam kingdom
Animalia, phylum Chordata, class Mammalia, order Chiroptera, sub-order
Microchiroptera dan family Hipposideridae (International Union for Conservation of
Nature, 2008f). Hipposideros cervinus diillustrasikan pada Gambar 6.
9
Famili Vespertilionidae
Famili Vespertilionidae terdiri atas 14 marga dan 63 jenis anggota di
Indonesia. Famili Vespertilionidae menempati gua (jenis Miniopterus); ruas bambu
(jenis Tylonycteris); atap rumah (jenis Taphozous dan Pipistrellus); hutan khususnya
pada pepohonan yang rimbun (jenis Kerivoula) dan gulungan daun pisang muda
(jenis Myotis muricola). Kelelawar dari famili Vespertilionidae menarik sayap ke
samping tubuh pada saat hinggap di sarang (Suyanto, 2001).
Gambar 7. Harpiocephalus harpia
Sumber: Francis (1998)
Harpiocephalus harpia merupakan salah satu spesies yang ditemukan di
Maluku (Suyanto, 2001). Harpiocephalus harpia diklasifikasikan ke dalam kingdom
Animalia, phylum Chordata, class Mammalia, order Chiroptera, sub-order
Microchiroptera dan family Vespertilionidae (International Union for Conservation
of Nature, 2008d). Penyebaran anggota famili Vespertilionidae di Indonesia disajikan
pada Tabel 2; Harpiocephalus harpia diillustrasikan pada Gambar 7.
Famili Rhinopomatidae
Famili Rhinopomatidae hanya satu jenis di Indonesia, yaitu kelelawar Ekor
Tikus Besar (Rhinopoma microphyllum). Penyebaran jenis Rhinopoma microphyllum
hanya
di Sumatera Utara, yaitu daerah Balige dan ditemukan sangat jarang
(Suyanto, 2001).
10
Tabel 2. Penyebaran Marga Anggota Famili Vespertilionidae
Marga
Penyebaran
Glischropus, Philetor dan Phoniscus
Sumatera, Kalimantan dan Jawa
Kerivoula dan Tylonycteris
Sumatera, Kalimantan, Jawa, Nusa
Tenggara dan Sulawesi
Hesperoptenus
Kalimantan dan Sulawesi
Murina
Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Nusa
Tenggara
Nyctophilus
Nusa Tenggara dan Papua Barat
Scotophilus
Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Bali
Scotorepens
Timor dan Papua Barat
Harpiocephalus
Sumatera, Kalimantan, Jawa, Lombok
dan Maluku
Myotis, Pipistrellus dan Miniopterus
Seluruh Indonesia
Sumber: Suyanto (2001)
Habitat R. microphyllum ditemukan di gua, terowongan, atap gedung, atap
rumah dan bangunan lain berbentuk seperti piramid. Rhinopoma microphyllum
merupakan salah satu spesies yang ditemukan di Maluku (Suyanto, 2001).
Rhinopoma microphyllum diklasifikasikan ke dalam kingdom Animalia, phylum
Chordata, class Mammalia, order Chiroptera, sub-order Microchiroptera dan family
Rhinopomatidae (International Union for Conservation of Nature, 2008h).
Rhinopoma microphyllum diillustrasikan pada Gambar 8.
Gambar 8. Rhinopoma microphyllum
Sumber: Tagant (2011)
11
Famili Rhinolophidae
Famili Rhinolophidae yang ditemukan di Indonesia hanya satu marga yaitu
Rhinolophus. Marga Rhinolophus yang ditemukan di Indonesia diklasifikasikan ke
dalam enam jenis kelompok dan 19 jenis anggota. Perbedaan jenis-jenis marga
Rhinolophus diklasifikasikan berdasarkan ukuran tubuh dan telinga; ukuran dan
bentuk sella; posisi pelekatan taju penghubung (connecting process) dengan ujung
sella dan bentuk taju penghubung, keberadaan lapet (lipatan pada hidung) serta
bentuk sekat rongga hidung (Suyanto, 2001).
Rhinolophus keyensis merupakan salah satu spesies yang ditemukan di
Maluku (Suyanto, 2001). Rhinolophus keyensis diklasifikasikan ke dalam kingdom
Animalia, phylum Chordata, class Mammalia, order Chiroptera, sub-order
Microchiroptera dan family Rhinolophidae (International Union for Conservation of
Nature, 2008e). Rhinolophus keyensis diillustrasikan pada Gambar 9.
Gambar 9. Rhinolophus keyensis
Produktivitas Kelelawar
Daerah jelajah kelelawar bergantung pada jenis makanan. Jenis kelelawar
Macroglossus sobrinus yang memakan cecadu pisang besar yang memiliki daerah
jelajah mencapai radius tiga km, Lalai Kembang (Eonycteris spelaea) dapat
mencapai radius 40 km dan Kalong Kapauk (Pteropus vampyrus) mencapai radius 60
km. Kelelawar memiliki tempat tinggal yang beragam, seperti gua, kolong atap
12
rumah, terowongan, bawah jembatan, rimbunan daun, gulungan daun pisang atau
palem, celah bambu, pepohonan besar, lubang batang pohon yang masih hidup
maupun yang sudah mati (Suyanto, 2001).
Kelelawar menempati habitat tertentu untuk melakukan aktivitas yang
berbeda. Habitat kelelawar umumnya ditemukan mulai dari pantai sampai
pegunungan. Pada umumnya kelelawar melakukan aktivitas pada malam hari dan
beristirahat pada siang hari. Kelelawar beristirahat di dalam gua dan pepohonan
tertentu (Fatem et al., 2006). Wund dan Myers (2005) menyatakan bahwa jenis-jenis
kelelawar yang menempati wilayah geografi yang kecil atau yang memiliki ekologi
yang khas; memiliki ancaman kepunahan yang tinggi.
Peranan Kelelawar
Keberadaan kelelawar mempunyai peranan penting bagi kehidupan
masyarakat di Indonesia. Kelelawar berperan sebagai penyebar biji buah-buahan
(jambu air, jambu biji, kenari, keluwih, sawo, duwet, cendana, srikaya dan terungterungan). Penyebar biji seperti kelelawar sangat diperlukan untuk menjaga
keanekaragaman hutan tropis. Kelelawar mengambil cairan buah dengan mengunyah
daging buah. Bagian serabut daging buah disepah dan biji buah dibuang pada jarak
100-2.000 m dari pohon induk; sehingga memberikan peluang pada biji menjadi
besar untuk menyebar dan berkecambah di tempat yang berjauhan dari pohon induk
(Wiantoro dan Achmadi, 2011 dan Suyanto, 2001). Maryati et al. (2008)
menjelaskan bahwa kelelawar pemakan buah-buahan (Megachiroptera) berperan
sebagai polinator.
Kelelawar memiliki
peranan sebagai penyerbuk berbagai tumbuhan
(termasuk tumbuhan bernilai ekonomi tinggi seperti durian, petai, aren, kaliandra,
pisang, bakau dan kapuk randau), sebagai pengendali hama serangga, sebagai obyek
ekowisata dan sebagai penghasil pupuk guano. Pupuk guano telah banyak
dimanfaatkan di Pelabuhan Ratu (Sukabumi, Jawa Barat), Gua Lawa (Nusa
Kambangan), Gua Pintu Kuwari (Tamiang Hulu, Aceh Timur). Proses pemanenan
pupuk guano sering dilakukan pada siang hari ketika kelelawar sedang tidur.
Pengambilan pupuk guano disarankan dilakukan pada malam hari, ketika kelelawar
keluar mencari makan (Suyanto, 2001). Guano mengandung banyak unsur hara, baik
mikro maupun makro. Kegunaan lain dari kelelawar menurut Nowak (1999) adalah
13
dapat menyembuhkan sakit asma (pemanfaat hati kelelawar sebagai obat) dan dapat
menyuburkan rambut (pemanfaatan lemak tubuh).
Gua sebagai Habitat Kelelawar
Gua merupakan tempat proses adaptasi berbagai jenis organisme berlangsung
(Setyaningsih, 2011). Suyanto (2001) menyatakan bahwa kelelawar merupakan
penyeimbang ekosistem gua. Dijelaskan lebih lanjut bahwa guano kelelawar diyakini
sebagai sumber energi yang memiliki peranan penting dalam rantai makanan dalam
ekosistem gua. Setyaningsih (2011) menyatakan bahwa lingkungan gua merupakan
sebuah lingkungan yang unik dan khas dengan kondisi gelap total sepanjang masa.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa lingkungan gua terdiri atas empat zona yaitu mulut
gua, zona peralihan (zona remang-remang), zona gelap dan zona gelap total (zona
stagnant).
Keadaan iklim mikro
yang berbeda pada masing-masing gua dapat
mempengaruhi perbedaan jenis-jenis kelelawar. Gua yang dihuni kelelawar pada
umumnya mempunyai temperatur rendah dan kelembaban yang cukup tinggi
(Maryanto dan Maharadatunkamsi, 1991). Suyanto (2001) menyatakan bahwa
jumlah guano yang dihasilkan kelelawar dapat mempengaruhi temperatur dan
kelembaban gua.
Morfometrik Tubuh Kelelawar
Keragaman ukuran tubuh hewan disebabkan faktor genetik dan lingkungan
(Notosusanto, 2009). Martojo (1992) menjelaskan bahwa pengaruh genetik dan
lingkungan merupakan dua hal penting untuk menghasilkan keragaman fenotipik
pada individu-individu sekelompok ternak. Dijelaskan lebih lanjut bahwa pengaruh
genetik dan lingkungan yang diekspresikan sebagai fenotipik merupakan hasil dari
perpaduan atau interaksi kedua pengaruh tersebut. Menurut Ihdia (2006) faktor
lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap ukuran tubuh kelelawar adalah
kompetisi untuk mendapatkan pakan. Maryati (2008) menyatakan bahwa area untuk
mencari pakan dan komposisi pakan sangat dipengaruhi musim bunga dan panen
buah. Wijayanti (2011) menjelaskan bahwa kelelawar cenderung memilih sarang
yang dekat dengan sumber pakan.
Kelelawar adalah satu-satunya anggota mamalia yang dapat terbang.
Kelelawar pemakan buah (Megachiroptera) berukuran tubuh kecil (dari jenis
14
Balionycteris, Chironax dan Aethalops) yang memiliki bobot badan 10 g; dan
ditemukan pula yang berukuran tubuh besar seperti Kalong Kapauk (Pteropus
vampyrus) yang memiliki bobot badan lebih dari 1.500 g, bentangan sayap mencapai
1.700 mm dan lengan bawah sayap 36-228 mm. Kelelawar pemakan serangga
(Microchiroptera) memiliki ukuran tubuh terkecil dengan bobot badan dua g dan
yang terbesar 196 g, dan ukuran lengan bawah sayap 22-115 mm (Suyanto, 2001).
Secara umum, skema anatomi tubuh kelelawar disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10. Anatomi atau Bagian Tubuh Kelelawar
Sumber: Djuri dan Madya (2009)
Ukuran tubuh luar dapat dijadikan indikator dalam penentuan jenis pada
kelelawar. Ukuran dinyatakan dalam satuan milimeter, seperti panjang ekor (E) yang
diukur dari pangkal ekor sampai ujung ekor, panjang kaki belakang (KB) yang
diukur dari tumit sampai ujung jari terpanjang tanpa cakar, panjang kaki belakang
yang diukur dari tumit sampai ujung jari dengan cakar terpanjang, panjang telinga
(T) yang diukur pada jarak dari pangkal sampai ujung telinga yang terjauh, panjang
betis yang diukur dari lutut sampai pergelangan kaki, panjang lengan bawah sayap
(LB) yang diukur dari luar siku sampai sisi luar pergelangan tangan pada sayap
15
melengkung (Suyanto, 2001). Secara umum, ukuran tubuh kelelawar disajikan pada
Gambar 11.
Gambar 11. Ukuran Tubuh Kelelawar
Sumber: Suyanto (2001)
Keterangan: E= panjang ekor; KB=panjang kaki belakang (KB);
T=panjang telinga; LB=panjang lengan bawah sayap
Analisis Komponen Utama
Analisis Komponen Utama (AKU) merupakan analisis yang bertujuan untuk
mereduksi data dan mempermudah data diinterpretasikan. Dijelaskan lebih lanjut
bahwa Analisis Komponen Utama menerangkan struktur varian-kovarian (kombinasi
data multivariat yang beragam) melalui kombinasi linear dengan variabel-variabel
tertentu. Akar ciri atau ragam dapat diperoleh dengan mengalikan jumlah variabel
yang diamati dengan nilai keragaman total pada Analisis Komponen Utama yang
diturunkan berdasarkan matriks kovarian (Gaspersz, 1992). Menurut Everitt dan
Dunn (1998) penggunaan metode Analisis Komponen Utama dalam analisis
morfometrik menerangkan bahwa komponen utama pertama mengindikasikan
ukuran (size) sebagai vektor ukuran dan komponen utama kedua mengindikasikan
bentuk (shape) sebagai vektor bentuk dari hewan yang diteliti. Hanibal (2008)
menjelaskan bahwa ukuran berhubungan dengan bobot badan; sedangkan bentuk
merupakan sifat yang dapat mewaris sehingga diminati ahli taksonomi (Everitt dan
Dunn, 1998).
16
Keragaman total dijadikan sebagai indikasi untuk menentukan persamaan
yang mewakili banyak persamaan yang dibentuk Analisis Komponen Utama.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa keragaman tersebut diperoleh dari hasil pembagian
antara nilai Eigen komponen utama ke-i dan jumlah variabel yang diamati (Gaspersz,
1992). Menurut Afifi dan Clark (1996) vektor Eigen merupakan seperangkat
koefisien pada kombinasi linear untuk komponen utama ke-i.
17
Download