8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecerdasan Emosional 2.1.1

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kecerdasan Emosional
2.1.1 Definisi Kecerdasan Emosional
Menurut Salovey dan Mayer (dalam Goleman, 2001), kecerdasan
emosional merupakan kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan
sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk
memandu pikiran dan tindakan. Individu yang mempunyai kecerdasan
emosional yang tinggi akan mampu mengatasi berbagai masalah atau tantangan
yang
muncul
dalam
hidupnya.
Seligman
(dalam
Goleman,
2001)
mengungkapkan bahwa individu yang cerdas emosinya akan bersikap optimis,
bahwa segala sesuatu dalam kehidupan dapat teratasi kendati ditimpa
kemunduran atau frustasi.
Sedangkan menurut Goleman (2001) menyatakan bahwa kecerdasan
emosi adalah kemampuan seseorang untuk mengelola perasaan antara lain
memotivasi dirinya sendiri dan orang lain, tegar menghadapi frustasi, sanggup
mengatasi
dorongan-dorongan
primitif
dan
kepuasan-kepuasan
sesaat,
mengatur suasana hati yang reaktif, mampu berempati pada orang lain.
Kemampuan pengelolaan emosi berdampak pada pengambilan keputusan
dengan tepat dan tidak merugikan pihak manapun. Selain itu kecerdasan
emosional mempengaruhi perilaku tiap individu dalam mengatasi masalah
yang muncul pada dirinya (Melianawati dkk, 2001).
Berdasarkan berbagai pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan
bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan individu dalam mengenali,
memahami perasaan dirinya dan orang lain, mengendalikan perasaanya sendiri,
menjalin hubungan serta memotivasi diri sendiri untuk memandu pikiran agar
dapat mengatasi masalah dan menjadi lebih baik.
8
9
2.1.2 Teori Kecerdasan Emosional
Four Branch Model of Emotional Intelligence menurut Mayer & Salovey
(1997) :
1. Emotional perception and expression
-
Kemampuan mengidentifikasi emosi seseorang dalam pernyataan
secara fisik dan psikis.
-
Kemampuan mengidentifikasi emosi orang lain.
-
Kemampuan untuk mengekspresikan emosi dengan baik dan
mengekspresikan kebutuhan yang berhubungan dengannya.
-
Kemampuan membedakan antara perasaan yang tepat/jujur dengan
perasaan yang tidak jujur/tidak tepat.
2. Emotional facilitation of thought (using emotion)
-
Kemampuan untuk menentukan dan memprioritaskan pemikiran
dengan dengan berdasarkan perasaan yang terkait.
-
Kemampuan meluapkan emosi untuk memfasilitasi keputusan dan
memori
-
Kemampuan menggunakan kesempatan pada perubahan mood untuk
menghargai berbagai pandangan atau keadaan.
-
Kemampuan menggunakan emosi untuk memfasilitasi penyelesaian
masalah dan kreatifitas
3. Emotional understanding
-
Kemampuan untuk mengerti hubungan dalam berbagai emosi
-
Kemampuan untuk melihat penyebab dan konsekuensi dari emosi
-
Kemampuan memahami perasaan yang kompleks, perpaduan emosi,
kritik
-
Kemampuan memahami perubahan emosi
4. Emotional management
-
Kemampuan untuk terbuka terhadap perasaan yang baik maupun yang
tidak
-
Kemampuan untuk mengawasi dan merefleksikan emosi
-
Kemampuan melibatkan, memperpanjang, dan melepaskan dari
keadaan emosional
10
-
Kemampuan mengatur emosi diri
-
Kemampuan mengatur emosi orang lain
Ada lima aspek yang digunakan untuk mengukur kecerdasan emosional
menurut Goleman (2001), yaitu :
1. Self awareness (mengenali emosi diri)
Kesadaran diri, yaitu mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi
merupakan dasar kecerdasan emosional. Ketidakmampuan untuk
mencermati perasaan kita yang sesungguhnya membuat kita berada
dalam kekuasan perasaan. Orang yang memiliki keyakinan lebih tentang
perasaaanya adalah pilot yang handal bagi kehidupan mereka, karena
mempunyai kepekaan lebih tinggi akan perasaan mereka yang
sesungguhnya atas pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadi.
Mereka juga memiliki penilaian yang realistis akan kemampuan diri
mereka.
2. Self regulation (mengelola emosi)
Menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat adalah
kecakapan
yang bergantung pada kesadaran diri. Orang-orang yang
buruk kemampuannya dalam keterampilan ini akan terus menerus
bertarung melawan perasaan murung, sementara mereka yang pintar
dapat bangkit kembali dengan jauh lebih cepat dari kemerosotan dan
kejatuhan dalam kehidupan untuk mencapai tujuan.
3. Motivation (memotivasi diri)
Kemampuan memotivasi diri untuk terus berusaha dalam mencapai
tujuan, meningkatkan inisiatif diri dalam berkembang, lebih produktif,
serta gigih dalam menghadapi rintangan dan frustasi.
4. Empathy (memahami emosi orang lain)
Kemampuan merasakan perasaan orang lain, mampu menerima
pandangan orang lain, mengelola hubungan dan menyelaraskan perasaan
dengan beragam orang.
5. Social skill (keterampilan sosial)
Menangani emosi dengan baik dalam menjalin hubungan, membaca
situasi sosial dengan akurat, berinteraksi dengan lancar, menggunakan
11
kemampuan ini untuk mengajak dan memimpin, bernegosiasi dan
menyelesaikan masalah demi kerjasama.
2.2 Kepuasan Kerja
2.2.1 Definisi Kepuasan Kerja
Ada pernyataan yang mengatakan bahwa kepuasan adalah perasaan yang
menyenangkan, merupakan hasil dari persepsi individu dalam rangka
menyelesaikan tugas atau memenuhi kebutuhannya untuk memperoleh nilainilai kerja yang penting bagi dirinya. Locke (dalam Waluyo, 2013)
mendefinisikan bahwa kepuasan kerja sebagai suatu tingkat emosi yang positif
dan menyenangkan individu. Dengan kata lain, kepuasan kerja adalah suatu
hasil perkiraan individu terhadap pekerjaan atau pengalaman positif dan
menyenangkan dirinya.
Sedangkan menurut Howell dan Robert (dalam Waluyo, 2013)
memandang bahwa kepuasan kerja sebagai hasil keseluruhan dari derajat suka
atau tidak sukanya karyawan terhadap berbagai aspek dari pekerjaannya.
Dengan kata lain, kepuasan kerja mencerminkan sikap karyawan terhadap
pekerjaannya. Jika karyawan bersikap positif terhadap pekerjaan yang
dikerjakannya, maka dia akan memperoleh perasaan puas terhadap apa yang
dikerjakannya. Sebaliknya, jika karyawan bersikap negatif atau tidak suka,
maka dia akan merasa tidak puas akan apa yang dikerjakannya. Selain itu,
menurut Luthans (2006) kepuasan kerja merupakan respon emosional terhadap
situasi pekerjaan yang berfokus pada sikap karyawan terhadap pekerjaan
mereka dan komitmen organisasi, dan organisasi secara keseluruhan.
Menurut Spector (2000) kepuasan kerja merupakan perasaan individu
terhadap pekerjaannya dan berbagai aspek yang terkandung di dalamnya. Tiffin
dan McCormik (1979) mengungkapkan bahwa kepuasan kerja berhubungan
dengan sikap diri dari karyawan terhadap pekerjaan itu sendiri, situasi kerja,
kerjasama antar pemimpin dan sesama karyawan. Selain itu Waluyo (2013)
menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan sikap umum yang merupakan
12
hasil dari beberapa sikap khusus terhadap faktor-faktor pekerjaan, penyesuaian
diri, dan hubungan sosial individu di luar kerja.
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja
merupakan suatu sikap diri karyawan yang positif terhadap pekerjaan dan
aspek-aspek atau faktor-faktor yang mempengaruhi, seperti situasi kerja,
hubungan sosial, keseluruhan organisasi, pengalaman individu dan sebagainya.
2.2.2 Cara Mengungkapkan Ketidakpuasan Kerja
Ketidakpuasan kerja pada tenaga kerja atau karyawan dapat
diungkapkan ke dalam berbagai macam cara yang terletak pada dua dimensi,
yakni constructiveness – destructiveness dan aktif-pasif:
Gambar 2. 1 Cara Mengungkapkan Ketidakpuasan
Sumber : Robbins & Judge (2007)
a. Keluar (Exit): Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan dengan meninggalkan
pekerjaan, termasuk mencari pekerjaan lain.
b. Aspirasi (Voice): Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan melalui usaha
aktif dan konstruktif untuk memperbaiki kondisi, termasuk memberikan
saran perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasannya.
c. Mengabaikan (Neglect): Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan melalui
sikap yang secara pasif membiarkan keadaan memburuk, yang meliputi
sering absen atau datang terlambat, upaya berkurang, dan semakin banyak
berbuat kesalahan.
d. Kesetiaan (Loyalty): Ketidakpuasan kerja yang diungkapkan dengan cara
pasif namun optimis menunggu perbaikan kondisi, yang meliputi membela
13
organisasi dan kritikan eksternal dan mempercayai organisasi dan
menajemennya untuk “melakukan hal yang benar”.
2.2.3 Teori Kepuasan Kerja
a. Teori Proses Bertentangan (Opponent-process Theory)
Dalam teori proses bertentangan Landy (dalam Munandar, 2001)
memandang kepuasan kerja dari perspektif yang berbeda secara mendasar
daripada pendekatan yang lain. teori ini memberi tekanan bahwa individu ingin
mempertahankan keseimbangan emosional (emotional equilibrium).
b. Teori Pertentangan (Discrepancy Theory)
Teori pertentangan dari Locke menyatakan bahwa kepuasan atau
ketidakpuasan terhadap beberapa aspek dari pekerjaan mencerminkan
penimbangan dua nilai, yaitu :
1. pertentangan yang dipersepsikan antara apa yang diinginkan seorang
individu dengan apa yang dterima.
2. pentingnya apa yang diiinginkan bagi individu.
Menurut Locke seorang individu akan merasa puas atau tidak merupakan
sesuatu yang pribadi, tergantung bagaimana dia mempersiapkan adanya
kesesuaian atau pertentangan antara keinginan dan hasil yang keluar.
2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Mullin (1993) menjelaskan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
kepuasan kerja, yaitu :
1. Faktor
pribadi,
antara
lain
kepribadian,
pendidikan,
intelejensi,
kemampuan, usia, status perkawinan, dan orientasi kerja.
2. Faktor sosial, antara lain hubungan dengan rekan kerja, kelompok kerja
dan norma-norma, kesempatan untuk berinteraksi, dan organisasi informal.
3. Faktor budaya, antara lain sikap-sikap yang mendasari, kepercayaan, dan
nilai-nilai.
4. Faktor organisasi, antara lain sifat dan ukuran, struktur formal, kebijakankebijakan personalia dan prosedur, relasi karyawan, sifat pekerjaan,
14
teknologi dan organisasi kerja, supervisor dan gaya kepemimpinan, sistem
manajemen, dan kondisi-kondisi kerja,
5. Faktor lingkungan, antara lain ekonomi, sosial, teknik, dan pengaruhpengaruh pemerintah.
Selain itu, Wijono (2010) juga menjelaskan faktor-faktor yang
mempengaruhi kepuasan kerja, diantaranya :
1. Karakterisitik individu, antara lain adalah perbedaan individu, usia,
pendidikan dan kecerdasan, jenis kelamin, dan jabatan.
2. Karakteristik pekerjaan, antara lain adalah organisasi dan manajemen,
supervisi langsung, lingkungan sosial, komunikasi, kemananan, monoton,
dan penghasilan.
As’ad (2003) mengungkapkan empat faktor yang mempengaruhi
kepuasan kerja, yaitu :
1. Faktor
fisiologis,
diantaranya
jenis
pekerjaan,
keadaan
ruangan,
pengaturan jam kerja, waktu istirahat, perlengkapan kerja, dan semua yang
menyangkut kondisi fisik lingkungan kerja dan lingkungan fisik karyawan.
2. Faktor psikologis, diantaranya minat, ketentraman kerja, sikap terhadap
kerja, bakat, intelejensi, dan keterampilan atau pengalaman seseorang.
3. Faktor sosial, yaitu segala hal yang berhubungan dengan interaksi sosial
individu, diantaranya interaksi atasan dengan bawahan, interaksi dengan
rekan kerja dan sebagainya.
4. Faktor finansial, merupakan segala hal yang berhubungan dengan jaminan
dan kesejahteraan individu, diantaranya gaji, jaminan sosial, tunjangan,
fasilitas, dan kesempatan promosi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan menurut
Luthans (2006) ada 6 faktor, yaitu :
1. Pay (gaji).
Gaji dapat dikatakan penentu penting dalam menentukan
kepuasan kerja, karena diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup
pegawai. Lebih jauh lagi gaji merupakan sebuah simbol pencapaian
atau sukses dan sumber pengakuan diri. Karyawan biasanya melihat
gaji sebagai refleksi bagaimana perusahaan melihat kontribusi yang
15
diberikan kepada perusahaan.
Ada beberapa pendapat bahwa gaji atau upah merupakan faktor
utama untuk timbulnya kepuasan kerja. Sampai taraf tertentu hal ini
memang bisa diterima, terutama dalam suatu negara yang sedang
berkembang dimana uang merupakan kebutuhan yang vital untuk bisa
memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Akan tetapi kalau masyarakat
sudah dapat memenuhi kebutuhan keluarganya maka gaji atau upah ini
tidak lagi menjadi faktor utama, namun yang terpenting adalah gaji
yang diterima karyawan itu adil sesuai dengan pelayanan yang telah
diberikan kepada perusahaan, maka akan ada kepuasan kerja.
2. The work itself (pekerjaan itu sendiri).
Kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri merupakan sumber utama
kepuasan, di mana pekerjaan memberikan tugas yang menarik,
kesempatan untuk belajar, dan kesempatan untuk menerima tanggung
jawab. Karyawan cenderung menyukai pekerjaan yang memberikan
mereka kesempatan untuk menggunakan kemampuan dan kecakapan serta
menawarkan variasi pekerjaan, kebebasan dan tanggapan/feedback tentang
sejauh mana pekerjaan mereka.
3. Promotions opportunities (kesempatan promosi).
Merupakan faktor yang berhubungan dengan ada atau tidaknya
kesempatan untuk memperoleh peningkatan karir selama bekerja. Faktor
ini menyangkut kemungkinan seseorang
untuk
maju
dalam
perusahaan dan dapat berkembang melalui kenaikan jabatan, serta
proses kenaikan jabatan terbuka atau kurang terbuka. Ini juga dapat
mempengaruhi tingkat kepuasan kerja karyawan. Jika sistem penghargaan
dirancang secara tepat oleh perusahaan maka karyawan yang berkinerja
baik akan merasa puas, sedangkan yang berkinerja rendah akan merasa
tidak puas.
4. Supervision (atasan)
Cara-cara atasan dalam memperlakukan bawahannya dapat menjadi
menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi bawahannya mempengaruhi
kepuasan kerja. Atasan yang baik berarti mau menghargai pekerjaan
16
bawahannya. Bagi bawahan, atasan bisa dianggap sebagai figur
ayah/ibu/teman, sekaligus atasan. Hubungan antara atasan dengan
karyawan bisa disebut functional attraction yang menjelaskan sejauh
mana karyawan merasa atasannya memberikan masukan, bantuan, dan
berkomunikasi dalam mencapai hasil yang baik.
5. Work group (rekan kerja)
Di dunia kerja, membangun hubungan baik dengan sesama rekan
kerja jelas sangat penting. Bagaimanapun, berhubungan sosial dengan
rekan kerja tak hanya membuat suasana kerja menjadi terasa lebih
nyaman, tetapi produktivitas pun dapat meningkat. Rekan kerja yang
bersahabat dan kooperatif serta memberikan dukungan, kenyamanan,
masukan dan bantuan merupakan kelompok kerja yang baik yang akan
membuat pekerjaan menjadi lebih menyenangkan.
6. Working conditions (kondisi lingkungan kerja)
Jika kondisi lingkungan kerja baik, maka akan tercipta kepuasan
kerja dikarenakan kondisi lingkungan kerja sangat penting bagi karyawan
untuk kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan pengerjaan tugas.
Beberapa studi menunjukkan bahwa karyawan lebih menyukai keadaan
sekitar fisik yang tidak berbahaya atau merepotkan. Disamping
itu,
kebanyakan karyawan lebih menyukai bekerja dekat dengan rumah,
serta fasilitas yang bersih danrelatif modern dengan alat-alat yang
memadai.
Menurut Spector (1997), dalam kepuasan kerja terdapat aspek-aspek
yang mempengaruhinya, aspek-aspek tersebut adalah gaji, kesempatan untuk
promosi, atasan atau pemimpin, tunjangan, penghargaan non-finansial,
peraturan dan prosedur kerj, rekan kerja, sifat/jenis pekerjaan, dan komunikasi
dalam perusahaan.
1. Gaji (pay)
Aspek ini mengukur kepuasan pegawai berkaitan dengan penghasilan
atau gaji yang diterimanya, dimana mendapatkan imbalan sesuai dengan apa
yang telah dia lakukan untuk perusahaan.
17
2. Kesempatan untuk promosi. (promotion)
Aspek ini mengukur sejauh mana seorang pegawai puas dengan
kesempatan promosi yang diberikan oleh perusahaan. Seseorang akan
merasa puas apabila kesempatan untuk promosi dalam perusahaan memang
pantas ia dapatkan dan sesuai dengan apa yang telah ia lakukan untuk
perusahaan (McKenna, 2000).
3. Tunjangan (fringe benefits)
Aspek ini mengukur sejauh mana seorang pegawai puas dengan
tunjangan tambahan yang diberikan oleh perusahaan, yaitu
tambahan
pendapatan diluar gaju sebagai bantuan dari perusahaan, seperti tunjangan
kesehatan, bonus dll.
4. Atasan atau pimpinan. (supervision)
Aspek ini mengukur sejauh mana seorang pegawai merasa puas
dengan hubungannya dengan atasan. Hubungan dengan atasan bisa baik
atau buruk.
5. Penghargaan non-finansial. (contingent rewards)
Aspek
ini
mengukur
kepuasan
seorang
pegawai
terhadap
pengharagaan yang diiberikan oleh perusahaan berdasarkna performa atau
hasil kerja mereka. Penghargaan ini berbentuk non-finansial.
6. Peraturan dan prosedur. (operating conditions)
Aspek ini mengukur kepuasan seseorang berkaitan dengan peraturan
dan prosedur kerja, seperti tata tertib, birokrasi, dan beban kerja. jika
birokrasi perusahaan terlalu rumit dan membuat pegawai frustasi, maka ia
akan cenderung mengalami ketidakpuasan kerja. namun jika birokrasi
perusahaan “ramah” terhadap pegawai, maka mereka akan lebih mengalami
kepuasan kerja.
7. Rekan kerja (co-workers)
Rekan kerja yang supportif dan menyenangkan serta hubungan yang
rukun dan saling melengkapi dianggap lebih dapat menimbulkan kepuasan
kerja. namun ika terdapat konflik yang bisa menyebabkan suasana kerja
menjadi tidak kondusif, maka pegawai akan mengalami ketidakpuasan
kerja.
18
8. Sifat/jenis pekerjaan (nature of work)
Aspek ini mengukur sejauh mana seseorang merasa puas dengan sifat
atau jenis pekerjaan yang dia jalani, meliputi deskripsi kerja, variasi tugas,
peran kerja, dan jadwal kerja.
9. Komunikasi (communication)
Komunikasi dalam perusahaan adalah pergerakan alur informasi dari
antar pegawai, apakah lancar atau tidak. Jika komunikasi tidak lancar, maka
akan banyak terjadi kesalahpahaman, maka pegawai cenderung mengalami
ketidakpuasan kerja.
2.3 Kerangka Berpikir
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir
Demo buruh, isu ketidakpuasan
kerja di PT. INKOSINDO
SUKSES dan penelitian ilmiah
mengenai hubungan kecerdasan
emosional dengan kepuasan
Kepuasan kerja (Job
Satisfaction Spector) :
1. gaji
2. kesempata untuk promosi
3. tunjangan
4. atasan/pimpinan
5. pengharagaan nonfinansial
6. peraturan dan prosedur
7. rekan kerja
8.sifat/jenis pekerjaan
9. komunikasi
Kecerdasan emosional
(Goleman, 2001) :
1. mengenali emosi diri
2. mengelola emosi diri
3. memotivasi diri
4. memahami emosi
orang lain
5. keterampilan sosial
19
Kepuasan kerja merupakan aspek yang penting pada Sumber Daya Manusia
dan perusahaan, karena dengan kepuasan kerja yang tinggi maka karyawan akan
lebih produktif dan perusahaan menjadi lebih efektif, sedangkan bila kepuasan
kerja karyawan rendah maka karyawan bisa menjadi tidak produktif, seperti sering
absen,
meningkatkan
turnover,
bersikap
negatif
terhadap
perusahaan,
menyebabkan stress kerja, unjuk rasa, bahkan mogok kerja. Ketidakpuasan
karyawan tersebut dapat kita lihat dalam fenomena demo dan mogok buruh yang
tidak puas dengan pekerjaan mereka, seperti gaji dan kondisi kerja. Dalam
aksinya tersebut para buruh bersikap anarkis dan tidak peduli dengan masyarakat
lain yang terkena imbas kemacetan karena aksi mereka.
Perilaku buruh ini memperlihatkan kurangnya nilai kecerdasan emosional
pada diri mereka, adapun kecerdasan emosional adalah kemampuan individu
dalam mengenali, memahami perasaan dirinya dan orang lain, mengendalikan
perasaanya sendiri, menjalin hubungan serta memotivasi diri sendiri untuk
memandu pikiran agar dapat mengatasi masalah dan menjadi lebih baik. Bila para
buruh memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, maka mereka akan lebih
mampu mengendalikan perasaan mereka, memahami perasaan orang lain, dan
memotivasi diri untuk memandu pikiran agar masalah selesai dan menjadi lebih
baik tanpa melakukan tindakan anarkis dan tidak peduli dengan hal-hal yang
timbul akibat demo tersebut.
Dalam aksi demo dan mogok buruh tersebut, peneliti melihat adanya
ketidakpuasan kerja dan kurangnya kecerdasan emosional yang dimiliki oleh para
buruh, selain itu ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa ada hubungan
antara kecerdasan emosional dengan kepuasan kerja. Dalam PT. INKOSINDO
SUKSES peneliti menemukan indikator ketidakpuasan kerja pada buruh, yaitu
setiap hari selalu ada buruh yang mangkir dari pekerjaan mereka tanpa izin, dan
hampir setiap bulan selalu ada buruh yang keluar tanpa alasan jelas. Oleh karena
itu peneliti menjadikan hal tersebut sebagai kerangka berpikir untuk melihat
apakah ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan kepuasan kerja pada
buruh di PT. INKOSINDO SUKSES.
Download