PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI SEBAGAI PELAKU

advertisement
PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI
SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA
Albertus Magnus Sunur
Dosen Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Katolik Darma Cendika
ABTRAKSI
Korporasi dalam menjalankan usahanya antara lain bertujuan untuk
mencari keuntungan. Dalam menjalankan peran korporasi tersebut, peranan
rnanusia dalam organ korporasi sangatlah penting dun sading terkait. Dalam
menjalankan usahanya, terkadang korporasi dapat melakukan perbuatan
melawan hukum atau perbuatan yang merugikan pihak lain. Perbuatan melawan
hukum atau yang merugikan pihak lain tersebut yang ditimbulkan oleh korporasi
dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Dalam ketentuan Kitab Undang
Undang Hukum Pidana selanjutnya disebut KUHP, tidaklah dikenal kata
korporasi sebagai subjek hukum pidana. KUHP hanya mengenal subjek hukum
pidana adalah manusia. Bagi korporasi yang melakukan perbuatan pidana yang
memenuhi rumusan delik dan adanya unsur kesalahan, dun dicela dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidananya ditemukun dalam Perundang
Undangan diluar ketentuan KUHP yang berlaku sekarang ini .
Kata Kunci : Korporasi, Perbuatan Pidana, Pertanggungjawaban Pidana
dan KUHP
LPENDAHULUAN
Berbicara tentang perbuatan pidana (kejahatan) adalah ha1 yang sangat
menarik untuk di cermati, karena kejahatan itu sendiri telah ada sejak peradaban
manusia dan selalu berkembang dalam dimensi yang baru. Kemajuan dalam
bidang ekonomi dan teknologi yang dirasakan bagi kemanfaatan masyarakat, turut
mendorong terciptanya bentuk kejahatan baru tersebut. Dahulu kita hanya
mengenal kejahatan dalam bentuk konvensional, akan tetapi sekarang kita
mengenal kejahatan dengan dimensi yang baru antara lain bentuk kejahatan di
bidang komputer atau cybercrime, kejahatan dibidang perbankan khususnya
kejahatan kartu kredit, pencucian uang atau money laundering dan sebagainya.
Bentuk kejahatan korporasi yang terjadi dari hari ke hari s e m h n
canggih, baik bentuk dan jenis maupun operandinya, bahkan kejahatan korporasi
tersebut sering kali terjadi melampaui batas-batas negara (trans border crime).
Bentuk kejahatan dimensi baru ini yang oleh para sosiolog dan
knminolog disebut dengan bentuk kejahatan kerah putih atau white collar crime.
Bentuk kejahatan ini sangat berbeda dengan bentuk kejahatan konvensional yang
dahulu kita kenal. Bentuk kejahatan ini dilakukan oleh orang-orang yang
terpandang dan berstatus sosial tinggi.
Jurnal Cendekia, Vol. 1,No. 2, Oktober 2012
1
Menurut pendapat Edwin H Sutherland kejahatan ini sebagai "A
violation of criminal law by the person of the upper socio economic class in the
course of his occupational activities" atau kejahatan yang dilakukan oleh orangorang terhonnat dan berstatus sosial tinggi dalam rangka aktivitas atau
jabatannya.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa korporasi merupakan kumpulan
organ yang bekejasama dan bertujuan untuk mencari keuntungan dengan
rnenjalankan usahanya. Dalam menjalankan usahanya tersebut, tentunya bertujuan
untuk mencari keuntungan sebanyak mungkin. Dalam pemenuhan tujuan
korporasi tersebut, dimungkinkan korporasi melakukan perbuatan melawan
hukum atau perbuatan merugikan orang lain.
Untuk suatu perbuatan melawan hukurn dengan unsw kesalahan dan
dicela yang dilakukan oleh korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban
pidana, karena korporasi merupakan badan hukum yang mempunyai hak dan
kewajiban yang sama dengan manusia.
Dalam ketentuan KUHP yang berlaku sekarang menganut asas umum,
bahwa suatu perbuatan pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia atau naturlijke
persoon. Hal ini dapat dilihat pada tiap rumusan delik dalam KUHP yang dimulai
dengan kata "barang siapa.. ... .. dan seterusnya". Pengertian barang siapa dalam
rumusan delik dimaksud ditujukan kepada manusia, sehingga pengertian badan
hukum atau recht persoon tidaklah berlaku dalam ketentuan KUHP.
Dalam perkembangannya suatu perbuatan pidana dapat juga dilakukan
oleh badan hukum atau recht persoon. Ketentuan perundang-undangan diluar
KUHP memberikan terobosan hukum, bahwa suatu perbuatan hukum yang
dilakukan oleh korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, karena
pengertian korporasi tersebut telah dipersarnakan sebagai manusia atau naturlijke
persoon. Ketentuan perundang-undangan khusus tersebut berpijak pada asas
hukum lex specialis derograt lex generalis yang artinya hukum yang bersifat
khusus mengalahkan atau mengesampingkan hukum yang bersifat umum.
'
II.KORPORASI SEBAGAI PELAKU PERBUATAN PIDANA.
Kata korporasi berasal dari bahasa Inggris, yakni corporation yang
diartikan sebagai badan hukum. Dalam bahasa Belanda disebut corporatie recht
persoon yang diartikan sebagai korporasi atau badan h ~ k u m Korporasi
.~
juga
diartikan sebagai badan hukum yang maksudnya suatu perkumpulan atau
organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti rnanusia (Personal), yaitu
' Mardjono
Reksodiputro,Kemajuan Pernbangunan Ekonomi dan Kejahatan, Lembaga
Krirninologi UI, Jakarta, 1944, hlm. 66.
Kamus Inggris-Indonesia, Jhon M.Echols dan Hasan Shadily, Penerbit PT Gramedia Jakarta.
--
2
-
-
Jurnal ~endekia,
Vol. 1,No. 2, Oktober 2012
memiliki persamaan hak dan kewajiban, dan memililu hak digugat dan menggugat
dimuka pengadilan.
Dari pengertian tersebut, maka suatu kejahatan yang dilakukan oleh
korporasi adalah suatu bentuk kejahatan yang dilakukan berhubungan dengan
badan hukum. Suatu badan hukum yang telah mendapatkan pengesahan
pendiriannya, sejak saat itu pula badan hukum tersebut memiliki hak dan
kewajiban untuk melakukan kegiatannya serta mendapatkan perlindungan hukum
dari pemerintah untuk setiap kegiatan usaha yang dilakukannya sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut pendapat Salman Luthan bentuk kejahatan yang dilakukan oleh
korporasi dapat digolongkan dalam tiga pengertian sebagai berikut :
1. Crime for corporation yaitu kejahatan yang dilakukan oleh korporasi itu
sendiri atau dapat dikatakan sebagai corporate crime are clearly committed
for the corporate.
2. Crime against corporation atau yang disebut dengan employee crime.
3. Criminal corporation yaitu korporasi yang sengaja dibentuk dan
dikendalikan untuk melakukan kejahatanm3
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa korporasi adalah kumpulan organ
yang terbentuk secara terorganisir dan memiliki tujuan antara lain mencari
keuntungan. Dalam menjalankan korporasi tersebut kadang kala korporasi
tersebut, baik disengaja atau tidak disengaja dapat melakukan perbuatan pidana
atau perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian pada pihak lainnya.
Menurut Moeljatno pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang disertai ancaman (sanksi) yang
berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan ter~ebut.~
Moeljatno memberikan pengertian dari elemen-elemen atau unsur-unsur
perbuatan pidana tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kelakuan dan akibat (perbuatan);
2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;
3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;
4. Unsur melawan hukum yang obyektif;
5 . Unsur melawan hukum yang s~bjektif.~
Pengertian perbuatan pidana serupa disampaikan oleh Roeslan Saleh,
bahwa perbuatan pidana, yaitu sebagai perbuatan yang oleh aturan hukurn pidana
3
4
Salman Luthan, Anatomi Kejahatan Korporasi dan Penanggulangan, Jurnal Hukum, Penerbit
Pusat Studi Hukum UI, Jogjakarta, 1994, hlm. 18
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawaban Pidana, Bina Aksara, Jakarta, hlm. 11.
Moeljatno, Asas -Asas Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara , 1987, hlm.63.
-
Jurnal Cendekia, Vol. 1,No. 2, Oktober 2012
-.
3
dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang6 Sedangkan Marshall memberikan
pengertian bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan atau omisi yang dilarang
oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidana berdasarkan
prosedur hukum yang berlakue7
Dari beberapa pengertian yang telah disampaikan oleh pakar hukurn
pidana tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa perbuatan pidana adalah
suatu perbuatan, dimana perbuatan tersebut sifatnya dilarang, dan diancarn pidana
bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. Pengertian perbuatan pidana
terkait dengan perbuatan melawan hukum, akan tetapi tidak semua perbuatan
melawan hukum atau yang bersifat merugikan masyarakat dapat dipidana.
Ketentuan demikian diatur dalam asas legalitas atau yang dikenal dengan sebutan
asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege, yang artinya bahwa tidak ada
delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu (Ketentuan pasal 1 ayat I
KUHP).
Ucapan nullum delicttrrn nulla poena sine praevia lege ini berasal dari
Von Feuerbach, sarjana hukum pidana Jennan (1775-1833) dalam bukunya
berjudul "Lehrbuch Des Peinlichen Recht " pada tahun 1801. Perumusan asas
legalitas dari Von Feuerbach yang berhubungan dengan teorinya yang terkenal
yaitu "Vom Psychologischen Zwang ' '.
Dapat disimpulkan bahwa ketentuan asas legalitas tersebut mengandung
arti sebagai berikut :
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang d m diancam dengan pidana kalau ha1 itu
terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan Undang-Undang
(Pasal 1 KUHP);
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
penapsiran analogi atau kiyas;
3. Aturan aturan pidana tidak berlaku surut.
III.KORPORAS1 DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA.
Berbicara pertanggungjawaban pidana, sangat erat kaitannya dengan
perbuatan pidana serta pelaku tindak pidana itu sendiri. Dalam arti bahwa apakah
pelaku tindak pidana dimaksud telah memiliki unsur kesalahan dan atas unsur
kesalahan dimaksud mampu atau tidak untuk mempertanggungjawabkan segala
perbuatan yang telab dilakukannya.
Perbuatan pjdana yang dilakukan oleh korporasi dapat menimbulkan
pertanyaan siapakah yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya.
6
'
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana : Dua Pengertian Dasar
dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1994, hlm. 13.
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1981, hlm. 13.
-
4.
-
-
Jurnal Cendekia, Vol. 1,No. 2, Oktober 2012
Sebagaimana telah dijelaskan, jika mencennati ketentuan KUHP masih dianut
asas umum bahwa suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia atau
naturlijke persoon, sehingga pengertian korporasi atau recht persoon tidaklah
berlaku dalam ketentuan hukum pidana.
Dengan kata lain, apabila korporasi melakukan perbuatan pidana, maka
yang berkedudukan sebagai pelaku atau dader adalah para pengurus korporasi,
sedangkan terhadap korporasi tidaklah dapat dimintakan pertanggungjawaban
pidananya. Hal demikian dapat dijumpai dalam ketentuan pasal 59 KUHP yang
menentukan "Dalam hal-ha1 dimana karena pelanggaran ditentukan pidana
terhadap pengurus, anggota-anggota pengurus atau komisaris-komisaris, maka
pengurus, anggota pengums atau komisaris yang temyata tidak ikut campur
melakukan pelanggaran tidak dipidana".
Mencermati ketentuan pasal 59 KUHP dimaksud, yang dianggap pelaku
tindak pidana dilakukan oleh korporasi adalah mereka sebagai pengurus
korporasi, sedangkan korporasi tidaklah dapat dikatakan sebagai pelaku tindak
pidana, karena yang berkedudukan sebagai pelaku tindak pidana dalam ketentuan
KUHP adalah rnereka yang melaksanakan perbuatan pidana secara nyata,
sedangkan korporasi tidak melakukan perbuatan secara nyata.
Melihat pada rumusan delik pasal 59 KUHP dimaksud dapat dikatakan
bahwa para penyusun KHUP dahulu dipengaruhi asas "societas delinquere non
potest yaitu badan-badan hukum tidak dapat melakukan perbuatan pidana.
Dengan demikian dalam ketentuan KUHP yang ada sekarang, korporasi
tidak dapat dikatakan sebagai pelaku (dader) tindak pidana, sehingga kesalahan
yang ada pada korporasi menjadikan kesalahan dari para pengurus korporasi
tersebut. Hal ini terjadi karena KUHP masih berpedoman kepada bahwa pelaku
(dader) tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia atau j'jaieke
daderschapbegrip, dimana yang dianggap sebagai pelaku adalah yang melakukan
perbuatan secara nyata saja. Korporasi dalam ha1 ini tidak dapat melakuan
perbuatan pidana secara nyata. Korporasi dalam melakukan perbuatan pidana
dilakukan oleh orang-orang yang terlibat dalam kepengurusan korporasi tersebut.
Mereka tersebut antara lain adalah Direksi dan Komisaris, sehingga rnereka inilah
yang akan mempertanggungjawabkan segala perbuatan pidana yang dilakukan
oleh korporasi tersebut .
Hal ini berbeda sekali dengan aturan hukum yang ada pada peraturan
perundang-undangan Perseroan Terbatas. Pandangan mengenai pelaku (dader)
tindak pidana menurut Undang-Undang ini tidak hanya dilakukan oleh manusia
sebagai person, tetapi juga dilakukan oleh korporasi. Karena itu pandangan yang
ada dalam Undang-Undang ini lebih memberikan terobosan dan kemajuan ilmu
hukum, apabila dibandingkan dengan ketentuan dalam KUHP yang berlaku
sekarang.
"
Jurnal Cendekia, Vol. 1,No. 2, Oktober 2012
5
Dengan demikian dapat diartikan bahwa sebagai pelaku tindak pidana
tidak hanya berupa fisieke daderschapbergrip atau p e l a h yang melaksanakan
perbuatan secara nyata, tetapi pengertian pelaku (dader) dapat juga berupa yang
melaksanakan perbuatan pidana secara tidak nyata seperti yang dilakukan oleh
korporasi. Korporasi dianggap mempunyai functioneel dader yang berada
ditangan para pengurus korporasi, sehingga perbuatan pidana yang dilakukan oleh
para pengurus korporasi merupakan perbuatan dari korporasi itu sendiri atau
dengan kata lain perbuatan yang dilakukan oleh para pengurus korporasi
dikontruksikan sebagai perbuatan korporasi.
Namun yang hams diperhatikan adalah dalam ha1 bagaimana korporasi
dapat dikatakan sebagai pelaku (dader). Hal ini sangat penting diperhatikan,
karena akan membawa konsekwensi hukum akan pertanggungjawaban pidana.
Korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, jika perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh korporasi tersebut telah memenuhi unsur-unsu
pertanggungjawaban pidana antara lain adanya unsur kesalahan, kemampuan
bertanggungjawab dan unsur adanya perbuatan tercela.
Pandangan terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi adanya unsur
kesalahan berbeda dengan pandangan Roeslan Saleh. Menurut pendapat Roeslan
Saleh untuk pertanggungjawaban pidana dari korporasi atau badan hukum asas
kesalahan tidak rnutlak berlaku.' Adapun bentuk pemidanaan untuk rnemberikan
sanksi pidana bagi korporasi, dikenal beberapa doktrin antara lain "strict liability,
vicarious liability dan collective responsibility
Pada doktrin strict liability yang dikenal juga dengan sebutan absolut
liability atau prinsip tanggungjawab mutlak (no fault liability or liability without
fault). Pada doktrin ini prinsip tanggungjawab mutlak tanpa keharusan untuk
membuktikan kesalahan atau dengan perkataan lain, "Suatu prinsip
tanggungjawab yang memandang kesalahan sebagai suatu yang tidak relevan
untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataannya ada atau tiday9
Sedangkan pada doktrin vicarious liability memberikan pengertian
bahwa suatu pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada seseorang atas
perbuatan orang lain (the legal responsibility of one person for the wrongfit1 acts
of another)." Pengertian lebih lanjut dari doktrin vicarious liability ini dapat
tejadi sepanjang ha1 perbuatan yang dilakukan orang lain tersebut ada dalam
ruang lingkup pekerjaan atau jabatan. Pada doktrin coElective responsibility
dikenal juga sebagai pertanggungjawaban secara kolektif. Pertanggungjawaban
'I.
'
lo
Muladi, Dwidja Priyatno, Pertanggung jawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, Penerbit
Sekolah Tinggi Hukum Bandung, hlm. 87.
Ibid hlm. 88.
Ibid hlm. 89.
ti
Jurnal Cendeha, Vol. 1,No. 2, Oktober 2012
secara kolektif ini pertama kali dikenal pada masa primitif, dimana kesalahan
seseorang dipertanggungjawabkan secara bersama-sama hanya yang menanggung
adalah seseorang.
1V.PENUTUP.
Perbuatan pidana atau perbuatan melawan hukurn yang dilakukan oleh
korporasi dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi apabila telah
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1. Perbuatan yang dilakukan oleh korporasi dalam usahanya untuk mendapat
keuntungan, dengan cara yang bertentangan dengan aturan hukum yang
berlaku.
2. Perbuatan pidana yang dilakukan oleh pengurus korporasi atas nama dan
untuk kepetingan korporasi dengan sepengetahuan pengurus lainnya dan
atau organ dari korporasi yang bersangkutan.
3. Alubat dari perbuatan (kejahatan) tersebut dapat menimbulkan kerugian
pada orang lain, korporasi yang lain, atau negara.
4. Akibat dari perbuatan (kejahatan) tersebut, bertentangan dengan ketertiban
umum dan kesusilaan.
DAFTAR PUSTAKA
Dwidja Priyatno, Muladi, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana,
Penerbit Sekolah Tinggi Hukum Bandung.
Hamzah, Andi, Asas Asas Hukum Pidana, 1994, Rineka Jakarta.
Luthan, Salman, Anatomi Kejahatan Korporasi Dan Penanggulangan 1994, Jurnal
Hukum, Penerbit Pusat Studi Hukum UII Yogyakarta.
Moeljatno, Asas Asas Hukum Pidana, 1987, Bina Aksara Jakarta.
----------,Perbuatan Pidana dan Pertanggunglawaban Pidana, Bina Aksara Jakarta.
Reksodiputro, Mardjono, Kemajuan Pembangunan Ekonomi Dan Kejahatan,
1994, Lembaga Kriminologi UI Jakarta.
Saleh, Roeslan, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua
Pengertian dasar Dalam Hukum Pidana, 1981, Aksara Baru Jakarta.
Kamus Inggris - Indonesia, Jhon M.Echols Dan Hasan Shadily, Penerbit
Gramedia Jakarta.
jurnal Cendekia, Vol. 1,No. 2, Oktober 2012
7
Download