Disampaikan dalam Kongres Nasional Pertama, Asosiasi

advertisement
POSTER-5
Analysis of extract Pegagan (C. Asiatica) for activated macrophage on
peritoneum of the infected mice by Salmobella thypi
I Nengah Kerta Besung
Faculty of Veterinary Medicine, Udayana University,
Jl. PB Sudirman- Denpasar Bali, Telp/fax : (0361) 223791
E-mail : [email protected]
Abstract
Salmonellosis is still a problem in many developing countries including Indonesia.
The main problem in controlling and handling the disease is that only few
antibiotics are available to cure the disease. In addition, the prolonged use of such
antibiotics often leads to a bacterial resistant against the antibiotics. Herbal drugs
such as Centella asiatica (in Indonesia is known as pegagan) contains
triterphenoids saphonin which acts as immunostimulant capable of enhancing the
phagocytic activity of macrophages. However, no study has been conducted to
investigate the use pegagan in activating macrophage of mice infected with
Salmonella typhi. A study was therefore conducted to find out the ability of Centella
asiatica in enhancing phagocyte activity of Centella asiatica treated mice following
challenge with Salmonella typhi. It is therefore expected that herbal drug such as
Centella asiatica can be used as an alternative medicine to prevent and cure
salmonellosis in both animals and human.
Experimental laboratory studies were conducted using Completely Randomized
Design. Mice were divided into 4 groups and they were treated respectively with
destilated water (negative control), 125, 250, dan 500 mg/kg bw of Centella asiatica
extract. The treatment was conducted daily for 2 weeks and the mice were then
inoculated with 105 cells/ml of S. typhi. The activities of macrophages were
examined 24 hours following inoculation with S. typh..
The result showed that treatment of mice with Centella asiatica extract
significantly (p<0.05) enhanced both activity of macrophages. The highest activity of
macrophages were observed in mice treated Centella asiatica extract at the dose of
500 mg/kg bw with activity of 87.1875±2.25099 macrophages per 100 peritoneal
cells. A further study is recomended to examine the celluler immune response and
more detailed study on the humoral immune response of animals or human before
this herbal is used as alternatif medicine to prevent and cure typhoid fever.
Key words: Pegagan, C. asiatica, Activity of macrophages, Thypoid
Pendahuluan
Salmonellosis masih menjadi masalah kesehatan di negara-negara berkembang,
khususnya di Indonesia. Penyakit pada manusia yang sering dikenal dengan nama
demam tifoid atau penyakit tifus, angka kejadiannya meningkat pada musim
kemarau panjang dan di awal musim hujan. Kejadian penyakit pada anak terbanyak
terjadi pada umur 5 tahun atau lebih dengan manifestasi klinis ringan. Makin muda
umur anak, gejala klinisnya makin tidak khas serta angka mortalitasnya lebih rendah
bila dibandingkan dengan orang dewasa (Supali, 2002).
Selain menyerang manusia, beberapa hewan dapat terjangkit salmonellosis
diantaranya unggas, babi, sapi, kerbau, anjing, kucing, tikus dan binatang
peliharaan seperti iguana, tortoise, dan kura-kura. Hewan yang terinfeksi S. typhi
dapat berperan sebagai reservoar penyakit tanpa menunjukkan gejala klinis. Hewan
Disampaikan dalam Kongres Nasional Pertama,
Asosiasi Farmakologi dan Farmasi Veteriner Indonesia, Denpasar 26 Maret 2011
1
POSTER
ini merupakan sumber infeksi dan setiap saat dapat menularkan penyakit ke hewan
lainnya. Pada kasus ini, kuman tetap berada di dalam tubuh dalam jangka waktu
yang lama, bahkan selama hidupnya terinfeksi kuman salmonella (Santander et al.,
2003).
Kebijakan pengendalian salmonellosis pada hewan didasarkan kepada
pelaksanaan monitoring secara teratur dan pengawasan yang ketat. Pemusnahan
pada ternak yang terserang disertai dengan penutupan lokasi peternakan sebagai
upaya untuk menanggulangi penyebaran penyakit. Bangkai itik, peralatan dan
bahan yang berasal dari kandang yang bersangkutan tidak diperbolehkan dibawa
keluar komplek peternakan tetapi harus segera dimusnahkan dengan cara dibakar
atau dikubur (PERATURAN MENTERI PERTANIAN, 2007).
Penanganan demam tifoid biasanya dititikberatkan pada pemberian antibiotika.
Selama ini penggunaan antibiotika untuk menangani demam tifoid mengalami
hambatan. Hambatan utama adalah terbatasnya jenis antibiotika yang efektip
terhadap kuman ini. Hambatan yang lain adalah sering terjadi resistensi kuman
terhadap antibiotika yang diberikan, bahkan sering terjadi resisten terhadap dua
atau lebih jenis antibiotik yang lazim dipergunakan atau dikenal dengan strain multi
drug resistance (MDR). Adanya MDR ini akan berdampak pada makin terbatasnya
pilihan antibiotik yang tepat untuk menangani infeksi salmonella (Hadinegoro, 1999).
Berkaitan dengan penanganan salmonellosis dapat menimbulkan resistensi
terhadap obat, disamping itu biaya perawatan yang mahal, dan pemulihan infeksi
yang lama, maka di masa mendatang perlu diupayakan alternatif penanggulangan
salmonellosis secara lebih mudah, efektip dan murah. Salah satu cara yang dapat
dilakukan adalah mencegah terjadinya infeksi dengan jalan meningkatkan
ketahanan tubuh. Ketahanan tubuh ini dapat ditingkatkan melalui aktivasi sel
fagositik seperti makrofag dan netrofil. Kedua sel ini berperan penting melenyapkan
semua agen infeksi yang masuk ke dalam tubuh (Tizard, 2000).
Makrofag yang teraktivasi juga mempunyai kemampuan menghasilkan sekresi
sel yang dikenal dengan interleukin. Interleukin ini merupakan alat komunikasi antar
sel. Ada beberapa interleukin (IL) yang dikeluarkan oleh makrofag yaitu IL-1, IL-4,
IL-6, dan TNF. Pada dasarnya interleukin ini berperan penting dalam proses
peradangan dan pengaturan sistem imun. Aktivitas interleukin ini sangat beragam
mulai dari meningkatkan atau menghentikan pertumbuhan sel dan meningkatkan
kemotaksis sel.
Centella asiatica (C. asiatica.) atau di Indonesia lebih dikenal dengan nama
pegagan telah lama dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Pegagan juga
dimanfaatkan sebagai obat untuk mempercepat kesembuhan luka dan
meningkatkan daya ingat. Pegagan mampu meningkatkan hyperplasia seluler dan
meningkatkan sel kolagen pada jaringan luka (Sagrawat, Khan, 2007). Jayathirtha
dan Mishra, (2004) mendapatkan bahwa pemberian ekstrak C. asiatica 100 sampai
500 mg/kg bb pada mencit mampu meningkatkan secara bermakna total sel darah
putih (WBC) dan meningkatkan kemampuan fagositosis makrofag terhadap
pembersihan karbon. Disamping itu didapatkan pula ada hubungan linear yang
bermakna antara dosis yang diberikan dengan total sel darah putih dan kemampuan
fagositosis makrofag terhadap karbon tersebut. Tikus yang diberikan pegagan
menunjukkan sel dendrit hypokampus memanjang dengan sangat bermakna (Rao
et al., 2006)
Selama ini, kajian ilmiah mengenai manfaat pegagan pada manusia maupun
pada hewan sudah banyak diungkapkan. Namun, penelitian tentang kemampuan
pegagan dalam aktivasi makrofag kaitannya dengan penyakit infeksi belum pernah
dilaporkan. Dengan demikian perlu pengkajian terhadap kemampuan pegagan
dalam aktivasi makrofag terhadap S. typhi, sehingga didapat data base mengenai
peranan pegagan dalam aktivasi makrofag sebagai dasar penelitian selanjutnya
Disampaikan dalam Kongres Nasional Pertama,
Asosiasi Farmakologi dan Farmasi Veteriner Indonesia, Denpasar 26 Maret 2011
2
POSTER-5
terhadap respon imun. Di samping itu hasil penelitian ini didapatkan bahan herbal
sebagai alternatif dalam mencegah penyakit Salmonellosis baik pada hewan
maupun pada manusia.
Materi dan metode
Penelitian ini bersifat eksperimen laboratorik yang memakai rancangan acak
lengkap sederhana (simple completely randomized design). Sebanyak 32 ekor
mencit umur minimal 8 minggu diadaptasikan dengan lingkungan selama 2 minggu
dan ditimbang berat badannya (bb). Mencit ditempatkan pada 4 kelompok secara
acak yang masing-masing kelompok terdiri dari 16 ekor mencit. Kelompok I sebagai
kontrol hanya diberikan aquades steril sebanyak 1 ml/hari, kelompok II diberikan
pegagan dosis 125 mg/kg bb/ml, kelompok III diberikan pegagan dosis 250 mg/kg
bb/ml, dan kelompok IV diberi pegagan dosis 500 mg/kg bb/ml. Pemberian tersebut
dilakukan setiap hari selama 14 hari. Pada hari ke 15 dilakukan infeksi kuman S.
typhi sebanyak 105 sel per ml PBS per ekor secara intraperitoneal. Infeksi S. typhi
ini didasarkan atas hasil uji lethal dose 50 (LD 50). Sehari setelah infeksi kuman
dilanjutkan dengan isolasi makrofag peritoneum dan serum sampel. Sebanyak 8
ekor dari masing-masing kelompok diambil cairan peritoneumnya untuk uji aktivitas
makrofag. Pengukuran aktivitas makrofag dilakukan dengan menggunakan
pewarnaan Giemsa. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop pada pembesaran
1.000 kali dengan bantuan minyak emersi. Aktivitas fagositosis ditetapkan
berdasarkan jumlah sel makrofag dalam 100 sel (Okoli et al., 2008). Data hasil
penelitian diuji homogenitasnya dengan Levene's Test pada taraf kemaknaan 5%.
Perbedaan kelompok dianalisis dengan Analisis of Varian pada taraf kemaknaan
5%. Data yang homogen dianalisis lebih lanjut dengan Least Significant Difference
(LSD) pada taraf kemaknaan 5%. Semua analisis data menggunakan SPSS 15.0
Diskusi
Makrofag yang diamati dengan mikroskop pembesaran 1.000 kali terlihat
sebagai bentukan yang tidak teratur, adanya tonjolan sitoplasma, inti tunggal
berbentuk ladam kuda terletak eksentris seperti pada Gambar 1a,b.
Gambar 1a. Makrofag peritoneum mencit Gambar 1b.
kontrol dengan pewarnaan
Giemsa pembesaran 1000x
(tanda panah menunjukkan
Makrofag peritoneum mencit dengan
pegagan
dengan
pewarnaan
Giemsa pembesaran 1000x (tanda
panah menunjukkan adanya bakteri)
Disampaikan dalam Kongres Nasional Pertama,
Asosiasi Farmakologi dan Farmasi Veteriner Indonesia, Denpasar 26 Maret 2011
3
POSTER
adanya bakteri)
Hasil aktivitas fagositosis makrofag pada kelompok kontrol, pemberian pegagan
dosis 125, 250, dan 500 mg/kg bb yang diamati sehari setelah infeksi S. typhi
seperti Gambar 2.
Gambar 2. Aktivitas Fagosit Makrofag pada Kelompok Kontrol, Pegagan 125 mg,
250 mg dan 500 mg/kg bb
Gambar 2 menunjukkan bahwa rata-rata aktivitas makrofag pada kelompok
kontrol sebesar sebanyak 62,6875 ± 9.12586 sel, pegagan 125 mg sebanyak
77,125 ± 7,4054 sel, pegagan 250 mg sebanyak 84,375 ± 1,9594 sel dan pegagan
500 mg sebanyak 87,1875± 2,25 sel. Perbedaan aktivitas makrofag dianalisis
dengan LSD seperti Tabel 1.
Tabel 1. Aktivitas Makrofag Setelah Pemberian Pegagan
Kelompok
Kontrol
125 mg/kg bb
250 mg/kg bb
Kelompok
125 mg/kg bb
250 mg/kg bb
500 mg/kg bb
250 mg/kg bb
500 mg/kg bb
500 mg/kg bb
Selisih Ratarata
-14.43750(*)
-21.68750(*)
-24.50000(*)
-7.25000(*)
-10.06250(*)
-2.81250
Signifikansi
.000
.000
.000
.024
.003
.361
Tabel 1 menunjukkan bahwa aktivitas makrofag pada dosis pegagan 500 mg/kg
lebih tinggi secara bermakna (p<0,05), dibandingkan dengan dosis lainnya kecuali
dengan dosis 250 mg/kg tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p>0,05).
Aktivitas makrofag pada dosis pegagan 250 mg/kg bb lebih tinggi secara bermakna
(p<0,05), dibandingkan dengan dosis 125 mg/kg bb atau dengan kontrol. Begitu
juga dosis 125 mg/kg bb aktivitas makrofag lebih tinggi secara bermakna (p<0,05)
dibandingkan dengan kontrol.
Aktivasi makrofag akibat pemberian pegagan sudah nampak dengan melihat
gambaran morfologisnya. Secara morfologis, makrofag mencit yang diberikan
Disampaikan dalam Kongres Nasional Pertama,
Asosiasi Farmakologi dan Farmasi Veteriner Indonesia, Denpasar 26 Maret 2011
4
POSTER-5
pegagan tampak lebih besar dengan pseudopodi lebih luas dibandingkan dengan
yang tidak diberikan pegagan. Penampakan makrofag yang diambil dari peritoneum
mencit yang tidak diberikan pegagan tepi selnya sangat jelas. Hal ini berbeda
dengan makrofag yang diberikan pegagan. Tepi pseudopodi yang lebih panjang dan
berlipat-lipat, sehingga tepi selnya tidak kelihatan jelas. Secara normal, makrofag
mempunyai ukuran antara 10 sampai 30 mikron dan bentuk selnya tidak teratur dan
terdapat tonjolan-tonjolan mikrofili yang disebut pseudopodi. Tonjolan ini kadangkadang sangat panjang dan bercabang-cabang (Tizard, 2000).
Rata-rata aktivitas makrofag pada kelompok kontrol sebesar sebanyak 62,6875 ±
9.12586, pegagan 125 mg sebanyak 77,125 ± 7,4054, pegagan 250 mg sebanyak
84,375 ± 1,9594 dan pegagan 500 mg sebanyak 87,1875± 2,25. Analisis statistik
menunjukkan bahwa pegagan terbukti mampu meningkatkan aktivitas makrofag
secara bermakna (P<0,05).
Kusmardi et al., (2006) mendapatkan bahwa mencit yang diberikan daun johar
(Cassia siamea Lamk.), aktivitas fagositosisnya meningkat seiring dengan
peningkatan dosis dan hasilnya lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Hasil
yang sama juga didapatkan oleh Damayanti dan Susilaningsih (2005), dimana
mencit yang diberikan rumput mutiara (Hedyotis corymbosa) sebanyak 240 mg/hari
dapat meningkatkan aktivitas fagositosis makrofag. Rumput mutiara yang
mengandung flavonoid dan oleanic acid ini berperan sebagai imunomudulator pada
mencit Balb/c yang diinfeksi Salmonella typhimurium.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa ekstrak pegagan
meningkatkan secara bermakna (p<0,05) aktivitas makrofag peritoneum mencit
Balb/c yang diinfeksi S. thypi, dengan aktivitas makrofag tertinggi terjadi pada dosis
500 mg/kg bb (87.1875±2.2510 sel). Berdasarkan hasil dan pembahasan yang
diperoleh dapat disarankan bahwa perlu dikembangkan lebih lanjut pemberian
ekstrak pegagan terhadap respon imun selular dan humoral dengan menggunakan
kuman uji yang lain
Daftar pustaka
Damayanti dan Susilaningsih N. 2005. Pengaruh pemberian ekstrak Hedyotis
corymbosa terhadap aktifitas fagositosis makrofag mencit Balb/c yang diinfeksi
Salmonella typhimurium. Karya Tulis Ilmiah. Universitas Dipenogoro.
Hadinegoro S.R. 1999. Artikel. Masalah multi drug resistance pada demam tifoid
anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
RSU Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Cermin Dunia
Kedokteran No. 124,
Jayathirtha MG and Mishra SH. 2004. Preliminary immunomodulatory activities of
methanol extracts of Eclipta alba and C. asiatica. Phytomedicine 11: 361–365,
http://www.elsevier.de/phymed
Kusmardi, Kumala S, Wulandari D. 2006. Pengaruh pemberian ekstrak etanol daun
johar (Cassia siamea Lamk.) tehadap peningkatan aktivitas dan kapasitas fagosit
sel makrofag. MAKARA, KESEHATAN, VOL. 10, NO. 2, Desember 2006: 89-93.
Disampaikan dalam Kongres Nasional Pertama,
Asosiasi Farmakologi dan Farmasi Veteriner Indonesia, Denpasar 26 Maret 2011
5
POSTER
PERATURAN MENTERI PERTANIAN, 2007. No: 36/Permentan/OT.140 /3/2007
Tentang Pedoman Budidaya Itik Pedaging yang Baik (Good Farming Practice).
Hal. 1-15.
Okoli CO, Akah PA, Onuoha NJ, and Okoye TC, 2008. Acanthus montanus: An
experimental evaluation of the antimicrobial, anti-inflammatory and immunological
properties of a traditional remedy for furuncles. BMC Complementary and
Alternative Medicine http://www.biomed central.com/1472-6882/8/27.
Rao KGM, Rao SM and Rao SG, 2006. C. asiatica (L.) leaf extract treatment during
the growth spurt period enhances hippocampal CA3 neuronal dendritic
arborization in Rats. Original Article. Advance Access Publication 14 June 2006.
doi:10.1093/ecam/nel024 eCAM 2006;3(3)349–357.
Sagrawat H and Khan MY.
Phytopharmacological
Review.
http://www.phcogrev.com.
2007.
Vol
Immunomodulatory Plants: A
1,
Issue
2.
pp
83-89.
Santander J, Espinoza JC, Campano MS, Robeson J. 2003. Infection of
Caenorhabditis elegans by Salmonella typhi Ty2. Short Communication.
Pontificia Universidad Católica de Valparaíso . Electronic Journal of
Biotechnology ISSN: 0717-3458 Vol.6 No.2, Issue of August 15, 2003. :148-152.
http://www.ejbiotechnology. info/content/vol6/issue2/full/5
Supali. 2002. Studi Karier Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi pada
pedagang es keliling dan intervensi penanggulangannya. FK Universitas
Indonesia. Warta litbang Kesehatan, Vol. 5 hal. 3- 4.
Tizard. 2000. Veterinary Immunology. An Introduction. 6th ed. WB Saundres
Company. Philadelpia. Pp. : 26-34
Disampaikan dalam Kongres Nasional Pertama,
Asosiasi Farmakologi dan Farmasi Veteriner Indonesia, Denpasar 26 Maret 2011
6
Download