masalah sekularisasi

advertisement
SEKULARISASI DAN ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN
(Telaah Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis Ilmu)
M. Rusdi Rasyid1
Abstract: Now days, science that have been knowing by human
being, who make them overcame strongly by many problem what it’s
faced. So to faced this problem, science and knowledge is very
significant and event urgent to discussed, specially if we see to the
secularization and science islamisation. Then, this paper is
discoursed that; what is secularization and islamization science
(knowledge) and how is the secularization and islamization science
will be researched from ontology, epistemology and axiology aspects
ontology, epistemology and axiology. By that problem will be look
for about science secularization and islamization as free knowledge
from comprehending what ideology principle and secular.
Nevertheless, this paper will be end that family secularization is
based on the west, and then develop in Islam world for select based
on the Islam principle -from the god.
Key Words: Secularization, Knowledge, Science Islamization
I. Pendahuluan
Ketika membicarakan masalah sekularisme, sebagaimana yang dikomentari
oleh Arkon, bahwa orang seringkali menggabungkan suatu ungkapan yang sangat
populer dalam Injil "Berikanlah Kaisar kepada Kaisar dan berikanlah milik Allah
kepada Allah", sebab dari ungkapan inilah, menurut sebagian pendapat, terjadi
pemisahan total antara gereja dengan negara di dunia Barat. Padahal
sesungguhnya ungkapan Al-Masih (Yesus Kristus) dapat dipahami hanya jika
diketahui dengan baik kondisi historis ketika itu. 2 Pada saat ungkapan itu
dikemukakan oleh Al-Masih, Palestina di bawah kekuasaan Romawi. Dalam
situasi demikian, cara satu-satunya bagi seorang tokoh agama adalah berkiprah
pada tataran spritual keagamaan dan tidak pada politik. Ungkapan dalam Injil
tersebut sesungguhnya memang bertujuan untuk mengendalikan kekuasaan
spritual.3
Realitas yang terjadi di dunia Barat khususnya dalam hal pemisahan ilmu
pengetahuan dari doktrin gereja menyebabkan ilmu pengetahuan berdiri sendiri
Lahir di Bulukumba-Sulsel, tahun 1973. Magister Pendidikan Islam (M.Pd.I) dan kini
sebagai tenaga pengajar tetap (dosen) di STAIN Sorong, Papua Barat. Email:
[email protected].
2 Lihat Muhammad Arkon, al-Fikr al-Islamiy: Naqd wa Ijtihad. (Cet. I; t. tp: Dar al-Saqi, 1990),
hal. 57
3 Ibid, hal. 57.
1
tanpa kontrol agama dan nilai-nilai spritual. Hal tersebut terus berlanjut hingga
abad modern kini.
Mellenium III merupakan era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
di berbagai bidang juga disebut abad modern. Asumsi ini diwarnai oleh pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan yang secara teoritis telah ada sebelum abad
modern demikian pula penemuan-penemuan baru (discovery) dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi canggih bermunculan dari waktu ke waktu.
Penemuan-penemuan tersebut sangat bermanfaat bagi umat manusia sebagai
kontribusi dalam upaya memakmurkan bumi ini. Namun satu hal yang menjadi
sentral pembahasan khususnya bagi para pemikir Islam adalah Islamisasi ilmu
pengetahuan. 4 Sains dan filsafat sudah dikenal sejak awal perkembangan Islam,
bahwa terdapat arus intelektual di kalangan orang-orang Islam untuk menanggapi
pemikir Yunani dan akibat dari rangsangan itu ternyata, mereka lebih
menghasilkan dan kreatif yang pada akhirnya membantu perkembanganperkembangan di Eropa. 5 Akan tetapi dalam perkembangannya sains dan filsafat
mengalami kemunduran di tangan umat Islam.
Masalah sekularisasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan masih dalam suasana
polemik para ahli. Hal ini disebabkan satu sisi ingin melahirkan ilmu pengetahuan
yang obyektif dengan pendekatan saintifik, sementara di sisi lain kecenderungan
sementara ilmuan muslin agar ilmu pengetahuan lahir dari Islam berdasarkan
Alquran dan Hadis, dengan pendekatan teologi normatif (keagamaan). Berkenaan
dengan kajian tentang ilmu pengetahuan dalam kaitannya dengan sekularisasi
sangat penting untuk dikaji, hal tersebut akan bisa dipahami bagaimana urgennya
islamisasi ilmu pengetahuan. Berangkat dari fakta yang telah diuraikan tersebut,
maka yang menarik untuk dilihat, apa yang dimaksud dengan sekularisasi dan
Islamisasi ilmu pengetahuan ? kemudian bagaimana sekularisasi dan Islamisasi
ilmu pengetahuan ditinjau dari aspek ontologis, epistemologis dan aksiologisnya?
II. Defenisi Sekularisasi dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Sekularisasi berasal dari bahasa Inggris "Secular" yang merupakan kata sifat
yang berarti sekuler, duniawi. 6Dalam ensiklopedia Indiana disebutkan:
"Secularism is an ethical system founded of the principles of natural morality and
independent of revealed religion or supernaturalism" 7
4Pandangan
ini muncul karena ilmu pengetahuan kini dikuasai oleh bangsa Barat yang
berpandangan hidup sekuler dan ilmu yang dihasilkannya pun bercorak sekuler. Sehingga diasumsikan
bahwa bila ilmu pengetahuan diproduksi oleh orang Islam maka ilmu yang dihasilkan pun akan
bercorak Islam, khususnya dalam ilmu pengetahuan sosial dan humaniora. Lihat Moh. Natsir
Mahmud, Epistemologi dan studi Kontemporer, (Makassar, 2000), hal. 1
5 Lihat W. Montgomery Watt, The Majesty That What Islam, Diterjemahkan oleh Hartono
Hadikusumo dengan judul, Kerajaan Islam: Kajian Kritis dari tokoh Orientalis. (Cet. I; Yokyakarta: Tiara
Wacana, 1990), hal. 239.
6 Lihat John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia. (Cet. XXII; Jakarta: PT.
Gramedia, 1996), hal. 509.
7 Lihat Grollier Incorporated, The Encyclopedia Americana, jilid 24 (Danburry: Connecticut,
1992), hal. 510.
"Sekularisme adalah suatu sistem etis (peradaban) yang didasarkan pada
prinsip-prinsip moralitas yang dialami dan terlepas dari agama yang
diwahyukan atau hal-hal yang gaib".
Dari kata sekularisme ini dibentuk menjadi kata kerja "Secularize" yang
diartikan dengan "menerapkan pendidikan kepada hal duniawi (bukan agama)", 8
atau yang biasa juga diistilahkan dengan "sekularisasi". Arti sekularisasi itu sendiri
dari segi bahasa yaitu: hal-hal yang membawa kearah kehidupan yang tidak
didasarkan pada ajaran agama. 9 Adapun istilah islamisasi ilmu pengetahuan dapat
diartikan memasukkan unsur agama, dalam hal ini agama Islam, dengan
pemahaman nilai-nilai, makna-makna dan tujuan hidup manusia menurut ajaran
Islam ke dalam ilmu pengetahuan. Islamisasi ilmu pengetahuan lahir sebagai
koreksi dari ilmu-ilmu modern yang dihasilkan oleh dunia Barat yang cenderung
bebas nilai dari tuntunan wahyu.
Ungkapan islamisasi ilmu pada awalnya dicetuskan oleh Prof. Syed
Muhammad al-Naquib Alatas pada tahun 1379/1977. Sebelumnya almarhum
Ismail Ahl al-Riwayah al-Farugi mengintrodusir suatu tulisan mengenai islamisasi
ilmu-ilmu sosial. Meskipun, gagasan ilmu keislaman, khususnya menyangkut
metodogi keislaman telah muncul sebelum ini dalam karya-karya Syed Hosein
Nasr. Belakangan, gagasan islamisasi ilmu ini disebarluaskan al-Faruqi dan institut
yang didirikannya, yaitu "Institut Pemikiran Islam Antarbangsa". Adapun
islamisasi ilmu pengetahuan menurut Prof Alatas, dalam Jurnal Ulumul Qur'an
bahwa islamisasi ilmu pengetahuan adalah ilmu yang merujuk kepada upaya
mengeliminir unsur-unsur serta konsep-konsep pokok yang membentuk
kebudayaan dan peradaban Barat, khususnya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan.
Termasuk dalam unsur-unsur dan konsep-konsep ini adalah cara pandang
terhadap realitas yang dualistik, doktrin humanisme dan tekanan kepadanya dan
penguasaan drama dan strategi dalam kehidupan rohani. Konsep-konsep seperti
inilah yang mengakibatkan ilmu yang tidak sepenuhnya benar itu tersebar
keseluruh dunia. Setelah melewati proses di atas, ke dalam ilmu tersebut
ditanamkan unsur-unsur dan konsep-konsep pokok keislaman.
Dengan demikian, akan terbentuk ilmu yang benar, yaitu ilmu yang sesuai
dengan fitrah. Unsur-unsur dan konsep-konsep pokok keislaman yang dimaksud
adalah insan, din, 'ilm, dan ma'rifah, hikmah, 'adl, 'amal, adab, dan sebagainya. Jadi
islamisasi ilmu itu adalah pembebasan ilmu dari pemahaman yang berasaskan
kepada idologi, makna serta ungkapan sekular. 10 Adapun ilmu pengetahuan dapat
dikatakan sebagai hasil usaha pemahaman manusia yang disusun dalam suatu
sistem mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukumhukum tentang hal ihwal yang diselidikinya (alam, manusia dan juga agama) sejauh
Ibid.,
Tim penyusun Kamus Departemen Pendidkan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, edisi kedua, (Cet. IV; Jakarta: 1995), hal. 894
10 Syed Farid Alatas, "Agama dan Ilmu-ilmu sosial" dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul
Qur'an, No. 2 Vol V, 1994, hal. 41
8
9
yang dapat dijangkau daya pemikiran manusia yang dibantu penginderaannya,
yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan ekperimental. 11
Kata ontologi, epistemologi dan aksiologi, 12 secara etimologis berasal dari
bahasa Yunani dari akar kata ontos, berarti "berada". Episte berarti "pengetahuan".
Dan kata aksiologi berarti "bermanfaat". Ketiga kata tersebut ditambah dengan
kata logos berarti "ilmu pengetahuan, ajaran teori". 13 Sedangkan dari sisi
terminologis, ontologi adalah ilmu hakekat yang menyelidiki alam nyata ini,
bagaimana keadaan yang sebenarnya. 14 Epistemologi adalah ilmu yang membahas
secara mendalam segenap proses dalam usaha memperoleh pengetahuan. 15
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan tentang kegunaan ilmu atau hakekat nilai yang
terkandung dalam suatu disiplin ilmu. 16 Demikian sekularisasi dan islamisasi ilmu
pengetahuan telaah ontologis, epistemologis dan aksiologis dapat diartikan
sebagai sebuah upaya melepaskan keterkaitan urusan ilmu pengetahuan dari
unsur-unsur agama dan di sisi lain muncul koreksi khususnya dari kalangan
ilmuan muslim untuk melakukan usaha agama, dalam hal ini agama Islam, dengan
pemahaman nilai-nilai, makna-makna dan tujuan hidup manusia menurut ajaran
Islam ke dalam ilmu pengetahuan. Dan berusaha membuat ilmu pengetahuan itu
sarat nilai baik dari segi hakekat realitas, fakta empiris maupun manfaat yang
diperoleh dari suatu ilmu.
III. Sekularisasi Ilmu Pengetahuan
Sekularisasi ilmu pengetahuan secara ontologis, berarti membuang segala
yang bersifat religius dan mistis, karena dipandang tidak relevan dalam ilmu.
Mitos dan religi disejajarkan dan dipandang sebagai pra ilmu yang hanya bergayut
dengan intuisi (dunia rasa). 17 Ini berarti bahwa peran Tuhan dan dan segala yang
berbau mitos dan bernuansa gaib sebagai sesuatu yang berpengaruh ditiadakan.
Sehingga sekularisasi bisa juga disebut dengan desakralisasi (melepaskan diri dari
segala bentuk yang bersifat sakral). Sekularisme ilmiah memandang bahwa alam
ini tidak mempunyai tujuan dan maksud. Karena alam adalah benda mati yang
netral. Tujuannya sangat ditentukan oleh manusia. Pandangan ini menyebabkan
11 Lihat Endang Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama (Cet. VII; Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1987), hal. 171.
12 Ontologi membahasa tentang apa yang ingin diketahui seberapa jauh kita ingin tahu
dengan kata lain ontologi adalah suatu pengkajian tentang sesuatu yang ada disebut juga dengan teori
ada, episetemologi membahas tentang nilai dan kegunaan ilmu pengetahuan yang disebut juga dengan
teori nilai. Lihat Jujun S. Suriasumantri "Tentang Hakekat Ilmu : sebuah pengantar Redaksi" dalam Jujun S.
Suriasumantri (ed.), Ilmu dalam Prespektif; sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu. (Cet. XIV;
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hal. 5
13 Tim Penyusun, Kamus Filsafat, (Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), hal. 30
14 Lihat Jalauddin dan Abdullah Idi. Filsafat Pendidikan. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998),
hal. 69
15 Lihat Jujun S. Suriasumantri, op. cit., hal. 9
16 Lihat Louis O. Kattsoff, Element of Philosophy. Diterjemahkan oleh Soejono dengan judul
Pengantar Filsafat. (Cet. V; Yokyakarta: Tiara Wacana, 1992), hal. 327
17 Intuisi dalam pandangan Barat dipandang sebagai instrument pengetahuan pra ilmu (tidak
ilmiah dan merupakan pengetahuan keseharian). Intuisi tidak melakukan analisis dan sistematisasi
terhadap gejala yang diamati, melainkan gejala ditangkap secara menyeluruh (holistik). Lihat Moh
Natsir Mahmud, op. cit., hal. 3-4
manusia dengan segala daya yang dimiliki mengeksploitasi alam untuk
kepentingan manusia semata. 18
Sebuah disiplin ilmu juga hendak dipertahankan keobyektifan tujuan maka
segala yang terkait dengan agama, pandangan hidup, tradisi dan semua yang
bersifat normatif dihindari guna menjaga realitas ilmu sebagai sesuatu yang
independen, otonom dan obyektif. Hal ini sesuai dengan epistemologi yang
digunakan yakni rasionalisme dan empirisme memandang bahwa sumber
pengetahuan yang absah adalah empiris (pengalaman). 19 Sebagai konsekuensi dari
epistemologi sekuler maka pada tataran aksiologinya ilmu itu bebas nilai (value free
of sciences) atau ilmu netral nilai.
IV. Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islamisasi ilmu pengetahuan lahir sebagai koreksi dari ilmu –ilmu modern
yang dihasilkan oleh dunia Barat yang cenderung bebas nilai dari tuntunan wahyu.
Secara ontologis, Islamisasi ilmu pengetahuan memandang bahwa realitas alam
semesta, realitas sosial dan historis ada hukum-hukum yang mengatur dan hukum
itu adalah ciptaan Tuhan. Sebagai ciptaan Allah, maka realitas alam semesta tidak
netral tapi mempunyai maksud dan tujuan. 20 Hal ini disinyalir dalam firman Allah
SWT dalam QS. Al Imran (3): 191
‫ربنا ما خلقت هذا با طال‬
Artinya:
"Ya Tuhan kami Engkau tidak menciptakan ini (alam) dengan sia-sia"
Islamisasi ilmu pengetahuan dalam tataran epistimologinya mengkaji ayatayat Alquran karena sebagian ayat Alquran memasuki wilayah kajian empiris dan
historis sehingga kebenaran statemennya/pernyataannya terbuka untuk dibuktikan
dan dihadapkan dengan metodologi keilmuan. 21 Bahkan ayat yang pertama turun
berkenaan dengan perintah membaca juga segala upaya penelitian ilmiah yang
bermaksud mendemonstrasikan revolusi ilmiah (QS. Al-Alaq: 1-5).22 Islamisasi
ilmu pengetahuan secara aksiologi memandang bahwa ilmu pengetahuan itu sarat
dengan nilai-nilai moral (moral value) dengan kata lain ilmu itu tidak netral nilai
melainkan dalam ilmu pengetahuan itu terkandung nilai-nilai luhur berdasarkan
ajaran Islam yang mengkristal pada akar-akar Ilahi.
Seorang sarjana terkemuka yang memperhatikan masalah islamisasi ilmu
pengetahuan adalah Ismail Raji al-Faruqi sebagaimana dikutip oleh Ziaduddin
Sardan, dalam bukunya Jihad Intelektual. Mengatakan bahwa ilmu pengetahuan
yang sifatnya dualisme (sistem Islam dan sistem sekuler) harus dihilangkan dan
dihapuskan. Dan kedua sistem ini harus digabungkan dan diintegrasikan,
sementara sistem yang akan muncul harus diwarnai dengan spirit Islam dan
Ibid hal. 5.
Ibid.
20 Ibid., hal. 11
21 Lihat Komaruddin Hidayat, Memahami bahasa Agama: sebuah Kajian Hemeneutik. (Cet. I;
Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 186
22
Lihat Ali Abdul Azhim, Filsafat al-Ma'arif fi Alquran al-Karim diterjemahkan oleh
Khalilullah Ahmas Masjkur Hakim dengan judul Epistemologi dan Aksiologi ilmu Prespektif Alquran (Cet.
II; Bandung: Rosdakarya, 1989), h. 48
18
19
berfungsi sebagai bagian integral dari ideologi.23 Dengan demikian islamisasi ilmu
pengetahuan menjadi penting bagi kita khususnya umat Islam guna meng-counter
pengaruh-pengaruh sekularisasi Barat yang bebas nilai.
V. Penutup
Berdasarkan pemaparan yang telah diuraikan disimpulkan bahwa,
sekularisasi ilmu pengetahuan muncul di dunia Barat yang ditandai dengan adanya
pemisahan antara doktrin gereja yang selama ini menguasai ilmu pengetahuan lalu
kemudian ilmu pegetahuan itu berdiri sendiri dan bebas dari keterikatan nilai atau
norma-norma agama. Selanjutnya islamisasi ilmu pengetahuan lahir sebagai
koreksi dari ilmu-ilmu modern yang dihasilkan oleh dunia Barat yang cenderung
bebas nilai dari tuntunan wahyu dan sekaligus merupakan counter terhadap sains
modern yang berkembang tanpa menghiraukan nilai-nilai moral yang luhur (bebas
nilai) ke arah suatu peradaban dan ilmu pengetahuan yang sarat nilai berdasarkan
ajaran Islam (Alquran dan Hadis Nabi SAW).
23 Lihat Ziaduddin Sardan, Jihad Intelektual: Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam. (Cet. I,
Surabaya; Risalah Gusti, 1998, h. 61
DAFTAR PUSTAKA
Alatas, Syed Farid. "Agama dan Ilmu-ilmu sosial" dalam
Kebudayaan Ulumul Qur'an, No. 2 Vol V, 1994, h. 41
Jurnal Ilmu dan
Anshari, Endang Saifuddin. Ilmu Filsafat dan Agama. Cet. VII; Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1987.
Arkon, Muhammad. al-Fikr al-Islamiy: Naqd wa Ijtihad.Cet.I; t. tp: Dar al-Saqi, 1990
Azhim, Ali Abdul. Filsafat al-Ma'arif fi Alquran al-Karim diterjemahkan oleh
Khalilullah Ahmas Masjkur Hakim dengan judul Epistemologi dan Aksiologi
ilmu Prespektif Alquran. Cet. II; Bandung: Rosdakarya, 1989
Shadily, John M. Echo dan Hasan. Kamus Inggris Indonesia. Cet. XXII; Jakarta: PT.
Gramedia, 1996.
Hidayat, Komaruddin. Memahami bahasa Agama: sebuah Kajian Hemeneutik. Cet. I;
Jakarta: Paramadina, 1996
Idi, Jalauddin dan Abdullah. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama,
1998
Incorporated, Grollier. The Encyclopedia Americana, jilid 24 Danburry: Connecticut,
1992.
Kattsoff, Louis O. Element of Philosophy. Diterjemahkan oleh Soejono dengan judul
Pengantar Filsafat. Cet. V; Yokyakarta: Tiara Wacana, 1992
Mahmud, Moh. Natsir, Epistemologi dan Studi Kontemporer, Makassar, 2000
Sardan, Ziaduddin. Jihad Intelektual: Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam.
Cet. I, Surabaya; Risalah Gusti, 1998
Suriasumantri, Jujun S. "Tentang Hakekat Ilmu : sebuah pengantar Redaksi" dalam
Jujun S. Suriasumantri (ed.), Ilmu dalam Prespektif; sebuah Kumpulan Karangan
tentang Hakekat Ilmu. Cet. XIV; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999
Tim penyusun Kamus Departemen Pendidkan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, edisi kedua, Cet. IV; Jakarta: 1995
Tim Penyusun, Kamus Filsafat, Cet. I; Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995
Watt, W. Montgomery. The Majesty That What Islam, Diterjemahkan oleh Hartono
Hadikusumo dengan judul, Kerajaan Islam: Kajian Kritis dari tokoh Orientalis.
Cet. I; Yokyakarta: Tiara Wacana, 1990.
Download