Naskah Akademik Raperda Pemberdayaan Koperasi dan UMKM

advertisement
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN
PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN
NOMOR... TAHUN...
TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
PROVINSI BANTEN
2015
1
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, Tuhan
Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat dan inayahnya, penyusunan
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Banten
Nomor..... Tahun.... Tentang Pemberdayaan Koperasi Dan UMKM, dapat
diselesaikan dengan baik.
Penyusunan Naskah Akademik ini dilakukan untuk memberikan
pedoman secara akademis dan sebagai landasan pemikiran atas
Rancangan Peraturan Daerah dimaksud, didasarkan pada hasil kajian
dan diskusi terhadap substansi materi muatan yang terdapat di dalam
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor.... Tahun...
Tentang Pemberdayaan Koperasi dan UMKM.
Adapun penyusunannya dilakukan berdasarkan pengolahan dari
hasil
eksplorasi
peraturan
studi
kepustakaan,
perundang-undangan
pendalaman
terkait
di
berupa
bidang
analisis
pemberdayaan
koperasi dan UMKM.
Kelancaran proses penyusunan Naskah Akademik ini tentunya
tidak terlepas dari keterlibatan dan peran seluruh pihak yang terkait,
yang telah dengan penuh kesabaran, ketekunan, dan tanggung jawab
meyelesaikan apa yang menjadi tugasnya. Untuk itu, terimakasih atas
ketekunan dan kerjasamanya.
Semoga Naskah Akademik ini bermanfaat bagi pembacanya.
Serang, Mei 2015
Penyusun
2
DAFTAR ISI
JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
B.
C.
D.
E.
BAB II
Latar Belakang
Identifikasi Masalah
Tujuan dan Kegunaan
Lingkup Pekerjaan
Metode
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. Kajian Teoritis
B. Praktik Empiris
BAB III
EVALUASI
DAN
ANALISIS
PERATURAN
PERUNDANG_UNDANGAN TERKAIT
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis
B. Landasan Sosiologis
C. Landasan Yuridis
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG
LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH
BAB VI
PENUTUP
LAMPIRAN:
RANCANGAN PERATURAN DAERAH
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Sesungguhnya kekuatan ekonominasional terletak pada ekonomi
rakyat
(people’s
kehidupannya
economy).
dalam
suatu
Puluhan
juta
pertarungan
orang
mempertahankan
mempertahankan
hidup.
Dalam proses pemberdayaan ekonomi rakyat tersebut koperasi hadir
sebagai pembawa harapan bagi rakyat akan datangnya kemakmuran
dengan mengembangkan potensi ekonomi rakyat kecil, koperasi ikut
berperan dalam menopang tegaknya daya saing perekonomian nasional
dalam kancah globalisasi.1
Pemberdayaan masyarakat secara lugas dapat diartikan sebagai suatu
proses
yang
membangun
pengembangan
manusia
kemampuan
atau
masyarakat,
masyarakat
perubahan
melalui
perilaku
masyarakat, dan pengorganisasian masyarakat.
Ada
3
tujuan
mengembangkan
masyarakat,
dan
utama
dalam
kemampuan
pemberdayaan
masyarakat,
mengorganisir
diri
masyarakat
mengubah
masyarakat.
yaitu
perilaku
Kemampuan
masyarakat yang dapat dikembangkan tentunya banyak sekali seperti
kemampuan untuk berusaha, kemampuan untuk mencari informasi,
kemampuan untuk mengelola kegiatan, kemampuan dalam pertanian
1
Y.Harsoyo, dkk, Ideologi Koperasi; Menatap Masa Depan, Pustaka Widyatama, Yogyakarta, 2006, h.116
4
dan masih banyak lagi sesuai dengan kebutuhan atau permasalahan
yang dihadapi oleh masyarakat. Perilaku masyarakat yang perlu diubah
tentunya perilaku yang merugikan masyarakat atau yang menghambat
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pengorganisasian masyarakat
dapat
dijelaskan sebagai
suatu
upaya
masyarakat
untuk
saling
mengatur dalam mengelola kegiatan atau program yang mereka
kembangkan. Disini masyarakat dapat membentuk panitia kerja,
melakukan
pembagian
tugas,
saling
mengawasi,
merencanakan
kegiatan, dan lain-lain.
Sistem ekonomi kerakyatan yang mengandung makna sebuah
sistem ekonomi partisipatif yang memberikan akses sebesar-besarnya
secara adil dan merata bagi seluruh lapisan masyarakat, baik dalam
proses produksi, distribusi, dan konsumsi nasional serta meningkatkan
kapasitas
dan
pemberdayaan
masyarakat,
maupun
dalam
suatu
mekanisme penyelenggaraan yang senantiasa memperhatikan fungsi
sumber daya alam dan lingkungan sebagai pendukung kehidupan guna
mewujudkan kemakmuran yang berkeadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia secara berkelanjutan. Maksud seperti itu juga terkandung
dalam pemikiran dasar sistem ekonomi kerakyatan sebagaimana yang
secara inheren termaktub dalam filosofi dasar negara kita.2
2
Ginandjar Kartasasmita, Membangun Ekonomi Kerakyatan untuk Mewujudkan Indonesia Baru yang Kita
Cita- Citakan, Makalah disampaikan di depan Gerakan Mahasiswa Pasundan, Bandung, 27 September
2001, www.ginandjar.com
5
Pemberdayaan masyarakat memiliki keterkaitan erat dengan sustainable
development dimana pemberdayaan masyarakat merupakan suatu
prasyarat utama serta dapat diibaratkan sebagai gerbong yang akan
membawa masyarakat menuju suatu keberlanjutan secara ekonomi,
sosial dan ekologi yang dinamis. Lingkungan strategis yang dimiliki oleh
masyarakat lokal antara lain mencakup lingkungan produksi, ekonomi,
sosial dan ekologi. Melalui upaya pemberdayaan, warga masyarakat
didorong agar memiliki kemampuan untuk memanfaatkan sumberdaya
yang dimilikinya secara optimal serta terlibat secara penuh dalam
mekanisme produksi, ekonomi, sosial dan ekologi-nya.Pemberdayaan
masyarakat
sebagaimana
telah
disinggung
diatas,
salah
satunya
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat.
Salah satu sektor yang dapat diberdayakan sebagai cara untuk
meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat yaitu dengan adanya
pemberdayaan Koperasi dan UMKM (Usaha Mikro dan Kecil Menengah).
Berbicara masalah menggerakkan ekonomi rakyat sesungguhnya tidak
terlepas dari pembicaraan terhadap usaha memberdayakan Koperasi
dan UMKM.Saat sosialisasi UU No.17 tahun 2012 tentang koperasi,
Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Banten pada akhir tahun 2012
mencatat bahwa ada sekitar 5.950 jumlah unit koperasi, sementara
yang aktif sekitar 3.787 unit, jadi yang tidak aktif sekitar 2.163 unit.
Koperasi yang aktif mempunyai anggota sebanyak 928.873 orang dan
tenaga kerja yang terserap sebanyak 9.183 orang, dengan volume usaha
6
Rp. 2,2 Triliun dan asset sebesar Rp.2,1 Triliun. Jumlah koperasi 5.950
tersebut tersebar di delapan kabupaten/kota yakni di Kota Serang 431
koperasi, yang aktif 366 dan yang tidak aktif 65 koperasi, di Kabupaten
Serang yang aktif 318 koperasi yang tidak aktif 640 unit dari total 958
unit koperasi, di Kabupaten Pandeglang aktif 530 dan tidak aktif 308
koperasi dari 838 unit koperasi, di Kabupaten Tangerang koperasi aktif
759 unit dan tidak aktif 186 unit dari total 945 unit koperasi, di Kota
tangerang yang aktif 520 unit koperasi, tidak aktif 529 dari 1.049 unit
koperasi. Di Kabupaten Lebak koperasi aktif 657 unit dan tidak aktif
108 dari 765 unit koperasi. Kemudian di Kota Cilegon aktif 296 unit,
tidak aktif 225 dari total 521 koperasi, serta di Kota Tangerang Selatan
koperasi aktif 294 unit, tidak aktif 77 unit dari total 371 unit koperasi.3
Pada tahun 2012 jumlah koperasi di Provinsi banten sekitar 5.950
unit, menjadi sekitar 6.550 unit pada awal 2014. Pertumbuhan koperasi
di Provinsi Banten setiap tahun terus meningkat, meskipun ada koperasi
yang aktif dan tidak aktif. Hasil pendataan akhir 2013 ada sekitar 6.550
koperasi di provinsi Banten dengan beragam jenis koperasi, dari jumlah
total koperasi tersebut ada sekitar 2.000 unit koperasi yang tidak aktif.
Sementara pada akhir 2014 jumlah UMKM di Provinsi banten
yang aktif yaitu sebanyak 984.000 unit, namun hanya sekitar 104.000
unit yang mendapatkan akses permodalan. Ada beberapa faktor yang
menghambat pelaku Usaha Mikro dan Kecil Menengah (UMKM) untuk
3
Asmudji HW, Sosialisasi UU No.17 Tahun 2012 Tentang Koperasi, Serang, 14 Maret 2013,
www.antarabanten.com
7
mendapatkan suntikan modal dari lembaga keuangan. Diantaranya
adalah keterbatasan legalitas, sulitnya memenuhi persyaratan bank,
tingginya suku bunga kredit, dan keterbatasan agunan. Dengan
banyaknya koperasi dan UMKM yang terfasilitasi pengajuan kreditnya
kepada PT Jamkrida, diharapkan akan berdampak meningkatnya
produktivitas usaha serta dapat menciptakan peluang penyerapan
tenaga
kerja
yang
sekaligus
akan
meningkatkan
pendapatan
masyarakat.4
Hal tersebut akan mengurangi tingkat pengangguran, baik pada tingkat
lokal
maupun
nasional,
produk-produk
UMKM
setidaknya
telah
memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi dan pendapatan
nasional karena tidak sedikit produk-produk UMKM itu mampu
menembus pasar internasional. Konkretnya, kehadiran UMKM telah
membantu program pemerintah untuk menyerap tenaga kerja sebanyakbanyaknya dan mampu meningkatkan PDB secara signifikan. Selain
berpotensi meciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan PDB,
UMKM juga dapat memiliki sumbangan kepada devisa nagara dengan
nilai ekspor yang cukup tinggi. Pemberdayaan usaha mikro, kecil dan
menengah
(UMKM)
merupakan
langkah
yang
strategis
dalam
meningkatkan dan memperkuat dasar kehidupan perekonomian dari
sebagian terbesar rakyat Indonesia, khususnya melalui penyediaan
lapangan kerja dan mengurangi kesenjangan dan tingkat kemiskinan.
4
Kesimpulan Dari Artikel dan Seminar Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Banten,www.dinkop dan
umkm banten.com
8
Jumlah UKM yang ada meningkat dengan pesat, dari sekitar 7 ribu pada
tahun 1980 menjadi sekitar 40 juta pada tahun 2001. Sementara itu
total volume usaha, usaha kecil dengan modal di bawah Rp. 1 miliar
yang merupakan 99,85% dari total unit usaha, mampu menyerap
88,59% dari total tenaga kerja pada tahun yang sama. Demikian juga
usaha skala menengah (0,14% dari total usaha) dengan nilai modal
antara Rp. 1 miliar sampai Rp. 50 miliar hanya mampu menyerap
10,83% tenaga k5erja. Sedangkan usaha skala besar (0,01%) dengan
modal di atas Rp. 54 miliar hanya mampu menyerap 0,56%tenaga kerja.
Melihat sumbangannya pada perekonomian yang semakin penting, UKM
seharusnya
mendapat
pengambil
kebijakan.
perhatian
yang
Khususnya
semakin
lembaga
besar
dari
pemerintahan
para
yang
bertanggung jawab atas perkembangan UKM.4
Dengan
demikian
upaya
untuk
memberdayakan
UMKM
harus
terencana, sistematis dan menyeluruh baik pada tataran makro, meso
dan mikro yang meliputi: (1) penciptaan iklim usaha dalam rangka
membuka
kesempatan
berusaha
seluas-luasnya,
serta
menjamin
kepastian usaha disertai adanya efisiensi ekonomi; (2) pengembangan
sistem pendukung usaha bagi UMKM untuk meningkatkan akses
kepada
sumber
daya
produktif
sehingga
dapat
memanfaatkan
kesempatan yang terbuka dan potensi sumber daya, terutama sumber
daya lokal yang tersedia; (3) pengembangan kewirausahaan dan
5
Sri Adiningsih, Regulasi dalam Revitalisasi Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia, www.ifip.org
9
keunggulan kompetitif usaha kecil dan menengah (UKM); dan (4)
pemberdayaan usaha skala mikro untuk meningkatkan pendapatan
masyarakat yang bergerak dalam kegiatan usaha ekonomi di sektor
informal yang berskala usaha mikro, terutama yang masih berstatus
keluarga miskin. Selain itu, peningkatan kualitas koperasi untuk
berkembang secara sehat sesuai dengan jati dirinya dan membangun
efisiensi kolektif terutama bagi pengusaha mikro dan kecil.
Koperasi merupakan potensi dalam mengembangkan ekonomi
nasional yang relatif besar, berdasarkan data tahun 2012, dinilai dari
keragaan koperasi yang berjumlah 192.443 unit dengan dukungan
anggota koperasi berjumlah 33.687.417 orang. Pada tahun 2012
pencapaian
volume
usaha
koperasi
adalah
Rp.
96.062
Triyun.
Kemampuan permodalan koperasi Indonesia baik yang bersumber dari
modal internal dan modal eksternal adalah Rp.89.639 Trilyun. Koperasi
Indonesia telah mampu menghimpun modal internal sebesar Rp. 43.309
Trilyun , sementara modal eksternal yang mampu diperoleh adalah Rp.
46.339 Trilyun. Berdasarkan angka modal internal dan eksternal maka
struktur permodalan
koperasi
relatif menunjukkan keseimbangan
antara modal eksternal dengan modal internal. Setoran anggota koperasi
di Indonesia 48,3% bersumber
dari modal internal dan 51,7%
bersumber dari modal eksternal. Angka struktur permodalan Koperasi
Indonesia tersebut menunjukkan resiko finansial yang rendah hingga
moderat karena mampu menjamin hampir keseluruhan pinjaman
10
dengan modal internal bila mampu mengelola
kekayaannya yang
bernilai hampir 200% dari modal eksternal.
Selama kurun waktu 70 tahun sejak Koperasi dilahirkan di Bumi
Pertiwi,
upaya
dilakukan.
membangun
Koperasi
dan
diharapkan
mengembangkan
mampu
secara
koperasi
telah
berkelanjutan
dikembangkan dan diberdayakan agar tumbuh dan menjadi sehat,
tangguh dan mandiri sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan
anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Data yang disajikan diatas mengungkapkan bahwa
terdapat
beberapa logika ekonomi yang memberikan peluang kepada Koperasi
untuk mencapai kondisi tersebut, antara lain : (i) Koperasi
sungguh
memiliki potensi untuk berkembang, menjadi kuat dan mampu bertahan
hidup menghadapi berbagai tantangan, hambatan dan ancaman ; (ii)
Koperasi yang berkembang dan kuat akan memiliki kemampuan untuk
meningkatkan kondisi sosial dan ekonomi serta memperlancar upaya
perbaikan kondisi kerja dan kehidupan anggota pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya; (iii) Koperasi yang berkembang dan kuat
akan mampu merangsang dan mendorong tumbuhnya kegiatan swadaya
yang dinamis dan peran serta masyarakat dalam pembangunan dan
penciptaan lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan;(iv)
Koperasi yang berkembang dan kuat akan memiliki kemampuan untuk
mengoreksi ketaksempurnaan pasar yang pada gilirannya akan dapat
11
memberikan pengembalian yang cukup memadai kepada para anggota
untuk mengimbangi biaya partisipasi.
Khusus untuk aspek manajemen
Koperasi memerlukan
dukungan
dalam peningkatan kelembagaan koperasi dan kualifikasi sumber daya
manusia. Peningkatan kualitas kelembagaan Koperasi di Indonesia
berhubungan dengan piranti regulasi yang terkait dengan Perkoperasian
yang mampu memberikan peluang bagi koperasi untuk meningkatkan
kinerja operasionalnya.
B. Identifikasi Masalah
Faktor
Regulasi
sangat
mempengaruhi
kualitas
kegiatan
Perkoperasian dan UMKM. Sebagian regulasi memberikan peluang
pengembangan kegiatan Perkoperasian dan UMKM namun
sebagian
menghambat kemajuan Koperasi dan UMKM, sehingga pengembangan
dan pemberdayaan Koperasi dan UMKM menuju terwujudnya Koperasi
yang
kuat
dan
mandiri
yang
mampu
mengembangkan
dan
meningkatkan kerja sama, potensi dan kemampuan ekonomi anggota
dan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan ekonomi
dan sosialnya sulit diwujudkan. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, selanjutnya disingkat UU
KOP No. 17/2012dan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2008 Tentang UMKM cukup memadai sebagai suatu sistem
untuk
dijadikan
landasan
hukum
bagi
pengembangan
dan
pemberdayaan Koperasi dan UMKM, lebih-lebih tatkala dihadapkan
12
kepada perkembangan ekonomi nasional dan global yang semakin
dinamis
dan
penuh
tantangan
hanya
saja
perlu
ada
upaya
pengembangan dan pemberdayaan yang lebih serius dari pemerintah
daerah Provinsi Banten. Oleh karena itu perlu disusunnya rancangan
peraturan daerah tentang pemberdayaan koperasi dan UMKM sebagai
jawaban dari permasalahan pemberdayaan Koperasi dan UMKM dan
sebagai implementasi dari rujukan atau literatur hukum terkait, antara
lain :
1. Merujuk pada Undang-undang No 17 tahun 2012 tentang
koperasi, dan Undang-undang No 20 Tahun 2008 Tentang UMKM
menjadi pijakan sebagai alat untuk memberdayakan Koperasi dan
UMKM di Di Provini Banten.
2. Dalam UU KOP No. 17/2012, ketentuan tentang hak anggota, hak
badan hukum Koperasi sebagai koperasi, dan hak pihak ketiga
dan masyarakat harus mendapat perlindungan dari Pemerintah
secara memadai dalam hal ini Pemerintah Daerah Provinsi Banten.
3. Peraturan Daerah Provinsi Banten melalui rujukan UU KOP No.
17/2012 dan UU No 20/2008 Tentang UMKM harus memberikan
perlindungan kepada anggota Koperasi dan Pelaku Usaha Mikro
dan Kecil Menengah (UMKM)
dalam menjalankan usahanya
sehingga Koperasi dan UMKM cukup terjamin keberadaan dan
kesinambungannya, jika terjadi penyimpangan dalam Koperasi
dan UMKM .
13
4. Kedudukan Koperasi sebagai lembaga otonom yang berbasis pada
anggota perlu lebih diperkuat melalui kelengkapan undangundang atau peraturan daerah yang mengatur pemberdayaan
koperasi sehingga Koperasi dapat berkembang sesuai dengan jati
dirinya.
5. Peraturan Daerah Provinsi Banten melalui rujukan UU KOP No.
17/2012 dan UU UMKM No.20/2008harus memadai sebagai alat
untuk
mengembangkan
permodalan
dan
kredibilitas
badan
hukum Koperasi dan UMKM .
6. Di dalam UU KOP No. 17/2012, peran Pemerintah cukup
menonjol dan dominan dalam menentukan arah perkembangan
Koperasi. Hal itu menimbulkan persepsi bahwa Pemerintahlah
yang memikul tanggung jawab utama dalam membangun Koperasi
. Hal ini harus diluruskan.
7. Kurangnya pengetahuan atas teknologi produksi dan quality
control yang disebabkan oleh minimnya kesempatan untuk
mengikuti perkembangan teknologi serta kurangnya pendidikan
dan pelatihan.
8. Kurangnya pengetahuan akan pemasaran, yang disebabkan oleh
terbatasnya informasi yang dapat dijangkau oleh UMKM mengenai
pasar, selain karena keterbatasan kemampuan UMKM untuk
menyediakan produk/ jasa yang sesuai dengan keinginan pasar.
14
9. Keterbatasan sumber daya manusia (SDM) sehinggga kesulitan
dalam mengakses permodalan dan mengembangkan Koperasi dan
UMKM.
Perkembangan UMKM yang meningkat dari segi kuantitas belum
diimbangi
oleh
Permasalahan
meratanya
klasik
peningkatan
yang
dihadapi
kualitas
adalah
UMKM.
rendahnya
produktivitas. Keadaan ini disebabkan oleh masalah internal yang
dihadapi UMKM yaitu: rendahnya kualitas SDM UMKM dalam
manajemen, organisasi, penguasaan teknologi, dan pemasaran;
lemahnya
terbatasnya
kewirausahaan
akses
dari
UMKM
para
terhadap
pelaku
UMKM;
permodalan,
dan
informasi
teknologi dan pasar, serta faktor produksi lainnya. Sedangkan
masalah eksternal yang dihadapi oleh UMKM diantaranya adalah
besarnya biaya transaksi akibat iklim usaha yang kurang
mendukung dan kelangkaan bahan baku. Perolehan legalitas
formal hingga saat ini juga masih merupakan persoalan mendasar
bagi UMKM, menyusul tingginya biaya yang harus dikeluarkan
dalam
pengurusan
perizinan.
Sementara
itu,
kurangnya
pemahaman tentang koperasi sebagai badan usaha yang memiliki
struktur kelembagaan dan insentif yang unik/khas dibandingkan
badan usaha lainnya, serta kurang memasyarakatnya informasi
tentang praktek-praktek berkoperasi yang benar (best practices)
telah
menyebabkan
rendahnya
15
kualitas
kelembagaan
dan
organisasi
koperasi.
Bersamaan
dengan
masalah
tersebut,
koperasi dan UMKM juga menghadapi tantangan terutama yang
ditimbulkan oleh pesatnya perkembangan globalisasi ekonomi dan
liberalisasi perdagangan bersamaan dengan cepatnya tingkat
kemajuan teknologi.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka dianggap perlu
merencanakan peraturan daerah tentang pemberdayaan koperasi
dan UMKM yang dapat berperan sebagai alat untuk mendorong
dan memajukan Koperasi dan UMKM sehingga dapat tumbuh dan
berkembang sebagai badan usaha yang kuat dan mandiri.
C. Tujuan Dan Kegunaan
1. Tujuan
a. Memberikan
landasan
komprehensif
terkait
pemikiran
pokok-pokok
yang
objektif
pikiran
dan
tentang
Perkoperasian dan UMKM di Provinsi Banten.
b. Memberikan arah dan ruang lingkup kebijakan dalam
peningkatan kelembagaan dan kegiatan Perkoperasian dan
UMKM di Provinsi Banten.
c. Memberikan landasan pemikiran tentang Koperasi dan
UMKM sebagai pelaku usaha yang sehat, kredibel, mandiri,
dan
tangguh
melalui
penyelenggaraan
perkoperasian dan UMKM secara efektif dan efisien.
16
kegiatan
2. Kegunaan
a. Memberikan landasan pemikiran tentang Koperasi dan
UMKM sebagai pelaku usaha yang sehat, kredibel, mandiri,
dan
tangguh
melalui
penyelenggaraan
kegiatan
perkoperasian dan UMKM secara efektif dan efisien.
b. Sebagai dasar konseptual dalam penyusunan pasal-pasal
dan penjelasan Raperda PemberdayaanKoperasi dan UMKM.
c. Sebagai Landasan pemikiran bagi anggota DPRD dan
Pemerintah Provinsi Banten dalam pembahasan Raperda
Pemberdayaan Koperasi dan UMKM.
d. Sebagai rujukan bagi semua pihak, DPRD, Pemerintah serta
pihak terkait dalam meningkatkan kapasitas dan penguatan
kelembagaan Koperasi dan UMKM.
D. Metodologi
Naskah Akademik ini dilakukan dengan pendekatan sebagai
berikut:
1. Yuridis normatif: yaitu melalui studi pustaka untuk menelaah
sistem regulasi
untuk mendorong pemberdayaan usaha
koperasi dan UMKM sebagai pelaku ekonomi produktif dari
sumber
referensi,
laporan
penelitian
dan
pengkajian
pengembangan usaha dan penguatan kelembagaan koperasi
dan UMKM.
17
2. Yuridis empiris: yaitu melalui analisa data primer maupun
data sekunder yang dikumpulkan dari lembaga koperasi dan
UMKM dan dari pengelola/pengurus koperasi dan UMKM baik
pada tingkat
daerah kabupaten/kota maupun pemerintah
provinsi.
3. Metode analisis data dilakukan berdasarkan perspektif analisis
manajemen strategi dan kebijakan publik.
18
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. Kajian Teoritis
Pemberdayaan adalah upaya yang membangun daya masyarakat
dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan
potensi
yang
dimiliki
serta
berupaya
untukmengembangkannya.
Pemberdayaan diarahkan guna meningkatkan ekonomi masyarakat
secara produktif sehingga mampu menghasilkan nilai tambah yang
tinggi dan pendapatan yang lebih besar. Upaya peningkatan kemampuan
untukmenghasilkan nilai tambah paling tidak harus ada perbaikan
akses terhadap empat hal, yaitu akses terhadap sumber daya, akses
terhadap
teknologi,aksesterhadappasardanaksesterhadappermintaan.
Ekonomi masyarakat adalah segala kegiatan ekonomi dan upaya
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (basic need) yaitu
sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa pemberdayaan ekonomi masyarakat (koperasi
dan UMKM) merupakan satu upaya untuk meningkatkan kemampuan
atau potensi koperasi dan UMKM dalam kegiatan ekonomi guna
memenuhi kebutuhan hidup serta meningkatkan kesejahteraan mereka
dan dapat berpotensi dalam proses pembangunan nasional.
19
Konsep
pemberdayaan
lahir
sebagai
antitesis
terhadap
model
pembangunan dan model industrialisasi yang kurang memihak pada
rakyat mayoritas. Konsep inidibangundarikerangkalogiksebagaiberikut:
a. Bahwa proses pemusatan kekuasan terbangun dari pemusatan
penguasaan Faktor produksi.
b. Pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat
pekerja dan masyarakat yang pengusaha pinggiran.
c.
Kekuasaan
akan
membangun
bangunan
atas
atau
sistem
pengetahuan, sistem politik, sistem hukum, dan ideologi yang
manipulatif untuk memperkuat dan legitimasi.
d. Kooptasi sistem pengetahuan, sistem hukum, sistem politik, dan
ideologi,secara
sistematik
akan
menciptakan
dua
kelompok
masyarakat, yaitumasyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya.
Akhirnya yang terjadi adalahdikotomi, yaitu masyarakat yang
berkuasa dan manusia yang dikuasai. Untukmembebaskan situasi
menguasai
dan
dikuasai,
maka
harus
dilakukanpembebasan
melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai.
Dalam
upaya
peningkatan
pemberdayaan yang tepat sasaran
taraf
hidup
masyarakat,
pola
sangat diperlukan, bentuk yang
tepatadalah dengan memberikan kesempatan kepada koperasi dan
UMKM untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan
yang telah mereka tentukan. Disamping itu koperasi dan UMKM juga
diberikan kekuasaanuntuk mengelola dananya sendiri, baik yang berasal
dari pemerintah maupun pihak penyalur , dan inilah yang membedakan
antara partisipasi koperasi dan UMKMdengan pemberdayaan koperasi
20
dan UMKM. Perlu difikirkan siapa sesungguhnya yang menjadi sasaran
pemberdayaan koperasi dan UMKM, sesungguhnya juga memiliki daya
untuk membangun, dengan ini good governance yang telah dielu-elukan
sebagai suatu pendekatan yang dipandang paling relevan, baik dalam
tatanan pemerintahan secara luas maupun dalam menjalankan fungsi
pembangunan. Good governance adalah tata pemerintahan yang baik
merupakan suatu kondisi yang menjalin adanya proses kesejahteraan,
kesamaan, kohesi dan keseimbangan peran, serta adanya saling
mengontrol yang dilakukan komponen pemerintah, koperasi dan UMKM.
Salah satu bentuk kerja sama dalam lapangan perekonomian adalah
koperasi kerja sama dan dalam koperasi ini dilaksanakan berdasarkan
prinsip-prinsip saling membutuhkan dan kesamaan diantara kebutuhan
diantara
beberapa
orang-orang
secara
bersama
mengupayakan
pemenuhan kebutuhan sehari-hari baik, yang terkait dengan keperluan
pribadi maupun perusahaan untuk mencapai tujuan itu suatu kerja
sama yang berlangsung secara terus-menerus diperlukan.Secara umum
yang dimaksud dengan koperasi adalah suatu badan usaha bersama
yang bergerak dalam bidang perekonomian beranggotakan yang mereka
pada umumnya berekonomi lemah yang bergabung secara sukarela atas
dasar persamaan hak berkewajiban melakukan sesuatu usaha yang
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan para anggotanya.
Bila kita melihat daya saing koperasi di Indonesia untuk menjadi salah
satu koperasi terbaik dunia, kita perlu membandingkan kinerja ratarata koperasi Indonesia dengan kinerja koperasi negara lain. Mengacu
pada data publikasi Direktori Indeks 100 Koperasi Terbaik Malaysia
21
tahun 2013, koperasi di Malaysia dilaporkan berjumlah 10.087 unit
dengan jumlah anggota 7,030.000 orang.
Dari data ini kita dapat
melihat bahwa setiap koperasi di Malaysia rata-rata memiliki anggota
697 orang. Pencapaian nilai aset total adalah RM. 100,41 milyar atau
Rp.371.5 trilyun
dan Modal total sebesar RM 11.71 milyar atau Rp.
43.3 trilyun. Kinerja
koperasi koperasi di Malaysia secara rata rata
menunjukkan capaian yang lebih positif dibandingkan dengan capaian
Koperasi di Indonesia dengan dukungan jumlah anggota 39 kali lebih
besar yaitu 697 orang dibandingkan dengan 18 orang di Indonesia untuk
setiap koperasi.
Bila kita mengevaluasi kualitas praktek pengelolaaan koperasi di
Indonesia,
peristiwa
penyimpangan
penyelenggaraan
kegiatan
perkoperasian oleh pengurus dari ketentuan regulasi koperasi yang
terjadi pada Koperasi Angkutan Cipaganti dan Koperasi Langit Biru di
Jawa Barat, Koperasi Karangasem Membangun di Bali, adalah sebagian
kecil bukti bahwa kualitas pengelolaaan koperasi masih sangat rendah.
Resiko
yang
dihadapi
anggota
koperasi
sebagai
akibat
tindakan
pengelola koperasi yang tidak bertanggungjawab relatif tinggi dinilai dari
nilai kerugian harta yang ditanggung lebiih dari
110.000 anggotanya
pasti sangat besar karena terdapat anggota yang menginvestasikan
uangnya hingga bernilai ratusan juta rupiah.
Kegagalan pengelolaaan
koperasi tidak saja disebabkan oleh keterbatasan kompetensi teknis
para pengelola koperasi namun juga disebabkan oleh karakter individu
pengelola
koperasi.
Untuk
mencegah
terjadinya
penyalahgunaan
kewenangan para pengurus koperasi pemerintah perlu meningkatkan
22
piranti regulasi koperasi yang mengakomodasikan kebijakan disinsentif
perilaku negatif yang berpotensi merugikan masyarakat
anggota
koperasi di masa yang akan datang.
Penyimpangan
dilakukan
perilaku
karena
pengelola
pengaturan
koperasi
kegiatan
memungkinkan
perkoperasian
belum
mengakomodasikan konsekuensi yang harus ditanggung oleh pelaku
pelanggaran dan penyalahgunaan kewenangan oleh para pengurus
koperasi.
elemen
Regulasi koperasi perlu ditingkatkan
pengendalian
perilaku
pengurus
dengan memasukkan
untuk
meningkatkan
kepercayaan masyarakat calon anggota koperasi guna meningkatkan
keanggotaan koperasi secara komprehensif. Kejahatan atau pelanggaran
yang dilakukan pengelola koperasi bukan saja disebabkan oleh faktor
individu
manusianya
namun
dapat
diperkuat
pula
oleh
kondisi
lingkungan baik sosial maupun regulasi yang tidak mengantisipasi
perilaku oportunis pengelola atau pengurus koperasi. Penetapan regulasi
perkoperasian yang memadai dalam suatu mekanisme sistem tata kelola
yang baik diperlukan untuk memberikan perlindungan pada anggota
koperasi dan masyarakat.
Provinsi Banten dianggap tidak mampu menyerap dana bergulir dari
Lembaga Pengelolaan Dana Bergulir (LPDB). Bahkan Provinsi Banten
masuk dalam kategori sepuluh besar paling rendah dalam pengelolaan
dana bergulir koperasi dan usaha mikro kecil dan menengah (KUMKM)
di Indonesia.
23
Menurut Direktur Umum LPDB Seharusnya dana ini dapat
dimanfaatkan dalam upaya peningkatan taraf hidup dari usaha kecil
menengah. Ironisnya, pelaku ekonomi dan UMKM di provinsi Banten
begitu banyak namun selama bertahun-tahun Koperasi dan UMKM
sangat rendah dalam menyerap dana bergulir tersebut.
Mengacu pada pengertian International Cooperative Standard
(ICA) koperasi adalah kumpulan orang yang secara sukarela bergabung
untuk mencapai tujuan ekonomi, sosial dan budaya serta cita-cita
bersama melalui usaha yang dikendalikan dan dimiliki bersama.
Pengertian ini menyiratkan bahwa koperasi adalah kumpulan orang dan
bukan kumpulan modal yang memiliki kebutuhan serupa dan tujuan
serupa.
Pengertian Usaha Mikro menurut Keputusan Menteri Keuangan
No.40/KMK.06/2003 tanggal 29 Januari 2003 :Usaha produktif milik
keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia dan memiliki hasil
penjualan paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per
tahun.Usaha Mikro dapat mengajukan kredit kepada bank paling
banyak Rp.50.000.000,-. Diperbarui dengan Undang-Undang No. 20
tahun 2008 tentang UMKM :Usaha produktif milik orang perorang dan
atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro,
memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta
rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah).
24
Pengertian Usaha Kecil Menurut Undang-Undang No. 9 Tahun
1995, Usaha Kecil adalah usaha produktif yang berskala kecil dan
memenuhi kriteria kekayaan bersih paling banyak Rp200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha atau memiliki hasil penjualan paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah) per tahun serta dapat menerima kredit dari bank
maksimal di atas Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sampai
dengan Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).Pengertian Usaha Kecil
Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2008, Usaha Kecil adalah :
Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, dilakukan oleh orang
perorang atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan
atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah
atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil. Memiliki
kekayaan bersih lebih dari Rp. 50.000.000,00 , tidak termasuk tanah
dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan
lebih dari Rp. 300.000.000,00
sampai dengan paling banyak Rp.
2.500.000.000,00.
Pengertian Usaha MenengahPengertian usaha menengah menurut
Inpres No.10 tahun 1998 : Usaha Menengah adalah usaha bersifat
produktif yang memenuhi kriteria kekayaan usaha bersih lebih besar
dari
Rp200.000.000,00
Rp10.000.000.000,00,
sampai
dengan
paling
banyak
sebesar
tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha. Dapat menerima kredit dari bank sebesar Rp.500.000.000,00
25
sampai dengan Rp.5.000.000.000,00. Pengertian usaha menengah
Menurut UU No.20 Tahun 2008, Usaha Menengah yaitu :Usaha ekonomi
produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorang atau
badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan
cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik
langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha
besar.Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 500.000.000,00
sampai
dengan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih
dari Rp. 2.500.000.000,00
sampai dengan paling banyak Rp.
10.000.000.000,00B.
B. Praktik Empiris
Praktik empiris yang mencerminkan kondisi umum pemberdayaan
Koperasimemiliki sendi nilai-nilai yang menjadi identitas koperasi dan
anggota koperasi. Nilai-nilai individu yang menjadi jati diri koperasi
adalah:
1. Mandiri.
2. Bertanggungjawab.
3. Demokrasi.
4. Persamaan.
5. Keadilan.
6. Solidaritas.
7. Kejujuran.
8. Keterbukaan
26
9. Tanggung jawab social.
10. Kepedulian.
Dalam menyelenggarakan fungsinya koperasi menjunjung tinggi nilai
–nilai sebagai berikut yaitu :
1. Keanggotaan individu dalam koperasi bersifat sukarela, dan
terbuka.
2. Demokratis dalam pengawasan
3. Partisipasi anggota
4. Otonomi
5. Bebas
6. Pelatihan dan pendidikan
7. Keterbukaan informasi
8. Jaringan kerja sama koperas
9. Kepedulian pada lingkungan
Jati diri seorang anggota koperasi adalah sebagai pemilik
usaha yang berbagi kewenangan dalam pengawasan dan pengelolaan
di satu sisi dan dilain sisi sebagai pelaku kegiatan ekonomi seperti
pelanggan/pengguna produk/jasa koperasi atau produsen.
Undang-Undang tentang Koperasi di Indonesia yang secara memadai
mengatur penyelenggaraan kegiatan perkoperasian
merupakan
sarana yang sangat penting bagi pengembangan dan pemberdayaan
Koperasi, sedangkan Undang-Undang tentang Koperasi yang kurang
baik dapat menghadirkan hambatan dan rintangan bagi upaya
tersebut. Perkembangan dan keberdayaan Koperasi adalah fenomena
yang erat berkaitan dengan masyarakat. Undang-Undang tentang
27
Koperasi
yang
merupakan
salah
satu
sumber
penting
bagi
penciptaan kondisi sosial-ekonomi masyarakat, khususnya mereka
yang menjadi anggota Koperasi, dapat juga berperan sebagai
instrumen perubahan yang sangat ampuh.
Rancangan peraturan daerah
tentang pemberdayaan koperasi
merupakan suatu prasyarat, suatu perantara dan suatu instrumen
pengembangan
dan
pemberdayaan
Koperasi.
perkembangan dan pemberdayaan Koperasi
Sebaliknya
merupakan prasyarat
penting bagi Undang-Undang Republik Indonesia tentang Koperasi.
Kondisi sosial-ekonomi masyarakat, khususnya mereka yang menjadi
anggota Koperasi, dan dinamikanya mempengaruhi perumusan dan
pendekatan yang diterapkan dalam pengaturan industri/gerakan
koperasi, prasyarat yang mendasari pembentukan peraturan daerah
pemberdayaan Koperasi dan bagaimana caranya peraturan daerah
tersebut bekerja.
Perkembangan dan pemberdayaan Koperasi merupakan
visi
penting penyempurnaan Undang-Undang tentang perkoperasian.
Sementara tekad dan kehendak politik dari Pemerintah serta Gerakan
Koperasi bagi terwujudnya perkembangan dan keberdayaan Koperasi
menjadi semangat dan kekuatan untuk lahirnya peraturan daerah
tentang
pemberdayaankoperasi
yang
sesuai
dengan
dinamika
lingkungan bisnis dan ekonomi, sosial , budaya dan politik serta
teknologi yang mampu memberikan warna, makna dan peluang baru
dan justifikasi sistem pengelolaaan yang sama sekali baru pula.
28
Pengembangan dan pemberdayaan Koperasi
dapat diselenggarakan dengan
tidak mungkin
berhasil tanpa peraturan daerah
tentang pemberdayaan Koperasi. Upaya harus diselenggarakan sesuai
dengan Undang-Undang tentang Koperasi , melalui Undang-Undang,
dan melalui saluran-saluran Undang-Undang tentang Koperasi.
Undang-undang tentang Koperasi
dan peraturan daerah tentang
pengembangan dan pemberdayaan Koperasi secara produktif harus
saling
melengkapi,
memperkuat,
dan
menyempurnakan
untuk
mendorong tata kelola koperasi yang semakin baik di masa depan.
Perumusan peraturan daerah pemberdayaan Koperasi baru didasari
oleh asumsi dan dipandang dari beberapa perspektif yang berkaitan
dengan pengelolaan, kinerja dan keberlanjutan penyelenggaraan
usaha ekonomi produktif yang digunakan sebagai pendekatan
penilaian dan pengembilan keputusan selama ini. Teori stakeholder
(teori pemangku kepentingan), teori keagenan, teori tanggung jawab
social dan teori kontrak sosial digunakan sebagai dasar penjelasan
terhadap sistem kelembagaan dan sistem pengelolaan koperasi di
masa depan.
1.
Teori Stakeholder atau Teori Pemangku Kepentingan.
Teori stakeholder mengatakan bahwa koperasi bukanlah entitas yang
hanya beroperasi untuk kepentingan pemilik koperasi yaitu para
anggota koperasi
memberikan
itu sendiri namun diharapkan juga mampu
manfaat
bagi
para
pemangku
kepentingan
lain
disekelilingnya (stakeholders). Makna ini dilandasi oleh kesadaran
29
bahwa untuk mencapai tujuannya koperasi tidak saja memerlukan
dukungan anggota koperasi namun juga memerlukan dukungan
pemasok, karyawan, pemerintah, kelompok masyarakat tertentu yang
terkait
sektor
ekonomi
yang
dimasukinya
dll.
Pertukaran
masukan/input produksi dan pertukaran keluaran hasil produksi
koperasi dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat dan para
pemangku kepentingan. Dengan demikian, keberadaan suatu koperasi
sangat dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan oleh pemangku
kepentingan
(stakeholder)
koperasi
tersebut,
sehingga
mampu
melaksanakan kegiatan perkoperasian secara berkelanjutan dan
mewujudkan tujuan koperasi. Pemangku kepentingan (stakeholder)
pada dasarnya dapat mengendalikan atau memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi pemakaian sumber-sumber ekonomi yang digunakan
koperasi. Kemampuan tersebut dapat berupa kemampuan untuk
membatasi pemakaian sumber ekonomi yang terbatas (modal dan
tenaga kerja), akses terhadap media yang berpengaruh, kemampuan
untuk mengatur koperasi, atau kemampuan untuk mempengaruhi
konsumsi atas barang dan jasa yang dihasilkan koperasi. Oleh karena
pemangku
kepentingan/stakeholder
mempengaruhi
pencapaian
koperasi melalui pengendalian sumber daya operasi yang penting bagi
koperasi, maka koperasi akan bereaksi dengan cara-cara memuaskan
keinginan stakeholder agar dapat melanjutkan kegiatannya secara
berkelanjutan. Para
pemangku kepentingan koperasiantara lain
adalah karyawan, anggota dan pemasokStakeholder dapat berasal dari
lingkungan internal maupun eksternal yang berpotensi memiliki
30
hubungan transaksi baik bersifat langsung maupun tidak langsung
dengan
koperasi.
Dengan
demikian,
secara
rinci
stakeholdermefupakan pihak internal maupun eksternal, seperti:
pemerintah,
koperasi
pesaing,
masyarakat
sekitar,
lingkungan
intemasional, lembaga di luar koperasi (LSM dan sejenisnya), lembaga
pemerhati lingkungan, para pekerja koperasi, kaum minoritas dan lain
sebagainya yang keberadaanya sangat mempengaruhi dan dipengaruhi
koperasi. Batasan pemangku kepentingannya/stakeholder tersebut di
atas mengisyaratkan bahwa koperasi hendaknya memperhatikan
stakeholder, karena mereka adalah pihak yang mempengaruhi dan
dipengaruhi baik secara langsung mapun tidak langsung atas aktivitas
serta kebijakan yang diambil dan dilakukan koperasi. Jika koperasi
tidak memperhatikan stakeholder bukan tidak mungkin akan menuai
protes dan dapat mengeliminasi legitimasikoperasi untuk menjalankan
fungsinya secara efektif dan efisien.
Berdasar pada asumsi dasar stakeholder theory tersebut, koperasi
tidak dapat melepaskan diri dengan lingkungan sosial
Koperasi
perlu
menjaga
legitimasikoperasi
melalui
sekitarnya.
pemenuhan
kebutuhan secara memadai, serta mendudukannya dalam kerangka
kebijakan dan pengambilan keputusan koperasi,
untuk dapat
mendukung dalam pencapaian tujuan koperasi, melalui stabilitas
usaha dan jaminan.
Esensi teori stakeholder tersebut di atas dapat dihubungkan dengan/
interkoneksi dengan teori legitimasi yang mengisyaratkan bahwa
koperasi
hendaknya
mengurangi
31
kesenjangan
harapan
dengan
masyarakat (publik) sekitar guna meningkatkan legitimasi (pengakuan)
masyarakat.
Pengakuan
menumbuhkan
masyarakat
kepercayaan
akan
masyarakat
bermanfaat
yang
untuk
penting
bagi
perkembangan koperasi di kemudian hari. Untuk itu, koperasi
hendaknya menjaga reputasinya yaitu dengan menggeser pola orientasi
(tujuan) yang semula semata-mata diukur denganindikator keuangan
dan ekonomi dan yang cenderung berorientasi hanya pada kebutuhan
serta kepentingan anggota yang berperan sebagai pemilik koperasi dan
pengguna
layanan
memperhitungkan
keberpihakan
koperasi
faktor
terhadap
(shareholdersorientation)
sosial
masalah
sebagai
sosial
wujud
ke
arah
kepedulian
kemasyarakatan
dan
(social
orientation).
2.
Teori Kontrak Sosial (Social Contract Theory)
J. J Rousseau (1762) dalam Nor Hadi (2011: 96) berpendapat bahwa
alam bukanlah wujud dari konflik, melainkan memberikan hak
kebebasan bagi individu-individu untuk berbuat secara kreatif.
Kontrak sosial (social contract) di buat sebagai media untuk mengatur
tatanan (pranata) sosial kehidupan masyarakat. Berdasarkan teori ini,
Kontrak sosial (Social contract)
dibangun dan dikembangkan, salah
satunya untuk menjelaskan hubungan antara koperasi terhadap
masyarakat (society).
Koperasi (ataupun organisasi bentuk lainnya)
memiliki kewajiban kepada masyarakat untuk memberi kemanfaatan
bagi masyarakat setempat. Interaksi koperasi
memberikan
kewajiban
bagi
koperasi
32
dengan masyarakat
untuk
selalu
berusaha
memenuhi dan mematuhi aturan dan norma-norma yang berlaku di
masyarakat (community norm), sehingga kegiatan koperasi dapat
dipandang legitimat oleh masyarakat.
3.
Teori Persinyalan (Signalling Theory)
Teori sinyal membahas mengenai pentingnya
Koperasi untuk
memberikan informasi kepada pihak eksternal. Dorongan tersebut
disebabkan
karena
terjadinya
asimetri
informasi
antara
pihak
manajemen koperasi dan pihak eksternal yang tidak terlibat dalam
pengelolaaan kegiatan perkoperasian koperasi. Untuk mengurangi
asimetri informasi maka koperasi harus mengungkapkan informasi
terkait kegiatan yang dilakukan dan kelembagaan secara akurat dan
sahih baik informasi keuangan maupun non keuangan untuk
mendukung
pengambilan
keputusan
terkait
lembaga
koperasi
tersebut.
Salah satu informasi yang wajib untuk diungkapkan oleh koperasi
adalah informasi tentang penyelenggaraan fungsi perkoperasian dan
informasi
pelaksanan
tanggung
jawab
sosial
koperasi
(social
responsibility). Informasi ini dapat dimuat dalam laporan tahunan dan
atau
laporan
sosial
koperasi
pengungkapan
pelaksanaan
responsibility)
dengan
kredibilitas
masyarakat
terpisah.
tanggung
harapan
dapat
Koperasi
jawab
melakukan
sosial
meningkatkan
(social
reputasi,
dan nilai koperasi di mata anggota, calon anggota dan
luas.
Reputasi
koperasi
33
yang
positif
berpotensi
meningkatkan daya tarik koperasi di mata calon anggota untuk
berpartisipasi aktif sebagai anggota dan memperkuat
kapasitas
koperasi dalam melaksnakan fungsi dan perannya.
Nilai koperasi sangat penting karena dengan nilai koperasi yang tinggi
akan diikuti oleh tingginya kemakmuran anggota koperasi. Semakin
tinggi akumulasi nilai kekayaan koperasi semakin tinggi pula nilai
koperasi. Nilai koperasi yang tinggi menjadi keinginan para anggota
koperasi, sebab dengan nilai yang tinggi menunjukan kemakmuran
pemilik koperasi
juga tinggi. Kemanfaatan partisipasi anggota
koperasi sebagai pemilik koperasi dipresentasikan oleh nilai promosi
ekonomi yang dinikmati anggota koperasi yang merupakan cerminan
efektivitas dari keputusan investasi, pendanaan (financing), dan
manajemen kekayaan koperasi oleh para pengurus koperasi nilai
koperasi adalah nilai jual koperasi atau nilai tumbuh bagi anggota
anggota koperasi yang tidak saja dibentuk oleh nilai total kekayaan
fisik koperasi namun juga oleh reputasi dan kredibilitas koperasi yang
terakumulasi.
4.
Teori Keagenan (Agency Theory).
Pemisahan fungsi pengelolaan dari fungsi kepemilikan pemisahan
tugas pengelolaaan berdasarkan perspektif teori agensi berpotensi
menimbulkan beberapa kondisi perilaku yaitu : agen yangcenderung
mementingkan dirinya sendiri
dan akan mengalihkan resources
(berinvestasi) dari investasi yang meningkatkan nilai koperasi ke
34
alternatif investasi yang lebih menguntungkan bagi dirinya sendiri.
Permasalahan agensi mengindikasikan bahwa nilai koperasi akan
dapat
meningkat
secara
umun
apabila
anggota
koperasi
bisa
mengendalikan perilaku manajemen agar tidak menghamburkan
resources koperasi, baik dalam bentuk investasi yang tidak layak
maupun dalam bentuk investasi yang nilainya menurun dari tahun ke
tahun. Good governance yang selanjutnya disebut sebagai Tata Kelola
merupakan suatu sistem dan mekanisme untuk mengelola perilaku
agen pengelola entitas koperasi, yang mengatur dan mengendalikan
perilaku
manajer
pengelola
koperasi
yang
diharapkan
dapat
memberikan dan meningkatkan nilai koperasi kepada para anggota
koperasi. Dengan demikian, penerapan good governance dipercaya
dapat meningkatkan nilai koperasi.
Koperasi yang mengungkapkan secara terbuka dan memadai kualitas
penerapan
tata
kelola,
kelembagaan
atau
pencapaian
kinerja
operasionalnya dapat meningkatkan persepsi positif kelembagaan
koperasi. Koperasi dapat menggunakan informasi tanggung jawab
sosial sebagai keunggulan kompetitif koperasi. Koperasi yang memiliki
kinerja lingkungan dan sosial yang baik akan direspon positif oleh
anggota dan calon kreditur melalui peningkatan dukungan terhadap
kebutuhan sumber daya koperasi. Apabila koperasi memiliki kinerja
lingkungan dan sosial yang buruk maka akan muncul keraguan dari
calon anggota dan calon kreditor sehingga direspon negatif melalui
35
penurunan partisipasi anggota dan dukungan sumber daya yang
diberikan pada koperasi.
Pengungkapan CSR berpengaruh pada reputasi koperasi. Hal ini
sejalan dengan paradigma enlightened self-interest yang menyatakan
bahwa stabilitas dan kemakmuran ekonomi jangka panjang hanya
dapat dicapai jika koperasi melakukan tanggung jawab sosial kepada
masyarakat. Beberapa hal yang dapat menyebabkan CSR berpengaruh
pada
reputasi
dan
kredibilitas
koperasi
yaitu:
(1)
manajemen
menyadari arti penting CSR sebagai investasi sosial jangka panjang, (2)
manajemen memahami bahwa tanggung jawab koperasi tidak hanya
untuk
pemegang
saham
tetapi
juga
pihak-pihak
lain
yang
berkepentingan, (3) pengungkapan CSR merupakan sinyal positif
bahwa koperasi telah menerapkan good governance, (4) informasi
tanggung jawab sosial koperasi telah direspon baik oleh investor, (5)
koperasi telah melakukan pengkomunikasian pesan CSR secara tepat
sehingga makna CSR dapat diterima dengan baik oleh pihak-pihak lain
yang berkepentingan.
5. Sistem Tata Kelola (Corporate Governance).
Beberapa
studi
tentang
Good
Corporate
Governance
telah
menggunakan teori agensi sebagai dasar dalam menjelaskan manfaat
praktik Good Governance atau Tata Kelola yang Baik.Hubungan agensi
ada ketika salah satu pihak (prinsipal) menyewa pihak lain (agen)
untuk melaksanakan suatu jasa dan, dalam melakukan hal itu,
36
mendelegasikan wewenang untuk membuat keputusan kepada agen
tersebut.
Dalam
suatu
kondisi
pengelolaan
koperasi,
bila
anggota
mendelegasikan peran pengelolaan kegiatan operasional koperasi
kepada pihak ketiga (agen), anggota koperasi/anggota koperasi
merupakan prinsipal dan manajer profesional adalah agen mereka.
Anggota koperasi menyewa manajer profesional dan mengharapkan
mereka bertindak maksimal atas nama kepentingan mereka. untuk
bertindak bagi kepentingan mereka. Di tingkat yang lebih rendah,
Manajer koperasi adalah prinsipal dan karyawan pelaksana koperasi
adalah agennya. Salah satu elemen kunci dari teori agensi adalah
bahwa prinsipal dan agen memiliki preferensi atau tujuan yang
berbeda.
Kebijakan
remunerasi
yang
tepat
dapat
menetralkan
perbedaan kepentingan ini. Selain gaji/upah yang diterima sebagai
imbalan, para manajer koperasi dapat menerima/diberikan kontrak
insentif akan mengurangi dorongan memaksimal kepentingan pribadi
dalam pengelolaan koperasi dan mempertimbangkan kepentingan
koperasi dalam panjang seperti keberlanjutan usaha koperasi dari
pada memaksimalkan surplus hasil usaha pada periode operasional
tertentu.
Dalam UU PT No.40 Tahun 2007, disebutkan bahwa entitas bisnis
yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT)
yang melakukan usaha di
bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib
menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 74 ayat 1).
37
Kusus bagi Perusahaan yang menggunakan masukan sumber daya
tak terbarukan wajib melakukan upaya pelestarian lingkungan
sebagai bagian dari aktivitas sosialnya.
Berdasarkan ketentuan UU koperasi nomor 17 tahun 2012 kita juga
dapat melihat ketentuan terkait alokasi dana sisa hasil usaha untuk
pembangunan wilayah kerja Koperasi sebesar 1,5%.
Prinsip Dan Implementasi
Tata Kelola Yang Baik. Pedoman Umum
Tata Kelola Koperasi dalam rangka:
1. Mendorong tercapainya kesinambungan koperasi melalui pengelolaan
yang
didasarkan
pada
asas
transparansi,
akuntabilitas,
responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan.
2. Mendorong pemberdayaan fungsi dan kemandirian masing-masing
organ koperasi, yaitu Badan pengawas, Pengurus dan Rapat Anggota
Koperasi.
3. Mendorong anggota koperasi, anggota badan pengawas, pengurus
agar dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakannya
dilandasi oleh nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan.
4. Mendorong timbulnya kesadaran dan tanggung jawab sosial koperasi
terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar
koperasi.
5. Mengoptimalkan kemanfaatan koperasi bagi anggota koperasi dengan
tetap memperhatikan pemangku kepentingan lainnya.
38
6. Meningkatkan
daya
saing
koperasi
secara
nasional
maupun
internasional, sehingga meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat
mendorong volume kegiatan koperasi dan peningkatan peran koperasi
dalam ekonomi nasional yang berkesinambungan.
7. Pedoman tata kelola ini dapat diserap dalam rancangan peraturan
daerah tentang pemberdayaan Koperasi, merupakan standar minimal
yang akan ditindaklanjuti.
Setiap koperasi harus memastikan bahwa asas tata kelola yang baik
diterapkan pada setiap aspek
kegiatan perkoperasian di semua
jajaran koperasi. Asas tersebut yaitu transparansi, akuntabilitas,
responsibilitas,
independensi
serta
kewajaran
dan
kesetaraan
diperlukan untuk mencapai kesinambungan usaha (sustainability)
koperasi
dengan
memperhatikan
pemangku
kepentingan
(stakeholders).
1. Transparansi
(Transparency).Untuk
menjaga
obyektivitas
dalam
menjalankan bisnis, koperasi harus menyediakan informasi yang
material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami
oleh pemangku kepentingan. Koperasi harus mengambil inisiatif
untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh
peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk
pengambilan
pemangku
keputusan
kepentingan
oleh
anggota
koperasi,
lainnya.Koperasi
harus
kreditur
dan
menyediakan
informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat dan dapat
diperbandingkan serta mudah diakses oleh pemangku kepentingan
39
sesuai dengan haknya; Informasi yang harus diungkapkan meliputi,
tetapi tidak terbatas pada, visi, misi, sasaran usaha dan strategi
koperasi, kondisi keuangan, susunan dan kompensasi pengurus,
anggota koperasi. Prinsip keterbukaan yang dianut oleh koperasi
tidak mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan
koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rahasia
jabatan, dan hak-hak pribadi;Kebijakan koperasi harus tertulis dan
secara proporsional dikomunikasikan kepada pemangku kepentingan.
2. Akuntabilitas
(Accountability)
adalah
Koperasi
harus
dapat
mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wcijar.
Untuk itu koperasi harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai
dengan
kepentingan
koperasi
dengan
tetap
memperhitungkan
kepentingan anggota koperasi dan pemangku kepentingan lain.
Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai
kinerja yang berkesinambungan. Koperasi harus menetapkan rincian
tugas dan tanggung jawab masing-masing organ koperasi dan semua
karyawan secara jelas dan selaras dengan visi, misi, nilai-nilai
koperasidan strategi koperasi;Koperasi harus meyakini bahwa semua
organ koperasi dan semua karyawan mempunyai kemampuan sesuai
dengan tugas, tanggung jawab. Koperasi harus memastikan adanya
sistem pengendalian internal yang efektif dalam pengelolaan koperasi;
Koperasi harus memiliki ukuran kinerja untuk semua jajaran
koperasi yang konsisten dengan sasaran usaha koperasi, serta
memiliki sistem penghargaan dan sanksi (reward and punishment
system) ; Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, setiap
40
organ koperasi dan semua karyawan harus berpegang pada etika
bisnis dan pedoman perilaku (code of conduct) yang telah disepakati.
3. Responsibilitas
mematuhi
(Responsibility)
peraturan
adalah
bahwa
perundang-undangan
Koperasi
serta
harus
melaksanakan
tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat
terpelihara
kesinambungan
usaha
dalam
jangka
panjang
dan
mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen. Koperasi harus
berpegang pada prinsip kehati-hatian dan memastikan kepatuhan
terhadap
peraturan
perundang-undangan,
anggaran
dasar
dan
peraturan koperasi (by-laws); Koperasi harus melaksanakan tanggung
jawab sosial dengan antara lain peduli terhadap masyarakat dan
kelestarian lingkungan terutama di sekitar koperasi dengan membuat
perencanaan dan pelaksanaan yang memadai.
4. Independensi .Koperasi harus dikelola secara independen sehingga
masing-masing organ koperasi tidak saling mendominasi dan tidak
dapat diintervensi oleh pihak lain. Masing-masing organ koperasi
harus menghindari terjadinya dominasi oleh pihak manapun, tidak
terpengaruh
oleh
kepentingan
tertentu,
bebas
dari
benturan
kepentingan (conflict of interest) dan dari segala pengaruh atau
tekanan, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara
obyektif; Masing-masing organ koperasi harus melaksanakan fungsi
dan
tugasnya
sesuai
dengan
anggaran
dasar
dan
peraturan
perundang-undangan, tidak saling mendominasi dan atau melempar
tanggung jawab antara satu dengan yang lain.
41
5. Kewajaran
dan
Kesetaraan
melaksanakan
memperhatikan
(Fairness)
kegiatannya,
kepentingan
adalah
koperasi
pemegang
bahwa
harus
saham
dan
Dalam
senantiasa
pemangku
kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.
Koperasi
harus
kepentingan
memberikan
untuk
kesempatan
memberikan
masukan
kepada
dan
pemangku
menyampaikan
pendapat bagi kepentingan koperasi serta membuka akses terhadap
informasi
sesuai
dengan
prinsip
transparansi
dalam
lingkup
kedudukan masing-masing; Koperasi harus memberikan perlakuan
yang setara dan wajar kepada pemangku kepentingan sesuai dengan
manfaat dan kontribusi yang diberikan kepada koperasi; Koperasi
harus memberikan kesempatan yang sama dalam penerimaan
karyawan, berkarir dan melaksanakan tugasnya secara profesional
tanpa membedakan gender, ras, agama, kelompok dan kondisi fisik.
Secara umum pembagian macam koperasi di Indonesia telah diatur
dalam perundang-undangan, namun tidak ada salahnya apabila kita
berusaha memahaminya berdasarkan landasan, baik yang bersifat
teoritis maupun kenyataan yang terjadi sesudahnya. Sesuai dengan
sejarah timbulnya koperasi, pembagian koperasi didasarkan pada
kebutuhan masyarakat itu. Secara mendasar koperasi dibedakan atas
koperasi konsumsi, koperasi produksi dan koperasi kredit, namun
setelah peradaban semakin maju aktifitas masyarakat bertambah
komplek timbulah berbagai macam bentuk dasar koperasi itu
misalnya saja koperasi produksi dapat dibagi menjadi koperasi
42
pertanian,
pertemakan,
koperasi
perikanan
maupun
koperasi
pengkrajin. Untuk konteks ke Indonesiaan pembagian koperasi
didasarkan pada kebutuhan nyata masyarakat secara umura di
Indonesia ada lima kualifikasi koperasi diantaranya adalah :
1.Koperasi Konsumsi
Sesuai dengan namanya koperasi konsumsi adalah koperasi yang
menangani
pengadaan
berbagai
barang-barang
untuk
memenuhi
kebutuhan anggotanya misalnya saja, beras, gula, sabun, minyak goreng,
perkakas rumah tangga dan barang elektronika. Tujuan koperasi konsumsi
ialah agar anggota-anggotanya dapat membebani pengadaan berbagai
barang-barang konsumsi dengan kualitas yang baik dan harga yang layak
untuk melayani kebutuhan anggota-anggotanya maka suatu koperasi
konsumsi akan melakukan beberapa para anggota :
a. Membeli dan menghimpun barang-barang konsumsi daiam jumlah
sesuai kebutuhan para anggota.
b. Menyalurkan barang konsumsi itu membuat sendiri barang-barang
konsumsi dengan harta yang layak.
c. Mungkin juga koperasi itu membuat sendiri barang-barang konsumsi
yang butuhkan untuk kemudian dijual kepada para anggota sehingga
mereka tidak terlalu bergantung kepada pihak luar. Koperasi konsumsi
ialah koperasi-koperasi yang anggota- anggotanya39 terdiri dari tiaptiap orang yang mempunyai kepentingan langsung dalam lapangan
konsumsi. Koperasi konsumsi mempunyai fungsi:
43
1) Sebagai penyalur tunggal barang-barang kebutuhan rakyat seharihari yang mempendek jarak antara konsumen dan produsen.
2) Harga barang sampai dengan pemakai menjadi murah.
3) Ongkos-ongkos penjualan maupun pembelian dapat dihemat.
2.Koperasi Kredit atau Koperasi Simpan Pinjam
Koperasi kredit didirikan untuk memberikan kesempatan kepada
anggota-anggotanya memperoleh pinjaman dan dengan mudah dan dengan
ongkos (satu bunga) yang ringan itulah sebabnya disebut koperasi kredit.
Koperasi kredit atau koperasi simpan pinjam ialah koperasi yang bergerak
dalam lapangan usaha pembentukan modal melalui tabungan-tabungan
para
anggota
secara
teratur
dan
terus-menerus
untuk
kemudian
dipinjamkan kepada anggota dengan cara mudah, murah, cepat dan tepat
untuk tujuan produktif dan kesejahteraan. Contohnya adalah unit-unit
simpan pinjam dalam KUD KSU, Credit Union, Bukopin, Bank Koperasi
Pasar dan lain-lain.
1. Karakteristik Usaha Mikro
a. Jenis barang/komoditi usahanya tidak selalu tetap, sewaktu-waktu
dapat berganti.
b. Tempat usahanya tidak selalu menetap, sewaktu-waktu dapat pindah
tempat.
c. Belum melakukan administrasi keuangan yg sederhana sekalipun, dan
tidak memisahkan keuangan keluarga dengan keuangan usaha.
44
d. Sumber
daya
manusianya
(pengusahanya)
belum
memiliki
jiwa
wirausaha yang memadai.
e. Tingkat pendidikan rata-rata relatif sangat rendah.
f. Umumnya belum akses kepada perbankan, namun sebagian
sudah
akses ke lembaga keuangan non bank.
g. Umumnya tidak memiliki izin usaha atau persyaratan legalitas lainnya
termasuk NPWP.
Contoh Usaha Mikro
a. Usaha tani pemilik dan penggarap perorangan, peternak, nelayan dan
pembudidaya.
b. Industri makanan dan minuman, industri meubelair pengolahan kayu
dan rotan,industri pandai besi pembuat alat-alat.
c. Usaha perdagangan seperti kaki lima serta pedagang di pasar dll.
d. Peternakan ayam, itik dan perikanan.
e. Usaha jasa-jasa seperti perbengkelan, salon kecantikan, ojek dan
penjahit (konveksi).
2. Karakteristik Usaha Kecil
a. Jenis barang/komoditi yang diusahakan umumnya sudah tetap tidak
gampang berubah.
b. Lokasi/tempat usaha umumnya sudah menetap tidak berpindahpindah.
45
c. Pada umumnya sudah melakukan administrasi keuangan walau masih
sederhana, keuangan perusahaan sudah mulai dipisahkan dengan
keuangan keluarga, sudah membuat neraca usaha.
d. Sudah memiliki izin usaha dan persyaratan legalitas lainnya termasuk
NPWP.
e. Sumberdaya manusia (pengusaha) memiliki pengalaman dalam berwira
usaha.
f. Sebagian sdh akses ke perbankan dlm keperluan modal.
g. Sebagian besar belum dapat membuat manajemen usaha dengan baik
seperti business planning.
Contoh Usaha Kecil
a. Usaha tani sebagai pemilik tanah perorangan yang memiliki tenaga
kerja
b. Pedagang dipasar grosir (agen) dan pedagang pengumpul lainnya.
c. Pengrajin industri makanan dan minuman, industri meubelair, kayu
dan rotan, industri alat-alat rumah tangga, industri pakaian jadi dan
industri kerajinan tangan.
d. Peternakan ayam, itik dan perikanan.
e. Koperasi berskala kecil.
3. Karakteristik Usaha Menengah
a. Umumnya memiliki manajemen dan organisasi yang lebih baik, lebih
teratur bahkan lebih modern, dengan pembagian tugas yang jelas
antara lain, bagian keuangan, bagian pemasaran dan bagian produksi.
46
b. Telah melakukan manajemen keuangan dengan menerapkan sistem
akuntansi dengan teratur, sehingga memudahkan untuk auditing dan
penilaian atau pemeriksaan termasuk oleh perbankan.
c. Telah melakukan aturan atau pengelolaan dan organisasi perburuhan,
telah ada Jamsostek, pemeliharaan kesehatan dll.
d. Sudah memiliki segala persyaratan legalitas antara lain izin tetangga,
izin usaha, izin tempat, NPWP, upaya pengelolaan lingkungan dll.
e. Sudah akses kepada sumber-sumber pendanaan perbankan.
f. Pada umumnya telah memiliki sumber daya manusia yang terlatih dan
terdidik.
4. Permasalahn Yang Dihadapi UMKM
a. Belum dimilikinya sistem administrasi keuangan dan manajemen yang
baik
karena
belum
dipisahkannya
kepemilikan
dan
pengelolaan
perusahaan.
b. Sulitnya menyusun proposal dan membuat studi kelayakan untuk
memperoleh pinjaman bank maupun modal ventura, berbelitnya
prosedur mendapatkan kredit, agunan yang tidak memenuhi syarat
yang ditetapkan bank, dan terlalu tingginya tingkat bunga.
c. Kendala dalam menyusun perencanaan bisnis karena persaingan dalam
merebut pasar semakin ketat.
d. Kendala dalam mengakses teknologi terutama karena pasar dikuasai
oleh perusahaan/kelompok bisnis tertentu, serta selera konsumen yang
cepat berubah.
47
e. Kendala dalam memperoleh bahan baku karena adanya persaingan
yang ketat dalam mendapatkan bahan baku, bahan baku berkualitas
rendah, dan harga bahan baku yang tinggi.
f. Kendala dalam perbaikan kualitas barang dan efisiensi terutama untuk
tujuan ekspor karena selera konsumen berubah dengan cepat, pasar
dikuasai perusahaan tertentu, dan banyak barang pengganti.
g. Kendala dalam hal tenaga kerja, karena sulit memperoleh tenaga kerja
yang terampil.
48
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. Analisis Peraturan Perundang – Undangan Terkait.
1.
UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
UU No. 10 tahun 1998 merupakan UU perubahan pertama atas UU
No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. UU yang disahkan pada 10 November
1998 ini merupakan salah satu langkah strategis yang dilakukan oleh
Pemerintah
bersama
dengan
DPR
untuk
menyempurnakan
system
perbankan nasional. Penyempurnaan yang dilakukan ini tidak saja sebagai
upaya yang dilakukan untuk menyehatkan bank secara individual namun
juga untuk menyehatkan system perbankan secara menyeluruh.
Di dalam UU ini terdapat 43 perubahan atau penyempurnaan materi
pengaturan dari UU No. 7 tahun 1992. Penyempurnaan yang dilakukan ini
terkait
dengan
sejumlah
materi
pengaturan
antara
lain
meliputi
penggunaan istilah beserta pengertiannya; pemberlakuan prinsip syariah
dalam system perbankan; ketentuan mengenai pelaksanaan program
peningkatan taraf hidup rakyat melalui pemberdayaan koperasi, usaha kecil
dan menengah oleh perbankan; ketentuan mengenai pembelian agunan dan
pencairannya;
ketentuan mengenai izin usaha Bank Umum dan Bank
Perkreditan Rakyat; ketentuan mengenai pembukaan kantor cabang, kantor
cabang pembantu, dan kantor perwakilan Bank Umum dan Bank
49
Perkreditan Rakyat; ketentuan mengenai bentuk hukum Bank Umum;
ketentuan mengenai pendirian Bank Umum; ketentuan mengenai emisi
saham melalui bursa efek yang dilakukan Bank Umum; ketentuan
mengenai perubahan kepemilikan bank; ketentuan mengenai merger,
konsolidasi dan akuisisi bank; ketentuan mengenai pembinaan dan
pengawasan bank; ketentuan mengenai pemeriksaan terhadap bank oleh
Bank Indonesia; ketentuan mengenai tindakan yang dapat dilakukan Bank
Indonesia
dalam
mengatasi
kesulitan
bank
terhadap
kelangsungan
usahanya dan melakukan penyehatan perbankan secara umum; ketentuan
mengenai kewajiban bank menjamin dana masyarakat; ketentuan mengenai
perlindungan rahasia nasabah; serta
perubahan ketentuan pidana
perbankan.
Di dalam UU N0.10 tahun 1998 dijelaskan sejumlah istilah yang
perlu diketahui, karena memiliki hubungan baik langsung maupun tidak
langsung terhadap koperasi. Dalam ketentuan pasal 1 butir 2, 3, dan 4,
dijelaskan mengenai
definisi Bank, Bank Umum dan Bank Perkreditan
Rakyat, yaitu:
Bank
merupakan
badan
usaha
yang
menghimpun
dana
dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak;
50
Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan atau berdasarkan Prinsip .6 Syariah yang dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran;
Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang
dalam
kegiatannya
tidak
memberikan
jasa
dalam
lalu
lintas
pembayaran;
Disebutkan pula pada butir 11, 12, dan 13 mengenai definisi kredit,
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dan penjelasan mengenai Prinsip
Syariah, yaitu: Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga.
Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang
atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang
dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka
waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam
antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan atau
pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai
dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
6
Pasal 1 Ayat 1-4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 Tentang Perbankan
51
(mudharabah),
pembiayaan
berdasarkan
prinsip
penyertaan
modal
(musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan
(murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa
murni
tanpa
pilihan
(ijarah),
atau
dengan
adanya
pilihan
pemindahankepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh
pihak lain (ijarah wa iqtina).
Pada materi pengaturan dalam UU No. 10 tahun 1998, diatur pula
sejumlah materi ketentuan yang keterkaitan dengan aktivitas koperasi,
meliputi:
a. Prinsip dalam pemberian kredit atau pembiayaan
Di dalam pasal 8 disebutkan dalam ayat (1)-nya bahwa: “dalam
memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,
Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang
mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah
Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan
dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”. Kemudian pada ayat (2)
disebutkan bahwa “Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan
pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia."
b. Kewenangan dalam Menetapkan Batas Maksimum Pemberian Kredit
atau Pembiayaan
Di dalam perubahan pasal 11, disebutkan kewenangan Bank
Indonesia untuk menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum
pemberian kredit atau pembiayaan, meliputi:
52
1. Bank
Indonesia
menetapkan
ketentuan
mengenai
batas
maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat
berharga atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh
Bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait,
termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang
sama dengan bank yang bersangkutan.
2. Bank
Indonesia
menetapkan
ketentuan
mengenai
batas
maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat
berharga, atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh
bank kepada:
a. pemegang saham yang memiliki 10% (sepuluh perseratus) atau
lebih dari modal disetor bank;
b. anggota Dewan Komisaris;
c. anggota Direksi;
d. keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huhruf a,
huruf b, dan huruf c;
e. pejabat bank lainnya; dan
f. perusahaan-perusahaan
yang
di
dalamnya
terdapat
kepentingan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e.
3. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah, bank dilarang melampaui batas maksimum pemberian
53
kredit
atau
pembiayaan
berdasarkan
Prinsip
Syariah
sebagaimana diatur dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)."
c. Dukungan Perbankan Dalam Program Peningkatan Taraf Hidup
Rakyat Banyak
Di dalam perubahan ketentuan pasal 12, diatur mengenai dukungan
yang diberikan oleh perbankan melalui pemberdayaan koperasi,
usaha kecil, dan menengah, dimana disebutkan:
1. Untuk menunjang pelaksanaan program peningkatan taraf hidup
rakyat banyak melalui pemberdayaan koperasi, usaha kecil dan
menengah,
Pemerintah
bersama
Bank
Indonesia
dapat
melakukan kerjasama dengan Bank Umum.
2. Ketentuan
mengenai
kerjasama
dengan
Bank
Umum
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah."
d. Perubahan Lingkup Usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
UU No. 10 tahun 1998 juga mengamanatkan adanya penyempurnaan
terhadap lingkup usaha dari BPR. Dimana pada butir c pasal 13
materi
ketentuan
disempurnakan
menjadi:
“menyediakan
pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip Syariah,
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia."
e. Bentuk Hukum Bank Umum
UU
N0.
10
tahun
1998
dalam
perubahan
pasal
21
tetap
mencantumkan Koperasi menjadi salah satu bentuk hukum dari
Bank Umum.
f. Pembinaan dan Pengawasan Bank
54
Ketentuan pasal 29 melalui UU No. 10 tahun 1998 dilakukan
sejumlah penyempurnaan redaksional. Dalam kaitan dengan aktivitas
koperasi terdapat beberapa ketentuan yang saling berhubungan
dengan ketentuan pasal 29 ini, khususnya dalam hal pemberian
kredit atau pembiayaan dan penyediaan informasi mengenai resiko
kepada nasabah. Materi pengaturan dalam pasal 29 selengkapnya
yaitu:
1. Pembinaan
dan
pengawasan
bank
dilakukan
oleh
Bank
Indonesia.
2. Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan
ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen,
likuiditas,
rentabilitas,
solvabilitas,
dan
aspek
lain
yang
berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan
usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
3. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib
menempuh
cara-cara
yang
tidak
merugikan
bank
dan
kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada
bank.
4. Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi
mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan
dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.
5. Ketentuan yang wajib dipenuhi oleh bank sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan oleh Bank
Indonesia."
55
Dari UU No. 10 tahun 1998 kemudian muncul UU lain yang terkait
secara langsung maupun tidak langsung dengan aktivitas perbankan. UU
tersebut antara lain ialah:
1. UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
2. UU No. 3 tahun 2011 tentang Transfer Dana
3. UU No. 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
UU No. 10 tahun 1998 dalam perjalanannya telah mengalami 2 (dua)
kali uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Di mana pada uji materi yang
pertama, Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan No. 82/PUU-IX/2011
telah menolak permohonan uji materil yang diajukan oleh pemohon Sdr.
Fara Novia Manoppo terhadap ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU No. 10 tahun
1998 mengenai pidana maksimal dan minimum serta denda maksimal dan
minimum yang tertera pada pasal tersebut.
Kemudian pada tahun 2012, UU No. 10 tahun 1998 kembali diuji
secara materi ke Mahkamah Konsitusi oleh pemohon Sdr. Magda Safrina,
yang mengajukan permohonan uji materi terhadap ketentuan Pasal 40 ayat
(1) mengenai kewajiban Bank merahasiakan keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpanannya. Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah
Konsitusi berdasarkan Putusan No. 64/PUU-X/2012 telah mengabulkan
permohonan pemohonan untuk sebagian, dimana dengan Putusan ini, MK
memberikan penafsiran lain mengenai perlindungan data nasabah dengan
memperbolehkan
suami
atau
istri
mengakses
informasi
perbankan
terhadap keberadaan harta bersama selama menikah untuk kepentingan
peradilan dalam perkara perceraian.
56
Ketentuan terkait bentuk Badan Hukum pada UU NO. 10 tahun 1998
dalam perubahan pasal 21 tetap mencantumkan Koperasi menjadi salah
satu bentuk hukurn dari Bank Umum. Sementara untuk pembinaan dan
pengawasan Bank ketentuan pasal 29 melalui UU No. 10 tahun 1998
dilakukan sejumlah penyempurnaan redaksional. Dalam kaitan dengan
aktivitas koperasi terdapat beberapa ketentuan yang saling berhubungan
dengan ketentuan pasal 29 ini, khususnya dalam hal pemberian kredit atau
pembiayaan dan penyediaan informasi mengenai resiko kepada nasabah.
2.. UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat
UU No. 5 tahun 1999 merupakan salah satu produk Undang-Undang
yang dihasilkan di awal masa reformasi. Kondisi persaingan usaha yang
tumbuh secara tidak sehat melalui prilaku monopoli, pemusatan kekuatan
ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu, dan berbagai prilaku
usaha lainnya yang mencederai semangat kewirausahaan sejati pada masa
orde baru, telah mendorong pembuat Undang-Undang di negeri ini, untuk
menegakkan aturan hukum dan memberikan perlindungan yang sama bagi
setiap pelaku usaha melalui UU tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat ini. Di harapkan melalui Undang-undang ini
jaminan kepastian hukum dapat diberikan untuk lebih mendorong
percepatan
pembangunan
ekonomi
dalam
upaya
meningkatkan
kesejahteraan umum, serta sebagai implementasi dari semangat dan jiwa,
Undang-Undang Dasar 1945.
57
Secara umum, materi dari Undang-Undang Tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini mengandung 6
(enam) bagian pengaturan. Keenam bagian pengaturan tersebut meliputi:
(1) perjanjian yang dilarang; (2) kegiatan yang dilarang; (3) posisi dominan;
(4) Komisi Pengawas Persaingan Usaha; (5) penegakan hukum; dan (6)
ketentuan lain-lain. Di dalam perjanjian yang dilarang terdapat 10 jenis perjanjian yang
dilarang oleh UU ini. Kesepuluh perjanjian tersebut meliputi oligopoly,
penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel trust oligopsoni;
integrasi vertikal, perjanjian tertutup, dan perjanjian dengan pihak luar
negeri.
UU kemudian mengatur pula adanya 4 (empat) jenis kegiatan yang
dilarang untuk dilakukan pelaku usaha. Keempat jenis kegiatan yang
dilarang tersebut meliputi: monopoli; monopsony; penguasaan pasar; dan
persekongkolan.
Selain perjanjian dan kegiatan yang dilarang, UU juga mengatur mengenai
larangan pelaku usaha untuk melakukan posisi dominan. Disebutkan
bahwa terdapat 4 (empat) jenis perilaku posisi dominan yang dilarang
meliputi: prilaku umum posisi dominan; jabatan rangkap; pemilikan
saham; serta penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan.
Dalam hal daya ikat dan lingkup keberlakuan, Koperasi secara
umum merupakan entitas badan usaha yang berstatus badan hukum yang
terikat secara umum dengan UU No. 5 tahun 1999. Disebutkan di dalam
pasal 1 butir 5 bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau
badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan
58
hukum yang didirikan dan bekedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersamasama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam
bidang ekonomi. Atas dasar definisi tersebut maka secara umum koperasi
dapat dikatagorikan sebagai badan usaha yang berbentuk badan hukum
yang terikat dengan materi pengaturan mengenai pelaku usaha yang ada di
dalam ketentuan UU No. 5 tahun 1999 ini.
Namun demikian, masuknya koperasi sebagai bagian dari pelaku
usaha ini tidak serta merta membuat kegiatan usaha yang dilakukan
koperasi terikat secara hukum dengan keberadaan UU No. 5 tahun 1999.
Di dalam pasal 50 UU ini, kegiatan usaha koperasi yang secara khusus
bertujuan untuk melayani anggotanya, dikecualikan dari ketentuan UU No.
5 tahun 1999. Yang dimaksud dengan melayani anggotanya disini adalah
memberi
pelayanan
hanya
kepada
anggotanya
dan
bukan
kepada
masyarakat umum untuk pengadaan kebutuhan pokok, kebutuhan sarana
produksi termasuk kredit dan bahan baku, serta pelayanan untuk
memasarkan dan mendistribusikan hasil produksi anggota yang tidak
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat. Karena itu ketentuan ini dapat diartikan bahwa seluruh
kegiatan usaha koperasi, sepanjang secara khusus diperuntukkan untuk
melayani anggota, tidak terkena atau terikat dengan ketentuan atau
batasan yang ada di dalam UU No. 5 tahun 1999 ini. Sebaliknya bila
kegiatan usaha yang dilakukan koperasi diperuntukkan untuk melayani
masyarakat umum dengan lingkup aktivitas yang disebutkan oleh UU ini
59
maka kegiatan usaha koperasi tetap terikat dengan pengaturan dari UU No.
5 tahun 1999.
Penggunaan kata Koperasi secara khusus yang ada di dalam UU No.
5 tahun 1999, selain dapat dilihat pada ketentuan pasal 50, juga dapat
ditemukan pada penjelasan pasal 32 huruf i. Di mana disebutkan bahwa
anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha tidak boleh terafiliasi dengan
suatu badan usaha, yang salah satunya tidak menjadi anggota pengurus
atau badan pemeriksa suatu koperasi.
3. UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
UU No.12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32
tahun 2004 merupakan UU yang menjadi dasar dari pelaksanaan otonomi
daerah. Keberlakukan UU ini menggantikan sekaligus menyempurnaan
ketentuan dari UU No. 22 tahun 1999 yang telah membangun pondasi
dasar dan mengubah tata kelola pemerintahan di daerah. Perubahan atau
amandemen konstitusi RI sedikitnya juga telah mengubah landasan
konstitusional pemerintahan pada tingkat daerah.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu
melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing
60
dengan
memperhatikan
prinsip
demokrasi,
pemerataan,
keadilan,
keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Prinsip otonomi seluas-luasnya ini di artikan daerah diberikan
kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar
yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang
ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk
memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi
yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu
prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan
berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada
dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan
potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi
setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang
dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang
dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan
maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan
daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan
bagian
utama
penyelenggaraan
dari
tujuan
otonomi
nasional.
daerah
Seiring
harus
selalu
dengan
prinsip
berorientasi
itu
pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan
kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.
61
Karena
itu
di
dalam
penyelenggaraan
otonomi
daerah
atau
desentralisasi ini salah satu aspek yang memiliki kedudukan yang demikian
penting dan strategis ialah mengenai pembagian urusan pemerintahan. Hal
ini
di
dasari
pemikiran
bahwa
selalu
terdapat
berbagai
urusan
pemerintahan yang sepenuhnya/tetap menjadi kewenangan Pemerintah
Pusat selain urusan yang diserahkan secara otonom ke daerah.
Urusan pemerintahan yang harus tetap dipegang oleh pemerintah
pusat ini tentunya di dasari atas pertimbangan bahwa urusan-urusan ini
menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara
keseluruhan. UU N0.12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU
No. 32 tahun 2004 ini mengatur adanya 6 (enam) urusan utama yang tetap
menjadi urusan Pemerintah Pusat, meliputi urusan: politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional, dan agama
dan Hukum.
Mengacu pada ketentuan tersebut maka pemberian Badan Hukum
Koperasi dimana pada hakekatnya adalah proses berkaitan dengan Hukum
perlu dipertimbangkan kembali apakah akan didelegasikan kewenangannya
pada Pemerintah Daerah sebagaimana berlangsung selama ini atau pada
Pemerintah
Pusat,
mengingat
Urusan
Hukum
adalah
kewenangan
Pemerintah Pusat yang tidak didesentralisasikan.
Di samping keenam urusan di atas, terdapat pula bagian urusan
pemerintah yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang
penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan
bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah. Dengan demikian
setiap urusan yang bersifat concurrent senantiasa ada bagian urusan yang
62
menjadi kewenangan Pemerintah, ada bagian urusan yang diserahkan
kepada Provinsi, dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada
Kabupaten/Kota.
Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent secara
proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan
Kota maka disusunlah kriteria yang meliputi: eksternalitas, akuntabilitas,
dan efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan
urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan.
Urusan yang menjadi kewenangan daerah, meliputi urusan wajib dan
urusan
pilihan.
Urusan
pemerintahan
wajib
adalah
suatu
urusan
pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan
dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana
lingkungan dasar; sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan
terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah.
Berkaitan dengan perkoperasian dan UMKM, UU.No.12 Tahun 2008
Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 tahun 2004 ini telah
memasukkan urusan pengembangan koperasi sebagai bagian dari urusan
wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi maupun
pemerintahan daerah kabupaten/kota. Hal ini dalam di lihat dalam pasal
13 ayat (1) huruf i, yang menyebutkan bahwa urusan wajib yang menjadi
kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala
provinsi yang meliputi: i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan
menengah
termasuk
lintas
kabupaten/kota.
Ketentuan
serupa
juga
disebutkan dalam pasa 14 ayat (1) huruf I, dimana urusan wajib yang
menjadi
kewenangan
pemerintahan
63
daerah
untuk
kabupaten/kota
merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: i. fasilitasi
pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah.
UU No. 32 tahun 2004 dalam perjalanannya telah mengalami 2 (dua)
kali perubahan. Perubahan pertama dilakukan dengan dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 tahun 2005 tentang
Perubahan UU No. 32 tahun 2004, yang selanjutnya ditetapkan dalam UU
No. 8 tahun 2005. Kemudian pada perubahan kedua dilakukan dengan
menetapkan UU No. 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004.
4. UU No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
UU No. 20 tahun 2008 yang telah berlaku sejak 4 Juli 2008 ini
merupakan upaya bersama DPR dan Pemerintah dalam membangun
landasan hukum yang kuat untuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil,
dan,
Menengah.
Diharapkan
melalui
UU,
berbagai
upaya
dalam
meningkatkan kemampuan dan peran serta kelembagaan usaha mikro,
kecil, dan menengah dalam perekonomian nasional dapat terbangun secara
menyeluruh, sinergis dan berkesinambungan, dengan melibatkan seluruh
pemangku kepentingan, baik itu Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia
Usaha, maupun masyarakat.
Terdapat 3 (tiga) tujuan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
yang dituju dengan adanya UU ini. Tujuan pertama ialah mewujudkan
struktur
perekonomian
berkeadilan.
Pada
nasional
tujuan
yang
kedua
ialah
seimbang,
ingin
berkembang,
dan
menumbuhkan
dan
mengembangkan kemampuan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menjadi
64
usaha yang tangguh dan mandiri; dan tujuan ketiga ingin meningkatkan
peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam pembangunan daerah,
penciptaan
lapangan
kerja,
pemerataan
pendapatan,
pertumbuhan
ekonomi, dan pengentasan rakyat dari kemiskinan.
Atas tujuan yang ingin dicapai oleh UU tersebut, maka terdapat 3 (tiga)
entitas usaha yang menjadi subjek sekaligus fokus pengaturan, yaitu usaha
mikro, usaha kecil dan usaha menengah.
Usaha Mikro menurut UU ini
diartikan sebagai usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan
usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro.
Kriteria yang
dimaksud ini meliputi: (1) memiliki kekayaan bersih paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha; atau (2) memiliki hasil penjualan tahunan paling
banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Usaha Kecil yang dimaksud dalam UU ini diartikan sebagai usaha ekonomi
produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau
badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung
maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang
memenuhi kriteria Usaha Kecil. Kriteria dimaksud ini meliputi: a. memiliki
kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki hasil
penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus
juta rupiah).
65
Sedangkan pengertian dari Usaha Menengah menurut UU ini adalah
usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang
perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan
atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik
langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar
dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana
diatur dalam Undang- Undang ini. Kriteria Usaha Menengah adalah sebagai
berikut: (1) memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;
atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua
milyar
lima
ratus
juta
rupiah)
sampai
dengan
paling
banyak
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).
Di dalam UU ini terdapat 2 (dua) pasal yang menyebutkan kata Koperasi
sebagai bagian dari materi pengaturan. Pada pasal 1 butir 11, disebutkan
bahwa Koperasi merupakan salah satu institusi yang menyediakan
pembiayaan bagi upaya memperkuat permodalan Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah. Hal ini dapat
dilihat dalam rumusan pasal tersebut yang
menyebutkan bahwa Pembiayaan adalah penyediaan dana oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat melalui bank, koperasi,
dan
lembaga
keuangan
bukan
bank,
untuk
mengembangkan
dan
memperkuat permodalan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Di dalam konteks yang kedua, Koperasi dalam UU No, 20 tahun 2008
diletakkan sebagai subjek dari kebijakan yang dimanatkan oleh UU kepada
Pemerintah dalam lingkup upaya meningkatkan sumber pembiayaan Usaha
66
Mikro dan Usaha Kecil. Dimana disebutkan dalam pasal 22, bahwa dalam
rangka meningkatkan sumber pembiayaan Usaha Mikro dan Usaha Kecil,
Pemerintah melakukan upaya, salah satunya dalam huruf d disebutkan
melalui, peningkatan kerjasama antara Usaha Mikro dan Usaha Kecil melalui
koperasi simpan pinjam dan koperasi jasa keuangan konvensional dan
syariah.
5. UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
UU
No.
21
tahun
2008
sejatinya
merupakan
upaya
untuk
memperkuat landasan hukum sekaligus kepastian hukum serta keyakinan
bagi para pemangku kepentingan dan masyarakat dalam menggembangkan
dan menggunakan produk serta jasa Bank Syariah. Pengaturan mengenai
Perbankan Syariah sebenarnya telah diatur dalam UU No. 7 tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No, 10 tahun
1998. Namun pengaturan di dalam kedua UU tersebut dirasakah belum
spesifik dan kurang mengakomodasi karakteristik operasional Perbankan
Syariah serta kurang dapat merespon pertumbuhan dan volume usaha
Bank Syaraiah yang berkembang demikian cepat.
Di dalam UU Perbankan Syariah ini diatur mengenai jenis usaha,
ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, penyaluran dana, dan
larangan bagi Bank Syariah maupun UUS yang merupakan bagian dari
Bank Umum Konvensional. Sementara itu, untuk memberikan keyakinan
pada
masyarakat
yang
masih
meragukan
kesyariahan
operasional
Perbankan Syariah selama ini, diatur pula kegiatan usaha yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah meliputi kegiatan usaha yang tidak
67
mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim. Prinsip
syariah yang dimaksud dalam UU ini diartikan sebagai prinsip hukum
Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh
lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang
syariah.
Sebagai undang-undang yang khusus mengatur perbankan syariah,
dalam Undang-Undang ini diatur mengenai masalah kepatuhan syariah
(syariah compliance) yang kewenangannya berada pada Majelis Ulama
Indonesia (MUI) yang direpresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah
(DPS) yang harus dibentuk pada masing-masing Bank Syariah dan UUS.
Untuk menindaklanjuti implementasi fatwa yang dikeluarkan MUI ke dalam
Peraturan Bank Indonesia, di dalam internal Bank Indonesia dibentuk
komite perbankan syariah, yang keanggotaannya terdiri atas perwakilan
dari Bank Indonesia, Departemen Agama, dan unsur masyarakat yang
komposisinya berimbang.
Materi pengaturan UU ini tidak menyebutkan secara spesifik kaitan
atau hubungan yang terkait erat dengan Koperasi baik sebagai entitas
badan hukum maupun aktivitas/kegiatan usaha yang dilakukan. Namun
secara
umum
terdapat
sejumlah
materi
pengaturan
yang
memiliki
hubungan atau relasi yang berkaitan dengan aktivitas usaha dari Koperasi,
khususnya di dalam lingkup penyediaan pembiayaan/kredit. Hal ini dapat
dilihat dari definisi nasabah dan jenis-jenis nasabah dari perbankan
syariah yang menjelaskan ruang lingkup penggunaan istilah tersebut dalam
perbankan syariah. Nasabah diartikan sebagai pihak yang menggunakan
jasa Bank Syariah dan/atau UUS. Sedangkan Nasabah Penyimpan adalah
68
Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah dan/atau UUS
dalam bentuk Simpanan berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau UUS
dan Nasabah yang bersangkutan. Dan Nasabah Investor adalah Nasabah
yang menempatkan dananya di Bank Syariah dan/atau UUS dalam bentuk
Investasi berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau UUS dan Nasabah
yang
bersangkutan.
Sedangkan
Nasabah
Penerima
Fasilitas
adalah
Nasabah yang memperoleh fasilitas dana atau yang dipersamakan dengan
itu, berdasarkan Prinsip Syariah.
Hal lain yang terkait erat dengan aktivitas koperasi ialah mengenai
pembiayaan yang disediakan oleh perbankan syariah. Pembiayaan diartikan
sebagai penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu
berupa: transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk
ijarah muntahiya bittamlik; transaksi jual beli dalam bentuk piutang
murabahah, salam, dan istishna’; transaksi pinjam meminjam dalam
bentuk piutang qardh; dan transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk
ijarah
untuk
transaksi
multijasa
berdasarkan
persetujuan
atau
kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk
mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan
imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.
Koperasi sebagai salah satu entitas badan hukum Indonesia, disebutkan
pula termasuk dalam pihak-pihak yang dapat mendirikan Bank Umum
Syariah maupun Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Dimana disebutkan
dalam pasal 9 ayat (1) bahwa Bank Umum Syarah hanya dapat didirikan
69
dan/atau dimiliki oleh badan hukum Indonesia secara individu maupun
bermitra dengan warga Negara asing atau badan hukum asing secara
kemitraan. Sedangkan dalam pasal 9 ayat (2), Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki salah satunya oleh badan
hukum Indonesia yang seluruh pemilknya warga Negara Indonesia.
Koperasi selaku badan hukum Indonesia menurut ketentuan pasal 14 juga
dapat memiliki atau membeli saha Bank Umum Syariah secara langsung
atau melalui bursa efek.
Ketentuan lainnya
dalam UU Perbankan Syariah yang memiliki
hubungan langsung maupun tidak langsung dengan Koperasi ialah
mengenai kegiatan usaha dan kelayakan penyaluran dana. Kegiatan usaha
Bank Umum Syariah berdasarkan ketentuan pasal 19 ayat (1) meliputi:
a. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan,
atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad
wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan,
atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad
mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah;
c. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah,
Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah;
d. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam,
Akad istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah;
70
e. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
f. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak
bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli
dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
g. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau
Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah;
i. membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga
pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan
Prinsip
Syariah,
antara
lain,
seperti
Akad
ijarah,
musyarakah,
mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;
j. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan
oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
k. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan
perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan
Prinsip Syariah;
l. melakukan Penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu
Akad yang berdasarkan Prinsip Syariah;
m. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga
berdasarkan Prinsip Syariah;
n. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;
71
o. melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan Akad wakalah;
p. memberikanfasilitasletterofcreditataubankgaransi
berdasarkan
Prinsip
Syariah; dan
q. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan
di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah
dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kegiatan usaha UUS berdasarkan ketentuan pasal 19 ayat (2) meliputi:
a. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan,
atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad
wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah;
b. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan,
atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad
mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah;
c. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah,
Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah;
d. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam,
Akad istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah;
e. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
f.
menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak
bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli
72
dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
g. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau
Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah;
i.
membeli dan menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas
dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti
Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau
hawalah;
j.
membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan
oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
k. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan
perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan
Prinsip Syariah;
l.
menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga
berdasarkan Prinsip Syariah;
m. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;
n. memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan
Prinsip Syariah; dan
o. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan
di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah
dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
73
Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana tersebut di atas, Bank
Umum Syariah dapat pula:
a. melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah;
b. melakukan kegiatan penyertaan modal pada Bank Umum Syariah atau
lembaga keuangan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah;
c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi
akibat kegagalan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan
syarat harus menarik kembali penyertaannya;
d. bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun berdasarkan
Prinsip Syariah;
e. melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang pasar modal;
f. menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan Prinsip
Syariah dengan menggunakan sarana elektronik;
g. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga
jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui pasar uang;
h. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga
jangka panjang berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui pasar modal; dan
i. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum
Syariah lainnya yang berdasarkan Prinsip Syariah.
Selain melakukan kegiatan usaha, UUS dapat pula:
74
a. melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah;
b. melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang pasar modal;
c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi
akibat kegagalan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan
syarat harus menarik kembali penyertaannya;
d. menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan Prinsip
Syariah dengan menggunakan sarana elektronik;
e. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga
jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui pasar uang; dan
f. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum
Syariah lainnya yang berdasarkan Prinsip Syariah.
Sedangkan terkait dengan kegiatan usaha Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah meliputi:
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk:
1. Simpanan berupa Tabungan atau yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah; dan
2. Investasi berupa Deposito atau Tabungan atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad
lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk:
75
1 Pembiayaan
bagi
hasil
berdasarkan
Akad
mudharabah
atau
musyarakah;
2 Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, salam, atau istishna’;
3 Pembiayaan berdasarkan Akad qardh;
4 Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada
Nasabah berdasarkan Akad ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah
muntahiya bittamlik; dan
5 pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah;
c. menempatkan dana pada Bank Syariah lain dalam bentuk titipan
berdasarkan
Akad
wadi’ah
atau
Investasi
berdasarkan
Akad
mudharabah dan/atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah;
d. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan Nasabah melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah yang ada di Bank Umum Syariah, Bank Umum Konvensional,
dan UUS; dan
e. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Syariah
lainnya yang sesuai dengan Prinsip Syariah berdasarkan persetujuan
Bank Indonesia.
Di dalam mengakses fasilitas pembiayaan/pendanaan dari Bank
Syariah dan/atau UUS, Koperasi selaku nasabah juga harus memahami
ketentuan atau batasan yang diberikan UU kepada Bank Syariah/UUS
dalam menyalurkan dana yang dikelolanya kepada nasabah. Ketentuan
pasal 23 menyebutkan bahwa Bank Syariah dan/atau UUS harus
76
mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon Nasabah
Penerima Fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya,
sebelum Bank Syariah dan/atau UUS menyalurkan dana kepada Nasabah
Penerima Fasilitas. Untuk memperoleh keyakinan dimaksud, Bank Syariah
dan/atau UUS wajib melakukan penilaian yang saksama terhadap watak,
kemampuan, modal, Agunan, dan prospek usaha dari calon Nasabah
Penerima Fasilitas.
Dengan ditetapkan kebijakan Moratorium pendirian Bank Perkreditan
rakyat, maka untuk
usaha/penyelenggaraan kegiatan
berdasarkan prinsip Syariah
terbuka
peluang untuk
Simpan Pinjam
diakomodasikan
pengaturannya dalam Badan Hukum Koperasi yang berdasarkan prinsip
Syariah.
6. UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang
UU No. 8 tahun 2010 disahkan pada 22 Oktober 2010 merupakan
instrument hukum yang dibuat untuk mencegah dan pemberantas tindak
pidana pencucian uang. Seperti diketahui bahwa pelaku tindak pidana
berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan
yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar Harta
Kekayaan hasil tindak pidananya susah ditelusuri oleh aparat penegak
hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta Kekayaan tersebut
baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah.
Dalam konsep antipencucian uang, pelaku dan hasil tindak pidana dapat
diketahui melalui penelusuran untuk selanjutnya hasil tindak pidana
77
tersebut dirampas untuk negara atau dikembalikan kepada yang berhak.
Apabila Harta Kekayaan hasil tindak pidana yang dikuasai oleh pelaku atau
organisasi kejahatan dapat disita atau dirampas, dengan sendirinya dapat
menurunkan tingkat kriminalitas. Penelusuran Harta Kekayaan hasil
tindak pidana pada umumnya dilakukan oleh lembaga keuangan melalui
mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Lembaga
keuangan memiliki peranan penting khususnya dalam menerapkan prinsip
mengenali Pengguna Jasa dan melaporkan Transaksi tertentu kepada
otoritas (financial intelligence unit) sebagai bahan analisis dan untuk
selanjutnya disampaikan kepada penyidik.
Lembaga
keuangan
tidak
hanya
berperan
dalam
membantu
penegakan hukum, tetapi juga menjaga dirinya dari berbagai risiko, yaitu
risiko operasional, hukum, terkonsentrasinya Transaksi, dan reputasi
karena tidak lagi digunakan sebagai sarana dan sasaran oleh pelaku tindak
pidana untuk mencuci uang hasil tindak pidana. Dengan pengelolaan risiko
yang baik, lembaga keuangan akan mampu melaksanakan fungsinya secara
optimal sehingga pada gilirannya sistem keuangan menjadi lebih stabil dan
terpercaya.
Oleh karena itu, di dalam materi pengaturan UU ini terdapat
sejumlah materi yang memiliki kaitan secara langsung maupun tidak
langsung terhadap aktivitas koperasi dan UMKM, khususnya koperasi yang
melakukan kegiatan simpan pinjam. Jenis koperasi simpan pinjam ini
dalam ketentuan pasal 17 ayat (1) UU No. 8 tahun 2010 dimasukkan
sebagai pihak pelapor yaitu intitusi yang merupakan penyedia jasa
keuangan.
78
Pihak
pelapor
sebagaimana
menerapkan
prinsip
mengenali
dimaksud
pengguna
pada
jasa
pasal
18
wajib
sebagaimana
yang
ditetapkan oleh setiap Lembaga Pengawas dan pengatur. Kewajiban
menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa dilakukan pada saat
melakukan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa terdapat Transaksi
Keuangan dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang
nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah), terdapat Transaksi Keuangan Mencurigakan yang terkait tindak
pidana Pencucian Uang dan tindak pidana pendanaan terorisme; atau
Pihak Pelapor meragukan kebenaran informasi yang dilaporkan Pengguna
Jasa.
UU juga mewajibkan pihak pelapor wajib mengetahui bahwa
Pengguna Jasa yang melakukan Transaksi dengan Pihak Pelapor bertindak
untuk diri sendiri atau untuk dan atas nama orang lain. Dalam hal
Transaksi dengan Pihak Pelapor dilakukan untuk diri sendiri atau untuk
dan atas nama orang lain, Pihak Pelapor wajib meminta informasi mengenai
identitas dan Dokumen pendukung dari Pengguna Jasa dan orang lain
tersebut. Dalam hal identitas dan/atau Dokumen pendukung yang
diberikan tidak lengkap, Pihak Pelapor wajib menolak Transaksi dengan
orang tersebut. Identitas dan Dokumen pendukung yang diminta oleh Pihak
Pelapor harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang ditetapkan oleh setiap Lembaga Pengawas dan Pengatur.
UU juga mewajibkan Pihak Pelapor wajib menyimpan catatan dan
Dokumen mengenai identitas pelaku Transaksi paling singkat 5 (lima)
tahun sejak berakhirnya hubungan usaha dengan Pengguna Jasa tersebut.
79
Pihak Pelapor yang tidak melakukan kewajiban ini dikenai sanksi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Penyedia jasa keuangan wajib memutuskan hubungan usaha dengan
Pengguna Jasa jika: 1. Pengguna Jasa menolak untuk mematuhi prinsip mengenali
Pengguna Jasa; atau
2. Penyedia jasa keuangan meragukan kebenaran informasi yang
disampaikan oleh Pengguna Jasa. Penyedia jasa keuangan wajib
melaporkannya kepada PPATK mengenai tindakan pemutusan
hubungan
usaha
tersebut
sebagai
Transaksi
Keuangan
Mencurigakan.
Penyedia
jasa
keuangan
juga
diwajibkan
oleh
UU
untuk
menyampaikan laporan kepada PPATK yang meliputi: Transaksi Keuangan
Mencurigakan; Transaksi Keuangan Tunai dalam jumlah paling sedikit
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau dengan mata uang asing
yang nilainya setara, yang dilakukan baik dalam satu kali Transaksi
maupun beberapa kali Transaksi dalam 1 (satu) hari kerja; dan/atau
Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri. Perubahan
besarnya
jumlah
Transaksi
Keuangan
Tunai
dan
Besarnya
jumlah
Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri yang wajib
dilaporkan diatur dengan Peraturan Kepala PPATK. Kewajiban pelaporan
atas Transaksi Keuangan Tunai dikecualikan terhadap: Transaksi yang
dilakukan oleh penyedia jasa keuangan dengan pemerintah dan bank
sentral; Transaksi untuk pembayaran gaji atau pensiun; dan Transaksi lain
yang ditetapkan oleh Kepala PPATK atau atas permintaan penyedia jasa
80
keuangan yang disetujui oleh PPATK. Kewajiban pelaporan tidak berlaku
untuk Transaksi yang dikecualikan.
UU juga mewajibkan Penyedia jasa keuangan untuk membuat dan
menyimpan daftar Transaksi yang dikecualikan. Penyedia jasa keuangan
yang tidak membuat dan menyimpan daftar Transaksi yang dikecualikan
dikenai sanksi administratif. Penyampaian laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan dilakukan sesegera mungkin paling lama 3 (tiga) hari kerja
setelah penyedia jasa keuangan mengetahui adanya unsur Transaksi
Keuangan Mencurigakan. Penyampaian laporan Transaksi Keuangan Tunai
dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal
Transaksi dilakukan. Penyampaian laporan Transaksi Keuangan transfer
dana dari dan ke luar negeri dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari
kerja terhitung sejak tanggal Transaksi dilakukan. Penyedia jasa keuangan
yang
tidak
menyampaikan
laporan
kepada
PPATK
dikenai
sanksi
administratif.
UU juga mengatur bahwa Penyedia jasa keuangan dapat melakukan
penundaan Transaksi paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak
penundaan Transaksi dilakukan.Penundaan Transaksi ini dilakukan dalam
hal Pengguna Jasa: melakukan Transaksi yang patut diduga menggunakan
Harta Kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana; memiliki rekening
untuk menampung Harta Kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana
atau diketahui dan/atau patut diduga menggunakan Dokumen palsu.
Pelaksanaan penundaan Transaksi dicatat dalam berita acara penundaan
Transaksi. Penyedia jasa keuangan memberikan salinan berita acara
penundaan Transaksi kepada Pengguna Jasa. Penyedia jasa keuangan
81
wajib
melaporkan
penundaan
Transaksi
kepada
PPATK
dengan
melampirkan berita acara penundaan Transaksi dalam waktu paling lama
24 (dua puluh empat) jam terhitung sejak waktu penundaan Transaksi
dilakukan. Setelah menerima laporan penundaan Transaksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) PPATK wajib memastikan pelaksanaan penundaan
Transaksi dilakukan sesuai dengan Undang-Undang ini. Dalam hal
penundaan Transaksi telah dilakukan sampai dengan hari kerja kelima,
penyedia jasa keuangan harus memutuskan akan melaksanakan Transaksi
atau menolak Transaksi tersebut.
Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh Pihak Pelapor dikecualikan
dari ketentuan kerahasiaan yang berlaku bagi Pihak Pelapor yang
bersangkutan.Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, Pihak
Pelapor, pejabat, dan pegawainya tidak dapat dituntut, baik secara perdata
maupun pidana, atas pelaksanaan kewajiban pelaporan menurut UndangUndang ini.
Mengakomodasikan ketentuan tersebut dalam UU Koperasi yang
baru akan ditetapkan mekanisme
prinsip mengenal nasabah
pelaksanaan kewajiban menerapkan
dan melaporkan transaksi mencurigakan
kepada PPATK secara periodik oleh Koperasi penyelenggara kegiatan
Simpan Pinjam sesuai mekanisme yang ditetapkan oleh Undang-Undang
terkait.
7. UU No. 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
Undang-undang
tentang
Otoritas
Jasa
Keuangan
(OJK)
ini
merupakan landasan hukum dalam melakukan penataan kembali struktur
82
pengorganisasian
dari
lembaga-lembaga
yang
melaksanakan
tugas
pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan yang mencakup
sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga
pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Penataan dimaksud
dilakukan agar dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di
dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan
sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan.
Lembaga pengawasan sektor jasa keuangan dalam Undang-Undang
ini disebut Otoritas Jasa Keuangan. Undang-Undang tentang Otoritas Jasa
Keuangan pada dasarnya memuat ketentuan tentang organisasi dan tata
kelola (governance) dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan
pengawasan
terhadap
sektor
jasa
keuangan.
Sedangkan
ketentuan
mengenai jenis-jenis produk jasa keuangan, cakupan dan batas-batas
kegiatan lembaga jasa keuangan, kualifikasi dan kriteria lembaga jasa
keuangan, tingkat kesehatan dan pengaturan prudensial serta ketentuan
tentang jasa penunjang sektor jasa keuangan dan lain sebagainya yang
menyangkut transaksi jasa keuangan diatur dalam undang-undang sektoral
tersendiri, yaitu Undang-Undang tentang Perbankan, Pasar Modal, Usaha
Perasuransian, UMKM, Dana Pensiun, dan peraturan perundang-undangan
lain yang terkait dengan sektor jasa keuangan lainnya.
Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan
kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara
teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem
keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu
melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan tujuan ini,
83
OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan
nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain itu,
OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain, meliputi
sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di
sektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan aspek positif
globalisasi.
Secara kelembagaan, Otoritas Jasa Keuangan berada di luar
Pemerintah, yang dimaknai bahwa Otoritas Jasa Keuangan tidak menjadi
bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun, tidak menutup kemungkinan
adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya
Otoritas Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang
memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal
ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, lembaga ini melibatkan
keterwakilan unsur- unsur dari kedua otoritas tersebut secara Ex-officio.
Keberadaan Ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja
sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa
keuangan.
Keberadaan Ex-officio juga diperlukan guna memastikan
terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global dan
kesepakatan
informasi
internasional,
dalam
rangka
kebutuhan
menjaga
dan
koordinasi,
dan
pertukaran
memelihara
stabilitas
sistem
keuangan.
Terkait dengan aktivitas Koperasi, khususnya yang bergerak di dalam
jasa keuangan, terdapat sejumlah materi pengaturan terkait yang perlu
diketahui dari UU ini. Ketentuan pasal 1 butir 4 menjabarkan secara jelas
mengenai apa itu Lembaga Jasa Keuangan. Dimana di jelaskan bahwa
84
Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di
sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Yang dimaksud
Perbankan disini adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan
kegiatan
usahanya
secara
konvensional
dan
syariah
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan dan
undang-undang mengenai perbankan syariah.
Sedangkan Pasar Modal
adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan
perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang
diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai pasar modal.
Sedangkan yang dimaksud dengan Perasuransian adalah usaha
perasuransian yang bergerak di sektor usaha asuransi, yaitu usaha jasa
keuangan
yang
dengan
menghimpun
dana
masyarakat
melalui
pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota
masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap timbulnya kerugian karena
suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya
seseorang, usaha reasuransi, dan usaha penunjang usaha asuransi yang
menyelenggarakan jasa keperantaraan, penilaian kerugian asuransi dan
jasa aktuaria, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai
usaha perasuransian. Dan yang dimaksud dengan Dana Pensiun adalah
badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan
manfaat pensiun sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai
dana pensiun.
85
Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan
pembiayaan
dalam
bentuk
penyediaan
dana
atau
barang
modal
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai
lembaga pembiayaan. Sedangkan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya adalah
pergadaian, lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia,
perusahaan
pembiayaan
sekunder
perumahan,
dan
lembaga
yang
menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib,
meliputi
penyelenggara
kesejahteraan,
program
sebagaimana
jaminan
dimaksud
sosial,
dalam
pensiun,
peraturan
dan
perundang-
undangan mengenai pergadaian, penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor
Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan pengelolaan
dana masyarakat yang bersifat wajib, serta lembaga jasa keuangan lain
yang dinyatakan diawasi oleh OJK berdasarkan peraturan perundangundangan.
OJK berdasarkan pasal 6 UU ini melaksanakan tugas pengaturan dan
pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan kegiatan jasa keuangan
di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Dalam melaksanakan tugas pengaturan
dan pengawasan di sector perbankan, OJK mempunyai wewenang meliputi:
a. pengaturan
dan
pengawasan
mengenai
kelembagaan
bank
yang
meliputi:
1. perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran
dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya
86
manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan
izin usaha bank
2. kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana,
produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa
b. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:
1. likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan
modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman
terhadap simpanan, dan pencadangan bank
2. laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;
3. sistem informasi debitur
4. pengujian kredit (credit testing)
5. standar akuntansi bank
c. pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati- hatian bank,
meliputi:
1. manajemen risiko
2. tata kelola bank
3. prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang
4. pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan
d. pemeriksaan bank.
Untuk melaksanakan tugas pengaturan, OJK mempunyai wewenang:
a. menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini
b. menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan
c. menetapkan peraturan dan keputusan OJK
d. menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan
e. menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK
87
f. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis
terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu
g. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter
pada Lembaga Jasa Keuangan
h. menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola,
memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban
i. menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di sektor jasa
keuangan.
Untuk melaksanakan tugas pengawasan, OJK mempunyai wewenang:
a. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa
keuangan
b. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh
Kepala Eksekutif
c. melakukan
pengawasan,
pemeriksaan,
penyidikan,
perlindungan
Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan,
pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana
dimaksud
dalam
peraturan
perundang-undangan
di
sektor
jasa
keuangan
d. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau
pihak tertentu
e. melakukan penunjukan pengelola statuter
f. menetapkan penggunaan pengelola statuter
88
g. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan
pelanggaran terhadap peraturan perundang- undangan di sektor jasa
keuangan
h. memberikan dan/atau mencabut:
1. izin usaha
2. izin orang perseorangan
3. efektifnya pernyataan pendaftaran
4. surat tanda terdaftar
5. persetujuan melakukan kegiatan usaha
6. pengesahan
7. persetujuan atau penetapan pembubaran
8. penetapan lain
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- undangan di
sektor jasa keuangan.
Dengan berlakunya UU No. 21 tahun 2011 ini, maka berdasarkan
ketentuan pasal 70, UU lain yang berkaitan dengan jasa keuangan
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti
berdasarkan Undang-Undang ini. UU yang terkait dengan jasa keuangan ini
meliputi:
1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
1992
Nomor
13,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467) dan
peraturan pelaksanaannya
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran
89
Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
1998
Nomor
182,
Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790) dan peraturan
pelaksanaannya
3. Undang-Undang
(Lembaran
Nomor
Negara
11
Republik
Tahun
1992
Indonesia
tentang
Tahun
Dana
1992
Pensiun
Nomor
37,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477) dan
peraturan pelaksanaannya
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3608) dan peraturan pelaksanaannya
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia
menjadi
Undang-Undang
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962) dan peraturan pelaksanaannya.
6. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
(Lembaran
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
2008
Nomor
94,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) dan
peraturan pelaksanaannya.
90
7. peraturan perundang-undangan lainnya di sektor jasa keuangan,
Menyelaraskan dengan ketentuan tersebut terkait kewenangan OJK
dalam pengawasan kegiatan penyelenggaraan Jasa Keuangan maka dalam
Undang-Undang Perkoperasian yang baru akan diatur bahwa sepanjang
cakupan pelayanan jasa simpan pinjam
untuk anggota Koperasi maka
oleh Koperasi hanya dilakukan
Koperasi penyelenggara
jasa layanan
Simpan Pinjam dikecualikan dari pengawasan dan pemeriksaan yang
dilaksanakan
oleh OJK, dan sebagai alternatif akan diatur
bahwa
pengawasan dan pemeriksaan dilaksanakan oleh pembina Koperasi dan
Akuntan Publik yang independen untuk menjamin kesahihan dan akurasi
penyajian informasi keuangannya kepada publik.
8. UU No. 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro
UU No. 1 tahun 2013 yang disahkan pada 8 Januari 2013 in
merupakan upaya yang dilakukan DPR bersama Pemerintah dalam
memberikan landasan hukum dan kepastian hukum dalam memperkuat
dan mengembangkan lembaga keuangan mikro yang menyediakan dana
atau modal bagi usaha skala mikro dan usaha skala kecil. Lembaga
Keuangan Mikro pada dasarnya dibentuk berdasarkan semangat yang
terdapat dalam Pasal 27 ayat (2) serta Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4) UUD
1945. Keberadaan LKM pada prinsipnya sebagai lembaga keuangan yang
menyediakan jasa Simpanan dan Pembiayaan skala mikro, kepada
masyarakat, memperluas lapangan kerja, dan dapat berperan sebagai
instrumen pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, serta
91
meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan
rendah.
Melalui penyusunan UU ini diharapkan dapat mempermudah akses
masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah untuk memperoleh
Pinjaman/Pembiayaan mikro; memberdayakan ekonomi dan produktivitas
masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah; dan meningkatkan
pendapatan
dan
kesejahteraan
masyarakat
miskin
dan/atau
berpenghasilan rendah. Di dalam Undang-Undang ini memuat substansi
pokok
mengenai
ketentuan
lingkup
LKM,
konsep
Simpanan
dan
Pinjaman/Pembiayaan dalam definisi LKM, asas dan tujuan. UndangUndang ini juga mengatur kelembagaan, baik yang mengenai pendirian,
bentuk badan hukum, permodalan, maupun kepemilikan. Bentuk badan
hukum LKM menurut Undang-Undang ini adalah Koperasi dan Perseroan
Terbatas.
LKM
kepemilikan
yang
sahamnya
berbentuk
badan
mayoritas
hukum
dimiliki
oleh
Perseroan
Pemerintah
Terbatas,
Daerah
Kabupaten/Kota atau badan usaha milik desa/kelurahan.
Selain itu, Undang-Undang ini mengatur juga mengenai kegiatan
usaha LKM meliputi jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan
masyarakat, baik melalui Pinjaman atau Pembiayaan dalam skala mikro
kepada
anggota
dan
masyarakat,
pengelolaan
Simpanan,
maupun
pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha, serta cakupan wilayah
usaha suatu LKM yang berada dalam satu wilayah desa/kelurahan,
kecamatan, atau kabupaten/kota sesuai dengan perizinannya (multiticensing). Untuk memberikan kepercayaan kepada para penyimpan, dapat
dibentuk lembaga penjamin simpanan LKM yang didirikan oleh Pemerintah
92
Daerah Kabupaten/Kota dan/atau LKM. Dalam hal diperlukan, Pemerintah
dapat Pula ikut mendirikan lembaga penjamin simpanan LKM bersama
Pemerintah Daerah dan LKM.
Undang-Undang ini mengatur pula ketentuan mengenai tukarmenukar informasi antar-LKM. Undang- Undang ini juga mengatur
mengenai penggabungan, peleburan, dan pembubaran. Di dalam UndangUndang ini, perlindungan kepada pengguna jasa LKM, pembinaan dan
pengawasan LKM, diserahkan kepada Otoritas Jasa Keuangan, dengan
didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau pihak lain
yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan. Agar implementasi UndangUndang ini dapat terlaksana dengan baik, Otoritas Jasa Keuangan,
Kementerian Dalam Negeri, termasuk Pemerintah Daerah, kementerian
yang
membidangi
urusan
perkoperasian,
dan
kementerian
yang
membidangi fiskal, perlu bekerja sama untuk melakukan sosialisasi
Undang-Undang ini.
Terkait dengan koperasi, terdapat sejumlah materi pengaturan yang
secara spesifik berhubungan dengan Koperasi selaku entitas badan hukum
maupun
dengan
kegiatan
usaha
yang
dilakukan.
Sejumlah
materi
pengaturan tersebut meliputi:
1. Bentuk Badan hukum LKM
Di mana disebutkan bahwa salah satu bentuk badan hukum dari LKM
ialah Koperasi, khususnya koperasi jasa.
2. Kepemilikan
Koperasi dapat memiliki sisa kepemilikan saham LKM berbentuk badan
hukum Perseroan Terbatas. Dimana kepemilikan saham lainnya ialah
93
Pemerintah
Daerah
Kabupaten/Kota
atau
badan
usaha
milik
desa/kelurahan. Selain saham, ketentuan pasal 8 juga menyatakan
secara jelas bahwa LKM hanya dapat dimiliki salah satunya oleh
Koperasi.
3. Kesulitan Likuiditas dan Solvabilitas
Dalam upaya menangani LKM yang mengalami kesulitan likuiditas dan
solvabilitas yang membahayakan keberlangsungan usaha LKM, OJK
dapat melakukan tindakan salah satunya menurut pasal 23 ayat (1)
butir a, berupa pemegang saham atau anggota koperasi menambah
modal.
4. Pembinaan, Pengaturan dan Pengawasan LKM
Kewenangan
untuk
melakukan
pembinaan,
pengaturan,
dan
pengawasan LKM dimiliki oleh OJK. Dalam melaksanakan pembinaan,
OJK melakukan koordinasi salah satunya dengan Kementerian Koperasi
dan UKM.
Dalam melakukan inventarisasi LKM yang belum berbadan hukum,
pasal 40 UU No. 1 tahun 2013 mengatur bahwa OJK bersama dengan
Kementerian Koperasi dan UKM dan Kementerian Dalam Negeri untuk
melakukan inventarisasi tersebut.
5. Sanksi Administratrif
Bagi LKM yang melanggar ketentuan dalam UU, berdasarkan pasal 33
ayat (1), dapat dikenai sanksi administrative berupa, salah satunya di
butir
d,
yaitu
pemberhentian
direksi
atau
pengurus
LKM
dan
selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai
Rapat
Umum
Pemegang
Saham
94
atau
Rapat
Anggota
Koperasi
mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan.
6. Ketentuan Pidana
Berdasarkan ketentuan pasal 34, setiap orang yang menjalankan LKM
tanpa izin dapat dipidana dengan pidana penjara. Dalam hal kegiatan
yang dimaksud ini dilakukan oleh badan hukum yang salah satunya
berbentuk koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud
dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan
perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan
itu atau terhadap kedua-duanya.
Selain ketentuan pasal di atas, pada pasal 38 juga diatur mengenai
tindak pidana yang dikenakan bagi Pemegang saham atau pemilik LKM
yang dengan sengaja menyuruh dewan komisaris atau pengawas, direksi
atau pengurus, anggota koperasi, atau pegawai LKM untuk melakukan
atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan LKM tidak
melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan
ketaatan LKM terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi
LKM.
Dalam kondisi tertentu bila Pemerintah Daerah atau masyarakat
menyelenggarakan jasa pembiayaan untuk kepentingan masyarakat
miskin dengan bentuk kelembagaan koperasi maka
akan diatur dan dikelompokkan sebagai koperasi jasa.
95
Koperasi tersebut
9. UU No. 3 tahun 2014 tentang Perindustrian
UU ini merupakan penyempurnaan dari UU No. 5 tahun 1984
tentang Perindustrian yang dinilai sudah tidak memadai lagi sehingga perlu
untuk diganti dengan UU yang baru. Dalam upaya menciptakan struktur
ekonomi yang mandiri, sehat dan kukuh dalam menopang Pembangunan
nasional diperlukan pembangunan industry yang kuat sebagai penggerak
utamanya. Globalisasi dan liberalisasi telah membawa dinamika perubahan
yang sangat cepat dan berdampak luas bagi perekonomian nasional. Di
satu sisi pengaruh yang paling dirasakan adalah terjadi persaingan yang
semakin ketat dan di sisi lain membuka peluang kolaborasi sehingga
pembangunan Industri memerlukan berbagai dukungan dalam bentuk
perangkat
kebijakan
yang
tepat,
perencanaan
yang
terpadu,
dan
pengelolaan yang efisien dengan memperhatikan prinsip-prinsip tata kelola
yang baik.
Otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, telah membawa konsekuensi pergeseran
peran dan misi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan
nasional di bidang pembangunan Industri. Perubahan eksternal yang
berpengaruh terhadap pembangunan Industri ditandai dengan telah
diratifikasi perjanjian internasional yang bersifat bilateral, regional, dan
multilateral yang mempengaruhi kebijakan nasional di bidang Industri,
investasi, dan perdagangan. Penyempurnaan Undang-Undang tentang
Perindustrian bertujuan untuk menjawab kebutuhan dan perkembangan
akibat perubahan lingkungan strategis dan sekaligus mampu menjadi
96
landasan hukum bagi tumbuh, berkembang, dan kemajuan Industri
nasional.
Undang-Undang tentang Perindustrian yang baru diharapkan dapat
menjadi instrumen pengaturan yang efektif dalam pembangunan Industri
dengan tetap menjamin aspek keamanan, keselamatan, dan kesehatan
manusia
serta
kelestarian
fungsi
lingkungan
hidup.
Pokok-
pokok
pengaturan dalam undang-undang yang baru meliputi penyelenggaraan
urusan
pemerintahan
di
bidang
Perindustrian,
Rencana
Induk
Pembangunan Industri Nasional, Kebijakan Industri Nasional, perwilayahan
Industri, pembangunan sumber daya Industri, pembangunan sarana dan
prasarana Industri, pemberdayaan Industri, tindakan pengamanan dan
penyelamatan Industri, perizinan, penanaman modal bidang Industri dan
fasilitas,
Komite
Industri
Nasional,
peran
serta
masyarakat,
serta
pengawasan dan pengendalian.
Terkait dengan koperasi, secara khusus UU No. 3 tahun 2014 ini
menyebutkan Koperasi sebagai salah satu entitas yang dapat membangun
kawasan industry yang ada di suatu wilayah. Berdasarkan ketentuan pasal
63 disebutlkan bahwa untuk mendukung kegiatan Industri yang efisien dan
efektif di wilayah pusat pertumbuhan Industri dibangun Kawasan Industri
sebagai infrastruktur Industri. Kawasan Industri ini harus berada pada
kawasan peruntukan Industri sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.
Pembangunan kawasan Industri dilakukan oleh badan usaha swasta,
badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau koperasi. Dan
bila koperasi dibentuk untuk meningkatkan efisiensi kegiatan produksi
97
masyarakat berpenghasilan rendah akan diatur dan dikelompokkan sebagai
koperasi produksi.
10. UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa
UU No. 6 tahun 2014 ini merupakan upaya bersama DPR dan
Pemerintah untuk melindungi dan memberdayakan desa agar dapat
menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis. UU yang mengatur desa
sebelumnya yaitu UU No. 32 tahun 2004, khususnya pada pasal 200
sampai dengan pasal 216, dianggap belum dapat mewadahi segala
kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa yang ada saat ini. Selain itu,
pelaksanaan pengaturan Desa yang selama ini berlaku sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan zaman, terutama antara lain menyangkut
kedudukan
masyarakat
hukum
adat,
demokratisasi,
keberagaman,
partisipasi masyarakat, serta kemajuan dan pemerataan pembangunan
sehingga
menimbulkan
kesenjangan
antarwilayah,
kemiskinan,
dan
masalah sosial budaya yang dapat mengganggu keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Karena itu tujuan ditetapkannya pengaturan Desa dalam Undang-Undang
ini, sebagai penjabaran lebih lanjut dari ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adalah:
1) memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada
dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia
98
2) memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam
sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan
bagi seluruh rakyat Indonesia
3) melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat
Desa
4) mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk
pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama
5) membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif,
terbuka, serta bertanggung jawab
6) meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna
mempercepat perwujudan kesejahteraan umum
7) meningkatkan
ketahanan
sosial
budaya
masyarakat
Desa
guna
mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan
sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional
8) memajukan
perekonomian
masyarakat
Desa
serta
mengatasi
kesenjangan pembangunan nasional
9) memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.
Undang-Undang ini secara umum mengatur materi mengenai Asas
Pengaturan, Kedudukan dan Jenis Desa, Penataan Desa, Kewenangan
Desa, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Hak dan Kewajiban Desa dan
Masyarakat Desa, Peraturan Desa, Keuangan Desa dan Aset Desa,
Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan, Badan Usaha
Milik Desa, Kerja Sama Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga
Adat Desa, serta Pembinaan dan Pengawasan. Selain itu, Undang-Undang
99
ini juga mengatur dengan ketentuan khusus yang hanya berlaku untuk
Desa Adat.
Terkait dengan Koperasi, UU Desa hanya menyebutkan kata koperasi
di dalam satu pasal. Dimana pada penjelasan pasal 87 ayat (1)
menyebutkan bahwa koperasi sebagai salah satu bentuk badan hukum
yang tidak dapat disamakan dengan badan usaha milik desa. Di mana
dalam penjelasan tersebut diuraikan bahwa BUM Desa dibentuk oleh
Pemerintah
Desa
untuk
mendayagunakan
segala
potensi
ekonomi,
kelembagaan perekonomian, serta potensi sumber daya alam dan sumber
daya manusia dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Desa.
BUM Desa secara spesifik tidak dapat disamakan dengan badan
hukum seperti perseroan terbatas, CV, atau koperasi. Oleh karena itu, BUM
Desa merupakan suatu badan usaha bercirikan Desa yang dalam
pelaksanaan kegiatannya di samping untuk membantu penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, juga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Desa.
BUM Desa juga dapat melaksanakan fungsi pelayanan jasa, perdagangan,
dan pengembangan ekonomi lainnya.
Dalam meningkatkan sumber pendapatan Desa, BUM Desa dapat
menghimpun tabungan dalam skala lokal masyarakat Desa, antara lain
melalui pengelolaan dana bergulir dan simpan pinjam.BUM Desa dalam
kegiatannya tidak hanya berorientasi pada keuntungan keuangan, tetapi
juga berorientasi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat
Desa. BUM Desa diharapkan dapat mengembangkan unit usaha dalam
mendayagunakan potensi ekonomi. Dalam hal kegiatan usaha dapat
100
berjalan dan berkembang dengan baik, sangat dimungkinkan pada saatnya
BUM Desa mengikuti badan hukum yang telah ditetapkan dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan.
11. UU No. 7 tahun 2014 tentang Perdagangan
UU No. 7 tahun 2014 merupakan salah satu langkah terobosan yang
dilakukan DPR dan pemerintah dalam menyediakan landasan hukum yang
jelas dan terintegrasi dalam bentuk UU mengenai segala aktivitas yang
berkaitan dengan perdagangan. Sejak kemerdekaan Indonesia pada tanggal
17 Agustus 1945, belum ada undang-undang yang mengatur tentang
Perdagangan secara menyeluruh. Produk hukum yang setara undangundang
di
bidang
Perdagangan
adalah
hukum
kolonial
Belanda
Bedrijfsreglementerings Ordonnantie 1934 yang lebih banyak mengatur
perizinan usaha. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyusun dan
mengganti Bedrijfsreglementerings Ordonnantie 1934 berupa peraturan
perundang-undangan di bidang Perdagangan yang bersifat parsial, seperti
Undang-Undang tentang Barang, Undang-Undang tentang Pergudangan,
Undang-Undang tentang Perdagangan Barang-Barang Dalam Pengawasan,
Undang-Undang tentang Sistem Resi Gudang, dan Undang-Undang tentang
Perdagangan Berjangka Komoditi. Oleh karena itu, keberadaan UU ini
begitu diperlukan untuk menyinkronkan seluruh peraturan perundangundangan
di
bidang
Perdagangan
dalam
upaya
mencapai
tujuan
masyarakat adil dan makmur serta dalam menyikapi perkembangan situasi
Perdagangan era globalisasi pada masa kini dan masa depan.
101
Pengaturan dalam Undang-Undang ini secara khusus ditujuan untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional serta berdasarkan asas
kepentingan nasional, kepastian hukum, adil dan sehat, keamanan
berusaha,
akuntabel
dan
transparan,
kemandirian,
kemitraan,
kemanfaatan, kesederhanaan, kebersamaan, dan berwawasan lingkungan.
Berdasarkan tujuan dan asas tersebut, Undang-Undang ini memuat materi
pokok sesuai dengan lingkup pengaturan yang meliputi Perdagangan Dalam
Negeri, Perdagangan Luar Negeri, Perdagangan Perbatasan, Standardisasi,
Perdagangan melalui Sistem Elektronik, pelindungan dan pengamanan
Perdagangan, pemberdayaan koperasi serta usaha mikro, kecil, dan
menengah, pengembangan Ekspor, Kerja Sama Perdagangan Internasional,
Sistem Informasi Perdagangan, tugas dan wewenang pemerintah di bidang
Perdagangan, Komite Perdagangan Nasional, pengawasan, serta penyidikan.
Pengaturan dalam UU ini yang terkait dengan Koperasi dan UMKM dapat
ditemukan dalam beberapa bagian, meliputi:
1. Asas dalam Penyusunan Kebijakan Perdagangan
Disebutkan pada penjelasan pasal 2 butir g mengenai kemitraan, bahwa
“asas kemitraan” adalah adanya kerja sama dalam keterkaitan usaha di
bidang Perdagangan, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar
prinsip
saling
memerlukan,
memercayai,
memperkuat,
dan
menguntungkan yang melibatkan koperasi serta usaha mikro, kecil, dan
menengah dengan usaha besar dan antara Pemerintah dan swasta.
2. Tujuan Pengaturan
102
Disebutkan dalam pasal 3 UU No. 7 tahun 2014 bahwa pengaturan
kegiatan perdagangan bertujuan salah satunya pada butir f yaitu
meningkatkan kemitraan antara usaha besar dan koperasi, usaha mikro,
kecil, dan menengah, serta Pemerintah dan swasta.
3. Lingkup Pengaturan
Di dalam lingkup pengaturan sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (1),
disebutkan bahwa lingkup pengaturan perdagangan, salah satunya pada
butir g ialah terkait dengan pemberdayaan koperasi serta usaha mikro,
kecil, dan menengah
4. Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri
Kebijakan perdagangan dalam negeri yang diatur dalam ketentuan pasal
5 ayat (3), paling sedikit mengatur salah satunya pada butir d ialah
mengenai pengembangan dan penguatan usaha di bidang Perdagangan
Dalam Negeri, termasuk koperasi serta usaha mikro, kecil, dan
menengah.
5. Pengaturan tentang Pengembangan, Penataan dan Pembinaan Pasar
Rakyat
Ketentuan yang terkait dengan koperasi ini masuk pula dalam
penjelasan pasal 12 dalam menjelaskan pasar rakyat. Dimana Pasar
rakyat yang dimaksud ini adalah tempat usaha yang ditata, dibangun,
dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta, Badan Usaha
Milik Negara, dan/atau Badan Usaha Milik Daerah dapat berupa toko,
kios, los, dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil dan
menengah, swadaya masyarakat, atau koperasi serta usaha mikro, kecil,
103
dan menengah dengan proses jual beli Barang melalui tawar-menawar.
Kemudian istilah koperasi dapat ditemukan pula pada pasal 14 ayat (1).
Di mana disebutkan bahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah
sesuai
dengan
kewenangannya
melakukan
pengaturan
tentang
pengembangan, penataan dan pembinaan yang setara dan berkeadilan
terhadap
Pasar
rakyat,
pusat
perbelanjaan,
toko
swalayan,
dan
perkulakan untuk menciptakan kepastian berusaha dan hubungan kerja
sama yang seimbang antara pemasok dan pengecer dengan tetap
memperhatikan keberpihakan kepada koperasi serta usaha mikro, kecil,
dan menengah.
104
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
1. Landasan Filosofis.
Sebagaimana dinyatakan dalam pembukaaan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen, pada Alinea keempat bahwa Negara Republik Indonesia dibangun tidak saja untuk
melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
namun juga untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaaan, perdamaian abadi dan berkeadilan sosial.
Dalam bagian batang tubuh, Bab XIV, pasal 33 yang mengatur
Perekonomian dan kesejahteraan sosial ditegaskan bahwa perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan;
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang mengasai hajat
hidup orang banyak dikuasa oleh negara; Bumi, air dan seluruh kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan sebesar
besarnya
digunakan
diselenggarakan
kebersamaan,
untuk
kemakmuran
dasar
demokrasi
atas
efisiensi
berkeadilan,
rakyat.;
ekonomi
perekonomian
dengan
berkelanjutan,
prinsip
berwawasan
lingkungan, kemandirian serta menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.
Dasar hukum utama dari demokrasi ekonomi di Indonesia adalah
Pasal 33 UUD 1945. Dalam penjelasan pasal 33 disebutkan bahwa
demokrasi
ekonomi
diartikan
sebagai:
105
produksi
dikerjakan
oleh
semua,
(dan)
untuk
anggota-anggota
adalah
semua,
di
masyarakat.
demokrasi
bawah
Dalam
ekonomi,
pimpinan
atau
penilikan
perekonomian
yang
dasarnya
kemakmuran
masyarakatlah
yang
diutamakan, bukan kemakmuran perorangan.
Di dalam sistem ekonomi yang menjamin demokasi ekonomi maka
tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
sebagaimana dinyatakan pada pasal 27. Hak atas pekerjaan tidaklah
melulu keistimewaaan suatu kelompok atau golongan tertentu. Semua
berhak pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dengan
peluang
yang
sama.
Akan
tetapi
manakala
seseorang
mengalami
ketidakberuntungan dengan kemampuan yang terbatas dan terlantar
menjadi fakir miskin, maka sesuai jiwa Pancasila,
undang-undang
menugaskan kepada negara untuk memelihara mereka yang terlantar
sebagaimana dinyatakan pada pasal 34.
Prinsip demokrasi ekonomi juga menjelma dalam pasal 33 "Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluaragaan".
Penjelasan terkait demokrasi ekonomi ditonjolkan pada peran masyarakat.
Produksi dikerjakan di bawah pimpinan atau pemilikan anggota anggota
masyarakat.Kemakmuran
masyarakatlah
yang
diutamakan
bukan
kemakmuran orang seorang. Masyarakat tidak sama dengan negara.
Sehingga jelaslah bahwa sistem ekonomi Pancasila tidak saja menolak free
fight liberalismakan tetapi juga etatisme /ekonomi komando, di mana
negara beserta aparatur ekonomi negara dominan penuh dan mematikan
inisiatif masyarakat.
106
Pasal 33 juga menekankan bahwa cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai
negara.
terkandung
Sedangkan
dalam
bumi
kemakmuran rakyat. Negara
bumi,
dikuasai
air,
dan
negara
kekayaan
untuk
alam
yang
digunakan
bagi
diamanatkan menguasai sektor-sektor yang
strategis, akan tetapi dalam kebebasan itu terkandung pertanggungjawaban
untuk mengutamakan kepentingan umum.
1. Landasan Sosiologis
Faktor manusia memegang peran signifikan dalam
mengendalikan
kondisi sosial masyarakat dan mencegah keterpurukan masyarakat.
Sumber daya manusia adalah kunci sukses sehingga perlu dipersiapkan
secara terstruktur dan terencana. Pengembangan kompetensi dan karakter
manusia Indonesia selama ini belum memperoleh perhatian yang memadai
meskipun komitmen dalam peningkatan kualifikasi sumber daya manusia
telah dicerminkan dalam alokasi dana pendidikan dalam anggaran negara
yang ditetapkan sebesar 20%. Namun dilihat dari dimensi kesejahteraan
yang belum memenuhi harapan dapat dilihat
sebagiannasib rakyatnya
yang kesusahan.
Mochtar Lubis menggambarkan sisi negatif manusia Indonesia yang
masih belum sesuaidengan cita cita pembangunan Indonesia, Muchtar
Lubis secara lisan pada tahun 1977, menyebut enam ciri manusia
Indonesia. Meliputi hipokrit alias munafik (1), enggan bertanggung jawab
atas perbuatan dan keputusannya (2), berjiwa feodal (3), percaya takhayul
(4),
artistik
(5),
dan
beratak
lemah(6).
107
Berdasarkan
pengungkapan
Koentjaraningrat
menyatakan, manusia Indonesia mengidap mentalitas
yang lemah, yaitu konsepsi atau pandangan dan sikap mental terhadap
lingkungan yang sudah lama mengendap dalam alam pikiran masyarakat,
karena terpengaruh atau bersumber kepada sistem nilai budaya (culture
value ystem) sejak beberapa generasi yang lalu, dan yang baru timbul sejak
zaman revolusi yang tidak bersumber dari sistem nilai budaya pribumi.
Artinya, kelemahan mentalitas manusia Indonesia diakibatkan budaya
negatif dari bangsa sendiri dan dari sebagai akibat bangsa lain.
Pendekatan perubahan sifat mental dan nilai budaya mengacu pada teori
sibernatik Talcott Parson dan sistem nilai budaya(Culture Value System)
terkait kerangka lima dasar nilai budaya manusia Kluckhohn. Pada
dasarnya sosiologi melihat manusia dalam serba keterhubungannya dengan
manusia atau orang lain. Manusia adalah manusia dalam masyarakat.
Dengan berdasar pada paradigma manusia-masyarakat tersebut dapatlah
selanjutnya diketahui aspek-aspek apa saja yang muncul manakala kita
membicarakan manusia itu, yaitu: sistem kepribadian yang menyangkut
diri manusia itu sendiri, sistem sosial, dan sistem kebudayaan (Talcott
Parson, 1951: 6). Dengan demikian, manusia mampu didisiplinkan oleh
struktur di luar dirinya. apakah itu berupa sistem sosial ataukah
kebudayaan atau sistem hukum dan regulasi yang mengubah cara
pandang, sikap dan perilakunya.
Satjipto Raharjdo memperjelas keterangan tersebut di atas. bahwa
sejak manusia (belajar) menggunakan bahasa sudah tampak fenomena
keterikatannya dalam jaringan struktur yang demikian itu. Berbahasa, atau
108
berkomunikasi
dengan
menggunakan
bahasa
(bahkan
juga
dengan
menggunakan isyarat lain) menunjukkan keterikatan manusia belaka.
Dalam
menggunakan
serta
mengucapkan
suatu
perkataan
kita
memperhitungkan kemampuan orang lain untuk menangkap maksud yang
kita kirimkan melalui perkataan tersebut.
Penilaian negatif manusia Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari
perubahan pola kehidupan masyarakat Indonesia yang komunitarian ke
arah individualistik. Hal ini mempengaruhi nilai-nilai kepentingan bersama
menjadi kepentingan pribadi. Munculnya para koruptor yang menilep uang
rakyat demi kemakmuran pribadi, kehidupan permisif di kalangan pemuda
demi meraih kenikmatan pribadi, mentalitas menerabas demi mendapatkan
keuntungan pribadi dan sebagainya telah menghancurkan sendi-sendi
kebersamaan. Nilai-nilai kejujuran. taat pada aturan, menghargai prestasi
kerja. dan sebagainya berawal dari rasa empati kepada kepentingan
bersama dan kemajuan masyarakat sebagai rasa kepemilikan bersama.
Talcott Parson dengan teori struktural fungsionalismenya, menyusun ide
tentang teori sibernetika mencoba untuk memberikan jawaban, bahwa
sistem sosial merupakan suatu sinergi antara tiga subsistem sosial—sistem
sosial,
personalitas,
dan
sistem
budaya—yang
saling
mengalami
ketergantungan dan keterkaitan. Ketiga subsistem (pranata) tersebut akan
bekerja secara mandiri tetapi saling bergantung satu sama lain untuk
mewujudkan keutuhan & kelestarian sistem sosial secara keseluruhan.
Contohnya
keterkaitan
antara
Hukum,
agama,
pendidikan,
budaya,
ekonomi, politik, sosial yang tak dapat terpisahkan dan saling berinteraksi.
109
Menurut Talcott Parson terdapat
4 subsistem yang menjalankan fungsi
utama dalam kehidupan masyarakat yaitu :
1. Fungsi adaptasi (Adaptation) dilaksanakan oleh subsistem ekonomi
contoh: melaksanakan produksi & distribusi barang-jasa, dimana
jalur produksi dan distribusi barang -jasa untuk menciptakan
kemakmuran dan kesejahteran masyarakat dengan seadil-adilnya
sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
2. Fungsi pencapaian tujuan (Goal attainment) dilaksanakan oleh
subsistem
politik
contoh:
melaksanakn
distribusi-distribusi
kekuasaan & memonopoli unsur paksaan yg sah (negara). Dalam
pembagian kekuasaan ini harus didasarkan kepada etika dan moral
politik (moral excellen) untuk menghindari kekuasaan absolut dan
tindakan korupsi yang dilakukan elit.
3. Fungsi integrasi (Integration) dilaksanakan oleh subsistem hukum
dengan cara mempertahankan keterpaduan antara komponen yg
beda pendapat/ konflik untuk mendorong terbentuknya solidaritas
sosial.
4. Fungsi mempertahankan pola & struktur masyarakat (Lattent pattern
maintenance)
dilaksanakan
oleh
subsistem
budaya
menangani
urusan pemeliharaan nilai - nilai & norma-norma budaya yg berlaku
dengan tujuan kelestarian struktur masyarakat dibagi menjadi
subsistem keluarga, agama.dan pendidikan.
110
Di masa depan diharapkan masyarakat Banten mampu untuk
menghargai dan menggunakan ruang waktunya untuk kemajuan hidupnya
melalui :
a) Membangun hubungan masyarakat dengan alam sekitarnya, agar
terjalin secara harmonis, maka masyarakat harus mampu mensikapi
alam
dengan
bijaksana.
Melakukan
eksploitasi
alam
tanpa
melupakan upaya-upaya pemeliharaan dan pelestariannya.
b) Pembangunan hubungan manusia dengan sesamanya dapat tetap
terpelihara melalui kerja sarna dan saling pengertian.Pengembangan
nilai positif
yang dimiliki masyarakat Banten yang masih hidup
ditengah masyarakat Indonesia meskipun makin memudar dari
waktu ke waktu seperti seperti budaya gotong royong, menghormati
orang tua, anak mencintai
orang tua dan sebaliknya,
damai/
lembut, sabar, dan mau belajar.
2. Landasan Yuridis
Dalam
kenyataan
yang
berkembang,
struktur
dan
kondisi
perekonomian daerah Banten masih jauh dari cita-cita yang diamanatkan
UUD 1945 tersebut. Selama ini akses dan distribusi terhadap sumber daya
tidak merata secara berkeadilan, sehingga menimbulkan
permasalahan
mengganggu
daerah
dan
yang
mengancam
kompleks
dan
keberlanjutan
multi
berbagai
dimensi,
pembangunan
Dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut di atas,
yang
daerah.
Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) menetapkan Ketetapan MPR Nomor
111
XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam
Ekonomi yang menghendaki terlaksananya
Rangka Demokrasi
sistem ekonomi kerakyatan
yang berasaskan kekeluargaan yang menjamin tidak adanya perlakuan
diskriminatif diantara usaha kecil, menengah, koperasi dan usaha
berskala besar. Dengan demikian diantara berbagai skala usaha tersebut
tidak ada yang dirugikan bahka n
efe kti f
da n
dap at
ber mi tra us ah a
le bi h
sa lin g menguntungkan. Secara lebih rinci ketetapan
tersebut mengamanatkan:
1. Penumpukan aset dan pemusatan kekuatan ekonomi pada seorang,
sekelompok orang atau koperasi yang tidak sesuai dengan prinsip
keadilan dan pemerataan harus ditiadakan.
2. Politik ekonomi nasional diarahkan untuk menciptakan
struktur
ekonomi nasional agar terwujud pengusaha menengah yang kuat
dan besar jumlahnya.
3. Terbentuknya
keterkaitan
dan
kemitraan
yang
menguntungkan antar pelaku ekonomi yang meliputi usaha
saling
kecil,
menengah dan koperasi, usaha besar swasta, dan Badan Usaha
Milik Negara (BUMN).
4. Pengusaha ekonomi lemah harus diberi prioritas, dan dibantu
dalam
mengembangkan
usaha
serta
segala
kepentingan
ekonominya, agar dapat mandiri terutama dalam pemanfaatan
sumber daya alam dan akses kepada sumber dana.
5.
Keberpihakan kepada usaha kecil, menengah dan koperasi,
tanpa mengabaikan peranan usaha besar dan BUMN.
112
6. Perbankan dan Lembaga Keuangan wajib dalam batas-batas prinsip
dan pengelolaan usaha yang sehat membuka peluang sebesarbesarnya, seadil-adilnya dan transparan bagi pengusaha kecil,
menengah dan koperasi.
7. Pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam
lainnya harus dilaksanakan secara adil. Tanah sebagai basis usaha
pertanian harus diutamakan penggunaannya bagi pertumbuhan
pertanian rakyat yang mampu melibatkan serta memberi sebesarbesar kemakmuran bagi usaha tani kecil, menengah dan koperasi.
Seluruh kegiatan dan upaya serta sumber daya yang dimiliki bangsa
Indonesia diabdikan pada terwujudnya kesejahteraan seluruh masyarakat
berdasarkan keadilan sosial. Untuk membuka kesempatan yang luas
dalam pembentukan koperasi sesuai dengan kelayakan usaha dan
kepentingan ekonomi anggota masyarakat diterbitkan Instruksi Presiden
No. 18 Tahun 1998 tentang Peningkatan Pembinaan dan Pengembangan
Perkoperasian. Sejalan dengan peningkatan otonomi
pelimpahan
kewenangan
pembentukan
daerah, dilakukan
koperasi
kepada
kantor
pemerintah di tingkat kabupaten/kotamadya. Dan Interuksi Presiden No.
10 Tahun 1999 tentang pemberdayaan usaha menengah.
Tinjauan Umum Tentang Koperasi, Dasar hukum koperasi adalah
Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia 1945
(UUD
RI 1945) dan UndangUndang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang
Perkoperasian.
Dasar-dasar hukum koperasi, perkoperasiaa di Indonesia bersumber
pada:
113
1. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian
2. Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 1994 tentang Persyaratan dan
Tata Cara Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan Anggaran
Dasar Koperasi.
3. Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 1994 tentang Pembubaran
Koperasi oleh Pemerintah
4. Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1995 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Simpan Pinjam oleh Koperasi
5. Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1998 tentang Modal Penyertaan
pada Koperasi.
6. Surat
Keputusan
Menteri
Negara
Koperasi
dan
PPK
No.
36/Kep/MII/1998 tentang Pedoman Pelaksanaan Penggabungan dan
Peleburan Koperasi
7. Surat
Keputusan
Menteri
Negara
Koperasi
dan
PKM
No.
19/KEP/Meneg/III/2000 tentang Pedoman kelembagaan dan Usaha
Koperasi
8. Peraturan Menteri No. 01 tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pembentukan, Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan Anggaran
Dasar Koperasi.
9. Undang-undang No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.
Dasar-dasar hukum tentang UMKM, UMKM Indonesia bersumber
pada:
1. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil
2. Undang-undang RI No.20 Tahun 2008 Tentang UMKM
114
3. Peraturan Pemerintah No.17 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan UU
No.20 Tahun 2008 Tentang UMKM
115
BAB V
JANGKAUAN, ARAH KEBIJAKAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN
A. Jangkauan dan Arah Kebijakan
Dalam subbab ini disajikan sejumlah petunjuk yang perlu
diperhatikan dalam penyusunan rumusan ketentuan-ketentuan dalam
peraturan daerah tentang pemberdayan Koperasi dan UMKM . Petunjuk
itu adalah sebagai berikut .
1. Urgen dan Mendasar
Penetapan
pemberdayaan
peraturan
koperasi
dan
daerah
UMKM
Provinsi
sebagai
Banten
tentang
implementasi
atau
pelengkap Undang-undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Koperasi
dan
Undang-undang
Nomor
20
Tahun
2008
Tentang
UMKM.Ditetapkannya peraturan daerah Provinsi Banten tentang
Pemberdayaan Koperasi dan UMKM
memiliki urgensi yang tinggi,
dalam arti “mendesak” dan “penting”. Di samping itu, ketentuanketentuan di dalam Peraturan Daerah Provinsi Banten Tentang
Pemberdayaan
Koperasi
dan
UMKM
bersifat
mendasar
karena
ketentuan-ketentuan tersebut sangat fundamental bagi pengembangan
dan pemberdayaan Masyarakat Provinsi Banten.
2. Sederhana dan Jelas
Rumusan ketentuan-ketentuan dalam Raperda Provinsi Banten
tentang Pemberdayaan Koperasi dan UMKM
harus disusun secara
sederhana sehingga mudah diikuti, dan dipatuhi oleh pihak-pihak yang
116
berkepentingan.
Kesederhanaan
rumusan
ketentuan
akan
memudahkan aparat pelaksana dari lingkungan Pemerintah dan
lembaga Gerakan Koperasi dan UMKM untuk memantau pelaksanaan
peraturan daerah tersebut. Dalam penyusun ketentuan-ketentuan,
penyusunan
harus
mencantumkan
menghindarkan
rumusan-rumusan
diri
yang
dari
keinginan
terlalu
detail.
untuk
Hal
itu
dimaksudkan agar para anggota Koperasi dan UMKM memiliki ruang
yang
cukup
luas
dan
longgar
untuk
mengadaptasi
ketentuan-
ketentuan hukum itu terhadap kebutuhan mereka untuk kemudian
dicantumkan di dalam anggaran dasar Koperasi dan UMKM.
Sehubungan
dengan
kriteria
“mudah
diikuti”
,rumusan
ketentuan-ketentuan dalam RaperdaTentang Pemberdayaan Koperasi
dan UMKM harus jelas, tegas, tidak memiliki dua arti atau lebih, serta
disusun dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti. Apabila
jelas maka “Penjelasan atas Raperda Pemberdayaan Koperasi dan
UMKM ” harus benar-benar memberi penjelasan.
Selanjutnya
perlu
ditekankan
bahwa
ketidakjelasan
dan
kerumitan rumusan ketentuan atau pengaturan akan menimbulkan
kesamaran-kesamaran, ketidakpastian, multitafsir, dan sebagainya
yang pada gilirannya akan menimbulkan ketidakkonsistenan atau
bahkan
penyimpangan
atau
penyalahgunaan
dalam
penerapan
peraturan daerah. Pengalaman menunjukkan bahwa rumusan yang
tidak jelas seringkali diikuti oleh penjelasan yang tidak jelas atau
bahkan tanpa penjelasan sama sekali di dalam “Penjelasan”.
117
3. Terstruktur secara Logis dan Sistematis
Ketentuan-ketentuan dalam Raperda
tentang Pemberdayaan
Koperasi dan UMKM harus terstruktur secara logis dan sistematis. Ini
berarti bahwa ketentuan-ketentuan di dalam Peraturan Daerah Tentang
Pemberdayaan Koperasi dan UMKM
itu disusun sesuai dengan
penalaran yang runtut dan tepat dimana terdapat kesesuaian antara
sebab dan akibat. Di samping itu ketentuan-ketentuan tersebut memiliki
susunan kesatuan-kesatuan – dalam bentuk bab dan bagian – yang
masing-masing tidak berdiri sendiri-sendiri tetapi berfungsi membentuk
kesatuan secara keseluruhan dan teratur.
4. Komprehensif
Rumusan ketentuan-ketentuan dalam Raperda Pemberdayaan
Koperasi dan UMKM
harus menyeluruh, dalam arti mencakup
keseluruhan aspek penting yang perlu dicakup di dalamnya. Hal itu
penting agar pelaksanaan ketentuan-ketentuan itu dapat diselenggarakan
secara
tuntas,
dalam
pengertian
bahwa
ketentuan-ketentuan
itu
diharapkan memiliki dampak langsung.
5. Luwes
Peraturan daerah Tentang Pemberdayaan Koperasi dan UMKM
yang baik adalah pengaturan yang tidak terhalang oleh kebekuan
rumusan apabila dihadapkan kepada perubahan-perubahan yang tidak
fundamental dalam perkembangan kondisi dan situasi sosial, politik, dan
ekonomi.
118
6. Lintas Sektoral
Hal-hal yang berkaitan dengan Raperda tentang Pemberdayaan
Koperasi dan UMKM
jelas,
seperti
melekat pada berbagai sektor yang tertentu dan
sektor-sektor
pertanian,
perdagangan,
perindustrian,
keuangan, hukum, dan sebagainya. Di samping itu, terdapat aspek-aspek
tertentu yang berada di daerah kelabu (grey areas) , terutama yang
berada dalam yurisdiksi dari dua lembaga atau lebih. Karenanya,
ketentuan-ketentuan dalam Raperda Tentang Pemberdayaan Koperasi
dan UMKM harus disusun secara cermat.
7. Seimbang
Rumusan
ketentuan-ketentuan
Pemberdayaan Koperasi dan UMKM
dalam
Raperda
Tentang
semestinya mengatur secara
seimbang peranan, hak, dan kewajiban Gerakan Koperasi, UMKM dan
Pemerintah.
8. Terpantau dan Terevaluasi
Pemantauan dan evaluasi merupakan upaya untuk menjaga agar
Raperda
Tentang
Pemberdayaan
Koperasi
dan
penting
bagi
UMKM
dapat
dilaksanakan secara efektif.
9. Sanksi dan Insentif
Sanksi
merupakan
sarana
terselenggaranya
pengaturan kehidupan Koperasi dan UMKM . Namun, tujuan pengaturan
dapat pula dicapai melalui pemberian insentif dan disinsentif. Petunjuk
tersebut harus benar-benar diperhatikan oleh para penyusun Raperda
Tentang Pemberdayaan Koperasi dan UMKM.
119
Raperda Tentang Pemberdayaan Koperasi dan UMKM semestinya
secara eksplisit didasarkan pada prinsip-prinsip Koperasi dan UMKM
yang bersifat universal, dan memberi batasan yang jelas terhadap
berbagai peranan dari sejumlah pelaku dalam sektor Koperasi dan UMKM
Sebaiknya hanya disusun satu Raperda Tentang Pemberdayaan Koperasi
dan UMKM. Namun di dalam ketentuan-ketentuan khusus untuk
Koperasi -Koperasi dan UKM-UKM yang berbeda jenisnya. Ketentuanketentuan
khusus
untuk
entiti-entiti
kooperatif
seperti
asosiasi
percobaan (probationary societies) dan kelompok-kelompok terorganisasi
lainnya, seyogyanya dicantumkan dalam Raperda Tentang Pemberdayaan
Koperasi dan UMKM. Tetapi, organisasi-organisasi swadaya yang tidak
menerapkan prinsip-prinsip Koperasi dan UMKM harus dicakup dalam
peraturan
daerah
yang
Koperasi dan UMKM
terpisah.
Raperda
Tentang
Pemberdayaan
harus dirumuskan dengan menggunakan bahasa
yang jelas, tidak samar-samar dan mudah dimengerti. Di dalam Raperda
Tentang
Pemberdayaan
Koperasi
dan
UMKMharus
dihindarkan
dimuatnya ketentuan-ketentuan yang sangat rinci. Hal itu dimaksudkan
agar para anggota Koperasi dan UMKM memiliki cukup ruang untuk
mengadaptasi ketentuan-ketentuan hukum sesuai dengan kebutuhannya
di
dalam
anggaran
dasar.
Di
Pemberdayaan Koperasi dan UMKM
samping
itu,
Raperda
Tentang
harus disusun secara logis dan
sistematis sehingga menjadi peraturan yang “user friendly”. Pembuatan
Peraturan Daerah tentang Pemberdayaan Koperasi dan UMKM secara
partisipatoris menghajatkan bahwa aspek-aspek paedagogis diperhatikan
dalam
penyusunan
ketentuan-ketentuannya.
120
Daftar
berikut
menunjukkan pokok-pokok persoalan yang semestinya diperhatikan dan
atau dicakup di dalam Raperda Tentang Pemberdayaan Koperasi dan
UMKM :
1 Referensi terhadap prinsip-prinsip internasional dari pembentukan
dan pengembangan Koperasi dan UMKM
2 Otonomi untuk memutuskan tentang peraturan daerah pelengkap
dalam bentuk anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang
memadai
3 Tanggung
jawab
Gerakan
Koperasi
dan
UMKM
untuk
mengembangkan sumber daya manusianya di semua tingkatan.
4 Peraturan tentang penyelesaian perselisihan.
5 Batasan tentang hubungan antara Pemerintah dengan sektor
Koperasi , UMKM dan peranan Registrar.
6 Ketentuan-ketentuan yang efektif mengenai proses registrasi.
7 Penekanan pada aspek-aspek kewirausahaan, bisnis dan tanggung
jawab terhadap diri sendiri dari Koperasi dan UMKM.
8 Peraturan tentang keuangan dan manajemen serta tentang audit
internal dan eksternal yang dilakukan oleh koperasi swasta atau
instansi Pemerintah yang membidangi urusan Koperasi dan
UMKM.
9 Peraturan tentang pembentukan dan distribusi modal.
10 Definisi Koperasi dan UMKM, termasuk organisasi-organisasi yang
kurang formal.
121
11 Ketentuan-ketentuan
yang
ditujukan
untuk
meningkatkan
partisipasi wanita di dalam keanggotaan dan kepemimpinan
Koperasi dan UMKM.
12 Penekanan
pada
pengelolaan,
pengaturan,
pengawasan
dan
pengendalian diri sendiri.
13 Prinsip-prinsip pemberian subsidi dengan jalan mana Gerakan
Koperasi
dan UMKM bertanggung jawab untuk memberikan
layanan-layanan pendukung, dan bilamana Gerakan Koperasi dan
UMKM gagal melaksanakan tanggung jawab tersebut lembagalembaga lain dapat diundang atau diminta untuk memberikan
layanan-layanan tersebut.
14 Hak untuk membentuk Koperasi
Sekunder dan organisasi
puncak, dan menetapkan petunjuk untuk mewujudkan integrasi
horisontal dan vertikal.
15 Peraturan-peraturan
pembubaran
dan
tentang
likuidasi
pembagian,
Koperasi
dan
amalgamasi,
UMKM
dengan
menghormati kepentingan pihak ketiga.
16 Hak
untuk
menjadi
anggota
(atau
tidak
menjadi
anggota)
organisasi Koperasi dan UMKM, keanggotaan terbuka harus
meniadakan diskriminasi negatif dan positif terhadap anggotaanggota atau kelompok-kelompok potensial tertentu.
17 Hak dan kewajiban anggota dan karyawan-anggota (memberemployees) Koperasi dan UMKM.
18 Ketentuan-ketentuan untuk Koperasi -Koperasi dan UMKM yang
lebih besar (rapat delegasi dan wewenang delegasi ; penerapan
122
peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dan
peraturan-peraturan untuk karyawan).
19 Ketentuan-ketentuan penutup seperti pencabutan peraturan dan
peraturan perundang-undangan lain tentang Koperasi dan UMKM
yang berlaku.
B. Ruang Lingkup Materi Muatan
1. Landasan Hukum
Proses
penyusunan
Rancangan
Peraturan
Daerah
Pemberdayaan Koperasi dan UMKM ini sebagai respons dari Rencana
Strategis perencanaan Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Banten
periode 5 tahun mendatang (2012-2017). Dalam penyelenggaraan
pembangunan daerah, Rencana Strategis ini akan berfungsi sebagai
kerangka
teknis
dan
sebuah
kerangka
pemberdayaan(empowering)Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah, yang secara langsung menyentuh masyarakat khususnya
Koperasi dan UMKM di Provinsi Banten. Selain itu, Rencana Strategis
ini merupakan pedoman bagi Dinas Koperasi dan UMKM serta
jajarannya dalam pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan
pembangunan daerah di bidang Koperasi dan UMKM, serta sebagai
acuan bagi seluruh pemangku kepentingan/Stakeholders dalam
pemberdayaan Koperasi dan UMKM di Provinsi Banten periode 20122017.
Penyusunan Rencana Strategis ini dilakukan melalui suatu
proses serta tahapan: (a) Persiapan Penyusunan; (b) Penyusunan
123
Rancangan; (c) Penyusunan Rancangan Akhir; dan (d) Penetapan,
sesuai dengan petunjuk dan pedoman yang berlaku.
a. Peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 2010 Tentang RPJM
Peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan Nasional Jangka Menengah (RPJM) Periode Tahun
2010-2014,
telah
memuat
arah
kebijakan
dan
program
pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah, serta telah
dijabarkan
secara
lebih
detail
tentang
program
pemberdayaan
Koperasi dan UMKM di Indonesia selama periode tahun 2010-2014
melalui Peraturan Menteri Negara Koperasi dan UKM RI No.
01/Per/M.KUKM/I/2010 Tanggal, 28 Januari 2010 tentang Rencana
Strategis Kementerian Koperasi Koperasi dan UKM Periode 20102014, yang dapat dijadikan acuan dalam pemberdayaan Koperasi dan
UMKM di daerah.Peratuan Daerah Kab./Kota tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), telah memuat
arah kebijakan dan program pemberdayaan Koperasi dan UMKM di
Kabupaten/Kota, yang telah dijabarkan secara
detail/teknis dalam
Rencana Strategis SKPD yang membidangi urusan Koperasi dan
UMKM di setiap Kab./Kota.Peraturan Daerah Provinsi Banten No. 4
Tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD) Provinsi Banten Periode Tahun 2012-2017, telah
memuat arah kebijakan dan program pemberdayaan Koperasi dan
UMKM di Provinsi Banten, dan telahdijabarkan secara detail/teknis
124
dalam Rencana Strategis Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Banten
Periode Tahun 2012-2017.
Pancasila
landasan
dan
ideologi
Undang
dan
Undang
Dasar
konstitusional
1945
merupakan
pembangunan
nasional
termasuk pemberdayaan koperasi dan usaha kecil dan menengah.
Pemberdayaan koperasi dan usaha kecil dan menengah merupakan
bagian integral dari pembangunan nasional untuk mewujudkan
masyarakat yang demokratis, adil dan makmur sesuai dengan
amanat konstitusi Undang Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR–RI,
Undang Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian,
Undang Undang Nomor 20 Tahun 2008tentang Usaha Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah, Undang Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang
Sistem
Perencanaan
Pembangunan
Nasional,
serta
berbagai
peraturan perundangan yang terkait dengan pemberdayaan koperasi
dan usaha mikro, kecil, dan menengah, termasuk produk hukum
daerah.Sesuai dengan maksud pelaksanaan otonomi daerah yang
diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, maka Pemerintah Daerah wajib
menyelenggarakan
masyarakat
yang
peningkatan
semakin
pelayanan
baik,
dan
kesejahteraan
pengembangan
kehidupan
demokrasi, keadilan dan pemerataan. Selanjutnya, diwajibkan pula
125
untuk memelihara hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat
dengan Pemerintah Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) serta antar
daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Upaya strategis untuk memberdayakan Koperasi dan
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, diantaranya menjadi urusan
pemerintah daerah melalui peningkatan kepastian hukum dan
penciptaan
iklim
yang
kondusif
yang
mampu
memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada Koperasi dan UMKM dalam
menjalankan
usahanya.
Selain
itu,
perlu
pula
dikembangkan
pelaksanaan pembinaan dan pengembangan secara terpadu oleh
Pemerintah, dunia usaha dan masyarakat terhadap Koperasi dan
UMKM di Provinsi Banten.
b. Undang-undang Tentang Koperasi
Undang Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian
menegaskan bahwa Pemerintah bertugas: (1) menciptakan dan
mengembangkan iklim dan kondisi yang mendorong pertumbuhan
serta
pemayrakatan
koperasi,
(2)
memberikan
bimbingan
dan
kemudahankepada koperasi, dan (3) memberikan perlindungan
kepada
koperasi.
Pembinaan
koperasi
dilakukan
dengan
memperhatikan keadaan dan kepentingan ekonomi nasional, serta
pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja.Dalam
upaya menciptakan dan mengembangkan iklim dan kondisi yang
mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi, Pemerintah
(pasal 61):
126
1. Memberikan kesempatan usaha seluas-luasnya kepada koperasi.
2. Meningkatkan
dan
memantapkan
kemampuan
koperasi
agar
menjadi koperasi yang berkualitas, tangguh dan mandiri.
3. Mengupayakan tata hubungan usaha yang saling menguntungkan
antara koperasi dengan badan usaha lainnya.
4. Membudayakan koperasi dalam masyarakat.
Dalam rangka memberikan bimbingan dan kemudahan kepada
koperasi, Pemerintah (pasal 62):
1. Membimbing usaha koperasi yang sesuai dengan kepentingan
ekonomi anggotanya
2. Mendorong,
mengembangkan
dan
membantu
pelaksanaan
pendidikan, pelatihan, penyuluhan dan penelitian perkoperasian
3. Memberikan kemudahan untuk memperkokoh permodalan koperasi
serta mengembangkan lembaga keuangan koperasi
4. Membantu pengembangan jaringan usaha koperasi dan kerjasama
yang salingmenguntungkan antar koperasi
5. Memberi bantuan konsultasi guna memecahkan permasalahan
yang dihadapi oleh koperasi dengantetap memperhatikan Anggaran
Dasar dan Prinsip Koperasi.
c. Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur
Peraturan Daerah Provinsi Banten, yang menjadi landasan
dalam
pemberdayaan
Koperasi
Menengah, meliputi :
127
dan
Usaha
Mikro,
Kecil
dan
1. Peraturan
Daerah
Nomor
10
Tahun
2005
tentang
Pengrausutamaan Gender Dalam Pembangunan Daerah
2. Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Lembaga
Penjaminan Kredit Daerah Bagi Koperasi dan Usaha Kecil
Menengah
3. Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Daerah
4. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Urusan
Penanaman Modal Perusahaan Daerah
5. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Urusan
Pemerintahan Daerah Provinsi Banten
6. Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah Daerah Provinsi Banten
Tahun 2005-2025
7. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi Banten 2010-2030
8. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pembentukan
Organisasi Perangkat Daerah Provinsi Banten
9. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2012 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Provinsi
Banten Tahun 2012-2017
10.
Peraturan Gubernur Banten Nomor 12 Tahun 2012
tentang
Pembentukan
Organisasi
dan
Pelaksana Teknis Daerah Provinsi Banten.
128
Tata
Kerja
Unit
d. Undang-Undang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Undang Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah secara tegas menyatakan, tujuan pemberdayaan
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah adalah : (1) mewujudkan strukur
perekonomian
nasional
yang
seimbang,
berkembang,
dan
berkeadilan; (2) menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menjadi usaha yang tangguh dan
mandiri; dan (3) meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah dalam pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja,
pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan
rakyat dari kemiskinan.
Dalam rangka mencapai tujuan pemberdayaan usaha kecil
tersebut, maka pemerintah dan pemerintah daerah bertugas dan
berperan:
1 Menumbuhkan iklim usaha dengan menetapkan peraturan
perundang-undangan dan kebijakan yang meliputi aspek: (a)
pendanaan; (b) sarana dan prasarana; (c) informasi usaha; (d)
kemitraan; (e) perizinan usaha; (f) kesempatan berusaha; (g)
promosi dagang; dan (h) dukungan kelembagaan.
2 Memfasilitasi pengembangan usaha dalam bidang: (a) produksi
dan pengolahan; (b) pemasaran; (c) sumber daya manusia; dan
(d) desain dan teknologi.
3 Menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro, dan Kecil, melalui
upaya: (a) pengembangan sumber pembiayaan dari kredit
129
perbankan
dan
pengembangan
lembaga
lembaga
keuangan
modal
bukan
ventura;
(c)
bank;
(b)
pelembagaan
terhadap transaksi anjak piutang; peningkatan kerjasama
antara Usaha Mikro dan Usaha Kecil melalui Koperasi Simpan
Pinjam
dan
Koperasi
syaraiah; dan
Jasa
Keuangan
konvensional
dan
(d) pengembangan sumber pembiayaan lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4 Bersama
dunia
mengusahakan
usaha
bantuan
dapat
luar
negeri,
memberikan
dan
hibah,
mengusahakan
sumber pembiayaan lain yang sah serta tidak mengikat untuk
Usaha Mikro dan Kecil.
5 Memberikan insentif dalam bentuk kemudahan persyaratan
perizinan, kerunganan tarif sarana dan prasarana, dan bentuk
insentif lainnya yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan kepada dunia usaha yang menyediakan
pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil.
6 Pemberdayaan Usaha Menengah dalam bidang pembiayaan dan
penjaminan,
dengan:
(a)
memfasilitasi
dan
mendorong
peningkatan pembiayaan modal kerja dan investasi melalui
perluasan sumber dan pola pembiayaan, akses terhadap pasar
modal,
dan
lembaga
pembiayaan
lainnya;
dan
(b)
menembangkan lembaga penjaminan kredit, dan meningkatkan
fungsi lembaga penjamin ekspor.
7 Bersama
Dunia
Usaha
dan
Masyarakat
memfasilitasi,
mendukung dan menstimulasi kegiatan kemitraan, yang saling
130
membutuhkan,
mempercayai,
memperkuat,
danmenguntungkan. Kemitraan antara Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah dan Kemitraan antara Usaha Mkro, Kecil, dan
Menengah
dengan
Usaha
Besar
mencakup
proses
alih
keterampilan di bidang produksi dan pengolahan, pemaaran,
permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi.
8 Menugaskan SKPD yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan SKPD yang
secara
teknis
bertanggung
jawab
untuk
mengembangkan
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam sektor kegiatannya,
mengatur
pemberian
insentif
melakukan
kemitraan
Menengah
melalui
kepada
dengan
inovasi
Usaha
dan
Usaha
Mikro,
Besar
Kecil
pengembangan
yang
dan
produk
berorientasi ekspor, penyerapan tenaga kerja, penggunaan
teknologi
tepat
guna
dan
ramah
lingkungan,
serta
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan.
2. Dasar Dan pertimbangan.
a. Merangsang
masyarakat
Koperasi
dalam
dan
UMKM
rangka
untuk
memberdayakan
pembangunan
demokrasi
ekonomi/ekonomi kerakyatan.
b. Mendorong terciptanya Koperasi dan UMKM yang berbasis
keanggotaan dan berakar pada masyarakat, tumbuh dari
bawah,
demokratis,
otonom
131
dan
berorientasi
pada
kesejahteraan ekonomi, sosial dan budaya anggota-anggota
khususnya dan masyarakat pada umumnya.
c. Mengakses permodalan Koperasi dan UMKM dari berbagai
sumber baik dari jaringan internasional, pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah.
d. Menciptakan
Lapangan
usaha
yang
seluas-luasnya
bagi
masyarakat Banten, khususnya masyarakat menengah ke
bawah.
3. Sasaran yang ingin dicapai
Adanya Peraturan Daerah Provinsi Banten yang mengatur
tentang pemberdayaan koperasi dan UMKM, yang dapat dijadikan
sebagai dasar hukum bagi fungsi pengaturan pemerintah yang
melindungi, otonomi, kebebasan, definisi, nilai-nilai dan prinsipprinsip Koperasi dan UMKM.
4. Liputan Materi yang akan diatur
Pokok-pokok materi yang akan diatur dalam Rancangan
Peraturan DaerahTentang Pemberdayaan Koperasi Dan UMKM antara
lain sebagai berikut :
a. Pengaturan mengenai definisi dan prinsip-prinsip Koperasi dan
UMKM
Dengan adanya kesatuan pendapat mengenai definisi dan
prinsip-prinsip Koperasi dan UMKM sesuai dengan rumusan
yang termaktub dalam UU No 17 Tahun 2012 Tentang
Koperasi, dan UU No.20 Tahun 2008 Tentang UMKM, maka
132
diharapkan perkembangan Koperasi
di Provinsi Banten
menjadi seragam dan produktif.
b. Ketentuan yang mengatur mengenai pembentukan Koperasi
dan UMKM harus dipertegas antara lain mengenai keharusan
untuk
membuat
studi
kelayakan,
keharusan
untuk
menyelenggarakan pendidikan para anggota.
c. Syarat keanggotaan Koperasi dan Kriteria Pelaku UMKM
Ketentuan mengenai persyaratan keanggotaan harus dipertegas
terutama dalam kaitannya dengan kemampuan untuk menjadi
langganan dan dalam memberikan modal bagi kegiatan usaha
Koperasi dan UMKM.
d. Pengembangan permodalan
Permodalan Koperasi dan UMKM merupakan masalah utama
di sebagian besar Koperasi dan UMKM yang ada, oleh karena
sumber permodalan sendiri yang terbatas dan kurangnya
insentif untuk memberi modal pada Koperasi dan UMKM .
e. Pengembangan usaha
Perlunya pengaturan atau kebijakan pemerintah di sektorsektor tertentu yang dapat memfasilitasi terjadinya integrasi
horisontal bagi Koperasi -Koperasi
dan UMKM dari berbagai
sektor, sehingga dapat tercipta jaringan usaha antar Koperasi
dan UMKM yang efektif dalam membangun kekuatan bersama.
f. Pembinaan dan pengembangan Koperasi dan UMKM
oleh
Pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Pembinaan dan
pengembangan Koperasi dan UMKM adalah menjadi tanggung
133
jawab
bersama
antara
Pemerintah,
dunia
usaha
dan
masyarakat.
g. Kedudukan hukum
Perlu adanya pembedaan dalam pemberian status hukum
antara Koperasi
Primer yang beranggotakan orang-seorang
dengan Koperasi Sekunder yang beranggotakan badan hukum
Koperasi . Koperasi
tidak hanya dapat diperlakukan sama,
tetapi memperoleh status hukum seperti halnya badan hukum
yang lain, baik secara administratif maupun faktual.
134
BAB VI
PENUTUP
Keberadaan usaha koperasi dan UMKM merupakan kenyataan yang
riil, bahkan berperan penting sebagai penopang berjalannya sektor
perekonomian ditinjau dari kemampuan penyerapan tenaga kerja, potensi
pendapatan yang dihasilkan, dan daya dorong terhadap pertumbuhan
ekonomi. Namun, potensi ini menghadapi tantangan yang cukup berat,
terutama dalam hal permodalan, sarana dan prasarana, perizinan, dan
dukungan kelembagaan. Permasalahan- permasalahan ini dihadapi baik
oleh Koperasi maupun oleh UMKM, meski terdapat perbedaan dalam
lingkup permasalahannya.
Secara khusus, Koperasi dan UMKM menghadapi permasalahan
dalam hal permodalan dan dukungan kelembagaan untuk memperluas
akses promosi, permodalan, dan kualifikasi tenaga kerja. Pemerintah
Provinsi Banten perlu menetapkan kebijakan yang jelas berkaitan dengan
pemberdayaan Koperasi dan UMKM, sehingga tidak terkesan dibiarkan tapi
di sisi lain, juga diperlukan untuk keperluan optimalisasi Pendapatan Asli
Daerah melalui sektor rill.
Antara Koperasi dan UMKM pun menghadapi permasalahan terkait dengan
persaingan usaha, di mana Koperasi dan UMKM merasa tersaingi oleh
sektor informal (terutama pedagang kaki lima) karena pedagang kaki lima
lebih mudah diakses oleh pembeli, mampu menawarkan harga yang lebih
murah, dan produknya massal sehingga memiliki segmen pasar yang lebih
luas. Karena itu, keberpihakan terhadap pemberdayaan Koperasi dan
135
UMKM perlu dipertegas melalui kejelasan prioritas kelompok sasaran dan
bentuk perlindungan mana yang akan diambil, misalnya untuk sektor
informal, lebih diprioritaskan pada upaya mengubah status
100 usaha informal menjadi usaha formal melalui mekanisme perizinan
yang lebih mudah, penentuan lokasi mana yang diizinkan untuk mereka
berjualan, apa hak dan kewajibannya, dll.
Keberadaan Koperasi dan UMKM merupakan salah satu di antara
bentuk dari ekonomi kerakyatan, keberadaannya di era otonomi daerah
merupakan potensi yang harus digali dan dikembangkan karena dapat
menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang masif dan dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sebagaimana tujuan dari pembangunan daerah.
Kondisi semacam ini juga dialami oleh Pemerintah Provinsi Banten dengan
potensi industri dan jasa yang dimilikinya, agar mampu
mendorong
peningkatan pemberdayaanKoperasi dan UMKM.
Dengan demikian, upaya pengelolaan terhadap Koperasi dan UMKM tidak
hanya
menyangkut
soal
permodalan
dan
aksesibilitas,
tetapi
juga
menyangkut kebijakan yang lebih luas soal perizinan usaha dan kemitraan
dengan lembaga-lembaga keuangan yang diharapkan mampu berperan
untuk memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan Koperasi dan UMKM.
136
DAFTAR PUSTAKA
Harsoyo,Y, dkk. 2006. Ideologi Koperasi; Menatap Masa Depan.Yogyakarta:
Pustaka Widyatama.
Kartasasmita,Ginandjar.
2001.MembangunEkonomiKerakyatanuntukMewujudkan Indonesia Baru yang Kita
Cita- Citakan.MakalahSeptember 2001.ww.ginandjar.com.
HW, Asmudji. 2013. Sosialisasi UU No.17 Tahun 2012 Tentang Koperasi.
Makalah Maret 2013. www.antarabanten.com.
Adiningsih, Sri.RegulasidalamRevitalisasi Usaha Kecil danMenengah di
Indonesia.www.ifip.org
Koentjaraningrat. 2004.
Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta:
Litafariska.
Rahardjo, Satjipto. 1986. Hukum Dan Masyarakat. Bandung: PT.Angkasa.
Republik Indonesia. 1945. Undang-Undang Dasar Perekonomian Nasional dan
Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. 1945. Undang-Undang Dasar Warga Negara Dan Penduduk.
Jakarta: Sekretariat Negara
Alimandan. 2008. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.
Republik Indonesia. 1998.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Politik
Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Jakarta: Sekretariat MPR RI
Republik Indonesia. 1998. Intruksi Presiden Peningkatan Pembinaan dan
Pengembangan Perkoperasian. Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. 1999. Interuksi Presiden Pemberdayaan Usaha Menengah.
Jakarta: Sekretariat Negara.
137
Sularso dan ED, Damanik. 1982. Peraturan dan Perundang-undangan Koperasi
Di Indonesia. Jakarta: Dwi Segera.
Pusat
Bahasa
DepartemenPendidikanNasional.
2002.KamusBesar
Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Sukalele,Daniel. 2014. PemberdayaanMasyarakatMiskin di Era Otonomi
Daerah. wordpress.com
Hutomo, Mardi Yatmo. 2000. PemberdayaanMasyarakatdalamBidangEkonomi.
Yogyakarta: Adiyana Press
PandjiAnoraga, H. DjokoSudantoko. 2002.KoperasiKewirausahaandan Usaha
Kecil. Jakarta: PT. RinekaCipta,
G. Karta Sapoetra, et, al. 1989. Koperasi Indonesia Yang BerdasarkanPancasila,
danUndang-undangDasar 1945. Jakarta: BinaAksara.
Republik Indonesia. 2012. Undang-Undang Perkoperasian. Jakarta: Sekretariat
Negara
Rahmatullah.
2012.
Stakeholders
Dalam
CSR.
Makalah
Maret
2012.
www.rahmatullah.net
Prasetio, Yulianto. 2012. Pemikiran JJ. Rouseou Dalam Bidang Politik. Makalah
Juni 2012. repository.upi.edu
Republik Indonesia. 2003. Keputusan Menteri Keuangan
Pendanaan Kredit
Usaha Mikro Dan Kecil. Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. 2008. Undang-Undangik Usaha Mikro Kecil Dan Menengah.
Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. 1995. Undang-Undang
Negara.
138
Usaha Kecil. Jakarta: Sekretariat
Republik Indonesia.1998. Undang-undang Perubahan Atas Undang-Undang
Tahun 1992 Perbankan. Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Jakarta: Sekretariat Negara
Republik Indonesia. 2008. Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah. Jakarta: Sekretariat Negara
Republik Indonesia. 2008. Undang-Undang Tentang Perbankan Syariah. Jakarta:
Sekretariat Negara
Republik
Indonesia.
2010.
Undang-Undang
Tentang
Pencegahan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Jakarta: Sekretaiat Negara
139
dan
Download