RESPON SERANGGA NOKTURNAL

advertisement
RESPON SERANGGA NOKTURNAL TERHADAP WARNA CAHAYA
DI PERKEBUNAN KAKAO (Theobroma cacao L.) DESA JAMBANGAN
KECAMATAN DAMPIT KABUPATEN MALANG
Hanifah Masaroh1, Agus Dharmawan2, Sofia Ery Rahayu2
1) Program Studi Biologi, FMIPA, Universitas Negeri Malang
2) Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Negeri Malang
Email: [email protected]
ABSTRAK: Kakao (Theobrema cacao L.) merupakan salah satu komoditas unggulan
sub sektor perkebunan. Indonesia merupkan salah satu produsen kakao dunia setelah
Pantai Gading dan Ghana. Adanya serangan hama Penggerek Buah Kakao dapat
menurunkan produksi sampai 80%. Terkait dengan hal tersebut dilakukan penelitian
dengan tujuan untuk mengetahui, jenis serangga nokturnal, distribusi temporal, respon
serangga nokturnal terhadap variasi warna cahaya, dan hubungan antara faktor abiotik
dengan jumlah serangga nokturnal tertinggi. Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif eksploratif dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian dilakukan pada bulan
Januari-April 2016 di lahan perkebunan kakao Desa Jambangan, Kecamatan Dampit,
Kabupaten Malang. Pengumpulan data dilakukan menggunakan light trap, variasi warna
cahaya yang digunakan yaitu (putih, biru, kuning, hijau, dan merah) dengan waktu
pengambilan sampel pada pukul 20.00, 22.00, dan 00.00 WIB. Pengambilan data
dilakukan 6 kali ulangan. Data dianalisis menggunakan (ANAVA) dengan rancangan
acak kelompok (RAK), dilanjutkan dengan uji lanjut BNJ. Hasil penelitian menunjukkan
terdapat 10 ordo, 20 famili, dan 23 genus. Distribusi temporal serangga nokturnal paling
banyak yaitu pada pukul 20.00 WIB, sedangkan respon serangga tertingi pada perlakuan
warna cahaya biru pada waktu pengambilan sampel 20.00, dengan komposisi serangga
hama 10 genus, predator 7 genus, dan parasitoid 1 genus. Hama utama yang ditemukan
yaitu genus Empoasca. Selanjutnya untuk hasil regresi multiparameter memiliki nilai
signifikansi sebesar 0,033, dengan sumbangan faktor abiotik (kelembaban udara) terhadap
jumlah individu tertinggi waktu pengambilan sampel pukul 20.00 WIB sebasar R2 =
0,720.
Kata Kunci: kakao, light trap, warna cahaya, respon
ABSTRACT: Cocoa (Theobrema cacao L.) is one of the major commodities of
plantation sub-sector. Indonesia is one of the world's main cocoa producers after Pantai
Gading and Ghana. The presence of pest winches cocoa fruit can reduce production until
80%. The purpose for this research to determine: genre of nocturnal insects, temporal
distribution, nocturnal insect response to variations of the light colour, and the
relationship between abiotic factors with the highest number of nocturnal insects. This
research is descriptive explorative with quantitative approach. This research was done
from January to April 2016 in cocoa plantation Jambangan Village, Dampit Sub-district,
Malang Region. Collecting data was done by light traps, variations of light colours which
were used (white, blue, yellow, green, and red) with the sampling time at 20.00 p.m.,
22.00 p.m., and 00.00 a.m. Taking data was done by 6 repetitions. Data was analyzed by
Analysis of Varian (ANOVA) with Randomized Block Design, which was continued by
test of Honest Significance Difference (HSD). The results showed that there was 23
generas. Temporal distribution of nocturnal insects at most that at 20:00 pm, while the
highest response in the treatment of insect color blue light at the sampling time 20:00,
with a composition of 10 genera of insect pests, predators 7 genus, and parasitoid 1 genus.
The main pests found that genus Empoasca. Furthermore, multiple regression results had
significance value was 0,033, with contribution of abiotic factors (humidity) to the total of
highest individual for sampling time at 20.00 p.m. was R2 = 0.720.
Keywords: cocoa, light trap, Light Colour, Response
PENDAHULUAN
Kakao (Theobrema cacao L.) merupakan salah satu komoditas unggulan sub
sektor perkebunan. Indonesia merupakan salah satu produsen kakao utama dunia setelah
Pantai Gading dan Ghana (United Nations Conference on Trade and Development, 2005;
Kementrian Pertanian, 2014). Tanaman ini secara konsisten berperan sebagai sumber
devisa negara yang memberikan kontribusi yang sangat penting dalam struktur
perekonomian Indonesia (Arsyad et al., 2011).
Kakao sebagai komoditas tanaman perkebunan memiliki banyak kegunaan. Biji
kakao kering dimanfaatkan menjadi lemak kakao, pasta kakao, dan bubuk coklat
(Bhattacharjee & Kumar, 2007; Ruku, 2008; Suharyanto, 2014). Data Kementrian
Pertanian (2015) mencacat bahwa, perkembangan luas areal kakao di Indonesia selama
periode 1980-2014 cenderung meningkat yaitu dari 37,08 ribu ha menjadi 1,71 juta ha
pada tahun 2014. Kabupaten Malang termasuk ke dalam salah satu daerah penghasil
kakao di Provinsi Jawa Timur. Salah satu daerah yang memiliki perkebunan kakao di
Kabupaten Malang adalah Desa Jambangan Kecamatan Dampit.
Hasil wawancara dengan petani kakao di Desa Jambangan pada bulan Januari
2016, diketahui bahwa perkebunan kakao di tempat tersebut telah terserang hama
Penggerek Buah Kakao (PBK) (Conopomorpha cramerella). Penggerek buah kakao
(PBK) adalah serangga yang larvanya menggerek ke dalam buah sehingga
mempengaruhi perkembangan normal buah dan biji kakao. Adanya serangan dari PBK
dapat menurunkan produksi hingga 80% (Wardojo, 1980; Sustainable Cocoa
Production Program, 2012). Dilain pihak sistem pengendalian hama PBK ini masih
sulit dilakukan karena hama berada didalam buah, dan juga dahan tanaman kakao
umumnya tinggi, sehingga memerlukan biaya besar untuk mengendalikannya. Berbagai
metode telah dilakukan petani kakao untuk mengendalikan serangga hama. Metode
pengendalian serangga hama dapat dilakukan dengan teknik budidaya, pestisida kimia
sintetik, pemanfaatan agen hayati, pestisida nabati, dan pengendalian fisik.
Metode pengendalian hama yang lebih praktis dan cepat yaitu menggunakan
pestisida kimia sintetik. Penyemprotan pestisida ini dapat berakibat buruk pada
kesehatan petani kakao. Salah satu dampak negatif yang timbulkan akibat penggunaan
pestisida yaitu keracunan bagi manusia (Jumar, 2000). Oleh karena itu, teknologi ramah
lingkungan diperlukan untuk mengendalikan serangan hama pada tanaman kakao,
seperti melalui pengendalian fisik.
Metode pengendalian fisik yang dapat diterapkan yaitu metode pengendalian
fisik menggunakan light trap.
Metode pengendalian fisik menggunakan light trap
umumnya hanya memanfaatkan satu jenis warna cahaya saja, tanpa spektrum yang lebar
(serangga apapun dapat tertangkap). Namun variasi warna cahaya ternyata diketahui
efektif. Penelitian terkait pemanfaatan warna cahaya telah dilakukan oleh Pinandita
(2009) menggunakan variasi warna cahaya merah, kuning, hijau, biru, dan putih
terhadap hama wereng pada area tanaman padi. Berdasarkan hasil tersebut didapat
bahwa penggunaan perangkap warna putih berhasil menangkap hama wereng paling
banyak yaitu sebesar 27%. Metode pengendalian fisik dengan variasi warna cahaya ini
memiliki kelebihan yaitu alat yang digunakan lebih tahan lama sehingga menghemat
biaya dalam penggunaan jangka panjang, lebih selektif karena diharapkan hanya hama
yang terperangkan dalam jebakan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai
respon serangga nokturnal terhadap warna cahaya di perkebunan kakao Desa
Jambangan, Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksploratif melalui pendekatan
kuantitatif, yang bertujuan untuk mengetahui respon serangga nokturnal (kategori
tingkat genus) terhadap warna cahaya, distribusi temporal serangga nokturnal dan
hubungan faktor abiotik dengan cacah individu serangga. Waktu penelitian dimulai
pada bulan Januari-April 2016. Tempat penelitian dilakukan di lahan perkebunan kakao
Desa Jambangan, Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang.
Pengumpulan data dilakukan menggunakan metode light trap dengan warna
cahaya yang berbeda (merah, kuning, hijau, biru, putih), dengan waktu pengambilan
sampel pada pukul 20.00, 22.00, dan 00.00 WIB. Dimana setiap warna perangkap
cahaya diulang sebanyak 6 kali ulangan, yang dilakukan selama 2 hari, 1 hari sebanyak
3 ulangan. Pengukuran faktor abiotik dilakukan pada setiap waktu pengambilan sampel
serangga nokturnal. Faktor abiotik yang diukur meliputi suhu udara, kelembaban udara,
dan kecepatan angin. Data dianalisis menggunakan (ANAVA) dengan rancangan acak
kelompok (RAK), dilanjutkan dengan uji lanjut BNJ. Data faktor abiotik dianalisis
dengan menggunakan analisis statistik Regresi.
HASIL PENELITIAN
Data mengenai genus serangga nokturnal yang ditemukan di lahan perkebunan
kakao disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Genus Serangga Nokturnal yang Ditemukan di Lahan Perkebunan Kakao
Berdasarkan Gambar 1. ditemukan sebanyak 10 ordo, 20 famili, dan 23 genus,
yang terdiri dari serangga hama sebanyak 6 ordo, 13 famili, 14 genus. Adapun serangga
predator yang ditemukan sebanyak 4 ordo, 5 famili, 8 genus. Selanjutnya untuk
serangga parasitoid ditemukan sebanyak 1 ordo,1 famili, dan 1 genus.
Distribusi temporal serangga nokturnal yaitu pada pukul 20.00 dengan
ditemukan individu sebanyak 113. Perbanding jumlah individu di setiap waktu
pengambilan sampel disajikan pada Gambar 2.
Jumlah Individu
120
113
100
80
70
60
43
40
20
0
20.00
Gambar 2.
22.00
00.00
Waktu pengambilan Sampel
Jumlah individu Serangga Nokturnal di Setiap Waktu Pengambilan Sampel pada
Perkebunan Kakao
Respon serangga nokturnal (parasitoid, hama, dan predator) terhadap warna
cahaya diperoleh dengan mengetahui ketertarikan tiap genus dari serangga tersebut pada
masing-masing warna cahaya. Respon serangga nokturnal (parasitoid, hama, dan
predator) terhadap warna cahaya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Respon serangga Nokturnal pada perlakuan warna cahaya
Perlakuan Warna Cahaya
Genus
Peran
Putih
Biru
Hijau
Kuning
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Aneurhynchus Parasitoid
9
3
2
2
Kalotermes
Hama
0
2
0
0
Empoasca
Hama
16
16
11
7
Lasioderma
Hama
2
0
0
0
Dictyoptera
Hama
0
2
0
0
Rhyncolus
Hama
0
3
0
0
Pseudaptinus
Predator
4
4
2
2
Merah
(7)
2
0
9
0
0
0
1
Jumlah
(8)
18
2
59
2
2
3
13
Lanjutan Tabel 1.
(1)
Omonadus
Forficula
Cryptolestes
Tenedora
Musca
Parcoblatta
Harpalus
Scirpophaga
Sitotroga
Cochylis
Deraeocoris
Homona
Poecilus
Cephalonomia
Melanotus
Hyposidra
(2)
(3)
(4)
(5)
Predator
1
6
3
Predator
4
5
0
Hama
2
0
0
Predator
0
3
0
Predator
0
0
0
Hama
3
1
0
Predator
2
0
0
Hama
0
1
3
Hama
0
2
0
Hama
3
1
0
Predator
0
4
4
Hama
2
4
2
Predator
0
1
0
Predator
14
15
8
Hama
0
0
2
Hama
0
2
0
Parasitoid
1
1
1
Jumlah
Hama
6
10
5
Predator
5
7
4
Ket : Bold kuning merupakan hama utama pada tanaman kakao
(6)
1
0
0
0
0
0
0
0
0
2
3
1
0
10
1
0
1
4
4
(7)
1
0
0
0
1
0
0
1
2
0
2
0
0
4
0
0
1
3
5
(8)
12
9
2
3
1
4
2
5
4
6
13
9
1
51
3
2
226
Berdasarkan Tabel 1. diketahui bahwa respon serangga nokturnal pada
perlakuan warna cahaya biru ditemukan paling banyak serangga hama yaitu 10 genus.
Pada perlakuan warna cahaya merah ditemukan paling sedikit serangga hama yaitu 3
genus.
Tabel ringkasan ANAVA warna cahaya, waktu pengambilan sampel, dan
interaksi warna cahaya dan waktu pengambilan sampel terhadap respon serangga
nokturnal di lahan perkebunan kakao Desa Jambangan, Kecamatan Dampit, Kabupaten
Malang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Ringkasan sidig ragam Respon Serangga Nokturnal terhadap warna cahaya dan waktu
pengambilan sampel
Source
Corrected Model
Intercept
Warna cahaya
Waktu pengambilan sampel
Ulangan
Warna cahaya * Waktu
pengambilan sampel
Error
Total
Corrected Total
Type III Sum of
Squares
242,767
562,500
108,889
85,267
6,767
Df
19
1
4
2
5
Mean Square
12,777
562,500
27,222
42,633
1,353
F hitung
18,738
824,895
39,921
62,521
1,985
F tabel
0,000
0,000
0,000
0,000
0,092
41,844
8
5,231
7,671
0,000
47,733
853,000
290,500
70
90
89
0,682
Hasil analisis varian ganda pengaruh interaksi warna cahaya dan waktu
pengambilan sampel pada Tabel 2. menunjukkan bahwa nilai F hitung interaksi warna
cahaya dan waktu pengambilan sampel (7,671) > F tabel (0,000). Hal tersebut dapat
dijelaskan bahwa interaksi warna cahaya dan waktu pengambilan sampel berpengaruh
nyata terhadap respon serangga nokturnal, maka dilakukan uji lanjut dengan uji Tukey
atau uji Beda Nyata Jujur (BNJ). Data rerata respon serangga nokturnal pada masingmasing waktu pengambilan sampel dan hasil analisis lanjut disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Ringkasan BNJ Variasi warna cahaya dan waktu pengambilan sampel terhadap respon
serangga nokturnal
Waktu Pengambilan Sampel
20.00
22.00
Biru
6,500a
4,000 bc
Putih
5,500ab
3,167cde
cd
Hijau
3,333
1.500cde
def
Kuning
2,000
1,667def
ef
Merah
1,500
1,333f
Keterangan: Notasi yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan
Warna Cahaya
24.00
2,000def
1,500ef
1,333f
1,167f
1,000f
Berdasarkan keseluruhan deskripsi uji lanjut Tukey (BNJ), warna cahaya biru
dengan waktu pengambilan sampel 20.00 memiliki hasil yang berbeda nyata, tetapi
tidak berbeda dengan warna cahaya. Hal ini menunjukkan serangga nokturnal memiliki
respon tertingi pada perlakuan warna cahaya biru dan putih dengan waktu pengambilan
sampel 20.00.
Hasil pengukuran faktor abiotik dianalisis menggunakan analisis regresi dengan
jumlah individu tertinggi dari distribusi temporal serangga nokturnal yang ditemukan.
Berdasarkan distribusi temporal serangga nokturnal diperkebunan kakao diketahui
bahwa jumlah individu tertinggi yang ditemukan pada pukul 20.00 WIB. Sehingga
dilakukan ananlisi regresi faktor abiotik pengambilan sampel pukul 20.00 dengan genus
Empoasca pada tiap ulangan. Pada Tabel 4. disajikan ringkasan analisis regresi faktor
abiotik terhadap jumlah individu tertinggi serangga nokturnal pada tiap ulangan.
Tabel 4. Ringkasan Uji Signifikansi Faktor Abiotik Terhadap Jumlah Indivudu yang Tertinggi
waktu Pengambilan Sampel pukul 20.00 WIB
Anova
Model
F
10,286
1
Keterangan:
Model Summary
Sig.
0,033
R
0,849
R2
0,72
Predictor (Constant), Intensitas Cahaya
Dependent Variable: Jumlah Individu Empoasca
Berdasarkan Tabel 4.
dapat dipaparkan bahwa hasil uji signifikansi faktor
abiotik memiliki hubungan terhadap jumlah individu tertinggi waktu pengambilan
sampel serangga nokturnal pukul 20.00 WIB pada lahan perkebunan kakao desa
Jambangan, Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang. Hubungan tersebut memiliki nilai
signifikansi sebesar 0,033, dengan sumbangan faktor abiotik (kelembaban udara)
terhadap jumlah individu tertinggi waktu pengambilan sampel pukul 20.00 WIB sebasar
R2 = 0,720. R2 merupakan nilai determinasi yang artinya bahwa faktor abiotik memiliki
sumbangan sebesar 72% terhadap jumlah individu tertinggi waktu pengambilan sampel
pukul 20.00 WIB dan 28% disumbang oleh faktor lain
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian serangga nokturnal yang ditemukan pada lahan
perkebunan kakao di Desa Jambangan, Kecamtan Dampit, Kabupaten Malang
didapatkan serangga sebanyak 10 ordo, 20 famili, dan 23 genus. Serangga nokturnal
yang merupakan serangga hama sebanyak 6 ordo, 13 famili, 14 genus.
Distribusi temporal merupakan keberadaan individu seperti serangga nokturnal,
berdasarkan dimensi ruang/tempat yang diamati pada tiap tegakan pada masing-masing
area. Pada penelitian ini distribusi temporal diketahui melalui jumlah individu pada
masing-masing waktu pengambilan sampel (Gambar 2.). berdasarkan hasil yang
diperoleh diketahui bahwa jumlah individu paling tinggi adalah pada waktu
pengambilan sampel pukul 20.00 WIB. Waktu aktif tersebut dipengaruhi oleh faktor
lingkungan yang ada. Pada kondisi lingkungan yang optimum serangga akan melakukan
perkembangbiakan dengan maksimal sehingga populasinya akan meningkat. Jumlah
individu serangga nokturnal pada pukul 00.00 mengalami penururnan karena faktor
abiotik berupa suhu lingkungan menurun, sesuai dengan pernyataan Harmoko (2012)
bahwa intensitas kunjungan serangga menurun ketika rerata suhu lingkungan rendah.
Suhu lingkungan akan berpengaruh terhadap aktivitas dan metabolisme tubuh serangga.
Hal ini dikarenakan serangga termasuk hewan poilikoterm yang membutuhkan panas
dari lingkungan untuk memulai metabolismenya (Boror, 1992; Dharmawan, 2005).
Hasil penelitian menunjukkan ada respon positif dari serangga nokturnal
terhadap perlakuan warna cahaya pada perkebunan kakao. Hal ini berarti ada
ketertarikan serangga nokturnal terhadap warna cahaya. Berdasarkan hasil pengamatan
pada perlakuan warna cahaya biru paling banyak memperoleh serangga hama yaitu
sebanyak 10 genus dengan hama utama yang ditemukan yaitu genus Empoasca
Selanjutnya berdasarkan hasil analisis dengan perhitungan anava ganda, menunjukkan
adanya beda nyata antara variasi warna cahaya terhadap respon serangga nokturnal.
Atkins (1980) menyata bahwa, adanya perbedaan respon serangga nokturnal terhadap
warna cahaya tertentu diakibatkan karena daya sensifitas mata suatu individu serangga
terhadap semua panjang gelombang tidak sama. Hal ini merupakan cerminan dari
karakteristik penyerapan dari pigmen visual, sehingga kemampuan untuk membedakan
cahaya dengan panjang gelombang yang berbeda-beda tergantung pada photopigmen
yang dimiliki (Chapman dalam Aliani, 2008).
Serangga memiliki pigmen visual yang dapat menyerap panjang gelombang
cahaya yang berbeda. Berdasarkan hasil keseluruhan perlakuan warna cahaya, yang
menunjukkan respon serangga nokturnal paling banyak adalah perlakuan warna cahaya
biru dan putih. Hal ini sesuai dengan Sodiq (2009) yang menyatakan, kebanyakan
serangga memberikan respon terhadap cahaya dengan panjang gelombang anatar antara
300-400 nm (maksimum). Sedangkan diantara perlakuan warna cahaya jika dilihat
berdasarkan panjang gelombang warna cahaya merah, serangga tidak mampu melihat
pada panjang gelombang dari warna merah, sebab warna merah memiliki panjang
gelombang paling panjang diantara warna lainnya sekitar 650 nm, sedangkan untuk
warna hijau 510 nm, dan warna kuning 570 nm, (National Aeronautics and Space
Administration, 2016).
Pada penelitian ini dilakukan pengukuran faktor abiotik. Faktor abiotik yang
diukur adalah suhu, kelembaban udara, kecapatan angin dan intensitas cahaya.
Berdasarkan hasil analisis regresi antara faktor abiotik yang terdiri dari suhu,
kelembaban udara, kecapatan angin dan intensitas cahaya dengan jumlah individu
serangga nokturnal pada pengambilan sampel pukul 20.00 WIB, memiliki nilai
signifikansi sebesar 0,033, dengan sumbangan faktor abiotik (kelembaban udara)
terhadap jumlah individu tertinggi waktu pengambilan sampel pukul 20.00 WIB sebasar
R2 = 0,720. R2 merupakan nilai determinasi yang artinya bahwa faktor abiotik memiliki
sumbangan sebesar 72% terhadap jumlah individu tertinggi waktu pengambilan sampel
pukul 20.00 WIB dan 28% disumbang oleh faktor lain.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil identifikasi, serangga nokturnal pada lahan perkebunan kakao
didapatkan serangga sebanyak 10 ordo, 20 famili, dan 23 genus. Distribusi temporal
serangga nokturnal yaitu pada waktu pengambilan sampel pukul 20.00 WIB. Respon
serangga nokturnal tertingi yaitu pada perlakuan warna cahaya biru dan putih dengan
waktu pengambilan sampel 20.00, dan juga paling banyak memperoleh serangga hama
yaitu sebanyak 10 genus dengan hama utama yang ditemukan yaitu genus Empoasca.
Hasil analisis regresi antara faktor abiotik dengan jumlah individu serangga nokturnal
tidak memiliki pengaruh dan hubungan antara keduanya.
SARAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat
disarankan yaitu dapat
dilakukan kembali mengenai berbagai warna cahaya biru untuk mengetahui warna mana
yang lebih efektif, serta penggunaan warna cahaya dapat dijadikan sebagai perangkap
dalam pengendalian hama, warna yang dapat digunakan berdasarkan penelitian ini
adalah warna cahaya biru dan putih.
DAFTAR RUJUKAN
Aliani, I. G. (2008). Respon Plutella Xylostella Terhadap Warna Cahaya Pada Areal
Pertanian Kubis (Brassica oleracea L. Var capitata L.) Di Kecamatan
Nongkojajar, Kabupaten Pasuruan. Skripsi diterbitkan. Malang: Universitas
Negeri Malang.
Arsyad, M., Sinaga, B. M., & Yusuf, S. 2011. Analisis Dampak Kebijakan Pajak Ekspor
dan Subsidi Harga Pupuk terhadap Produksi dan Ekspor Kakao Indonesia Pasca
Putaran Uruguay. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian 8(1): 63-71.
Atkins, M. D. 1980. Introduction to Insect Behavior. New York: MarcMillan Publishing
Bhattacharjee, R., & Kumar, P. L. 2007. Chapter 7 Cacao. Research Gate.
Borror, D. J. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Diterjemahkan oleh Gadjah Mada
University. Yogyakarta: UGM Press.
Darmawan, A., Ibrohim, Tuarita, H., Suwono, H., & Susanto, P., 2004. Ekologi Hewan.
Malang: UM Press.
Harmoko, H & Syatrawati. 2012. Inventarisasi Serangga pada Pertanaman Kakao di
Desa Karueng, Kec. Enrekang, Kab. Enrekang. Jurnal Agrosistem (8) 2 : 57-61.
Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Kementrian Pertanian. 2014. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertania Sekretariat
Kementrian
Pertanian
Outlook
Komoditi
Kakao
(online),
(http://pustadin.setjen.pertanian.go.id/), diakses 08 Oktober 2015.
Kementrian Pertanian. 2015. Statistik Perkebunan Indonesia 2013-2015 Kakao. Jakarta
: Direktorat Jenderal Perkebunan.
National Aeronautics and Space Administration. 2016. What Wavelenght Goes With a
Colour ? (online), (http://science-edu.larc.nasa.gov) diakses 22 Februari 2016.
Ruku, S. 2008. Teknologi Pengolahan Biji Kakao Kering menjadi Produk Olahan
Setengan Jadi. Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian. Sulawesi Tenggara :
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.
Sodiq, M. 2009. Ketahanan Tanaman Terhadap Hama. Surabaya: Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran”.
Suharyanto, E. 2014. Diversifikasi Produk Olahan Kakao. Jember : Pusat Penelitian
Kopi dan Kakao Indonesia.
Sustainable Cocoa Production Program. 2012. Penerapan Budidaya Terbaik Tanaman
Kakao. (online), (http://www.swisscontact.org/.pdf), diakses 21 Januari 2016.
United Nations Conference on Trade and Development. 2005. Base on the Data From
International Cacao Organization, Quarterly Bulletin of Cacao Statistics 20042005, (online), (http://www.unctad.org), diakses 11 Februari 2016.
Wardojo, S. 1984. Kemungkinan pembebasan Maluku Utara dari pada masalah
penggerek buah cokelat Acrocercops cramerella Sn. Menara Perkebunan 52:
57-64.
Download