implementasi statuta roma 1998 tentang mahkamah pidana

advertisement
IMPLEMENTASI STATUTA ROMA 1998 TENTANG MAHKAMAH PIDANA
INTERNASIONAL TERHADAP NEGARA YANG DIANGGAP TIDAK MAU
(UNWILLING) DAN TIDAK MAMPU (UNABLE) DALAM PENYELESAIAN
KEJAHATAN INTERNASIONAL
SKRIPSI
Disusun Oleh :
IKBAL TAUFIK
E1A010219
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2015
IMPLEMENTASI STATUTA ROMA 1998 TENTANG MAHKAMAH PIDANA
INTERNASIONAL TERHADAP NEGARA YANG DIANGGAP TIDAK MAU
(UNWILLING) DAN TIDAK MAMPU (UNABLE) DALAM PENYELESAIAN
KEJAHATAN INTERNASIONAL
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Disusun Oleh :
IKBAL TAUFIK
E1A010219
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2015
LEMBAR PENGESAHAN
IMPLEMENTASI STATUTA ROMA 1998 TENTANG MAHKAMAH PIDANA
INTERNASIONAL TERHADAP NEGARA YANG DIANGGAP TIDAK MAU
(UNWILLING) DAN TIDAK MAMPU (UNABLE) DALAM PENYELESAIAN
KEJAHATAN INTERNASIONAL
Disusun Oleh :
IKBAL TAUFIK
E1A010219
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Isi dan Format telah diterima dan disetujui pada tanggal 24 Februari 2015
Para Penguji/Pembimbing
Penguji I,
Pembimbing I,
Penguji II,
Pembimbing II,
Penguji III,
Prof. Dr. Ade Maman S., S.H., M.Sc.
NIP. 19670711 199512 1 001
Dr. Noer Indriati, S.H., M.Hum
NIP. 19600426 198702 2 001
Aryuni Yuliantiningasih, S.H., M.H.
NIP. 19710702 199802 2 001
Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum,
Dr. Angkasa, S.H., M.Hum
NIP. 19640923 198901 1 001
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Saya, yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama
:
IKBAL TAUFIK
NIM
:
E1A010219
JUDUL
:
IMPLEMENTASI STATUTA ROMA 1998 TENTANG
MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL TERHADAP
NEGARA
YANG
DIANGGAP
(UNWILLING)
DAN
TIDAK
DALAM
PENYELESAIAN
TIDAK
MAMPU
MAU
(UNABLE)
KEJAHATAN
INTERNASIONAL.
:
Menyatakan bahwa skripsi yang saya susun adalah hasil karya saya sendiri, tidak
menjiplak hasil karya orang lain, maupun dibuatkan orang lain.
Apabila ternyata saya terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut
diatas, maka saya bersedia bertanggungjawab sesuai ketentuan yang berlaku.
Purwokerto, 24 Februari 2015
IKBAL TAUFIK
NIM. E1A010219
iii
ABSTRAK
Penegakan hukum atas kejahatan internasional, pada dasarnya menjadi
tanggungjawab dari negara yang bersangkutan. Negara ada kalanya dianggap tidak
mau (unwilling), bahkan dianggap tidak mampu (unable) dalam penyelesaian
kejahatan internasional.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kriteria suatu negara dapat dianggap
tidak mau dan tidak mampu, dalam penyelesaian kejahatan internasional. Penelitian
ini juga untuk mengetahui bagaimana implementasi Statuta Roma 1998 tentang
Mahkamah Pidana Internasional, terhadap negara yang dianggap tidak mau dan tidak
mampu. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif, dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan
historis.
Hasil penelitian, bahwa negara yang dianggap tidak mau adalah negara yang
pada dasarnya mampu, tetapi ada upaya untuk melindungi pelaku, penangguhan tidak
dibenarkan, dan tidak independen. Negara yang dianggap tidak mampu adalah negara
yang mengalami keruntuhan sistem hukum nasionalnya baik secara penuh ataupun
substansial. Implementasi Statuta Roma 1998 terhadap Negara Pihak, bisa atas
inisiatif Negara Pihak, Penuntut Umum, dan Dewan Keamanan PBB, sedangkan
terhadap negara bukan pihak dalam Statuta Roma 1998, dapat dengan inisiatif negara
yang bukan pihak dan Dewan Keamanan PBB.
Kata Kunci: Statuta Roma 1998, Kejahatan Internasional, Mahkamah Pidana
Internasional.
iv
ABSTRACT
Enforcement of international crimes, basically be the responsibility of the
state concerned. States are sometimes considered unwilling, even considered unable
in the settlement of international crimes.
The purpose of this study to determine the criteria in which a state can be
considered unwilling and unable, in the settlement of international crimes. This study
was also aimed to find out how the implementation of the Rome Statute of the
International Criminal Court in 1998, against a state that is considered unwilling and
unable. The approach used in this research was normative juridical, with the statute
approach, case approach, and historical approaches.
The results of the study showed that the state that was considered unwilling
was actually a state that was basically were able, however there was not an effort to
protect the perpetrators, the suspension was not justified, and not independent. States
that were regarded unable were the states that had collapsed in the national legal
system either in completely or substantially. Implementation of the Rome Statute in
1998 against the State Party can be initiated by the State Party, the Prosecutor, and
the UN Security Council, while, on the other hand, if implemented against non-Party
states in the Rome Statute of 1998, can be initiated by other non-Party states and also
UN Security Council.
Keywords: Rome Statute of 1998, International Crimes, International Criminal Court.
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim
Puji syukur penyusun panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya, shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW
yang memberikan keselamatan kepada umatnya sampai akhir zaman, sehingga
penyusun
dapat
menyelesaikan
penulisan
hukum
(skripsi)
berjudul:
IMPLEMENTASI STATUTA ROMA 1998 TENTANG MAHKAMAH PIDANA
INTERNASIONAL TERHADAP NEGARA YANG DIANGGAP TIDAK MAU
(UNWILLING) DAN TIDAK MAMPU (UNABLE) DALAM PENYELESAIAN
KEJAHATAN INTERNASIONAL.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Proses
penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, arahan, saran dan kritik dari
berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyusun pada
kesempatan ini akan menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada:
1. Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman, dan Dosen Pembimbing Akademik;
2. Prof. Dr. Ade Maman S., S.H., M.Sc., selaku Kepala Bagian Hukum
Internasional, dan Dosen Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan
bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini;
3. Dr. Noer Indriati, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II yang telah
memberikan bimbingan, arahan, bertukar pikiran dalam penyusunan skripsi ini;
vi
4. Aryuni Yuliantiningasih, S.H., M.H., selaku Dosen Penguji yang telah
memberikan masukan demi penyempurnaan dalam penyusunan skripsi ini;
5. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah
berkontribusi dalam perkembangan pemikiran penyusun;
6. Seluruh staf karyawan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Seodirman;
7. Staf Delegasi Regional ICRC untuk Indonesia dan Timor Leste, dan Staf United
Nations Information Centre Jakarta, yang telah membantu dalam pengumpulan
data untuk penyusunan skripsi;
8. Kedua orang tua dan saudara-saudara penyusun yang In Shaa Allah selalu dalam
kasih sayang Allah SWT, yang selalu memberikan kepercayaan, dorongan, dan
kesabaran dalam setiap keputusan yang diambil oleh penyusun.
9. Seluruh Aktivis UKI (Unit Kerohanian Islam) Fakultas Hukum, UKKI (Unit
Kegiatan Kerohanian Islam), BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Universitas
Jenderal Soedirman, KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia),
Tarbiyah Holic, dan aktivis dakwah kampus pada umumnya, yang telah berproses
bersama.
10. Rekan seperjuangan dalam penyusunan skripsi;
11. Rekan-rekan penyusun yang selalu memberikan motivasi dan dukungan, baik
secara langsung maupun tidak langsung;
12. Pihak-pihak lainnya yang oleh penyusun tidak bisa disebutkan satu persatu;
vii
Penyusun menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna,
mengingat keterbatasan yang dimiliki penyusun. Penyusun berharap semoga tulisan
ini ada manfaatnya bagi kita semua.
Purwokerto, 24 Februari 2015
Penyusun,
IKBAL TAUFIK
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN
HALAMAN JUDUL
.......................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………..
ii
LEMBAR PERNYATAAN ……………………………………….
iii
ABSTRAK …………………………………………………………
vi
ABSTRACT
v
……………………………………………………….
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
…………………………………………….
vi
....................................................................................
ix
BAB I. PENDAHULAUAN
A. Latar Belakang
…………………………………………
1
B. Rumusan Masalah ............................................................
12
C. Tujuan Penelitian ……………………………………….
12
D. Kegunaan Penelitian ……………………………………
12
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Terhadap Hukum Internasional ………
14
B. Kejahatan Internasional/Tindak Pidana Internasional …...
49
C. Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal
Court/ICC) ………………………………………………
ix
56
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
……………………………………
62
…………………………………..
62
……………………………………….
63
D. Sumber Data …………………………………………….
63
E. Metode Pengumpulan Data
…………………………….
64
F. Metode Penyajian Data …………………………………
65
G. Metode Analisis Data
65
B. Spesifikasi Penelitian
C. Lokasi Penelitian
…………………………………..
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kriteria Suatu Negara Dianggap Tidak Mau (Unwilling)
atau Tidak Mampu (Unable) Dalam Penyelesaian
Terhadap Kejahatan Internasional
……………………..
66
B. Implementasi Statuta Roma 1998 Terhadap Negara Yang
Dianggap Tidak Mau (unwilling) atau Tidak Mampu
(unable) …………………………………………………
108
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan
…………………………………………….
124
B. Saran …………………………………………………….
125
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fokus hukum internasional tertuju pada hukum internasional
publik bukan hukum perdata internasional, dimana hukum internasional
publik merupakan kaidah-kaidah atau asas-asas yang mengatur hubungan
antar-negara,
bukan
hubungan
perdata.
Perkembangan
hukum
internasional bukan saja mengatur hubungan antar-negara, tapi mengatur
pula hubungan negara dengan subjek hukum bukan negara, pun subjek
hukum bukan negara dengan subjek hukum bukan negara, sehingga
hubungan internasional yang diatur dalam hukum internasional dalam
perkembangannya tidak hanya dimonopoli oleh negara, tapi oleh subjek
hukum bukan negara. Seperti yang dikemukakan oleh Mochtar
Kusumaatmadja:
Hukum internasional ialah keseluruhan kaidah dan asas yang
mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara
antara:
(1) negara dengan negara
(2) negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek
hukum bukan negara satu sama lain.1
Subjek hukum bukan negara yang dimaksud bisa berbentuk Non
Government
Organization
(NGO’s),
International
Government
Organization (IGO’s), Vatikan/Tahta Suci, International Committee of
1
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional,
Edisi kedua, Alumni, Bandung, hlm. 4.
2
Red Cross (ICRC), Organisasi Pembebasan suatu Bangsa, Individu dan
lain-lain. Perkembangan praktik kontemporer, subjek hukum internasional
yaitu individu, tidak kalah perannya dengan negara berdaulat untuk
mengikatkan diri
dan perannya dalam hukum internasional, sehingga
sangat perlu diatur dalam yurisdiksi hukum internasional.
Pemberlakuan hukum internasional jelas akan berdampingan
bahkan bisa menyebabkan benturan dengan hukum nasional suatu negara,
tentunya keadaan seperti ini dapat dijelaskan dengan meninjau kembali
titik awal pandangan voluntaire dan objektif mengenai hubungan hukum
internasional dan hukum nasional. Pandangan voluntaire
menjelaskan
bahwa berlakunya hukum internasional atas keinginan suatu
negara
sehingga melahirkan teori dualisme dan pandangan objektif bertolak
bahwa berlakunya hukum internasional tidak perlu ada kehendak dari
negara sehingga melahirkan teori monisme. Kedua teori atau faham
tersebut sama kuatnya, dan kedua faham itu tidak luput pula dari
kelemahan yang ada. Perkembangan faham monisme dengan primat
hukum internasional misalnya, khususnya dalam bentuk perjanjian
internasional multilateral yang dibentuk di bawah Perserikatan Bangsabangsa, ketika suatu negara sudah meratifikasi. Ini menjadi hal yang
menarik dimana terbentuk hierarki antara hukum internasional dan hukum
nasional, hukum internasional harus menjadi titik acuan pengaturan dan
penerapan hukum nasional.
3
Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum
internasional, bukan hanya mengatur subjek-subjek hukum dalam keadaan
damai, tetapi juga saat terjadi guncangan dalam hubungan internasional,
sehingga dengan banyak dan semakin kompleksnya kejadian-kejadian
terutama setelah Perang Dunia I dan Perang Dunia II maka masyarakat
internasional merasakan sangat perlu dibentuknya perjanjian internasional
yang menjadi salah satu manifestasi asa dan cita untuk terwujudnya
perdamaian dalam hubungan di ranah nasional dan internasional.
Banyak ilmuwan hukum yang sudah mencoba merumuskan
kaidah-kaidah yang bisa ditaati oleh semua masyarakat internasional,
diawali dengan perumusan perjanjian-perjanjian internasional sebelum
Perang Dunia I. Perjanjian-perjanjian itu tereduksi dengan pecahnya
Perang Dunia I pada tahun 1914, dengan pengalaman ini dibentuklah
LBB dengan convenant atas prakarsa Presiden Amerika Serikat, tapi yang
disayangkan pada saat itu dua kutub kekuatan dunia tidak ikut bergabung,
meski Presiden Amerika sendiri yang menggagas pembentukan Liga
Bangsa-Bangsa.2
Pecahnya Perang Dunia II merupakan simbol kegagalan LBB
dalam menjaga perdamaian dunia, sehingga pada tahun 1946 LBB resmi
bubar. Periode berikutnya yaitu setelah pecahnya Perang Dunia II,
terutama perkembangannya yang difokuskan pada Hukum dan Hak Asasi
Manusia dari tahap preventif dan represif.
2
Sri Setianingsih Suwardi, 2004, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, UI-Press,
Jakarta, hlm. 244.
4
Pelanggaran terhadap hukum terutama Pasca Perang Dunia II
cukup memperlihatkan bahwa penghormatan terhadap kadah-kaidah
hukum internasional sangatlah kurang, terutama yang dicontohkan oleh
negara-negara yang memiliki posisi sentral atau negara-negara yang bisa
diminta pertanggungjawaban pada saat pecahnya Perang Dunia II. Secara
garis besar, negara yang terlibat dalam peperangan tersebut bisa
dikelompokkan menjadi dua kubu, yaitu pertama, kubu yang memiliki
faham fasis dalam praktik berdasarkan tujuh ide pokok, seperti Negara
Jerman, Italia dan Jepang. Ketujuh ide pokok tersebut adalah:
irrasionalisme,
darwinisme
sosial,
nasionalisme,
negara,
prinsip
kepemimpinan, rasialisme (lebih penting dalam sosialisme nasional
dibanding dalam fasisme), anti komunisme.
3
Kedua, kubu negara non
fasis. Negara-negara sekutu yang memiliki faham non fasis adalah Negara
Amerika Serikat, Uni Soviet, Perancis, Inggris dan negara sekutu lainnya.
Dinamika Perang Dunia II bukan hanya berhenti pada saat negara-negara
penganut faham fasis jatuh dalam kekalahan. Kekalahan Jepang ditandai
secara simbolik dengan dijatuhkannya bom atom di Kota Hiroshima dan
Nagasaki, sedangkan kekalahan NAZI Jerman ditandai dengan Jerman
menyerah tanpa syarat, berakhirnya perang di Eropa dan pembebasan
Ghetto Theresienstadt4 pada 7 Mei 1945. Dinamika peristiwa yang paling
bersejarah dan menjadi titik balik dan awal lahirnya prinsip-prinsip hukum
3
Lyment Tower Sargent, Henry Sitanggung (penerjemah), 1984, Ideology-ideologi
Politik Kontemporer: Sebuah Analisis Komparatif, Erlangga, Jakarta, hlm. 156.
4
Stephane Downing, Dwi Ekasari Ariani (penerjemah), 2007, Holocaust; Fakta atau
Fiksi, Media Pressindo, Yogyakarta, hlm. 172.
5
internasional yang baru, sempat menjadi pertentangan di kalangan
masyarakat internasional, yaitu:
1. Munculnya konsep victor’s justice; dimana negara-negara yang kalah
dalam peperangan akan diadili berdasarkan rasa keadilan negaranegara yang menang dalam Perang Dunia II.
2. Mengesampingkan kedaulatan negara untuk melindungi pejabatpejabat yang sedang melaksanakan tugas negara; sehingga timbul asas
pertanggung jawaban individu.
Pertanggungjawaban individu sebelum berakhirnya Perang Dunia
II, tidaklah patut dibenarkan, karena peran individu dalam peristiwa
perang hanya pelaksanaan atas perintah negara, sehingga atas fundamen
kedaulatan negara untuk melindungi individu yang menjalankan tugas
negara, maka individu tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban,
sehingga konsep ketika antar-negara berperang dan berakhir dengan salah
satu pihak negara kalah, maka tidak ada upaya hukum untuk menuntut
salah satu negara tentang tindakannya saat perang berlangsung. Ketentuan
tentang pembedaan combatan dan non combatan sudah lama terdapat
dalam ajaran Agama Islam bahwa dalam keadaan berperang, seorang
pasukan Muslim (combatan) tidak boleh menyerang non combatan dan
tidak boleh merusak bangunan dan tumbuhan.
Pada Agama Yahudi
terdapat ketentuan sebagai berikut:
Orang Yahudi sebagaimana yang terbukti dari buku-buku kuno
mereka antara lain Kitab Perjanjian Lama, sudah mengenal
ketentuan mengenai perjanjian perlakuan terhadap orang asing dan
6
cara melakukan perang. Akan tetapi, dalam hukum perang masih
dibedakan (dalam hukum perang Yahudi ini) perlakuan terhadap
mereka yang dianggap musuh bubuyutan. Terhadap musuh yang
demikian diperbolehkan diadakan penyimpangan dari ketentuan
hukum perang.5
Tindakan yang cukup monumental setelah Perang Dunia II yang dilakukan
oleh Sekutu adalah menghilangkan konsep kedaulatan negara, tentang
perlindungan individu yang sedang menjalankan tugas negara; dalam hal
ini immunitas individu ditanggalkan, sehingga individu dianggap mampu
untuk bertanggung jawab, atas segala tindakan. Tindakan tersebut atas
perintah negara, individu hanya akan dapat sedikit pengurangan hukuman.
Tindakan untuk meminta pertanggungjawaban individu sangat dirasakan
kurang adil bagi negara yang kalah dalam berperang, sekaligus
mematahkan asas umum yang sudah lama diterima oleh negara-negara
berdaulat.
Perubahan prinsip atau asas yang cukup fundamental ini
direpresentasikan dengan pendirian Pengadilan Internasional Nuremberg
dan Pengadilan Internasional Tokyo. Pengadilan Internasional Nuremberg
ini dibentuk untuk mengadili petinggi NAZI Jerman atas dasar crimes
against peace:6
Pada musim panas Tahun 1945, empat negara pemenang perang
dunia yaitu Inggris, Perancis, Amerika Serikat, dan Uni Soviet
melakukan konferensi di London untuk memutuskan dengan cara
apa mereka akan menghukum petinggi NAZI, pelaku kejahatan
perang. Pada akhirnya Negara-negara tersebut membuat
5
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op. Cit., hlm. 27.
Yustina Trihoni Nalesti Dewi, 2013, Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional dan
Hukum Nasional, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 139.
6
7
kesepakatan yang dituangkan dalam London Agreement of 8 Agust
1945 untuk mengadili mereka pada Pengadilan Internasional
Militer melalui ‘the Agreement for the Prosecution and Punistment
of Major War Criminal of the European Axis, and Establishing the
Charter of the Internasional Millitary Tribunal’.7
Pengadilan Internasional Tokyo (Tokyo Tribunal), pada tanggal 19 Januari
1946, berdasarkan pengumuman Jenderal McArthur mengumumkan
pendirian International Military Tribunal for the Far East, dengan
komposisi
hakim 11 orang, ditunjuk oleh Amerika Serikat. Sebagai
akibat: Perang Asia Timur Raya, 1941-1945 M, menjadikan Jepang
berhadapan dengan ABCD Front atau dengan Amerika, Bristish, Cina,
Dutch-Amerika, Inggris, Cina, Belanda dan Australia.8
Victor’s justice yang diusung oleh sekutu setelah Perang Dunia II
berakhir, dan peperangan tersebut dimenangkan oleh Amerika Serikat dan
sekutu. Hal ini cukup membawa tatanan baru atau membentuk precedent,
terhadap praktik internasional, terutama prinsip-prinsip atau asas-asas
hubungan internasional, seperti:
1. Munculnya asas pertanggungjawaban individu (individual criminal
responbility);
2. Penyimpangan asas legalitas (retroaktif).
Asas pertanggungjawaban individu sudah cukup jelas, sedangkan untuk
penyimpangan asas legalitas adalah tindakan atau perbuatan yang
dilakukan atau yang terjadi sebelum adanya kaidah yang mengaturnya,
7
Idem., hlm. 138.
Ahmad Mansyur Suryanegara, 2010, Api Sejarah 2; Buku yang akan Menuntaskan
Kepenasaranan Anda akan Kebenaran Sejarah Indonesia, Salamadani, Bandung, hlm. 12.
8
8
ketika suatu kaidah terkristalisasi dalam bentuk peraturan formal, maka
perbuatan atau tindakan tersebut bisa diadili. Inilah yang menjadi anti tesis
dari asas legalitas, sehingga asas-asas yang lahir dari semangat victor’s
justice, merupakan kehendak dari pemenang Perang Dunia II, bukan suatu
kehendak dari masyarakat internasional.
Abad
20
terjadi
suatu
peristiwa
yang
cukup
membawa
perkembangan pada hukum internasional dan mendorong lahirnya suatu
lembaga yang bersifat mandiri, permanen dan komplementer. Peristiwa
yang dimaksud adalah:
Pertama, dibentuknya The International Criminal Tribunal for the Former
Yugoslavia (ICTY), melalui resolusi Dewan Keamanan PBB, berdasarkan
ketentuan Bab VII yang terdiri dari 13 pasal. Pada esensinya dalam
ketentuan tersebut Dewan Keamanan mempunyai kewenangan secara
preventif dan represif untuk menjaga keamanan dunia, sehingga
pembentukan The International Criminal Tribunal for the Former
Yugoslavia (ICTY) semata-mata pelaksanaan tugas Dewan Keamanan
PBB untuk menjaga keamanan dunia. Hal ini atas tindakan mantan
Presiden Slobodan Milosevic yang dilakukan di dalam wilayah bekas
Yugoslavia, di Republik Krosia, Republik Slovenia, Republik BosniaHerzegovina, dan Republik Serbia, khususnya Provinsi Kosovo yang
berada didaerah Serbia sejak tahun 1991, berupa genoside, crimes against
humanity dan lain-lain. Penegakan hukum atas peristiwa ini dilakukan
sejak tahun 1993 sampai tahun 2008, dimulai dengan investigasi.
9
Pemberlakuan ini cukup lama dikarenakan atas pertimbangan perlunya
restorasi korban-korban yang selamat, dan kesulitan dalam penangkapan
pelaku yang akan diadili di ICTY.9
Kedua, dibentuknya The International Criminal Tribunal for Rwanda
(ICTR), pembentukannya sama dengan The International Criminal
Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY), dibentuk dengan Resolusi
Dewan Keamanan PBB, yang berkedudukan di Arusha, Tanzania.
Peristiwa terjadi pada tahun 1994 dimana kelompok mayoritas etnik Hutu
melakukan pembantaian terhadap kelompok minoritas etnik Tutsi yang
menelan korban jiwa sekitar 800.000 orang. Penyelesaian ini pun
menghabiskan waktu yang cukup lama sampai tahun 2008, dengan dijatuhi
hukuman penjara selama 80 tahun pada Jean Paul Akayesu, mantan
Walikota Taba.10
Kedua peristiwa tersebut memperluas jangkauan (yurisdiksi
territorial) hukum humaniter, dimana pertanggungjawaban tidak hanya
terbatas pada konflik antar negara, tetapi berlaku pula pada konflik internal
(internal conflict). Hal ini sekaligus mendorong Sekjen PBB Kofi Annan,
untuk membentuk lembaga pengadilan pidana internasional yang
permanen dan independen. Di bawah Komisi Hukum Internasional PBB,
pada Konferensi di Roma yang dihadiri 160 negara dan sejumlah
organisasi
9
internasional
non
governmental
organization,
maka
Boer Mauna, 2005, Hukum Internasional; Pengantar Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Edisi kedua, Alumni, Bandung, hlm. 282-289.
10
Ibid.
10
ditandatanganilah Statuta Roma 1998 Tentang International Criminal
Court (ICC). Negara-negara yang hadir menandatangani statuta, dan
terdapat pula negara-negara yang menolak menandatangani, termasuk
Amerika Serikat. Pada akhirnya Amerika Serikat menandatangani pada
saat terakhir penutupan yaitu pada 31 Desember 2000, tapi sampai saat ini
Amerika Serikat termasuk negara yang belum meratifikasi Statuta Roma
1998.
Mahkamah
Court/ICC),
dalam
Pidana
Internasional
ketentuan
Statuta
(International
Roma
1998
Criminal
menyebutkan,
International Criminal Court adalah suatu lembaga pengadilan pidana
internasional yang bersifat permanent, independent, dan complementeir.
Mahkamah ini merupakan manipestasi atas perjuangan masyarakat
internasional untuk mewujudkan suatu mahkamah yang bersifat permanen,
yang dapat mengadili kejahatan-kejahatan yang dianggap berat oleh
masyarakat internasional, atas pengalaman victor’s justice.
Pengadilan ad hoc yang didirikan oleh negara yang menang dalam
peperangan atau negara The Big Five, masih kurang memberikan keadilan
dan rasa kepastian, sehingga dengan dibentuknya International Criminal
Court (Mahkamah Pidana Internasional) ditujukan untuk memenuhi akan
keadilan dan kepastian. Namun demikian berdasarkan ketentuan Article 1
Rome Statute of The International Criminal Court 1998, International
Criminal Court (Mahkamah Pidana Internasional) hanya sebagai
pelengkap yurisdiksi kriminal nasional dari suatu negara. Sehingga
11
International Criminal Court yang diatur dalam Statuta Roma 1998 tidak
melaksanakan yurisdiksinya atas tindak kejahatan internasional yang
dilakukan oleh individu atau warga negara dari suatu negara, ketika
instrumen hukum nasional dari suatu negara tersebut telah ditegakkan.
Penegakan hukum atas kejahatan internasional yang dilaksanakan
oleh suatu negara, ada kalanya negara dianggap tidak mau (unwilling),
bahkan tidak mampu (unable), padahal dalam penegakan hukum atas
kejahatan ini haruslah akuntabel. Dewasa ini International Criminal Court
merupakan suatu mahkamah yang memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan
internasional tetap menjadi perhatian dan pengharapan masyarakat
internasional, ketika suatu negara mengalami keadaan negara dianggap
tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (unable).11
Terbentuknya International Criminal Court pada tahun 1998 dengan Rome
Statute of The International Criminal Court 1998, dan mulai berlaku pada
tanggal 1 Juli 2002 tidak semata-mata menghentikan pelanggaran
kejahatan internasional.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penulis
tertarik untuk menulis persoalan mengenai negara yang dianggap tidak
mampu, tidak mau, dan implementasi Statuta Roma 1998. Adapun judul
yang
dirumuskan
Implementasi
untuk
Statuta
membahas
Roma
1998
persoalan
Tentang
tersebut
adalah:
Mahkamah
Pidana
Internasional Terhadap Negara Yang Dianggap Tidak Mau (Unwilling)
11
Idem., hlm. 297.
12
Dan
Tidak
Mampu
(Unable)
Dalam
Penyelesaian
Kejahatan
Internasional.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah kriteria suatu negara dianggap tidak mau (unwilling) atau tidak
mampu (unable) dalam penyelesaian kejahatan internasional?
2. Bagaimana implementasi Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah
Pidana Internasional terhadap negara yang dianggap tidak mau
(unwilling) atau tidak mampu (unable)?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian hukum ini adalah:
1. Mengetahui kriteria suatu negara bisa dianggap tidak mau (unwilling)
atau
tidak
mampu
(unable)
dalam
penyelesaian
kejahatan
internasional.
2. Mengetahui implementasi Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah
Pidana Internasional terhadap negara yang dianggap tidak mau
(unwilling) atau tidak mampu (unable).
D. Kegunaan Penelitian
Terdapat dua kegunaan dalam penelitian hukum ini, yaitu:
1. Kegunaan Teoritis
a. Meningkatkan wawasan peneliti mengenai perkembangan teori
pertanggungjawaban dalam hukum internasional, khususnya
13
pertanggungjawaban individu
yang masih memiliki hubungan
integral dengan kedaulatan hukum negara.
b. Mengembangkan ilmu hukum khususnya hukum internasional,
pada masa mendatang ketika menjalin hubungan lintas negara.
2. Kegunaan Praktis
a. Sebagai acuan dan perkembangan wacana bagi peneliti lain untuk
melakukan
penelitian
lebih
lanjut,
dikalangan
akademisi,
khususnya mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman.
b. Sebagai tambahan kepustakaan di Pusat Informasi Ilmiah Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman dan Unit Pelayanan
Terpadu Perpustakaan Universitas Jenderal Soedirman.
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Terhadap Hukum Internasional
1. Pengertian Hukum Internasional
Pengertian hukum internasional apabila dicermati dalam
literatur memiliki dua arti, yaitu dalam arti luas dan dalam arti sempit.
Hukum internasional dalam arti luas meliputi hukum internasional
publik dan hukum internasional privat, sedangkan dalam arti sempit
hukum internasional hanya diartikan sebagai hukum internasional
publik. Hukum internasional publik dalam penyebutannya sering
menggunakan redaksi hukum internasional, sedangkan hukum
internasional
privat
biasa
disebut
dengan
hukum
perdata
internasional.12
Sugeng Istanto pun berpendapat bahwa hukum internasional
dalam arti luas terbagi menjadi dua, yaitu hukum internasional dan
hukum perdata internasional. Beliau tidak menyebutkan hukum
internasional publik, tapi langsung menyebutnya dengan istilah hukum
internasional, tapi secara esensi memiliki kesamaan maksud.13
Pendapat Mochtar Kusumaatmadja memiliki perbedaan dari pendapat
sebelumnya, yaitu tidak membagi secara tegas hukum internasional
12
H. M. Isplancius Ismail, 2011, Konsep Dasar Hukum Internasional, UPT. Percetakan
dan Penerbitan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, hlm. 1.
13
Sugeng Istanto, 2010, Hukum Internasional, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hlm.
4.
15
dalam arti sempit dan dalam arti luas, tapi apa yang dimaksud dengan
hukum internasional adalah hukum internasional publik, yang harus
dibedakan dengan hukum perdata internasional.14
Mochtar Kusumaatmadja memberikan pengertian hukum
perdata internasional:
Hukum perdata internasional ialah keseluruhan kaidah dan
asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi
batas negara. Dengan perkataan lain, hukum yang mengatur
hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang
masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang
berlainan.
Sugeng Istanto memberikan pengertian bahwa hukum perdata
internasional adalah kumpulan peraturan atau ketentuan hukum untuk
menyelesaikan masalah antar individu yang pada saat yang sama
tunduk pada yurisdiksi dua sistem hukum atau lebih yang berbeda.15
Selanjutnya menjelaskan bahwa:
Hukum perdata internasional adalah juga bagian dari hukum
antar tata hukum, yakni kumpulan ketentuan hukum yang
menunjuk ketentuan hukum yang berlaku dalam hal suatu
masalah tunduk pada yurisdiksi dua sistem hukum atau lebih
yang berbeda.16
Selain itu sarjana-sarjana hukum juga memberikan pengertian
mengenai apa yang dinamakan dengan hukum internasional publik
atau yang lazim disebut hukum internasional. Mochtar Kusumaatmadja
memberikan pengertian bahwa hukum internasional publik adalah
keseluruhan kaidah atau asas hukum yang mengatur hubungan atau
14
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op. Cit., hlm. 1.
Sugeng Istanto, Loc. Cit.
16
Ibid.
15
16
persoalan yang melintasi batas negara (hubungan atau persoalan
internasional) yang tidak bersifat perdata.17 Hukum internasional
menurut Sugeng Istanto adalah kumpulan ketentuan hukum yang
berlakunya dipertahankan oleh masyarakat hukum internasional.18
Berdasarkan pengertian yang telah dipaparkan di atas, terutama
mengenai pengertian hukum internasional publik dan hukum perdata
internasional yang dipaparkan oleh Mochtar Kusumaatmadja, tampak
persamaan dan perbedaan antara hukum internasional publik atau
hukum internasional dan hukum perdata internasional, dimana
persamaannya adalah kedua bidang hukum ini mengenai persoalan
atau permasalahan yang melintasi batas negara. Perbedaannya terletak
dalam sifat hukum hubungan dan persoalan atau permasalahan yang
menjadi objeknya atau yang diatur oleh hukum tersebut. Pembedaan
seperti ini dirasa sangat tepat, dibanding jika pembedaanya ditekankan
pada pelaku atau subjek hukum, dengan membedakan berdasarkan
bahwa hukum internasional publik merupakan bidang hukum yang
mengatur hubungan antar negara-negara, dan hukum perdata
internasional mengatur tentang hubungan antar individu
atau
perorangan.19
Mochtar
Kusumaatmadja
melakukan
autokritis
terhadap
batasan atau definisi tentang hukum internasional publik bahwa:
17
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op. Cit., hlm. 1-2.
Sugeng Istanto, Loc. Cit.
19
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Loc. Cit.
18
17
Terhadap batasan (definition) hukum internasional (publik)
di atas dapat dikemukakan keberatan bahwa batasan itu tidak
tegas karena didasarkan pada suatu ukuran yang negatif yakni
hubungan atau persoalan internasional yang tidak bersifat
perdata.
Mengapa tidak dengan tegas dikatakan hubungan atau
persoalan hukum antar negara, sehingga sebutan cabang ilmu
hukum ini pun dinamakan saja hukum antarnegara. Lepas dari
persoalan bahwa ukuran publik dalam arti kenegaraan itu
sendiri sering sukar ditetapkan batasan-batasannya yang tegas,
keberatan terhadap batasan demikian ialah bahwa terlalu
terbatas sifatnya.20
Tidak luput untuk menjadi catatan, bahwa hukum internasional
merupakan bagian dari hukum, maka sudah pasti memenuhi unsurunsur hukum, sehingga berlakunya hukum internasional dipertahankan
oleh external power.21
2. Sumber Hukum Internasional
Sumber hukum merupakan suatu istilah yang ambigu, karena
bisa memiliki lebih dari satu makna. Pertama bisa berarti metode
penciptaan hukum, atau norma hukum yang lebih tinggi erat kaitannya
dengan norma hukum yang lebih rendah dalam penciptaanya. Kedua,
dari segi hukum nasional, hukum hanya norma-norma umum dalam
hukum nasional yang seringkali dikenal dengan dua sumber hukum,
yaitu legislasi dan adat, sedangkan dalam segi hukum internasional
tidak mengenal legislasi, hanya mengenal adat dan perjanjian.22
20
Idem., hlm. 2.
Sugeng Istanto, Op. Cit., hlm. 1.
22
Hans Kelsen, 1978, Pure Theory of Law, Terjemahan oleh Raisul Muttaqin, Berkely
University of California Press, California, hlm. 256-257.
21
18
Mengenai
hukum
materiil
dan
formil,
Hans
Kelsen
menyebutkan bahwa dua kategori norma hukum ini biasanya
dibedakan menjadi norma-norma hukum formil dan norma hukum
materiil, yang pastinya norma hukum formil dan norma hukum
materiil berhubungan dengan fungsi ganda yang seharusnya diterapkan
oleh organ pengadilan atau pemerintah. Fungsi ganda tersebut adalah:
pertama, penentuan organ-organ ini dan atas prosedur yang mereka
taati; kedua, penentuan isi dari setiap norma yang mesti ditentukan
atau diciptakan dalam putusan pengadilan atau pemerintah.23
Hukum formil merupakan norma-norma umum yang
mengatur organisasi dan prosedur pengadilan dan otoritas
pemerintah, yakni proses perdata, pidana dan administratif.
Hukum materiil merupakan norma-norma umum yang
menetapkan muatan dari keputusan yudisial dan administratif,
yang disebut hukum perdata, hukum pidana, dan hukum
administratif, kendati norma-norma yang mengatur prosedur
pengadilan hukum dan lembaga administratif juga merupakan
hukum perdata, hukum pidana dan hukum administratif.24
Mochtar Kusumaatmadja dalam buku yang berjudul Pengantar
Hukum Internasional menyampaikan bahwa kata sumber hukum
dipakai dalam beberapa makna. Pertama, perkataan sumber hukum
digunakan untuk mengetahui landasan berlakunya suatu hukum,
sehingga dipergunakan untuk menjawab pertanyaan: apa dasar yang
menjadi kekuatan mengikat suatu hukum (hukum internasional).
Perkataan sumber hukum tersebut memiliki pengertian sumber hukum
dalam arti materiil. Pengertian kedua adalah sumber hukum dalam arti
23
24
Idem., hlm. 253-254.
Idem., hlm. 254.
19
formil, yang mana untuk menjawab pertanyaan: dimanakah dapat
menemukan suatu pengaturan atau ketentuan hukum yang dapat
diterapkan untuk menyelesaikan permasalahan konkret. Beliau
menyampaikan pula arti sumber hukum yang ketiga, yaitu sumber
hukum dalam arti kausal, yaitu penyebab yang turut membantu
terbentuknya suatu kaidah hukum, seperti faktor ekonomi, sosial,
politik, budaya, agama, dan psikologis, atau gejala sosial yang terjadi
di dalam masyarakat.25
Sumber hukum formil dalam bentuk tertulis, menunjuk pada
dua tempat, yaitu Pasal 7 Konvensi Den Haag XII tertanggal 18
Oktober 1907 tentang Pendirian Mahkamah Internasional Perampasan
Kapal di Laut dan Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional. Dua
tempat untuk mendapatkan sumber hukum formil tersebut, Pasal 38
Statuta Mahkamah Internasional yang penting, mengingat Mahkamah
Internasional Perampasan Kapal di Laut tidak pernah terbentuk dalam
kenyataanya,
karena
dipersyaratkan
dalam
tidak
memenuhi
statuta.26
jumlah
Pendapat
ratifikasi
hampir
sama
yang
juga
dikemukakan oleh Yudha Bhakti, yang menurutnya Pasal 38 Statuta
Mahkamah
Internasional
merupakan
sumber
formil
hukum
internasional.27
25
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op. Cit., hlm. 113.
Idem., hlm. 114.
27
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2003, Hukum Internasional; Bunga Rampai, Alumni,
Bandung, hlm. 70.
26
20
Kembali pada pembahasan sumber hukum materiil, J.G. Strake,
dalam buku yang judul aslinya Introduction to International Law,
cukup banyak membahas tentang sumber-sumber material (materiil)
hukum internasional. Sumber-sumber material hukum internasional
dapat diartikan sebagai bahan-bahan aktual dimana seorang ahli
hukum dapat menentukan kaidah hukum yang berlaku dan dapat
diterapkan dalam keadaan konkret.28 Terdapat lima kategori atau
bentuk utama bahan-bahan tersebut:
1.
2.
3.
4.
5.
Kebiasaan
Traktat-Traktat
Keputusan-keputusan Pengadilan atau pengadilan arbitrasi
Karya-karya hukum
Keputusan-keputusan atau penetapan-penetapan organorgan lembaga-lembaga internasional.29
Sumber-sumber yang ditunjuk oleh Statuta Mahkamah
Internasional yang terdapat dalam Pasal 38 (1), adalah:
1. The Court, whose function is to decide in accordance with
international law such disputes as are submitted to it, shall
apply:
a. international conventions, whether general or
particular, establishing rules expressly recognized by
the contesting states;
b. international custom, as evidence of a general practice
accepted as law;
c. the general principles of law recognized by civilized
nations;
d. subject to the provisions of Article 59, judicial decisions
and the teachings of the most highly qualified publicists
28
J. G. Strake, 2008, Pengantar Hukum Internasional 1 ; Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm. 42.
29
Ibid.
21
of the various nations, as subsidiary means for the
determination of rules of law.30
J.G. Starke dalam pandangan teoritisnya memberikan kritik
terhadap ketentuan yang terdapat dalam Pasal 38 (1) Statuta
Mahkamah Internasional, salah satunya mengenai “prinsip-prinsip
umum”. Ketentuan untuk menerapkan prinsip-prinsip umum tersebut,
diinterpretasikan sebagai “menyuarakan lonceng kematian” bagi kaum
positivisme, karena ketentuan tersebut secara jelas dan tegas menolak
konsep dari pemikiran positivis yang luas untuk menganggap bahwa
kebiasaan dan traktat-traktat harus dipandang sebagai sumber hukum
internasional
yang eksklusif. Ketentuan tersebut juga untuk
memecahkan permasalahan non liquet
yang dihadapi, jelasnya
ketidaksediaan Mahkamah Internasional dalam memberikan keputusan
mengingat tidak ada ketentuan atau kaidah yang mengatur hal tersebut.
Pandangan terhadap
hal tersebut dianggap sebagai suatu ketentuan
yang tidak akan menciptakan ketentuan yang baru, kecuali mengenai
hal yang telah dilakukan oleh Mahkamah Internasional dalam
praktiknya, yang telah berlangsung lama.31
Para ahli hukum internasional yang lain pun, khususnya di
Indonesia berbeda pendapat. Sugeng Istanto memberikan definisi
sumber hukum internasional berangkat dari sumber hukum pada
umumnya yang dibagi menjadi dua kategori, yaitu sumber hukum
30
31
Article 38 (1)Statute of the International Court Justice.
J. G. Strake, Op. Cit., hlm. 44-45.
22
formil dan sumber hukum materiil. Definisi sumber hukum formil
berdasarkan sudut pandang sumber hukum pada umumnya adalah
faktor yang menjadikan suatu ketentuan menjadi kaidah hukum atau
ketentuan hukum yang berlaku umum, dengan kata lain suatu proses
yang bisa manjadikan ketentuan menjadi hukum positif. Proses ini
baik melalui perundang-undangan (proses legislasi) atau kebiasaan.
Sumber hukum meteril berdasarkan sudut pandang hukum pada
umumnya adalah faktor yang menentukan ketentuan hukum
yang
berlaku.32
Boer Mauna lebih mengadopsi pendapat dari J.G. Starke, yang
memberikan pengertian sumber-sumber materiil hukum sama dengan
J.G. Starke, yaitu bahan-bahan aktual yang digunakan oleh para ahli
hukum internasional, untuk menetapkan hukum yang berlaku bagi
peristiwa tertentu yang telah terjadi.33
Ketiga pendapat ahli hukum, yaitu J.G. Starke, Sugeng Istanto
dan Mochtar Kusumaatmadja, belum ada kesepahaman mengenai
sumber hukum, terlebih kategori dari sumber hukum dan definisi
masing-masing kategori sumber hukum. Kesamaan antara J.G. Starke,
Sugeng
Istanto
dan
Boer
Mauna
ketika
berpendapat
tidak
menempatkan Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional sebagai
sumber formil atau sumber materiil hukum internasional secara tegas,
tetapi meletakkan Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional
32
33
Sugeng Istanto, Op. Cit., hlm. 15-17.
Boer Mauna, Op. Cit., hal. 8-9.
23
sebagai pendekatan praktis terutama ketika halnya seorang hakim di
Mahkamah Internasional dihadapkan keadaan konkrit diranah hukum
internasional.34 Berbeda dengan Mochtar Kusumaatmadja dan Yudha
Bhakti yang menempatkan secara tegas Pasal 38 (1) Mahkamah
Internasional sebagai sumber formil hukum internasional.35
Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum
internasional yang disebutkan oleh para ahli hukum internasional.
Perjanjian internasional dapat ditinjau dari judul perjanjian atau
nomenklatur yang diberikan, karena menggunakan nomenklatur
tertentu menentukan isi secara materiil atau bobot materiil, tingkatan
dan hubungannya dengan perjanjian internasional lainnya. Berikut
judul perjanjian atau nomenklatur yang biasa dipergunakan dalam
perjanjian internasional:
a. Traktat atau treaty
Traktat adalah bentuk perjanjian internasional yang
mengatur ketentuan atau hal-hal yang sangat penting, sehingga
ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalamnya dapat mengikat
suatu negara secara keseluruhan. Sifat dari perjanjian ini biasanya
multilateral, tetapi karena praktik dimasa lampau ada kebiasaan
34
Ibid., dan Sugeng Istanto, Op. Cit., hlm. 19-20., dan J. G. Strake, 2008, Loc. Cit.
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Loc. Cit., dan Yudha Bhakti
Ardhiwisastra, Loc. Cit.
35
24
untuk menggunakan istilah traktat untuk perjanjian internasional
yang bersifat bilateral.36
I Wayan memberikan definisi pada istilah traktat adalah
perjanjian internasional yang dilaksanakan antara negara, dengan
substansi yang dianggap penting.37
b. Konvensi atau Convention
Perjanjian internasional yang mengatur hal-hal penting,
resmi dan bersifat multilateral. Konvensi dikenal dengan sifatnya
yang law making treaty yaitu sebagai peletak norma-norma hukum
untuk diterapkan dalam masyarakat internasional.38
Konvensi bisa dibentuk oleh negara-negara maupun
lembaga atau organisasi internasional. Umumnya konvensi bersifat
multilateral, tetapi ada pula perjanjian internasional yang bersifat
bilateral dalam praktiknya yang diberi nomenklatur konvensi.39
c. Persetujuan atau Agreement
Agreement merupakan perjanjian internasional yang pada
umumnya penyematanya diletakkan pada perjanjian yang bersifat
bilateral, dengan substansi yang diatur lebih kecil, dari pada treaty
atau konvensi.40
36
Eddy Pratomo, 2011, Hukum Perjanjian Internasional: Pengertian, Status Hukum dan
Ratifikasi, Alumni, Bandung, hlm. 58.
37
I Wayan Parthiana, 2002, Hukum Perjanjian Internasional: Bagian 1, Mandar Maju,
Bandung, hlm. 27.
38
Eddy Pratomo, Loc. Cit.
39
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional: Bagian 1, Op. Cit., hlm. 28-29.
40
Eddy Pratomo, Loc. Cit.
25
I Wayan memberikan pandangan lain terhadap persetujuan, yang
mana istilah persetujuan disamakan artinya dengan istilah
agreement
dan
arrangement.
Persetujuan
(agreement
atau
arrangement) dalam pandangan I Wayan adalah perjanjian yang
jika ditinjau dari segi substansi lebih bersifat teknis dan
administratif,
berbeda
dengan
treaty
dan
konvensi
yang
substansinya lebih besar dan penting, persetujuan yang lingkup
substansinya lebih kecil.41
d. Piagam atau Charter
Piagam atau charter yang istilah ini diambil dari istilah
Magna Charta tahun 1215, merupakan perjanjian internasional
yang digunakan sebagai instrumen internasional untuk berdirinya
suatu
lembaga
atau
organisasi
internasional,42
I
Wayan
menyebutnya dengan konstitusi organisasi internasional.43
e. Protokol atau Protocol
Protokol merupakan perjanjian dengan materi yang lebih
sempit dari traktat atau konvensi.44 I Wayan yang beracuan kepada
pendapat J.G. Starke, mendefinisikan Protokol sebagai perjanjian
internasional yang kurang formal.45 Protokol merupakan instrumen
hukum tunggal yang tujuannya bisa berupa amademen, pelengkap,
bahkan turunan lebih lanjut dari suatu perjanjian internasional yang
41
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional: Bagian 1, Op. Cit., hlm. 32.
Eddy Pratomo, Loc. Cit.
43
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional: Bagian 1, Op. Cit., hlm. 31.
44
Eddy Pratomo, 2011, Op. Cit., hlm. 59.
45
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional: Bagian 1, Op. Cit., hlm. 34.
42
26
telah dibentuk sebelumnya. Terdapat beberapa nomenklatur
protokol, berdasarkan tujuannya, yaitu:
1. Protokol Tambahan (Additional Protocol);
2. Protokol Pilihan (Optional Protocol), dan;
3. Protokol Pelengkap (Supplementary Protocol).46
f. Deklarasi atau declaration
Deklarasi, declaratie atau declaration dalam bahasa
Indonesia diartikan sebagai “pernyataan” atau “pengumuman”.
Deklarasi merupakan suatu kesepakatan antara para pihak yang
masih bersifat umum dan menyatakan hal-hal yang masih pokok,
tetapi deklarasi ada pula yang berbentuk instrumen hukum yang
mengikat yang berisi kaidah-kaidah hukum.47
g. Statuta (Statute)
Statuta biasanya digunakan sebagai konstitusi untuk
berdirinya lembaga atau organisasi internasional, yang berbentuk
perjanjian internasional. Organisasi yang menggunakan istilah ini
adalah lembaga-lembaga peradilan internasional, seperti Statute of
International Court of Justice.48
46
Eddy Pratomo, Loc. Cit.
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional: Bagian 1, Op. Cit., hlm. 29-30.
48
Idem., hlm. 30-31.
47
27
h. Kovenan (Convenant)
Kovenan atau covenant dalam penggunaannya sama dengan
perjanjian
internasional
lainnya,
yang ditunjukkan
sebagai
konstitusi atau fundamen berdirinya lembaga atau organisasi
internasional, seperti statuta dan piagam.49
i. Pakta (Pact)
Perjanjian internasional yang dalam ketentuanya mengatur
dalam bidang militer, pertahanan dan keamanan negara.50
j. Pengaturan atau Arrangement
Perjanjian ini dibentuk untuk melaksanakan hal yang
bersifat teknis dari suatu perjanjian yang sudah ada sebelumnya.51
k. Memorandum
Saling
Pengertian
atau
Memorandum
of
Understanding (MoU)
MoU merupakan bentuk perjanjian internasional yang
memiliki sifat khusus. MoU dalam praktik di negara-negara yang
menganut sistem Common Law, dianggap tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat atau dikenal dengan istilah non legally binding.
Berbeda dengan negara lain yang menganut sistem hukum Anglo
Saxon seperti Indonesia. Negara-negara tersebut menganggap
bahwa MoU merupakan bentuk perjanjian internasional lainnya
yang memiliki kekuatan hukum mengikat, layaknya perjanjian
internasional.
49
Idem., hlm. 31.
Idem., hlm. 33.
51
Eddy Pratomo, Op. Cit., hlm. 60.
50
28
Para ahli berpendapat bahwa pengadaan MoU merupakan
upaya dari para pihak untuk menghindari bentuk perjanjian
internasional lainnya seperti agreement yang lebih bersifat formal
dan mengikat, yang pada dasarnya pertimbangan ini lebih kepada
sifat politis.52
l. Modus Vivendi
Merupakan kesepakatan sementara yang digunakan oleh
para pihak sebagai instrumen informal. Setelah terdapat instrumen
tersebut biasanya ditindaklanjuti dengan
instrumen berupa
perjanjian internasional yang lebih formal dan permanen.53
m. Agreed Minutes atau Summary Record atau Record of Discussion
Nomenklatur ini digunakan dalam hal tercapainya suatu
kesepakatan sementara atau akhir dari suatu pertemuan antara
perwakilan dari lembaga-lembaga pemerintah, dimana pertemuan
tersebut memang bersifat teknis. Bentuk konkritnya dapat berupa
rekaman pembicaraan pada saat pertemuan antara perwakilan dari
para pihak, baik dari kunjungan yang bersifat formal, pun informal.
Rekaman
tersebut
merupakan
bagian
dari
perundingan-
perundingan tentang masalah atau suatu hal yang sedang
dirundingkan.54
52
Idem., hlm. 59.
Idem., hlm. 60.
54
Ibid.
53
29
n. Process Verbal
Istilah
penyimpanan
yang
digunakan
naskah
untuk
pengesahan
mencatat
perjanjian
pertukaran,
internasional,
kesepakatan hal-hal yang bersifat teknis administratif, bahkan
perubahan-perubahan kecil dalam suatu persetujuan.55
o. Pertukaran Nota Diplomatik atau Exchange of Notes
Pertukaran nota diplomatik merupakan suatu kesepahaman
antar Negara untuk menyampaikan atau pemberitahuan resmi
posisi pemerintahan mengenai suatu permasalahan tertentu.
Kesepahaman ini akan menjadi suatu perjanjian internasional jika
dikehendaki oleh para pihak dengan menuangkannya dalam bentuk
Exchange of Notes/Letters Constitute Treaty/Agreement.56
p. Concordat
Perjanjian internasional khusus yang diadakan antara Tahta
Suci Vatikan dengan negara lain di bidang keagamaan.57
3. Subjek Hukum Internasional
Subjek hukum internasional awalnya adalah negara, dengan
dasar pemikiran hanya negara lah yang berdaulat dan mampu
mengikatkan
diri
dalam
hukum
internasional.
Perkembangan
selanjutnya bukan hanya negara yang mampu dan/atau berkepentingan
55
Idem., hlm. 60-61.
Idem., hlm. 60.
57
Idem., hlm. 61.
56
30
untuk mengikatkan diri dalam hukum internasional, tapi mulai
bermunculan subjek hukum baru.58
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, subjek hukum internasional
terdiri dari:
(1) Negara;
(2) Tahta Suci;
(3) Palang Merah Internasional;
(4) Organisasi Internasional;
(5) Orang perorangan;
(6) Pemberontak dan pihak dalam sengketa (belligerent). 59
Menurut I Wayan Parthiana, yang menyebutkan bahwa subjek
hukum internasional terdiri dari:
(1) Negara;
(2) Organisasi internasional (antar-negara atau antar
pemerintah);
(3) Palang Merah Internasional;
(4) Vatikan atau Tahta Suci;
(5) Organisasi pembebasan atau bangsa-bangsa yang sedang
memperjuangkan hak-haknya;
(6) Kaum belligerensi;
(7) Wilayah Perwalian;
(8) Individu;
(9) Organisasi internasional non-negara atau non-pemerintah;
(10)Perusahaan transnasional atau perusahaan multinasional. 60
Tiga subjek hukum internasional yang memilki hubungan erat
dengan rumusan masalah yang diangkat adalah negara, individu, dan
hlm. 87.
58
I Wayan Parthina, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung,
59
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op. Cit. hlm. 98-110.
I Wayan Parthina, Pengantar Hukum Internasional, Op. Cit., hlm. 88.
60
31
organisasi internasional. Ketiga subjek hukum internasional tersebut
agaknya perlu untuk dijabarkan lebih lajut.
a. Negara
1. Asal mula negara
Pembahasan ini menurut Soehino perlu meninjau pendapat
beberapa ahli filsafat, mengingat pendangan para ahli filsafat
mengenai asal mula negara akan sangat berbeda interpretasinya
antar ahli filsafat yang satu dengan yang lainnya, tergantung
dari aliran filsafat apa yang dianutnya.61
Menurut
R.
Krenenburg,
negara
merupakan
suatu
organisasi kekuasaan yang telah diciptakan oleh bangsa,
sehingga dalam pandangannya bangsa terlebih dahulu ada
dalam suatu waktu dan tempat, lalu berkehendak untuk
menciptakan suatu negara atau organisasi kekuasaan. Uraian ini
menunjukkan bahwa adannya sekelompok manusia yang
disebut bangsa, ditempatkan dalam posisi primer, dan negara
yang dibentuk berdasarkan kehendak dan untuk kepentingan
suatu bangsa, ditempatkan pada posisi sekunder.62
Pendapat Logemann mengenai negara, meskipun memiliki
aliaran filsafat
yang sama dengan
Kranenburg, tetapi
Logemann berpendapat bahwa negara merupakan suatu
organisasi kekuasaan yang menghimpun dan menyatukan
61
62
Soehino, 2005, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, hlm. 146.
Idem., hlm. 142.
32
kelompok
individu
menjadi
suatu
bangsa.
Logemann
berperspektif bahwa organisasi kekuasaan yaitu negara
memiliki
kedudukan
sekelompok
manusia
yang
bersifat
atau
bangsa
primer,
sedangkan
bersifat
sekunder.63
Perbedaan pendapat antara sarjana atau ahli filsafat yang masih
memiliki pangkal teori yang sama, yaitu teori modern, tidak
lain karena perbedaan pengertian dengan apa yang dimaksud
dari bangsa. Kranenburg memberikan pengertian bahwa bangsa
harus diartikan secara ethnologis, seperti Bangsa Jawa, Sunda,
Marin, dan lain-lain. Logemann memberikan pengertian bahwa
bangsa merupakan rakyat dari suatu negara.64
2. Kedaulatan negara
Jean Bodin memberikan definisi dan sifat-sifat dari
kedaulatan. Menurutnya kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi
untuk menentukan hukum yang berlaku dalam suatu negara,
dan kedaulatan memiliki sifat tunggal, asli, abadi, dan tidak
dapat dibagi-bagi. Rumusan yang diberikan Jean Bodin
mengenai kedaulatan mendapatkan tanggapan, bahwa rumusan
yang diberikannya sudah irrelavan dengan perkembangan
sekarang, mengingat rumusan yang diberikan Jean Bodin hanya
berdasarkan tinjauan souvereiniteit merupakan
hubungan
dalam negeri saja. Secara tegas Jean Bodin tidak menjelaskan
63
64
Idem., hlm. 143.
Ibid.
33
apakah rumusan yang diberikannya berlaku dalam negeri atau
luar negeri terutama ketika suatu negara melakukan hubungan
dengan negara lain.65
3. Hakikat negara menurut hukum internasional
Negara dalam hukum internasional merupakan salah satu
subjek hukum internasional, yang dimasukkan pula kepada
subjek utama hukum internasional. Negara tidak dapat
didefinisikan
secara
tepat,66
bahkan
Sugeng
Istanto
berpandangan belum terdapat kesepakatan tentang perumusan
arti dari negara.
J.G. Starke menjelaskan karakteristik-karakteristik utama
dalam sebuah negara, dengan beracuan pada Konvensi
Montevideo 1933 tentang Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban
Negara. Isi dari Konvensi Montevideo 1933 Pasal 1
menyebutkan bahwa negara memiliki syarat-syarat yaitu:
a. penduduk yang tetap;
b. wilayah tertentu;
c. pemerintahan;
d. kemampuan untuk melakukan hubungan-hubungan
dengan negara lain.67
65
Idem.,hlm. 151.
J. G. Strake, Op. Cit., hlm. 127.
67
Ibid..
66
34
Syarat dalam ketentuan huruf (d) Pasal 1 Konvensi
Montevideo 1933 merupakan syarat yang paling penting dalam
hukum
internasional.
Hal
ini
dikarenakan
negara
dipersyaratkan harus memiliki kemampuan untuk mengadakan
hubungan ekternal dengan negara-negara lain dan menjadi
wujud pribadi subjek hukum internasional yang utama.68 Ini
yang membedakan negara dalam arti pribadi subjek hukum
internasional yang utama yang sesungguhnya, dengan unit-unit
lain seperti negara-negara anggota dalam sutu negara federasi
dan negara-negara yang berada di bawah perlindungan
(protektorat) negara lain yang tidak mengurus kepentingan
ekternalnya dengan negara lain secara mandiri.69
4. Hak dan kewajiban negara
Hak-hak dan kewajiban negara yang berhubungan dengan
kedudukannya terhadap negara lain, terdiri dari:
a. Hak kemerdekaan
b. Hak kesederajatan
c. Hak mempertahankan diri
d. Kewajiban tidak melakukan perang
e. Kewajiban
melaksanakan
perjanjian
internasional
dengan itikad baik
hlm. 80.
68
Idem., hlm. 128., dan I Wayan Parthina, Pengantar Hukum Internasional, Op. Cit.,
69
J. G. Strake, Op. Cit., hlm. 128.
35
f. Kewajiban untuk tidak mencampuri urusan negara
lain.70
b. Organisasi internasional
Hubungan yang terjadi antar masyarakat tidak hanya dalam
batas teritorial, karena dalam perkembangannya hubungan tersebut
terjadi melewati batas teritorial negara. Peristiwa-peristiwa yang
berdampak tidak hanya pada satu negara pun banyak terjadi, yang
menyebabkan negara-negara dalam keadaan yang komplek harus
bekerja sama untuk mencapai tujuan dan kepentingan yang sama,
sehingga memerlukan pengaturan. Pengaturan tersebut salah
satunya dengan dibentuknya medium bagi negara-negara yaitu
organisasi internasional.71
1. Pengertian dan klasifikasi organisasi internasional
Para sarjana hukum internasional tidak memberikan definisi
secara limitatif terhadap organisasi internasional,72 karena
belum terdapat kesepakatan.73 Jadi terkadang para sarjana atau
ahli hukum internasional hanya memberikan ilustrasi tentang
elemen-elemen yang memberikan fundamen pada organisasi
internasional.74
internasional
70
Berbeda
lainnya
dengan
yang
tidak
para
sarjana
hukum
memberikan
definisi
Sugeng Istanto, Op. Cit., hlm. 44-47.
Sri Setianingsih Suwardi, Op. Cit., hlm. 1-3.
72
Ade Maman Suherman, 2003, Organisasi Internasional dan Integrasi Ekonomi
Regional; dalam Persfektif hukum dan globalisasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 45.
73
Sri Setianingsih Suwardi, Op. Cit., hlm. 4.
74
Ade Maman Suherman, Loc. Cit.
71
36
organisasi internasional, J. Pareira Mandalangi memberikan
definisi organisasi internasional sebagai berikut: organisasi
internasional memiliki arti ganda, yaitu arti secara luas dan arti
secara sempit. Arti organisasi internasional secara luas adalah
setiap organisasi
yang melintasi territorial atau batas-batas
negara, baik organisasi yang bersifat publik maupun privat,
sedangkan arti organisasi internasional secara sempit hanya
tertuju pada organisasi yang bersifat publik.75
Banyak ahli atau sarjana di bidang hukum internasional,
memberikan klasifikasi terhadap organisasi internasional,
seperti Schermer dan Sri Setianingsih Suwardi. Schemer
mengklasifikasikan organisasi internasional menjadi empat
berdasarkan stuktur dan fungsi, yaitu:
1) Organisasi internasional publik dan organisasi internasional
privat;
2) Organisasi internasional yang bersifat universal dan
organisasi bersifat tertutup;
3) Organisasi antar pemerintah dan organisasi supranasional;
4) Organisasi fungsional dan organisasi umum.76
75
76
Idem., hlm. 48-49.
Idem., hlm. 54-57.
37
Berbeda dengan Sri Setianingsih yang memberikan lima
klasifikasi organisasi internasional berdasarkan kebutuhan dan
peninjauan organisasi tersebut terdiri dari:
a) Organisasi permanen dan tidak permanen
b) Organisasi internasional publik dan organisasi internasional
privat
c) Organisasi universal dan organisasi tertutup
d) Organisasi supranasional
e) Organisasi berdasarkan fungsinya.77
2. Hubungan organisasi internasional dan hukum internasional
Organisasi internasional merupakan salah satu masyarakat
hukum internasional, sehingga tatanan hukum internasional
akan berlaku terhadap organisasi internasional. Hubungan
organisasi internasional dengan hukum internasional, akan
lebih tertuju pembahasan kepada kedudukannya dalam hukum
internasional.78 Berikut kedudukan organisasi internasional
dalam tata hukum internasional:
1. Berkedudukan sebagai subjek hukum internasional
2. Membantu dalam pembentukan hukum internasional
3. Sebagai forum atau medium dalam memecahkan masalah
yang dihadapi anggotanya
77
78
Sri Setianingsih Suwardi, Op. Cit., hlm. 21-35.
Idem., hlm. 7.
38
4. Sebagai alat pemaksa supaya kaidah hukum internasional
ditaati.79
3. Keanggotaan
Organisasi internasional dalam instrumen dasarnya atau
konstitusi yang menjadikan organisasi internasional berdiri
akan memuat ketentuan mengenai keanggotaan.80 Berikut hal
yang
biasanya
ditekankan
dalam
konstitusi
organisasi
internasional:
1. Penggolongan keanggotaan
Keanggotaan
organisasi
internasional
dibagi
menjadi tiga golongan berdasarkan hak-hak yang dimiliki
dalam organisasi internasional terdiri dari:
a. Full members (anggota penuh) yaitu anggota yang akan
berpartisifasi dalam setiap kegiatan dan tentunya
memiliki hak penuh di organisasi internasional.
b. Associate atau affiliate members yaitu anggota yang
dapat berpartisifasi tetapi tidak memiliki hak memilih.
c. Partial members yaitu anggota yang hanya mengikuti
kegiatan tertentu saja.81
Berbeda dengan pendapat Sri Setianingsih yang membagi
keanggotaan menjadi empat golongan, menjadi:
79
Idem., hlm. 8-20.
Idem., hlm. 39.
81
Ade Maman Suherman, Op. Cit., hlm. 62.
80
39
a. Full members (keanggotaan penuh).
b. Associate members (keanggotaan luar biasa).
c. Partial members (keanggotaan sebagian).
d. Affiliate members (keanggotaan afiliasi).82
Perbedaannya, bahwa pendapat dari Sri Setianingsih
membedakan penggolongan dari affiliante members dan
associate members, sedangkan pendapat sebelumnya
berpendapat bahwa affiliante members dan associate
members merupakan satu kesatuan.
Selain penggolongan di atas, keanggotaan dalam
organisasi internasional dapat pula ditinjau mulai efektifnya
suatu Negara menjadi anggota, yaitu:
a. Original members (anggota asli)
Anggota yang diundang dalam konferensi-konferensi
pembentukan rancangan anggaran dasar, dan negara
yang ikut serta biasanya dicantumkan namanya dalam
annex anggaran dasar organisasi internasional.
b. Admitted members (anggota lainnya)
Anggota yang masuk setelah berdirinya organisasi
internasional, sesuai dengan ketentuan yang tercantum
dalam anggaran dasar.83
82
Sri Setianingsih Suwardi, Loc. Cit.
40
Pemenuhan dan pemberian hak dan kewajiban anggota
tidak terdapat perbedaan sama sekali.84
2. Prinsip-prinsip keanggotaan
Prinsip dari keanggotaan organisasi internasional
beracuan terhadap fungsi dan tujuan didirikan organisasi
internasional.
Organisasi
internasional
universal
dan
terbatas tentunya memiliki prinsip-prinsip keanggotaan
yang berbeda. Organisasi internasional universal pada
prinsipnya tidak membedakan latar belakang pemerintahan,
ekonomi dan lain-lain, sedangkan organisasi internasional
terbatas pada prinsipnya menekankan syarat-syarat tertentu
terhadap anggotanya, yaitu:
a. Keadaan yang
berdasarkan pada kedekatan letak
geografis, tetapi sering pula berdasarkan politis.
b. Keanggotaan berdasarkan kepentingan yang hendak
dicapai.
c. Keanggotaan berdasarkan sistem pemerintahan tertentu
ataupun sistem ekonomi tertentu.
d. Keanggotaan berdasarkan pada persamaan agama,
budaya, etnis dan latar belakang atau pengalaman
sejarah.
40.
83
Ade Maman Suherman, Op. Cit., hlm. 63., dan Sri Setianingsih Suwardi, Op. Cit., hlm.
84
Ade Maman Suherman, Loc. Cit.
41
e. Keanggotaan berdasarkan penerapan hak-hak asasi
manusia.85
3. Persyaratan keanggotaan
Syarat keanggotan dari organisasi internasional satu
sama lain dapat berbeda pula, karena syarat anggota
ditentukan dalam anggaran dasar organisasi internasional.86
PBB misalnya,
dalam Pasal 4 (1) Piagam Perserikatan
Bangsa-bangsa 1945, menetapkan persyaratan bagi negara
yang akan menjadi anggota harus cinta damai, menerima
kewajiban yang terdapat dalam Piagam Perserikatan
Bangsa-bangsa 1945, sanggup dan bersedia melaksanakan
kewajiban-kewajiban tersebut.87
4. Prosedur penerimaan anggota
Penerimaan
keanggotaan
dalam
organisasi
internasional merupakan tindakan bilateral, di satu sisi
adalah organisasi internasional dan di sisi lain adalah
negara yang menurut konstitusinya sah untuk mengikuti
organisasi internasional.88 Pada umumnya terdapat dua
prosedur untuk ikut serta sebagai anggota dalam organisasi
internasional, yaitu:
85
Sri Setianingsih Suwardi, Op. Cit., hlm. 46-47.
Idem., hlm. 49-50.
87
Boer Mauna, Op. Cit., hlm. 471.
88
Sri Setianingsih Suwardi, Op. Cit., hlm. 56.
86
42
1. Negara yang hendak menjadi anggota mengajukan
permohonan.
2. Negara telah meratifikasi anggaran dasar dari organisasi
internasional dimana negara tersebut akan menjadi
anggota.89
Prosedur penerimaan anggota yang lebih rinci, biasanya
ditentukan masing-masing dalam anggaran dasar organisasi
internasional.90
5. Berhentinya keanggotaan
Berakhirnya
keanggotaan
dalam
organisasi
internasional dapat dengan dua cara, pertama dengan
mengundurkan diri, baik dengan ketentuan konstitusi
ataupun tanpa ketentuan konstitusi. Negara yang akan
keluar, berapa hari sebelumnya harus memberitahukan,
karena setelah waktu tertentu pernyataan keluarnya suatu
negara akan berlaku efektif. Kedua, diberhentikan dari
organisasi internasional, karena biasanya telah melakukan
pelanggaran yang berat dan sifatnya destruktif terhadap
organisasi internasional, bahkan organisasi internasional
tidak
bisa
memberlakukan
terhadapnya
prosedur
suspension. Bahkan jika dalam anggaran dasar organisasi
89
90
Idem., hlm. 57.
Idem., hlm. 63.
43
internasional tidak menentukan cara mengeluarkan secara
paksa negara anggota, biasanya dalam praktik Negaranegara lain dalam satu organisasi yang sama akan
melakukan penekanan-penekanan terhadap negara yang
melakukan pelanggaran.91
Selain
dua
prosedur
di
atas,
berakhirnya
keanggotaan negara dalam organisasi internasional bisa
pula diakibatkan karena bubarnya organisasi internasional
dimana negara tersebut menjadi anggota. 92
4. Keputusan-keputusan organisasi internasional
Organisasi internasional dalam menjalankan fungsinya
yang terdapat dalam anggaran dasar akan memiliki dua sifat
kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat intern dan kegiatan yang
bersifat
ekstern.
Pertama,
kegiatan
intern
organisasi
internasional dapat berupa mengeluarkan keputusan-keputusan
untuk mengatur anggota-anggota dari organisasi internasional
sebagai
pelaksanaan
kewenangannya.93
Kedua,
kegiatan
ekstern organisasi internasional dapat dilihat dari kebijaksanaan
atau hubungan-hubungan organisasi internasional dengan
organisasi internasional lain, atau organisasi internasional
dengan negara lain. Hubungan ektern tersebut dapat berwujud
sebagai berikut:
91
Idem., hlm. 63-72., dan Ade Maman Suherman, Loc. Cit.
Sri Setianingsih Suwardi, Op. Cit., hlm. 73.
93
Idem., hlm. 191-192.
92
44
a. Rekomendasi
Organisasi internasional melalui organ atau alat
pelengkapnya mengeluarkan rekomendasi sebagai usul
yang tidak mengikat, sedangkan istilah lain yang sering
digunakan adalah opinion (pendapat) atau advice (nasihat).
Rekomendasi dalam beberapa organisasi internasional
lainnya disebut juga dengan resolusi. Rekomendasi pada
umumnya ditunjukkan kepada negara yang menjadi
anggota dari organisasi internasional tersebut, tetapi tidak
menutup kemungkinan rekomendasi ditunjukkan pula
terhadap organ/alat perlengkapan organisasi internasional,
bahkan terhadap organisasi internasional lainnya.94
b. Konvensi
Konvensi telah dibahas sebelumnya dalam sumbersumber hukum internasional, tetapi dalam pembahasan ini
perlu ditekankan kembali, bahwa perjanjian yang bersifat
multilateral dan mengikat ini dalam perumusannya di
organisasi internasional universal, sering mengundang
negara yang bukan bagian dari organisasi internasional,
mengingat
94
Idem., hlm. 193-194.
instrumen
yang
dikeluarkan
organisasi
45
internasional akan mempunyai peran dalam orde hukum
dalam organisasi internasional.95
c. Deklarasi
Deklarasi merupakan instrumen yang dikeluarkan
untuk melakukan klarifikasi terhadap fakta-fakta atau
keadaan yang perlu adanya penerapam hukum. Deklarasi
tidak ditunjukkan untuk mengubah hukum, tetapi dalam
praktiknya deklarasi merupakan bentuk kodifikasi terhadap
kebiasaan-kebiasaan
internasional,
sehingga
berlaku
mengikat. Perlu dijadikan perhatian bahwa deklarasi
mengikat jika di dalamnya terdapat asas-asas hukum.96
d. Peraturan yang mengikat
Keputusan
mengikat
secara
ekternal
yang
dikeluarkan oleh organisasi internasional hanya mungkin
terjadi jika memang dalam anggaran dasar organisasi
internasional tersebut menentukan hal tersebut. Keputusan
organisasi internasional dapat berlaku jika memang
ditunjukkan kepada negara atau kepada individu, juga
organisasi internasional dalam mengeluarkan keputusan
yang berlaku umum.97
95
Idem., hlm. 200-203.
Idem., hlm. 197-198.
97
Idem., hlm. 203-205.
96
46
5. Pendirian dan pembubaran organisasi internasional
Syarat-syarat pendirian organisasi internasional yang
dikembangkan dari unsur-unsur perjanjian internasional yang
tertera dalam Konvensi Wina 1969, sebagai berikut:
1. Dibuat oleh negara sebagai para pihak dalam perjanjian.
2. Berdasarkan perjanjian tertulis.
3. Untuk tujuan tertentu
4. Terdapat organ atau alat perlengkapan.
5. Yang dijadikan dasar adalah hukum internasional.98
Penutupan organisasi apabila tugas dan fungsi dari
organisasi sudah terpenuhi, sedangkan penggantian apabila
organisasi internasional lain telah mengambil alih tugas dan
fungsi
organisasi
sebelumnya.
Metode
pembubaran
organisasi internasional secara umum dapat berupa:
1. berdasarkan
ketentuan
konstitusi
organisasi
internasional.
2. berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam traktat lain.
3. ketentuan rapat atau kongres Majelis Umum.
4. perjanjian dengan organisasi internasional lainnya.
5. ketidakaktifan organisasi internasional.
6. terjadinya amademen konstitusi.
7. adanya perubahan keadaan.
98
Ade Maman Suherman, Op. Cit., hlm. 61-62.
47
8. conclusion.99
c. Individu
Individu merupakan salah satu subjek hukum internasional
yang mulai banyak mendapat perhatian, semenjak kemunculannya
sebagai subjek pasca Perang Dunia II.
Kedudukan individu sebagai subjek hukum
internasional kini sudah tidak perlu diragukan lagi. Pada
masa awal pertumbuhan hukum internasional, individu
hanyalah sebagai subjek hukum nasional, sedangkan
subjek hukum internasional -bahkan satu-satunya- adalah
negara. Ada pendapat bahwa individu hanya dapat
bertindak dalam level internasional apabila sudah
mendapat ijin atau persetujuan dari negaranya sendiri. Jadi
menurut pandangan ini, negara itulah yang sebenarnya
merupakan subjek hukum internasional. Namun dalam
perkembangan hukum dan masyarakat internasional,
ternyata individu mulai menampakkan kemunculannya
sebagai subjek hukum internasional. Individu dalam kasuskasus tertentu, sudah tampil secara mandiri sebagai subjek
hukum internasional. Hukum internasional sudah
memberikan hak-hak dan memikulkan kewajibankewajiban berdasarkan hukum internasional secara
langsung kepada individu. Demikian pula individu dapat
dimintakan pertanggungjawaban secara langsung atas
tidakan-tindakannya yang diduga merupakan pelanggaran
atas kaidah-kaidah hukum internasional.100
4. Hubungan Hukum Nasional dan Hukum Internasional
Tidak bisa dihindari bahwa dalam hubungan internasional
berlaku maka perlu memperhatikan adanya dua sistem hukum, yaitu
sistem hukum nasional dan internasional, mengingat hubungan antara
dua sistem hukum ini terutama dalam mengatur eskalasi hubungan
99
Idem., hlm. 63-67.
I Wayan Parthina, Pengantar Hukum Internasional, Op. Cit., hlm. 141.
100
48
internasional. Menurut Mochtar Kusumaatmadja untuk menjawab hal
ini perlu meninjau kembali dua pandangan berikut, yaitu voluntaire
dan objektivis.
Pandangan yang berbeda ini membawa akibat yang berbeda
pula karena sudut pandangan yang pertama akan
mengakibatkan adanya hukum internasional dari hukum
nasional sebagai dua satuan perangkat hukum yang hidup
berdampingan dan terpisah, sedangkan pandangan objektivis
menganggapnya sebagai dua bagian dari satu kesatuan
perangkat hukum. Erat hubungannya dengan apa yang
diterangkan tadi ialah persoalan hubungan hirarki antara kedua
perangkat hukum itu, baik merupakan dua perangkat hukum
yang masing-masing berdiri sendiri maupun dua perangkat
hukum yang pada hakikatnya merupakan bagian dari satu
keseluruhan tata hukum yang sama.101
Menurut paham dualisme yang bersumber pada teori bahwa daya ikat
hukum internasional bersumber pada kemauan negara, hukum
internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau
perangkat hukum yang terpisah satu dari yang lainnya.102
Pandangan dualisme ini mempunyai beberapa akibat yang
penting. Salah satu akibat pokok yang terpenting ialah bahwa
kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin
bersumber atau berdasar pada perangkat hukum yang lain.
Dengan perkataan lain, dalam teori dualisme tidak ada tempat
bagi persoalan hirarki antara hukum nasional dan hukum
internasional karena pada hakikatnya kedua perangkat umum
ini tidak saja berlainan dan tidak bergantung satu sama lainnya
tapi juga lepas satu dari yang lainnya.103
Padangan monisme melahirkan dua pandangan turunan, dan
paham monisme beranggapan.
101
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op.Cit., hlm. 56.
Idem., hlm. 57.
103
Idem,. hlm. 58.
102
49
Paham monisme didasarkan atas pemikiran kesatuan dari
seluruh hukum yang mengatur hidup manusia. Dalam rangka
pemikiran ini hukum internasional dan hukum nasional
merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar
yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Akibat
pandangan monisme ini ialah bahwa antara dua perangkat
ketentuan hukum ini mungkin ada hubungan hirarki. Persoalan
hirarki antara hukum nasional dengan hukum internasional ini
melahirkan beberapa sudut pandangan yang berbeda dalam
aliran monisme mengenai masalah hukum manakah yang
utama dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum
internasional ini. Ada pihak yang menganggap bahwa dalam
hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional
yang utama ialah hukum nasional. 104
B. Kejahatan Internasional/ Tindak Pidana Internasional
Beberapa literatur tidak memberikan pembedaan pada istilah
kejahatan internasional dan tindak pidana internasional, hal ini lebih
kepada kebiasaan para sarjana hukum dalam penyebutannya.105
1. Definisi Kejahatan Internasional/ Tindak Pidana Internasional
Definisi tindak pidana internasional berdasarkan putusan
Peradilan Tindak Pidana Perang di Amerika Serikat dalam
kasus
Hostages adalah tindakan yang secara universal dianggap tindak
pidana, yang memberi dampak yang besar dan menjadi perhatian
serius masyarakat internasional, sehingga terhadap tindak pidana
tersebut berlaku hukum nasional atau hukum negara tersebut, dapat
berlaku pula yurisdiksi hukum negara-negara lain
104
dan yurisdiksi
Idem,. hlm. 60-61.
Oentoeng Wahjoe, 2011, Hukum Pidana Internasional; Perkembangan Tindak Pidana
Internasional dan Proses Penegakannya, Erlanggga, Jakarta, hlm. 31, dan Romli Atmasasmita,
2000, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika Aditama, Bandung, hlm. 5.
105
50
universal.106 M. Cherif Bassiouni memberikan definisi terhadap
kejahatan internasional atau tindak pidana internasional sebagai
kejahatan yang telah ditetapkan dalam perjanjian internasional yang
bersifat multilateral dan diikuti oleh negara-negara, yang mana dalam
ketentuan perjanjian internasional tersebut terdapat salah satu dari
sepuluh karakteristik tindak pidana internasional.107 Bryan A. Garner
memberikan definisi bahwa kejahatan internasional sebagai kejahatan
terhadap hukum internasional, pertama merupakan suatu tindakan
kejahatan berdasarkan perjanjian internasional di bawah hukum
internasional dan kebiasaan internasional
yang mengikat langsung
terhadap individu tanpa memerlukan legitimasi dari hukum nasional.
Kedua, dalam ketentuan hukum internasional mengharuskan
suatu
tindakan untuk dilaksanakan penuntutan dengan alasan bahwa
tindakan-tindakan tersebut merupakan tindakan yang dapat dipidana
atas dasar yurisdiksi universal.108
Istilah-istilah dalam menyebutkan kejahatan internasional,
memiliki konsekuensi arti yang berbeda. Berbeda dengan istilah tindak
pidana internasional dan tindak kejahatan internasional memiliki arti
yang sama. Berikut istilah yang memiliki konsekuensi arti yang
berbeda:
106
Oentoeng Wahjoe, Op. Cit., hlm. 27.
Idem., hlm. 31., dan Eddy O.S. Hiariej, 2009, Hukum Pidana Internasional, Erlangga,
Jakarta, hlm. 46.
108
Oentoeng Wahjoe, Op. Cit., hlm. 46.
107
51
1. Istilah kejahatan internasional atau international crime
Kejahatan internasional adalah tindakan atau perilaku yang
berdasarkan ketentuan perjanjian internasional
internasional
dimasukkan
ke
dalam
atau kebiasaan
kualifikasi
kejahatan
internasional. Perlu menjadi perhatian pula, bahwa istilah kejahatan
internasional atau international crime memiliki definisi
yang
meliputi international crimes stricto dan international crimes largo
sensu.
2. Istilah international crimes stricto sensu
Interpretasi international crimes stricto sensu secara harfiah
adalah kejahatan-kejahatan dalam arti sempit, yang berarti
kejahatan-kejahatan tersebut adalah kejahatan yang menjadi
yuridiksi materiil dari Mahkamah Pidana Internasional.
3. Istilah international crimes largo sensu
Istilah ini memiliki arti kejahatan internasional dalam arti
luas, tidak hanya kejahatan yang termasuk ke dalam yurisdiksi
materiil Mahkamah Pidana Internasional, tetapi juga kejahatankejahatan internasional lainnya.
4. Istilah transnational crimes
Istilah yang dikemukakan oleh Philip Jessup pertama kali
dalam agenda United Nations Convention Against Transnational
Crimes, yang pada dasarnya istilah ini digunakan ketika
52
berhubungan
dengan
yurisdiksi
negara
menghadapi
suatu
kejahatan, baik yurisdiksi yang bersifat mandatory dan non
mandatory.109 Seperti pendapat Romli yang dikutif oleh Eddy O.S.
Hiariej:
Yurisdiksi yang bersifat mandatory hanya diberlakukan
terhadap kejahatan yang terjadi dalam wilayah suatu
negara, sedangkan yurisdiksi yang bersifat non mandatory
diberlakukan untuk kejahatan terhadap korban warga
negara dari negara yang bersangkutan, kejahatan yang
dilakukan oleh warga negara yang bersangkutan atau
stateless dan kejahatan yang dilakukan di luar batas
wilayah negara yang bersangkutan tetapi dipandang sebagai
dilakukan di wilayah negara yang bersangkutan.110
M. Cherif Bassiouni melakukan penelitian terhadap 315
konvensi yang di dalamnya terdapat ketentuan atau mengatur
tentang tindak pidana internasional, terkait definisi tindak pidana
internasional.
Konklusi
penelitian
Bassiouni
bahwa
suatu
perbuatan melawan hukum dapat dikategorikan sebagai tindak
kejahatan atau tindak pidana internasional apabila memenuhi
faktor:
1. Perbuatan itu melanggar kepentingan internasional yang
sangat signifikan;
2. Perbuatan tersebut melanggar nilai-nilai bersama yang
terdapat dalam masyarakat internasional;
109
110
Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., hlm. 46-47.
Ibid.
53
3. Perbuatan tersebut melintasi batas territorial suatu
negara, baik hal itu disebabkan karena pelaku, korban,
bahkan perbuatan itu sendiri.111
2. Karakteristik Kejahatan Internasional
Definisi sebelumnya mengenai kejahatan internasional menurut
pendapat M. Cherif Bassiouni, bahwa kejahatan internasional tersebut
dirumuskan dalam perjanjian internasional yang bersifat multilateral,
dan di dalam perjanjian internasional tersebut (konvensi) salah satu
dari sepuluh karakteristik pidana. Definisi kejahatan internasional
menurut pendapat M. Cherif Bassiouni, terutama pada kalimat terakhir
yang menyatakan sepuluh karakteristik pidana,112 dimana sepuluh
karakteristik pidana tersebut atau ciri-ciri tindak pidana internasional
adalah:
1. Adanya pengakuan secara eksplisit bahwa bahwa tindakantindakan tersebut merupakan tindakan pidana, tindakan pidana
internasional, dan di bawah pengaturan hukum internasional.
2. Adanya pengakuan secara implisit
terhadap sifat-sifat tindak
pidana dengan menentukan dan melakukan penerapan kewajiban
untuk melarang, menuntut, mencegah, menjatuhkan pidana dan
lain-lain.
3. Kriminalisasi atau pemberian sifat pidana terhadap tindakantindakan tertentu.
111
112
Oentoeng Wahjoe, Op. Cit., hlm. 27-28.
Romli Atmasasmita, Op. Cit., hlm. 37.
54
4. Adanya kewajiban atau hak untuk melakukan penuntutan.
5. Kewajiban atau hak untuk menjatuhkan pidana terhadap tindakan
tertentu.
6. Kewajiban atau hak untuk melakukan ekstradisi.
7. Kewajiban
atau hak untuk
melakukan kerjasama dalam hal
penuntutan, penjatuhan pidana, bahkan proses judisiil dan lain-lain.
8. Penetapan dasar-dasar yurisdiksi kriminal.
9. Melakukan
dukungan
atau
referensi
dalam
pembentukan
Mahkamah Pidana Internasional atau tribunal.
10. Penghapusan
akan
alasan-alasan
perintah
atasan
dalam
menjalankan tugas.113
Kesembilan karakteristik atau ciri tindak pidana internasional
merefleksikan bahwa adanya peran negara yang cukup luas dalam
perkembangannya maupun dalam penegakannya, hanya karakteristik
kesepuluh lah negara tidak memainkan peranannya.114 Romli
Atmasasmita
mengemukakan
pandangan
terhadap
sepuluh
karakteristik pidana tersebut, yang menurutnya masih memiliki
kelemahan-kelemahan
yang
berarti
dalam
penegakan
hukum
internasional terhadap kejahatan internasional yang terjadi. Salah satu
kelemahannya yaitu kesepuluh karakteristik penal tindak pidana
113
Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., hlm. 52-53., Romli Atmasasmita, Op. Cit., hlm. 37-38.,
dan Oentoeng Wahjoe, Op. Cit., hlm. 31.
114
Oentoeng Wahjoe, Ibid.
55
internasional, tidak melihat Negara sebagai suatu yang memiliki batasbatas teritorial.115
3. Persyaratan Tindak Pidana Internasional
Terdapat tiga persyaratan suatu tindak pidana dapat dikategorikan
ke dalam tindak pidana internasional menurut pendapat M. Cherif
Bassiouni, yaitu:
1. memiliki unsur internasional
kejahatan yang dimaksud mengancam
atau dapat
mengancam secara langsung ataupun tidak langsung keselamatan
dan keamanan manusia secara keseluruhan. Selain itu kejahatan
yang dilakukan telah bertentangan dengan hati nurani dan nilainilai yang dianut oleh umat manusia pada umumnya.
2. memiliki unsur transnasional
Tindak pidana yang terjadi mempengaruhi lintas teritorial
negara dalam hal keselamatan umum maupun bidang ekonomi,
termasuk melibatkan warga negara yang lebih dari satu negara dan
menggunakan sarana dan prasarana yang berasal dari lebih satu
negara.
3. memiliki unsur keharusan.
Tindak kejahatan internasional yang menjadi perhatian
masyarakat internasional, karena dalam rangka pemberantasan
maka diperlukan kerjasama lintas negara. Hal ini disebabkan tindak
115
Romli Atmasasmita, Op. Cit., hlm. 38.
56
kejahatan internasional tersebut merupakan delicto jus gentium.
Negara diwajibkan terhadap tindak kejahatan internasional yang
berkarakter
demikian,
dilakukan
penangkapan,
penuntutan,
penjatuhan hukuman dan lain-lain dimanapun tindakan tersebut
terjadi.116
C. Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC)
Pada bulan Juli 1998 masyarakat internasional mencatat suatu
peletakan instumen hukum dalam rangka pembentukan lembaga
internasional yang sangat penting, yaitu dengan berdirinya Mahkamah
Pidana Internasional, melalui Rome Statute of The International Criminal
Court
1998.
Suatu
lembaga
yang
sifatnya
berbeda
dengan
mahkamah/pengadilan-pengadilan ad hoc sebelumnya, Mahkamah Pidana
Internasional ini bersifat permanen.117
Mahkamah
Pidana
Internasional
(International
Criminal
Court/ICC) memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang ditentukan dalam
Pasal 5 ayat 1 Statuta Roma 1998, yang redaksi lengkapnya sebagai
berikut:
The jurisdiction of the Court shall be limited to the most serious
crimes of concern to the international community as a whole. The
Court has jurisdiction in accordance with this Statute with respect
to the following crimes:
(a) The crime of genocide;
(b) Crimes against humanity;
(c) War crimes;
116
Oentoeng Wahjoe, Op. Cit., hlm. 30.
Arlina Permanasari, dkk., 2005, Pengantar Hukum Humaniter, International
Committee of Red Cross, Jakarta, hlm. 190-191.
117
57
(d) The crime of aggression.118
Statuta Roma 1998 juga menentukan bahwa Mahkamah Pidana
Internasional memiliki asas-asas sebagai berikut:
a. Prinsip Komplementer
Tercantum secara tegas dalam Mukadimah Statuta Roma
tentang Mahkamah Pidana Internasional 1998, bahwa Statuta
ini hanya sebagai pelengkap yurisdiksi pidana hukum nasional.
Pasal 1 Statuta Roma 1998 merupakan penegasan bahwa
adanya statuta tidak semata-mata menggantikan sistem pidana
nasional yang ada. Hal ini sebagai perwujudan penghargaan
terhadap kedaulatan Negara dan pengharapan masyarakat
internasional untuk ikut membantu mendorong pembentukan
dan penerapan sistem hukum pidana nasional terhadap
kejahatan-kejahatan yang menjadi perhatian dunia.119
b. Prinsip Penerimaan
Prinsip ini menunjukkan bahwa statuta merujuk kepada
hubungan komplek antara sistem hukum nasional dengan
Mahkamah
Pidana
Internasional.
Mahkamah
Pidana
Internasional tidak dapat menerima jika dalam keadaan:
1. sedang dilaksanakannya sistem hukum nasional untuk
memeriksa dan mengadili oleh negara setempat, kecuali
negara tersebut dianggap unable atau unwilling.
118
119
Article 5 (1) Rome Statute of The International Criminal Court 1998.
Boer Mauna, Op. Cit., hlm. 297.
58
2. telah dilaksanakannya penyelidikan oleh negara setempat
dan negara setempat tidak berkehendak untuk mengajukan
tuntutan terhadap individu yang bersangkutan, kecuali
disebabkan oleh faktor ketidaksediaan atau ketidakmauan
negara.
3. individu yang bersangkutan telah dipidana atas dasar
tindakan sama yang menjadi dasar tuntutan dari Mahkamah
Pidana Internasional.
4. tindak pidana
yang ringan untuk ditangani Mahkamah
Pidana Internasional.
Ketentuan-ketentuan di atas semata-mata untuk mengurangi
bahkan menghapus konsep immunitas individu.120
c. Prinsip Otomatis
Statuta
secara
otomatis
akan
berlaku
jika
pelanggaran terhadap ketentuan atau tindak pidana
terjadi
yang
tercantum dalam statuta, tanpa harus menunggu persetujuan
dari negara pihak. Mahkamah pidana internasional dapat
menerapkan yurisdiksinya apabila:
1. Kejahatan tersebut terjadi di negara pihak;
2. Pelaku kejahatan berasal dari negara pihak.
120
Idem., hlm. 297-298.
59
Bagi negara yang bukan anggota atau pihak dari statuta,
baginya
dapat
berlaku
yurisdiksi
Mahkamah
Pidana
Internasional melalui pernyataan penerimaan yurisdiksi oleh
negara non pihak statuta untuk kasus per kasus.121
d. Ratione Temporis (yurisdiksi temporal)
Mahkamah Pidana Internasional merupakan lembaga yang
prospektif, sehingga terhadap para pihak dalam lembaga ini
tidak berlaku asas retroaktif terhadap tindakan-tindakan
kejahatan yang lampau. Jadi mahkamah hanya memiliki
yurisdiksi terhadap tindak kejahatan yang terjadi setelah negara
pihak meratifikasi dan tanggal aktif dari statuta.122
e. Nulum Crimen Sine Lege
Asas dalam statuta ini diadopsi dari asas hukum pidana
umum,
dimana
tidak
ada
seorangpun
dapat
diminta
pertanggungjawabanya, apabila pada saat seorang tersebut
melakukan tindakan pidana, tindak pidana tersebut bukan
bagian dari yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional.123
121
Idem., hlm. 298-299.
Idem., hlm. 299.
123
Idem., hlm. 299-300.
122
60
f. Prinsip ne bis idem
Seorang tidak dapat dituntut kembali atas tindakan yang
telah diputus oleh mahkamah, baik itu putusan pidana atau
putusan bebas dari mahkamah.124
g. Prinsip Yurisdiksi Teritorial (ratione loci)
Mahkamah Pidana Internasional akan memberlakukan
yurisdiksinya atas kejahatan-kejahatan yang terjadi di negara
pihak statuta, tanpa memandang kewarganegaraan dari pelaku
tindak pidana.125
h. Tanggung Jawab Pidana Secara Individual
Yurisdiksi mahkamah terhadap individu-individu, kapasitas
dari individu tersebut sebagai natural persons. Seseorang yang
melakukan tindakan kejahatan dapat dihukum berdasarkan
ketentuan yang terdapat dalam statuta, yang pertanggung
jawabannya
atas pribadi seseorang, bukan pertanggung
jawaban negara.126
i. Prinsip Praduga Tak Bersalah
Setiap orang dianggap tidak bersalah sampai adanya
putusan dari mahkamah yang menyatakan bahwa orang yang
diduga melakukan tindak pidana tersebut bersalah, sehingga
124
Idem., hlm. 300.
Ibid.
126
Ibid.
125
61
organ atau perlengkapan organisasi harus memperlakukan dan
menganggap orang tersebut tidak bersalah.127
j. Veto Dewan Keamanan Untuk Menghentikan Penuntutan.
Ketentuan Pasal 16 Statuta Roma 1998 menyebutkan
bahwa Dewan Keamanan berdasarkan Bab VII Piagam PBB,
dapat mengeluarkan resolusi untuk memberhentikan atau
menangguhkan penyidikan dan penuntutan di Mahkamah
Pidana Internasional. Penangguhan tersebut dapat diperbaharui
oleh Dewan Keamanan secara terus menerus 128
127
128
Idem., hlm. 301.
idem., hlm. 297-301.
62
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Penelitian yuridis normatif ini menggunakan tiga pendekatan, yang
terdiri dari pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan
kasus (case approach), dan pendekatan historis (historical approach).
Ketiga pendekatan tersebut memiliki pengertian sebagai berikut:
(1) Pendekatan undang-undang (statute approach)
Dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.129
(2) Pendekatan kasus (case approach)
Dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang
berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.130
(3) pendekatan historis (historical approach)
Dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan
perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi.131
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian adalah penelitian deskriptif (descriptive
research).132 Penelitian deskriptif adalah penelitian untuk melukiskan
129
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hlm. 93.
Idem., hlm. 94.
131
Ibid.
130
63
tentang sesuatu hal di daerah tertentu dan pada saat tertentu, dengan
ketentuan peneliti sudah memegang data awal.133
C. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman, Unit Pelayanan Terpadu Perpustakaan
Universitas Jenderal Soedirman, Delegasi Regional ICRC untuk Indonesia
dan Timor Leste, dan United Nations Information Centre Jakarta.
D. Sumber Data
Ada tiga katagori jenis data yang digunakan, yaitu:
Pertama, data primer; data yang dimaksud di sini adalah data yang
diperoleh peneliti dari hasil wawancara langsung dengan narasumber yang
memiliki ikatan atau kompetensi langsung atau pengetahuan dengan objek
yang diteliti. Interviewer bertatap muka langsung dengan narasumber
untuk menanyakan perihal pribadi narasumber, fakta-fakta yang ada dan
pendapat (opinion) maupun persepsi diri narasumber dan bahkan saransaran narasumber tentang objek yang diteliti.134 Data primer akan
digunakan sebagai pendukung data sekunder.
Kedua, data sekunder; data yang dimaksud di sini adalah bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Bahan-bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif
atau lebih mempunyai otoritas, seperti perundang-undangan, risalah dalam
hlm. 7.
132
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Sinar Grafika, Jakarta,
133
Idem., hlm.8-9.
Idem., hlm. 57.
134
64
pembuatan perundang-undangan dan keputusan majelis hakim. Bahanbahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum bisa
berupa buku-buku teks tentang hukum, karya ilmiah, penelitian-penelitian
terdahulu, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan
pengadilan atau suatu perkara.
135
Terakhir bahan hukum tersier adalah
bahan yang memberikan penjelasan atau petunjuk terhadap bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus-kamus, ensiklopedia,
indek komulatif dan situs internet.
Ketiga, data tersier atau yang disebut oleh Peter Mahmud dengan
istilah bahan non-hukum, adalah bahan yang bersifat multidisipliner yang
bisa membantu memecahkan dan menjadi dasar perkembangan ilmu
hukum.136 Data tersier sama dengan data sekunder, yaitu digunakan
sebagai pendukung data sekunder.
E. Metode Pengumpulan Data
Data primer didapatkan dengan wawancara terhadap narasumber.
Data sekunder (bahan hukum primer, sekunder, dan tersier), pengumpulan
data dilakukan dengan studi kepustakaan atau dokumen yang bisa
dilakukan dengan inventaris peraturan perundang-undangan, perjanjian
internasional, buku, abstrask dan lain-lain, sedangkan terhadap data tersier
atau bahan non-hukum didapatkan dengan menginventarisir bahan-bahan
yang bersifat multidisipliner, seperti buku-buku.
135
136
Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., hlm. 141.
Idem., hlm. 163-164.
65
F. Metode Penyajian Data
Data yang diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk teks naratif,
uraian-uraian yang disusun secara sistematis, logis dan rasional yang
didahului dengan pendahuluan
yang berisi latar belakang, tujuan
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan diteruskan dengan hasil
penelitian dan pembahasan-pembahasan serta diakhirI dengan simpulan,
yang disajikan secara sistematis sehingga menjadi satu kesatuan yang
utuh, saling berhubungan dan berurutan.
G. Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan adalah normatif kualitatif, yaitu
penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang
dialami oleh subjek penelitian, misalnya: perilaku, persepsi motivasi,
tindakan dan lain-lain secara holistik, dan dengan cara diskripsi dalam
bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan
manfaatnya dari berbagai metode ilmiah.
66
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kriteria Suatu Negara Dianggap Tidak Mau (Unwilling) atau Tidak
Mampu (Unable) Dalam Penyelesain Kejahatan Internasional
Pembentukan
mahkamah-mahkamah
internasional
untuk
menyelesaikan kejahatan internasional yang oleh masyarakat internasional
dianggap sebagai kejahatan internasional serius, memiliki sejarah yang
cukup panjang. Ditinjau berdasarkan waktu dan pembentukannya maka
mahkamah-mahkamah internasional yang telah berhasil dibentuk, dibagi
menjadi empat masa, yaitu: masa Pra-perang Dunia II; masa Mahkamah
Nuremberg
dan
Mahkamah
Tokyo;
masa
Mahkamah
Rwanda
(International Criminal Tribunal for Rwanda/ ICTR) dan Mahkamah eksYugoslavia
(International
Criminal
Tribunal
for
the
former
Yugoslavia/ICTY); masa Mahkamah Pidana Internasional (International
Criminal Court/ICC).137
Pertama, masa Pra-perang Dunia II. Pada masa ini gagasan
pembentukan mahkamah-mahkamah internasional untuk mengadili pelaku
kejahatan internasional sudah dibentuk, meskipun umumnya masyarakat
internasional beranggapan bahwa International Military Tribunal for
Nuremberg/IMTN sebagai peletak dasar, bagi pembentukan mahkamah
kejahatan internasional dalam sejarah moderen. Pada masa Pra-perang
137
Arie siswanto, 2005, Yurisdiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional, Ghalia
Indonesia, Bogor, hlm. 1.
67
Dunia II, seperti yang dikemukakan oleh Sharp dan dikutip oleh Arie
Siswanto dalam buku yang
berjudul Yurisdiksi Material Mahkamah
Kejahatan Internasional, pendapat Sharp juga dikutif dalam artikel Muladi
yang berjudul Peradilan Hak Asasi Manusia dalam Konteks Nasional dan
Internasional. Mahkamah yang pertama kali dibentuk pada tahun 1474,
dimana mahkamah ini mengadili Sir Peter von Hagenbach di Breisach,
Austria,
atas
kejahatan
yang dilakukannya
berupa pembunuhan,
pemerkosaan, keterangan palsu dan kejahatan lain terhadap hukum Tuhan
dan hukum manusia terhadap penduduk sipil, semasa pendudukan militer
yang dilakukannya dalam rangka paksaan untuk tunduk terhadap
kekuasaan Duke Charles di Burgundy. Sir Peter von Hagenbach atas
perbuatannya diadili oleh 28 hakim dari negara-negara yang berada di
bawah Kekaisaran Romawi Suci (The Holy Roman Empire), melalui
Mahkamah ini Sir Peter von Hagenbacht diberikan hukuman dengan
ditanggalkannya status kebangsawanannya dan dihukum mati.138
Berbeda dengan pendapat M. Cherif Bassiouni, menurutnya
mahkamah untuk pelaku kejahatan internasional didirikan pertama kalinya
untuk mengadili Conradin von Höhenstaufen pada tahun 1268 di Naples,
Italia. Conradin von Höhenstaufen dianggap melancarkan perang yang
138
Idem., hlm. 1-2., dan Muladi, Peradilan Hak Asasi Manusia dalam Konteks Nasional
dan Internasional, http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar/Pengadilan%20ham%20dalam%
20konteks%20nasional%20dan%20internasional%20-%20muladi.pdf, diakses pada tanggal 21
Oktober 2014.
68
tidak dibenarkan (unjust war). Mahkamah yang mengadili Conradin von
Höhenstaufen menjatuhkan hukuman mati.139
Perspektif sejarah modern, mahkamah internasional yang dibentuk
sebagai
upaya
internasional
untuk
mengadili
kejahatan-kejahatan
internasional, direpresentasikan dengan pembentukan Peradilan Leizig.
Peradilan ini dibentuk pada akhir Perang Dunia I, sebagai upaya untuk
mengadili penjahat perang dari pihak yang kalah dalam Perang Dunia I.
Peradilan Leizig merupakan upaya Jerman untuk tidak menyerahkan para
tersangka dari pihak jerman, sebagai pihak yang kalah dalam perang
kepada pihak Sekutu untuk diadili. Berdasarkan ketentuan Perjanjian
Versailles tahun 1919 (The Treaty of Peace Between the Allied
and
Associated Power and Germany) bahwa Jerman sebagai pihak yang kalah
dalam Perang Dunia I, harus menyerahkan para tersangka penjahat perang
terhadap sekutu. Jerman dalam pelaksanaan menolak untuk menyerahkan
896 tersangka, dengan dalih akan mengadilinya sendiri dalam Peradilan
Leizig. Dari 896 tersangka, hanya empat puluh lima yang hendak diadili
Jerman, sedangkan yang benar-benar dihadapkan ke pengadilan dari empat
puluh lima, hanya dua belas tersangka. Akhirnya Peradilan Leizig
memutuskan bahwa enam orang tersangka bebas, dan enam orang
tersangka lainnya dijatuhi hukuman yang sangat ringan.140
Kedua, pada masa Mahkamah Nuremberg dan Mahkamah Tokyo.
Mahkamah Nuremberg yang memiliki nama resmi International Military
139
Arie Siswanto, Op. Cit., hlm. 2., dan Artikel Wikipedia tentang Conradin, http://
en.wikipedia.org/ wiki/Conradin, diakses pada tanggal 21 Oktober 2014.
140
Arie Siswanto, Loc. Cit.
69
Tribunal for Nuremberg (IMT Nuremberg),141 yang dibentuk untuk
mengadili
para
penjahat
perang
NAZI,
Jerman.142
Berdasarkan
pengalaman sebelumnya yaitu pada saat berakhirnya Perang Dunia I,
maka para Sekutu berusaha merumuskan model pengadilan atau
mahkamah kejahatan internasional yang berbeda supaya bisa mengadili
secara langsung di bawah Sekutu, terhadap penjahat perang NAZI,
Jerman. Berdasarkan pembicaraan antara negara Sekutu yang dilakukan di
Moscow
dan
London
pada
tahun
1942-1943,
akhirnya
Sekutu
menyepakati Piagam London pada tanggal 8 Agustus 1945.143 Piagam
London atau Yustina Trihoni Nalesti Dewi menyebutnya London
Agreement, merupakan instrumen hukum internasional untuk mengadili
para penjahat perang NAZI, Jerman, Melalui Mahkamah Internasional
Militer. Nama lengkap Agreement tersebut yaitu The Agreement for the
Prosecution and Punisment of Major War Criminal of the European Axis,
and Establising the Charter of the International Military Tribunal. Perlu
ditekankan juga dalam Agreement tersebut juga termuat Statute of the
Nuremberg sebagai dasar pelaksanaan dari Mahkamah Internasional
Militer.144
Yurisdiksi kejahatan dalam Mahkamah Nuremberg mencakup tiga
jenis kejahatan yaitu: kejahatan terhadap perdamaian (crimes against
peace), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan terhadap
141
Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Op. Cit., hlm. 137.
Arlina Permanasari, dkk., Op. Cit., hlm. 184.
143
Arie Siswanto, Op. Cit., hlm. 3.
144
Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Op. Cit., hlm. 138-139.
142
70
kemanusian (crimes against humanity).145 Tiga jenis kejahatan yang
terdapat dalam Piagam Nuremberg dan menjadi yurisdiksi atas kejahatan
yang akan ditangani oleh Mahkamah Nuremberg merupakan hal yang
perlu dicermati, karena dua dari tiga jenis kejahatan substantif tersebut,
merupakan kejahatan yang tidak pernah dinyatakan dalam hukum
internasional sebelumnya. Dua kejahatan substatif yang baru dimunculkan
melalui Piagam Nuremberg tersebut yaitu: kejahatan terhadap perdamaian
(crimes against peace) dan kejahatan terhadap kemanusian (crimes against
humanity).146 Berikut ketentuan Pasal 6 Piagam Nuremberg:
The following acts, or any of them, are crimes coming within the
jurisdiction of the Tribunal for which there shall be individual
responsibility:
(a) Crimes Against Peace: namely, planning, preparation,
initiation or waging of a war of aggression, or a war in violation of
international treaties, agreements or assurances, or participation
in a common plan or conspiracy for the accomplishment of any of
the foregoing;
(b) War Crimes: namely, violations of the laws or customs of war.
Such violations shall include, but not be limited to, murder, illtreatment or deportation to slave labor or for any other purpose of
civilian population of or in occupied territory, murder or illtreatment of prisoners of war or persons on the seas, killing of
hostages, plunder of public or private property, wanton destruction
of cities, towns or villages, or devastation not justified by military
necessity;
(c)Crimes Against Humanity: namely, murder, extermination,
enslavement, deportation, and other inhumane acts committed
against any civilian population, before or during the war; or
persecutions on political, racial or religious grounds in execution
of or in connection with any crime within the jurisdiction of the
Tribunal, whether or not in violation of the domestic law of the
country where perpetrated.147
145
Arlina Permanasari, dkk., Op. Cit., hlm. 185.
Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Op. Cit., hlm. 139.
147
Article 6 Charter of the International Military Tribunal 1945. https://www.unimarburg.de/icwc/dateien/imtcenglish.pdf, diakses pada tanggal 22 Oktober 2014.
146
71
Terdapat empat orang hakim dan empat orang hakim pengganti
pada Mahkamah Nuremberg, yang berasal dari negara-negara yang
menyusun Piagam Nuremberg, yaitu:
Francis Biddle, John Parker
(Amerika Serikat), Lord Justice Geoffrey Lawrence, Justice Norman
Birkitt (Inggris), Prof. Donnedieu de Vabres, Judge R. Falco (Perancis),
I.T. Niktchenko, Maj. Gen, A.F. Volchkof, Lt. Col (Uni Soviet). Adapun
mengenai penuntut atau prosecutor di Mahkamah Nuremberg ada empat
chief prosecutor
yang masing-masing berasal dari keempat negara
tersebut di atas. 148
Mahkamah ini berhasil mengadili 21 orang Jerman, dari berbagai
kalangan, mulai dari pengusaha senior, pejabat militer, diplomat, hingga
orang yang melakukan propaganda, 12 orang diantaranya dijatuhi
hukuman mati. Mereka semua didakwa karena memulai perang tidak sah
dan kejahatan perang lainnya.149 Tindakan genosida
yang dilakukan
terhadap orang-orang yahudi, karena dalam Piagam Nuremberg tidak
terdapat terminologi genosida, maka penjahat NAZI didakwa dengan
crimes against humanity.150 Berbeda dangan Arie Siswanto, yang
menyebutkan bahwa Mahkamah Nuremberg berhasil mengadili 24
tersangka dari penjahat NAZI, Jerman.151
Sementara itu pada tanggal 19 Januari 1946, berdasarkan deklarasi
Komandan Tertinggi Pasukan Sekutu di Timur Jauh, Jenderal Douglas
148
Arlina Permanasari, dkk, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, internasional Commitee
of Red Cross, Jakarta, hlm. 186-187.
149
Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Op. Cit., hlm. 140.
150
Idem., hlm. 139.
151
Arie Siswanto, Op. Cit., hlm. 2.
72
MacArthur, didirikan Mahkamah Penjahat Perang Tokyo atau mahkamah
ini memiliki nama resmi International Military Tribunal for the Far
East/IMTFE (Mahkamah Militer Internasional untuk Timur Jauh), atau
masyarakat internasional biasa menyebutnya dengan Tokyo Tribunal
(Mahkamah Tokyo). Setelah deklarasi dilaksanakan oleh Jenderal Douglas
MacArthur maka disusunlah draft piagam oleh Amerika Serikat dengan
mengacu pada Piagam Nuremberg.152 Terdapat perbedaan dalam
pembentukan antara Piagam Nuremberg dan Piagam Tokyo. Draft Piagam
Nuremberg disusun dalam medium konferensi internasional oleh negaranegara sekutu yang menang dalam Perang Dunia II, sedangkan draft
Piagam Tokyo hanya disusun oleh Amerika Serikat Sepihak, dan disetujui
secara unilateral oleh Komandan Tertinggi Sekutu di Jepang. Tepatnya
draft Piagam Tokyo hanya disusun oleh Josep B. Keenan yang merupakan
orang yang berkewarganegaraan Amerika Serikat, yang berikutnya
menjadi Prosecutor di MahkamahTokyo. Peran negara-negara dalam hal
ini hanya memberikan masukan ketika setelah terbentuknya Mahkamah
Tokyo.153
Di Mahkamah Tokyo terdapat 11 orang hakim, yang berasal dari
sebelas Negara yang terlibat dalam Perang Pasifik, negara-negara tersebut
yaitu Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Cina, Australia, Uni Soviet,
Kanada, Belanda, Selandia Baru, India, dan Filipina. India dan Filipina
ditunjuk menjadi sebagai negara yang merepresentasikan hakim, meski
152
153
Arlina Permanasari, dkk, Op. Cit., hlm. 187.
Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Op. Cit., hlm. 140-141.
73
kedua negara ini pada saat itu belum berdaulat. Negara India dan Negara
Filipina belum mendapatkan kedaulatannya pada saat itu, tetapi dalam
perumusan, pembentukan sampai dengan penunjukan Aparatur Mahkamah
Tokyo, bahwa Negara Amerika Serikat lah yang memiliki otoritas
tertinggi untuk itu. Misalkan dalam menentukan negara mana saja yang
dapat mengirimkan hakim untuk duduk di Mahkamah Tokyo adalah
Amerika Serikat; yang menunjuk 11 hakim
yang diserahkan oleh 11
negara adalah Amerika Serikat; yang menentukan Presiden Mahkamah
Tokyo dari 11 hakim, yaitu Sir William Webb dari Australia adalah
Amerika Serikat;154 dan yang Amerika Serikat pula yang menentukan
Chief Prosecutor yang berkewarganegaraan Amerika Serikat, dan dibantu
pula dengan sepuluh orang associates prosecutor.155
Beberapa otoritas Amerika Serikat dalam menentukan hal-hal yang
bersifat strategis tersebut, sekaligus menjadi pembeda prosedur teknis
(penentuan struktur) antara Mahkamah Nuremberg dan Mahkamah Tokyo.
Misalkan Presiden Mahkamah Nuremberg dipilih dari dan oleh 11 hakim
dari Mahkamah Nuremberg yang ada, tetapi hal ini berbeda dengan di
Mahkamah Tokyo, dimana Presiden Mahkamah Tokyo ditentukan atas
hak preogratif dari Amerika Serikat.156 11 hakim yang berasal dari 11
negara yang terlibat dalam Perang Pasifik, adalah: Webb
(Australia);
yang juga menjabat sebagai Presiden Mahkamah, McDougal (Canada),
Mei (China), Bernrd (Perancis), Pal (India), Roling (Belanda), Nortcroft
154
Idem., hlm. 141.
Arlina Permanasari, dkk, Op. Cit., hlm. 188.
156
Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Loc. Cit.
155
74
(New Zealand), Jaranila (Philipina), Patrick (Inggeris), Higgina (Amerika
Serikat), Zaranayov (Uni Soviet)157
Yurisdiksi kejahatan yang terdapat dalam Piagam Tokyo, sama
dengan yurisdiksi kejahatan
yang terdapat dalam Piagam Nuremberg,
terdapat tiga yurisdiksi kejahatan yang terdiri dari kejahatan terhadap
perdamaian (crimes against peace), kejahatan terhadap kemanusiaan
(crimes against humanity), dan kejahatan perang (war crimes).158 Terdapat
dua puluh lima pelaku penjahat perang Jepang
yang dihadapkan di
Mahkamah Tokyo, dari dua puluh lima orang yang dihadapkan ke
Mahkamah Tokyo, semuanya dinyatakan bersalah atas kejahatan yang
didakwakan, dan dari dua puluh orang yang diputus bersalah, tujuh orang
diantaranya dijatuhi hukuman mati.159
Ketiga, masa Mahkamah eks-Yugoslavia (International Criminal
Tribunal for the former Yugoslavia/ICTY) dan Mahkamah Rwanda
(International Criminal Tribunal for Rwanda/ ICTR). Di Wilayah eksYugoslavia, mendapatkan dampak dari keruntuhan kubu komunis, setelah
berakhirnya Perang Dingin. Negara-negara yang termasuk Blok Timur
yang sebelumnya berada di bawah cengkraman komunisme, mengalami
dampak perubahan struktur politik internasional dan domestik, salah
satunya eks-Yugoslavia. Yugoslavia merupakan salah satu negara federasi
yang tampak solid berada di bawah cengkraman komunisme, mulai
157
Arlina Permanasari, dkk, Loc. Cit.
Idem., hlm. 187.
159
Arie Siswanto, Op. Cit., hlm. 4.
158
75
mengalami guncangan disintegrasi, dengan terdapatnya negara-negara
bagian yang sebelumnya termasuk kedalam Federasi Yugoslavia,
memploklamirkan independensi negara bagian, dan akan meninggalkan
Federasi Yugoslavia. Negara-negara tersebut yaitu Republik Slovenia,
Republik Kroasia, dan Republik Bosnia-Herzegovina. Guncangan
disintegrasi yang dihadapi oleh Federasi Yugoslavia, tidak luput muncul
pula sentimental etnik yang berada di wilayah Federasi Yugoslavia.
Etnik Serbia yang mayoritas bermukim di Negara Bagian Republik
Serbia, yang dimana negara bagian ini latar belakangnya merupakan
negara bagian terkuat di Negara Federasi Yugoslavia, menentang adanya
disintegrasi yang dilakukan oleh negara-negara bagian lainnya, sehingga
dimulailah kekerasan antar etnik di wilayah bekas Federasi Yugoslavia.
Terutama yang menjadi perhatian khusus masyarakat internasional adalah
kekerasan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan startegis di Serbia,
diantaranya yang dilakukan oleh Pemimpin Militer Serbia-Bosnia, Ratko
Mladic dan mantan Politikus Serbia, Radovan Karadzic terhadap warga
yang berada disalah satu provinsi yang bernama Kosovo, yang merupakan
salah satu bagian dari Republik Serbia. Ketika salah satu provinsi di Serbia
ini (Kosovo) menginginkan kemerdekaan dan keluar dari Republik Serbia,
Presiden Slobodan Milosevic menjawabnya dengan operasi pembersihan
etnik (ethnic cleansing) di Wilayah Kosovo, terhadap Etnik Albania
Muslim. Wilayah Kosovo ditempati oleh Etnis Albania Muslim yang
76
berkisar 90 %, dan Etnis Serbia yang berkisar 10 % dari jumlah
keseluruhan Penduduk Kosovo 160
Atas tindakan Slobodan Milosevic di Kroasia pada tahun 19911992, Perang Bosnia pada tahun 1992-1995, dan peperangan yang terjadi
Kosovo pada tahun 1998-1999. Prosecutor Carla del Ponte mencatat telah
menelan korban bekisar 200.000 orang, dan melakukan eksodus sekitar 3,5
juta penduduk.161
PBB ketika berusaha meredam konflik yang terjadi melalui United
Nations Peace-Keepers, justru
banyak United Nations Peace-Keepers
yang menjadi korban. Keadaan ini menjadikan keprihatinan masyarakat
internasional atas apa yang terjadi di Wilayah eks-Yugoslavia, sehingga
Dewan Keamanan PBB atas otoritas yang dimilikinya menetapkan
peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang mengancam keamanan dan
perdamaian dunia.162 Langkah berikutnya Dewan Keamanan PBB
mengeluarkan Resolusi Nomor 808/1993 (22 Februari 1998) dan Resolusi
Nomor 827/1993 (25 Mei 1993), Selanjutnya Statuta Mahkamah eksYugoslavia yang dibentuk berdasarkan
Resolusi Nomor 827/1993
diamademen dengan Resolusi Dewan Keamanan Nomor 1166 tahun
1998,163 yang menetapkan pembentukan suatu peradilan internasional ad
hoc, yaitu International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia
160
Idem., hlm. 4-5.
Boer Mauna., Op. Cit., hlm. 284.
162
Arie Siswanto, Op. Cit., hlm. 5-6.
163
Arlina Permanasari, dkk, Op. Cit., hlm. 188.
161
77
(ICTY), untuk mengadili pelanggar berat HAM di wilayah eksYugoslavia.164
Terdapat 16 Hakim di Mahkamah eks-Yugoslavia, yang ditentukan
berdasarkan keputusan Majelis Umum PBB, dua hakim diantaranya
merupakan hakim yang dipilih oleh Sekretaris Jenderal PBB. Mahkamah
eks-Yugoslavia diketuai oleh Theodor Meron, yang berkewarganegaraan
Amerika Serikat, dipilih bersamaan dengan terpilihnya
hakim-hakim
lainnya. Selain itu mengingat tugas yang berat dalam penanganan kasus
yang terjadi di Wilayah eks-Yugoslavia, Dewan Keamanan PBB dengan
Resolusi
Nomor
1329/2000
membentuk
hakim-hakim
ad
litem
(diperbantukan) berjumlah 27 orang, dengan proses melalui Majelis
Umum PBB.165
Mahkamah eks-Yugoslavia memiliki yurisdiksi atas kejahatan:
genosida (genoside), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against
humanity), pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang (violations
of the laws and customs of war/war crimes), pelanggaran berat seperti
yang ditentukan dalam Konvensi Jenewa 1949 (graves breaches of the
Geneva Convention), dan pelanggaran serius terhadap hukum humaniter
internasional (serious violations of international humanitarian law).
Ketentuan dalam Pasal 1 sampai dengan Pasal 5 Statuta Mahkamah eksYugoslavia, yang terjadi sejak tanggal 1 Januari 1991 sampai dengan
164
165
Arie Siswanto, Op. Cit., hlm. 6.
Boer Mauna., Op. Cit., hlm. 282.
78
tanggal
terlaksananya
restorasi
perdamaian,
sedangkan
restorasi
perdamaian tersebut belum diketahui kapan akan terlaksana.166 Mahkamah
eks-Yugoslavia tidak dapat mengadili kejahatan yang terjadi sebelum
tahun 1991, baik yang terjadi di dalam Wilayah eks-Yugoslavia, dan
kejadian yang terjadi di luar Wilayah eks-Yugoslavia.167
Mahkamah eks-Yugoslavia telah menjatuhkan hukuman 45 tahun
penjara terhadap Jenderal Kroasia Bosnia Tihomir Blaskic pada tanggal 3
Maret 2000, karena telah melakukan pengorganisiran program ethnic
cleansing terhadap orang muslim selama perang Bosnia pada tahun 19921995. Selain itu Jenderal Radislav Kristic pada tanggal 2 Agustus 2001
dijatuhi hukuman 46 tahun penjara oleh Mahkamah eks-Yugoslavia, dan
yang menjadi sorotan masyarakat internasional adalah ditangkap dan
diadilinya mantan Presiden Federasi Yugoslavia Slobodan Milosevic pada
tanggal 12 Februari 2002 di Den Haag.168
Sementara itu di belahan Benua Afrika Tengah, tepatnya di Negara
Rwanda, terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Etnik Hutu terhadap
Pemerintahan Rwanda. Pemerintahan Rwanda pada saat itu dikuasai oleh
etnik minoritas, yaitu Etnik Tutsi. Perbandingan penduduk antara Etnik
Hutu dan Etnik Tutsi yaitu: 85% dan 14%. Atas dasar kecemburuan Etnik
Mayoritas terhadap Etnik Minoritas yang menguasai Pemerintahan, maka
166
Arlina Permanasari, dkk, Op. Cit., hlm. 189., dan Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Op.
Cit. hlm 142.
167
Boer Mauna., Loc. Cit.
168
Idem., hlm. 282-283.
79
pada tahun 1959 pemberontakan tehadap pemerintahan yang berkuasa
yang didominasi Etnik Tutsi dilancarkan oleh kelompok mayoritas Etnik
Hutu, sehingga satu tahun setelah pemberontakan, kelompok Etnik Hutu
berhasil menguasai pemerintahan. Pada Desember 1963, setelah Etnik
Hutu berkuasa, terjadi kekerasan antar etnik di Rwanda, yang
mengakibatkan tewasnya 20.000 orang Etnik Tutsi, sedangkan beberapa
kelompok Etnik Tutsi lainnya meninggalkan Rwanda, ke negara-negara
tetangga. Kelompok Etnik Tutsi di negara tetangga melakukan serangan
terhadap kelompok Etnik Hutu di Rwanda, tetapi serangannya selalu saja
bisa dipatahkan, dan yang menanggung akibat dari serangan tersebut
adalah Etnik Tutsi yang masih berada di wilayah Rwanda, yang dijadikan
sebagai objek balasan oleh Etnik Hutu atas serangan yang dilancarkan oleh
Kelompok Etnik Tutsi yang berada di luar Rwanda.
Politikus Juvenal Habyarimana, yang masih merupakan bagian dari
kelompok Etnik Hutu, melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang
telah dua puluh tahun berkuasa di Rwanda, sehingga menjadi penguasa di
Rwanda dan membuat program-program yang bisa memudarkan konflik,
tetapi konflik antar etnik tidak bisa dihentikan secara menyeluruh. Setelah
Rwandan Patriotic Front (RPF) melancarkan serangan dari Uganda pada 1
Oktober 1990, terjadi penangkapan terhadap Etnik Tutsi dan oposisi
sekitar 10.000 orang oleh pemerintahan Rwanda, tanpa melalui proses
yang adil, yang berlangsung sampai tahun 1992, yang mengakibatkan
80
banyaknya jumlah korban dan 100.000 orang mengungsi ke luar Wilayah
Rwanda.
Ketegangan kembali terjadi pada bulan Oktober 1993, dimana
ketegangan ini terjadi setelah dicapainya perdamaian antara Pemerintah
Rwanda dengan Rwandan Patriotic Front (RPF) pada Agustus 1993 di
Tanzania. Selanjutnya 6 April 1994, pesawat yang ditumpangi oleh
Juvenal Habyarimana dan Ntaryamira yang merupakan kepala Negara
Burundi, jatuh di Lapangan Udara Kigali, yang menyebabkan kematian
dua kepala negara tersebut. Peristiwa ini menyulut kembali ketegangan di
Rwanda, kelompok keras Etnik Hutu menuduh bahwa Kelompok Etnik
Tutsi lah yang mengakibatkan jatuhnya pesawat tersebut.
Pada 1 Juli 1994, Dewan Keamanan PBB melakukan usaha untuk
membentuk Komisi Ahli yang mempunyai tugas untuk melakukan
investigasi dan rekomendasi atas adanya dugaan pelanggaran terhadap
hukum humaniter internasional dan tindakan genosida yang dilakukan di
Rwanda. Pada tanggal 29 September 1994 Komisi Ahli telah memberikan
laporan awal atas hasil investigasinya, dan turut pula merekomendasikan
untuk membentuk Mahkamah Kejahatan Internasional untuk mengadili
pelaku kejahatan perang dan genosida, yang dilakukan sejak tanggal 6
April 1994, akan tetapi Dewan Keamanan memutuskan untuk membentuk
Mahkamah Kejahatan Internasional untuk Rwanda pada tanggal 8
81
Nopember 1994, tanpa menunggu konklusi dari Komisi Ahli.169
Mahkamah Kejahatan Internasional yang dibentuk untuk Rwanda,
memiliki nama resmi yaitu International Criminal Tribunal for Rwanda
(ICTR), yang dibentuk berdasarkan resolusi Dewan Keamanan Nomor
955/1994. Internasional Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) dibentuk
untuk mengadili Warga Negara Rwanda yang telah melakukan
pelanggaran, baik di dalam Wilayah Rwanda, maupun di luar Wilayah
Rwanda, yang dilakukan mulai tanggal 1 Januari 1994 sampai dengan
tanggal 31 Desember 1994.170 Pelanggaran
yang menjadi kompetensi
International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) adalah kejahatankejahatan sebagai berikut:
1. Genosida (Genocide);
2. Kejahatan terhadap kemanusian (Crimes Against Humanity);
3. Pelanggaran terhadap Pasal 3 ketentuan yang bersamaan dari
Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II 1977
(violations of Art. 3 common to the Geneva Conventions and
Additional Protokol II).171
International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) atau Mahkamah
Rwanda, memiliki 6 hakim tatap yang dipilih oleh Majelis Umum PBB
pada Mei 1995, yang kemudian atas pertimbangan pembentukan Trial
Chamber yang ke tiga, maka Dewan Keamanan melalui resolusi Nomor
1165/1998 menunjuk 3 hakim tetap lainnya, sehingga hakim tetap
berjumlah 9 orang, dan pada tahun 2000 Dewan Keamanan melalui
resolusi Nomor 1329/2000 menunjuk kembali 2 orang hakim tetap. Sama
169
Arie Siswanto, Op. Cit., hlm. 6-8.
Arlina Permanasari, dkk, Op. Cit., hlm. 190.
171
Ibid.
170
82
dengan Mahkamah Yugoslavia, Mahkamah Rwanda berdasarkan resolusi
Dewan Keamanan Nomor 1431/2002, membentuk hakim ad litem
berjumlah 18 orang, yang dipilih oleh Majelis Umum PBB, untuk
membantu jalannya Mahkamah Rwanda.172
Mahkamah Rwanda berhasil
menghadapkan pihak-pihak yang
dianggap bertanggungjawab atas terjadinya genosida dan kejahatan
lainnya yang terjadi mulai tanggal 1 Januari 1994 sampai dengan 31
Desember 1994.173 Pihak-pihak tersebut diantaranya adalah mantan Wali
Kota Taba Jean Paul Akayesu, yang dijatuhi hukuman 80 tahun penjara
pada akhir tahun 1998, atas kejahatan genosida yang direncanakan dan
secara teroganisir terhadap Etnik Tutsi. Perdana Menteri Rwanda, Jean
Kambanda salah satu contoh lainnya yang tidak luput dibawa ke
Mahkamah Rwanda untuk diadili, Jean Kambanda diadili karena pada
tahun 1994 saat terjadinya genosida, menjabat sebagai Perdana Menteri
Rwanda, tidak melakukan upaya-upaya untuk melakukan pencegahan
supaya tidak terjadinya tindakan tersebut. Akibat sikap Jean Kambanda
tersebut, dia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.174
Keempat, masa Mahkamah Pidana Internasional (International
Criminal Court/ICC). Mahkamah Pidana Internasional yang bersifat
permanen, pembentukannya sudah diusahakan pasca-Perang Dunia I di
Versailles pada tahun 1919, yang diharapkan sebagai fundamen untuk
172
Boer Mauna., Op. Cit., hlm 286.
Idem., hlm. 286.
174
Ibid.
173
83
mengakhiri perang, atau biasa dikenal dengan istilah “the war to end all
wars”. Meletusnya Perang Dunia II berakibat timbulnya tragedi
kemanusian yang luar biasa besar dari pada akibat yang ditimbulkan
Perang Dunia I, menyebabkan usaha pembentukan Mahkamah Pidana
Internasional yang bersifat permanen ini terabaikan.175 Berakhirnya Perang
Dunia II, pembetukan Mahkamah Pidana Internasional terus bergulir di
bawah
Komisi
Hukum
Internasional
PBB
(International
Law
Commission/ILC),176 dimana pada dasarnya Komisi Hukum Internasional
PBB dibentuk melalui sidang umum PBB pada tahun 1948.
Tujuan dibentuknya adalah untuk membangun sistem hukum
internasional yang moderen.177 Pada tahun 1949 sampai dengan tahun
1954, Komisi Hukum Internasional PBB menyiapkan beberapa draft
statuta sebagai upaya pembentukan Mahkamah Pidana Internasional, akan
tetapi banyak sekali perdebatan antara anggotanya, sehingga pembahasan
draft statuta untuk pembentukan Mahkamah Pidana Internasional dalam
sidang Komisi Hukum Internasional PBB dihentikan. Pada tahun 1989
Trinidad dan Tobago sempat meminta kembali Komisi Hukum
Internasional untuk melanjutkan pembahasan statuta internasional dalam
hal pembentukan Mahkamah Pidana Internasional dengan yurisdiksi yang
mencakup tindakan dalam hal peredaran obat-obatan terlarang,178 bahkan
175
Muladi, Op. Cit., hlm. 11.
Boer Mauna, Op. Cit., hlm 290.
177
Aristo M.A. Pangaribuan, 2013, Perdebatan Menuju Mahkamah Pidana Internasional
(International Criminal Court), Papas Sinar Sinanti dan Badan Penerbit FHUI, Jakarta, hlm. 29.
178
Boer Mauna, Loc. Cit.
176
84
dalam literatur lain dipaparkan bahwa Trinidad dan Tobago sempat
mengajukan rancangan proposal untuk pembentukan Mahkamah Pidana
Internasional di sidang Majelis Umum PBB, tetapi tidak mendapatkan
perhatian dari para anggota PBB yang hadir pada saat itu. Tragedi
kemanusian terjadi di wilayah Balkan pada sekitar 1990-an yang menyita
perhatian masyarakat internasional, barulah setelah berdirinya dan melihat
keefektifan
Mahkamah
masyarakat
internasional
Rwanda
mulai
dan
Mahkamah
merasakan
eks-Yugoslavia,
perlunya
membentuk
Mahkamah Pidana Internasional yang bersifat permanen. Atas desakan
beberapa Negara, khususnya yang menjadi anggota PBB, Komisi Hukum
Internasional melanjutkan penyusunan draft statuta untuk pembetukan
Mahkamah Pidana Internasional yang bersifat permanen.179
Akhirnya pada tahun 1994, Komisi Hukum Internasional berhasil
menyelesaikan penyusunan draft statuta untuk pembentukan Mahkamah
Pidana Internasional yang bersifat permanen, dan mengajukan draft
tersebut ke Majelis Umum PBB. Setelah penyerahan draft statuta
dilakukan, Majelis Umum PBB membentuk Komite yang bersifat ad hoc
(Ad hoc Committee) untuk pembahasan hal-hal atau isu-isu yang bersifat
substantif dalam lingkup pembentukan Mahkamah Pidana Internasional.
Tahun 1995 Majelis Umum PBB kembali membentuk UN Preparatory
Committee on the Establishment of International Criminal Court
(PrepCom) yang dikhususkan untuk penyempurnaan draft Statuta
179
Arie Siswanto, Op. Cit., hlm. 8.
85
Mahkamah Pidana Internasional sebelum diajukan dan dibahas di
Konferensi Diplomatik. United Nations Diplomatic Conference of
Plenipotentiaries tentang Pembentukan International Criminal Court/ICC
yang dilaksanakan tanggal 15 Juni-17 Juli 1998 di Markas Besar FAO di
Roma, berdasarkan Resolusi yang dikeluarkan Majelis Umum dengan No.
51/207 tahun 1966 dan Resolusi No. 52/160 tahun 1997.
Konferensi Diplomatik ini dihadiri oleh 160 Negara, 33 Organisasi
Internasional, dan 236 NGO’s. Penerimaan Statuta Mahkamah Pidana
Internasional dengan nama resmi Rome Statute of the International
Criminal Court, dilakukan dengan pemungutan suara pada tanggal 17 Juli
1998 yang dilakukan oleh 120 negara, diantaranya 7 menentang dan 21
abstain. Amerika Serikat termasuk Negara yang menentang dan menolak
menandatangani
Statuta
Roma
1998
tentang
Mahkamah
Pidana
Internasional, dengan alasan bahwa berdirinya Mahkamah Pidana
Internasional akan mengurangi peran Dewan Keamanan PBB dan
memiliki sistem yang cacat, tanpa adanya pengawasan dan dapat
mengancam kedaulatan negara. Pada tanggal 31 Desember 2000 jumlah
negara yang menandatangani sudah mencapai 139 negara.180 Statuta Roma
1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional mulai berlaku tanggal 1 Juli
2002, meski pada tanggal 17 Juli 1998 sudah terdapat 120 negara yang
menandatangani. Berlakunya Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah
180
Boer Mauna, Op. Cit., hlm 290-291.
86
Pidana Internasional, karena mengacu pada ketentuan Pasal 126 Statuta,181
yaitu:
1. This Statute shall enter into force on the first day of the month
after the 60th day following the date of the deposit of the 60th
instrument of ratification, acceptance, approval or accession
with the Secretary-General of the United Nations.
2. For each State ratifying, accepting, approving or acceding to
this Statute after the deposit of the 60th instrument of
ratification, acceptance, approval or accession, the Statute
shall enter into force on the first day of the month after the 60th
day following the deposit by such State of its instrument of
ratification, acceptance, approval or accession.182
Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional mulai berlaku
pada tanggal 1 Juli 2002, sejak adanya ratifikasi ke-60 dan
didepositkannya ke Sekretaris Jenderal PBB.183 Sampai tanggal 12
Nopember 2014 terdapat 122 negara yang telah menjadi negara anggota,
yang terdiri dari 34 negara (Afrika), 18 negara (Asia Pasifik), 18 negara
(Eropa Timur), 27 (Amerika Latin dan Caribbean), 25 negara (Eropa
Barat dan negara-negara lainnya).184 Berikut daftar negara yang telah
meratifikasi Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional
sampai tanggal 11 September 2014 dapat ditinjau pada lampiran 1:
Jumlah hakim yang terdapat di Mahkamah Pidana Internasional
berdasarkan ketentuan Pasal 36 Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah
Pidana Internasional berjumlah 18 hakim, yang dipilih dari negara
181
Idem., hlm. 291.
Article 126 (1)(2) Rome Statute of The International Criminal Court 1998.
183
Boer Mauna, Loc. Cit.
184
International Criminal Court, Assembly of States Parties, States Parties to the Rome
Statute,
2014,
http://www.icc-cpi.int/en_menus/asp/states%20parties/Pages/the%20states%
20parties%20to%20the%20rome%20statute.aspx, diakses pada tanggal 12 September 2014.
182
87
anggota, dengan masa jabatan 9, 6, dan 3 tahun,
yang dapat dipilih
kembali untuk satu kali masa bakti penuh, kecuali hakim dengan masa
jabatan 9 tahun. Hakim yang menjadi Ketua atau Presiden pertama di
Mahkamah Pidana Internasional adalah Philippe Kirsch dari Canada.
Berdasarkan ketentuan Pasal 42 Statuta Roma 1998 tentang Mahakamh
Pidana Internasional, Penuntut Umum hanya terdiri dari satu orang dan
dapat dibantu dalam pelaksanaan tugasnya oleh seorang atau lebih Wakil
Penuntut Umum. Penuntut Umum dan Wakil Penuntut Umum dipilih
untuk masa jabatan 9 tahun, setelah berakhir masa jabatannya tidak dapat
dipilih kembali. Luis Morino Ocampo yang berkewarganegaraan
Argentina, merupakan Penuntut Umum pertama Mahkamah Pidana
Internasional.185
Mahkamah
Pidana
internasional,
berdasarkan
prinsip
komplementer seperti yang tertera dalam ayat 10 Pembukaan dan
dipertegas oleh ketentuan Pasal 1 Statuta Roma 1998, sebagai berikut:
Emphasizing that the International Criminal Court established
under this Statute shall be complementary to national criminal
jurisdictions;186
Sedangkan ketentuan Pasal 1 Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah
Pidana Internasional, sebagai berikut:
185
186
Boer Mauna, Op. Cit., hlm. 292-293.
Paragraph (10) Preamble Rome Statute of The International Criminal Court 1998.
88
An International Criminal Court (‘the Court’) is hereby
established. It shall be a permanent institution and shall have the
power to exercise its jurisdiction over persons for the most serious
crimes of international concern, as referred to in this Statute, and
shall be complementary to national criminal jurisdictions. The
jurisdiction and functioning of the Court shall be governed by the
provisions of this Statute.187
sehingga yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional hanya sebagai
pelengkap yurisdiksi suatu negara.188
Mahkamah Pidana Internasional bersifat komplementer, kerena
diketahui berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam ayat 6 Pembukaan
Statuta Roma 1998 dan tentunya mengingat pula ayat 10 Pembukaan
Statuta Roma 1998, bahwa kewajiban untuk menegakkan hukum, atas
kejahatan yang menjadi perhatian masyarakat internasional yang
dilakukan, menjadi tanggung jawab suatu
negara. Berikut ketentuan
lengkap ayat 6 Pembukaan Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana
Internasional:
Recalling that it is the duty of every State to exercise its criminal
jurisdiction over those responsible for international crimes;189
Ketentuan dalam Statuta Roma 1998, meskipun pada dasarnya
menyebutkan bahwa kewajiban untuk menegakkan hukum ada di suatu
negara, akan tetapi negara dapat berada dalam keadaan atau dianggap tidak
mau (unwilling) atau tidak mampu (unable) dalam penyelesaian kejahatan
internasional. Ketentuan
187
yang terdapat dalam Pasal 17 ayat 2 Statuta
Article 1 Rome Statute of The International Criminal Court 1998.
Boer Mauna, Op. Cit., hlm. 297.
189
Paragraph (6) Preamble Rome Statute of The International Criminal Court 1998.
188
89
Roma 1998, menentukan negara yang dalam keadaan atau dianggap tidak
mau atau ketidaksediaan (unwilling) sebagai berikut:
2. In order to determine unwillingness in a particular case, the
Court shall consider, having regard to the principles of due
process recognized by international law, whether one or more of
the following exist, as applicable:
(a) The proceedings were or are being undertaken or the
national decision was made for the purpose of shielding the
person concerned from criminal responsibility for crimes
within the jurisdiction of the Court referred to in article 5;
(b) There has been an unjustified delay in the proceedings which
in the circumstances is inconsistent with an intent to bring
the person concerned to justice;
(c) The proceedings were not or are not being conducted
independently or impartially, and they were or are being
conducted in a manner which, in the circumstances, is
inconsistent with an intent to bring the person concerned to
justice.190
Berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 17 ayat 3 Statuta Roma 1998,
menentukan negara yang dalam keadaan atau dianggap tidak mampu atau
ketidaksediaan (unable) adalah sebagai berikut:
3. In order to determine inability in a particular case, the Court
shall consider whether, due to a total or substantial collapse or
unavailability of its national judicial system, the State is unable
to obtain the accused or the necessary evidence and testimony
or otherwise unable to carry out its proceedings.191
Kasus kontemporer yang ditangani oleh Mahkamah Pidana
Internasional salah satunya adalah kasus yang terjadi di Republik
Demokratik Kongo (Democratic Republic of the Congo/DRC), dengan
tersangka utama Thomas Lubanga Dyilo. Kasus Thomas Lubanga Dyilo
190
191
Article 1(2) Rome Statute of The International Criminal Court 1998.
Article 1(3) Rome Statute of The International Criminal Court 1998.
90
sebagai pembuka Mahkamah Pidana Internasional, sejak berdirinya pada
tanggal 1 Juli 2002, dengan Thomas Lubanga Dyilo sebagai tersangka
dalam sidang penuh Mahkamah Pidana Internasional.192 Selain itu putusan
Mahkamah Pidana Internasional tahun 10 Juli 2012,193 terhadap Thomas
Lubanga
Dyilo
merupakan
putusan
pertama
Mahkamah
Pidana
Internasional.194
Kasus ini pada dasarnya muncul karena perebutan penguasaan atas
tambang dan pajak yang berada di daerah Ituri, yang berada di timur laut
wilayah Republik Demokratik Kongo (Democratic Republic of the
Congo/DRC), tapi dalam perkembangannya, menjadi konflik antar etnik,
yaitu antara Etnik Hema dan Etnik Lendu. Masing-masing etnik memiliki
kelompok milisi tersendiri, misalkan Etnik Hema yang memiliki kelompok
milisi Uni Patriotic Congo (UPC)195
atau Angkatan Patriotik untuk
Pembebasan Kongo (Patriotic Force for the Liberation of Congo/FPLC).
Angkatan Patriotik untuk Pembebasan Kongo (Patriotic Force for the
192
Tokoh Perang Kongo Diadili dalam ICC: Republika (on line), 27 Januari 2009,
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/internasional/09/01/27/28028-tokoh-perangkongo-diadili-dalam-icc, diakses pada tanggal 12 September 2014.
193
International Criminal Court, Situation in Democratic Republic of the Congo, The
Prosecutor v. Thomas Lubanga Dyilo, 2012, http://www.icc-cpi.int/en_menus/icc/situations
%20and%20cases/situations/situation%20icc%200104/related%20cases/icc%200104%200106/Pa
ges/democratic%20republic%20of%20the%20congo.aspx, diakses pada tanggal 12 September
2014.
194
Panglima Perang Kongo Dipenjara Karena Pakai Tentara Anak: BBC Indonesiia,
2012, http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/07/120710_congosentence, diakses pada
tanggal 18 September 2012
195
Pemimpin Milisi Kongo Jadi Tersangka Pertama yang Diadili di Pengadilan
Internasioal: Republika (on line), 26 Januari 2009, http://www.republika.co.id/berita/breakingnews/internasional/09/01/26/27996-pemimpin-milisi-kongo-jadi-tersangka-pertama-yang-diadilidi-pengadilan-internasioal, diakases pada tanggal 18 September 2014.
91
Liberation of Congo/FPLC) ini dibentuk dan berada di bawah pimpinan
Thomas Lubanga Dyilo.
Selain itu, yang menyita perhatian masyarakat internasional adalah
terdapat dugaan bahwa Thomas Lubanga Dyilo telah melakukan
rekruitmen dengan cara penculikan, untuk dijadikan anggota
milisi
Angkatan Patriotik untuk Pembebasan Kongo. Anak-anak yang dijadikan
target rekruitmen, adalah anak yang berusia di bawah 15 tahun. Anakanak tersebut diarahkan untuk ikut aktif dalam peperangan yang bersifat
non-internasional.
196
Atas terjadinya perang antar etnik tersebut, banyak
pimpinan atau orang-orang yang dianggap bertanggung jawab diproses di
Mahkamah Pidana Internasional, diantaranya selain Thomas Lubanga
Dyilo, yaitu Germain Katanga, Bosco Ntaganda dan lain-lain.
Pelaku utama yang menjadi perhatian masyarakat internasional
adalah Thomas Lubanga Dyilo, yang telah melakukan rekrutmen dan
pengarahan anak-anak yang berusia 15 tahun atau di bawahnya untuk
dijadikan
tentara,
Pembebasan Kongo.
Mahkamah Pidana
melalui
197
pergerakan
Angkatan
Patriotik
untuk
Atas tindakannya tersebut, Penuntut Umum
Internasional yang pada saat itu dijabat oleh Luis
Moreno Ocampo, dengan berdasarkan ketentuan Pasal 15 Statuta Roma
1998, melakukan Proprio motu terhadap tindak kejahatan yang terjadi di
196
International Criminal Court, Situation in Democratic Republic of the Congo, Related
Cases, 2012, http://www.icccpi.int/en_menus/icc/situations%20and%20cases/situations/situation
%20icc%200104 /Pages/situation%20index.aspx, diakses pada tanggal 12 September 2014.
197
Ibid.
92
Republik Demokratik Kongo, berdasarkan pula laporan dari Negara,
Organisasi
Pemerintah
Internasional
(International
Goverment
Organization/IGO’s) dan Organisasi Non-Pemerintah Internasional (Non
Government Organization/NGO’s).
Luis Moreno Ocampo memberitahukan kepada Majelis Negara
Pihak (Assembly of States Parties) dalam Statuta Roma 1998 dan meminta
otoritas dari Pre-Kamar Pengadilan (Pre-Trial Chamber) untuk memulai
penyelidikan pada tanggal 1 Juli 2002. Langkah yang dilakukan oleh
Penuntut Umum (Prosecutor) Mahkamah Pidana Internasional yaitu Luis
Moreno Ocampo mendapatkan rujukan dan dukungan dari Republik
Demokratik Kongo, sehingga memudahakan Penuntut Umum dalam
melakukan penyidikan.198
Pada Maret 2005 Thomas Lubanga Dyilo akhirnya ditangkap oleh
Pasukan Penjaga Perdamaian PBB, dan sempat ditahan di Kongo, sebelum
akhirnya dipindahkan ke Den Haag pada tanggal 16 Maret 2006.199 Pada
tanggal 26 Januari 2009, persidangan pertama Thomas Lubanga Dyilo
untuk pertama kalinya dimulai. Pada tanggal 14 Maret 2012 akhirnya
Thomas Lubanga Dyilo diputus karena telah melakukan kejahatan perang,
sebagai pelaku dan koordinator pelaku dalam hal rekrutmen dan
198
International Criminal Court, Situation in Democratic Republic of the Congo, Press
Releases , Office of the Prosecutor, 2004, http://www.icc-cpi.int/en_menus/icc/press%20and
%20media/press%20releases/2004/Pages/the%20office%20of%20the%20prosecutor%20of%20the
%20international%20criminal%20court%20opens%20its%20first%20investigation.aspx, diakses
pada tanggal 12 September 2014.
199
Panglima Perang Kongo Dipenjara Karena Pakai Tentara Anak: BBC Indonesiia, Loc.
Cit.
93
pengarahan anak-anak umur 15 tahun untuk dijadikan tentara dibawah
pergerakan milisi Angkatan Patriotik untuk Pembebasan Kongo, dari
tanggal 1 September 2002 sampai 13 Agustus 2003, dimana putusan
tersebut diambil oleh Majelis Hakim I yang terdiri dari Hakim Adrian
Fulford (United Kingdom), sebagai Hakim Ketua, Hakim Elizabeth Odio
Benito (Costa Rica) dan Hakim René Blattmann (Bolivia). Akhirnya pada
tanggal 10 Juli 2012 Majelis Hakim I menjatuhkan hukuman terhadap
Thomas Lubanga Dyilo 14 tahun penjara, yang dipotong masa tahanan.200
Penyelesaian terhadap kejahatan internasional, pada dasarnya
menjadi tanggungjawab Negara dan hal ini sudah menjadi prinsip
fundamental. Hal ini belum dirumuskan dalam kesepakatan multilateral
atau dikodifikasikan secara khusus, tetapi mengikat sebagai kaidah hukum
internasional terhadap Negara.201 Konsep pertanggungjawaban Negara
dalam perkembangannya terdapat dua perbuatan Negara yang dapat
dipertanggungjawabkan oleh Negara, yaitu:
1. Perbuatan Negara yang termasuk ke dalam original responsibility
Pertanggungjawaban yang lahir dari kehendak/tindakan dari
Negara atau pemerintah resmi suatu Negara. Tindakan tersebut dalam
pelaksanaannya dapat dilakukan oleh pejabat tinggi pemerintahan atau
pejabat
pemerintahan
melaksanakan
200
yang
kebijakan
lebih
Negara
rendah
atau
semata-mata
pemerintah
yang
untuk
telah
International Criminal Court, Situation in Democratic Republic of the Congo, The
Prosecutor v. Thomas Lubanga Dyilo, Loc. Cit.
201
Oentoeng Wahjoe, Op. Cit., hlm. 81.
94
diputuskan,
melalui
berdasarkan kebijakan
otoritas
tertinggi
pemerintahan,
misalkan
yang dikeluarkan pemegang kekuasaan
eksekutif yang melanggar kewajiban internasional.
2. Perbuatan Negara yang termasuk ke dalam vicarious responsibility
Pertanggungjawaban yang timbul merupakan suatu akibat dari
tindakan yang bukan dilakukan alat-alat perlengkapan Negara atau
pejabat pemerintah. Tindakan tersebut dilakukan tidak berdasarkan
kebijakan Negara, baik secara langsung maupun tidak langsung,
tindakan tersebut dilakukan oleh individu atau kelompok tanpa ada
korelasi dengan Negara, tetapi karena tindakan tersebut Negara tetap
harus bertanggungjawab. Pengertian lain dari perbuatan ini adalah
tindakan tersebut bukan merupakan tindakan yang disebabkan
kebijakan pemerintah, tetapi mengingat tindakan tersebut terjadi di
wilayah teritorial Negara yang bersangkutan, maka Negara tersebut
harus bertanggungjawab.202
Dua perbuatan yang menimbulkan original responsibility dan
vicarious responsibility yang telah dijelaskan di atas meletakkan
tanggungjawab Negara secara prinsipil bahkan menjadi jus cogens dalam
beberapa instrumen hukum internasional.
Perbuatan yang menimbulkan original responsibility merupakan
perbuatan yang sangat dekat, bahkan lahir dari kebijakan politik suatu
Negara. Kebijakan politik suatu negara atau istilah pengambilan keputusan
202
Ibid.
95
dalam suatu negara yang menjadi pokok dalam politik: kebijakan atau
keputusan-keputusan yang diambil, secara kolektif keputusan tersebut
mengikat seluruh masyarakat.203 Kebijakan yang telah diambil oleh negara
khususnya dalam bidang pertahanan dan keamanan, dapat berpotensi atau
bahkan timbul korban. Kebijakan tersebut menimbulkan korban yang tidak
dibenarkan, maka akan menghimpun opini nasional atau internasional
(masyarakat internasional) bahwa tindakan atau kebijakan yang diambil
oleh Negara atau otoritas dalam suatu Negara merupakan kejahatan.
Perbuatan yang menimbulkan vicarious responsibility, dengan tetap
mengacu pada prinsip hukum internasional pada umumnya, seperti
yurisdiksi teritorial suatu Negara, dimana Negara dapat melaksanakan
yurisdiksinya terhadap harta benda, tindakan, dan peristiwa yang terjadi di
wilayahnya.204
Kebijakan
atau
tindakan
dalam
masyarakat
internasional
merupakan sebuah kejahatan tentu akan mendapatkan perhatian khusus,
terlebih jika kebijakan atau tindakan yang diambil dapat membawa
dampak atau berpotensi menggangu keamanan dunia internasional.
Kejahatan yang dapat mengganggu keamanan dunia atau kejahatan yang
diatur konvensi internasional dapat didefinisikan sebagai kejahatan
internasional. Unsur-unsur kejahatan internasional yang bersifat alternatif
203
Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik; Edisi Revisi, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, hlm. 19.
204
J.G. Starke, Op. Cit., hlm. 270.
96
tidak luput dikemukakan oleh M. Cherif Bassiouni, menurutnya terdapat
lima unsur kejahatan internasional, yaitu:
1) Tingkah laku yang dilarang menimbulkan akibat signifikan
terhadap kepentingan internasional, khususnya dalam hal
keamanan internasional.
2) Tingkah laku yang dianggap buruk yang dapat merusak nilainilai yang telah diakui oleh masyarakat internasional, termasuk
pula tingkah laku yang dianggap oleh sejarah telah menyentuh
hati nurani manusia.
3) Tingkah laku yang dilarang untuk memiliki implikasi yang
bersifat transnasional, baik dalam perencanaan, persiapan dan
perbuatan.
4) Tingkah laku yang membahayakan perlindungan kepentingan
internasional
atau
orang
yang
diberikan
perlindungan
internasional.
5) Tingkah laku yang melanggar kepentingan internasional yang
dilindungi secara umum, tidak sampai pada tingkatan yang
disebutkan dalam poin satu dan dua, tetapi karena sifat
dasarnya
tingkah
laku
tersebut
dapat
ditekan
melalui
kriminalisasi internasional.205
Beberapa literatur menyebutkan banyak istilah dan kategori
kejahatan internasional atau tindak pidana internasional, yang selanjutnya
205
Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., hlm. 51-52.
97
dalam pembahasan ini disebut dengan kejahatan, adalah apa yang
disebutkan oleh Neil Boister sebagaimana dikutip oleh Eddy O.S. Hiariej
dengan istilah international crimes stircto sensu, yaitu kejahatan dalam
arti sempit. Kejahatan dalam arti sempit yang dimaksud adalah kejahatan
yang hanya menjadi yurisdiksi dari Mahkamah Pidana Internasional,
seperti agresi, genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap
kemanusian.206 Ketentuan mengenai kejahatan yang menjadi yurisdiksi
Mahkamah Pidana Internasional, terdapat dalam ketentuan Pasal 5 ayat 1
Statuta Roma 1998. Ketentuan lengkapnya sebagai berikut:
1. The jurisdiction of the Court shall be limited to the most
serious crimes of concern to the international community as a
whole. The Court has jurisdiction in accordance with this
Statute with respect to the following crimes:
(a) The crime of genocide;
(b) Crimes against humanity;
(c) War crimes;
(d) The crime of aggression.207
Penyelesaian kejahatan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 5 ayat 1
tersebut menjadi tanggungjawab negara, baik kejahatan yang ditimbulkan
atas kehendak atau kebijakan negara melalui pejabat-pejabat atau
representatif negara, ataupun kejahatan yang ditimbulkan tidak oleh
kehendak atau kebijakan negara secara langsung atau pun tidak langsung,
seperti oleh orang atau kelompok yang masih berada di bawah
tanggungjawab
negara.
Pemahaman
mengenai
konsep
pertanggungjawaban negara ketika terjadi pelanggaran kejahatan, telah
206
207
Idem., hlm. 47.
Article 5(1) Rome Statute of The International Criminal Court 1998.
98
dirumuskan pula dalam ketentuan yang terdapat pada ayat 6 Pembukaan
Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional.
Pada pelaksanaan ketentuan tentang tanggungjawab negara, untuk
menyelesaikan kejahatan yang menjadi perhatian internasional, beberapa
negara
dapat
berada
dalam
keadaan
tidak
dapat
melaksanakan
tanggungjawab negara tersebut. Padahal masyarakat internasional,
khususnya para sarjana hukum internasional menghendaki bahwa terhadap
kejahatan yang menjadi perhatian masyarakat internasional, seperti
genosida (genoside), kejahatan terhadap kemanusian (crimes against
humanity), kejahatan perang (war crimes), dan agresi (agration), terhadap
pelakunya perlu dilakukan penghukuman atau pelaku dari kejahatan
tersebut tidak boleh sampai tidak dihukum.
Misalkan kita mengacu pada kasus dan keadaan pembentukan
Mahkamah Nuremberg, yang pada umumnya ketika tentara NAZI Jerman
melakukan kejahatan serius
yang menjadi perhatian masyarakat
internasional, bersamaan dihadapkannya dengan keadaan tidak ada
peraturan yang mengatur akan hal yang dilakukan tentara NAZI Jerman.
Maka terdapat pendapat permberlakuan asas non retroaktif demi keadilan,
akan lebih tidak adil jika para pelaku kejahatan tidak diadili.208
Berdasarkan kasus tersebut, jelas bahwa para pelaku kejahatan serius tidak
boleh sampai tidak dihukum. Ketentuan akan keharusan adanya suatu
208
Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Op. Cit., hlm. 139.
99
penegakan hukum terhadap kejahatan internasional, terdapat pula dalam
ayat 4 Pembukaan Statuta Roma 1998.
Statuta Roma 1998, mengatur bahwa jika suatu negara tidak dapat
melaksanakan tanggungjawabnya dalam penegakan hukum atas kejahatan
seperti yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat 1 yaitu genosida, kejahatan
terhadap kemanusian, kejahatan perang, dan agresi, maka yurisdiksi
Mahkamah
Pidana
Internasional
atas
kejahatan
tersebut
akan
dilaksanakan. Pelaksanaan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional
sesuai dengan prinsip komplementer yang terdapat dalam ayat 10
Pembukaan dan dipertegas oleh ketentuan Pasal 1 Statuta Roma 1998.
Pada dasarnya prinsip komplementer merupakan prinsip yang mendorong
sistem hukum nasional untuk memuat pengaturan untuk mengadili para
pelaku kejahatan yang menjadi perhatian internasional, sekaligus berupa
penghormatan terhadap kedaulatan negara.209 Menurut Jean Bodin
kedaulatan (negara) adalah kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum
yang berlaku dalam suatu negara.210 Kenyataan tidak dapat dihindari,
bahwa terdapat negara yang tidak dapat atau dianggap tidak melaksanakan
tanggungjawabnya untuk menegakkan hukum atas kejahatan yang telah
dilakukan oleh orang atau kelompok yang tunduk pada sistem hukum
nasional negara tersebut.
209
210
Boer Mauna, Loc. Cit.
Soehino, Loc. Cit.
100
Suatu negara tidak dapat melaksanakan kewajibannya untuk
menegakkan hukum atas kejahatan yang telah terjadi, atau dalam hal
keadaan seperti ini negara dianggap tidak mau (unwilling) atau tidak
mampu (unable) dalam penyelesaian kejahatan internasional.
Negara yang dianggap tidak mau (unwilling) atau tidak mampu
(unable) dalam penyelesaian kejahatan internasional sebelum terbentuknya
Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional, dapat dilihat
dari keadaan dalam proses pengadilan atau putusan pengadilan yang tidak
mencerminkan penegakan hukum secara tegas terhadap pelanggar
kejahatan yang menjadi perhatian dunia. Sebelum adanya Statuta Roma
1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional, Negara yang dianggap
tidak mau (unwilling) merupakan negara yang pada dasarnya dapat
menegakkan sistem hukum nasional, kepada pelaku kejahatan yang
menjadi perhatian internasional, tetapi dalam pelaksanaannya negara
tersebut tidak secara kredibel. Baik dalam proses atau langkah-langkah
penegakan hukumnya maupun putusan yang dihasilkan dari sistem hukum
nasional negara tersebut. Berdasarkan Perjanjian Versailles, Jerman selaku
pihak yang kalah harus menyerahkan para pelaku kejahatan perang dari
pihak Jerman untuk diadili. Jerman dalam hal ini menolak untuk
menyerahkan para pelaku kejahatan perang, dengan alasan akan mengadili
sendiri para pelaku, tetapi dari 896 tersangka yang diminta oleh sekutu
sebelumnya, Jerman hanya mengadili empat puluh lima tersangka, dan
yang benar-benar dibawa ke pengadilan hanya berjumlah dua belas orang
101
tersangka. Akhirnya Pengadilan Jerman memutus dua belas terdakwa
tersebut dengan putusan diantaranya, enam orang bebas dan enam orang
lainnya hanya dijatuhi hukuman ringan.211
Negara yang dianggap tidak mau/ketidaksediaa (unwilling), selain
negara yang pada dasarnya mampu atau dapat menegakkan sistem hukum
nasional, tetapi tidak kredibel, baik dalam proses atau langkah-langkah
penegakan hukumnya, maupun putusan yang dihasilkan dari sistem hukum
nasional negara tersebut. Selain itu negara yang dianggap tidak mau
(unwilling) dapat ditunjukkan terhadap negara yang pada dasarnya mampu
atau dapat menegakkan sistem hukum nasional, tetapi secara tegas
melakukan penolakan atau upaya-upaya yang untuk mencegah pelaku
kejahatan internasional untuk dibawa ke muka pengadilan nasional
ataupun internasional untuk diadili. Amerika Serikat misalnya dengan
tegas melarang Jepang untuk menuntut Amerika Serikat atas penjatuhan
bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.212
Berbeda dengan negara yang dianggap tidak mau (unwilling),
negara yang tidak mampu atau dianggap tidak mampu (unable) dalam
penyelesaian kejahatan internasional, sebelum terbentuknya Statuta Roma
1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional adalah negara yang tidak
dapat menerapkan sistem hukum nasionalnya. Keadaan negara tersebut,
terutama dalam penegakan hukum atas pelanggaran yang telah dilakukan
211
212
Arie Siswanto, Op. Cit., hlm. 2.
Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Op. Cit., hlm. 142.
102
tidak dapat dilaksanakan, baik dalam proses maupun hasil yang
diputuskan. Hal ini dapat di ketahui dengan mengamati peristiwa dan
penegakan hukumnya yang terjadi di Negara eks-Yugoslavia dan di
Negara Rwanda.
Negara Yugoslavia pada akhir perang dingin
mengalami
disintegrasi, sebagaimana yang dialami pula oleh negara-negara yang
berada di bawah naungan Blok Timur. Disintergrasi tersebut berkembang
menjadi sentiment etnis, yang menimbulkan kejahatan-kejahatan luar biasa
yang menjadi perhatian masyarakat internasional. Dewan Keamanan PBB
mengambil tindakan-tindakan sebagai reaksi telah terjadinya kejahatankejahatan berat yang telah menyita perhatian masyarakat internasional dan
kejahatan tersebut membahayakan perdamaian dunia, dengan mendirikan
Mahkamah eks-Yugoslavia untuk mengadili para pelaku kejahatan.
Pengambil alihan dalam penegakan hukum tersebut dengan pertimbangan
bahwa tidak dapatnya diterapkan sistem hukum nasional, mengingat
konflik yang yang terus terjadi di Wilayah eks-Yugoslavia. Selain itu
yang banyak menjadi korban adalah penduduk dari negara-negara bagian
yang melepaskan diri dari Federasi Yugoslavia. Negara-negara bagian
tersebut pada dasarnya lebih lemah secara keseluruhan, terutama dalam hal
militer. Hal ini sangat sulit ketika negara-negara bagian yang menjadi
korban harus mengadili para pelaku yang berasal dari Federasi Yugoslavia
dan Republik Serbia yang pada dasarnya merupakan negara yang unggul
103
dari segi kekuatan dibandingkan dengan negara-negara bagian lainnya,
sehingga hal akan menyulitkan dalam proses pengadilannya.
Konflik etnik yang terjadi di Rwanda tidak jauh berbeda dengan
konflik etnik di wilayah eks-Yugoslavia, yang dalam perkembangannya
negara tidak dapat menegakkan sistem hukum nasional atau mengadili
para pelaku kejahatan di Rwanda. Pengambil alihan dalam penegakan
hukum, untuk menggadili para pelaku kejahatan oleh Dewan Keamanan
PBB dengan mendirikan Mahkamah Rwanda, merupakan respon terhadap
keadaan dari sistem hukum nasional Negara Rwanda yang tidak dapat
ditegakan untuk mengadili para pelaku kejahatan. Jika sistem hukum
nasional Rwanda dipaksakan untuk diterapkan, maka tahap-tahap dalam
proses pengadilan akan sulit untuk dijalankan. Pendirian Mahkamah
Rwanda juga ditujukan untuk meredam kejahatan yang terjadi Rwanda,
yang sewaktu-waktu dapat terjadi kembali.
Kriteria negara dianggap tidak mau (unwilling) atau tidak mampu
(unable), dalam penyelesaian kejahatan internasional setelah adanya
Statuta Roma 1998. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 17 ayat 2 dan 3
Statuta Roma 1998 menentukan secara tegas negara yang dapat dianggap
tidak mau (unwilling) dan negara yang dianggap tidak mampu (unable)
dengan memberikan penjelasan mengenai kriteria negara tersebut.
Negara yang dapat dianggap tidak mau (unwilling), dalam Pasal 17
ayat 2, Mahkamah Pidana Internasional harus dapat mempertimbangkan
104
dengan asas-asas hukum acara yang diakui oleh hukum internasional dan
apakah satu atau lebih kriteria suatu negara dapat dianggap tidak mau
(unwilling) ditemukan dalam kesimpulan pandangan Mahkamah Pidana
Internasional. Terdapat tiga kriteria yang disebutkan dalam Statuta Roma
1998, yang ketiga kriteria tersebut bersifat alternatif.
Kriteria pertama, berdasarkan Pasal 17 ayat 2 huruf a Statuta Roma
1998. Negara dapat dianggap tidak mau (unwilling) oleh Mahkamah
Pidana Internasional apabila negara tersebut melalui sistem hukum
nasionalnya sedang atau telah melakukan langkah-langkah hukum, atau
bahkan sudah adanya keputusan dari peradilan nasional negara yang
bersangkutan, tetapi langkah-langkah yang sedang atau telah, bahkan
putusan yang dihasilkan oleh peradilan nasional negara tersebut, sematamata dengan maksud melindungi orang atau individu yang bersangkutan
dari tanggungjawab pidana atas kejahatan yang berada di bawah yurisdiksi
Mahkamah. Kata “Court” dalam Pasal 17 ayat 2 huruf (a) meski
berdasarkan Statuta Roma 1998 terjemahan
ICRC perwakilan untuk
Indonesia dan Timur Leste adalah Mahkamah, tatapi Aristo M.A.
Pangaribuan dalam literaturnya mengartikan dengan Mahkamah Pidana
Internasional (International Criminal Court/ICC).213
Kriteria kedua, berdasarkan Pasal 17 ayat 2 huruf (b) Statuta Roma
1998. Negara dapat dianggap tidak mau (unwilling) oleh Mahkamah
Pidana Internasional, apabila dalam proses penegakan hukum atau
213
Aristo M.A. Pangaribuan, Op. Cit., hlm. 63.
105
langkah-langkah
hukum
yang
sedang
ditempuh,
terdapat
suatu
penangguhan yang tidak dibenarkan. Penangguhan tersebut merupakan
keadaan yang tidak sesuai atau tidak konsisten dengan maksud membawa
orang yang bersangkutan ke depan Mahkamah. Kalimat “to justice” dalam
Pasal 17 ayat 2 huruf (b) dalam Statuta Roma 1998 terjemahan ICRC
perwakilan untuk Indonesia dan Timur Leste diartikan menjadi “ke depan
Mahkamah”,
tetapi
Aristo
M.A.
Pangaribuan
dalam
literaturnya
menerjemahkan pula menjadi “ke muka hukum”.214 Jika berdasarkan
terjemahan Aristo M.A. Pangaribuan Pasal 17 ayat 2 huruf (b), intinya
adalah adanya dalam suatu proses
atau langkah-langkah yang sedang
dilaksanakan terdapat suatu penangguhan, dimana penangguhan tersebut
merupakan suatu tindakan inkonsisten untuk membawa seseorang yang
bersangkutan atau orang yang harus dimintakan pertanggungjawabannya
ke muka hukum.
Kriteria ketiga, berdasarkan Pasal 17 ayat 2 huruf (c) Statuta Roma
1998. Negara dapat dianggap tidak mau (unwilling) oleh Mahkamah
Pidana Internasional, apabila dalam proses atau langkah-langkah yang
telah atau sedang dilaksanakan tidak secara mandiri (independen) atau
memihak, yang mana hal ini bertentangan dengan tujuan untuk membawa
seseorang
yang dianggap bertanggungjawab atas kejahatan luar biasa
(extraordinary crime) yang telah ditentukan dalam ketentuan Pasal 5
Statuta Roma 1998. Campur tangan yang menyebabkan suatu proses atau
214
Idem., hlm. 63-64.
106
langkah-langkah hukum tidak independen, dapat berupa intervensi yang
berasal di luar kekuasaan kehakiman (paradilan), sedangkan keberpihakan
dalam suatu proses atau langkah-langkah hukum, dapat disebabkan karena
pemegang otoritas dalam penegakan hukum tersebut, tendensius terdadap
salah satu pihak dengan alasan di luar dari pertimbangan hukum.
Negara yang dianggap tidak mampu (unable) setelah adanya
Statuta Roma 1998, turut pula dijelaskan dalam salah satu pasal Statuta
Roma 1998. Berbeda dengan kriteria
untuk menetukan negara
yang
dianggap tidak mau (unwilling), seperti yang dijelaskan dalam Pasal 17
ayat 2, kriterian untuk menentukan bahwa suatu negara dapat dianggap
tidak mampu (unable) adalah seperti yang dijelaskan dalam ketentuan
Pasal 17 ayat 3. Negara yang dapat dianggap oleh Mahkamah Pidana
Internasional sebagai negara yang tidak mampu (unable) adalah negara
yang dalam kasus tertentu tidak dapat melaksanakan kewajibannya untuk
menegakkan sistem hukum
nasional negaranya. Mahkamah Pidana
Internasional dalam hal menentukan dengan mempertimbangkan apakah
ketidaksediaan negara tersebut disebabkan oleh keruntuhan menyeluruh
atau sebagian sistem pengadilan nasionalnya. Negara tidak mampu
menangkap tertuduh atau mendapatkan bukti dan kesaksian yang
diperlukan, atau pun tidak dapat melakukan proses-proses atau langkahlangkah hukumnya. Berbeda dengan dokumen
Statuta Roma 1998
terjemahan ICRC, bahwa ketidaksediaan suatu negara dalam suatu kasus
disebabkan oleh keruntuhan menyeluruh atau sebagian sistem pengadilan
107
nasionalnya. Aristo M.A. Pangaribuan memberikan pengertian terhadap
Pasal 17 ayat 3, bahwa ketidaksediaan suatu negara dalam suatu kasus
disebabkan oleh tidak berfungsinya sistem yudisial negara tersebut secara
penuh ataupun substansial, sehingga tidak memungkinkan dalam proses
atau langkah-langkah penegakan sistem hukum nasional (peradilan)
dilakukan secara objektif dan imparsial.215 Selanjutnya Aristo M.A.
Pangaribuan, menjelaskan bahwa terdapat tiga elemen yang menentukan
ketidaksediaan negara dalam menjalankan kewajibannya berdasarkan
Pasal 17 ayat 3 Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana
Internasional, yaitu:
1. Saat negara tidak dapat menangkap tersangka;
2. Saat negara tidak mampu mendapatkan bukti-bukti yang
diperlukan dan keterangan saksi untuk membawa tertuduh ke
muka pengadilan;
3. Saat negara tidak sama sekali dapat menjalankan proses
hukum, mengingat tidak berfungsinya sistem peradilan yang
terdapat di negara tersebut, karena tidak adanya pemerintahan
yang kuat di negara tersebut.216
Boer Mauna mengemukakan pendapatnya secara umum, mengenai
dalam
hal bagaimana suatu negara yang dapat dianggap tidak mau
(unwilling) dan negara yang dianggap tidak mampu (unable), jika
215
216
Idem., hlm. 64-65.
Idem., hlm. 65-66.
108
penyidikan dan penuntutan dilaksanakan oleh suatu negara melalui
peradilan nasional, akan tetapi meski dilakukan sesuai dengan prosedur
yang
berlaku, namun tidak sungguh-sungguh dalam pelaksanaannya.
Ketidaksediaan akan timbul ketika peradilan di negara tersebut tidak dapat
mendapatkan bukti-bukti yang diperlukan atau kesaksian dari para saksi
untuk melanjutkan proses atau langkah-langkah pemeriksaan perkara.217
Kejahatan yang terjadi di Republik Demokratik Kongo merupakan
kasus yang ditangani Mahkamah Pidana Internasional, setelah berlakunya
Statuta Roma 1998. Kasus ini diambil alih oleh Mahkamah Pidana
Internasional, mengingat Republik Demokratik Kongo dianggap sebagai
negara yang tidak mampu (unable) dalam menegakkan sistem hukum
nasionalnya atau tidak mampu untuk menjalankan proses peradilan bagi
pelaku kejahatan. Republik Demokratik Kongo tidak dapat melaksanakan
langkah-langkah atau proses peradilan, disebabkan pemegang otoritas dari
Republik Demokratik Kongo tidak memiliki kekuatan
yang cukup
mengadili para pelaku kejahatan.
B. Implementasi Statuta Roma 1998 Terhadap Negara Yang Dianggap
Tidak Mau (Unwilling) atau Tidak Mampu (Unable)
Implementasi Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana
Internasional terhadap negara yang dianggap tidak mau (unwilling) atau
tidak mampu (unable), perlu memperhatikan prinsip-prinsip dasar
Mahkamah Pidana Internasional, seperti mengenai yurisdiksi ratione
217
Boer Mauna, Op. Cit., hlm. 298.
109
temporis, yang terdapat dalam ketentuan Pasal 11 ayat 1 dan 2 Statuta
Roma 1998, yang redaksinya sebagai berikut:
1. The Court has jurisdiction only with respect to crimes
committed after the entry into force of this Statute.
2. If a State becomes a Party to this Statute after its entry into
force, the Court may exercise its jurisdiction only with respect
to crimes committed after the entry into force of this Statute for
that State, unless that State has made a declaration under
article 12, paragraph 3.218
Selanjutnya Pasal 11 ayat 1 dan 2 di perjelas kembali dalam Pasal 12 ayat
2 dan 3 mengenai tempat dan pelaku kejahatan dari satu atau lebih negara
pihak dari Statuta Roma 1998 atau negara bukan pihak yang menerima
yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal
Court/ICC). Ketentuan lebih lengkapnya sebagai berikut:
2. In the case of article 13, paragraph (a) or (c), the Court may
exercise its jurisdiction if one or more of the following States
are Parties to this Statute or have accepted the jurisdiction of
the Court in accordance with paragraph 3:
(a) The State on the territory of which the conduct in question
occurred or, if the crime was committed on board a vessel
or aircraft, the State of registration of that vessel or
aircraft;
(b) The State of which the person accused of the crime is a
national.
3. If the acceptance of a State which is not a Party to this Statute
is required under paragraph 2, that State may, by declaration
lodged with the Registrar, accept the exercise of jurisdiction
by the Court with respect to the crime in question. The
accepting State shall cooperate with the Court without any
delay or exception in accordance with Part 9.219
Pasal 13 Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana
Internasional, juga menentukan para pihak beserta mekanisme untuk
218
219
Article 11 (1) and (2) Rome Statute of The International Criminal Court 1998.
Article 12 (2) and (3) Rome Statute of The International Criminal Court 1998.
110
mengajukan kasus ke Penuntut Umum (Prosecutor). Berikut ketentuan
lengkap yang terdapat dalam Pasal 13, yaitu:
The Court may exercise its jurisdiction with respect to a crime
referred to in article 5 in accordance with the provisions of this
Statute if:
(a) A situation in which one or more of such crimes appears to
have been committed is referred to the Prosecutor by a State
Party in accordance with article 14;
(b) A situation in which one or more of such crimes appears to
have been committed is referred to the Prosecutor by the
Security Council acting under Chapter VII of the Charter of the
United Nations; or
(c) The Prosecutor has initiated an investigation in respect of such
a crime in accordance with article 15.220
Ketentuan mengenai Negara Pihak dalam Statuta Roma 1998 yang
menyerahkan suatu situasi (kasus), sebagai mana yang diatur dalam Pasal
13 huruf (a) Statuta Roma 1998, dijelaskan lebih lanjut dalam ketentuan
Pasal 14 ayat 1 dan 2 Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana
Internasional, dengan ketentuan lengkapnya sebagai berikut:
1. A State Party may refer to the Prosecutor a situation in which
one or more crimes within the jurisdiction of the Court appear
to have been committed requesting the Prosecutor to
investigate the situation for the purpose of determining whether
one or more specific persons should be charged with the
commission of such crimes.
2. As far as possible, a referral shall specify the relevant
circumstances and be accompanied by such supporting
documentation as is available to the State referring the
situation.221
220
221
Article 13 (a), (b), and (c) Rome Statute of The International Criminal Court 1998.
Article 14 (1), and (2) Rome Statute of The International Criminal Court 1998.
111
Setelah terlaksananya langkah-langkah atau proses sebagai mana
yang telah ditentukan dalam Pasal 14 ayat 1 dan 2 Statuta Roma 1998,
maka langkah-langkah berikutnya yang harus ditempuh, secara garis besar
dijelaskan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 18 ayat 1 Statuta Roma 1998
tentang Mahkamah Pidana Internasional, dengan ketentuan lengkapnya
sebagai berikut:
1. When a situation has been referred to the Court pursuant to
article 13 (a) and the Prosecutor has determined that there
would be a reasonable basis to commence an investigation, or
the Prosecutor initiates an investigation pursuant to articles 13
(c) and 15, the Prosecutor shall notify all States Parties and
those States which, taking into account the information
available, would normally exercise jurisdiction over the crimes
concerned. The Prosecutor may notify such States on a
confidential basis and, where the Prosecutor believes it
necessary to protect persons, prevent destruction of evidence
or prevent the absconding of persons, may limit the scope of
the information provided to States.222
Langkah-langkah atau proses yang berdasarkan inisiatif Penuntut
Umum sebagaimana yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 13 huruf (c)
Statuta Roma 1998, pun dijelaskan lebih lanjut dalam ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 15 Statuta Roma 1998, yang lengkapnya sebagai
berikut:
1. The Prosecutor may initiate investigations proprio motu on the
basis of information on crimes within the jurisdiction of the
Court.
2. The Prosecutor shall analyse the seriousness of the information
received. For this purpose, he or she may seek additional
information from States, organs of the United Nations,
intergovernmental or non-governmental organizations, or
222
Article 18 (1) Rome Statute of The International Criminal Court 1998.
112
other reliable sources that he or she deems appropriate, and
may receive written or oral testimony at the seat of the Court.
3. If the Prosecutor concludes that there is a reasonable basis to
proceed with an investigation, he or she shall submit to the
Pre-Trial Chamber a request for authorization of an
investigation, together with any supporting material collected.
Victims may make representations to the Pre-Trial Chamber, in
accordance with the Rules of Procedure and Evidence.
4. If the Pre-Trial Chamber, upon examination of the request and
the supporting material, considers that there is a reasonable
basis to proceed with an investigation, and that the case
appears to fall within the jurisdiction of the Court, it shall
authorize the commencement of the investigation, without
prejudice to subsequent determinations by the Court with
regard to the jurisdiction and admissibility of a case.
5. The refusal of the Pre-Trial Chamber to authorize the
investigation shall not preclude the presentation of a
subsequent request by the Prosecutor based on new facts or
evidence regarding the same situation. If, after the preliminary
examination referred to in paragraphs 1 and 2, the Prosecutor
concludes that the information provided does not constitute a
reasonable basis for an investigation, he or she shall inform
those who provided the information. This shall not preclude the
Prosecutor from considering further information submitted to
him or her regarding the same situation in the light of new
facts or evidence.223
Prinsip-prinsip dasar ketika suatu negara atau pemegang otoritas
lainnya akan memberlakukan Statuta Roma 1998, mengenai jenis-jenis
kejahatan yang terdapat dalam Pasal 5 Statuta Roma 1998 tentang
Mahkamah Pidana Internasional yang telah terjadi. Implementasi Statuta
Roma 1998 atau berlakunya Mahkamah Pidana Internasional pada
dasarnya bersifat komplementer, seperti yang termaktub dalam ayat 10
Pembukaan Statuta Roma 1998 dan ditekankan kembali ketentuan
mengenai sifat atau prinsip komplementer Mahkamah Pidana Internasional
dalam ketentuan Pasal 1 Statuta Roma 1998. Dua ketentuan tersebut, yaitu
223
Article 15 Rome Statute of The International Criminal Court 1998.
113
ayat 10 Pembukaan dan Pasal 1 Statuta Roma 1998, pada intinya
menegaskan bahwa Mahkamah Pidana Internasional yang dibentuk di
bawah Statuta Roma 1998 merupakan pelengkap dari yurisdiksi pidana
nasional. Prinsip ini sekaligus merupakan pencerminan penghormatan
terhadap prinsip kedaulatan negara dan suatu pengharapan masyarakat
internasional supaya sistem hukum nasional memuat pengaturan untuk
mengadili para pelaku kejahatan yang menjadi perhatian dunia/kejahatan
luar biasa.224
Kedaulatan negara dalam menerapkan sistem hukum nasionalnya,
khususnya mengenai hukum pidana, juga ditekankan dalam ketentuan ayat
6 Pembukaan Statuta Roma 1998. Merupakan kewajiban seperti yang
ditentukan dalam ketentuan ayat 6 Pembukaan Statuta Roma 1998, bagi
suatu negara untuk melaksanakan yurisdiksi pidananya terhadap orangorang yang dianggap bertanggungjawab, atas jenis-jenis kejahatan yang
terdapat dalam ketentuan Pasal 5 ayat 1
Statuta Roma 1998, yaitu
kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusian, kejahatan perang, dan
kejahatan
agresi,
yang
menjadi
perhahatian
serius
masyarakat
internasional.
Penegakan hukum atas kejahatan luar biasa yang menjadi perhatian
masyarakat internasional, yang penanganannya menjadi suatu kewajiban
dari suatu negara yang bersangkutan, dalam keadaan tertentu negara
tersebut tidak bisa melaksanakan yang menjadi kewajiban. Ketika negara
224
Boer Mauna, Op. Cit., hlm. 297.
114
tersebut tidak dapat melaksanakan kewajibannya, jika ditinjau khususnya
dalam ketentuan yang terdapat dalam Pasal 17 ayat 2 dan 3, maka negara
tersebut dapat dianggap tidak mau (unwilling) atau dapat pula dianggap
tidak mampu (unable).
Implementasi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap
Negara Pihak dan Negara bukan Pihak Statuta Roma 1998 berdasarkan
penjelasan sebelumnya, menegaskan
kembali bahwa negara
yang
dimaksud di sini adalah negara yang dianggap tidak mau (unwilling) atau
tidak mampu (unable) oleh Mahkamah Pidana Internasional. Mengingat
pula bahwa yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional tidak mungkin
diimplementasikan terhadap negara yang mampu atau mau dalam
penegakan sistem hukum nasionalnya.
Terhadap negara yang merupakan pihak dalam Statuta Roma 1998,
Pasal 11 ayat 1 dan 2
menjelaskan yurisdiksi ratione temporis atas
kejahatan yang terjadi. Ketentuan Pasal 11 ayat 1 menjelaskan bahwa
yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional hanya dapat diimplementasikan
terhadap kejahatan yang terjadi setelah berlakunya Statuta Roma 1998.
Berlakunya Statuta Roma 1998 dimulai sejak tanggal 1 Juli 2002, sesuai
dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 126 ayat 1, yang mana
Statuta Roma 1998 mulai berlaku pada hari pertama dari bulan setelah hari
keenam puluh, setelah didepositkannya instrumen diratifikasi, penerimaan,
115
pengesahan
atau tambahan yang ke-60 pada Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kejahatan
yang
menjadi
yurisdiksi
Mahkamah
Pidana
Internasional adalah kejahatan yang terjadi pada saat atau setelah tanggal 1
Juli 2002, atas dasar ketentuan tersebut maka Mahkamah Pidana
Internasional tidak memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan yang terjadi
sebelum Statuta Roma 1998 berlaku. Pasal 11 ayat 2 menentukan lebih
lanjut bahwa jika terdapat Negara yang meratifikasi Statuta Roma 1998
setelah Statuta ini berlaku, maka Mahkamah Pidana Internasional hanya
memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan yang terjadi setelah dinyatakan
berlakunya Statuta Roma 1998 bagi negara tersebut, kecuali negara
tersebut menerima yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional melalui
sebuah deklarasi yang disampaikan kepada Panitera Mahkamah Pidana
Internasional sesuai ketentuan Pasal 12 ayat 3 Statuta Roma 1998.
Pasal 12 ayat 2 menentukan mengenai tempat dan pelaku
kejahatan, yang menjadi yurisdiksi dari Mahkamah Pidana Internasional,
dari satu atau lebih Negara Pihak dari Statuta Roma 1998. Mahkamah
Pidana Internasional dapat menerapkan yurisdiksinya terhadap kejahatan,
yang kejahatan tersebut masih memiliki hubungan dengan satu atau lebih
Negara Pihak dalam Statuta Roma 1998. Hubungan yang dimaksud dalam
hal ini adalah hubungan yang menjadi alasan atau syarat dapat berlakunya
yurisdiksi
Mahkamah
Pidana
Internasional.
dipersyaratkan bersifat alternatif sebagai berikut:
Hubungan
yang
116
1. Kejahatan terjadi di wilayah kekuasaan dari Negara Pihak dari Statuta
Roma 1998 atau terjadi di atas kapal atau pesawat terbang, yang mana
negara tempat kapal atau pesawat terbang tersebut terdaftar,
merupakan Negara Pihak dari Statuta Roma 1998;
2. Orang yang dituduh melakukan kejahatan merupakan warga negara
dari Negara Pihak Statuta Roma 1998.
Implementasi Statuta Roma 1998, pada dasarnya merupakan
penerapan atau pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional
terhadap suatu negara dimana kejahatan
yang menjadi perhatian
masyarakat
yang
internasional
terjadi.
Negara
menjadi
tempat
diberlakukannya Statuta Roma 1998 atau yurisdiksi Mahkamah Pidana
Internasional merupakan negara yang dianggap tidak mau/ketidakmauan
(unwilling) atau dianggap tidak mampu (unable) oleh Mahkamah Pidana
Internasional. Pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional
terdapat beberapa mekanisme, ditinjau dari siapa pihak yang berinisiatif
atau dapat mengajukan kasus. Statuta Roma 1998 menentukan untuk kasus
yang terjadi di Negara Pihak, maka terdapat tiga mekanisme untuk
memberlakuan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional.
Mekanisme pertama berdasarkan inisiatif Negara Pihak Statuta
Roma 1998.
Negara Pihak dapat mengajukan satu atau lebih kasus
kejahatan yang tejadi, seperti yang termaktub dalam Pasal 13 huruf (a).
Negara Pihak dalam hal ini menyerahkan suatu kasus dimana satu atau
117
lebih kejahatan tampak telah dilakukan. Kejahatan tersebut masuk dalam
yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Negara Pihak dalam hal ini
juga meminta kepada Penuntut Umum untuk melakukan penyelidikan
terhadap kasus, guna menetapkan apakah dapat seseorang atau lebih dapat
dituduh sebagai orang yang bertanggungjawab atas kejahatan tersebut.
Mekanisme ini juga ditentukan dalam Pasal 14 ayat 1 dan 2 Statuta Roma
1998. Penyerahan kasus kepada Penuntut Umum, sedapat mungkin
penyerahan tersebut diperinci dengan kasus yang berkaitan dan disertai
dengan dokumen pendukung, sejauh dokumen pendukung yang dimiliki
oleh Negara Pihak yang melakukan penyerahan kasus terkait. Pasal 18
ayat 1 turut menentukan bahwa Penuntut Umum akan memulai
penyelidikan jika ada dasar
yang masuk akal mengenai kasus yang
diserahkan oleh Negara Pihak. Penuntut Umum akan memberi tahu semua
Negara Pihak dan Negara yang memperhitungkan informasi yang tersedia,
bahwa akan melaksanakan Penyelidikan terhadap kejahatan yang
bersangkutan.
Penyelidikan yang dilakukan oleh Penuntut Umum tidak perlu
meminta otoritas atau kewenangan untuk melaksanakan penyelidikan,
kepada Sidang Pra-Peradilan, kecuali jika terdapat keberatan yang
diajukan kepada Sidang Pra-Peradilan, atas yurisdiksi Mahkamah Pidana
Internasional dalam bentuk penyelidikan atau investigasi yang dilakukan
118
oleh Penuntut Umum. Tentunya dalam hal ini Sidang Pra-Peradilan harus
memutus keberatan yang diajukan.225
Negara yang menerapkan mekanisme ini yaitu penyerahan kasus
oleh Negara Pihak kepada Penuntut Umum adalah negara yang dilanda
kasus, seperti Kongo, Uganda, dan Republik Afrika Tengah.226
Mekanisme kedua berdasarkan inisiatif Dewan Keamanan PBB.
Dewan Keamanan PBB yang dapat mengajukan satu atau lebih kejahatan
yang tampak telah terjadi. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa
melakukan langkah-langkah tersebut merupakan salah satu upaya untuk
menjaga keamanan dunia, mengingat sebagai mana
yang ditentukan
dalam Bagian VII (Chapter VII) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN
Charter).227 Seperti yang diatur dalam Pasal 13 huruf (b) Statuta Roma
1998. Dewan Keamanan menyerahkan suatu kasus, yang tampak telah
terjadi satu atau lebih kejahatan kepada Penuntut Umum. Sedangkan
mekanisme atau langkah-langkah berikutnya, yaitu ketika Penuntut Umum
memutuskan untuk melakukan penyelidikan, maka Penuntut Umum tidak
perlu meminta Otoritas dari Sidang Pra-Peradilan. Penuntut Umum bisa
langsung penyelidikan, kecuali jika ada keberatan mengenai yurisdiksi
Mahkamah Pidana Internasional, terkait dengan penyelidikan atau
investigasi yang dilakukan oleh Penuntut Umum, maka disinilah tugas
225
Aristo M.A. Pangaribuan, Op. Cit., hlm. 44.
Idem., hlm. 36.
227
Idem., hlm. 36-37.
226
119
Sidang Pra-Peradilan untuk mengadili apabila ada yang keberatan.228
Mekanisme ini juga rawan intervensi politik dan menuai banyak kritik.229
Mekanisme ketiga berdasarkan inisiatif dari Penuntut Umum
sendiri. Penuntut Umum sendiri dapat berinisiatif untuk melakukan
penyelidikan dan menerapkan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional,
sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 13 huruf (c) Statuta
Roma 1998. Mekanisme ketiga yang dilakukan atas inisiatif sendiri dari
Penuntut Umum untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus dapat
disebut dengan istilah Proprio Motu, seperti yang terdapat dalam
ketentuan Pasal 15 ayat 1 Statuta Roma 1998.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam mekanisme inisiatif dari
Penuntut Umum, dalam Pasal 13 huruf (c) Statuta Roma 1998 menentukan
lebih lanjut harus sesuai dengan ketentuan Pasal 15 Statuta Roma 1998.
Penuntut Umum ketika sudah melakukan proprio motu berdasarkan Pasal
13 huruf (c) jo. Pasal 15 ayat 1 Statuta Roma 1998, maka Penuntut Umum
perlu
melakukan
langkah-langkah
atau
mekanisme
seperti
yang
dipaparkan dalam Pasal 15 ayat 2, 3, 4, 5, dan 6 Statuta Roma 1998, yaitu
dalam hal ketika Penuntut Umum memutuskan untuk melakukan
penyelidikan, mengingat kesimpulan atas dasar yang masuk akal dalam
kasus yang diajukan atas inisiatif sendiri, sebelumnya Penuntut Umum
tentuya sudah menganalisis informasi yang didapat dari berbagai pihak.
228
229
Idem., hlm. 44.
Idem., hlm. 37.
120
Tahap berikutnya penyelidikan masih belum bisa dilaksanakan,
meskipun Penuntut Umum sudah berkesimpulan bahwa kasus sudah
memiliki dasar yang masuk akal untuk dilakukan penyelidikan. Penuntut
Umum jika menyatakan bahwa situasi yang diangkat atas inisiatif sendiri
dari Penuntut Umum, sudah memiliki dasar yang masuk akal, disampaikan
kepada Sidang Pra-Peradilan untuk meminta suatu kewenangan untuk
melakukan penyelidikan dari Sidang Pra-Peradilan. Permohonan untuk
melakukan penyelidikan juga dibarengi dengan penyerahan bahan
pendukung yang telah berhasil dikumpulkan.
Sidang Pra-Peradilan akan memeriksa permohonan beserta bahanbahan pendukung yang diserahakan oleh Penuntut Umum, dan apabila
terdapat dasar yang masuk akal untuk melakukan penyelidikan, maka
Sidang Pra-Peradilan akan memberikan kewenangan kepada Penuntut
Umum untuk melakukan penyelidikan. Sehingga jika Sidang Pra-Peradilan
berkesimpulan tidak ada dasar yang masuk akal untuk melakukan
penyelidikan, maka Penuntut Umum tidak dapat melakukan penyelidikan
atas kasus yang bersangkutan.
Penolakan yang dilakukan oleh Sidang Pra-Peradilan atas
permohonan
penyelidikan yang diajukan oleh Penuntut Umum, tidak
menghalangi Penuntut Umum untuk mengajukan kembali permohonan
untuk melakukan penyelidikan atas kasus yang sama, berdasarkan faktafakta atau bukti-bukti yang baru. Hal ini berlaku pula ketika Penuntut
121
Umum menganalisis informasi yang didapatkan, dan tenyata informasi
tersebut tidak menjadi dasar akal untuk melanjutkan ke tingkat
penyelidikan, maka hal ini tidak menghalangi pula bagi Penuntut Umum
untuk memeriksa kembali dan mempertimbangkan lebih lanjut kasus
berdasarkan fakta-fakta atau bukti baru.
Mekanisme yang dilakukan atas inisiatif Penuntut Umum ini juga
menuai banyak kritik dari berbagai kalangan, yang mempertanyakan
independensi Penuntut umum, mengingat negara yang mengalami
mekanisme seperti ini adalah Negara Pantai Gading dan Kenya, yang pada
dasarnya negar-negara tersebut tidak memiliki daya tawar yang kuat di
dunia internasional.230
Setelah menjelaskan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional
terhadap Negara Pihak dalam Statuta Roma 1998, maka berikutnya adalah
menjelaskan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap negara
yang merupakan bukan Negara Pihak dalam Statuta Roma 1998.
Mengenai yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap negara
yang merupakan bukan Negara Pihak dalam Statuta Roma 1998, Statuta
Roma 1998 menentukan untuk kasus yang terjadi di Negara bukan Pihak
Statuta Roma 1998, maka terdapat dua mekanisme untuk memberlakuan
yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional.
230
Idem., hlm. 34-35.
122
Mekanisme pertama yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional
dapat diterapkan atas inisiatif Negara bukan Pihak dari Statuta Roma 1998.
Negara bukan Pihak dari Statuta Roma 1998 dapat mengajukan satu atau
lebih kejahatan yang tejadi, seperti yang tertera dalam Pasal 12 ayat 3. Jika
dicermati ketentuan Pasal 12 ayat 3 secara implisit menyatakan bahwa
negara
bukan
pihak
dalam
Statuta
Roma
1998,
dapat
mengimplementasikan Statuta Roma 1998 atau yurisdiksi Mahkamah
Pidana Internasional terhadap kejahatan tertentu. Pemberlakuan tersebut
dilakukan dengan cara, negara bukan pihak melakukan deklarasi
penerimaan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap kejahatan
tertentu, yang kemudian deklarasi tersebut disampaikan kepada Panitera
Mahkamah Pidana Internasional.
Kejahatan yang oleh negara bukan Pihak Statuta Roma 1998
diberlakukan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional adalah kejahatan
yang sebagai mana dipersyaratkan dalam Pasal 12 ayat 2 huruf (a) dan
(b), yaitu:
1. Kejahatan terjadi di wilayah kekuasaan dari negara bukan Pihak dari
Statuta Roma 1998 yang mendeklarasikan penerimaan yurisdiksi
Mahkamah Pidana Internasional atau terjadi di atas kapal atau pesawat
terbang, yang mana negara tempat kapal atau pesawat terbang tersebut
terdaftar;
123
2. Orang yang dituduh melakukan kejahatan merupakan warga negara
dari negara bukan Pihak Statuta Roma 1998 yang mendeklarasikan
penerimaan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional.
Syarat kejahatan yang terjadi terhadap negara bukan Pihak Statuta Roma
1998 di atas, sama dengan syarat kejahatan yang berlaku terhadap Negara
Pihak.
Mekanisme kedua yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional
dapat diterapkan atas inisiatif Dewan Keamanan PBB terhadap negara
bukan Pihak Statuta Roma 1998, berdasarkan ketentuan Pasal 13 (b)
Statuta Roma 1998, dengan mengingat tugas yang ditentukan dalam
Bagian VII (Chapter VII) Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa (UN
Charter) sebagai penjaga keamanan dan perdamaian dunia. Berdasarkan
langkah-langkah yang sama, seperti yang dijelaskan sebelumnya. Sidang
Pra-Peradilan untuk mengadili apabila ada yang keberatan.231 Mekanisme
ini telah digunakan oleh Dewan Keamanan PBB terhadap negara Libya
dan Sudan, yang pada dasarnya bukan merupakan anggota Statuta Roma
1998 dan termasuk negara yang tidak memiliki daya tawar yang tinggi di
dunia internasional232
231
232
Idem., hlm. 44.
Idem., hlm. 36-37.
124
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Suatu negara yang dianggap tidak mau (unwilling) dan negara yang
dianggap tidak mampu (unable), memiliki perbedaan kriteria. Terdapat
tiga kriteria yang bersifat alternatif suatu negara yang dianggap tidak
mau (unwilling), yaitu:
a. Apabila negara sedang atau telah melakukan langkah-langkah
hukum, atau sudah adanya keputusan dari peradilan nasional, tetapi
semata-mata dengan maksud melindungi orang yang bersangkutan
dari tanggungjawabnya.
b. Apabila dalam proses hukum
yang sedang ditempuh, terdapat
suatu penangguhan yang tidak dibenarkan.
c. Apabila dalam proses hukum yang telah atau sedang dilaksanakan,
tidak secara mandiri (independen) atau memihak.
Kriteria suatu negara yang dianggap tidak mampu (unable) merupakan
negara yang
dalam kasus tertentu tidak dapat melaksanakan
kewajibannya, disebabkan oleh tidak berfungsinya sistem yudisial
negara tersebut secara penuh ataupun substansial.
2. Implementasi Statuta Roma 1998 terhadap negara yang dianggap tidak
mau (unwilling) atau tidak mampu (unable) dalam praktiknya dapat
berlaku terhadap Negara Pihak Statuta Roma 1998 dan bukan negara
125
Pihak Statuta Roma 1998. Terhadap Negara Pihak dapat menggunakan
tiga mekanisme, yaitu berdasarkan inisiatif Negara Pihak, Dewan
Keamanan dan Penuntut Umum, sedangkan untuk negara bukan Pihak,
dapat menggunakan dua mekanisme, yaitu atas inisatiaf negara bukan
Pihak dan Dewan Keamanan.
B. Saran
Beberapa saran dapat diberikan berkaitan dengan permasalahan
yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Statuta Roma 1998 tidak menentukan waktu penangguhan
yang
dilakukan oleh negara, yang dapat dikategorikan negara tersebut tidak
mau (unwilling), sehingga perlu adanya penelitian lebih lanjut
mengenai masalah waktu penangguhan.
2. Pasal 16 Statuta Roma 1998, menyebutkan bahwa Dewan Keamanan
PBB melalui resolusi berdasarkan Bab VII Piagam PBB dapat
mengajukan permohonan penundaan penyelidikan dan penuntutan,
sehingga perlu adanya pengkajian ulang mengenai independensi
Mahkamah Pidana Internasional dalam penelitian selanjutnya.
126
DAFTAR PUSTAKA
Literatur/Buku:
Ardhiwisastra, Yudha Bhakti, 2003, Hukum Internasional; Bunga
Rampai, Alumni, Bandung.
Atmasasmita, Romli, 2000, Pengantar Hukum Pidana Internasional,
Refika Aditama, Bandung.
Dewi, Yustina Trihoni Nalesti, 2013, Kejahatan Perang dalam Hukum
Imternational dan Hukum Nasional, Rajawali Pers, Jakarta.
Downing , Stephane, 2007, Dwi Ekasari Ariani (penerjemah), Holocaust;
Fakta atau Fiksi, Media Pressindo, Yogyakarta.
Hiariej, Eddy O.S., 2009, Hukum Pidana Internasional, Erlangga,
Jakarta.
Ismail, H. M. Isplancius, 2011, Konsep Dasar Hukum Internasional,
UPT. Percetakan dan Penerbitan Universitas Jenderal Soedirman,
Purwokerto.
Istanto, Sugeng, 2010, Hukum Internasional, Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta.
Kelsen, Hans, 1978, Pure Theory of Law, Terjemahan oleh Raisul
Muttaqin, Berkely University of California Press, California.
Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes, 2003, Edisi Kedua,
Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung.
Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta.
Mauna, Boer, 2005, Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan
Fungsi dalam Era Dinamika global, Edisi Kedua, Alumni,
Bandung.
Pangaribuan, Aristo M.A., 2013, Perdebatan Menuju Mahkamah Pidana
Internasional(International Criminal Court), Papas Sinar Sinanti
dan Badan Penerbit FHUI, Jakarta.
Parthiana, I Wayan, 2002, Hukum Perjanjian Internasional: Bagian 1,
Mandar Maju, Bandung.
127
---------, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung.
Permanasari, Arlina dkk, 1999, Pengantar Hukum
Internasional Committee of the Red Cross, Jakarta.
Humaniter,
Pratomo, Eddy, 2011, Hukum Perjanjian Internasional: Pengertian,
Status Hukum dan Ratifikasi, Alumni, Bandung.
Sargent, Lyment Tower, Henry Sitanggung (penerjemah), 1984,
Ideology-ideologi Politik Kontemporer: Sebuah Analisis
Komparatif, Erlangga, Jakarta.
Siswanto, Arie, 2005, Yurisdiksi Material Mahkamah Kejahatan
Internasional, Ghalia Indonesia, Bogor.
Soehino, 2005, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta.
Strake, J. G., 2008, Pengantar Hukum Internasional 1 ; Edisi Kesepuluh,
Sinar Grafika, Jakarta.
Suherman, Ade Maman, 2003, Organisasi Internasional dan Integrasi
Ekonomi Regional; dalam Persfektif hukum dan globalisasi,
Ghalia Indonesia, Jakarta.
Suwardi, Sri Setianingsih, 2004, Pengantar Hukum Organisasi
Internasional, UI-Press, Jakarta.
Suryanegara, Ahmad Mansyur, 2010, Api Sejarah 2; Buku yang akan
Menuntaskan Kepenasaranan Anda akan Kebenaran Sejarah
Indonesia, Salamadani, Bandung.
Wahjoe, Oentoeng, 2011, Hukum Pidana Internasional; Perkembangan
Tindak Pidana Internasional dan Proses Penegakannya,
Erlanggga, Jakarta.
Waluyo, Bambang, 1991, Penelitian Hukum dalam Praktik, Sinar
Grafika, Jakarta.
Peraturan Perundang-undangan:
Rome Statute Of The International Criminal Court 1998
Statute of The International Court Justice 1946
Charter of the United Nations 1945
128
Vienna Convention on the Law of Treaties 1969
Konvensi Montevideo 1933 tentang Hak dan Keawajiban Negara
Website:
International Criminal Court, Assembly of States Parties, States Parties to
the Rome Statute, 2014, http://www.icc-cpi.int/en_menus/asp
/states%20parties/Pages/the%20states% 20parties%20to%20the
%20rome%20statute.aspx, diakses pada tanggal 12 September
2014.
---------, Situation in Democratic Republic of the Congo, Related Cases,
2012, http://www.icccpi.int/en_menus/icc/situations%20and%20
cases/situations/situation%20icc%200104/Pages/situation%20
index.aspx, diakses pada tanggal 12 September 2014.
---------, Situation in Democratic Republic of the Congo, The Prosecutor
v. Thomas Lubanga Dyilo, 2012, http://www.icc-cpi.int/
en_menus/icc/situations %20and%20 cases/situations/situation
%20icc%200104/related%20cases/icc%200104%200106/Pages/d
emocratic%20republic%20of%20the%20congo.aspx,
diakses
pada tanggal 12 September 2014.
Muladi, Peradilan Hak Asasi Manusia dalam Konteks Nasional dan
Internasional,
http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar
/Pengadilan%20ham%20dalam% 20konteks%20nasional %20
dan%20internasional%20-%20muladi.pdf, diakses pada tanggal
21 Oktober 2014.
Panglima Perang Kongo Dipenjara Karena Pakai Tentara Anak: BBC
Indonesiia, 2012, http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/ 2012
/07/120710_congosentence, diakses pada tanggal 18 September
2012.
Pemimpin Milisi Kongo Jadi Tersangka Pertama yang Diadili di
Pengadilan Internasioal: Republika (on line), 26 Januari 2009,
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/ internasional
/09/01/26/27996-pemimpin-milisi-kongo-jadi-tersangka-pertama
-yang-diadili-di-pengadilan-internasioal, diakases pada tanggal
18 September 2014.
Tokoh Perang Kongo Diadili dalam ICC: Republika (on line), 27 Januari
2009,
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/inter
nasional/09/01/27/28028-tokoh-perang-kongo-diadili-dalam-icc,
diakses pada tanggal 12 September 2014.
129
LAMPIRAN
Lampiran 1. States Parties and Chronological List
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
Negara
Senegal
Trinidad and Tobago
San Marino
Italy
Fiji
Ghana
Norway
Belize
Tajikistan
Iceland
Venezuela
France
Belgium
Canada
Mali
Lesotho
New Zealand
Botswana
Luxembourg
Sierra Leone
Gabon
Spain
South Africa
Marshall Islands
Germany
Austria
Finland
Argentina
Dominica
Andorra
Paraguay
Croatia
Costa Rica
Antigua and Barbuda
Denmark
Tanggal
02 February 1999
06 April 1999
13 May 1999
26 July 1999
29 November 1999
20 December 1999
16 February 2000
05 April 2000
05 May 2000
25 May 2000
07 June 2000
09 June 2000
28 June 2000
07 July 2000
16 August 2000
06 September 2000
07 September 2000
08 September 2000
08 September 2000
15 September 2000
20 September 2000
24 October 2000
27 November 2000
07 December 2000
11 December 2000
28 December 2000
29 December 2000
08 February 2001
12 February 2001
30 April 2001
14 May 2001
21 May 2001
07 June 2001
18 June 2001
21 June 2001
130
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
Sweden
Netherlands
Serbia
Nigeria
Liechtenstein
Central African Republic
United Kingdom
Switzerland
Peru
Nauru
Poland
Hungary
Slovenia
Benin
Estonia
Ecuador
Portugal
Mauritius
The Former Yugoslav Republic of
Macedonia
Cyprus
Panama
Democratic Republic of the Congo
Niger
Cambodia
Jordan
Mongolia
Bosnia and Herzegovina
Bulgaria
Romania
Slovakia
Ireland
Greece
Uganda
Brazil
Namibia
Bolivia
Gambia
Uruguay
Latvia
Honduras
Australia
Colombia
United Republic of Tanzania
Timor-Leste
28 June 2001
17 July 2001
06 September 2001
27 September 2001
02 October 2001
03 October 2001
04 October 2001
12 October 2001
10 November 2001
12 November 2001
12 November 2001
30 November 2001
31 December 2001
22 January 2002
30 January 2002
05 February 2002
05 February 2002
05 March 2002
06 March 2002
07 March 2002
21 March 2002
11 April 2002
11 April 2002
11 April 2002
11 April 2002
11 April 2002
11 April 2002
11 April 2002
11 April 2002
11 April 2002
11 April 2002
15 May 2002
14 June 2002
20 June 2002
25 June 2002
27 June 2002
28 June 2002
28 June 2002
28 June 2002
01 July 2002
01 July 2002
05 August 2002
20 August 2002
06 September 2002
131
80
Samoa
16 September 2002
81
Malawi
19 September 2002
82
Djibouti
05 November 2002
83
Zambia
13 November 2002
84
Republic of Korea
13 November 2002
85
Malta
29 November 2002
86
Saint Vincent and the Grenadines
03 December 2002
87
Barbados
10 December 2002
88
Albania
31 January 2003
89
Afghanistan
10 February 2003
90
Lithuania
12 May 2003
91
Guinea
14 July 2003
92
Georgia
05 September 2003
93
Burkina Faso
16 April 2004
94
Congo
03 May 2004
95
Burundi
21 September 2004
96
Liberia
22 September 2004
97
Guyana
24 September 2004
98
Kenya
15 March 2005
99
Dominican Republic
12 May 2005
100
Mexico
28 October 2005
101
Saint Kitts and Nevis
22 August 2006
102
Montenegro
23 October 2006
103
Comoros
01 November 2006
104
Chad
01 January 2007
105
Japan
17 July 2007
106
Madagascar
14 March 2008
107
Suriname
15 July 2008
108
Cook Islands
18 July 2008
109
Chile
29 June 2009
110
Czech Republic
21 July 2009
111
Bangladesh
23 March 2010
112
Seychelles
10 August 2010
113
Saint Lucia
18 August 2010
114
Republic of Moldova
12 October 2010
115
Grenada
19 May 2011
116
Tunisia
24 June 2011
117
Philippines
30 August 2011
118
Maldives
21 September 2011
119
Cape Verde
10 October 2011
120
Vanuatu
02 December 2011
121
Guatemala
02 April 2012
122
Côte d’Ivoire
15 February 2013
Sumber: Majelis Negara-negara Pihak (Assembly of States Parties)
132
Download