pandangan kritis terhadap flegt support project uni eropa di

advertisement
PANDANGAN KRITIS TERHADAP FLEGT SUPPORT PROJECT UNI EROPA DI JAMBI‐SUMATERA Sikap dan Rekomendasi Kolektif Kelompok Masyarakat Sipil di Jambi Terhadap FLEGT Support Project di Jambi Jambi, 23 Juni 2005 Pengantar Destruksi hutan yang sangat fantastis tidak hanya menimbulkan efek dalam lingkup lokal, tetapi juga merupakan problem global, karena sumber daya hutan, terutama kayu adalah bagian dari rantai ekonomi global yang melibatkan aktor‐aktor multi‐nasional. Untuk mengatasi dialektika konsumsi global atas sumber daya kayu dan penyelamatan hutan tropis yang semakin menipis, maka dibutuhkan langkah struktural untuk memperbaiki tatanan perdagangan, kebijakan bahkan kelembagaan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya hutan. Inisiatif aktif Komisi Eropa untuk mereduksi sisi illegal perdagangan kayu yang dipercaya akan membantu penyelamatan hutan tropis dan perbaikan tatanan struktural dan kebijakan sektor kehutan di Indonesia telah mencapai tahap yang formalitas‐legal kesepakatan dengan pemerintah Indonesia. Kelompok Masyarakat Sipil Jambi sejak publikasi inisiatif ini pada tahun 2003, yang disebut sebagai FLEGT (Forest Law Enforcement Government Trade), telah aktif mengikuti proses dan melakukan analisis terhadap dokumen‐dokumen inisiatif proyek. Sikap dan Rekomendasi Pada tanggal 23 Juni 2005, Kelompok Masyarakat Sipil di Jambi melakukan Workshop untuk melakukan kristalisasi analisis terhadap naskah dokumen dan tahapan proses proyek FLEGT di Jambi. Berikut uraian sikap dan rekomendasi Kelompok Masyarakat Sipil di Jambi : 1. Peran Masyarakat Sipil 1.1. Prinsip dari proyek FLEGT adalah multi pihak, dan ini secara tegas dinyatakan dalam naskah dokumen FLEGT. Prinsip demikian selaiknya bersifat aktif dan rasional, artinya keterlibatan banyak pihak, terutama masyarakat yang hidup disekitar hutan atau yang hidupnya tergantung dari hutan, menjadi sangat penting. Sementara, kami menilai proyek ini didominasi oleh pihak pemerintah, terutama pemerintah pusat di Jakarta, dan tidak mengakomodasi secara rasional pihak diluar pemerintahan dan maupun pihak pemerintahan lokal. 1.2. Sebuah proyek yang berhubungan dengan struktur dan kebijakan pemerintah yang akan berpengaruh besar terhadap kultur sosial dan strategi tata kelola kehutanan haruslah mempunyai sistem kontrol dan monitoring yang terbuka luas bagi publik. Kontrol dan monitoring publik disamping akan menilai pelaksanaan dan capaian proyek, juga dapat juga membangun proses edukasi sosial dan kemitraan yang baik. Sayangnya, proyek ini tidak mencerminkan sistem kontrol dan monitoring dari masyarakat sipil atau publik secara umum. 2. Mekanisme Pelaksaan Proyek Dan Sistem Pendanaan Proyek 2.1. Dalam era Otonomi Daerah, dimana kebijakan maupun strategi pengelolaan kehutanan, akan mempunyai korelasi dengan struktur dan kultur di daerah, maka, Kelompok Masyarakat Sipil Jambi menilai tahapan proyek ini bersifat sentralistik. Proses komunikasi yang kami lakukan dengan pihak‐pihak ditingkat lokal memberikan fakta bahwa pihak pemerintah lokal belum memahami subtansi dan teknis proyek FLEGT. Ironisnya, kami juga menemukan fakta, dis‐komunikasi dalam konteks proyek, terjadi hampir dalam setiap level (lokal‐pusat) dan antar instansi pemerintah yang terkait dengan inisiatif proyek. Kalau dis‐komunikasi ini tetap terjadi saat pelaksanaan proyek, maka potensi kusutnya koordinasi serta dis‐harmonisasi dalam pengambilan keputusan proyek, akan sangat berpeluang terjadi, yang tentu saja pada gilirannya, proyek FLEGT di Jambi tidak akan dapat mencapai hasil optimal dan akan mengulangi proyek‐proyek internasional yang bersifat ”project oriented”. Yang patut juga diperhatikan adalah, proyek FLEGT bersinggungan dengan struktur birokrasi yang terkait erat dengan dinamika politik lokal (seperti suksei kepemimpinan dan pergantian personel proyek), dimana langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi capaian proyek, maka perlu dibangun sistem untuk meminimalkan dampak dinamika politik lokal terhadap implementasi proyek. 2.2. Azas keuangan proyek yang baik adalah proporsi budget untuk implementasi lebih besar daripada proporsi budget untuk konsultasi dan kegiatan teknis asistensi. Asumsi sederhananya, beban kerja implementasi cukup berat karena berkaitan langsung dengan problem ditingkat riil. Analisis kami, proporsi budget proyek FLEGT Jambi memberikan porsi lebih besar terhadap domain biaya konsultasi dan teknis asistensi, sementara memberikan porsi lebih kecil terhadap domain biaya implementasi. 3.
Manfaat Proyek 3.1. Masyarakat merupakan pihak yang juga berhak menikmati sumber daya hutan, terutama masyarakat yang hidup disekitar hutan atau menggantungkan mata pencahariannya dari sumber daya hutan. Proyek FLEGT tidak menjamin masyarakat sebagai penerima manfaat yang penting dari proyek, bahkan tidak ada statemen eksplisit dalam dokumen bagaimana sistem dari output proyek dapat mengatur kayu rakyat atau hutan rakyat yang dikelola secara lestari dapat memasuki sistem pasar Uni Eropa dan diakui secara legal oleh negara Indonesia. 3.2. Illegal logging merupakan salah satu perhatian utama proyek FLEGT, dan ini membutuhkan rumusan yang komprehensif dengan memperhatikan juga sisi pandangan masyarakat. Dalam pandangan masyarakat di Workshop Jambi 23 Juni 2005, rumusan illegal logging selama ini cenderung lebih merugikan masyarakat, dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku kejahatan utama kasus illegal logging, rumusan illegal logging dikanalkan dalam aras pengertian aparatur pemerintah belaka, tanpa memperhatikan akar problem kehutanan di dataran struktural, seperti tumpang tindih kawasan, in‐sinkronisasi data kehutanan dan over lapping kapasitas industri legal dengan daya pasok bahan baku. Pemerintah seolah menutup mata terhadap praktik pembalakan hutan secara illegal oleh industri‐industri yang dalam aras pengertian aparatur pemerintah bersifat legal. Kami khawatir, aras pengertian illegal logging dalam proyek FLEGT akan tercekat dalam pengertian aras formal, sehingga proyek FLEGT justru akan berpotensi memberikan dukungan semakin rumitnya bangunan konflik sosial‐tenurial dan permasalahan internal struktural birokrasi kehutanan yang terjadi selama ini. 4.
Transparansi Dan Distribusi Informasi Proyek 4.1. Proses sosialisasi proyek FLEGT, baik kepada publik secara luas maupun kepada pihak implementator di lokal sangatlah minim, sehingga proyek belum mencerminkan proses transparansi. Bahkan proyek juga tidak menjamin adanya distribusi dokumen baik pra‐
proses‐pasca proyek kepada publik. Padahal untuk menilai capaian dan untuk memberikan bobot proyek, maka partisipasi dan kontrol publik sangatlah penting. 4.2. Proyek juga belum mencerminkan ”political will” untuk menghindari penyimpangan dana proyek, seperti praktik korupsi atau manipulasi dalam pelaksanaan proyek. Kelompok Masyarakat Sipil Jambi juga memberikan beberapa Rekomendasi : 1. Pemerintah Indonesia harus menjamin Keberlanjutan hasil‐hasil dan capaian proyek, terutama setelah durasi waktu pelaksanaan dan pendanaan proyek selesai, dan harus dipublikasikan kepada publik. 2. Pihak Uni Eropa harus menetapkan aturan yang menjamin tidak diterimanya kayu illegal dari Indonesia untuk masuk ke Negara‐negara Uni Eropa. 3. Pemerintah Indonesia harus pro‐aktif menggalang kerjasama dengan negara‐negara lain untuk mencegah perdagangan kayu illegal. 4. Pemerintah Indonesia harus menjamin keberadaan hutan rakyat dan membangun struktur kebijakan legalnya. 5. Proyek FLEGT harus mengakomodasi sistem hutan rakyat dan memungkinkan produknya memasuki sistem pasar Uni Eropa, sementara pemerintah Indonesia menjamin terbangunnya struktur kebijakan untuk pemasaran produk hutan rakyat. 6. Proyek FLEGT harus menjamin hak tenurial dan hak‐hak adat masyarakat, serta menjamin adanya resolusi konflik di sektor kehutanan. Kelompok Masyarakat Sipil Jambi Community Alliance for Pulp Paper Advocacy (CAPPA), Komunitas Konservasi Indonesia Warsi/KKI Warsi, Perwakilan Masyarakat Desa Baru Pelepat‐Bungo, Perwakilan Masyarakat Desa Senamat‐Bungo, Perwakilan Masyarakat Desa Sengkati Kab. Batanghari, ACM Jambi, Persatuan Petani Jambi (PPJ), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Otonomi Daerah (PSHK‐ODA), Yayasan Cakrawala, Yayasan Citra Bina Mandiri/YCBM, Yayasan Gita Buana, Yayasan Keadilan Rakyat/YKR, Yayasan Pinang Sebatang/Pinse, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia/WALHI Jambi, Potensi Siginjai, Pusat Studi Gender, Gema Reformasi, Wanala Elang Gunung (ELGUN) 
Download