BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karya Sastra dan Novel Pada

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karya Sastra dan Novel
Pada zaman modern sekarang ini kedudukan sastra semakin meningkat dan
semakin penting. Sastra tidak hanya memberikan kenikmatan dan kepuasan batin,
tetapi juga sebagai sarana penyampaian pesan moral kepada masyarakat atas
realitas sosial. Salah satu bentuk “susastra” sebagai penuangan ide kreatif
pengarang adalah novel. Berikut penulis coba hadirkan beberapa pengertian karya
sastra dan novel yang dapat digunakan sebagai pijakan untuk melangkah lebih
jauh dalam melaksanakan penelitian.
2.1.1 Pegertian Karya Sastra
Sastra selalu memiliki keterikatan dengan situasi dan kondisi di sekitarnya. Hal itu
tersirat dalam pernyataan yang dikemukakan Wellek dan Warren (2014: 98),
sebagai berikut:
Sastra adalah institusi masyarakat yang menggunakan medium bahasa.
(…) Lagi pula sastra “menyajikan kehidupan”, dan “kehidupan” sebagian
besar terdiri dari kenyataan social, walaupun karya sastra juga “meniru”
alam dan dunia subjektif manusia. Penyair adalah warga masyarakat yang
memiliki status khusus. Penyair mendapatkan pengakuan dan penghargaan
masyarakat dan mempunyai massa-walaupun hanya secara teoritis. Sastra
sering memiliki kaitan dengan institusi social tertentu. (…) Sastra
mempunyai fungsi social atau “manfaat” yang tidak sepenuhnya bersifat
pribadi. (Wellek dan Warren, 2014: 98)
Dalam kutipan di atas, Wellek dan Warren merinci alasan mengapa sastra dan
lingkungannya disebut mempunyai keterikatan yang erat satu sama lain. Pertama,
sastra merupakan suatu institusi sosial yang juga menggunakan medium ciptaan
16
masyarakat, yaitu bahasa. Hal itu merupakan konsekuensi logis, sebab sastra
memerlukan bahasa agar dapat tersampaikan pada masyarakat dengan baik.
Kedua, sastra mewakili “kehidupan”, yang dalam arti luas disebut sebagai sebuah
realitas sosial. Meskipun hanya rekaan pengarang, ‘kehidupan’ dalam karya sastra
dapat dikatakan sebagai sebuah tiruan (mimesis) yang disusun berdasarkan
kehidupan nyata. Ketiga, pengarang adalah anggota masyarakat, implikasinya ia
terikat status social tertentu serta berhubungan dengan pembaca yang mengakui
dan mengapresiasi eksistensi pengarang melalui karya-karyanya.
Keempat, sastra mempunyai pertalian erat dengan institusi-institusi tertentu.
Sering masyarakat menggunakan puisi dalam melakukan upacara adat, ritual
tertentu, atau hanya sekadar permainan. Kelima, sastra juga berfungsi sosial atau
memiliki “kegunaan” sosial.
Wellek dan Warren (1949:3) dengan tegas menyebutkan,
“Pertama-tama kita harus membedakan sastra dan studi sastra. Sastra
adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sedangkan studi sastra
adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan.”
Jadi harus dibedakan antara sastra dan studi sastra. Sastra adalah hasil kreatifitas
(kegiatan kreatif) dari sebuah karya seni. Studi sastra akan dipertanyakan, apakah
karya sastra itu? Apa sajakah jenis karya sastra itu? Bagaimana sifat salah satu
jenis karya sastra tertentu? Aspek-aspek spesifik apa sajakah yang dimiliki karya
sastra itu?
17
Keterikatan sastra pada masyarakat dipertegas oleh Jabrohim (2003: 157), sastra
bukan sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang terikat erat
dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat karya itu dilahirkan. Merupakan
suatu hal yang pasti bahwa semua penyair, pengarang, atau seniman mana pun
pada umumnya selalu hidup dalam ruang dan waktu tertentu. Ruang dan waktu
tersebut mempunyai bentuk riil dalam suatu masyarakat atau sebuah keadaan
sosial yang pada saat bersamaan juga memuat berbagai macam permasalahan
hidup. Di dalam masyarakat banyak elemen berinteraksi, bergumul satu sama lain.
Damono (2002: 2) menyatakan bahwa karya sastra menyajikan gambaran
kehidupan dan kehidupan itu sendiri merupakan sebuah kenyataan sosial. Hal itu
menjadi penjelasan mengapa karya sastra dapat dipakai pengarang untuk
mencurahkan segala permasalahan kehidupan manusia di dalam masyarakat.
Melalui karya sastra, pembaca dapat mengetahui dan memahami salah satu atau
beberapa persoalan yang dapat ditemui dalam kehidupan. Dengan kata lain, sastra
memiliki suatu fungsi, yaitu sebagai cermin dari kenyataan.
Sastra pada dasarnya merupakan ciptaan, sebuah kreasi bukan semata-mata
sebuah imitasi (Luxemburg, 1989: 5). Karya sastra sebagai bentuk dan hasil
sebuah
pekerjaan
kreatif,
pada
hakikatnya
adalah
suatu
media
yang
mendayagunakan bahasa untuk mengungkapkan tentang kehidupan manusia. Oleh
sebab itu, sebuah karya sastra, pada umumnya, berisi tentang permasalahan yang
melingkupi kehidupan manusia. Kemunculan sastra lahir dilatarbelakangi adanya
dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan eksistensi dirinya.
18
Jan van Luxemburg, dkk., (1989: 21) menyatakan bahwa sastra terikat oleh
dimensi waktu dan budaya, karena sastra merupakan hasil kebudayaan. Dalam
sastra terdapat penangganan bahan yang bersifat khusus, termasuk di dalamnya
ialah bagaimana cara penanganan potensi bahasa bagi pengungkapan karya sastra.
Seorang pengarang dapat mengolah dan mengeksploitasi potensi potensi yang
terdapat pada bahasa untuk mencapai efek-efek tertentu.
Oleh karena itu, kekhususan dan keunikan pemakaian bahasa dalam karya sastra
merupakan salah satu ciri khasnya. Fenomena yang khas terlihat pada cara
pengolahan materi cerita. Karya sastra memiliki kebenaran cerita dan logika
bercerita sendiri. Urutan penyajian cerita maupun logika bercerita dalam karya
sastra juga memiliki kebenaran sendiri yang sama sekali berbeda dari kebenaran
dan logika umum. Secara umum dapat dinyatakan bahwa semua teks sastra
bersifat fiktif atau rekaan.
Kebenaran cerita dalam karya sastra bukanlah kebenaran faktual atau nyata,
melainkan kebenaran fiksionalitas berdasarkan daya imajinasi dan kreatifitas
pengarang. Tipe dan pola atau peristiwa dan karakter tokoh-tokoh serta nama
tokoh barangkali dapat ditemukan dalam dunia objektif (dunia nyata). Oleh karena
itu apa yang ada dalam karya sastra tertentu hanya bersifat rekaan (karangan)
belaka.
Karya sastra dapat berupa fiksi, puisi, ataupun drama. Karya sastra yang
dikategorikan karya sastra fiksi adalah roman sosial, roman sejarah, cerita pendek.
Hal ini tidak terbatas pada segala sesuatu yang tercetak atau tertulis saja, akan
19
tetapi mencangkup segala sesuatu yang tidak tercetak atau tertulis (lisan). Karya
sastra tidak tunduk pada metode-metode tertentu pada saat seorang sastrawa
menciptakan karyanya sastra tersebut, meskipun sastra tersebut mengandung
unsur-unsur kesejarahan. Hal itu berbeda dengan karya sejarah di mana penulis
harus mengikuti prosedur tertentu yaitu harus tertib dalam penempatan ruang dan
waktu, harus konsisten dengan unsur-unsur lain seperti topografi dan kronologi
serta harus berdasarkan bukti-bukti (Kuntowijoyo, 2006: 3).
Dengan demikian penulis karya sastra mempunyai kebebasan imajinatif yang agak
berlebih jika dibandingkan dengan penulis sejarah. Karya sastra sebagai seni kata
mengandung estetika atau keindahan yaitu berupa estetika bahasa. Estetika atau
keindahan yang terdapat dalam karya seni adalah hasil usaha seniman, bukan
keindahan alamiah, dan juga bukan keindahan azali dan abadi.
Salah satu unsur yang mendukung keindahan karya sastra adalah adanya
penggunaan bahasa yang bersifat konotatif. Bahasa ini banyak menggunakan
simbol-simbol atau lambang-lambang. Lambang dan simbol tersebut beraneka
warna sesuai dengan individu senimannya dimana ia berada di suatu tempat dan
pada suatu jaman. Oleh karena itulah untuk memahami karya sastra dianjurkan
untuk memahami tiga macam kode, yaitu kode bahasa, kode budaya, dan kode
sastra (Teeuw, 1984: 334).
2.1.2 Hakikat Novel
Kata ‘novel’ berasal dari kata latin novellus yang diturunkan dari kata novies yang
berarti baru (Tarigan, 1994: 164). The American College Dictionary (dalam
20
Tarigan, 1994: 830) menyebutkan bahwa novel adalah suatu cerita prosa yang
fiktif dalam panjang yang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak, serta
adegan kehidupan nyata yang representatif dalam suatu alur.
Novel adalah karya fiksi yang menawarkan sebuah dunia yang imajiner dan
fantastis. Dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajiner
yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya (Nurgiyantoro, 1995: 4). Oleh
karenanya sangat wajar jika kita menemukan novel imajinatif fantastis yang
kadang berada di luar nalar manusia dan dunia yang berusaha dibangun pun tak
pernah lepas dari alam pikiran pengarang dari hasil mediasi antara subjek nyata
dan imajiner yang ada.
Novel dalam arti umum adalah cerita berbentuk prosa dengan ukuran yang luas.
Ukuran yang luas disini dapat berarti cerita dengan plot yang kompleks, multi
karakter, tema yang kompleks, suasana cerita yang beragam dan setting cerita
yang beragam pula. Keberagaman inilah yang membedakan novel dengan cerpen.
Novel merupakan salah satu genre sastra di samping cerpen dan roman. Novel
menyajikan cerita yang lebih panjang daripada cerpen sehingga terbagi menjadi
beberapa bagian. Cerita yang terdapat dalam novel diangkat dari realitas
masyarakat. Di dalam novel terdapat plot tertentu, artinya tidak sekedar
menyajikan sebuah cerita, peristiwa yang ada memiliki hubungan kausalitas.
Dilihat dari temanya, novel tidak hanya menyajikan tema pokok (utama). Ada
tema-tema tambahan yang fungsinya mendukung tema utama. Tokoh yang ada
21
dalam sebuah novel memiliki karakter yang berbeda-beda. Pembedaan ini dapat
ditandai
dengan
penggolongan-penggolongan
berdasarkan
fungsi
atau
peranannya. Terdapat tokoh statis dan tokoh dinamis. Tokoh statis biasanya
digambarkan dengan tokoh yang berkarakter tetap, sedangkan tokoh dinamis
adalah sebaliknya.
Novel dapat dipandang sebagai hasil dialog, mengangkat dan mengungkapkan
kembali berbagai permasalahan hidup dan kehidupan. Hal tersebut dapat tercapai
setelah melewati penghayatan yang intens, seleksi subjektif; dan diolah dengan
daya imajinatif-kreatif oleh pengarang ke dalam bentuk rekaan (Nurgiyantoro,
1995: 71).
Goldmann mendefinisikan novel sebagai cerita mengenai pencarian yang
tergradasi akan nilai-nilai yang otentik dalam dunia yang juga ikut tergradasi.
Pencarian itu dilakukan oleh seorang tokoh utama (hero) yang problematik.
Goldmann juga mengatakan bahwa novel merupakan satu bagian dari karya sastra
yang bercirikan keterpecahan yang tidak terdamaikan dalam hubungan antara sang
hero dengan dunia. Keterpecahan itulah yang menyebabkan dunia dan hero
menjadi sama-sama terdegradasi dalam hubungannya dengan nilai-nilai yang
otentik yang berupa totalitas di atas. Keterpecahan itulah yang membuat sang hero
menjadi problematik (Faruk, 1994: 18).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah
bagian dari karya sastra berupa prosa yang mengungkapkan kembali
permasalahan kehidupan yang luas melalui unsur-unsur yang saling berkaitan dan
22
memiliki hero yang mengemban misi-misi tertentu. Peristiwa yang terjalin pun
sangat kompleks karena tidak hanya menceritakan hidup seorang tokohnya saja
tetapi juga seluruh tokoh yang terlibat dalam cerita.
2.2 Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat refelektif. Penelitian
ini banyak diminati karena kemampuannya untuk melihat sastra sebagai cermin
kehidupan masyarakat. Kehidupan sosial senantiasa menjadi picu lahirnya karya
sastra. Untuk itu, pada bagian ini penulis akan menyajikan beberapa pengertian
sosiologi sastra dari para ahli, serta pendekatannya dalam upaya menganalisis
karya sastra.
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari
katasos (Yunani) yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman, dan logi (logos)
berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta)
berarti
mengarahkan,
mengajarkan,
memberi
petunjuk
dan
instruksi.
Akhiran tra berarti alat, sarana. Merujuk dari definisi tersebut, keduanya memiliki
objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat
sosiologi dan sastra sangat berbeda bahkan bertentangan secara dianetral.
Sosiologi adalah ilmu objektif kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi
dewasa ini (das sain) bukan apa yang seharusnya terjadi (das solen). Sebaliknya
karya sastra bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif. Sosiologi sastra
merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa
juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan
23
sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana
karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan disini mengandung arti yang
cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu
oleh karya sastra. Demikianlah, pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian
pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra
merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena
sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi,
difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali
menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi,
refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra.
Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar
terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup
hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa
yang terjadi dalam batin seseorang. Maka, memandang karya sastra sebagai
penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada
karya sastra adalah “kebenaran” penggambaran, atau yang hendak digambarkan.
Namun Wellek dan Warren mengingatkan, bahwa karya sastra memang
mengekspresikan kehidupan, tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan
selengkap-lengkapnya. Hal ini disebabkan fenomena kehidupan sosial yang
terdapat dalam karya sastra tersebut kadang tidak disengaja dituliskan oleh
pengarang, atau karena hakikat karya sastra itu sendiri yang tidak pernah langsung
mengungkapkan fenomena sosial, tetapi secara tidak langsung, yang mungkin
pengarangnya sendiri tidak tahu.
24
Pengarang merupakan anggota yang hidup dan berhubungan dengan orang- orang
yang berada disekitarnya, maka dalam proses penciptaan karya sastra seorang
pengarang tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, karya
sastra yang lahir ditengah-tengah masyarakat merupakan hasil pengungkapan jiwa
pengarang tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah
dihayatinya. Dengan demikian, sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari
kekosongan sosial. Artinya karya sastra ditulis berdasarkan kehidupan sosial
masyarakat
tertentu
dan
menceritakan
kebudayaan-kebudayaan
yang
melatarbelakanginya.
Endraswara dalam bukunya Metodologi Pengajaran Sastra, memberi pengertian
bahwa sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia,
karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam
menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi
(2003:79).
Faruk (1994:1) memberi pngertian bahwa sosiologi sastra sebagai studi ilmiah dan
objektf mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga dan
proses-proses sosila. Selanjutnya, dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab
pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara
kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Sosiologi dikatakan
memperoleh gambaran mengenai cara-cara menyesuaikan dirinya dengan dan
ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme
25
sosialitas, proses belajar secara kultural yang dengannya individu-individu
dialokasikannya pada dan menerima peranan tertentu dalam struktur sosial itu.
2.3 Sosiologi Sastra Sebagai Pendekatan Menganalisis Karya Sastra
Menurut Ratna (2003:2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang
perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara
karya sastra dengan masyarakat, antara lain :
1. Pemahaman
terhadap
karya
sastra
totalitas
karya
dengan
pertimbangn
aspek
kemasyarakatannya.
2. Pemahaman
terhadap
yang
disertai
dengan
aspek
kemasyarakatan yang terkandung didalamnya.
3. Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat
yang melatar belakangi.
4. Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) anatara sastra dengan
masyarakat.
5. Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara sastra
dengan masyarakat.
Wellek dan Warren (2014:111) membagi sosiologi sastra sebagai berikut :
1. Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra, masalah yang
berkaitan disini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status
pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang
diluar karya sastra, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat
dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi
26
studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal
ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang
akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang (Wellek
dan Warren, 2014:112)
2. Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang
menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa
yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini
mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial.
(Wellek dan Warren, 2014:122). Beranggapan dengan berdasarkan pada
penelitian Thomas Warton (penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama) bahwa
sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Bagi Warton dan
para pengikutnya sastra adalah gudang adat-istiadat, buku sumber sejarah
peradaban.
3. Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra,
pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat, seni tidak hanya meniru
kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokohtokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya.
Klasifikasi Wellek dan Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt (dalam
Damono, 1989:3-4) yang meliputi hal-hal berikut :
1. Konteks Sosial Pengarang
Ada kaitannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat, dan kaitannya
dengan masyarakat, pembaca termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat
27
mempengaruhi karya sastranya, yang terutama harus diteliti yang berkaitan
dengan :
1) Bagaimana pengarang mendapat mata pencahariannya, apakah ia mendapatkan
dari pengayoman masyarakat secara langsung, atau pekerjaan yang lainnya;
2) Profesionalisme dalam kepengaragannya; dan
3) Masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.
2. Sastra Sebagai Cermin Masyarakat
Maksudnya seberapa jauh sastra dapat dianggap carmin keadaan masyarakat.
Pengertian “cermin” dalam hal ini masih kabur, karena itu, banyak disalah
tafsirkan dan disalah gunakan. Yang harus diperhatikan dalam klasifikasi sastra
sebagai cermin masyarakat adalah :
1) Sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu
ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat ditampilkan dalam karya itu sudah tidak
berlaku lagi pada waktu ia ditulis;
2) Sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan
dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya;
3) Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan
sikap sosial seluruh mayarakat;
4) Sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermatcermatnya mungkin saja tidak dapat dipercaya sebagai cermin masyarakat.
Sebaliknya, sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan
masyarakat mungkin masih dapat digunakan sebagai bahan untuk mendapatkan
28
informasi tentang masyarakat tertentu. Dengan demikian, pandangan sosial
pengarang diperhitungkan jika peneliti karya sastra sebagai cermin masyarakat.
3. Fungsi Sosial Sastra
Maksudnya seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai-nilai sosial. Dalam
hubungan ini ada tiga hal yang harus diperhatikan
1) Sudut pandang ekstrim kaum Romantik yang menganggap sastra sama
derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Karena itu, sastra harus berfungsi
sebagai pengbaharu dan perombak;
2) Sastra sebagai penghibur saja;
3) Sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.
Dalam bukunya A Glossary of Literature Term. Abrams menulis bahwa dari
sosiologi sastra ada tiga perhatian yang dapat dilakukan oleh kritikus atau peneliti
yaitu :
1. Penulis dengan lingkungan budaya tempat ia tinggal.
2. Karya dengan kondisi sosial yang direfleksikan didalamnya.
3. Audien atau pembaca (1981:178).
Lain
halnya
dengan
Grebsten
(dalam
Damono,1989)
dalam
bukunya
mengungkapkan istilah pendekatan sosiologi kultural terhadap sastra sebagai
berikut :
1. Karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari
lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Ia harus
dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya dan tidak hanya dirinya sendiri.
29
Setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal-balik yang rumit dari faktorfaktor sosial dan kultural. Karya sastra itu sendiri merupakan objek kultural yang
rumit. Bagimanapun karya sastra bukanlah suatu gejala yang tersendiri.
2. Gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan
teknik penulisannya, bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk dan teknik itu
ditentukan oleh gagasan tersebut. Tak ada karya sastra yang besar yang diciptakan
berdasarkan gagasan sepele dan dangkal, dalam pengertian ini sastra adalah
kegiatan yang sungguh-sunggug.
3. Setiap karya sastra yang bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah suatu
moral, baik dalam hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun dalam
hubungannya dengan orang per orang. Karya sastra bukan merupakan moral
dalam arti yang sempit, yaitu yang sesuai dengan suatu kode atau tindak tanduk
tertentu, melainkan dalam pengertian bahwa ia terlibat didalam kehidupan dan
menampilkan tanggapan evaluatif terhadapnya. Dengan demikian sastra adalah
eksprimen moral.
4. Masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah. Pertama, sebagai
sesuatu kekuatan atau faktor material, istimewa. Kedua, sebagai tradisi yakni
kecenderungan spiritual kultural yang bersifat kolektif. Dengan demikian bentuk
dan isi karya sastra dapat mencerminkan perkembangan sosiologi, atau
menunjukkan perubahan-perubahan yang halus dalam watak kultural.
5. Kritik sastra seharusnya lebih dari sekedar perenungan estetis yang tanpa
pamrih ia harus melibatkan diri dalam suatu tujuan tertentu. Kritik adalah kegiatan
yang terpenting yang harus mampu mempengaruhi penciptaaan sastra tidak
30
dengan cara mendikte sastrawan agar memilih tema tertentu misalnya, melainkan
dengan menciptakan iklim tertentu yang bermanfaat bagi penciptaan seni besar.
6. Kritikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra
masa depan. Dari sumber sastra yang sangat luas itu kritikus harus memilih yang
sesuai untuk masa kini. Perhatiannya bukanlah seperti pengumpul benda-benda
kuno yang kerjanya hanya menyusun kembali, tetapi memberi penafsiran seperti
yang dibutuhkan oleh masa kini. Dan karena setiap generasi membutuhkan pilihan
yang berbeda-beda, tugas kritikus untuk menggali masa lalu tak ada habisnya.
Damono (1989:14) juga mengemukakan bahwa segala yang ada di dunia ini
sebenarnya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di dunia
gagasan. Seniman hanyalah meniru apa yang ada dalam kenyataan dan hasilnya
bukan suatu kenyataan.
Pandangan senada dikemukakan oleh Teeuw (1984:220) mengatakan bahwa dunia
empiriris tak mewakili dunia sesungguhnya, hanya dapat mendekatinya lewat
mimesis, penelaahan, dan pembayangan ataupun peniruan. Lewat mimesis,
penelaahan kenyataan mengungkapkan makna, hakikat kenyataan itu. Oleh karena
itu, seni yang baik harus truthful, berani dan seniman harus bersifat modest,
rendah hati. Seniman harus menyadari bahwa lewat seni dia hanya dapat
mendekati yang ideal.
Menurut Ratna (2003:332) ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan
mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian
harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut:
31
1. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh
penyalin, dan ketiganya adalah anggota masyarakat.
2. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang
terjadi dalam masyarakat yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
3. Medium karya sastra baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui kompetensi
masyarakat yang dengan sendirinya telah mengandung masalah kemasyarakatan.
4. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat dan tradisi yang lain,
dalam karya sastra terkandung estetik, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas
sangat berkepentigan terhadap ketiga aspek tersebut.
5. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas,
masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra dapat meneliti
melalui tiga perspektif. Pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti
menganalisisnya
sebagai
sebuah
refleksi
kehidupan
masyarakat
dan
sebaliknya. Kedua, persepektif biologis yaitu peneliti menganalisis dari sisi
pengarang. Perspektif ini akan berhubungan dengan kehidupan pengarang dan
latar kehidupan sosial, budayanya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu peneliti
menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.
Sebagaimana
yang dikemukakan
Damono,
Swingewood
(1972:15)
pun
mengingatkan bahwa dalam melakukan analisis sosiologi terhadap karya sastra,
kritikus harus berhati-hati dengan slogan “sastra adalah cermin masyarakat’’. Hal
ini melupakan pengarang, kesadaran, dan tujuannya. Dalam melukiskan
32
kenyataan, selain melalui refleksi, sebagai cermin, juga dengan cara refleksi
sebagai jalan belok. Seniman tidak semata melukiskan keadaan sesungguhnya,
tetapi mengubah sedemikian rupa kualitas kreativitasnya.
Dalam hubungan ini Teeuw (1984:18-26) mengemukakan ada empat cara yang
mungkin dilalui, yaitu:
1) Afirmasi, melupakan norma yang sudah ada;
2) Restorasi, sebagai ungkapan kerinduan pada norma yang sudah usang
3) Negasi, dengan mengadakan pemberontakan terhadap norma yang sedang
beralaku; dan
4) Inovasi, dengan mengadakan pembaharuan terhadap norma yang ada.
Berkenaan dengan kaitan antara sosiologi dan sastra tampaknya Swingewood
(1972:15) mempunyai cara pandang bahwa suatu jagad yang merupakan tumpuan
kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia, karena disamping sebagai makhluk
sosial budaya akan sangat sarat termuat dalam karya sastra. Hal inilah yang
menjadi bahan kajian dalam telaah sosiologi sastra.
2.4 Hubungan Karya Sastra dengan Peristiwa Sejarah
Fakta sejarah merupakan salah satu sumber inspirasi bagi para sastrawan untuk
menuliskan karya-karya sastranya. Seperti pernah dikatakan oleh Damono
(2002:1-2) bahwa karya sastra tidak pernah jatuh begitu saja dari langit, tetapi
sastra berhubungan dengan sastrawan dan masyarakat yang melahirkannya. Di
tangan seorang sastrawan peristiwa sejarah dapat menjadi sumber inspirasi untuk
33
untuk penulisan karya-karya sastranya. Oleh karena itu, dikenal adanya istilah
sastra sejarah, novel sejarah atau pun puisi epik.
Peristiwa sejarah dalam hal ini mengacu pada peristiwa, tokoh, perbuatan, pikiran,
dan perkataan yang pernah terjadi di masa lampau yang dipahami sebagai gejala
yang memanjang dalam waktu, tetapi dalam ruang yang terbatas (Kuntowijoyo,
2006:5). Sejarah, sebagai ilmu yang bersifat diakronik, menurut Kuntowijoyo
(2006:10) harus didukung oleh data yang otentik, terpercaya, dan tuntas. Dengan
ruang yang terbatas, maka sejarah dapat membahas berbagai pertumbuhan dan
perkembangan sejumlah masalah, antara lain sejarah politik, sejarah keluarga,
sejarah intelektual, sejarah moralitas, sejarah kesenian, dan sebagainya.
A. Teeuw (1984:221) menuturkan karya sastra sejarah adalah karya tulis yang
bersifat ganda, yaitu bersifat sastra dan sejarah. Dilihat dari sudut sastra, karya
sastra sejarah termasuk salah satu jenis sastra. Karya sastra yang bernilai sejarah
biasanya bahannya diambil dari sejarah. Demikian halnya dengan penggunaan
bahasa, antara tulisan sejarah dan karya sastra berbeda. Sejarah lebih cenderung
menggunakan referential simbolism dengan menunjuk secara tegas kepada objek,
pikiran, kejadian, dan hubungan-hubungan. Sedangkan sastra lebih banyak pesanpesan subjektif pengarang.
Sartono Kartodirdjo berpandangan bahwa karya sastra sejarah merupakan karya
sejarah atau historiografi (Ekadjati, 1983:19). Hanya berdasarkan unsur-unsur
yang dikandungnya karya sejarah tersebut digolongkan menjadi karya sejarah
tradisional sehingga menghasilkan karya sejarah yang bersifat dan mengandung
34
unsur-unsur tradisonal. Sebagian besar sejarawan mengatakan bahwa karya sastra
merupakan alat bantu dari ilmu sejarah. Akan tetapi, tidak bias dipungkiri bahwa
karya sastra mempunyai sumbangsih besar untuk sejarawan dan historiografi. Dari
karya sastra bisa diambil pengetahuan dan informasi yang tidak dimiliki oleh
dokumen tertulis maupun arsip yang berperspektif pemerintah.
Dengan demikian dengan karya sastra sejarah pembaca dapat menerobos ruang
kosong yang tidak dimiliki arsip maupun dokumen tertulis lainnya. Sastra, baik
tertulis maupun lisan, yang memberikan keterangan tentang masa lampau yang
memberikan informasi pantas untuk disebut sebagai bahanbahan dokumenter bagi
studi sejarah. Sebagai sumber dokumenter, sastra mempunyai kekhasan yaitu
sifatnya yang naratif sehingga dapat dikategorikan sebagai accepted history,
misalnya babad, hikayat, tambo, atau kronik dan annals.
Berkaitan dengan karya sastra tersebut, seni sastra dianggap sebagai jejak sejarah
yang mengandung informasi tentang apa yang dianggap terjadi dan bermakna
dalam skala luas dan sempit. Sastra termasuk sumber sejarah dilihat dari corak
informasinya dapat digolongkan menjadi sumber naratif. Sumber naratif ialah
sumber yang berisi uraian lengkap, kebanyakan adalah sumber tertulis terutama
yang menyangkut masalah sosial, politik, kultural, dan agama.
Sumber naratif juga di dalamnya memuat historiografi tradisional, biografi,
kenang-kenangan (memoir), kronik, annals, atau inkripsi. (Sugihastuti, 2009:160)
Relasi antara teks sastra dan kenyataan sejarah dibangun sesuai dengan teks itu
sendiri, tetapi teks kesusastraan tidak dapat berhubungan simplistic dengan
35
kenyataan sejarah. Dalam beberapa novel (misalnya novel sejarah) pembaca akan
lebih memahami sebagai wacana sejarah daripada karya sastra, artinya teks
kesusastraan hanya dapat dipahami sebagai penanda langsung dari kenyataan
sejarah. karya sastra mungkin berisi kenyataan dan akurasi data sejarah, namun
operasi data tersebut tetap diperlakukan secara fiktif dan mengikuti hokum
produksi realitas tekstual.
Relevansi antara realitas tekstual dan sejarah yang dirujuk menempatkan ideologi
dalam realitas sejarah sebagai kekuatan produksi. Eagleton (1976:70) menegaskan
bahwa bagian dari sejarah sudah difiksikan dan ditafsirkan sesuai dengan
terminologi ideologi produksi sebagai model perantara sisipan ideology dalam
karya sastra. Jadi realitas sejarah secara ideologis menjadi kekuatan kedua.
Ketentuan masuknya sejarah dalam karya sastra tidak hanya sebagai kesejarahan
teks, tetapi masuk secara ideologis sebagai ukuran pembuktian penentu kehadiran
dan penyimpangannya. Sejarah dalam teks sastra berfungsi sebagai penanda akhir
dalam kesusastraan (Eagleton, 1976:72). Hal ini terjadi karena secara ideologis
sejarah menjadi struktur dominan yang menandai karakter teks dan pengaturan
dari pembelokan kenyataan yang dibangun dalam karya sastra. Hal yang
membedakan antara teks sastra dan penulisan sejarah yaitu objeknya.
Historiografi mempunyai objeknya sendiri yaitu sejarah itu sendiri. Sedangkan
karya sastra merupakan hermeneutik dari historigrafi. Karya sastra merekontruksi
kenyataan sejarah keluar dari kategori yang mengikatnya. Teks dikarakterkan oleh
keganjilan antara abstrak dan kenyataan. Karya sastra berada dalam fenomena
36
wacana historiografi dan filsafat. Karya sastra menyerupai historiografi dalam
kepadatan tekturnya dan juga beranalogi dengan wacana filsafat pada keadaan
yang umum terjadi. Hanya saja kekurangan yang Nampak dalam karya sastra
adalah kurangnya referensi nyata (Eagleton, 1976:78).
Jika diamati dengan seksama, teks narasi dan teks sejarah memiliki suatu
persamaan. Keduanya sama-sama dikonstruksi dengan berdasarkan pada waktu
lampau (past time). Hal itu lebih terlihat jika kalimat-kalimat yang menyusun
kedua jenis teks tersebut ditulis dalam bahasa asing, misalnya bahasa Inggris.
Kebanyakan kalimat dalam kedua jenis teks itu menggunakan pola yang dalam
tata bahasa Inggris disebut sebagai past tense. Pola itu harus digunakan untuk
menunjukkan pada pembaca bahwa suatu hal atau peristiwa terjadi atau
bereksistensi di masa lalu.
Persamaan tersebut menunjukkan bahwa meskipun teks narasi (fiksional) dan teks
sejarah (faktual) bertolak belakang dalam hal sifat, keduanya mempunyai struktur
yang sama. Sebagai konsekuensi logis dari persamaan tersebut, terdapat
kemungkinan untuk saling tertukar dan saling berbaur karena sulitnya
mengidentifikasi teks mana yang tergolong fiksional dan mana yang tergolong
faktual. Walaupun memiliki kesamaan sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya, sejarah dan sastra mempunyai tujuan yang sama sekali berbeda,
tetapi pada dasarnya saling melengkapi satu sama lain (Ratna, 2005:337).
Pernyataan itu telah disinggung sebelumnya oleh Jauss (1983:25) bahwa sejarah
sastra (suatu rangkaian peristiwa sastra) berperan sebagai suatu metode resepsi
37
sastra dan memposisikan sejarah dan sastra sebagai dua entitas yang saling
melengkapi. Hutcheon (Ratna, 2005:337-338), mengemukakan bahwa sejarah,
menurut Aristoteles, sastra sejarah tidak hanya mampu menceritakan masa lalu
saja tetapi juga mampu menceritakan hal-hal yang belum terjadi karena sastra
dihasilkan dengan perenungan atau kontemplasi yang menjadikannya lebih
bersifat filosofis sejarah yang hanya menceritakan masa lalu tanpa perenungan.
Perbedaan di atas diwariskan pada dua macam karya sastra yang berkaitan erat
dengan sejarah; yaitu sastra sejarah dan novel sejarah. Keduanya berbeda menurut
konsep hubungan yang terjadi di antaranya, sesuai dengan zamannya.
Kelahiran karya sastra tidak lepas dari kemampuan intersubjektivitas pengarang
untuk menggali kekayaan masyarakat, memasukkannya ke dalam karya sastra,
yang pada akhirnya dapat dinikmati oleh pembaca. Kemampuan pengarang dalam
melukiskan pengalaman yang diperoleh dalam masyarakat dan kemampuan
pembaca untuk memahami suatu karya sastra menjadi unsur penting yang
menentukan kekayaan suatu karya sastra. Hubungan karya sastra dengan
masyarakat, baik sebagai negasi dan inovasi, maupun afirmasi, jelas merupakan
hubungan yang hakiki. Karya sastra mempunyai tugas penting baik dalam
usahanya untuk menjadi pelopor pembaharuan maupun memberikan pengakuan
terhadap suatu gejala kemasyarakatan.
Kebebasan sekaligus kemampuan karya sastra untuk memasukkan hampir seluruh
aspek kehidupan manusia menjadikan karya sastra sangat dekat dengan aspirasi
masyarakat.
Demikian
juga
dengan
cara-cara
penyajian
yang
berbeda
38
dibandingkan dengan ilmu sosial dan humaniora membawa ciri-ciri tersendiri
terhadap sastra. Penyajian secara tak langsung, dengan menggunakan bahasa
metaforis konotatif, memungkinkan untuk menanamkan secara lebih intens
masalah-masalah kehidupan terhadap pembaca. Artinya, ada kesejajaran antara
ciri-ciri karya sastra dengan hakikat kemanusiaan. Fungsi sosial karya sastra
sesuai dengan hakikatnya yaitu imajinasi dan kreativitas adalah kemampuannya
dalam menampilkan dunia kehidupan yang lain yang berbeda dengan dunia
kehidupan sehari-hari. Selama membaca karya sastra pembaca secara bebas
menjadi raja, dewa, perampok, dan berbagai sublimasi lain.
Penggunaan karya sastra dari sebuah peristiwa sejarah diharapkan akan membuat
pembelajaran sejarah semakin dinamis dengan mengajarkan sejarah dari
pendekatan arus bawah masyarakat yang terpinggirkan oleh sejarah dan
kekuasaan (history from bellow). Berbagai bentuk karya sastra baik novel dan
yang lainnya menjadi lebih dari sekedar alat bantu karena bisa menjelaskan lebih
detail dinamika yang terjadi dalam peristiwa sejarah, artinya bahwa karya sastra
merupakan alat untuk berdialektika dalam sejarah dengan semangat zaman (zeit
gheist) yang terkandung didalamnya.
Kuntowijoyo (2006:171), yang akrab dengan dunia karya sastra mengatakan
bahwa sastra dan sejarah pada era sekarang mempunyai perbedaan yang tipis.
Bahkan tidak sedikit pula karya sastra seperti novel memuat fakta-fakta dalam
suatu peristiwa sejarah. Hal itu seakan-akan menunjukkan sastra dan sejarah
mempunyai hubungan yang erat. Karya sastra sebagai simbol verbal mempunyai
39
beberapa peranan di antaranya cara pemahaman (model of comprehension), cara
perhubungan (mode of communication), dan cara penciptaan (mode of creation).
Objek karya sastra adalah realitas yaitu realitas yang dimaksudkan oleh pengarang
itu sendiri.
Karya sastra sejarah ditulis berdasarkan bukti sejarah dan dengan sendirinya nilai
kesejarahan dapat lebih dipertangungjawabkan. Tentu saja dalam karya sastra di
dalamnya secara sengaja pencipta memasukkan hal-hal yang sifatnya fiktif,
terutama dalam penokohan. Di samping memang terdapat tokohtokoh yang
memang diakui keberadaannya dalam peristiwa sejarah, dalam karya sastra juga
muncul tokoh-tokoh tambahan yang muncul dan lahir dari daya cipta pengarang.
Dalam hal-hal tertentu, tidak mustahil seluruh tokoh yang muncul merupakan
tokoh fiktif (misalkan namanya).
Dalam konteks ilmu sastra, hubungan antara karya sastra dengan peristiwa sejarah
telah lama menjadi perhatian para ilmuwan sastra. Munculnya berbagai
pendekatan dalam kajian sastra, seperti sosiologi sastra, sastra perbandingan, dan
sejarah baru (new historicism), yang mencoba memahami hubungan tersebut
merupakan bukti adanya upaya memahami hubungan antara karya sastra dengan
peristiwa sejarah.
Meneliti karya sastra dengan menggunakan pendekatan historisme harus mengacu
pada catatan-catatan dan teks lain di luar karya sastra, yaitu keseluruhan informasi
yang berhubungan dengan karya itu. Dalam buku 9 Jawaban Sastra Indonesia,
Mahayana menekankan pada beberapa hal berikut, yang dijadikan acuan dalam
40
menyusun catatan-catatan tersebut : (1) teks atau catatan yang menjadi acuan
pastilah teks yang dapat dipercaya; (2) bahasa dari karya sastra yang bersangkutan
berfungsi pada waktu dan tempat tertentu; (3) penelitian terhadap sebuah karya
pastilah berkaitan dengan kehidupan pengarangnya, keadaan materialnya, dan
perlu juga dipertimbangkan konteks karya yang bersangkutan dalam keseluruhan
karier pengarang; (4) kehadiran sebuah teks sangat mungkin diilhami,
dipengaruhi, atau bahkan ada kaitannya dengan teks sebelumnya; (5) diyakini pula
bahwa sebuah karya tidak lain merupakan milik zamannya; dan (6) sebuah karya
yang diteliti mesti ditempatkan dalam tradisi, konvensi, dan kecenderungan yang
sering kali ikut menentukan hubungan-hubungannya dengan karya-karya lain
yang sejenis.
Dalam pandangan Historisme Baru, sastra dan sejarah merupakan dua teks yang
saling berkaitan dan saling mengisi (Mahayana, 2005:369). Sejarah dapat menjadi
inspirasi pengarang untuk membuat karya sastra, dan sastra dapat menjadi
dokumenter sejarah. Di samping saling mengisi, sejarah itu sendiri terdiri atas
berbagai teks yang masing-masing menyusun satu versi tentang kenyataan
(Budianta, 2006:4). Mengenai hubungan antara teks sejarah dan teks sastra,
Sugihastuti (2009:164) menulis, telah banyak bukti menunjukkan bahwa teks-teks
sastra, dapat dipakai sebagai pelengkap studi sejarah, misalnya A History of
Malaya.
Hubungan yang saling menguntungkan dalam kritik historis ini sebenarnya
hendak menekankan pentingnya pengetahuan (historis) dalam kegiatan kritik
41
sastra (Mahayana, 2005:368). Persoalannya adalah bahwa hubungan antara karya
sastra dan sejarah, itu negatif atau positif, atau bagaimana? Relasi positif berarti
referensial, ada referensi yang nyata pada struktur intrinsik sastra dengan realitas.
Relasi negatif berarti nonreferensial (Sugihastuti, 2009:167).
Sejarah sering
ditafsirkan sebagai fotokopi, nostalgia masa lalu atau sebuah idealisme yang
masing-masing mempunyai signifikasi, akurasi, dan kewajarannya dalam teks
(Mahayana, 2005:372). Begitu pula dengan teks sastra. Dalam perspektif yang
baru, karya sastra ikut membangun, mengartikulasikan dan mereproduksi
konvensi, norma, dan nilai-nilai budaya melalui tindak verbal dan imajinatif
kreatifnya (Budianta, 2006:4).
Wolfgang Iser (Teeuw, 1984:249) telah menegaskan “rekaan bukan merupakan
lawan kenyataan, tetapi memberitahukan sesuatu mengenai kenyataan”.
Hubungan antara kenyataan dan rekaan dalam karya sastra adalah hubungan
dialektik (bertetangga). Mimesis tidak mungkin tanpa kreasi tetapi kreasi tidak
mungkin tanpa mimesi. Takaran dan perkaitan antara kedua-duanya dapat berbeda
menurut kebudayaannya, menurut jenis sastra, jaman, pribadi pengarang dan
banyak lagi.
Terakhir, perpaduan antara mimesis dan kreasi tidak hanya berlaku dan benar
untuk penulis sastra. Hal ini pun penting bagi pembaca. Pembaca harus sadar
menyambut karya sastra menharuskan dia untuk memperpadukan aktifitas
mimetic dan kreasi. Pemberian makna pada karya sastra adalah perjalanan bolakbalik tanpa henti antara dunia kenyataan dan dunia khayalan.
42
2.5 Analisis Struktur
Pendekatan struktural adalah pendekatan yang digunakan dalam usaha memahami
karya sastra dengan memperhitungkan struktur atau unsur-unsru pembentuk karya
sastra sebagai jalinan yang utuh. Pendekatan struktural yang digunakan di dalam
analisis bermaksud untuk membongkar dan memaparkan secermat mungkin
keterjalinan dan keterkaitan semua unsur-unsur karya sastra yang bersama-sama
menghasilkan makna yang menyeluruh (Teeuw, 1984:36).
Pendekatan yang bertolak dari dalam karya sastra itu disebut pendekatan objektif.
Analisis struktural adalah bagian yang terpenting dalam merebut makna di dalam
karya sastra itu sendiri. Penelitian struktural dipandang lebih objektif karena
hanya berdasarkan sastra itu sendiri. Peneliti strukturalis biasanya mengandalkan
pendekatan egosentrik yaitu pendekatan penelitian yang berpusat pada teks sastra
itu sendiri. Penekanan strukturalis adalah memandang karya sastra sebagai teks
mandiri. Penelitian dilakukan secara objektif yaitu menekankan aspek intrinsik
karya sastra (Endraswara, 2013:25).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan analisis struktural adalah penguraian
karya sastra atas bagian-bagian atau norma-normanya, atau atas unsur-unsur yang
membangunnya. Dengan pendekatan tersebut karya sastra yang kompleks dan
rumit dapat dipahami. Lewat pendekatan ini pula, dimungkinkan orang untuk
memberikan penilaian terhadapnya. Karya sastra mempunyai sebuah sistem yang
terdiri atas berbagai unsur pembangunnya. Untuk mengetahui unsur yang ada
43
dalam karya sastra itu sangat tepat jika penelaahan teks sastra diawali dengan
pendekatan struktural.
Strukturalisme sering digunakan oleh peneliti untuk menganalisis seluruh karya
sastra dimana kita harus memperhatikan unsur-unsur yang terkandung di dalam
karya sastra tersebut. Struktur yang membangun sebuah karya sastra sebagai unsur
estetika dalam analisis struktur dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi,
mengkaji, mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik yang
bersangkutan (Nurgiyantoro, 1998:37).
Mulanya proses identifikasi terhadap plot, tokoh, penokohan, latar dan sudut
pandang. Tahap selanjutnya penjelasan terhadap fungsi masing-masing unsur
dalam menunjang makna keseluruhannya serta hubungan antar unsur intrinsik.
Namun, penelitian ini menekankan pada dua unsur pembentuk karya sastra yang
bersifat intrinsik. Unsur intrinsik tersebut adalah alur atau plot dan tokoh. Tetapi,
tidak sampai pada fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik. Dipilihnya kedua
unsur tersebut karena keduanya merupakan unsur isi dari sebuah karya sastra yang
dapat membangun sebuah cerita yang menarik. Sehubungan dengan hal di atas,
diharapkan dengan menganalisis kedua unsur tersebut dapat membantu
mengungkapkan unsur pembangun cerita dalam karya sastra.
2.5.1 Strukturalisme Robert Stanton
Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat,
seteliti, semendetail dan mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua
anasir dan aspek karya sastra yang bersama- sama menghasilkan makna
44
menyeluruh (Teeuw, 1988:135). Pendekatan struktural yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan struktural model Robert Stanton. Robert Stanton
(2007:97), menyatakan bahwa untuk menganalisis novel sebaiknya dilihat terlebih
dahulu prinsip kepaduan sebuah novel. Kepaduan di sini berarti seluruh aspek dari
karya sastra harus berkontribusi penuh pada maksud utama atau tema.
Dengan demikian, pendekatan struktural memandang karya sastra sebagai suatu
kesatuan yang utuh, terdiri dari unsur-unsur yang memiliki suatu keterkaitan dan
dapat membentuk suatu makna yang menyeluruh. Robert Stanton menyatakan
bahwa struktur karya sastra meliputi 3 kategori, yaitu: fakta cerita, sarana cerita,
dan tema.
2.5.1.1. Fakta Cerita
Karakter, alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini
berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum
menjadi satu, semua elemen ini dinamakan struktur faktual atau tingkatan faktual
cerita. Struktur faktual bukanlah hal terpisah dari sebuah cerita. Struktur faktual
merupakan salah satu aspek cerita. Struktur faktual adalah cerita yang disorot dari
satu sudut pandang (Stanton, 2007:22).
1. Alur
Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita.
Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara
kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau
menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena
45
akan berpengaruh pada keseluruhan karya. Peristiwa kausal tidak terbatas pada
hal-hal yang fisik saja seperti ujaran atau tindakan, tetapi juga mencakup
perubahan
sikap
karakter,
kilasan-kilasan
pandangannya,
keputusan-
keputusannya, dan segala yang menjadi variabel pengubah dalam dirinya
(Stanton, 2007:26).
Alur merupakan tulang punggung cerita. Sebuah cerita tidak akan pernah
seutuhnya dimengerti tanpa danya pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang
mempertautkan alur, hubungan kausalitas, dan keberpengaruhannya. Sama halnya
dengan elemen-elemen lain, alur memiliki hukum-hukum sendiri; alur hendaknya
memiliki bagian awal, tengah, dan akhir yang nyata, meyakinkan dan logis, dapat
menciptakan bermacam kejutan, dan memunculkan sekaligus mengakhiri
ketegangan-ketegangan (Stanton, 2007:28).
Dua elemen dasar yang membangun alur adalah konflik dan klimaks. Konflik
utama selalu bersifat fundamental, membenturkan sifat-sifat dan kekuatankekuatan tertentu. Konflik semacam inilah yang menjadi inti struktur cerita, pusat
yang pada gilirannya akan tumbuh dan berkembang seiring dengan alur yang
terus-menerus mengalir dan disebut klimaks. Klimaks adalah saat ketika konflik
terasa sangat intens sehingga ending tidak dapat dihindari lagi. Klimaks
merupakan
titik
yang
mempertemukan
kekuatan-kekuatan
konflik
dan
menentukan bagaimana oposisi tersebut dapat terselesaikan (Stanton, 2007:32).
Sementara itu Nurgiyantoro (1995: 153-156) membedakan alur berdasarkan
kriteria urutan waktu yaitu sebagai berikut.
46
1. Alur lurus yaitu jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis,
peristiwa-peristiwa pertama diikuti oleh peristiwaperistiwa yang kemudian.
Secara runtut cerita dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan,
pemunculan
konflik),
tengah
(konflik
meningkat,
klimaks),
dan
akhir
(penyelesaian). Jika dituliskan dalam bentuk skema, secara garis besar plot
tersebut akan berwujud sebagai berikut.
A
B
C
D
E
Simbol A melambangkan tahap awal cerita, B-C-D melambangkan tahap tengah
atau inti cerita, dan E merupakan tahap penyelesaian cerita.
2. Alur sorot balik yaitu jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat tidak
kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal melainkan mungkin dari tahap
tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan. Jika
dituliskan dalam bentuk skema, secara garis besar plot tersebut akan berwujud
sebagai berikut.
D1
A
B
C
D2
E
Simbol D1 berupa awal cerita, A-B-C adalah peristiwa yang disorot balik, D2
(sengaja dibuat demikian untuk menegaskan pertalian kronologisnya dengan D1),
dan E berupa kelanjutan langsung peristiwa cerita awal D1.
3. Alur campuran merupakan gabungan dari alur lurus dan alur sorot balik. Jika
dituliskan dalam bentuk skema, secara garis besar plot tersebut akan berwujud
sebagai berikut.
E
D1
A
B
C
D2
47
A-B-C berisi inti cerita, diceritakan secara runtut-progresif kronologis yang
mengantari adegan D1 dan D2 yang juga lurus kronologis, dan E merupakan
kelanjutan dari D2 yang ditempatkan di awal dan menjadikan sebuah novel sorot
balik atau flash back.
2. Karakter
Karakter biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, kartakter
merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita. Konteks kedua,
karakter merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi,
dan prinsip moral dari individu-individu tersebut (Stanton, 2007:33). Karakter
utama yaitu karakter yang terkait dengan semua peristiwa yang berlangsung
dalam cerita. Biasanya, peristiwa-peristiwa ini menimbulkan perubahan pada diri
sang karakter atau pada sikap kita terhadap karakter tersebut. Alasan seorang
karakter untuk bertindak sebagaimana yang ia lakukan dinamakan motivasi
(Stanton, 2007:33).
Karakter merupakan seseorang yang ada dalam sebuah cerita maupun sebuah
drama. Karakter cerita menurut Abrams adalah orang-orang yang ditampilkan
dalam sebuah karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki
kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam
ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Nurgiyantoro 2002: 165).
Penokohan atau penetapan karakter seseorang sebagai sosok berpengaruh
sangatlah mewakili keberagaman masyarakat dalam sebuah perubahan sosial.Tak
bisa dipungkiri, dalam sejarah dunia, perubahan sosial di masyarakat kerap
48
dilakukan seorang karakter yang dianggap berpengaruh, karismatis, jenius, atau
berpandangan politik yang mampu memengaruhi publik.
Penokohan sebenarnya karakter yang kita ciptakan ditentukan oleh perwatakan
yang kita berikan pada karakter tersebut. Mungkin saja nama karakternya sama,
tetapi ketika kita beri perwatakan yang berbeda, maka karakter tersebut akan
menjadi berbeda. Pemberian watak karakter ini merupakan seni tersendiri, yaitu
seni ”mencipta” manusia. Karena dengan memberikan perwatakan seperti yang
kita inginkan kita menciptakan ”manusia baru” dalam dunia yang kita ciptakan,
yaitu ”dunia fiksi”.
Nurgiyantoro (2002: 176-194) membedakan karakter menjadi beberapa jenis,
antara lain sebagai berikut.
1. Karakter Utama dan Karakter Tambahan
1). Karakter utama adalah karakter yang diutamakan penceritaannya dalam novel
yang bersangkutan. Ia merupakan karakter yang paling banyak diceritakan, baik
sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian.
2). Karakter tambahan adalah karakter yang dalam keseluruhan cerita paling
sedikit muncul, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada
keterkaitannya dengan karakter utama baik secara langsung maupun tidak
langsung.
2. Karakter Protagonis dan Karakter Antagonis
1). Karakter Protagonis adalah karakter yang dikagumi, yang salah satu jenisnya
secara popular disebut hero, karakter yang merupakan pengejawantahan norma-
49
norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita. Karakter protagonist menampilkan sesuatu
yang sesuai dengan pandangan kita, harapan-harapan kita.
2). Karakter Antagonis adalah karakter penyebab terjadinya koflik. Karakter
Antagonis barangkali bisa disebut, beroposisi dengan karakter protagonis, secara
langsung maupun tak langsung, bersifat fisik maupun batin.
3. Karakter Sederhana dan Karakter Bulat
1). Karakter Sederhana adalah karakter yang hanya memiliki satu kualitas pribadi
tertentu, suatu sifat-watak yang tertentu saja. Karakter sederhana adalah karakter
yang stereotip, karakter yang tidak memiliki unsur kebaruan atau keunikannya
sendiri. Karakter ini bersifat statis, wataknya sedikit sekali berubah, atau bahkan
tidak berubah sama sekali (misalnya karakter kartun, kancil, film animasi).
2). Karakter bulat adalah karakter yang memiliki dan diungkap berbagai
kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian, dan jati dirinya. Karakter bulat
lebih menyerupai kehidupan manusia yang sesungguhnya, karena disamping
memiliki berbagai kemungkinan sikap dan tindakan, ia juga sering memberikan
kejutan (Abrams, 1981:20-21).
4. Karakter Statis dan Karakter Berkembang
1). Karakter Statis adalah karakter cerita yang secara esensial tidak mengalami
perubahan dan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwaperistiwa yang terjadi. Karakter jenis ini tampak seperti kurang terlibat dan tak
terpengaruh oleh adanya perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi karena
adanya hubungan antarmanusia.
50
2). Karakter Berkembang adalah karakter cerita yang mengalami perubahan dan
perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan dan perubahan peristiwa
dan plot yang dikisahkan. Ia secara aktif berinteraksi dengan lingkungannya, baik
lingkungan sosial, alam, maupun yang lain, yang kesemuanya itu akan
mempengaruhi sikap, watak, dan tingkah lakunya.
5. Karakter Tipikal dan Karakter Netral
1). Karakter Tipikal adalah karakter yang hanya sedikit ditampilkan keadaan
individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau
kebangsaannya , atau sesuatu yang lain yang lebih bersifat mewakili. Karakter
tipikal merupakan penggambaran, pencerminan, atau penunjukkan terhadap
orang, atau sekelompok orang yang terikat dalam sebuah lembaga atau seorang
individu sebagai bagian dari suatu lembaga, yang ada didunia nyata.
2). Karakter Netral adalah karakter cerita yang bereksistensi demi cerita itu
sendiri. Ia benar-benar merupakan karakter imajiner yang hanya hidup dan
bereksistensi dalam dunia fiksi.
3. Latar
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta
yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar
dapat berwujud dekor. Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari,
bulan, dan tahun), cuaca, atau satu periode sejarah. Meski tidak langsung
merangkum sang karakter utama, latar juga dapat merangkum orang-orang yang
menjadi dekor dalam cerita (Stanton, 2007: 35).
51
Latar memiliki daya untuk memunculkan tone dan mood emosional yang
melingkupi sang karakter. Tone emosional ini disebut dengan istilah atmosfer.
Atmosfer bisa jadi merupakan cermin yang merefleksikan suasana jiwa sang
karakter atau sebagai salah satu bagian dunia yang berada di luar diri sang
karakter (Stanton, 2007: 36).
2.5.1.2 Sarana Cerita
Sarana kesastraan (literary devices) adalah teknik yang dipergunakan oleh
pengarang untuk memilih dan menyusun detil-detil cerita (peristiwa dan kejadian)
menjadi pola yang bermakna. Metode semacam ini perlu karena dengannya
pembaca dapat melihat berbagai fakta melalui kacamata pengarang, memahami
apa maksud fakta-fakta tersebut sehingga pengalaman pun dapat dibagi (Stanton,
2007: 46 47).
1. Judul
Judul selalu relevan terhadap karya yang diampunya sehingga keduanya
membentuk satu kesatuan. Pendapat ini dapat diterima ketika judul mengacu pada
sang karakter utama atau satu latar tertentu. Akan tetapi, bila judul tersebut
mengacu pada satu detail yang tidak menonjol. Judul semacam ini acap menjadi
petunjuk makna cerita bersangkutan (Stanton, 2007:51).
2. Sudut Pandang
Pusat kesadaran tempat kita dapat memahami setiap peristiwa dalam cerita,
dinamakan sudut pandang. Dari sisi tujuan, sudut pandang terbagi menjadi empat
tipe utama, yaitu (1) orang pertama-utama, sang karakter utama bercerita dengan
52
kata-katanya sendiri, (2) orang pertama-sampingan, cerita dituturkan oleh satu
karakter bukan utama (sampingan), (3) orang ketiga-terbatas, pengarang mengacu
pada semua karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga tetapi hanya
menggambarkan apa yang dapat dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu orang
karakter saja, (4) orang ketiga-tidak terbatas, pengarang mengacu pada setiap
karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga (Stanton, 2007:53-54).
Pengarang juga dapat membuat beberapa karakter melihat, mendengar, atau
berpikir saat tidak ada satu karakter pun hadir.
3. Gaya dan Tone
Dalam sastra, gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Meski dua
orang pengarang memakai alur, karakter, dan latar yang sama, hasil tulisan
keduanya bisa sangat berbeda. Perbedaan tersebut secara umum terletak pada
bahasa dan menyebar dalam berbagai aspek seperti kerumitan, ritme, panjangpendek kalimat, detail, humor, kekonkretan, dan banyaknya imaji dan metafora.
Di samping itu, gaya juga bisa terkait dengan maksud dan tujuan sebuah cerita.
Seorang pengarang mungkin tidak memilih gaya yang sesuai bagi dirinya akan
tetapi gaya tersebut justru pas dengan tema cerita (Stanton, 2007:61-62).
Satu elemen yang amat terkait dengan gaya adalah tone. Tone adalah sikap
emosional pengarang yang ditampilkan dalam cerita. Tone bisa menampak dalam
berbagai wujud, baik yang ringan, romantis, ironis, misterius, senyap, bagai
mimpi, atau penuh perasaan (Stanton, 2007:63).
53
4. Simbolisme
Simbol berwujud detail-detail konkret dan faktual dan memiliki kemampuan
untuk memunculkan gagasan dan emosi dalam pikiran pembaca. Dalam fiksi,
simbolisme dapat memunculkan tiga efek yang masing-masing bergantung pada
bagaimana simbol bersangkutan digunakan. Pertama, sebuah simbol yang muncul
pada satu kejadian penting dalam cerita menunjukkan makna peristiwa tersebut.
Dua, satu simbol yang ditampilkan berulang- ulang mengingatkan kita akan
beberapa elemen konstan dalam semesta cerita. Tiga, sebuah simbol yang muncul
pada konteks yang berbeda-beda akan membantu kita menemukan tema (Stanton,
2007:64-65).
5. Ironi
Secara umum, ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa sesuatu
berlawanan dengan apa yang telah diduga sebelumnya (Stanton, 2007:71). Dalam
dunia fiksi, ada dua jenis ironi yang dikenal luas yaitu ironi dramatis dan tone
ironis. Ironi dramatis atau ironi alur dan situasi biasanya muncul melalui kontras
diametris antara penampilan dan realitas, antara maksud dan tujuan seorang
karakter dengan hasilnya, atau antara harapan dengan apa yang sebenarnya terjadi
Tone ironis atau ironi verbal digunakan untuk menyebut cara berekspresi yang
mengungkapkan makna dengan cara berkebalikan (Stanton, 2007:72).
2.5.1.3 Tema
Tema merupakan aspek cerita yang sejajr dengan makna dalam pengalaman
manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Sama seperti
54
makna pengalaman manusia, tema menyorot dan mengacu pada aspek-aspek
kehidupan sehingga nantinya akan ada nilai-nilai tertentu yang melingkupi cerita.
Tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak.
Bagian awal dan akhir cerita akan menjadi pas, sesuai, dan memuaskan berkat
keberadaan tema. Tema merupakan elemen yang relevan dengan setiap peristiwa
dan detail sebuah cerita (Stanton, 2007:37).
Tema hendaknya memenuhi beberapa kriteria: (1) selalu mempertimbangkan
berbagai detail menonjol dalam sebuah cerita, (2) tidak terpengaruh oleh berbagai
detail cerita yang saling berkontradiksi, (3) tidak sepenuhnya bergantung pada
bukti-bukti yang tidak secara jelas diutarakan (hanya disebut secara implisit), (4)
diujarkan secara jelas oleh cerita bersangkutan (Stanton, 2007:45).
2.6 Representasi
Perkembangan zaman yang semakin pesat membuat manusia semakin mudah
mendapatkan sumber informasi dari segala sumber baik itu melalui media cetak,
media elektronik, hingga sebuah karya sastra seperti cerpen, puisi atau novel.
Media-media tersebut memiliki andil yang besar dalam membentuk dan
membangun stereotip dalam pikiran masyarakat melalui bingkainya masingmasing yang merepresentasikan kehidupan sekitar masyarakat. Penyampaian yang
dikemas sedemikian apik sehingga terkadang tidak menyadari bahwa sebenarnya
itulah fakta yang terjadi di lingkungan sekitar.
Menyimak lebih jauh tentang penggambaran atau representasi. Banyak hal yang
sebenarnya dikiaskan dengan tanda atau simbol lain dengan maksud tertentu.
55
Maksud dan tujuan digunakannya tanda pun bermacam ada yang dengan sengaja
untuk mengalihkan atau memberikan isyarat atau memberikan semacam sinyal
yang hanya diketahui oleh individu, kelompok ataupun masyarakat dimana
mereka memiliki pengetahuan yang sama.
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia representasi dimaknai sebagai
perbuatan mewakili (penggambaran) terhadap suatu objek (KBBI, 1989:744).
Representasi merekonstruksi serta menampilkan berbagai fakta sebuah objek
sehingga eksplorasi makna dapat dilakukan dengan maksimal (Ratna, 2005: 612).
Jika dikaitkan dengan bidang sastra, maka representasi dalam karya sastra lebih
diartikan sebagai penggambaran karya sastra terhadap suatu fenomena sosial.
Penggambaran ini tentu saja melalui pengarang sebagai kreator. Representasi
dalam sastra muncul sehubungan dengan adanya pandangan atau keyakinan
bahwa karya sastra sebetulnya hanyalah merupakan cermin, gambaran, bayangan,
atau tiruan kenyataan. Dalam konteks ini karya sastra dipandang sebagai
penggambaran yang melambangkan kenyataan (mimesis) (Teeuw, 1984:220).
Plato mengungkapkan bahwa seni (sastra) melalui mimesis melakukan
penggambaran melalui ide pendekatan sehingga apa yang dihasilkan tidak sama
persis dengan kenyataan. Seni hanya dapat menggambarkan dan membayangkan
hal-hal dalam kenyataan, seni berdiri di bawah kenyataan itu sendiri (Teeuw,
1984: 220). Aristoteles juga mengungkapkan bahwa seni melalui mimesis
melakukan proses representasi fakta-fakta sosial. Proses representasi yang terjadi
56
dalam seni tidak semata-mata meniru kenyataan seperti pantulan gambar cermin,
tetapi melibatkan renungan yang kompleks atas kenyataan alam.
Dalam pandangan Aristoteles, seni bekerja seperti sejarah, yakni menghadirkan
peristiwa atau kenyataan faktual dan khusus. Di samping itu, seni juga harus
mampu menunjukkan ciri-ciri general dan universalnya yang berlaku untuk zaman
kapan pun (Teeuw, 1984:222). Karya sastra sebagai bagian dari seni mengambil
bahan dari masyarakat, bahan yang dimaksud adalah fakta-fakta sosial. Faktafakta sosial yang ada dengan sendirinya dipersiapkan dan dikondisikan oleh
masyarakat, eksistensinya selalu dipertimbangkan dalam antarhubungannya
dengan fakta sosial yang lain, yang juga telah dikondisikan secara social.
Poses representasi yang dilakukan pengarang dalam karyanya menggunakan
bahasa sebagai media. Karya sastra memiliki kelebihan dalam menggambarkan
kenyataan sosial. Dengan memanfaatkan kualitas manipulatif medium bahasa,
karya sastra mampu menggambarkan sesuatu yang sama dengan cara yang
berbeda. Melalui bahasa, dunia sosial dikukuhkan dan sekaligus dipelihara.
Melalui bahasa pula, dunia sosial yang objektif diinternalisasikan ke dalam
kesadaran subjektif para warga dunia sosial.
Representasi yang merupakan kajian utama dalam cultural studies sendiri
dimaknai bagaimana dunia dikonstruksikan secara sosial dan disajikan kepada kita
dan oleh kita di dalam pemaknaan tertentu. Giles dan Tim Middleton setidaknya
memberikan tiga definisi dari kata ‘to represent’, yakni:
57
1. to stand in for. Hal ini dapat dicontohkan dalam kasus bendera suatu negara,
yang jika dikibarkan dalam suatu event olahraga, maka bendera tersebut
menandakan keberadaan negara yang bersangkutan dalam event tersebut.
2. to speak or act on behalf of. Contoh kasusnya adalah Paus menjadi orang yang
berbicara dan bertindak atas nama umat Katolik.
3. to re-present. Dalam arti ini, misalnya tulisan sejarah atau biografi yang dapat
menghadirkan kembali kejadian-kejadian di masa lalu. (Giles dan Tim Middleton,
1999:55-57)
Dalam prakteknya, ketiga makna dari representasi ini dapat saling tumpang tindih.
Oleh karena itu, untuk mendapat pemahaman lebih lanjut mengenai apa makna
dari representasi dan bagaimana caranya beroperasi dalam masyarakat budaya,
teori Hall akan sangat membantu.
Menurut Hall dalam bukunya Representation: Cultural Representation and
Signifying Practices, “Representation connects meaning and language to culture.
. . . Representation is an essential part of the process by which meaning is
produced and exchanged between members of culture.” (Hall, 2003:17)
Melalui representasi, suatu makna diproduksi dan dipertukarkan antar anggota
masyarakat. Jadi dapat dikatakan bahwa, representasi secara singkat adalah salah
satu cara untuk memproduksi makna. Representasi bekerja melalui sistem
representasi. Sistem representasi ini terdiri dari dua komponen penting, yakni
konsep dalam pikiran dan bahasa. Kedua komponen ini saling berelasi. Konsep
58
dari sesuatu hal yang kita miliki dalam pikiran kita, membuat kita mengetahui
makna dari hal tersebut.
Namun, makna tidak akan dapat dikomunikasikan tanpa bahasa. Sebagai contoh
sederhana, kita mengenal konsep ‘gelas’ dan mengetahui maknanya. Kita tidak
akan dapat mengomunikasikan makna dari ‘gelas’ (misalnya, benda yang
digunakan orang untuk minum) jika kita tidak dapat mengungkapkannya dalam
bahasa yang dapat dimengerti oleh orang lain. Oleh karena itu, yang terpenting
dalam sistem representasi ini pun adalah bahwa kelompok yang dapat berproduksi
dan bertukar makna dengan baik adalah kelompok tertentu yang memiliki suatu
latar belakang pengetahuan yang sama sehingga dapat menciptakan suatu
pemahaman yang (hampir) sama.
Menurut Stuart Hall, berpikir dan merasa juga merupakan sistem representasi.
Sebagai sistem representasi berarti berpikir dan merasa juga berfungsi untuk
memaknai sesuatu. Oleh karena itu, untuk dapat melakukan hal tersebut,
diperlukan latar belakang pemahaman yang sama terhadap konsep, gambar, dan
ide (cultural codes).
Dalam Theory of Representation, Stuart Hall (1997:25) memberikan tiga
pendekatan untuk menjelaskan bagaimana representasi dari bahasa menghasilkan
sebuah makna. Ketiga pendekatan tersebut adalah the reflective, the intentional
dan the constructionis (contructionist approach). Di dalam the reflective
approach, makna ditujukan untuk mengelabuhi objek yang dimaksudkan, baik itu
orang, ide ataupun suatu kejadian di dunia yang nyata, dan fungsi bahasa sebagai
59
cermin, untuk merefleksikan maksud sebenarnya seperti keadaan yang sebenarnya
di dunia. Sedangkan intentional approach merupakan pendekatan yang berkaitan
erat dengan pembicara atau penulis yang menekankan pada diri sendiri mengenai
pemaknaan yang unik di dunia ini melalui bahasa. Kata-kata yang dihasilkan
memiliki makna sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penulis.
Terakhir, contructionist approach menurut Hall yaitu:
" Konstruktivis tidak menyangkal keberadaan dunia materi . Namun,
bukan dunia materi yang menyampaikan makna: itu adalah sistem bahasa
atau apa pun sistem yang kita gunakan untuk mewakili konsep-konsep
kita. Ini adalah aktor sosial yang menggunakan sistem konseptual budaya
dan sistem representasi linguistik lainnya untuk membangun makna, untuk
membuat dunia yang berarti dan untuk berkomunikasi tentang dunia yang
penuh makna kepada orang lain." (Hall, 2003:27)
Pemaknaan terhadap sesuatu dapat sangat berbeda dalam budaya atau kelompok
masyarakat yang berlainan karena pada masing-masing budaya atau kelompok
masyarakat tersebut ada cara-cara tersendiri dalam memaknai sesuatu. Kelompok
masyarakat yang memiliki latar belakang pemahaman yang tidak sama terhadap
kode-kode budaya tertentu tidak akan dapat memahami makna yang diproduksi
oleh kelompok masyarakat lain.
Makna tidak lain adalah suatu konstruksi. Manusia mengonstruksi makna dengan
sangat tegas sehingga suatu makna terlihat seolah-olah alamiah dan tidak dapat
diubah. Makna dikonstruksi melalui sistem representasi dan difiksasi melalui
kode. Kode inilah yang membuat masyarakat yang berada dalam suatu kelompok
budaya yang sama mengerti dan menggunakan nama yang sama, yang telah
melewati proses konvensi secara sosial.
60
Misalnya, ketika kita memikirkan ‘rumah’, maka kita menggunakan kata
RUMAH untuk mengkomunikasikan apa yang ingin kita ungkapkan kepada orang
lain. Hal ini karena kata RUMAH merupakan kode yang telah disepakati dalam
masyarakat kita untuk memaknai suatu konsep mengenai ‘rumah’ yang ada di
pikiran kita (tempat berlindung atau berkumpul dengan keluarga). Kode, dengan
demikian, membangun korelasi antara sistem konseptual yang ada dalam pikiran
kita dengan sistem bahasa yang kita gunakan.
Teori representasi seperti ini memakai pendekatan konstruksionis, yang
berargumen bahwa makna dikonstruksi melalui bahasa. Menurut Stuart Hall
dalam
artikelnya,
“things
don’t
mean:
we
construct
meaning,
using
representational systems-concepts and signs.” (Hall, 2003:25). Oleh karena itu,
konsep (dalam pikiran) dan tanda (bahasa) menjadi bagian penting yang
digunakan dalam proses konstruksi atau produksi makna.
Jadi dapat disimpulkan bahwa representasi adalah suatu proses untuk
memproduksi makna dari konsep yang ada dipikiran kita melalui bahasa. Proses
produksi makna tersebut dimungkinkan dengan hadirnya sistem representasi.
Namun, proses pemaknaan tersebut tergantung pada latar belakang pengetahuan
dan pemahaman suatu kelompok sosial terhadap suatu tanda. Suatu kelompok
harus memiliki pengalaman yang sama untuk dapat memaknai sesuatu dengan
cara yang nyaris sama.
61
2.7 Teori Pemerintahan
Negara merupakan organisasi tertinggi di antara satu kelompok atau beberapa
kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam
daerah tertentu, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat (Mahfud, 2000:64).
Mengenai tugas negara dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, negara harus
memberikan perlindungan kepada penduduk dalam wilayah tertentu. Kedua,
Negara mendukung atau langsung menyediakan berbagai pelayanan kehidupan
masyarakat di bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Ketiga, negara menjadi
wasit yang tidak memihak antara pihak-pihak yang berkonflik dalam masyarakat
serta menyediakan suatu sistem yudisial yang menjamin keadilan dasar dalam
hubungan kemasyarakatan (Pudyatmoko, 2009:1).
Tugas negara menurut faham modern sekarang ini (dalam suatu Negara
Kesejahteraan atau Social Service State), adalah menyelenggarakan kepentingan
umum untuk memberikan kemakmuran dan kesejahteraan yang sebesar-besarnya
berdasarkan keadilan dalam suatu Negara Hukum. Dalam mencapai tujuan dari
negara dan menjalankan negara, dilaksanakan oleh pemerintah. Mengenai
pemerintah, terdapat dua pengertian, yaitu pemerintah dalam arti luas dan
pemerintah dalam arti sempit.
Pemerintah dalam arti luas (regering) adalah pelaksanaan tugas seluruh badanbadan, lembaga-lembaga dan petugas-petugas yang diserahi wewenang mencapai
tujuan Negara Sedangkan, pemerintah dalam arti sempit (bestuur) mencakup
organisasi fungsi-fungsi yang menjalankan tugas pemerintahan (Purbopranoto,
62
1981:1).
Mengenai pembagian pengertian dari pemerintah ini, juga terdapat dalam
buku SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD yang berjudul Pokok-Pokok Hukum
Administrasi Negara, namun terdapat sedikit perbedaan rumusan mengenai arti
pemerintah dalam arti luas maupun dalam arti sempit.
Pengertian pemerintah dalam arti sempit adalah organ/alat perlengkapan negara
yang diserahi tugas pemerintahan atau melaksanakan undang-undang. Dalam
pengertian ini pemerintah hanya berfungsi sebagai badan Eksekutif (Bestuur).
Pemerintah dalam arti luas adalah semua badan yang menyelenggarakan semua
kekuasaan di dalam negara baik kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan legislatif
dan yudikatif (Marbun, 2006:8). Dari uraian mengenai pengertian pemerintah di
atas, maka dalam tulisan ini yang dimaksud pemerintah adalah pemerintah dalam
arti luas.
Hal ini mengingat, bentuk pemerintahan Indonesia saat pasca kemerdekaan,
tepatnya dalam Pemerintahan Darurat Republik Indonesia saat itu masih
berbentuk parlementer. Dimana seorang Mohammad Hatta bertindak sebagai
kepala pemerintahan yang mengatur Negara secara absolut. Sedangkan Ir
Soekarno kala itu merupakan sosok kepala Negara yang menjadi presiden
sekaligus simbol Negara.
Artinya, pada saat itu hingga diberlakukannya sistem pemerintahan presidensial
tahun 1950 dan diberlakukannya kembali UUD 1945, seluruh kebijakan politik,
ekonomi, social, budaya, pertahanan dan keamanan berada di tangan perdana
63
menteri. Dalam hal ini, ditangani oleh kepala departemen yang bertanggungjawab
kepada perdana menteri.
2.7.1 Konsep Pemerintahan Darurat
Pemerintahan darurat berasal dari dua kata yaitu pemerintahan dan darurat.
Pemerintahan adalah perbuatan, cara, hal dan urusan dalam memerintah. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia darurat adalah keadaan terpaksa yang terjadi
akibat peperangan ataupun bencana (Poerwadarminta, 2006 : 267).
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pemerintahan darurat
adalah pemerintahan yang dibentuk karena dalam keadaan terpaksa yang terjadi
akibat perang.
Keadaan darurat atau biasa dikenal dengan sebagai staat van oorlog en beleg
(SOB). Yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai state of emergency adalah
suatu pernyataan dari pemerintah yang bisa mengubah fungsi fungsi
pemerintahan, memperingatkan warganya untuk mengubah aktfitas atau
memerintahkan badan badan pemerintah atau negara untuk menggunakan
rencana-rencana penanggulangan terhadap keadaan darurat yang mengancam.
(Wikipedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Keadaan_darurat diakses tanggal 25 Mei
2015 Pukul 21.10 WIB)
Menurut Herman Sihombing hukum tata negara dalam keadaan bahaya yakni :
Sebuah rangkaian pranata dan wewenang secara luar biasa dan istimewa untuk
dalam waktu sesingkat-singkatnya dapat menghapuskan keadaan darurat atau
64
bahaya yang mengancam, ke dalam kehidupan biasa menurut perundangundangan dan hukum yang umum dan biasa. Dalam sebuah pemerintahan
kadangkala terjadi sebuah keadaan yang tidak dapat diprediksi dan bersifat
mendadak. Keadaan demikan sering menimbulkan keadaan darurat. Keadaan
darurat disini berarti keadaan yang dapat menimbulkan akibat yang tidak dapat
diprediksi. Ketika keadaan darurat terjadi maka pranata hukum yang ada
terkadang tidak berfungsi untuk menjangkaunya. Untuk itulah dibutuhkan
perangkat aturan hukum tertentu yang dapat melakukan pengaturan dalam
keadaan darurat.( http://id.wikipedia.org/wiki/Keadaan_darurat diakses tanggal 25
Mei 2015 Pukul 21.10 WIB).
Menurut Jimly Asshidiqie ada delapan asas dalam pemberlakuan keadaan darurat
suatu negara, yaitu:
1. Asas Proklamasi
Keadaan darurat harus diumumkan atau diproklamirkan kepada seluruh
masyarakat, dan apabila keadaan darurat tersebut tidak diproklamirkan maka
tindakan yang diambil tidak mendapat keaabsahan.
2. Asas Legalitas
Asas legalitas disini berkaitan dengan tindakan yang diambil oleh negara dalam
keadaan darurat, tindakan yang diambil harus tetap dalam koridor hukum baik
hukum nasional maupun hukum internasional.
65
3. Asas Komunikasi
Negara yang mengalami keadaan darurat harus mengkomunikasikan keadaan
tersebut kepada seluruh warga negara.Selain itu juga harus memberitahukan
kepada negara lain secara resmi.
4. Asas Kesementaraan
Dalam penetapan keadaan darurat harus ada kepastian hukum yakni jangka waktu
pemberlakuan keadaan darurat.Yaitu mengenai awal pemberlakuan hingga waktu
berakhirnya.
5. Asas Keistimewaan Ancaman
Krisis menimbulkan keadaan darurat harus benar benar terjadi atau minimal
mengandung potensi bahaya yang siap mengancam negara.Ancaman tersebut
harus bersifat istimewa karena menimbulkan ancaman terhadap kehidupan.
6. Asas Proporsional
Tindakan yang diambil harus sesuai dengan gejala yang terjadi.Jangan sampai
negara mengambil tindakan yang tidak sesuai dan cenderung berlebihan.
7. Asas Intangibility
Asas ini terkait dengan Hak Asasi Manusia.Dalam keadaan darurat pemerintah
tidak boleh tidak boleh membubarkan organ pendampingnya yakni legislatif dan
yudikatif.
8. Asas Pengawasan
Pemberlakuan keadaan darurat juga harus mendapatkan pengawasan dan kontrol.
Harus
mematuhi
prinsip
negara
hukum
dan
demokrasi
66
(http://id.wikipedia.org/wiki/Keadaan darurat diakses tanggal 25 Juni 2015 Pukul
21.10 WIB).
Sementara itu, substansi pengertian negara dalam keadaan darurat diterjemahkan
kedalam tiga kategori yaitu:
1. Keadaan Darurat Sipil (KDS)
Keadaan ini merujuk pada suatu peristiwa yang timbul dari pergerakan sosial arus
bawah ke atas,sebagai suatu gerakan yang timbul dari gejala kesenjangan sosial.
2. Keadaan Darurat Militer (KDM)
Keadaan ini merujuk pada suatu peristiwa yang berasal dari dalam internal
angkatan bersenjata sendiri oleh fenomena dualisme dalam puncak pimpinan
kemiliteran yang pro dan kontra.
3. Keadaan Darurat Perang (KDP)
Keadaan ini lebih merujuk pada suatu keadaan yang tergolong genting, yang harus
segera ditindaklanjuti melalui suatu komando dipundak presiden selaku kepala
negara dan kepala pemerintahan beserta MenHanKam dalam hal pengambilan
keputusan menyatakan perang dan tindakan lainnya yang berguna untuk
menyelamatkan Negara. (Amos, 2005:201).
Berdasarkan teori darurat tersebut maka pembentukan Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia adalah sesuai dengan teori tentang Keadaan Darurat Perang
(KDP) yaitu terjadinya Agresi Militer Belanda. Hal ini dapat dilihat dari bahwa
yang melatar belakangi keluarnya mandat presiden Soekarno kepada Mr.Sjafrudin
67
Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera adalah
terjadinya perang antara Indonesia dengan Belanda yang terjadi di Yogyakarta.
2.7.2 Pelaksanaan Pemerintahan Darurat
Pelaksanaan adalah perbuatan atau usaha untuk melaksanakan (Poerwadarminta,
2006:650). Jadi pelaksanaan pemerintahan darurat adalah perbuatan atau usaha
untuk melaksanakan pemerintahan yang terjadi karena dalam keadaan darurat.
Menurut teori tentang asas pemberlakuan keadaan darurat yaitu asas pengawasan
bahwa dalam keadaan darurat juga harus mendapat pengawasan, kontrol dan harus
mematuhi prinsip hukum dan demokrasi.
Indonesia adalah negara demoksasi, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat
dan untuk rakyat. Menurut Hans Kelsen seperti dikutip Kansil terdapat tiga cara
untuk melaksanakan sistem demokrasi :
1. Yang melaksanakan kekuasaan negara demokrasi adalah wakil rakyat yang
terpilih dimana rakyat yakin bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan
diperhatikan dalam melaksanakan keputusan tersebut
2. Caranya melaksanakan kekuasaan negara demokrasi adalah senantiasa
mengingat kehendak dan keinginan rakyat. Jadi dalam melaksanakan kekuasaan
negara tidak bertentangan dengan kehendak dan kepentingan rakyat
3. Banyaknya kekuasaan negara demokrasi yang boleh melaksanakan tidaklah
dapat ditentukan dengan angka angka akan tetapi sebanyak mungkin untuk
memperoleh hasil yang diinginkan rakyat (Kansil, 1986:40).
68
Berdasarkan
pendapat
tersebut
dapat
disimpulkan
bahwa
pelaksanaan
pemerintahan darurat harus sesuai dengan prinsip demokrasi. Pada penelitian ini
pelaksanaan pemerintahan darurat yang dilaksanakan di Bukit Tinggi tahun 1948
– 1949 adalah harus sesuai dengan prinsip Demokrasi mengingat Syarifuddin
Prawiranegara yang merupakan Ketua PDRI dipilih secara langsung oleh pejabat
tinggi yang ada di Sumatera Barat. Prawiranegara dinilai sosok paling cakap
diantara kandidat lain yang memiliki kematangan dalam karier politik.
2.7.3 Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
Pemimpin republik di Jawa telah menduga kemungkinan agresi Belanda II dan
telah membuat rencana menghadapi kemungkinan itu. Pada bulan November
1948, wakil presiden Hatta mengajak Mr. Syafruddin Prawiranegara yang kala itu
menjabat sebagai Menteri Kemakmuran ke Bukittinggi. Sementara Hatta kembali
ke Yogyakarta, Syafruddin tetap tinggal untuk mempersiapkan kemungkinan
pembentukan sebuah pemerintahan darurat di Sumatra seandainya ibu kota
Republik di Jawa jatuh ke tangan Belanda.
Pertengahan Desember 1948, perdana menteri India Jawaharlal Nehru mengirim
sebuah pesawat untuk membawa Soekarno dan Hatta keluar Jawa. Dalam
perjalanan keluar Jawa, pesawat itu akan singgah di Bukitinggi, di sini Hatta akan
tinggal untuk mengepalai pemerintahan darurat sementara presiden Soekarno
terbang ke New Delhi, dan dari sana ke New York mengajukan masalah Republik
ke Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tetapi sebelum pesawat Nehru sampai di
Yogyakarta, pesawat tersebut tertahan di Singapura karena pemerintah Belanda
69
menolak member izin melintasi daerah mereka dan memberikan hak mendarat di
Jakarta. Jadi, Soekarno dan Hatta masih berada di Yogyakarta pada tanggal 19
Desember ketika belanda menyerang dan menduduki kota itu.
2.7.3.1 Masa Sebelum Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
Awal mula lahirnya pemerintahan darurat republik Indonesia tidak bisa lepas dari
agresi militer Belanda kedua. Sebuah serangan yang yang menjadi awal
pengkhianatan Belanda atas apa yang disepakati dalam perundingan Renville,
dimana Belanda dan Indonesia harus melaksanakan gencatan senjata dan
menyerahkan urusan perdamaian kepada Komisi Jasa Baik atau Komisi Tiga
Negara bentukan PBB.
Alih-alih menerima menyepakati dan patuh atas perjanjian yang telah dibuat,
Belanda justru memilih melancarkan aksi polisionil bersandi Gagak Hitam pada
19 Desember 1948 di Yogyakarta. Syafruddin Prawiranegra yang merupakan
menteri kemakmuran sedang berada di Bukitinggi, kala itu mendengar berita
serangan Belanda ke Yogyakarta hanya bualan. Syafruddin pada mulanya tidak
percaya bahwa pemerintahan Republik dapat hancur sedemikian cepatnya atau
bahwa hampir semua anggota cabinet, termasuk Soekarno dan Hatta telah
membiarkan diri mereka tertahan.
Pada kenyataannya, Belanda hanya butuh kurang dari sehari menghancurkan
Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu. Serangan ini dilakukan oleh pihak
Belanda sebagai serangan terakhir yang bertujuan untuk menghancurkan Republik
Indonesia. Dengan pasukan lintas udara, serangan langsung ditujukan ke ibu kota
70
Republik Indonesia, Yogyakarta. Lapangan terbang Maguwo dapat dikuasai
Belanda, dan selanjutnya seluruh kota Yogyakarta. Dengan keberhasilan ini maka
Belanda beranggapan bahwa mereka dapat dengan mudah menduduki dan
melumpuhkan ibu kota Republik Indonesia. Dengan adanya Agresi Militer II ini
secara fisik Belanda berhasil menangkap dan menawan Presiden Soekarno yang
diterbangkan ke Prapat dan kemudian dipindahkan ke Bangka, Wakil Presiden
Mohammad Hatta yang diasingkan di Bangka, dan beberapa petinggi lainnya
seperti Agus Salim (Menteri Luar Negeri), Mohammad Roem dan beberapa
menteri lainnya.
Sebelum para petinggi Republik Indonesia ini di tawan oleh pihak Belanda,
mereka mengadakan sidang Kabinet dan mengambil sebuah keputusan untuk
memberikan mandat melalui radiogram yang akan dikirimkan kepada Menteri
Kemakmuran yaitu Mr. Syarifuddin Prawiranegara
yang sedang berada di
Sumatera. Mandat atau materi kawat ini dikirim pada menit-menit terakhir
sebelum Soekarno-Hatta ditawan. Mandat tersebut berisikan agar Mr. Syarifuddin
Prawiranegara mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Dengan tertangkapnya para petinggi Republik Indonesia lantas tidak berarti
bahwa pemerintah Republik Indonesia telah berakhir. Pada umumnya tentara
Republik Indonesia tidak dapat memahami alasan menyerahnya para politisi sipil
pada Belanda sementara para prajurit mengorbankan jiwa mereka demi Republik.
Seluruh kekuatan TNI yang ada di Yogyakarta di perintahkan keluar kota untuk
bergerilya. Pasukan-pasukan Republik Indonesia mengundurkan diri ke luar kota-
71
kota dan memulai perang gerilya secara besar-besaran di kedua belah garis Van
Mook. Selain menteri kawat yang dikirimkan kepada Mr. Syarifuddin
Prawiranegara, wakil presiden Mohammad Hatta dan Menteri Luar Negeri Hadji
Agoes Salim mengirim Kawat kedua kepada Dr. Soedarsono, A.N. Palar, Mr.
A.A. Maramis di New Delhi.
Materi kawat atau radiogram itu ternayata tidak pernah diterima oleh Mr.
Syarifuddin, hal ini diperkirakan bahwa dalam keadaan perang itu sangat dituntut
mobilitas yang tinggi dengan berpindah-pindah kedudukan yang dimaksudkan
untuk menghindari serangan dari lawan. Kekhawatiran inilah yang menyebabkan
Hatta mengirimkan radiogram kepada Dr. Sudardono, A.N. Palar, Mr. A.A.
Maramis. Namun, kontroversi mengenai sampai tidaknya radiogram itu berhenti
pada tanggal 22 Desember 1948, ketika di desa Halaban, dekat Payakumbuh,
Sumatra Barat, diadakan rapat dengan beberapa tokoh, yang akhirnya
memutuskan
untuk
membentuk
pemerintah
darurat.
Mr.
Syafruddin
Prawiranegara, terpilih sebagai PDRI dan pada tanggal 31 Maret 1949 berhasil
membentuk pemerintah darurat.
Susunan Kabinet PDRI
1.
Mr. Sjafruddin Prawiranegara: Ketua merangkap Menteri Pertahanan dan
Penerangan
2.
Mr. Soesanto Tirtoprodjo: Wakil Ketua merangkap Menteri Kehakiman dan
Menteri Pembangunan dan Pemuda
3.
Mr. AA. Maramis: Menteri Luar Negeri (berkedudukan di New Delhi, India)
4.
dr. Soekirman: Menteri Dalam Negeri merangkap Menteri Kesehatan
72
5.
Mr. Loekman Hakiem: Menteri Keuangan
6.
Mr. IJ. Kasimo: Menteri Kemakmuran dan Pengawas Makanan Rakyat
7.
KH. Masjkoer: Menteri Agama
8.
Mr. T. Moh. Hasan: Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan
9.
Ir. Indratjahja: Menteri Perhubungan
10. Ir. Mananti Sitompoel: Menteri Pekerjaan Umum
11. Mr. St. Moh. Rasjid: Menteri Perburuhan dan Sosial
Sejak itu PDRI memainkan peranan penting dan menjamin bahwa perjuangan
melawan Belanda tetap di pimpin oleh pemerintahan yang sah yang di akui oleh
republik di seluruh nusantara. PDRI merupakan symbol nasional dan faktor
pemersatu, khususnya bagi pasukan gerilya yang terpencar di seluruh Jawa dan
Sumatra, karena pemerintahan Syafruddin diakui oleh pasukan Republik (dibawah
panglima besar sudirman). Sebagai pengganti yang sah dari pemerintahan
Soekarno dan Hatta.
2.7.3.2 Masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
Pemerintahan darurat republic Indonesia secara resmi dibentuk di bukit Halaban.
Di tengah hutan Sumatera ini, Syafruddin Prawiranegara dan tokoh republic
melanjutkan roda pemerintahan Indonesia yang baru saja mendapatkan
kemerdekaannya. Namun ditengah agresifnya serangan Belanda yang juga
menyasar Bukittinggi yang tidak termasuk dalam daerah garis Van Mook,
Syafruddin dan tokoh lain harus meninggalkan Halaban.
73
Pemimpin republik berpencar. Syafruddin dan kebanyakan menterinya berangkat
ke selatan untuk mendirikan pemerintahan mobil di Bidar Alam, di perbatasan
Sumatra barat dengan Jambi. Kolonel Hidayat dan komandemen militer Sumatra
berangkat ke utara, berhenti untuk beberapa minggu di Rao, di bagian utara
Sumatra barat dan kemudian melanjutkan “long march” ke Aceh disana Hidayat
membentuk markas komando, militer Sumatra di daerah yang tidak pernah
terjamah oleh Belanda. Mr. Rasjid dan anggota pemerintahan Sumatra Barat
pindah ke Kototinggi, suatu nagari di pegunungan di luar Suliki, sebelah utara
Payakumbuh. Ia ditemani oleh Chatib Sulaiman dan Anwan Sutansaidi, sampai
disana 24 desember dan membentuk pemerintahan militer Sumatra barat di kantor
perwakilan nagari.
Setelah ditawannya Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta dan beberapa
Menteri lainnya. Sesuai dengan rencana awal dalam sidang kabinet tanggal 19
Desember 1948 bahwa seluruh kekuatan TNI yang masih ada di Yogyakarta
diperintahkan ke luar kota untuk melakukan gerilya. Angkatan perang yang telah
membagi wilayah pertahanan republik menjadi dua komando, yaitu Jawa dan
Sumatra siap melaksanakan rencana di bidang pemerintahan tersebut. Untuk
melancarkan rencananya telah disiapkan konsepsi baru dalam bidang pertahanan.
Konsepsi tersebut dituangkan dalam perintah siasat nomor 1 tahun 1948 yang
pokok isinya adalah sebagai berikut:
1.
Tidak melakukan pertahanan yang linear
2.
Memperlambat setiap majunya serbuan musuh dan pengungsian total, serta
bumi hangus total
74
3.
Membentuk kantong-kantong di tiap onderdistrik yang mempunyai
kompleks di beberapa pegunungan, dan
4.
Pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal menyusup ke
belakang garis musuh dan membentuk kantong-kantong sehingga seluruh pulau
Jawa akan menjadi medan gerilya yang luas.
Siasat ini berhasil untuk melawan Belanda yang bersenjatakan lengkap. Perlahan
TNI bergerilya ke luar Yogyakarta. Di Jawa, berdasarkan siasat tersebut
berlangsung long march Siliwangi yang sangat terkenal. Sejumlah 11 Bathalion
Divisi Siliwangi dengan keluarga mereka dan penduduk lainnya mulai bergerak
kembali ke Jawa Barat dengan jalan kaki. Namun, setibanya di Jawa Barat mereka
dihadang oleh Tentara Islam Indonesia yang dipimpin oleh Kartosuwiryo. Namun,
setelah dua bulan melakukan long march, mereka berhasil untuk menguasai atau
memperoleh kedudukan di Jawa Barat sesuai dengan yang diharapkan.
Berkat Perjuangan Mr. Syafruddin Prawiranegara dengan PDRI di Bukittinggi
Sumatra Barat dan exile government di India, serta perjuangan A.N. Palar selaku
wakil Indonesia di PBB, menyebabkan dewan keamanan PBB mengeluarkan
resolusi pada tanggal 28 Januari 1949.
Kemudian pada tanggal 1 Maret 1949 terjadilah serangan umum terhadap kota
Yogyakarta yang diduduki oleh Belanda ketika itu. Penyerangan inii dilakukan
oleh TNI dan dipimpin oleh Letnan Kolonel Suharto. Komandan Brigade 10
daerah
wehrkreise ketiga
yang membawahi
daerah
Yogyakarta.
Awal
penyerangan ini dibentuk sektor-sektor untuk mempermudah pengepungan.
75
Seckor barat dipimpin oleh major Fentje Sumual, sektor untuk selatan dan timur
dipimpin oleh major Sarjono, sektokr utara dipimpin oleh major Kusno. Untuk
sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki. Serangan
dilakukan dari berbagai penjuru kota, sehingga dalam waktu 6 jam Yogyakarta
behasil di kepung dan di kuasai oleh TNI. Dan serangan umum ini berhasil
mencapai tujuannya yaitu mendukung perjuangan secara diplomasi dan
meninggikan moral rakyat serta TNI
yang sedang bergerilya, menunjukkan
kepada dunia Internasional bahwa TNI mempunyai kekuatan yang mampu
mengadakan ofensif serta mematahkan moral pasukan Belanda.
2.7.3.3 Masa Akhir Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
Belanda menerima himbauan PBB supaya mengadakan gencatan senjata pada
tanggal 31 Desember 1948 di Jawa dan tanggal 5 Januari 1949 di Sumatra, tetapi
perang gerilya terus berlangsung. Sebagian besar satuan tentara beroperasi secara
otonom selama perang gerilya ini. Di samping banyak kemenangan kecil mereka
atas pihak Blanda, pasukan-pasukan Republik yang berada di bawah pimpinan
Letnan Kolonel Soeharto mendapat suatukemenangan besar ketika mereka
berhasil merebutkembali dan menguaasai Yogyakarta selama eman jam pada
tanggal 1 Maret 1949. (Ricklefs, 349)
PBB dan Amerika Serikat mulai mengambil sikap yang lebih tegas terhadap
Belanda. Dengan memberikan berbagai tekanan dan ancaman yang dilakukan oleh
militer Rrepublik dan Amerika Serikat, akhirnya pada bulan April Belanda telah
sepakat untuk menyerah , tetapi mendesak untuk mengadakan perbincangan-
76
perbincangan dengan pemerintah Republik. Pada tangal 6 Juli 1949 pemerintah
Republik kembali ke Yogyakarta.
Berakhirnya keperintahan PDRI ini kemudian berkaitan erat dengan perundingan
Roem-Royen dimana Belanda menyetujui pemerintahan republik ke Yogyakarta.
Dan membebaskan tahanan
politik yang ditahan sejak 19 Desember 1948
tersebut, hal ini juga berarti pemerintahan kedaulatan akan segera di serahkan oleh
Belanda kepada Padaris, ditambah dengan menginggalnya Panglima Militer
Belanda Simon H. Spoor yaitu salah satu tokoh yang memprakarsai perebutan
kedaulatan pemerintah Indonesia.
Walaupun begitu, pertahanan Indonesia di Sumatra tak sepenuhnya aman Belanda
yang berkubu di Bukittinnggi beruasaha berkali-kali mengusir pasukan kita yang
berpangkal di Palupuh. Hingga sampai pada penyerahan kedaulatan oleh Belanda
ke Republik Indonesisa. Pertempuran-pertempuran tidak sering terjadi terlebih
setelah gerakan gencatan senjata Belanda yang tertuju pada keamanan saja.
Beberapa tokoh agak sedikit bertentangan dengan delegasi-delegasi Belanda yang
berdampak pada putusan pengembalian mandat PDRI kepada pemerintahan di
Yogyakarta. Pemerintahan yang berlangsung kurang lebih selama 7 bulan ini
berakhir ketika penyerahan mandat dari PDRI kepada Hatta pada tanggal 14 Juli
1948. Setelah perjanjian Roem-Royen disahkan dimana Hatta dan Natsir
meyakinkan
Prawiranegara
untuk
pemerintahan yang ada pada saat itu.
datang
dan
menyelesaikan
duailisme
77
Dengan adanya PDRI dan Mr. Sjafruddin dipilih sebagai pejabat Presiden
sementara maka eksistensi Negara Indonesia tetap ada serta merdeka dan
berdaulat karena dihadapan pemerintah Belanda, pemerintahan RI de facto di
pimpin oleh Soekarno dari penjara, meskipun sebenarnya de jure pemerintahan
berada di tangan Syafruddin Prawiranegara dan kedudukan Soekarno yang berada
dalam tahanan bukan lagi sebagai kepala Negara yang merdeka dan berdaulat.
Jadi, dengan diberikan mandat dari Presiden kepada kepala pemerintahan darurat
RI maka posisi Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai pejabat Presiden sementara
(Ketua PDRI) dan bukan dianggap sebagai Presiden RI yang utuh karena ia hanya
sebagai pemegang jabatan sementara saja berdasarkan mandat yang diterimanya
dari mandatory yaitu Presiden Pertama RI sendiri. Maka dari fakta sejarah ini, Mr.
Syafruddin
Prawiranegara
tidak
menyalahgunakan
amanah
pembentukan
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) untuk mengangkat dirinya
sebagai Presiden PDRI melainkan hanya sebagai ketua PDRI.
2.7.4 Representasi Pemerintahan Darurat Republik Indonesia dalam Novel
Presiden Prawiranegara. Kisah 207 Hari Syafruddin Prawiranegara Memimpin
Indonesia karya Akmal Nasery Basral
Kaitannya dengan representasi pemerintahan darurat, penulis menjelaskan
landasan berpikir yang akan dituangkan pada Bab Pembahasan. Landasan berpikir
yang penulis pilih ialah pengambilan arti berbagai bidang yang termasuk dalam
kebijakan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia seperti politik, ekonomi,
78
sosial,
dan pertahanan keamanan yang diambil dari Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) dan kemudian diartikan secara teknis. Artinya penulis
menjelaskan arti bidang kebijakan pemerintahan tersebut secara leksikal dan
secara teknis.
1. Politik, secara leksikan memiliki arti berupa pengetahuan mengenai
ketatanegaraan atau kenegaraan seperti sistem pemerintahan dan dasar
pemerintahan (KBBI,886).
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional
maupun nonkonstitusional. Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut
pandang berbeda, yaitu antara lain: politik adalah usaha yang ditempuh warga
negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
Pengertian Politik atau definisi dan makna politik secara umum yaitu sebuah
tahapan dimana untuk membentuk atau membangun posisi-posisi kekuasaan
didalam masyarakat yang berguna sebagai pengambil keputusan-keputusan
yang terkait dengan kondisi masyarakat. Kata Politik ini berasal dari bahasa
Yunani yaitu polis dan teta. Arti dari kata polis sendiri yaitu kota/negara
sedangkan untuk kata teta yaitu urusan.
Jika dilihat secara Etimologis yaitu kata "politik" ini masih memiliki
keterkaitan dengan kata-kata seperti "polisi" dan "kebijakan". Melihat kata
"kebijakan" tadi maka "politik" berhubungan erat dengan perilaku-perilaku
yang terkait dengan suatu pembuatan kebijakan. Sehingga "politisi" adalah
orang yang mempelajari, menekuni, mempraktekkan perilaku-perilaku
didalam politik tersebut.
79
Oleh karena itu secara garis besar definisi atau makna dari politik adalah
sebuah perilaku atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan
kebijakan-kebijakan dalam tatanan Negara agar dapat merealisasikan cita-cita
Negara sesungguhnya, sehingga mampu membangun dan membentuk negara
sesuai rules agar kebahagian bersama didalam masyarakat disebuah negara
tersebut lebih mudah tercapai.
2. Ekonomi secara leksikal memiliki pengertian ilmu mengenai asas asas
produksi, distribusi dan pemakaian barang-barang serta kekayaan seperti hal
keuangan, perindustrian dan perdagangan (KBBI, 287). Ekonomi adalah
sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana manusia mencukupi kebutuhannya
hidupnya seperti produksi, distribusi, dan konsumsi terhadap barang dan jasa.
Kata ekonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu οἶκος (oikos) yang berarti
“keluarga, rumah tangga” dan νόμος (nomos) yang berarti “peraturan, aturan,
hukum”. Jadi pengertian ekonomi pada dasarnya adalah ilmu yang mengatur
rumah tangga. Dari penggabungan kedua kata tersebut, juga dapat diartikan
menunjukkan sebuah kondisi yang merujuk pada pengertian tentang aktivitas
manusia. Terutama pada usaha agar mampu mengolah sumber daya di
lingkungan sekitarnya. Ekonomi juga dikategorikan sebagai Ilmu Sosial.
Karena terkait dengan masalah manusia yang menjadi pokok bahasan dalam
kajian ilmu sosial.
3. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sosial memiliki arti berkenaan dengan
masyarakat (KBBI, 1085). Di kehidupan kita sebagai anggota masyarakat
80
istilah sosial sering dikaitkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan
manusia dalam masyarakat, seperti kehidupan kaum miskin di kota, kehidupan
kaum berada, kehidupan nelayan dan seterusnya. Sering juga diartikan sebagai
suatu sifat yang mengarah pada rasa empati terhadap kehidupan manusia
sehingga memunculkan sifat tolong menolong, membantu dari yang kuat
terhadap yang lemah, mengalah terhadap orang lain, sehingga sering dikataka
sebagai mempunyai jiwa sosial yang tinggi.
Sosial disini yang dimaksudkan adalah segala sesuatu yang dipakai sebagai
acuan dalam berinteraksi antar manusia dalam konteks masyarakat atau
komunitas, sebagai acuan berarti sosial bersifat abstrak yang berisi simbolsimbol berkaitan dengan pemahaman terhadap lingkungan, dan berfungsi
untuk mengatur tindakan-tindakan yang dimunculkan oleh individu-individu
sebagai anggota suatu masyarakat. Sehingga dengan demikian, sosial haruslah
mencakup lebih dari seorang individu yang terikat pada satu kesatuan
interaksi, karena lebih dari seorang individu berarti terdapat hak dan
kewajiban dari masing-masing individu yang saling berfungsi satu dengan
lainnya. Sehingga dapat dimaksudkan bahwa sosial merupakan rangkaian
norma, moral, nilai dan aturan yang bersumber dari kebudayaan suatu
masyarakat atau komuniti yang digunakan sebagai acuan dalam berhubungan
antar manusia agar tercipta kehidupan yang harmonis.
4. Pertahanan memiliki kata dasar, yaitu tahan. Tahan sendiri memiliki
pengertian tetap pada tempatnya tidak beranjak (KBBI, 1119). Sedangkan
81
pertahanan diartikan perihal bertahan mempertahankan, pembelaan negara
(KBBI,1120).
Pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan
negara, keutuhan wilayah sebuah negara dan keselamatan segenap bangsa dari
ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Hakikat
pertahanan negara adalah segala upaya pertahanan bersifat semesta yang
penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga
negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri.
Pertahanan negara dilakukan oleh pemerintah dan dipersiapkan secara dini
dengan sistem pertahanan negara. Pertahanan nasional merupakan kekuatan
bersama (sipil dan militer) diselenggarakan oleh suatu negara untuk menjamin
integritas wilayahnya, perlindungan dari orang dan/atau menjaga kepentingankepentingannya. Pertahanan nasional dikelola oleh Departemen Pertahanan.
Angkatan bersenjata disebut sebagai kekuatan pertahanan seperti TNI dan
POLRI.
5. Keamanan memiliki kata dasar yaitu aman dengan rti leksikal yaitu bebas dari
bahaya (KBBI, 35). Keamanan adalah kemampuan bangsa melindungi nilainilai nasionalnya terhadap ancaman dari luar maupun dari dalam. Keamanan
dan ketahanan suatu negara akan menimbulkan kesejahteraan bagi negara itu
sendiri.
Dimana
kesejahteraan
berarti
kemampuan
bangsa
dalam
menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai nasionalnya demi sebesarbesarnya kemakmuran yang adil dan merata rohani dan jasmani.
82
2.8 Pembelajaran Sastra di Perguruan Tinggi
Karya sastra adalah karya seni yang berbicara tentang masalah hidup dan
kehidupan, tentang manusia dan kemanusiaan yang menggunakan bahasa sebagai
mediumnya (Esten, 1980). Seirama dengan itu (Rusyana, 1982) menyatakan,
“Sastra
adalah
hasil
kegiatan
kreatif
manusia
dalam
pengungkapan
penghayatannya tentang hidup dan kehidupan, tentang manusia dan kemanusiaan
yang menggunakan bahasa.” Dari kedua pendapat itu dapat ditarik makna bahwa
karya sastra adalah karya seni, mediumnya (alat penyampainya) adalah bahasa,
isinya adalah tentang manusia, bahasannya adalah tentang hidup dan kehidupan,
tentang manusia dan kemanusiaan. Dari situ pun dapat dimunculkan pertanyaan,
“Apakah peserta didik perlu belajar sastra?” Jika ia, apa hasil akhir yang
diharpkan dari pembelajaran ini? Bagaimana pembelajaran itu dilaksanakan?
Pembelajaran sastra tidak dapat dipisahkan dengan pembelajaran bahasa. Namun,
pembelajaran sastra tidaklah dapat disamakan dengan pembelajaran bahasa.
Perbedaan hakiki keduanya terletak pada tujuan akhirnya.
Oemarjati (1992), seperti berikut ini. “Pengajaran sastra pada dasarnya
mengemban
misi
efektif,
yaitu
memperkaya
pengalaman
siswa
dan
menjadikannya (lebih ) tanggap terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya.
Tujuan akhirnya adalah menanam, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan
terhadap masalah-masalah manusiawi, pengenalan dan rasa hormatnya terhadap
tata nilai baik dalam konteks individual, maupun sosial.”
83
Jika disimak ketiga pendapat di atas, dapat diungkapkan bahwa pembelajaran
sastra sangatlah diperlukan. Hal itu bukan saja ada hubungan dengan konsep atau
pengertian sastra, tetapi juga ada kaitan dengan tujuan akhir dari pembelajaran
sastra. Dewasa ini sama-sama dirasakan, kepekaan manusia terhadap peristiwaperistiwa di sekitar semakin tipis, kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi
semakin berkurang. Apakah ada celah alternatif melalui pembelajaran sastra untuk
mengobatai kekurangpekaan itu?
Inilah barangkali yang perlu menjadi bahan renungan sebagai dasar untuk
mempersiapkan pembelajaran sastra di kelas. Pembelajaran sastra adalah
pembelajaran apresiasi. Efendi dkk. (1998), “Apresiasi adalah kegiatan
mengakrabi karya sastra secara sungguh-sungguh. Di dalam mengakrabi tersebut
terjadi proses pengenalan, pemahaman, penghayatan, penikmatan, dan setelah itu
penerapan.” Pengenalan terhadap karya sastra dapat dilakukan melalui membaca,
mendengar, dan menonton. Hal itu tentu dilakukan secara bersungguh-sungguh.
Kesungguhan dalam kegiatan tersebut akan bermuara kepada pengenalan secar
bertahap dan akhirnta sampai ke tingkat pemahaman. Pemahaman terhadap karya
sastra yang dibaca, didengar, atau ditonton akan mengantarkan peserta didik ke
tingkat penghayatan. Indikator yang dapat dilihat setelah menghayati karya sastra
adalah jika bacaan, dengaran, atau tontonan sedi ia akan ikut sedih, jika gembira
ia ikut gembira, begitu seterusnya. Hal itu terjadi seolah-olah ia melihat,
mendengar, dan merasakan dari yang dibacanya. Ia benar-benar terlibat dengan
karya sastra yang digeluti atau diakrabinya.
84
Setelah menghayati karya sastra, peserta didik akan masuk ke wilayah
penikmatan. Pada fase ini ia telah mampu merasakan secara mendalam berbagai
keindahan yang didapatkannya di dalam karya sastra. Perasaan itu akan
membantunya menemukan nilai-nilai tentang manusia dan kemanusiaan, tentang
hidup dan kehidupan yang diungkapkan di dalam karya itu.
Rusyana (1984:322), “kemampuan mengalami pengalaman pengarang yang
tertuang di dalam karyanya dapat menimbulkan rasa nikmat pada pembaca.”
Selanjutnya dikatakan, “Kenikmatan itu timbul karena:
(1) merasa berhasil dalam menerima pengalaman orang lain;
(2) bertambah pengalaman sehingga dapat menghadapi kehidupan lebih baik;
(3) menikmati sesuatu demi sesuatu itu sendiri, yaitu kenikatan estetis.”
Fase terakhir dalam pembelajaran sastra adalan penerapan. Penerapan merupakan
ujung dari penikmatan. Oleh karena peserta didik merasakan kenikmatan
pengalaman pengarang melalui karyanya, ia mencoba menerapkan nilia-nilai yang
ia hayati dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan itu akan menimbulkan
perubahan perilaku. Itulah yang diungkapkan oleh Oemarjati (1992), “Dengan
sastra mencerdaskan siswa: Memperkaya Pengalaman dan Pengetahuan.”
Hal yang dikemukakan di atas ternyata sangat relevan dengan tujuan
pembelajaran bahasa Indonesia yang tertuang pada standar isi (Permendiknas
Nomor 22/2006) nomor lima dan enam sebagai berikut
85
(5) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan,
memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
berbahasa
(6) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya
dan intelektual manusia Indonesia.
Download