Sri Retno Wulandari, Kisna Pamuji, Silvia T Berbagai

advertisement
ISBN: 1979-3081
Berbagai Ulasan dan Wawancara
bersama: Sri Retno Wulandari, Kisna
Pamuji, Silvia T
Berbagai Ulasan dan Wawancara
bersama: Sri Retno Wulandari, Kisna
Pamuji, Silvia T
April - Juni 2013 Perempuan Bergerak
1
Perempuan Bergerak
4
Edisi II April-Juni 2013
Mengapa Kita Perlu Parpol
Perempuan?
Dengan bertolak dari sejarah gerakan perempuan di
Indonesia, berorganisasi bagi perempuan bukanlah
hal baru. Dengan dasar itu, menciptakan parpol untuk
mengejahwantahkan kepentingan politisnya dalam
konteks perubahan bangsa, merupakan peluang besar
yang dapat direalisasikan mungkin pasca 2014.
Komitmen Partai Politik Rendah
Terhadap Keterwakilan Perempuan
8
Banyaknya temuan KPU tentang bacaleg
ganda dan masih dibawah umur serta dikuasai
dinasti keluarga petinggi parpol menunjukan,
bahwa partai politik peserta pemilu 2014 tidak
mempunyai keseriusan dalam mempersiapkan
calon-calon wakil rakyat.
12
Menciptakan Partai Politik Perempuan
17
Berjuang Melalui Gabriela Women Party
15
Walaupun ada ketentuan kuota 30%
keterwakilan perempuan di DPR, angka
tersebut belum dapat dicapai. Hal itu
terjadi karena tidak ada komitmen partai
politik untuk memenuhinya.
.................................................................................................
Gabriela menjadi jaringan nasional
organisasi akar rumput yang konsen dengan
isu hak asasi manusia, kemiskinan, globalisasi,
militerisme, kekerasan, kesehatan, trafficking,
dan isu lainnya yang mempengaruhi kehidupan
perempuan.
.................................................................................................
Tidak Mudah Menjadi Pemimpin Perempuan
Di tengah masyarakat yang masih
didominasi oleh sistem patriakhi,
kepemimpinan perempuan masih dianggap
tabu.
.................................................................................................
2
Perempuan Bergerak April - Juni 2013
REMBUG PEREMPUAN
Perempuan Bergerak
Membangun Komunitas Yang Egaliter
Penanggung Jawab:
Listyowati
Pemimpin Redaksi:
Hegel Terome
Redaktur Pelaksana:
Joko Sulistyo
Dewan Redaksi:
Rena Herdiyani, Naning Ratningsih, Ika
Agustina, Nani Ekawaty, Rakhmayuni
Desain visual:
Joko Sulistyo
Distribusi:
Joko Sulistyo
Perempuan Bergerak merupakan
media yang memuat pandangan-pandangan
yang membangun kesadaran kritis kaum
perempuan di seluruh Indonesia sehingga
memberdayakan dan menguatkan mereka.
Kekuatan bersama kaum perempuan yang
terbangunkan itu merupakan sendi-sendi
penting terdorongnya gerakan perempuan dan
sosial umumnya untuk menuju masyarakat
yang demokratis, setara, tidak diskriminatif
dan tidak subordinatif.
Redaksi menerima kritik, saran dan
sumbangan berupa surat pembaca, artikel
dan foto jurnalistik. Naskah, artikel dan
foto jurnalistik yang diterima redaksi adalah
yang tidak anti demokrasi, anti kerakyatan,
diskriminatif dan bias gender. Naskah tulis
diketik pada kertas A4, spasi satu, huruf Arial
12, maksimal 3 halaman dalam bentuk file
atau print-out.
Alamat Redaksi dan Iklan:
Jl.SMA 14 No. 17 RT/RW 009/09, Cawang,
Jakarta Timur 13630. Telp: 021-8004712;
Fax: 021-8004712; Email: [email protected];
Website: www.kalyanamitra.or.id
Untuk berlangganan Perempuan
Bergerak secara rutin, kirimkan nama
dan alamat lengkap ke redaksi.
Mewujudkan Agenda Baru
Politik Perempuan
P
erjuangan politik perempuan Indonesia untuk memilih dan
dipilih bukanlah agenda baru. Hal ini sudah berlangsung sejak
zaman kemerdekaan. Namun perjuangan masih terus dilakukan,
karena eksistensi perempuan dalam politik jauh dari memadai.
Sebagian besar anggota parlemen Indonesia masih didominasi laki-laki
(maskulinisasi politik).
Ruang keterwakilan perempuan mulai lebih terbuka setelah Reformasi
1998. Ketetapan kuota 30% perempuan di parlemen, sebagai tindakan
afirmatif, diterapkan pertama kali pada Pemilu 2004, bersamaan dengan
perjuangan dan tuntutan gerakan perempuan. Hasilnya, 62 perempuan terpilih dari 550 anggota DPR RI (11,3%) Pemilu 2004. Dalam Pemilu 1999,
pertama di era reformasi, hanya 45 perempuan dari 500 anggota DPR
RI yang terpilih (9%). Keterwakilan perempuan di DPR RI mengalami
peningkatan pada Pemilu 2009. Perempuan yang berhasil masuk menjadi
anggota parlemen sekitar 18% (sekitar 103 orang). Demikian di tingkat
provinsi, berkisar 16% (321 kursi). Di tingkat kabupaten/kota, berkisar
12%. Namun di beberapa kabupaten/kota, ada yang tidak memiliki keterwakilan perempuan sama sekali.
Walaupun telah menerapkan sistem kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen, namun hingga kini belum mencapai hasil signifikan.
Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya keterwakilan perempuan di
parlemen. Salah satunya, tidak adanya komitmen partai politik dalam rekrutmen. Partai politik hanya mencoba memenuhi kuota 30% keterwakilan
perempuan sesuai ketentuan hukum. Akibatnya, partai politik merekrut
perempuan yang belum tentu mewakili kepentingan praktis dan strategis
perempuan.
Ketidakseriusan partai politik untuk memenuhi kuota 30% perempuannya dapat dilihat dari Daftar Caleg Sementara (DCS) Pemilu 2014 yang di
keluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum beberapa waktu lalu. Dari DCS
yang ada, partai politik cenderung menempatkan perempuan di nomor
bawah (“sepatu”). Hanya sedikit perempuan yang ditempatkan di nomor
urut 1. Karena itu, sekarang perlu dipikirka agenda baru politik perempuan
untuk mendirikan sendiri partai politiknya. Belajar dari pengalaman di
Filipina yang memiliki partai politik perempuan yang akan lebih bisa
memperjuangkan kepentingan mereka daripada masuk ke partai politik
yang dikuasai laki-laki yang tidak memperjuangkan nasib kaum perempuan
Indonesia. Semoga terbitan kali ini akan memberi pengetahuan bagi kita
tentang situasi politik perempuan saat ini.
Selamat membaca!
Jakarta, 24 Juni 2013
Joko Sulistyo
Redaktur Pelaksana
April - Juni 2013 Perempuan Bergerak
3
4
Perempuan Bergerak April - Juni 2013
FOKUS
Mengapa Kita Perlu Parpol Perempuan
TM
Suara sah di pemilu 2014
untuk caleg perempuan
bukan tak mungkin akan
meningkat dari angka yang
ada itu, apabila masyarakat
pemilih menganggap
kehadiran mereka di
parlemen sedikit banyak
memberikan kontribusi
positif bagi kemajuan
masyarakat umumnya, bagi
kaum perempuan khususnya.
Namun demikian, asumsi
ini tak bisa berjalan linear,
karena banyak faktor turut
mempengaruhinya.
ak lama lagi Indonesia akan
menyelenggarakan Pemilu
legislative dan Pilpres 2014.
Pemilu yang seperti biasa akan
menghabiskan sumber dana negara (APBN
dan APBD) dengan kualitas demokrasi
yang belum tentu semakin baik. Politik
uang dan kecurangan dari tahun ke tahun
pemilu ternyata tak banyak berubah.
Belum lagi perilaku anggota legislative dan
pemerintah yang terpilih yang mengabaikan
tugas dan tanggungjawabnya sesuai dengan
UU dan aturan yang berlaku. Beberapa
kali pemilu pasca Reformasi 1998, sikap
politik dan moralitas penyelenggara negara
tidak membaik, bahkan cenderung korup.
Apatisme rakyat makin parah terhadap
pemilu sebagai sarana berdemokrasi.
Sejalan dengan akan dilaksanakannya
perhelatan itu, partisipasi politik
perempuan di parlemen sejak pemilu
masa Reformasi 1998, didorong dan
dipastikan melalui tindakan afirmatif 30%.
Sejak pemilu 1999, jumlah perempuan di
parlemen hanya mencapai 11,40%, tahun
2004 mencapai 10,18% dan tahun 2009
mencapai 18%. Berdasarkan data yang ada,
pemilu 2009 dengan total suara sah pemilih
104.099.785, maka jumlah suara sah
caleg perempuan mencapai 16.134.959,
sedangkan suara sah caleg laki-laki
mencapai 55.730.151.
Suara sah di pemilu 2014 untuk
caleg perempuan bukan tak mungkin
akan meningkat dari angka yang ada itu,
apabila masyarakat pemilih menganggap
kehadiran mereka di parlemen sedikit
banyak memberikan kontribusi positif bagi
kemajuan masyarakat umumnya, bagi kaum
perempuan khususnya. Namun demikian,
asumsi ini tak bisa berjalan linear, karena
banyak faktor turut mempengaruhinya.
Salah satu faktor misalnya seberapa jauh
parpol pengusung memasarkan caleg
perempuannya sedemikian gencar, sehingga
tingkat keterpilihannya tinggi. Dari capaian
yang ada, 9 partai pemenang pemilu 2009,
tidak sesungguhnya memberikan ruang
kiprah bagi caleg perempuan. Mereka
dipergunakan justru untuk mendongkrak
raupan suara parpol. Inilah agenda
tersembunyi parpol memasang caleg
perempuan di partainya.
Beberapa waktu lalu, dari lansiran
media massa, diverifikasi semua caleg
perempuan di 11 partai peserta pemilu,
April - Juni 2013 Perempuan Bergerak
5
FOKUS
jumlahnya kini mencapai 30% lebih.
Tekanan KPU untuk memastikan bahwa
tiap partai peserta pemilu harus memenuhi
kuota 30% caleg perempuan, memaksa
parpol mengadopsi peraturan itu. Tanpa
tekanan demikian, sulit diharapkan parpol
peserta pemilu akan menindak lanjuti
aturan yang ada.
Berdasarkan kenyataan selama ini,
kehadiran aleg perempuan di parlemen
sulit dilacak sejauh mana kontribusi
mereka bagi kemajuan perempuan, dengan
3 fungsi melekat yang mereka miliki,
seperti fungsi legislasi, anggaran, dan
pengawasan. Dalam kurun waktu 2009
sampai 2014, tak banyak legislasi yang
pro perempuan dihasilkan, sebaliknya,
banyak kebijakan kontra produktif bagi
kemajuan perempuan. Anggaran yang
mereka hasilkan pun tak banyak membawa
perubahan karena tak memiliki perspektif
gender di dalamnya. Pengawasan
mereka terhadap kinerja eksekutif yang
menyelenggarakan program pembangunan
juga tak jelas, sehingga capaian
pembangunan selama hampir 5 tahun ini,
belum banyak mengubah kondisi kehidupan
rakyat menuju kesejahteraan dan keadilan
6
Perempuan Bergerak April - Juni 2013
Berdasarkan kenyataan
selama ini, kehadiran
aleg perempuan
di parlemen sulit
dilacak sejauh mana
kontribusi mereka bagi
kemajuan perempuan,
dengan 3 fungsi
melekat yang mereka
miliki, seperti fungsi
legislasi, anggaran, dan
pengawasan
ekonomis.
Dampak lemahnya kinerja aleg
perempuan di parlemen, maka kehidupan
kaum perempuan menjadi tak pasti.
Sederhana saja, bagaimana angka kematian
ibu dan anak yang tinggi di Indonesia dapat
mereka turunkan melalui UU, anggaran,
dan pengawasan? Bagaimana kesetaraan dan
keadilan gender mereka dorong melalui
UU, anggaran, dan pengawasan? Akan sulit
menjawabnya, bila melihat kinerja aleg di
parlemen.
Tentu kelemahan tersebut tidak tunggal
faktor penyebabnya, karena bisa saja
dimulai dari parpol yang merekrut mereka.
Apakah parpol peserta pemilu memiliki
paradigma yang jelas mengenai kesetaraan
dan keadilan gender? Kenyataannya tidak
demikian, banyak parpol hanya menjadi
arena politik laki-laki yang maskulin.
Cara pandang patriarkhis begitu kental
di dalam parpol sehingga tak ada ruang
bagi perempuan untuk mengekspresikan
kepentingan strategisnya. Parpol hanya
memperalat mereka menjadi juru
kampanye dan juru dana. Subordinasi
parpol atas kader dan aleg perempuannya
menjadi cara mudah membelenggunya.
FOKUS
Setelah lebih dari satu dekade
Reformasi, maka partisipasi perempuan
dalam politik tak bisa diterjemahkan
hanya menjadi bagian arus besar politik
laki-laki yang maskulin. Dengan fakta
peroleh suara sah yang cukup signifikan,
harusnya gerakan perempuan bergerak
lebih jauh untuk mentransformasikan
dirinya menjadi gelombang kesadaran
baru guna menciptakan mesin politiknya
sendiri. Mereka tak perlu lagi menumpangi
kenderaan yang tak bisa mereka
kendalikan. Mereka dapat menyetir
kendaraan politiknya secara bebas dan
merdeka.
Contoh paling menarik, parpol
perempuan Gabriella di Filipina,
yang berangkat dari koalisi gerakan
perempuan. Di tengah peluang demokrasi
yang terbuka di Filipina, mereka lalu
mentransformasikan gerakannya menjadi
mesin politik baru, dengan membentuk
parpol perempuan. Dalam perjalanannya,
parpol ini berkompetisi dengan parpol
lainnya di Filipina untuk ikut pemilu.
Saat ini, beberapa kader mereka sudah
menduduki kursi senat. Mereka juga secara
leluasa bisa menyuarakan kepentingan
politik perempuan yang akan sangat
sulit disuarakan apabila melalui parpol
umum yang masih bersifat maskulin.
Isu-isu perempuan secara khas dapat
mereka perjuangkan di parlemen melalui
kebijakan-kebijakan, dan memaksa
Dengan bertolak
dari sejarah
gerakan perempuan
di Indonesia,
berorganisasi bagi
perempuan bukanlah
hal baru. Dengan
dasar itu, menciptakan
parpol untuk
mengejahwantahkan
kepentingan politisnya
dalam konteks
perubahan bangsa,
merupakan peluang
besar yang dapat
direalisasikan mungkin
pasca 2014
pemerintahan Filipina menciptakan
program pro perempuan. Mereka juga
memiliki kekuatan bernegosiasi dengan
parpol lainnya, sehingga menambah
keterpercayaan masyarakat luas di Filipina
untuk mendukung mereka, dengan
meningkatnya perolehan suara pemilu
mereka.
Oleh sebab itu, perempuan sudah
saatnya menciptakan sendiri parpolnya
agar dapat belajar berpolitik praktis
yang lebih optimal, tanpa terganggu
kepentingan politik parpol yang selama ini
begitu bias gender. Dengan bertolak dari
sejarah gerakan perempuan di Indonesia,
berorganisasi bagi perempuan bukanlah
hal baru. Dengan dasar itu, menciptakan
parpol untuk mengejahwantahkan
kepentingan politisnya dalam konteks
perubahan bangsa, merupakan peluang
besar yang dapat direalisasikan mungkin
pasca 2014. Tujuannya bukan sematamata untuk mengikuti pemilu, melainkan
mampu menyeimbangkan antara kekuatan
politik parlemen dengan politik ekstra
parlementer. Dalam jangka panjang,
kemungkinan untuk mengikuti pemilu pasti
terbuka lebar. *****(HG)
April - Juni 2013 Perempuan Bergerak
7
OPINI
Komitmen Partai Politik Rendah
Terhadap Keterwakilan Perempuan
Banyak persyaratan harus dipenuhi oleh partai politik untuk bisa menjadi peserta pemilu di 2014. Walaupun demikian,
nyatanya hal itu tidak menyurutkan partai politik mendaftarkan diri. Dalam proses pendaftaran itu, sedikitnya 60
partai politik yang mendaftar yang terdiri atas 46 parpol lama dan 14 parpol baru.
T
ahun 2014 yang akan datang
Indonesia kembali mempunyai
hajat besar yakni pesta demokrasi
yang dikenal dengan Pemilu.
Pemilihan umum dilaksanakan setiap
lima tahun sekali. Dalam kesempatan ini,
masyarakat berkesempatan untuk memilih
wakil rakyatnya untuk DPR, DPRD Propinsi
maupun DPRD Kabupaten/Kota serta
Dewan Perwakilan Rakyat (DPD). Selain
itu, rakyat juga akan kembali memilih
presiden dan wakilnya yang akan berkuasa
selama lima tahun ke depan.
Persiapan pesta demokrasi sudah dimulai
jauh-jauh hari, termasuk pendaftaraan partai
politik peserta pemilu. Pendaftaran partai
politik telah dimulai pada 9 Agustus-7
September 2012. Sementara verifikasi partai
politik dilakukan oleh Komisi Pemilihan
Umum mulai 11 Agustus-30 september
2012. Pada tahap ini, KPU telah merevisi
Peraturan KPU No. 8 Tahun 2012 tentang
Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan
Parpol Calon Peserta Pemilu 2014 menjadi
PKPU No. 12 Tahun 2012. Perubahan
peraturan itu sebagai konsekuensi logis
Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 52/
PUU-X/2012, atas perkara permohonan
Pengujian Undang-Undang No. 8 Tahun
8
Perempuan Bergerak April - Juni 2013
2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Salah satu keputusan Mahkamah
Konstitusi No. 52 /PUU-X/2012 adalah
membatalkan Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 8
ayat (2) sepanjang frasa ”yang tidak memenuhi
ambang batas perolehan suara pada Pemilu
sebelumnya atau partai politik baru”.Oleh
karena itu, menurut Mahkamah Konstitusi,
Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012 selengkapnya
menjadi:
KPU
mengumumkan 3 partai
politik yang seluruh
nama bacalegnya tidak
ada satu pun yang
memenuhi persyaratan.
Ketiga parpol tersebut
adalah PKS, PPP dan
PKPI. Selain itu, KPU
juga menemukan 24
nama bacaleg yang
terindikasi terdaftar
ganda.
(2). Partai politik dapat menjadi Peserta
Pemilu setelah memenuhi persyaratan:
1. berstatus badan hukum sesuai dengan
Undang-Undang tentang Partai Politik;
2. memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;
3. memiliki kepengurusan di 75% (tujuh
puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota
di provinsi yang bersangkutan;
4. memiliki kepengurusan di 50% (lima
puluh persen) jumlah kecamatan di
kabupaten/kota yang bersangkutan;
5. menyertakan sekurang-kurangnya
30% (tiga puluh persen) keterwakilan
OPINI
6.
7.
8.
9.
perempuan pada kepengurusan partai
politik tingkat pusat;
memiliki anggota sekurang-kurangnya
1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu
perseribu) dari jumlah Penduduk pada
kepengurusan partai politik sebagaimana
dimaksud pada huruf c yang dibuktikan
dengan kepemilikan kartu tanda anggota;
mempunyai kantor tetap untuk
kepengurusan pada tingkatan pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota sampai
tahapan terakhir Pemilu;
mengajukan nama, lambang, dan tanda
gambar partai politik kepada KPU; dan
menyerahkan nomor rekening dana
Kampanye Pemilu atas nama partai politik
kepada KPU;
Banyak persyaratan harus dipenuhi oleh
partai politik untuk bisa menjadi peserta
pemilu di 2014. Walaupun demikian,
nyatanya hal itu tidak menyurutkan
partai politik mendaftarkan diri. Dalam
proses pendaftaran itu, sedikitnya 60
partai politik yang mendaftar yang terdiri
atas 46 parpol lama dan 14 parpol baru.
Sementara setelah melalui proses verifikasi
administrasi, pada 28 Oktober 2012 KPU
kembali mengumumkan nama parpol
yang lolos. Dan pada 8 Januari 2013,
berdasarkan sidang pleno yang dituangkan
dalam Keputusan KPU No. 05/KPTS/
KPU/2013, menetapkan 10 Parpol yang
lolos verifikasi faktual dan akan menjadi
peserta pemilu 2014. Dalam perjalanannya
setelah melalui beberapa proses, 2 partai
politik lagi dapat menjadi peserta pemilu
tahun 2014.
sebanyak 2.439 orang perempuan dan
4.139 orang laki-laki.
KPU pun telah mengumumkan
hasil verifikasi DCS 12 parpol peserta
pemilu. Dari hasil verifikasi yang KPU
hanya ada 1.327 bacaleg yang memenuhi
persyaratan, dan 4.701 (71,5%) bacaleg
dinyatakan tak memenuhi persyaratan yang
ditentukan UU. Kekurangan persyaratan
tersebut bervariasai, yakni kurang lengkap
menyertakan ijazah, fotocopy KTP atau
KTA, bahkan ada bacaleg yang tidak
melampirkan semua dokumen persyaratan
yang diminta.
Tak dipenuhinya persyaratan yang
ditentukan untuk mendaftar sebagai caleg
tidak hanya terjadi untuk pencalonan
di DPR RI, tetapi juga di DCS provinsi
dan kabupaten/kota. Di Makasar, KPU
Kota Makasar menemukan sejumlah caleg
yang hanya berijazah SD dan di bawah
umur atau belum berumur 21 tahun
sebagai usia minimal pencalegan. Padahal
dalam aturan yang ada, pendidikan caleg
minimal SMA atau sederajat. Selain itu,
juga tidak diserahkannya fomulir BB 8
yang menjelaskan jika yang bersangkutan
tidak sedang pailit dan BB 9 yakni surat
keterangan tidak pernah dijatuhi pidana
penjara dengan ancaman lima tahun atau
lebih. Sedangkan di KPU provinsi Sulsel,
ditemukan banyak nama yang tidak sesuai
dengan KTP.
KPU juga mengumumkan 3 partai
Sebagian besar
partai politik
mengklaim bahwa
mereka telah
memenuhi 30% kuota
perempuan, bahkan
melebihi persyaratan
yang ditentukan.
Namun berdasarkan
catatan KPU,
umumnya partai belum
memenuhi kuota 30%
caleg perempuan di
satu atau dua dapil.
Parpol-parpol tersebut
adalah PKB, PDI-P,
Partai Gerindra, Partai
Demokrat, PPP, PBB
dan PKPI.
DCS Amburadul
Proses selanjutnya yang harus dilakukan
oleh partai politik peserta pemilu untuk
menghadapi pesta demokrasi tahun 2014
mendatang yakni menyerahkan daftar calon
legislatif yang akan memperebutkan posisi
anggota legislatif baik di tingkat pusat,
provinsi maupun kabupaten/kota. Daftar
Caleg Sementara (DCS) sudah diserahkan
oleh 12 partai politik, dan KPU telah
mengumumkan siapa saja yang diusung
parpol untuk memperebutkan kursi di
DPR RI. Berdasarkan data KPU, 6.578
orang caleg DPR masuk Daftar Caleg
Sementara (DCS) yang diserahkan oleh 12
partai politik. Dari total jumlah tersebut,
April - Juni 2013 Perempuan Bergerak
9
OPINI
politik yang seluruh nama bacalegnya
tidak ada satu pun yang memenuhi
persyaratan. Ketiga parpol tersebut adalah
PKS, PPP dan PKPI. Selain itu, KPU
juga menemukan 24 nama bacaleg yang
terindikasi terdaftar ganda. Berdasarkan
data KPU, ada beberapa varian bacaleg
ganda. Pertama, satu nama terdaftar di
dua parpol. Kedua, satu nama terdaftar
di dua atau tiga daerah pemilihan. Ketiga,
satu nama terdaftar sebagai caleg untuk
dua lembaga legislatif, misalnya di DPR
sekaligus DPRD tingkat provinsi atau
kabupaten/kota. KPU menyediakan waktu
bagi parpol untuk memperbaiki DCS-nya
dari tanggal 9-22 Mei 2013. Pada periode
ini, parpol juga boleh mengganti nama
calegnya yang pindah parpol.
Carut marut DCS tidak hanya pada
persyaratan dan indikasi caleg ganda. Tapi
juga didominasi nama-nama artis dan
publik figur. Sejumlah nama artis dipasang
oleh partai politik sebagai calon anggota
legislative. Berdasarkan catatan Forum
Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia
(Formappi), hanya 3 parpol yang tidak
mengusung artis sebagai caleg, yakni PKS,
PKPI, dan PBB. Sementara partai yang
paling banyak mengusung artis atau publik
figur adalah PAN dan Gerindra, masingmasing 9 orang, disusul PKB (7 orang),
Nasdem (6 orang), Partai Demokrat dan
PDIP masing-masing 5 orang, PPP (4
orang), serta Golkar dan Hanura masingmasing 3 orang.
Fenomena politik dinasti juga menjadi
keprihatinan tersendiri dalam DCS
yang ada. Hampir semua partai politik
10
Perempuan Bergerak April - Juni 2013
mengajukan calon anggota legislatif yang
saling punya hubungan keluarga. Banyak
petinggi partai politik yang masuk dalam DCS
dan ditaruh di nomor-nomor urut pertama.
Partai Demokrat misalnya, memasang Edhie
Baskoro Yudoyono (Putra SBY, Jawa Timur
VII, No. 1), Hartanto Edhie Prabowo (adik
ipar SBY, Banten III, No. 1), Agus Hermanto
(adik ipar SBY, Jawa Tengah I, No.1), Lintang
Pramesti (Anak Agus Hermanto, Jawa Tengah
I, No. 3), Sartono Hutomo (Sepupu SBY,
Jawa Timur VII, No. 2), dan banyak lagi.
Selain dekat dengan petinggi partai, DCS
juga dipenuhi oleh suami istri maupun anak
menantu.
Keseriusan Partai Politik?
Banyaknya temuan KPU tentang bacaleg
ganda dan masih dibawah umur serta dikuasai
dinasti keluarga petinggi parpol menunjukan,
bahwa partai politik peserta pemilu 2014 tidak
mempunyai keseriusan dalam mempersiapkan
calon-calon wakil rakyat. Padahal para calon
itulah nantinya yang akan menjadi penentu
kesejahteraan rakyat, karena mereka yang
akan membuat kebijakan-kebijakan. Di
tangan-tangan wakil rakyat yang disiapkan
oleh parpol itulah nasib rakyat dipertaruhkan.
Sayangnya, partai politik tidak
menganggap hal tersebut serius dan penting.
Mereka cenderung asal comot dan tidak
memperhitungkan kualitas calon yang
ada. Fenomena artis dan dinasti keluarga
memberikan gambaran nyata bahwa partai
politik sebenarnya tidak mempunyai
kader yang kompeten yang bisa bertarung
di ranah politik yang benar-benar bisa
memperjuangkan nasib rakyatnya. Padahal
parpol sebagai salah satu institusi demokrasi
memiliki peranan yang penting dalam
melahirkan pemimpin yang akan menuntun
arah pembangunan bangsa.
Caleg-caleg yang tidak memenuhi
syarat juga menjadi satu hal yang
memprihatinkan, mengingat sejak
11 Januari 2013, parpol yang sudah
dinyatakan lolos verifikasi sudah tahu harus
menyiapkan daftar caleg sementara untuk
kemudian diserahkan kepada KPU paling
lambat 22 April 2013. Artinya, parpol yang
lolos verifikasi memiliki jeda waktu selama
100 hari untuk mempersiapkan calegnya
dan melengkapi persyaratan. Nyatanya,
hanya 1.327 bacaleg yang memenuhi
OPINI
persyaratan, bahkan 3 parpol yang 100%
calegnya tidak memenuhi persyaratan.
Seleksi administratif hanya langkah awal
rangkaian proses yang dijalani para calon
anggota legislatif. Kalau dalam proses yang
paling sederhana saja tak bisa memenuhinya,
bagaimana mereka akan menuju proses
selanjutnya? Selain itu, komitmen untuk
memenuhi persyaratan saja tidak ada,
bagaimana komitmen untuk mensejahterakan
rakyat? Tanggung jawab yang lebih besar
daripada hanya menyiapkan persyaratan
pendaftaran, seperti fotocopy ijazah yang
dilegalisir?
Carut marutnya DCS memberikan
gambaran bahwa selama ini partai politik
tidak mempunyai kader. Calon-calon
anggota legislatif tidak disiapkan sedini
mungkin, sehingga ketika sampai batas akhir
pendaftaran, parpol cenderung asal comot
tanpa memperhitungkan kualitas calegnya.
Keterwakilan Perempuan dalam DCS?
Persyaratan lain yang harus dipenuhi
adalah keterwakilan 30 persen perempuan
dalam DCS di seluruh daerah pemilihan
sesuai Pasal 27 Ayat (2) Huruf b Peraturan
KPU No. 7 Tahun 2013. Pasal tersebut
menyebutkan, apabila ketentuan 30 persen
keterwakilan perempuan tak terpenuhi, maka
partai politik dinyatakan tidak memenuhi
syarat pengajuan daftar bakal calon di daerah
pemilihan bersangkutan dalam Pemilu 2014.
Sebagian besar partai politik mengklaim
bahwa mereka telah memenuhi 30% kuota
perempuan, bahkan melebihi persyaratan
yang ditentukan. Namun berdasarkan
catatan KPU, umumnya partai belum
memenuhi kuota 30% caleg perempuan di
satu atau dua dapil. Parpol-parpol tersebut
adalah PKB, PDI-P, Partai Gerindra, Partai
Demokrat, PPP, PBB dan PKPI. Terkait
penempatan caleg perempuan, hampir semua
parpol masih memiliki beberapa dapil yang
memenuhi syarat. Menurut data KPU, hanya
PKS dan Partai Hanura yang memenuhi
syarat keterwakilan perempuan secara
mulus.
Terpenuhinya kuota 30 persen bakal
calon anggota legislatif perempuan untuk
Pemilu 2014, menunjukkan bahwa
sesungguhnya bukan hal yang sulit bagi partai
untuk mengajukan calon perempuan, jika
partai politik menginginkannya. Sayangnya,
keinginan tersebut harus dipaksa dengan
kebijakan dan juga persoalan pengkaderan,
maka parpol cenderung mengalami kebingungan
memenuhi kewajiban tersebut.
Sementara di tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota, masih beberapa partai yang
belum memenuhi persyaratan tersebut. KPU
Kabupaten Ponorogo, Yogyakarta misalnya
menyatakan bahwa satu partai politik yang tidak
memenuhi persyaratan 30% caleg perempuan,
Partai tersebut adalah PKPI. Sementara itu, KPU
Kota Tangerang Selatan menemukan empat caleg
perempuan tidak memenuhi syarat minimal usia
atau masih di bawah umur. Formappi menemukan
8 partai yang mempunyai caleg yang ganda alias
lebih dari satu daerah pemilihan bahkan juga
menjadi caleg dari partai lain secara bersamaan.
Walaupun semua partai politik mengklaim
telah memenuhi persyaratan untuk memenuhi
kuota 30% caleg perempuan, bahkan mengaku
melebihinya, namun jika diamati di DCS yang
dipublikasikan KPU, nama-nama perempuan
masih ditempatkan di nomor urut terakhir. Skema
yang dipakai oleh parpol masih sama dengan
Pemilu 2009 sebelumnya, yakni menempatkan
perempuan di nomor urut 3, 6, dan 9 seterusnya.
Hanya sedikit perempuan yang ditempatkan di
nomor urut 1.
Berdasarkan analisis Perludem hanya 5,52%
bacaleg perempuan yang mendapatkan nomor
urut 1. Sementara bacaleg perempuan yang
mendapatkan nomor urut 2 (9,43%), nomor 3
(25,81%), nomor urut 4 (6,03%), nomor urut 5
(10,86%), nomor urut 6 (20,07%), nomor urut 8
(7,35%), nomor urut 9 (5,27%), dan nomor urut
10 (0,57%).
Hasil analisa Perludem tersebut jelas terlihat
bahwa komitmen partai politik terhadap
perempuan masih sangat rendah. Perempuan tidak
dilihat sebagai kelompok yang besar dan memiliki
potensi yang kuat. Sebagian besar partai politik
menempatkan perempuan di nomor urut 5 dan
6, di mana nomor ini kemungkinan jadinya sangat
kecil. Sementara nomor urut 1 biasanya diduduki
oleh laki-laki atau penguasa partai politik terkait.
Perempuan yang mendapatkan nomor urut
1 juga mereka yang dekat dengan para petinggi
partai, entah itu istri, adik, anak, menantu, ibu,
mertua, dan lainnya. Jarang perempuan yang
benar-benar mampu dan berkomitmen berjuang
di parlemen ditempatkan di nomor urut 1.
Perempuan direkrut hanya untuk memenuhi
kewajiban kuota 30%, tetapi tidak diperhitungkan
kualitas dan kemungkinannya terpilih menjadi
anggota parlemen. *****(JK)
April - Juni 2013 Perempuan Bergerak
11
WARTA PEREMPUAN
Menciptakan Partai Politik
Perempuan
P
“Partai politik
tidak ada komitmen
sama sekali, untuk
memenuhi kuota itu
dan perempuan hanya
dijadikan alat untuk
meng-’goal’-kan apa
yang mereka inginkan,
tetapi untuk komitmen
mereka sendiri tidak
ada.”
12
ada Agustus 2013 yang akan
datang, bangsa Indonesia akan
menginjak usia yang ke-68
tahun. Namun dalam usia yang
sudah tidak muda lagi itu,
Indonesia masih memiliki segudang soalan
dalam hal keterwakilan perempuan. Selama
negara ini berdiri, belum pernah memiliki
keterwakilan perempuan di parlemen
mencapai 30%, “angka kritis” yang harus
dicapai untuk memungkinkan perubahan.
Padahal hingga hari ini banyak persoalan
yang dihadapi oleh perempuan Indonesia,
dalam konteks itu.
Angka tertinggi keterwakilan
perempuan di DPR terutama untuk DPR
RI, baru mencapai 18% periode Pemilu
2009-2014. Sementara sebelumnya,
angkanya cenderung kecil. Periode
Pemilu 1955-1960 misalnya, keterwakilan
perempuan di DPR RI hanya 5,06%.
Kemudian Pemilu 1971-1977, naik menjadi
7,16 % dan mengalami peningkatan pada
Pemilu 1977-1982 menjadi 8,04 dan
Pemilu 1982-1987 menjadi 9,13%. Pemilu
1987-1992, keterwakilan perempuan
di DPR RI meningkat menjadi 11,60 %
dan meningkat lagi menjadi 12,60% pada
Pemilu 1992-1997.
Reformasi tahun 1998 turut membuka
ruang demokrasi elektoral bagi perempuan,
yang juga berpengaruh terhadap
keterwakilan perempuan. Pasca reformasi
keterwakilan perempuan di parlemen
sempat mengalami penurunan pada Pemilu
1999-2004, yang turun menjadi 11,40%
dan kembali turun di Pemilu 2004-2009
menjadi 10,18%. Keterwakilan perempuan
meningkat lagi pada Pemilu 2009-2014
menjadi 18%.
Meningkatnya keterwakilan perempuan
di DPR tak terlepas dari perjuangan
gerakan perempuan untuk membuat
perubahan bangsa. Gerakan perempuan
terus mendorong agar ada aturan
perundang-undangan yang dapat menjamin
proses politik yang memberikan kepastian
Perempuan Bergerak April - Juni 2013
keterwakilan perempuan di semua
tingkatan. Perjuangan gerakan perempuan
membuahkan hasil dengan adanya
ketentuan kuota 30% perempuan di DPR.
Walaupun ada ketentuan kuota 30%
keterwakilan perempuan di DPR, angka
tersebut belum dapat dicapai. Hal itu
terjadi karena tidak ada komitmen partai
politik untuk memenuhinya. “Partai politik
tidak ada komitmen sama sekali, untuk
memenuhi kuota itu dan perempuan hanya
dijadikan alat untuk meng-’goal’-kan
apa yang mereka inginkan, tetapi untuk
komitmen mereka sendiri tidak ada. Hal
tersebut terbukti, misalnya bagaimana
kaderisasi terhadap anggotanya, terlebih
anggota perempuan, apa yang mereka
lakukan, tidak ada”, ungkap Filomena Dias,
dari Kajian Gender UI.
Selain itu, proses rekrutmen parpol
tidak jelas, karena hanya memenuhi aturan
tanpa argumentasi yang disadari secara
adil gender. “Cuma lipservices, dalam
artian, kualitas perempuan tidak dilihat.
Mereka hanya menempatkan, tetapi tidak
dilihat kualitasnya dan bobot pestasinya”,
demikian Nunung Fatma, Sekretaris Koalisi
Perempuan Indonesia DKI Jakarta.
Tak adanya caleg perempuan yang
berkualitas karena pendidikan partai
politik di semua partai tidak berjalan. Itu
terjadi karena selama ini parpol berbau
laki-laki. Hal itulah yang membuat
WARTA PEREMPUAN
perempuan enggan untuk terlibat dalam
politik. Meskipun ia telah menjadi kader
parpol, dengan berbagai pertimbangan,
termasuk sulitnya untuk masuk menjadi
anggota parlemen, menjadikan perempuan
engan untuk dicalonkan. “Banyak kader
perempuan yang menolak untuk dijadikan
caleg, dengan beragam, alasan, khususnya
financial. Daftar antri kader perempuan
panjang, tetapi yang “nyaleg” tidak mau.
Karena kita sudah berpartai, paradigma
yang berlaku adalah politic is man”,
demikian Sahat Tarida.
Adanya ketentuan 30% pencalegan
perempuan kemudian dimanfaatkan oleh
“Banyak kader
Sahat untuk bertarung memperebutkan
perempuan yang
posisi menjadi anggota DPR. Walaupun
menolak untuk
sebelumnya kuota 30% perempuan sebagai
dijadikan
caleg, dengan
demokrasi Liberal, Sahat mengaku telah
beragam, alasan,
diuntungkan dengan adanya ketentuan
khususnya financial.
tersebut. “Kuota 30% perempuan,
Daftar antri kader
beberapa tahun yang lalu pandangan
perempuan panjang,
saya adalah demokrasi liberal, kenapa
tetapi yang “nyaleg”
harus menjadi 30%. Tetapi saat ini
tidak mau. Karena
diuntungkan dengan kuota 30%, sehingga
kita sudah berpartai,
tak terlalu berat untuk masuk dalam
paradigma yang berlaku
arena pertarungan elektoral”, Sahat
adalah politic is man”
menambahkan.
Kententuan kuota 30% perempuan
di DPR merupakan tindakan afirmasi
(affirmative action). Dengan kebijakan
tersebut, diharapkan ada peningkatan
keterwakilan perempuan di lembaga DPR.
Tindakan afirmatif diperlukan karena
selama ini masalah-masalah
khusus perempuan luput
dalam kebijakan-kebijakan
negara. Untuk meningkatkan
keterwakilan perempuan di
DPR melalui tindakan afirmatif
kemudian dikenal sistem kuota,
yakni penetapan jumlah tertentu
atau persentase sebuah badan,
kandidat, majelis, komite atau
suatu pemerintah.
Kuota untuk perempuan
bertujuan, setidaknya,
menjadi “minoritas kritis”
(critical minority) yang terdiri
atas 30 atau 40 persen. Ide
dasar kuota ialah memastikan
bahwa perempuan akan
masuk dan terlibat dalam
politik sekaligus tidak menjadi
kelompok masyarakat yang
mengalami isolasi. Penetapan
jumlah tertentu perempuan dalam politik
harus secara nyata dituangkan dalam
bentuk perundang-undangan. Selama
ini, pelaksanaan kuota dilakukan melalui
penetapan dalam Konstitusi, peraturanperaturan dalam undang-undang Pemilu
atau Partai Politik, dan komitmen informal
partai politik.
Angka 30% diyakini sebagai “angka
kritis” yang harus dicapai untuk
memungkinkan suatu perubahan. Angka
30 persen menunjukkan “massa kritis” yang
akan memberikan dampak terhadap kualitas
keputusan yang diambil dalam lembagalembaga publik (DPR). Jumlah 30%
ditetapkan untuk menghindari dominasi
jenis kelamin dalam lembaga-lembaga
politik yang merumuskan kebijakan publik.
Dengan kata lain, jumlah keterwakilan lakilaki maupun perempuan tidak boleh lebih
dari 70%.
Mengapa perempuan terlibat
politik?
Perempuan berjumlah hampir setengah
dari total penduduk Indonesia. Namun
kepentingan perempuan selalu diabaikan.
Perempuan belum dilihat sebagai kelompok
yang mempunyai potensi besar untuk
mempengaruhi proses demokrasi, sebagai
pembagian kekuasaan. Akhirnya, posisi
perempuan pun makin terpinggirkan.
Dalam kancah perpolitikan, perempuan
April - Juni 2013 Perempuan Bergerak
13
WARTA PEREMPUAN
dijadikan sebagai pembantu, mereka belum
memegang peran yang sangat penting.
Akibatnya, kepentingan perempuan selalu
ditinggalkan.
Perempuan sangat penting terlibat
dalam proses demokrasi terutama dalam
pembuatan kebijakan-kebijakan publik.
Karena hanya mereka sendiri yang tahu apa
kebutuhannya. “Karena ketika berbicara
mengenai persoalan perempuan, dia
yang lebih tahu, oleh karena itu dengan
kehadiran perempuan di parlemen, dia
akan mengakomodir persoalan-persoalan
perempuan, yang laki-laki pada umumnya
tidak tahu dan menganggap itu tidak
penting, padahal itu penting”, ungkap
Mena.
Melihat kondisi di lapangan, yang
mana angka kematian ibu dan anak masih
sangat tinggi, juga angka kekerasan
terhadap perempuan terus meningkat,
dan perempuan terus mengalami berbagai
diskriminasi. Sangat penting perempuan
duduk dalam lembaga legislatif. Perempuan
dapat menyuarakan kebutuhannya di
tingkat pembuat kebijakan, karena
memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus
yang hanya dipahami paling baik oleh
perempuan itu sendiri, seperti: kesehatan
reproduksi (KB yang aman), kesejahteraan
keluarga (harga sembilan bahan pokok yang
terjangkau); kesehatan dan pendidikan
anak; kelompok usia lanjut dan tuna
daksa; kekerasan seksual. Dalam banyak
kasus, keterlibatan perempuan mampu
memperbaiki masalah-masalah yang sering
menghambat laju pembangunan.
“Oleh karena itu, keterwakilan
perempuan penting; kalau tidak ada
perempuan, pemikiran-pemikiran lakilaki yang ada di situ, di mana pemikiran
perempuan? Sedangkan isu-isu perempuan
sekarang banyak sekali. Banyak persoalan
perempuan yang bagi kaum laki-laki
itu tidak penting, hal yang biasa”, Mena
menambahkan.
Namun banyak perempuan yang belum
berani masuk menjadi anggota partai
politik, sebagai langkah awal untuk terlibat
dalam politik praktis. Selama ini, masih
ada pandangan miring terhadap perempuan
yang aktif di partai politik. Hal itu terjadi
karena selama ini politik dipahami sebagai
“arena” bagi laki-laki. Politik masih dilihat
sebagai suatu yang kotor. “Tinggal kita
berani tidak menceburkan diri dalam partai
14
Perempuan Bergerak April - Juni 2013
politik dan masuk ke dalamnya. Tidak
banyak perempuan maupun LSM yang mau
berpolitik. Menganggap politik itu kotor,
lebih baik di luar parlemen dan luar partai”,
pendapat Ika Wahyu Prihatini.
Tantangan politik perempuan
“Oleh karena
itu, keterwakilan
perempuan penting;
kalau tidak ada
perempuan, pemikiranpemikiran laki-laki
yang ada di situ,
di mana pemikiran
perempuan? Sedangkan
isu-isu perempuan
sekarang banyak sekali.
Banyak persoalan
perempuan yang bagi
kaum laki-laki itu tidak
penting, hal yang biasa”
Perempuan menghadapi banyak
tantangan ketika akan masuk menjadi
anggota parlemen. Walaupun ada
ketentuan 30% perempuan dalam
pencalegan, tetapi hal tersebut belum
menjamin perempuan dapat masuk ke
parlemen. Dibutuhkan kerja keras bagi
caleg perempuan untuk merebut posisi
tersebut. Terlebih komitmen partai
politik yang masih sangat rendah terhadap
keterwakilan perempuan.
Nunung Fatma, sebagai orang yang
pernah merasakan mencalegan diri pada
Pemilu 2009-2014 lalu mengungkapkan
bahwa di partai politik untuk mendapatkan
nomor urut sangat sulit. Itu sebabnya
perempuan ditempatkan di nomor urut
buncit. Selain itu sulit mendapatkan
dukungan orang yang mempunyai
kompetensi. “Teman-teman harus melihat
bahwa tidak segampang itu perempuan
aktivis masuk di ranah perpolitikan.
Ketika masuk partai, ada hal-hal yang lebih
mempersulit lagi ketika kita maju sebagai
caleg, kita bukan hanya penghias partai tapi
kita harus mengambil posisi. Posisi-posisi
ini akan dipersulit jika kita bukan kader.
Pertarungan-pertarungan sebagai aktivis
perempuan yang masuk ke partai politik,
maka di caleg pun perlu pertarungan yang
kuat, dan teman-teman harus tahu itu”,
demikian Nunung Fatma.
Berbicara mengenai “partai politik
perempuan”, menurut Ika, ia masih
pesimis, melihat masih sedikitnya aktivis
perempuan yang berani masuk partai.
“Jangan bicara partai politik baru, bahkan
di kalangan organisasi perempuan, ketika
pengurusnya masuk partai politik, itu
dianggap sudah keluar dari organisasi,
harus mengundurkan diri, dianggap itu
berpolitik praktis yang tidak dilakukan oleh
organisasi”, demikian Ika berpendapat.
*****(JK)
WARTA KOMUNITAS
Tidak Mudah Menjadi Pemimpin
Perempuan
“Dulu awalnya saya tidak mau ikut nyalon, saya bilang bapaknya aja (suami)
yang maju, karena saya merasa tidak bisa, tapi karena suami dan keluarga
mendukung ya bismillah, saya maju dan akhirnya menang”
“Menjadi perempuan pemimpin memang
tidak mudah”, kata itulah yang pertama kali
meluncur dari mulut seorang perempuan
bernama Nurliyanti. Kata tersebut tandas
diucapkan saat Perempuan Bergerak
mengajaknya berbincang tentang kiprahnya
sebagai Kepala Dusun di sebuah dusun
yang terletak di perbukitan Menoreh atau
tepatnya di desa Banjaroya, Kalibawang,
Kulonprogo.
Di tengah masyarakat yang masih
didominasi oleh sistem patriakhi,
kepemimpinan perempuan masih dianggap
tabu. Tak heran jika kata-kata tersebut
muncul darinya. Namun tantangan untuk
menjadi pemimpin perempuan dapat
Nurliyanti jalani. Ibu berputri dua ini
merupakan satu-satunya kepala dusun
perempuan yang pernah ada di desa
Banjaroya.
“Dulu awalnya saya tidak mau ikut nyalon,
saya bilang bapaknya aja (suami) yang maju,
karena saya merasa tidak bisa, tapi karena
suami dan keluarga mendukung ya bismillah,
saya maju dan akhirnya menang”, ujarnya saat
menceritakan awal keterlibatannya menjadi
kepala dusun (dukuh). Meskipun sejak
awal dirinya tidak terlalu berharap untuk
menang, namun saat pemilihan dirinya
mampu mengalahkan empat calon lainnya.
“Ya perasaannya senang dan tak senang; senang
karena terpilih dan tak senang karena beban
saya pasti akan tambah berat”, ungkapnya saat
ditanya perasaannya ketika memenangkan
pemilihan.
Dalam perjalanannya memimpin dusun
Tonogoro, memang tak selamanya berjalan
mulus. Kendala sekaligus tantangan
terbesar yang dihadapi ialah masyarakatnya
sendiri. “Penolakan sih nggak ada, tapi protes
dan ‘ngrasani’ itu yang paling sering, tapi
ya saya tanggapi positif saja karena memang
orang kan ada yang senang dan tidak sama
kita”, jelasnya panjang lebar. Terkadang
Nurliyanti sendiri merasa bebannya begitu
berat, karena sering banyak yang masih
meragukan dirinya bisa memimpin. “Ya
biasalah karena kata orang, perempuan itu
pendek langkahnya, jadinya mungkin banyak
orang meragukan saya yang seorang perempuan.
Mungkin dipikir perempuan kok jadi kadus”,
ungkapnya.
Meskipun begitu, perempuan
berperawakan kecil ini tetap optimis
dirinya mampu membangun dan membuat
perubahan didusunnya. “Saya hanya ingin
April - Juni 2013 Perempuan Bergerak
15
WARTA KOMUNITAS
membuat perubahan walaupun kecil. Dari dulu
belum ada perempuan yang menjadi lurah
maupun kadus di desa ini. Saya coba membuat
perubahan dengan maju sebagai dukuh,
meskipun kerja saya juga belum banyak yang
maksimal, tapi minimal saya sudah mencoba”,
jelasnya. “Terkadang, jujur saya merasa berat
menjadi pemimpin apalagi saya perempuan.
Saat harus tugas saya juga harus menyelesaikan
peran saya di rumah sebagai ibu, apalagi
Kirana (anak bungsunya) masih kecil, jadi tidak
mungkin saya tinggal-tinggal”, jelasnya.
Sejak dirinya terpilih menjadi kepala
dusun, Nurliyanti memang bertekad untuk
menyejahterakan warganya, maka tidak
heran jika program-program yang sifatnya
untuk kebaikan warganya akan selalu
diberikan dengan maksimal. “Sampai kini
alhamdulilah jalan-jalan di dusun ini sudah
di corn block, jadi tidak licin dan berbahaya
lagi. Kegiatan posyandu berjalan rutin, dan
kesehatan balita kita pantau terus”, terangnya.
Saat ditanya mengenai pentingnya
perempuan berpolitik, Nurliyanti
mengatakan jika hal itu merupakan sesuatu
yang penting, maka “Sebenarnya perempuan
itu juga penting berpolitik seperti menjadi
RT atau kadus atau lurah, karena selama ini
sebenarnya kebutuhan perempuan itu banyak,
tapi yang menjadi pemimpin banyak yang
laki-laki. Saya mendukung jika ada banyak
perempuan yang juga menjadi pemimpin”,
tegas ibu Erna dan Kirana ini. *****NR
16
Perempuan Bergerak April - Juni 2013
SOSOK
Liza Maza:
Berjuang Melalui Gabriela Women Party
Sebagai bagian dari sebuah proses
demokrasi dalam berbangsa, hingga kini
wajah politik di seluruh dunia masih
didominasi oleh kaum elit. Kancah
perpolitikan masih dikuasai oleh kaum
laki-laki dan kalangan berduit. Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN) masih sangat
kental terjadi di arena politik. Wajah politik
menjadi sangat maskulin dan bengis terhadap
masyarakat. Perempuan dan kelompok
marginal lainnya makin terpinggirkan dari
ranah perpolitikan.
Definisi politik, jika mengacu pada
Ramlan Surbakti (1999:1) adalah interaksi
antara pemerintah dan masyarakat dalam
rangka pembuatan dan pelaksanaan
keputusan yang mengikat tentang kebaikan
bersama masyarakat yang tinggal dalam
suatu wilayah tertentu. Dari pendapat ini
dapat disimpulkan, bahwa politik merupakan
sarana interaksi atau komunikasi antara
pemerintah dengan masyarakat sehingga
apapun program yang akan dilaksanakan
pemerintah sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, di mana tujuan yang dicitacitakan dapat dicapai dengan baik.
Sebagai proses pembentukan dan
Gabriela menjadi
pembagian kekuasaan dalam masyarakat,
jaringan nasional
seharusnya wajah politik dapat
organisasi
akar rumput
mengakomodir kalangan terpinggirkan.
yang
konsen
dengan
Dengan demikian, keputusan yang diambil
isu
hak
asasi
manusia,
benar-benar atas kepentingan rakyat.
Kebijakan-kebijakan yang dilahirkannya pun kemiskinan, globalisasi,
benar-benar untuk kesejahteraan masyarakat. militerisme, kekerasan,
kesehatan, trafficking,
Namun, hal tersebut masih jauh dari realitas
dan isu lainnya yang
yang ada.
mempengaruhi
Politik menjadi satu hal yang sangat
kehidupan
perempuan.
kotor. Di dalamnya penuh intrik. Tak heran
jika perempuan lebih sering menghindari
bersentuhan dengan dunia politik. Mereka
cenderung enggan untuk terjun ke dunia
politik. Ditambah lagi, masih kuatnya
pemahaman bahwa ruang publik hanya
diperuntukan bagi laki-laki, sementara
perempuan harus berada dalam ruang
domestik. Politik selama ini dipahami sebagai
ruang milik laki-laki, perempuan dianggap
tabu bersentuhan dengan dunia politik.
Ruang-ruang politik untuk perempuan
belum terbuka dengan lebar. Partai
politik sebagai kendaraan berpolitik, tidak
membuka ruang bagi perempuan. Walaupun
sudah banyak aturan yang mengharuskan
mengakomodir perempuan, nyatanya hal
tersebut belum diimplementasikan dengan
baik. Akibatnya, perempuan pun makin
jauh dari ranah politik. Jika ada perempuan
yang dapat terlibat dikancah politik, masih
terbentur dengan berbagai aturan yang ada.
Partai politik yang sangat maskulin menjadi
tantangan yang sangat berat bagi perempuan
ketika akan terjun ke dunia politik. Partai
politik pun cenderung membawa misinya
masing-masing. Tapi perempuan selalu
tidak diperhitungkan sebagai kelompok
masyarakat yang penting.
Dengan kondisi yang demikian,
ada dua pilihan yang bisa diambil oleh
perempuan. Pertama, masuk menjadi
anggota partai politik yang sudah ada dan
mencoba merebut posisi-posisi strategis.
Nyatanya hal ini tidak mudah, karena
hingga saat ini, partai politik belum ramah
terhadap perempuan. Pilihan kedua adalah
perempuan membuat partainya sendiri.
April - Juni 2013 Perempuan Bergerak
17
SOSOK
Terjun bebas dalam arena perpolitikan. Hal
ini pun tentu tidak mudah, banyak tantangan
yang harus dihadapi. Selain itu juga harus
menyamakan persepsi terlebih dulu dari
gerakan perempuan yang sudah ada.
Sedikitnya representasi perempuan
yang terjun ke dunia politik, terutama
juga keterwakilan perempuan di parlemen
tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga
terjadi di negara lain, seperti di Pilipina. Di
negara ini, politik juga masih didominasi
oleh kelompok-kelompok elite dan orangorang yang memiliki kekuasaan serta
didikte oleh orang-orang asing yang cukup
berpengaruh pada kelompok elite. Walaupun
pemerintahan Marcos sudah selesai dan sistem
pemerintahannya sudah berubah menjadi
demokrasi, tetapi tetap saja yang terjadi adalah
demokrasi elit. Terjadi tekanan terhadap
HAM dan kaum miskin dan kepentingan
masyarakat secara umum tidak dipedulikan
masyarakat dan kepentingan perempuan
dimarjinalkan. Kelompok perempuan marjinal
tidak mempunyai tempat dalam situasi politik
seperti ini.
Berlatar belakang adanya diktator
kepemimpinan kemudian kelompok
perempuan di Pilipina mulai bergerak untuk
melawan sistem yang ada dan yang tidak
pernah mempedulikan kelompok marginal,
termasuk perempuan di dalamnya. Tahun
1984, didorong oleh perlawanan terhadap
kediktatoran Marcos dan kebutuhan untuk
perubahan, baik secara ekonomis maupun
politik, perempuan dari semua lapisan
masyarakat (pekerja, petani, kaum miskin
kota, kelas menengah, artis, tokoh agama,
dll) bersama-sama mendirikan sebuah koalisi
perempuan nasional. Gabriela, demikian nama
koalisi tersebut.
Gabriela menjadi jaringan nasional
organisasi akar rumput yang konsen dengan
isu hak asasi manusia, kemiskinan, globalisasi,
militerisme, kekerasan, kesehatan, trafficking,
dan isu lainnya yang mempengaruhi kehidupan
perempuan. Nama Gabriela diambil untuk
menghormati Gabriela Silang, seorang aktivis
perempuan yang memimpin pemberontakan
18
Perempuan Bergerak April - Juni 2013
melawan Spanyol pada pertengahan abad 18.
Kaya dengan pengalaman dan pelajaran
dan telah berada di garis depan gerakan
perempuan di Pilipina, dalam lebih 20
tahun keberadaannya, tahun 2000 Gabriela
memutuskan untuk mendirikan partai
politik yang diberi nama Gabriela Women
Party (GWP). GWP berdiri secara
resmi di Pilipina pada 28 Oktober 2000.
GWP merupakan partai sektoral yang
mendedikasikan dirinya untuk promosi hak
dan kesejahteraan kelompok marjinal. Partai
ini diwakili oleh perempuan-perempuan
Pilipina dan memiliki 100.000 orang anggota
dari 15 wilayah di Pilipina dan negara
lainnya. Tujuan dibentuknya GWP adalah
untuk memajukan HAM dan kepentingan
perempuan, anak, buruh, pegawai, petani,
nelayan, buruh migran, orang miskin,
kaum muda, masyarakat adat, LBT, melalui
kebijakan, kampanye, advokasi di dalam dan
di luar Kongres.
SOSOK
Pada awal pendirian GWP, mereka tidak
langsung maju sebagai peserta pemilu untuk
mendapatkan kursi di parlemen, karena
memang tidak mudah untuk itu. Strategi yang
digunakan adalah bergabung dengan partai
yang sudah ada terlebih dahulu dan sudah di
kenal, yakni Partai Bayan Muna pada tahun
2001. Dalam proses bergabung ini juga
terjadi proses konsolidasi isu di dalamnya,
yakni bagaimana memasukkan isu perempuan
di dalam partai lainnya. Dalam kesempatan
tersebut, Partai Bayan Muna memperoleh
3 kursi, termasuk GWP di dalamnya. Pada
periode ini, Liza Lagorza Maza, Sekretaris
Jendral GWP duduk di parlemen dibawah
Partai Bayan Muna, pada kongres ke-12.
Sebagai aktivis perempuan, Liza Maza
sejak awal telah tergabung dengan Gabriela.
Ia dikenal sebagai pekerja keras, gigih dan
kreatif. Pengalamannya bergabung dengan
Gabriela telah mengasah semangatnya sebagai
pelayan masyarakat. Jiwa aktivismenya
terintergrasi dengan perempuan miskin kota
dan pekerja, sejak ia masih mahasiswa di
Universitas Filipina. Liza merupakan salah
satu aktivis perempuan yang tidak pernah ragu
membawa masalah dari akar rumput untuk ia
perjuangkan dalam Kongres.
Liza telah dua kali menjadi anggota
Kongres. Sebagai legislator perempuan, Liza
merupakan salah satu penulis dan sponsor
kebijakan-kebijakan yang pernah di lahirkan,
seperti anti perdagangan orang (2003)
dan Anti kekerasan terhadap perempuan
dan anak, serta UU Pengadilan Anak. Liza
percaya bahwa pekerjaaanya sebagai legislator
dapat terus mengampanyekan hak pekerja dan
petani untuk memperoleh kesejahteraan.
Selain aktif dipolitik dan sebagai aktivis
perempuan, Liza juga sebagai seorang advokat
untuk pemenuhan hak dasar pendidikan dan
kesejahteraan guru. Ia juga telah mendesak
legislator untuk mengalokasikan 20%
dari dana bantuan pembangunan prioritas
(Priority Development Assistance Fund)
untuk pembangunan kelas sekolah. Liza
juga menentang kenaikan beaya kuliah dan
menyerukan peningkatan subsidi pemerintah
untuk universitas negeri dan swasta di
Pilipina.
Sebagai aktivis perempuan, Liza juga
terbiasa berbicara di konferensi internasional
tentang kondisi perempuan di Pilipina.
Dalam forum-forum itulah, Liza kemudian
tidak hanya dikenal di Pilipina, tetapi juga di
kancah internasional. Liza juga menjadi salah
satu penggerak Purple Rose Campaign yang
dilakukan Gabriela, sebuah kampanye global
untuk mengakhiri perdagangan perempuan
dan anak-anak di Pilipina.
Sikap militan Liza dalam memperjuangkan
hak-hak perempuan dan anak marginal
tak pernah tergoyahkan meskipun terjadi
penganiayaan dan pelecehan terhadap dirinya
dan anggota partai yang progresif, termasuk
GWP. Pada puncak proklamasi Presiden
Pilipina, Gloria Arroyo tahun 2006, Liza
menjadi satu-satunya wakil perempuan dalam
apa yang kemudian dikenal sebagai “Batasan
6”. Liza bersama dengan 5 perwakilan
anggota partai lainnya terus menghadapi
penangkapan illegal, mereka didakwa dengan
kasus pemberontakan. Tuduhan palsu
tersebut akhirnya ditolak oleh Makamah
Agung.
Liza sendiri selalu hadir dengan ide-ide
kreatif, seperti dalam berbagai kampanye
politik dia menjadi pengarah utama Gabriela
Fashion Show yang disorot oposisi perempuan
untuk menggulingkan Presiden Estrada.
Liza juga sudah dua kali berpartisipasi dalam
program V-Day untuk melawan kekerasan.
Liza percaya kemajuan dan keberhasilannya
berkampanye menentang kekerasan dan
reformasi sejati dapat berhasil ketika ada
partisipasi aktif kaum perempuan dari akar
rumput.
alasan mengapa
GWP hadir dan
bergerak untuk isu
politik, salah satunya
adalah untuk membuat
undang-undang, di
mana yang dapat
mangatasi kebutuhan
dan kepentingan
perempuan melalui
reformasi kebijakan,
menciptakan standar
melalui pembuatan
hukum tentang
bagaimana seharusnya
masyarakat memandang
perempuan
April - Juni 2013 Perempuan Bergerak
19
SOSOK
GWP baru resmi mendaftarkan diri
dan masuk menjadi partai peserta pemilu
pada tahun 2004. Pada saat itu, GWP
mendapatkan nomor urut 7 dari 66 partai
yang ada dan mendapatkan 1 kursi Kongres
ke-13. Pada tahun 2007, GWP kemudian
naik ke posisi 4 dan berhasil memperoleh 2
kursi di Kongres ke-14. Pada pemilu 2010,
GWP kembali berhasil memenangkan 2
kursi di Kongres ke-15. Pada tahun ini juga
posisi GWP naik ke nomor urut 3.
Selama terlibat dalam proses legislasi,
ada banyak hal yang sudah dicapai oleh
GWP. Hal tersebut terjadi karena GWP
mempunyai track record yang bagus sebagai
sebuah gerakan sosial atau perempuan yang
anti diktator. Selain itu, gerakan ini juga
banyak dikenal oleh maysrakat luas. Dengan
basisnya sebagai organisasi perempuan dan
memiliki jaringan yang luas, dari dalam dan
luar partai juga menjadi salah satu capaian
GWP. GWP sendiri tidak hanya membatasi
isu perempuan, tetapi juga menggunakan
people issues karena semua isu adalah isu
perempuan. Hal inilah yang kemudian
membuat GWP mudah diterima dan tidak
menjadi eksklusif.
Beberapa alasan mengapa GWP hadir
dan bergerak untuk isu politik, salah satunya
adalah untuk membuat undang-undang, di
mana yang dapat mangatasi kebutuhan dan
kepentingan perempuan melalui reformasi
kebijakan, menciptakan standar melalui
pembuatan hukum tentang bagaimana
seharusnya masyarakat memandang
perempuan dan bertindak terhadap
perempuan, menghadang langkah-langkah
atau upaya yang akan merusak hak-hak dan
kesejahteraan rakyat dan mengakibatkan
kemiskinan, marjinalisasi, kekerasan,
kekerasan terhadap perempuan secara
luas. Selain itu, juga melawan ideologi
kelompok elit yang dominan dan politik
yang korup, yang pro orang kaya, macho,
patriarkal, feudal serta berkontribusi untuk
pengembangan dan penguatan gerakan
perempuan.
Selama berada di dalam parlemen,
beberapa kebijakan yang berhasil dikawal
GWP, di antaranya Undang-Undang Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan dan
Anak (Anti-Violence Against Women
and Children Act (R.A. 9262)), UndangUndang Pengadilan dan Kesejahteraan Anak
20
Perempuan Bergerak April - Juni 2013
(Juvenile Justice and Welfare Act of 2006 (R.A.
9344)), Undang-Undang Anti Perdagangan Manusia
(Anti-Trafficking in Persons Act (R.A. 9208)),
Magna Carta of Women (R.A. 9710), Rent Control
Act of 2009 (R.A. 9653), Overseas Absentee
Voting Act (R.A. 9189), Public Attorney’s Office
Act (R.A. 9406), Philippine Nursing Act (R.A.
9173), Anti-Torture Law (R.A. 9745).
Selain itu, GWP juga berkampanye untuk
mendukung kenaikan upah, perbaikan tunjangan
kehamilan, penyediaan layanan perawatan anak
dan penghapusan pelecehan seksual di tempat
kerja. Hal ini juga dimulai dengan tindakan untuk
menghentikan adanya tenaga kontrak, terutama
yang karena mengambil keuntungan dari tenaga
kerja murah perempuan, dan membuat mereka
rentan terhadap penyalahgunaan.
GWP juga memprakarsai, mendorong,
dan berjuang untuk langkah-langkah yang
akan memperkuat tindakan afirmasi dalam hal
kekerasan seksual, seperti pemerkosaan, prostitusi,
perdagangan seks, pornografi dan kekerasan dalam
rumah tangga. GWP bersama dengan perempuan
Pilipina berkampanye untuk hak perawatan
kesehatan yang komprehensif dan pelatihan tentang
kesehatan reproduksi dan penyediaan layanan.
Selain itu, GWP juga berada di garis depan untuk
melawan korupsi yang merajalela, kekerasan dan
pelecehan, khususnya oleh pemerintahan Gloria
Macapagal Arroyo.
Tidak mudah memang sebuah gerakan
perempuan masuk ke dalam politik praktis. Ada
banyak tantangan dihadapi oleh GWP di didunia
politik, seperti kurangnya dana, pengaruh dan nama
keluarga yang cukup dikenal dalam masyarakat,
karena kebanyakan anggota partai politik besar
atau utama merupakan dinasti politik (keluarga).
Selain itu, banyak politisi perempuan yang menjadi
boneka politik atau membuat konflik ditambah
lagi adanya pelecehan, intimidasi dan berbagai
bentuk penyiksaan politik. Resistensi terhadap
kehadiran GWP juga tidak dapat dihindarkan.
Sayangnya, resistensi ini datang dari perempuan
sendiri. Hal tersebut terjadi karena adanya
pandangan perempuan bahwa politik adalah dunia
laki-laki, dan perempuan hanya berperan di ruang
domestik. Namun hal tersebut tidak menjadi
hambatan bagi GWP untuk terus memperjuangkan
hak-hak perempuan dan kelompok marginal
lainnya. Menghadapi adanya tantangan tersebut,
GWP kemudian melakukan pendidikan kepada
perempuan agar mau masuk kedalam politik agar
terwakili kepentingannya. *****(JK)
PUISI
Semangatmu Kartini
Putri Ksatria
Oleh: Salva
Oleh: Pauline Angelina
Habis gelap terbitlah terang
Hal itulah yang ada di benakmu
Dimana tidak ada pembatas
Antara kita dan mereka
Hujan tiada berhenti
Kabut perlahan menyelimuti
adat dan budaya berpilih kasih
Hak perempuan pun dibatasi
Ingin kau hapuskan pembatas itu
Ingin kau tunjukan pada mereka
Bahwa tiada yang beda antara
Kau kami dan mereka
Kau korbankan jiwa ragamu
Hidup matimu hanya untuk itu
Kau percaya semangat
Bahwa kami bisa yang mereka lakukan
Usaha semangatmu tak pernah padam
Walau banyak caci maki menghadang
Kau ingin hapuskan dinding perbedaan
Untuk selama-lamanya
Hingga pada akhirnya kami pun
Kemetik hasil jerih payahmu
Kartini kau tunjukan kau bisa
Kartini kau inspirasi kami
Kartini kau inspirasi wanita negeri ini
Kartini kau ibu bagi kami
Terima kasih atas jasa-jasamu
Jasa-jasa yang telah menuntun kami
Menjadi orang yang pantang menyerah
Menjadi orang yang tak putus asa
Terima kasih Kartini
Doa kami selalu bersamamu
Tangis membanjir di pipi
Tak ada satu pun peduli
Sekalipun rintihan bertubi-tubi
Para insan berpura-pura tuli
Perempuan dikekang
Perempuan dilarang
Perempuan terbuang
Perempuan terbelakang
Lemah tak berdaya
Melawan pun tak kuasa
Hanya dapat berpasrah
Menerima siksaan jiwa
Dan semua itu kini sirna
Berkat sang putri ksatria
Wahai Kartini yang mulia
Jasamu sungguh tiada tara
Perempuan bebas
Perempuan lepas
Perempuan setara
Perempuan Merdeka
Tak ada lagi luka
Tak ada lagi duka
Semua telah sirna
Berkat sang putri ksatria
Puisi Untuk Kartini
Oleh: Red Face
Ibu Kartini
Kau adalah teladan bagi kami
Kau sejajarkan kami di mata dunia
Kau adalah cerminan bagi kami
Ibu Kartini
Meski kau telah tiada
Namun semangat dan perjuanganmu
Masih menyemangati kaum hawa di seluruh nusantara
untuk ikut berperan serta dalam pembangunan bangsa Indonesia
Lihatlah kartini-kartini sekarang
Yang terus berjuang dalam semangatmu
Mulai dari guru sampai capres
Mulai dari dapur dampai istana
Semua kini bisa berkarya
Walaupun terkadang masih direndahkan
Walaupun terkadang masih direndahkan
Walau terkadang masih dilecehkan
Tapi
Mereka kini bisa berkarya
Tidak hanya sekedar meminta
dan sekedar menerima
Lihatlah ibu
Betapa agung perjuanganmu
Kini aku bisa ikut berbangga
Melihat hasil perjuanganmu
Sekarang para Kartini muda
Inilah hasil perjuangan
Jerih payah dalam pergolakan
Wahai Kartini yang diagungkan
Kau putri ksatria pujaan perempuan
April - Juni 2013 Perempuan Bergerak
21
BEDAH BUKU
A
Cahaya Terang Politik
Perempuan
ni Widyani Soetjipto ialah akademisi,
peneliti sekaligus aktivis isu perempuan
dan politik. Buku karya Ani Soetjipto ini
berisi 16 esai pilihan yang mengetengahkan dinamika dan potret perempuan
di kancah politik di Indonesia, yang dipublikasikan
dalam rentang tahun 1999-2004. Keenam belas esai itu
dibagi menjadi tiga bagian besar, yang memperlihatkan
berbagai peristiwa perempuan dalam politik mulai dari
pro-kontra partisipasi perempuan dalam politik, tindakan afirmatif kuota 30 persen perempuan, tantangan perjuangan gerakan perempuan di bidang politik,
pembelajaran yang dapat dipetik serta gambaran situasi
politik dan posisi perempuan di dalamnya. Dinyatakan
Ani Soetjipto di Pendahuluan bahwa yang tertuang
dalam bukunya merupakan pengalaman politik penulis,
khususnya berkaitan dengan masalah perempuan dan
politik.
Kumpulan tulisan ini melukiskan soal keterwakilan
perempuan dalam politik yang meliputi pro-kontra tin-
dakan afirmatif, kendala atau hambatan yang dialami
dalam proses negosiasi politik, tantangan perjuangan
politik perempuan, serta strategi-strategi yang dapat
diterapkan dan harus dilakukan untuk mengatasi rendahnya representasi perempuan dalam politik.
Bagian pertama buku ini menjelaskan pro-kontra
kala Megawati dicalonkan menjadi presiden dari PDI
Perjuangan pada Pemilu 1999. Pencalonan Megawati
mendapat banyak tanggapan skeptis dan pesimis, karena sebagai perempuan dianggap tidak memiliki kualitas
dan kapasitas untuk menjadi pemimpin negara. Ironisnya tanggapan ini tidak hanya datang dari pemimpin
partai politik yang didominasi laki-laki, tetapi juga
oleh perempuan politisi. Kualitas dan kapasitas perempuan menjadi soal pertama yang ditanyakan para politisi kala itu mengenai perempuan dalam politik. Isu
kualitas dan kapasitas ini menjadi penting ditanyakan
kepada perempuan, tetapi tidak kepada laki-laki. Padahal kualitas politisi laki-laki pun masih harus dipertanyakan. Hal tersebut menjadi hambatan dan tantangan
perempuan dua kali lebih berat untuk berkiprah dalam
politik, terutama menjadi pemimpin. Hambatan dan
tantangan tersebut masih dihadapi perempuan saat ini.
Peristiwa lain yang menjadi pro-kontra pada tahun
1999 ialah tindakan afirmatif kuota 30% perempuan
dalam berbagai tingkatan kelembagaan yang disuarakan gerakan perempuan. Hal ini muncul berdasarkan
fakta bahwa representasi perempuan dalam politik
sangat rendah. Padahal Indonesia sudah berkomitmen
untuk memperhatikan partisipasi perempuan dalam
politik yang tertuang dalam CEDAW dan Deklarasi
Judul
Penulis
Editor
Penerbit
Cetakan
Halaman
ISBN
22
Perempuan Bergerak April - Juni 2013
: Politik Perempuan Bukan Gerhana:
Esai-esai Pilihan 1999-2004
: Ani Widyani Soetjipto
: Nur Iman Subono
: Penerbit Buku Kompas
: Tahun 2005
: xxxiv+332 halaman
: 979-709-188-0
BEDAH BUKU
Beijing 1995. Pada kenyataannya, langkah perempuan untuk terlibat dan berperan di arena politik menemui banyak hambatan, berupa hambatan
sosial-budaya, ekonomi, ideologi, dan psikologis.
Hambatan politis, perempuan dihadapkan pada
persoalan sistem, struktur, dan kultur politik.
Sistem politik kita jauh dari peka gender dan
menempatkan perempuan sebagai warga negara kelas dua, yakni perannya hanya menjadi ibu
rumah tangga. Dari segi struktur politik, saat
ini kepemimpinan politik masih didominasi lakilaki sehingga kebijakan-kebijakan yang dihasilkan
sering tak mengakomodir kepentingan perempuan. Dari kultur politik, persoalan korupsi,
kolusi, dan nepotisme masih menjadi budaya yang
mengakar dan sulit diberantas. Selain itu, hambatan politik yang dihadapi juga berkait dengan
tiadanya dukungan partai politik untuk menempatkan perempuan secara adil dan setara. Artinya, mulai dari perekrutan, penempatan nomor
urut calon, dan dukungan dana tidak menguntungkan perempuan. Dengan demikian, isu-isu
yang diangkat perempuan kerap diabaikan apalagi
jika isu-isu tersebut mengedepankan kepentingan
perempuan.
Hambatan sosial-budaya yang dihadapi terkait kontruksi masyarakat yang menempatkan
perempuan di posisi subordinat dan struktur
di masyarakat yang sarat dengan norma patriarkal. Perempuan dianggap tidak pantas menjadi
pemimpin dan lebih cocok sebagai ibu rumah
tangga, yang secara langsung ataupun tidak akan
melemahkan posisi perempuan. Hal ini berkorelasi dengan hambatan psikologis yang dihadapi
perempuan. Adanya konstruksi masyarakat yang
timpang gender menjadikan perempuan tidak
percaya diri, karena dianggap kualitas dan kapasitas mereka tidak mumpuni bersaing dalam arena
politik. Secara sosial-budaya, perempuan dihadapi oleh persoalan multi-beban, seperti kerja domestik yang harus ditanggung perempuan, yang
oleh masyarakat dianggap bukan kerja, sehingga
dianggap remeh. Hal itu menjadi suatu kendala
yang dihadapi perempuan untuk berkiprah di
politik, mereka tidak berada di posisi start yang
sama dengan laki-laki. Berbeda dengan laki-laki,
yang dalam struktur masyarakat patriarkal, tidak
dibebani urusan-urusan domestik, sehingga bisa
melenggang bebas berkompetisi politik.agama
memperkuat persepsi tadi sehingga membatasi
peran dan posisi perempuan di masyarakat.
Perempuan juga menghadapi masalah ketida-
kberdayaan ekonomis untuk maju dalam arena politik. Perempuan memiliki kesulitan mendapatkan dukungan dana baik dari partai politik, swasta, maupun
basis dukungan partai. Perjuangan perempuan dalam
politik berlipat-kali lebih terjal dibanding laki-laki,
karena secara ekonomis posisi mereka dilemahkan.
Hambatan-hambatan tersebut menjadi faktor
rendahnya representasi perempuan dalam politik. Oleh karenanya, tindakan afirmatif kuota 30%
perempuan dalam politik menjadi penting dilakukan. Dalam beberapa tulisan di buku ini ditegaskan,
bahwa tindakan afirmatif harus dilakukan sebagai intervensi struktural mengatasi kendala kultural yang
dihadapi kelompok marjinal. Dalam hal ini, agar
perempuan dapat berkiprah di ruang politik (yang
posisi start-nya tertinggal daripada laki-laki). Tindakan afirmatif merupakan tindakan sementara yang
sewaktu-waktu bisa dicabut apabila telah memenuhi
kuota. Kuota 30 persen ialah angka signifikan yang
dapat mempengaruhi kebijakan politik berdasarkan
penelitian International Parliementary Union (IPU)
dan angka ini telah menjadi kebijakan PBB sebagai
angka batas minimal kuota untuk perempuan di berbagai tingkatan politik. Tindakan ini merupakan sarana agar perempuan lebih cepat terintergrasi dalam
politik. Dengan tindakan ini diharapkan perempuan
mendapat kesempatan yang sama dalam politik dan
mengangkat masalah mereka, seperti kekerasan terhadap perempuan (kekerasan seksual), buruh migran, angka kematian ibu dan anak, kesehatan, pendidikan, dan lainnya.
Tercermin dalam tulisan “Angin Segar, tetapi
Bukan Angin Surga” di buku ini, bahwa 18 Februari
2003 menjadi hari yang penting dan bersejarah bagi
perempuan di Indonesia karena kuota 30% keterwakilan perempuan dicantumkan dalam UU Pemilu
Pasal 65 yang berbunyi: “Setiap partai politik peserta
pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD,
Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah
pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.”
Walaupun awal perjuangan ini menuai beragam
reaksi, namun kebijakan tersebut membuka keran
kesempatan bagi perempuan berpartisipasi dalam
politik. Tentunya itu harus dijalankan konsisten dan
konsekuen: dari partai politik sampai tingkatan yang
lebih tinggi meskipun tidak ada sanksi hukum bagi
partai politik apabila tidak menjalankan kebijakan
itu. Pencantuman 30 persen memunculkan pekerjaan rumah bagi gerakan perempuan dalam menApril - Juni 2013 Perempuan Bergerak
23
BEDAH BUKU
ganalisa tantangan dan menyusun strategi agar
wakil perempuan itu nantinya menyuarakan kepentingan perempuan (tidak menjadi elit politik
baru).
Dalam buku ini dielaborasi berbagai tantangan yang dihadapi perempuan pasca pencantuman kuota 30% dalam UU Pemilu. Salah satunya,
dengan pemilihan umum proporsional terbuka,
maka perempuan harus berkompetisi dengan laki-laki di dalam partai politik. Karena dalam kebijakan tersebut tidak diatur kriteria rekrutmen
dan pemilihan posisi nominasi. Perempuan harus
bersaing mendapatkan nomor urut teratas agar
dapat terpilih, karena sistem partai politik sendiri sering tidak menempatkan perempuan dalam
posisi atau nomor urut strategis. Kendati pun
partai telah berkomitmen mengimplementasi kebijakan tersebut, namun tidak ada perubahan sikap yang positif maupun cara pandang partai dan
pengurusnya, terhadap perempuan. Tantangan
lain ialah bank data tentang perempuan potensial
nominasi calon legislatif. Hal ini diperlukan agar
perempuan tetap membawa kepentingan mereka
ketika terpilih nanti. Tentu tantangan berat yang
dihadapi yakni berkaitan dengan sosial-budaya,
ekonomi, agama, dan psikologis.
Kendala itu membutuhkan strategi dan sinergi banyak pihak agar apa yang dicita-citakan
gerakan perempuan, seperti keadilan dan kesetaraan bagi perempuan, dapat tercapai. Dalam tulisan “Membangun Sinergi dan Jejaring”, dibahas
pentingnya peran civil society, akademisi, media,
kaukus perempuan, dan swasta untuk mendukung langkah perempuan dalam politik. Berbagi
peran dan membangun jaringan dapat menjadi
strategi yang efektif agar kendala yang dihadapi
perempuan dapat teratasi. Peran dan dukungan
yang dapat dilakukan civil society meliputi peningkatan pengetahuan dan kapasitas perempuan
melalui pendidikan politik serta membangun
karakter kepemimpinan, membangun basis dukungan calon anggota legislatif, dan akses bagi
perempuan untuk terlibat audiensi maupun lobby. Akademisi berperan menghasilkan kajian atau
riset yang dapat digunakan sebagai pengetahuan
dan informasi untuk caleg maupun aleg perempuan terpilih, sebagai agenda kerjanya, agar jelas
dan terfokus. Akademisi juga dapat membuat basis data perempuan potensial.
Media menjadi alat yang penting untuk mem24
Perempuan Bergerak April - Juni 2013
promosikan caleg perempuan dan menyuarakan pemikiran dan gagasannya berkaitan dengan masalah
yang dihadapi perempuan di Indonesia. Kampanye
menjadi bagian sangat penting untuk memperoleh
dukungan masyarakat. Media dapat menjadi corong
informasi bagi perempuan apabila terpilih untuk
mengangkat isu-isu perempuan, sehingga menjadi
tujuan yang dibawa ke ranah keputusan untuk penyelesaiannya. Agar isu-isu perempuan disuarakan
secara bersamaan oleh aleg perempuan dari partai
apa pun, maka penting dibentuk kaukus perempuan
dalam politik. Kaukus perempuan bisa berperan
menjadi kelompok penekan di ranah pengambilan
keputusan, sehingga bisa menghasilkan kebijakan
yang mengakomodir kepentingan perempuan.
Kaukus perempuan bisa menjadi kelompok penekan
DPP parpol agar posisi perempuan mendapat nomor
urut utama dalam pencalonan. Kaukus perempuan
juga menjadi media dan sarana berbagi serta sinergi
informasi antar caleg maupun aleg perempuan lintas
partai di parlemen.
Kemiskinan perempuan secara ekonomis menjadi faktor penghambat mereka berpartisipasi dalam
politik. Dukungan dana pihak-pihak swasta dibutuhkan untuk menunjang aktivitas perempuan pada masa
kampanye pemiu. Untuk merangkul pihak swasta ini,
tentu peran civil society dibutuhkan untuk membuka
akses, lobby, dan pemantauan pelaksanaannya. Dengan sinergi multi pihak ini tentu akan memberikan
dukungan moral maupun material bagi perempuan.
Dalam situasi politik Indonesia yang carut-marut ini,
representasi perempuan sangat dibutuhkan untuk
penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi perempuan, yang 68 tahun Indonesia merdeka, tak dapat
selesai oleh sistem pemerintahan yang patriarkal.
Mengutip pernyataan Ani Soetjipto: “…bahwa partisipasi di dalam politik adalah hak asasi perempuan,
dan melibatkan perempuan dalam proses pembuatan kebijakan adalah dasar dari kerangka demokrasi
yang mendorong keseteraan dan keadilan gender”.
*****(IK)
BEDAH FILM
Buruh Perempuan Nasibmu Kini
S
aat ini populasi pekerja perempuan
telah mencapai sebesar 39,8 juta
jiwa atau 37,9% dari total jumlah
pekerja se Indonesia, yakni 104,87 juta
jiwa. Jumlah tersebut akan terus meningkat. Di DKI Jakarta misalnya, terdapat
sekitar 80.000 buruh. Sebanyak 90 persen dari angka tersebut merupakan buruh
perempuan. Buruh perempuan berada di
pabrik-pabrik, seperti pabrik garmen, tekstil, sepatu, dan rokok. Perusahaan-perusahaan lebih senang mempekerjakan buruh
perempuan karena dianggap lebih teliti
dan dapat dibayar murah. Biasanya buruh
perempuan dipekerjakan untuk mengerjakan satu jenis pekerjaan tertentu selama
bertahun-tahun yang hanya membutuhkan
ketekunan, ketelitian, dan kerapihan. Akibatnya, tidak ada kesempatan bagi buruh
perempuan untuk meningkatkan jenjang
karir, pengetahuan/keterampilan, atau
promosi jabatan.
Jumlah buruh perempuan yang sangat
besar tidak dianggap sebagai sumberdaya
manusia yang potensial dan belum diperhitungkan keberadaannya. Masih banyak
buruh perempuan yang mengalami berbagai diskriminasi. Posisi buruh perempuan
pun makin lemah akibat penerapan sistem
kerja kontrak dan outsourcing di perusahaan-perusahaan. Banyak perusahaan yang
mempekerjakan buruh perempuan sebagai
buruh kontrak yang tidak memiliki hak-hak
normatif yang sama layaknya buruh tetap.
Akibat statusnya sebagai buruh kontrak,
mereka rentan mengalami berbagai persoalan, seperti PHK secara sepihak, upah
rendah, lembur paksa yang tidak dibayar,
larangan kebebasan berserikat, kondisi dan
fasilitas kerja yang buruk, larangan cuti
haid, cuti melahirkan, dan sebagainya.
Problema yang dihadapi para buruh
perempuan inilah yang coba diangkat
dalam film “Kisah 3 Titik”, sebuah film
yang berbicara tentang sisi gelap terang
kehidupan buruh Indonesia secara realistis. 3 titik dalam judul film ini merujuk
pada tiga karakter perempuan yang memiliki kesamaan nama, yakni Titik.
Titik yang pertama ialah Titik Sulastri
(diperankan oleh Ririn Ekawati), seorang
perempuan dengan seorang anak dan baru
ditinggal mati suaminya. Saat sang suami
meninggal, Titik Sulastri sedang hamil
muda. Walaupun tidak memiliki sanak
saudara di Jakarta, Titik tetap bertahan
untuk tidak pulang ke kampung. Ia ingin
ketika pulang, ia sudah sukses. Untuk bertahan hidup di tengah kondisi hamil anak
kedua, ia bekerja di sebuah pabrik garmen.
Titik yang kedua adalah Titik Dewanti Sari (diperankan oleh Lola Amaria),
seorang pekerja kantoran yang ambisius
yang baru saja diangkat menjadi manajer
SDM untuk mengelola pabrik garmen
yang baru dibeli oleh perusahaannya. Namun saat melakukan observasi di pabrik,
Titik menemukan hal-hal yang mengetuk
rasa kemanusiaannya.
Judul:
Kisah Tiga Titik
Sutradara:
Bobby Prabowo
Penulis:
Charmantha Adjie
Produser:
Lola Amaria
Pemain:
Ririn Ekawati
Maryam Supraba
Lola Amaria
Rangga Djoned
Dimas Hari CSP
Donny Alamsyah
Ingrid Wijanarko
Durasi:
104 menit
Produksi:
Lola Amaria Production
April - Juni 2013 Perempuan Bergerak
25
BEDAH FILM
Sementara Titik yang ketiga ialah Kartika (diperankan oleh Maryam Supraba),
anak seorang preman yang berpenampilan
tomboi dan kerap dipanggil Titik. Titik yang
ini bekerja di sebuah industri sepatu rumahan. Sikapnya yang keras menjadi masalah
saat dirinya menemukan industry tempatnya bekerja melakukan tindakan merugikan
orang lain.
Kisah 3 Titik memberi gambaran tentang berbagai diskriminasi yang dialami para
buruh perempuan, di mana sebagai buruh
kontrak mereka sangat rentan untuk mengalami PHK. Selain itu, mereka juga tidak
pernah mendapatkan hak-haknya, apalagi
hak untuk cuti melahirkan. Bahkan hanya
sekadar ke toilet, mereka dibatasi oleh waktu, maksimal 3 menit berada di dalam toilet
dan setelah itu harus bekerja kembali. Bisa
dibayangkan bila buruh ini sedang dalam
kedaan haid, waktu 3 menit tentu saja tidak
cukup.
Apa yang dialami Titik Sulastri misalnya, pabrik garmen tempatnya bekerja selalu memperbaharuhi kontrak kerja karyawannya setiap bulan. Sistem kerja kontrak
memang selalu merugikan buruh. Kontrak
bisa tidak diperpanjang sewaktu-waktu, apalagi sistem suka tidak suka masih berlaku di
banyak pabrik. Pembicaraan dengan sesama
rekan kerja pun harus penuh hati-hati, kare-
26
Perempuan Bergerak April - Juni 2013
na kalau tidak bisa diadukan ke mandor dan kontrak
tidak akan diperpanjang lagi. Dengan sistem ini perusahaan sangat diuntungkan karena sewaktu-waktu bisa
mengganti buruhnya yang tentu bisa dibayar dengan
upah lebih murah. Di sisi lain, karena persaingan yang
ketat, buruh rela dibayar murah asal mempunyai penghasilan, walaupun hak-haknya sebagai pekerja tidak diperhatikan oleh perusahaan.
Buruh kontrak tidak mempunyai hak-hak yang sama
sebagaimana buruh tetap. Buruh dilarang untuk hamil,
karena kalau ia hamil dianggap tidak produktif, pabrik
akan segera memecatnya. Maka itu mereka harus menyembunyikan kehamilannya dan tetap harus bekerja
tanpa memperoleh fasilitas. Itulah yang dialami oleh
Titik Sulastri, ia harus mati-matian menyembunyikan
kehamilannya agar bisa terus bekerja.Padahal UU No.
13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 76 ayat
2 telah melarang pengusaha untuk mempekerjakan buruh perempuan yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya
maupun dirinya, apabila bekerja antara pukul 23.00
sampai pukul 07.00. Sayangnya, perusahaan tidak
peduli dengan peraturan tersebut.
Sebagai buruh kontrak, Titik tidak memperoleh hak
cuti melahirkan dan tunjangan lainnya sebagaimana
buruh tetap. Cuti melahirkan hanya diberikan kepada
buruh tetap dan hanya 7 hari tanpa digaji. Pilihan yang
diberikan oleh perusahaan adalah keluar dari pabrik
dan mendaftarkan lagi jika suatu saat pabrik memerlukan tenaganya. Itu pun tentu tidak mudah, karena
ia harus bersaing dengan tenaga kerja lainnya. Pada-
BEDAH FILM
hal jika mengacu UU No. 13 Tahun 2003
terutama pasal 153, pengusaha dilarang
melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh perempuan hamil,
melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya. Selain itu, undang-undang juga
telah mengatur tentang hak cuti melahirkan
bagi buruh perempuan, yakni selama satu
setengah bulan sebelum saatnya melahirkan
anak dan satu setengah bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
Posisi rentan sebagai buruh rendahan
juga dialami Kartika. Industri rumahan
tempatnya bekerja pun melakukan banyak
kesewenangan terhadap buruhnya. Sewaktuwaktu, ia bisa dipecat dengan alasan perusahaan sedang pailit. Padahal perusahaan hanya ingin mengganti buruhnya dengan buruh
yang mau dibayar lebih murah. Lebih parah
lagi, perusahaan tempat kartika bekerja
justru mempekerjakan anak-anak dibawah
umur. Dibawah ancaman, anak-anak itu dijemput sepulang sekolah dan disuruh bekerja. Tujuannya hanya satu, perusahaan dapat
memperoleh hasil sebanyak-banyaknya dan
dapat membayar upah semurah-murahnya.
Demikian dengan kondisi kerja, di perusahaan tempat Kartika bekerja, jauh dari
memadai. Tidak ada cahaya sama sekali.
Demikian juga dengan sirkulasi udara,
jauh dari memadai, padahal dengan kondisi
demikian tentu sangat mempengaruhi kes-
ehatan para buruhnya.
Namun apakah ketidakadilan itu hanya dialami
mereka buruh-buruh di pabrik? Nyatanya tidak
demikian. Titik Dewanti Sari misalnya, walaupun
ia menjabat sebagai manajer SDM, ia tidak bisa
berbuat banyak. Ia tidak bisa mengubah begitu saja
peraturan yang ada. Walaupun sisi kemanusiaan
memberontak atas keadaan yang ada, nyatanya ia tidak bisa berbuat lebih. Perusahaan memperalatnya
untuk membenahi pabrik yang baru dibelinya, tapi
harus tidak boleh mengeluarkan banyak uang.
Film Kisah 3 Titik, memberi gambaran nyata buruh perempuan yang ada saat ini, tidak hanya mereka yang berada di tingkatan bawah sebagai buruh
pabrik, tetapi juga mereka yang memiliki posisiposisi strategis. Walaupun memiliki posisi strategis
mereka tidak dapat berbuat banyak, karena perusahaan selalu berpikir soal keuntungan, tanpa memperhatikan kesejahteraan para buruhnya.
Sebagai kelompok potensial, seharusnya buruh
perempuan dapat membuat gebrakan, dapat mempengaruhi tiap pembuatan keputusan. Sayangnya,
itu belum terjadi. Di Parlemen misalnya, tidak banyak wakil rakyat yang peduli dengan kondisi buruh.
Mereka cenderung mengabaikan nasib buruh, terutama buruh perempuan. Akhirnya, kebijakan yang
dikeluarkan sangat jauh dari kebutuhan buruh. Memang cuti haid dan melahirkan sudah diatur dalam
undang-undang, namun kebijakan tersebut tidak
pernah diimplementasikan dengan baik. Demikian
juga dengan pihak pemerintah yang tidak pernah
melakukan monitor implementasi kebijakan itu.
Memiliki wakil rakyat yang peduli dengan buruh
perempuan dan mau memperjuangkan nasib mereka
itu menjadi hal yang sangat penting. Sekian lama Indonesia merdeka, wakil-wakil itu tak juga ketemu.
Sebenarnya, sebagai kelompok yang besar, buruh
bisa membuat partainya sendiri dan ikut dalam Pemilu untuk kemudian merebut posisi-posisi strategis. Dengan demikian, buruh dapat mempengaruhi
tiap keputusan yang akan dihasilkan. Namun entah
kapan hal tersebut dapat terwujud. *****(JK)
April - Juni 2013 Perempuan Bergerak
27
KOSA KATA
Politik
Politik sangat erat kaitannya dengan masalah kekuasaan, pengambilan keputusan,
kebijakan publik, alokasi dan distribusi.
Pemikiran mengenai politik di dunia barat
banyak dipengaruhi oleh Filsuf Yunani Kuno,
seperti Plato dan Aristoteles yang beranggapan bahwa politik sebagai usaha untuk
mencapai masyarakat yang terbaik. Usaha
untuk mencapai masyarakat yang terbaik
ini menyangkut bermacam kegiatan yang
di antaranya terdiri atas proses penentuan
tujuan sistem serta cara-cara melaksanakan
tujuan itu. Sementara definisi politik, jika
mengacu pada Ramlan Surbakti (1999:1)
adalah “interaksi antara pemerintah dan
masyarakat dalam rangka proses pembuatan
dan pelaksanaan keputusan yang mengikat
tentang kebaikan bersama masyarakat yang
tinggal dalam suatu wilayah tertentu”. Dari
pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa
politik merupakan salah satu sarana interaksi atau komunikasi antara pemerintah
dengan masyarakat, sehingga apapun program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan kebutuhan masyarakat di
mana tujuan yang dicita-citakan dapat dicapai dengan baik.
Demokrasi
Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Begitulah pemahaman yang paling sederhana
tentang demokrasi, yang diketahui oleh
hampir semua orang. Berbicara mengenai
demokrasi adalah memperbincangkan tentang kekuasaan, atau lebih tepatnya, pengelolaan kekuasaan secara beradab. Ia adalah
sistem manajemen kekuasaan yang dilandasi
oleh nilai-nilai dan etika serta peradaban
yang menghargai martabat manusia. Pelaku
utama demokrasi adalah kita semua, setiap
orang yang selama ini selalu diatasnamakan
namun tak pernah ikut menentukan. Menjaga proses demokratisasi adalah memahami secara benar hak-hak yang kita miliki,
menjaga hak-hak itu agar siapapun menghormatinya, melawan siapapun yang beru28
Perempuan Bergerak April - Juni 2013
saha melanggar hak-hak itu. Demokrasi pada
dasarnya adalah aturan orang (people rule),
dan di dalam sistem politik yang demokratis
warga mempunyai hak, kesempatan dan suara
yang sama dalam mengatur pemerintahan di
dunia publik. Sedang demokrasi dalam artian
lain adalah keputusan berdasarkan suara terbanyak.
Tindakan Afirmasi
Tindakan afirmasi (affirmative action) adalah
hukum dan kebijakan yang mensyaratkan dikenakannya kepada kelompok tertentu pemberian kompensasi dan keistimewaan dalam kasus-kasus tertentu guna mencapai representasi
yang lebih proporsional dalam beragam institusi dan okupasi. Ia merupakan diskriminasi
positif (positive discrimination) yang dilakukan untuk mempercepat tercapainya keadilan
dan kesetaraan. Salah satu sarana terpenting
untuk menerapkannya adalah hukum, dimana
jaminan pelaksanaannya harus ada dalam Konstitusi dan Undang-Undang. Affirmative action merupakan diskriminasi positif (positive
discrimination) atau langkah-langkah khusus
yang dilakukan untuk mempercepat tercapainya keadilan dan kesetaraan. Salah satu sarana terpenting untuk menerapkannya adalah
hukum. Karena jaminan pelaksanaannya harus
ada dalam Konstitusi dan UU. Dalam bidang
politik, tindakan afirmatif diperlukan karena
selama ini masalah-masalah khusus perempuan
hampir luput dari kebijakan-kebijakan negara.
Sebabnya antara lain, karena masalah-masalah
yang sejatinya hanya dapat dirasakan perempuan harus “dititipkan” kepada wakil rakyat
yang kebanyakan adalah laki-laki. Sementara
kebijakan publik adalah hasil tawar-menawar
antara pembuat keputusan (aktor politik). Hasil sebuah kebijakan sangat dipengaruhi oleh
pemahaman, persepsi, sikap, moral, dan pengalaman pembuatnya. Jika masalah-masalah
perempuan harus dititipkan kepada wakilwakil yang tidak mengetahui atau tidak memiliki perspektif masalah perempuan, hampir
dapat dipastikan kebijakan yang dihasilkan
akan tidak peka terhadap persoalan perempuan.
April - Juni 2013 Perempuan Bergerak
29
Download