1. bab i pendahuluan

advertisement
1. BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
2.
Catatan para ahli menyimpulkan bahwa 80 % ancaman gempabumi di dunia
terletak di daerah subduksi (Pawirodikromo, 2012). Pulau Jawa salah satu wilayah
yang terletak di daerah subduksi lempeng samudra Indo-Australia yang menunjam
ke bawah lempeng benua Eurasia. Zona subduksi terbentang sepanjang 600 km,
dengan gerakan penunjamannya sebesar 5-7 cm/tahun (Elnashai dkk., 2006).
Pergerakan lempeng yang terjadi secara terus menerus akan menimbulkan
kompresi dan regangan, sehingga terbentuknya unsur-unsur tektonik yang
merupakan ciri-ciri sistem subduksi seperti zona benioff dan sebaran sesar aktif
akibat dari gempabumi, seperti sesar Opak (Wagner dkk., 2007).
3.
Dampak nyata dari aktivitas lempeng dan sesar di Pulau Jawa adalah
peristiwa gempabumi. Menurut Pawiridikromo (2012) gempabumi merupakan
energi yang terakumulasi kemudian dilepaskan oleh batuan, sehingga akan terjadi
perambatan gelombang ke segala arah dan menggetarkan permukaan tanah.
Getaran gempabumi merambat ke seluruh bagian bumi menyebabkan terjadinya
kerusakan, runtuhnya bangunan, kerugian materil dan korban jiwa. Keruntuhan dan
kerusakan setelah kejadian gempa memerlukan dana yang sangat besar untuk
rehabilitasi dan rekonstruksi bangunan. Selain itu, gempabumi merupakan kejadian
alam yang tidak dapat dicegah dan belum dapat diperkirakan kapan, dimana
terjadinya, serta besar kekuatannya secara akurat. Oleh Karena itu, kajian mengenai
potensi kerusakan setiap daerah perlu dilakukan untuk mengurangi dampak
kerugian dan korban akibat gempabumi.
4.
Pulau Jawa merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang rawan terhadap
bencana
gempabumi.
Berdasarkan
hasil
pencatatan
Badan
Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika (BMKG), sejak tujuh tahun terakhir (2008-2015) telah
terjadi 5.155 kali kejadian gempabumi dari jenis gempabumi mikro sampai besar
dengan magnitudo Mw 1,6 hingga Mw 7,6 yang tersebar di berbagai kedalaman.
Hiposenter gempabumi yang terjadi di utara Jawa pada umumnya cukup dalam
dengan jumlah kejadian gempabumi rendah, sedangkan gempabumi yang terjadi di
1
2
sebelah selatan Pulau Jawa berada cukup dangkal dari permukaan dengan jumlah
kejadian gempabumi tinggi (Gambar 1.1). Menurut Hamilton (1979), daerah
selatan Jawa merupakan zona subduksi dengan rata-rata sudut penunjaman
30  80 . Konsekuensi tunjaman lempeng tersebut mengakibatkan kegempaan
yang tinggi.
Gambar 1.1 Peta distribusi gempabumi di Pulau Jawa (BMKG, 2015)
5.
Secara regional, daerah penelitian terletak di Jawa Tengah yang merupakan
bagian dari wilayah aktivitas kegempaan Pulau Jawa. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (2010) mengklasifikasikan Jawa Tengah dalam tiga zona
ancaman gempabumi yaitu zona ancaman gempabumi tinggi, sedang, dan rendah.
Salah satu rekaman sejarah gempabumi merusak yang pernah menjadi perhatian
dunia yakni gempabumi Yogyakarta, terjadi di bagian selatan Jawa Tengah pada
tanggal 26 Mei 2006 pukul 5:30 WIB dengan magnitudo Mw 6,3 yang
mengakibatkan banyak korban jiwa dan kerusakan infrastruktur (Elnashai dkk.,
2006). Menurut Naeni dan Zarincheh (2010); Tuladhar dkk. (2004), tingkat
kerusakan di suatu tempat tidak hanya bergantung kepada magnitudo gempabumi
dan jarak dari episenter, tetapi kondisi tanah setempat juga sangat berpengaruh
terhadap tingkat kerusakan. Teori ini terjadi pada kasus gempabumi Yogyakarta 26
3
Mei 2006. Data Bappenas (2006) menunjukkan bahwa wilayah kerusakan rumah
terbanyak secara berurutan terkonsentrasi di Kabupaten Klaten, Sleman, dan Bantul
yang lokasinya cukup jauh dari episenter. Sementara, Kabupaten Gunungkidul
yang lokasinya berdekatan dengan episenter hanya mengalami tingkat kerusakan
ringan (Gambar 1.2a). Kondisi kerusakan akibat gempabumi tersebut merupakan
kondisi yang tidak ideal. Secara teori, idealnya semakin dekat sumber gempa
dengan suatu wilayah maka energi gempa akan semakin besar untuk
menggoncangkan bangunan yang berada di atasnya, sebaliknya semakin jauh
sumber gempa dengan suatu wilayah, maka energi gempa semakin berkurang untuk
menggoncangkan bangunan di atasnya sehingga kerusakannya akan lebih kecil.
(a)
(b)
Gambar 1.2 (a) Hubungan jarak episenter terhadap kerusakan infrastuktur
akibat gempa Yogyakarta pada tanggal 26 Mei 2006, (b) nilai Vs30 USGS di
daerah yang mengalami kerusakan (Elnashai dkk., 2006; Bappenas, 2006;
USGS, 2016).
6.
Jika dihubungkan antara sebaran tingkat kerusakan (Gambar 1.2a) dengan
distribusi nilai Vs30 yang diperoleh dari USGS (Gambar 1.2b) menjelaskan bahwa
daerah-daerah yang mengalami kerusakan tinggi terdistribusi pada sebaran nilai
Vs30 yang rendah dan sebaliknya. Menurut Walter dkk (2007), secara litologi
kerusakan terbanyak akibat gempabumi berada pada kondisi tanah berupa endapan
sedimen muda berumur kuarter yang mengalami pelapukan, ketebalan sedimen
lunak ini mencapai 200 meter yang berasal dari Gunungapi Merapi. Sedimen lunak
yang tidak terkonsolidasi akan memperkuat gelombang gempa, sehingga
4
bangunan-bangunan yang berada di atas lapisan tersebut akan mengalami
goncangan yang lebih besar, walaupun wilayah-wilayah tersebut memiliki jarak
yang relatif jauh dari episenter gempa. Hal ini yang mendasari banyaknya
kerusakan di daerah bencana.
7.
Kecepatan gelombang geser bawah permukaan dipengaruhi oleh kondisi
tanah daerah setempat. Secara geoteknik, kondisi tanah dapat diperkirakan dengan
parameter kecepatan gelombang geser rerata (Vs30). Misalnya, pada jenis tanah
keras (dengan nilai Vs30 yang lebih tinggi) getaran akan mengalami penguatan
yang rendah (amplifikasi rendah). Amplifikasi getaran (alamiah maupun buatan)
yang rendah mengakibatkan kerusakan lebih rendah daripada daerah cekungan
bersedimen tebal yang memiliki jenis tanah lunak (dengan nilai Vs30 yang lebih
rendah). Sehingga, dalam penelitian ini menitikberatkan pada penentuan kecepatan
gelombang geser rerata (Vs30) untuk memperkiran kerentanan kondisi tanah pada
wilayah-wilayah di Jawa Tengah.
8.
Geofisika menyediakan berbagai metode untuk menentukan kecepatan
gelombang geser rerata (Vs30) seperti Multichannel Analysis of Surface Waves
(MASW) pasif, MASW aktif, Spatial Autocorrelation (SPAC), mikrotremor
ModelHVSR dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini, peneliti memilih metode
mikrotremor ModelHVSR karena metode ini cukup praktis dalam penggunaannya
di lapangan. Mikrotremor memanfaatkan getaran yang bersifat stasioner dari dalam
bumi (seismik pasif) yang disebabkan oleh multirefleksi gelombang geser (Vs).
Pengukuran mikrotremor dapat digunakan untuk mengetahui kondisi tanah
setempat (Aki, 1957).
9.
Hasil pengukuran mikrotremor berupa kurva HVSR yang memperlihatkan
sifat fisis gelombang yakni frekuensi (fi) dan amplifikasi (Ai). Frekuensi dan
amplifikasi gelombang dipengaruhi oleh sifat batuan seperti kecepatan gelombang
geser (Vs), kecepatan gelombang primer (Vp), densitas (  ), ketebalan (h), faktor
kualitas gelombang sekunder (Qs) dan faktor kualitas gelombang primer (Qp).
Informasi sifat fisis batuan diperoleh dengan melakukan proses inversi pada kurva
HVSR (Herak, 2008).
5
10.
Namun, diantara keenam parameter tersebut untuk memperkirakan
kerentanan kondisi tanah hanya diperlukan parameter kecepatan gelombang geser
(Vs). Parameter kecepatan gelombang geser (Vs) sangat berguna untuk keperluan
geoteknik dan geofisika seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Nilai kecepatan
gelombang geser (Vs) yang diperoleh akan direrata untuk menetukan Vs30 dan
diklasifikasi untuk penentuan jenis tanahnya sesuai ketentuan Standar Nasional
Indonesia (SNI) 1726 (2012). Hasil klasifikasi jenis tanah yang diperoleh
digunakan untuk zonasi daerah-daerah yang memiliki kerentanan kondisi tanah
terhadap ancaman getaran alamiah (gempabumi) maupun buatan (getaran tanah
akibat lalu lintas) yang rentan terhadap amblesan/kerusakan jalan yang sering
terjadi di Jalur Pantura bagian utara Jawa.
11.
1.2. Rumusan Masalah
Tingkat kerusakan tinggi akibat ancaman getaran sesmik seperti gempabumi
sebagian besar terdistribusi di daerah-daerah yang berada pada kondisi tanah yang
tidak terkonsolidasi dengan baik. Sebagian besar wilayah-wilayah tersebut berada
di zona ancaman gempabumi tinggi (bagian selatan Jawa). Sedangkan, di bagian
utara Jawa jika ditinjau dari ancaman getaran seismik, lebih disebabkan oleh
akitivitas manusia, seperti getaran kendaraan di Jalur Pantura. Terlepas dari faktor
beban kendaraan, kerusakan Jalur Pantai Utara Jawa (Pantura) yang dialami setiap
tahunnya, diperkirakan karena kerentanan kondisi tanah daerah setempat.
Kerentanan kondisi tanah tersebut dapat ditentukan dengan parameter kecepatan
gelombang geser rerata (Vs30). Berdasarkan penjelasan di atas diperoleh perumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana distribusi kecepatan gelombang geser rerata (Vs30) di Jawa Tengah?
2. Bagaimana tingkat kerentanan kondisi tanah di Jawa Tengah berdasarkan
klasifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI) 1726?
3. Bagaimana kerentanan kondisi tanah di Jalur Pantura berdasarkan distribusi nilai
Vs30 dan klasifikasi jenis tanah berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI)
1726?
6
1.3. Batasan Masalah
Adapun masalah yang dibahas dalam penelitian ini dibatasi beberapa hal
antara lain:
1. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari pengukuran Tim
MERapi AMphibious EXperiment (MARAMEX) dari tanggal 16 Mei 2004
sampai 8 September 2004.
2. Dalam bidang geofisika terdapat beberapa metode yang dapat digunakan dalam
mengestimasi Vs30, seperti Multichannel Analysis of Surface Waves (MASW),
Spatial
Autocorrelation
sebagainya.
Adanya
(SPAC),
ketersedian
mikrotremor
data
sekunder
ModelHVSR
tersebut,
dan
saya
lain
dapat
mengolahnya dengan metode mikrotremor ModelHVSR untuk memperoleh
hasil yang menarik.
3. Syarat batas minimal parameter model, diperoleh berdasarkan informasi
geologi daerah setempat dengan ketentuan bahwa litologi yang memiliki umur
paling muda pada lembar geologi Jawa Tengah adalah jenis batuan alluvial
yang terbentuk pada Kala Holosen digunakan sebagai standar minimal dalam
pengaturan nilai parameter model. Sedangkan, syarat batas maksimal dari
parameter model digunakan syarat batas yang telah ditentukan oleh software.
1.4. Tujuan Penelitian
Adapun beberapa tujuan yang melandasi penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Mengetahui distribusi kecepatan gelombang geser rerata (Vs30) di Jawa Tengah.
2. Mengetahui respon jenis tanah terhadap getaran seismik (gempabumi dan
aktivitas lalu lintas).
3. Mengetahui faktor penyebab kerusakan Jalur Pantura yang ditinjau dari
distribusi nilai Vs30.
1.5. Hasil Yang Diharapkan
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah penyebaran Vs30 dalam
bentuk peta, yang nantinya akan dihubungan dengan klasifikasi tanah di masingmasing satuan geologi. Satuan geologi dengan jenis litologi alluvial yang berupa
7
pasir, lempung memiliki sifat yang lebih lunak (tidak terkonsolidasi baik)
dibandingkan jenis batuan yang berkarakter keras (terkonsolidasi). Kecepatan
gelombang geser rerata (Vs30) akan mengalami penurunan pada jenis tanah yang
tidak terkonsolidasi dengan baik dan mengalami kenaikan pada jenis tanah yang
terkonsolidasi dengan baik (jenis tanah keras).
1.6. Manfaat Penelitian
Jika mengacu pada tujuan penelitian, maka penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi daerah-daerah yang memiliki kerentanan kondisi tanah
terhadap getaran seismik, baik yang terjadi secara alamiah (gempabumi) maupun
akibat aktivitas manusia (kegiatan lalu lintas di Jalur Pantura), dan menjadi
rekomensi untuk instansi terkait dalam pembangunan infrastruktur.
Download