strategi pesantren tmi al-amien dalam mencetak manusia indonesia

advertisement
25
STRATEGI PESANTREN TMI Al-AMIEN
DALAM MENCETAK MANUSIA INDONESIA MULTI-KULTUR
Iwan Kuswandi
(Dosen Prodi PGSD STKIP PGRI Sumenep)
Email: [email protected]
Abstrak
Pesantren merupakan pendidikan Islam yang ada di Indonesia yang memiliki peran strategis dalam
pendidikan multikultural dalam kemajemukan Indonesia. Pondok pesantren TMI Al-Amien Prenduan
merupakan salah satu pesantren yang memiliki strategi dalam hal menanamkan pendidikan
multikultural kepada anak didinya (santri). Diantaranya dalam hal penempatan kamar santri
yang dibagi dalam komunitas yang berasal dari semua wilayah di Indonesia (tidak menyatukan
dalam satu daerah tertentu). Di samping itu, untuk menghindari fanatisme etnis dan kesukuan di
kalangan, maka diberlakukan disiplin komunikasi santri diwajibkan menggunakan bahasa Arab,
Inggris dan Indonesia. Dalam hal kurikulum, di TMI Al-Amien Prenduan diajarkan perbandingan
agama dan perbandingan madzhab fiqih, untuk menghindari fanatisme buta dalam hal beragama
dan bermadzhab.
Kata Kunci: Pendidikan, Pesantren, Multikultural
Abstrak
This research Islamic boarding school is one of Islamic education institutions in Indonesia which
has a very important role in multicultural education in Indonesia. TMI Al-Amien Islamic boarding
school Prenduan has already developed a strategy in educating its students about multicultural
education. As an example, students from different cultural backgrounds and origins share in the
same room or dormitory. Besides, speaking in Arabic, Indonesian, and English language has become
a compulsory communication in order to avoid ethnic fanatic among the students. The curriculum
implemented in boarding school is also equipped with a comparative study about religion and the
comparison of mahzab fiqih (religious thoughts) to prevent negative fanatic in the case of religious
thoughts and faith.
Key Words: Islamic Boarding school, Education, Multicultural
A. Pendahuluan
Kemajemukan Indonesia merupakan
kekayaan tersendiri bahkan akan menjadi
kekuatan sosial. Negara Indonesia memiliki
keragaman yang teramat sangat, baik tentang
keanekaragaman etnis, bahasa, ataupun
agama. Jumlah etnis yang ada di Indonesia,
1072 etnis, 250 bahasa, dan beragam agama
“yang diakui”: 87,21 % Islam, 6,04 %
Protestan, 3,58 % Katolik, 1,83 % Hindu, 1,02
% Budha, dan 032 % agama lain, termasuk
Khonghucu (Sensus pendudukan tahun 2004).
Selain itu, Indonesia merupakan negara
yang sangat luas, terdiri dari banyak pulau,
yaitu 13.667 pulau. Kemajemukan bangsa juga
ditunjukan oleh tingkat sosial budaya.
Kebhinekaan tersebut diakui oleh para
penjajah dan direspon oleh pendiri bangsa
dalam motto Bhinekka Tunggal Ika, keragaman
dalam kesatuan dan kesatuan dalam
keragaman (berbeda-beda tetapi satu). Cermin
keberagaman budaya juga ada pada dasar
falsafah Negara, yakni Pancasila.
Kemajemukan Indonesia seringkali
dianggap oleh banyak orang sebagai multikulturalisme. Walaupun ada yang memiliki
pendapat lain bahwa kemajemukan Indonesia
ini sebenarnya bukanlah dari konsep
multikulturalisme, sebagaimana dijelaskan
oleh Parsudi Suparlan (2002), bahwa konsep
Volume 7, Nomor 1, Desember 2014
26
STRATEGI PESANTREN TMI AL-AMIEN
multikulturalisme tidaklah dapat disamakan
dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan suku-bangsa yang
menjadi ciri masyarakat majemuk, karena
multikulturalisme menekankan keanekaragaman dalam kesederajatan.
Namun kemajemukan tersebut, seringkali
tercederai oleh konflik-konflik masyarakat
yang berbau SARA. Seperti konflik di Ambon,
Poso, Sambas dan Sampang Madura. Sejarah
konflik dan ketegangan di beberapa daerah
Indonesia seringkali dipicu oleh masalahmasalah yang terkait atau dikait-kaitkan
dengan agama. Dengan kata lain, konflik lahir
dari rahim agama. Jika hal demikian yang
diamini, berarti masyarakat juga membenarkan apa yang disampaikan oleh Karen
Amstrong, bahwasanya konflik antar pemeluk
agama sekarang terjadi pantas disebut
sebagai “perang kosmis” (Karen Amstrong,
2000:XII).
Persoalan keberbangsaan ke depan, tidak
akan solutif apabila bangsa selalu berkutat
pada permasalahan tentang penyebab di
ranah permukaan, akan konflik itu hadir di
tengah-tengah masyarakat. Seringkali pemeluk
suatu agama, memahami bahwa agamanya
yang paling benar dan absolut, sehingga orang
yang berbeda dengan keyakinannya dianggap
suatu masalah. Berangkat dari pemaknaan
tentang agama yang dianutnya sebagai
kebenaran mutlak yang diyakini oleh setiap
pemeluk agama, sehingga menjadi sebab
terjadinya konflik.
Seyogyanya, pemeluk agama bukan hanya
membela akan agamanya yang paling benar,
tapi yang terpenting bagaimana dia menuju
kepada titik kebenaran dalam agamanya yang
sebenarnya. Berkaitan dengan hal ini, maka
perlu hadirnya suatu konsep pendidikan
multikultural yang berbasis pada pemanfaatan
keragaman yang ada di masyarakat. Pemaknaan pendidikan di sini, bukan sebatas pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga formal
(sekolah), namun penanaman pendidikan
multikultural sebenarnya sudah banyak
dilakukan di lembaga pendidikan pesantren.
Jurnal Pelopor Pendidikan
Menurut Ainurrafiq Dawam (2003:100)
pendidikan multikultural adalah proses pengembangan seluruh potensi manusia yang
menghargai pluralitas dan heterogenitasnya
sebagai konsekuensi keragaman budaya etnis,
suku dan aliran. Berangkat dari pemaknaan
tersebut, maka tidak adil apabila pembahasan
multikultural hanya pada hal-hal keragaman
agama saja. Seharusnya keragaman etnis dan
suku juga harus menjadi sorotan penting
dalam konteks multikultural Indonesia. Tidak
dapat dibantah lagi, salah satu konflik monumental yang pernah terjadi di Sambas
Kalimantan, bermula dari gesekan etnis
Madura-Dayak-Melayu yang kemudian meledak menjadi konflik nasional pada tahun
1999.
Etnisitas bisa berkembang menjadi sebuah
ideologi dimana masing-masing etnik berupaya memperjuangkan kepentingan etniknya. Daya juang etnik bisa dirasakan sangat
kuat apabila mereka merasakan atau menyadari adanya faktor-faktor eksternal yang
berupaya mengabaikan peran budaya,
berupaya untuk mendominasi etnik mereka,
atau berupaya merelatifkan nilai-nilai etnik
yang mereka agungkan. Oleh karena itu etnisitas dipandang sebagai fenomena dari
keangkuhan lokal yang mengarah pada
lunturnya sifat-sifat nasionalisme kebangsaan.
Disinilah diskursus dan implementasi
multikulturalisme menemukan tempatnya
yang berarti dan tentu saja pendidikan menjadi satu faktor penting. Pondok pesantren
memiliki tanggung jawab besar dan peran
strategis dalam mengembangkan pendidikan
Islam berwawasan multikultural. Hal ini
disebabkan karena pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan awal yang banyak
mencetak agamawan dan intelektual Muslim.
Dan lembaga ini secara emosional dan kultural
sangat erat kaitannya dengan masyarakat akar
rumput. Untuk itu, lulusan pondok pesantren
menjadi sangat strategis dalam perannya
mengembangkan pendidikan Islam yang
berwawasan multikultural.
Iwan Kuswandi
Atas dasar itu, menarik untuk diteliti sejauh
mana pondok pesantren telah melaksanakan
pembelajaran yang berwawasan multikultural
kepada para santrinya, yang setelah lulus
kelak akan berkiprah di tengah masyarakat
yang majemuk. Multikulturalisme di pesantren
sangat urgen untuk diteliti, mengingat lulusan
pesantren akan berkiprah di tengah masyarakat majemuk Indonesia yang mayoritas
penduduknya beragama Islam. Analisis tulisan
ini terfokus pada strategi pesantren untuk
mencetak manusia Indonesia Multi-kultur.
Lokasi penelitian ini di Pondok pesantren TMI
Al-Amien Prenduan Sumenep Madura.
B. Pondok pesantren sebagai lembaga
multi-kultur Indonesia
Dalam kehidupan manusia, agama berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat
norma-norma tertentu. Norma tersebut
menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan
bertindak agar sesuai dengan keyakinan
agama yang dianut. Sistem nilai ini akan
dipertahankan oleh manusia sebagai ciri khas.
Setiap diri manusia memiliki bentuk sistem
nilai tertentu, yang dianggap bermakna bagi
dirinya. Sistem nilai tersebut diperoleh melalui
proses belajar dan proses sosialisasi, baik
melalui interaksi dengan keluarga, teman,
institusi agama maupun masyarakat luas.
Lebih lanjut Emile Durkhreim dalam bukunya
The Elementary Forms of Relegious Life (1965)
menegaskan agama memiliki sifat sakral
sehingga mampu membangkitkan perasaan
kagum. Karena sifat sakral itu, agama memiliki
kekuatan memaksa dan mengatur tingkah laku
serta kekuatan untuk mengukuhkan nilai-nilai
moral kelompok pemeluk. Demikian juga
Schraf (1995:93) menambahkan bahwa agama
juga berfungsi sebagai pendukung dan pelestari masyarakat yang sudah ada.
Penanaman nilai-nilai keagamaan di
Indonesia, banyak dilakukan oleh lembaga
pesantren dalam rangka penanaman nilai-nilai
keislaman. Diskursus mengenai pendidikan
pesantren selalu menarik perhatian masyarakat. Hal ini disebabkan oleh nature pen-
didikan pesantren sendiri yang multidimensi.
pesantren adalah lembaga tafaqquh fid-din,
tempat mengakaji agama (din). Karena din
adalah kehidupan, maka pesantren bukan
hanya lembaga pendidikan yang mengkaji
ilmu-ilmu keislaman yang disertai penanaman
moralitas (akhlaq) kepada santrinya tetapi
juga lembaga pendidikan tentang kehidupan
(Tidjani Djauhari, 2008:ix). Di dalam pesantren
sekurangnya terdapat catur pusat pendidikan
(sekolah, rumah tangga, masyarakat, dan
masjid).
Pesantren merupakan sistem pendidikan
tertua di Indonesia saat ini. Lembaga ini telah
ada berkembang khususnya di tanah Jawa
sejak abad ke-17. Keberadaan pesantren
dalam sejarah Indonesia telah melahirkan
hipotesis yang barangkali memang telah teruji,
bahwa pesantren dalam perubahan sosial
bagaimanapun senantiasa berfungsi sebagai
“platform” penyebaran dan sosialisasi Islam.
Pesantren tidak hanya identik dengan makna
ke-Islam-an, tetapi juga mengandung makna
keaslian Indonesia (indigenous). Secara
paedagogis pesantren merupakan lembaga
pendidikan tradisional Islam yang bertujuan
untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan
pentingnya moral Islam sebagai pedoman
hidup bermasyarakat sehari-hari (Nurcholish
Madjid, 1997:107)
Sejak zaman penjajah, pondok pesantren
merupakan lembaga pendidikan yang tumbuh
dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, eksistensinya telah mendapat pengakuan masyarakat. Ikut terlibat dalam upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak hanya
dari segi moril, namun telah pula ikut serta
memberikan sumbangsih yang cukup signifikan dalam penyelenggaraan pendidikan.
Sebagai pusat pengajaran ilmu-ilmu agama
Islam (tafaqquh fiddin) telah banyak
melahirkan ulama, tokoh masyarakat, muballigh, guru agama yang sangat dibutuhkan
masyarakat (Depag, 2003). Hingga kini pondok
pesantren tetap konsisten melaksanakan
fungsinya dengan baik, bahkan sebagian telah
Volume 7, Nomor 1, Desember 2014
27
28
STRATEGI PESANTREN TMI AL-AMIEN
mengembangkan fungsinya dan perannya
sebagai pusat pengembangan masyarakat.
Dari hasil pengamatan dan kajian, para
pakar dan pemerhati pendidikan, keunggulan
sistem pendidikan pesantren ini telah diakui.
Produk pendidikan pesantren pun kini telah
banyak bermunculan menjadi tokoh penting
dalam berberbagai sektor pembangunan, dan
terbukti mampu memberi konstribusi sangat
besar bagi bangsa (Depag, 2003). Ditambah
lagi dengan adanya pengakuan persamaan
(akreditasi) pendidikan pondok pesantren oleh
dunia pendidikan baik dalam negeri maupun
luar negeri dan jalinan kerjasama antara
pondok pesantren dengan dunia international
yang terus eksis dengan mulus sampai
sekarang.
Pendidikan pesantren juga dapat
dikatakan sebagai modal sosial dan bahkan
soko guru bagi perkembangan pendidikan
nasional di Indonesia. Karena pendidikan
pesantren yang berkembang sampai saat ini
dengan berbagai ragam modelnya senantiasa
selaras dengan jiwa, semangat, dan kepribadian bangsa Indonesia yang mayoritas
beragama Islam. Maka dari itu, sudah sewajarnya apabila perkembangan dan pengembangan pendidikan pesantren akan
memperkuat karakter sosial sistem pendidikan
nasional yang turut membantu melahirkan
Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia yang
memiliki kehandalan penguasaan pengetahuan dan kecakapan teknologi yang
senantiasa dijiwai nilai-nilai luhur keagamaan(Masyhud, dkk., 2003:9). Pada akhirnya,
sumber daya manusia yang dilahirkan dari
pendidikan pesantren ini secara ideal dan
praktis dapat berperan dalam setiap proses
perubahan sosial menuju terwujudnya tatanan
kehidupan masyarakat yang paripurna.
Di tengah kondisi yang demikian, dimana
masyarakat semakin diperkenalkan dengan
perubahan-perubahan baru, eksistensi
lembaga pendidikan pesantren tetap saja
menjadi alternatif bagi pelestarian ajaran
agama Islam. Pesantren justru tertantang
untuk tetap survive dengan cara menempatkan
Jurnal Pelopor Pendidikan
dirinya sebagai lembaga yang mampu bersifat
adaptatif menerima dinamika kehidupan. Hal
ini karena pesantren didukung oleh sistem
pendidikan yang tidak semata-mata bertujuan
untuk transformasi ilmu pengetahuan, tetapi
juga meningkatkan dan meninggikan moral,
melatih dan mengajarkan sikap dan tingkah
laku yang jujur dan bermoral, serta menyiapkan anak didik untuk hidup sederhana dan
bersih hati. Juga adanya kemungkinan ideal
pesantren yang mengambil posisi sebagai
pengemban amanat ganda, yaitu amanat
keagamaan dan amanat ilmu pengetahuan
(Nurcholish Madjid, 1997).
Realitas di atas menunjukkan bahwa
perkembangan pesantren terus menapaki
tangga kemajuan, bahkan ada kecendrungan
menunjukkan trend, di sebagian pesantren
telah mengembangkan kelembagaannya
dengan membuka sistem madrasah, sekolah
umum, dan diantaranya ada yang membuka
semacam lembaga pendidikan kejuruan
seperti bidang pertanian, peternakan, teknik
dan sebagainya (Hanun Asrahah, 1999:190).
Meskipun perjalanan pesantren terus mengalami fluktuasi perubahan, pada dataran
praktis pesantren tetap memiliki fungsi-fungsi
sebagai: (1) Lembaga pendidikan yang melakukan transfer dan transformasi ilmu-ilmu
agama (tafaqquh fiddin) dan nilai-nilai Islam
(Islamic values), (2) Lembaga keagamaan yang
melakukan kontrol sosial (social control), dan
(3) Lembaga keagamaan yang melakukan
rekayasa sosial (social engineering). Relevan
dengan peran pesantren pada zamannya,
Mastuhu, seorang guru besar pendidikan Islam
membagi fungsi pesantren menjadi tiga;
sebagai lembaga pendidikan, lembaga sosial,
dan lembaga penyiaran agama (T. Hasan & A.
Barizi, 2004:66).
C. Profil pondok pesantren TMI Al-Amien
Prenduan
Tarbiyatul Mu’allimien al-Islamiyah (TMI)
adalah lembaga pendidikan tingkat menengah
yang paling tua di lingkungan Pondok
Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN. TMI—
Iwan Kuswandi
dengan bentuknya yang sangat sederhana—
telah dirintis pendiriannya sejak pertengahan
tahun 1959 oleh Kiai Djauhari Chotib (pendiri
dan pengasuh pertama Pondok Pesantren AlAmien Prenduan). Selama kurang lebih 10
tahun, Kiai Djauhari mengasuh lembaga ini di
lokasi Pondok Tegal sampai beliau wafat pada
bulan Juli 1970.
Setelah Kiai Djauhari wafat, usaha rintisan
awal ini pun dilanjutkan oleh putra-putra dan
santri-santrinya antara lain dengan melakukan
langkah-langkah pendahuluan sebagai
berikut: Pertama, membuka lokasi baru seluas
kurang lebih 6 ha, amal jariyah dari santrisantri Kiai Djauhari, yang terletak 2 km di
sebelah bara lokasi lama. Kedua, membentuk
“tim kecil” yang beranggotakan 3 orang (yaitu
K iai Muhammad T idjani Djauhari, K iai
Muhammad Idris Jauhari, dan Kiai Jamaluddin
Kafie), untuk menyusun kurikulum TMI yang
lebih representatif. Ketiga, mengadakan “studi
banding” ke Pondok Modern Gontor dan
pesantren-pesantren besar lainnya di Jawa
Timur, sekaligus memohon doa restu kepada
kiai-kiai sepuh pada saat itu, khususnya Kiai
Ahmad Sahal dan Kiai Imam Zarkasyi Gontor,
untuk memulai usaha pendirian dan
pengembangan TMI dengan sistem dan
paradigma baru yang telah disepakati.
Setelah melewati proses pendahuluan
tersebut, maka pada hari Jum’at, tanggal 10
Syawal 1391 atau 3 Desember 1971, TMI
(khusus putra) dengan sistem dan bentuknya
seperti yang ada sekarang secara resmi
didirikan oleh Kiai Muhammad Idris Jauhari,
dengan menempati bangunan darurat milik
penduduk sekitar lokasi baru. Dan tanggal
inilah kemudian yang ditetapkan sebagai
tanggal berdirinya TMI AL-AMIEN PRENDUAN.
Sedangkan TMI (khusus putri) atau yang
lebih dikenal dengan nama Tarbiyatul
Mu’allimaat al-Islamiyah (TMaI) dibuka secara
resmi 14 tahun kemudian, yaitu pada tanggal
10 Syawal 1405 atau 19 Juni 1985, oleh Nyai
Anisah Fatimah Zarkasyi, putri Kiai Zarkasyi
dan istri (alm) Kiai Tidjani Djauhari.
Visi TMI AL-AMIEN PRENDUAN sematamata untuk ibadah kepada Allah Swt., dan
mengharap ridlo-Nya (sebagaimana tercermin
dalam sikap tawadlu’, tunduk dan patuh kepada
Allah swt., dalam seluruh aspek kehidupan).
Mengimplementasikan fungsi Khalifah Allah
di muka bumi (sebagaimana tercermin dalam
sikap proaktif, inovatif, kreatif dan produktif).
Sedangkan misinya adalah mempersiapkan individu-individu yang unggul dan
berkualitas menuju terbentuknya umat terbaik
yang pernah dikeluarkan untuk manusia
(khairo ummah). Sebagai misi khususnya
adalah mempersiapkan kader-kader ulama
dan pemimpin umat (mundzirul qoum) yang
muttafaqih fid dien; yang memiliki kemauan
dan kemampuan untuk melaksanakan dakwah
ilal khair, ‘amar ma’ruf nahi munkar dan
indzarul qoum.
TMI adalah lembaga pendidikan tingkat
dasar dan menengah yang berarti setingkat
dengan Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah
Aliyah, atau dengan Sekolah Menengah
Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Umum
(SMU). Ada dua program pendidikan yang
ditawarkan TMI, yaitu:
Ø Program reguler (kelas biasa), untuk
tamatan SD/MI dengan masa belajar 6
tahun.
Ø Program intensif, untuk tamatan SMP/
MTs dengan masa belajar 4 tahun.
Selain kedua program tersebut, juga
dibuka program Kelas Persiapan atau Syu’bah
Takmiliyah, bagi mereka yang tidak lulus dalam
ujian masuk atau tidak memenuhi syaratsyarat minimal untuk duduk di kelas satu. Kelas
persiapan ini memiliki dua jenis program:
Syu’bah Tamhidiyah bagi tamatan SD/MI, dan
Syu’bah I’dadiyah bagi tamatan SMP/MTs.
Secara garis besar, materi atau subyek
pendidikan di TMI Al-AMIEN PRENDUAN
meliputi 7 (tujuh) jenis pendidikan, yaitu:
1. Pendidikan keimanan (aqidah dan
syariah).
2. Pendidikan kepribadian dan budi
pekerti (akhlak karimah)
Volume 7, Nomor 1, Desember 2014
29
30
STRATEGI PESANTREN TMI AL-AMIEN
3. Pendidikan kebangsaan, kewarganegaraan dan HAM.
4. Pendidikan keilmuan (intelektualitas).
5. Pendidikan kesenian dan keterampilan
vokasional (kestram).
6. Pendidikan olahraga, kesehatan dan
lingkungan (orkesling).
7. Pendidikan kepesantrenan (ma’hadiyat).
Ketujuh jenis pendidikan tersebut dijabarkan dalam bentuk beberapa Bidang
Edukasi (BE—bukan Bidang Studi) yang
diprogram sesuai dengan kelas atau tingkat
pendidikan yang ada dengan alokasi waktu
yang fleksibel. Kemudian sesuai dengan target
kompetensi yang harus dikuasai oleh santri,
maka Bidang Edukasi tersebut dikelompokkan
menjadi 2 kelompok kompetensi yaitu Kompetensi Dasar (Komdas) dan Kompetensi
Pilihan (Kompil).
Kompetensi Dasar (Komdas) adalah
kompetensi-kompetensi dasar umum yang
harus dikuasai oleh seluruh santri, tanpa
kecuali, sesuai dengan target yang telah
ditetapkan pada kelas-kelas tertentu. Komdas
ini meliputi 2 kelompok Bidang Edukasi, yaitu
Komdas A dan Komdas B. Komdas A meliputi
Ulum Tanziliyah ‘Studi Islam’ (Al-Qur’an wa
Ulumuhu, Al-Hadits wa Siroh Nabawiyah, Ilmu
Tauhid wal Akhlaq, dan Ilmu Fiqh wa
Ushuluhu), Ulum Wathoniyah ‘Kurikulum
Nasional’ (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Matematika dan Logika, Ilmu
Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial,
Bahasa dan Sastra Indonesia, Bahasa Inggris),
Ulum Ma’hadiyah ‘Kurikulum Kepesantrenan’
(Bahasa dan Sastra Arab, Ilmu-ilmu Pendidikan
dan Keguruan, Dasar-dasar Riset dan Jurnalistik).
Sedangkan Komdas B, mencakup 5 Bidang
Edukasi, yaitu Pendidikan Kepesantrenan,
Pendidikan Kepanduan dan Kebangsaan,
Pendidikan Olahraga, Kesehatan dan Lingkungan, Pendidikan Kesenian dan Keterampilan Vokasional, dan Pendidikan Khusus
Kewanitaan.
Jurnal Pelopor Pendidikan
Kompetensi Pilihan (Kompil) adalah
kompetensi-kompetensi khusus yang harus
dikuasai oleh santri-santri tertentu, sesuai
dengan bakat, minat, kecenderungan, dan
pilihannya masing-masing. Kompil ini meliputi
2 kelompok Bidang Edukasi, yaitu Kompil A
mencakup 4 jenis pilihan, yaitu ‘Ulum
Tanziliyah dan Bahasa Arab, Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam/Sains, Ilmu
Pengetahuan Sosial dan Bahasa Inggris,
Bahasa dan Sastra Indonesia.
Sedangkan Kompil B, mencakup 8 jenis
pilihan, yaitu Saka-saka dan Resus-resus
Pramuka, Klub-klub Penelitian dan Pengkajian
Ilmiah, Bahasa, Olahraga, Kesenian, Palang
Merah Remaja (PMR), Pecinta Alam dan
Lingkungan serta kursus-kursus keterampilan
dan kejuruan.
Struktur kelembagaan di TMI terdiri dari 3
unsur, yaitu Idarah Ammah, Idarah Ma’had dan
Idarah Marhalah. Idarah Ammah berfungsi
sebagai lembaga koordinatif yang mengkoordinir Idarah Ma’had Putra dan Putri.
Sedangkan Idarah Ma’had sebagai lembaga
koordinatif yang mengkoordinir idarah-idarah
marhalah yang ada di bawahnya, baik
Marhalah Syu’bah, Tsanawiyah, dan Aliyah
sekaligus bertanggung jawab terhadap
seluruh proses pelaksanaan pendidikan dan
pengajaran, baik di TMI Putra maupun di TMI
Putri. Masing-masing idarah memiliki fungsi
dan tugas yang saling terkait.
D. Pendidikan TMI, mencetak manusia
Indonesia multikultur
Hingga kini, telah tumbuh ribuan pesantren di Nusantara, yang secara garis besar
dapat diklasifikasi dalam dua sistem utama:
pesantren tradisional (salafiyah) dan
pesantren modern. Menurut Suwendi, bahwa
pesantren modern berarti pesantren yang
selalu tanggap terhadap perubahan dan
tuntutan zaman, berwawasan masa depan,
selalu mengutamakan prinsip efektifitas dan
efisiensi, dan sejenisnya. Namun Suwendi
(1999:217) memberikan batasan-batasan atas
Iwan Kuswandi
modernisasi pesantren. Menurutnya, modernisasi pesantren tidak harus mengubah atau
mereduksi orientasi dan idealisme pesantren.
Demikian pula, nilai-nilai pesantren tidak perlu
dikorbankan demi proyek modernisasi
pesantren.
Pada permulaan abad ke-20 terjadi
beberapa perubahan dalam Islam di Indonesia
yang dalam garis besarnya dapat digambarkan
sebagai kebangkitan, pembaharuan, bahkan
pencerahan (renaissance). Dalam menyikapi
modernisasi pendidikan Islam, maka pesantren di Jawa melakukan suatu pembaharuan. Salah satu pesantren modern di
Madura adalah pondok pesantren Al-Amien
Prenduan, yang merupakan pondok pesantren
yang serupa tapi tidak sama 100% dengan
pondok modern Darussalam Gontor Ponorogo.
Dalam konteks pondok modern, pendidikan
multikulturalisme sesungguhnya telah
menjadi pendidikan dasar yang tidak hanya
diajarkan dalam pengajar formal di kelas saja.
Tapi juga dilakukan dalam kehidupan seharihari santri. Pendidikan formal multikulturalisme diwujudkan dalam perpaduan nilai
keislaman, keindonesiaan, kepesantrenan dan
kejuangan (Jauhari, tt:3-4). Sistem pengajaran
di pondok modern yang didominasi bahasa
asing (Arab dan Inggris) sebagai pengantar,
tidak melunturkan semangat pendidikan
multikulturalisme anak didik (santri). Karena
materi ini ditempatkan sebagai materi primer
dan harus diajarkan dengan medium bahasa
Indonesia pula.
Sistem pendidikan multikultur yang
menyatu dalam aturan dan disiplin di pondok
pesantren TMI Al-Amien Prenduan. Salah
satunya dalam urusan penempatan pemondokan (asrama) santri. Di pondok modern,
tidak diberlakukan penempatan permanen
santri di sebuah asrama. Dalam arti, seluruh
santri harus mengalami perpindahan sistematis ke asrama lain, guna menumbuhkan jiwa
sosial mereka terhadap keragaman. Perpindahan asrama santri terjadi setiap
semester. Hal ini ditujukan untuk memberi
variasi kehidupan bagi para santri, juga
menuntun mereka memperluas pergaulan dan
membuka wawasan mereka terhadap aneka
tradisi dan budaya santri-santri lainnya.
Penempatan santri tidak didasarkan pada
daerah asal atau suku. Bahkan, penempatan
telah diatur sedemikian rupa oleh pengasuh
pondok, dan secara maksimal diupayakan
kecilnya kemungkinan santri-santri dari daerah
tertentu menempati sebuah kamar yang sama.
Ketentuan yang diberlakukan, satu kamar
maksimal tidak boleh dihuni oleh 3 orang lebih
santri asal satu daerah. Upaya ini untuk melebur semangat kedaerahan mereka ke dalam
semangat yang lebih universal.
Di samping itu, agar santri juga dapat
belajar kehidupan bermasyarakat yang lebih
luas, berskala nasional, bahkan internasional
bersama para santri mancanegara. Namun,
penerapan pola pendidikan ini, tidak berarti
menafikan unsur daerah. Karena unsur
kedaerahan telah diakomodir dalam kegiatan
daerah yang disebut “konsulat”, yang
ketentuan organisasi dan kegiatannya telah
diatur, khususnya untuk diarahkan menolaknya
menjadi sumber fanatisme kedaerahan.
Untuk tetap mengenalkan budaya daerah
asal santri, di TMI Al-Amien Prenduan, setiap
jum’at malam, digelar acara dinamika
konsulat. Dalam acara ini dilombakan
demontrasi keunikan khazanah dan budaya
tempat domisili asal santri, baik berupa drama
kolosal yang bertemakan budaya nusantara,
lomba dongeng cerita rakyat, tari daerah, dan
lomba fashion show pakaian daerah masingmasing. Semua santri diwajibkan terlibat
dalam kegiatan ini. Kegiatan kedaerahan
lainnya, biasanya diadakan dalam acara apel
tahunan yang menampilkan budaya setiap
daerah dari Provinsi Nangro Aceh Darussalam
sampai ke Provinsi Papua.
Pendidikan multikulturalisme lainnya
dalam intensitas pendidikan pondok modern
adalah diberlakukannya aturan mengikat yang
melarang santri berbicara menggunakan
bahasa daerah. Selain bahasa utama Arab dan
Inggris, ketika masuk lingkungan pondok santri
hanya dibolehkan berbicara bahasa Indonesia
Volume 7, Nomor 1, Desember 2014
31
32
STRATEGI PESANTREN TMI AL-AMIEN
dalam beberapa kesempatan dan kepentingan.
Pendisiplinan santri dalam pendidikan
multikulturalisme lewat bahasa ini sangat
ketat. Bagi santri yang melanggarnya akan
diberi hukuman bervariasi yang edukatif.
Dalam hal kurikulum, di TMI Al-Amien
Prenduan diajarkan kepada para santri yang
sudah senior (kelas Lima TMI atau setara
dengan kelas Dua Aliyah) diajarkan materi
Muqaranat al-Adyan (Perbandingan Agama)
yang konten luasnya memaparkan sejarah,
doktrin, isme, fenomena dan dinamika
keagamaan di dunia. Materi ini sangat
substansial dalam pendidikan multikulturalisme, karena santri diberi wawasan berbagai
perbedaan mendasar keyakinan agama mereka
(Islam) dengan agama-agama lain di dunia.
Materi ini sangat potensial membangun
kesadaran toleransi keragaman keyakinan
yang akan para santri temui saat hidup bermasyarakat kelak. Tidak hanya perbanding-an
agama yang diajarkan, tapi di TMI Al-Amien
Prenduan, juga diajarkan tentang perbandingan madzhab dalam fiqh (kitab
Bidayatul Mujtahid, Karya Ibn Rusyd) yang
merupakan kitab perbandingan madzhab fiqih
Islam. Sehingga diharapkan ketika santri hidup
di tengah-tengah masyarakat, bisa dan mampu
hidup dengan harmonis walaupun berbeda
dalam hal pemahaman dan praktek fiqih. Selain
itu, diharapkan santri setelah lulus dan hidup
di tengah-tengah masyarakat, bisa hidup
harmonis dan mau menerima segala macam
keanekaragaman.
E. Penutup
Islam sebagai agama yang menjadi rahmat
bagi alam semesta tidak hanya mengatur
toleransi antar umat beragama, tetapi juga
mengatur toleransi dalam masyarakat yang
lebih luas yang disebut multikultural. Kehidupan beranekaragam, baik dari etnis, suku
dan agama merupakan sesuatu yang lumrah
dalam masyarakat Indonesia. Pendidikan yang
berparadigma multikultural mengajarkan
manusia untuk menghargai dan menjunjung
tinggi keragaman budaya, etnis, suku, dan
Jurnal Pelopor Pendidikan
aliran (agama). Pondok pesantren merupakan
salah satu pendidikan tertua yang ada di
Indonesia, memiliki peran dalam hal pendidikan multikultural di Indonesia.
Pondok pesantren TMI Al-Amien Prenduan
merupakan salah satu pondok pesantren di
Madura, memiliki strategi untuk mencetak
manusia Indonesia yang multikultur. Beberapa
strategi yang ada di TMI Al-Amien Prenduan
diantaranya regulasi penempatan asrama
santri, yang setiap kamarnya terdiri dari
seluruh wilayah nusantara (tidak ada kamar
khusus, dengan daerah suku tertentu). Selain
itu, bahasa pengantar komunikasi harian santri
dengan menggunakan bahasa Arab, Inggris
dan Indonesia. Sangat dilarang menggunakan
bahasa daerah. Selain itu, dalam muatan
kurikulum, santri diajarkan perbandingan
agama (adyan) dan perbandingan madzhab
fiqih (Bidayatul Mujtahid), sehingga diharapkan akan melahirkan santri yang siap
menerima perbedaan, setelah hidup di tengahtengah masyarakat.[]
DAFTAR PUSTAKA:
Amstrong, Karen. 2000. Berperang demi
Tuhan: Fundamentalisme dalam
Islam. Kristen dan Yahudi. (terjemah
Satrio, dkk). Bandung: Mizan.
Asrahah, Hanun. 1999. Sejarah Pendidikan
Islam. Jakarta: PT. Logos Wacana
Ilmu.
Dawam, Ainurrafiq. 2003. Emoh Sekolah:
Menolak komersialisasi pendidikan
dan kanibalisme intelektual menuju
pendidikan multikultural. Yogyakarta:
Inspeal Press.
Depag RI. 2003, Pola Pembelajaran di
Pesantren. Jakarta: Ditjen Binbaga
Islam.
Djauhari, Tidjani. 2008. Masa Depan
Pesantren Agenda yang Belum
Terselesaikan, Jakarta: Taj Publishing.
............................, 2008. Pendidikan Untuk
Kebangkitan Islam, Jakarta: Taj
Publishing.
Iwan Kuswandi
Hasan, T. & Barizi, A. 2004. Membuka Jendela
Pendidikan: Mengurai Tradisi dan
Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam.
Jakarta: PT . Raja Grafindo Persada.
Masyhud dkk. 2003. Manajemen Pondok
Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka.
Madjid, Nurcholish. 1997. Bilik-bilik
Pesantren Sebuah Potret Perjalanan,
Jakarta: Paramadina.
Scharf, Betty R. 1995. Kajian Sosiologi Agama,
Terj. M. Husein. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Suparlan, Parsudi. 2002. Menuju Masyarakat
Indonesia yang Multikultural.
Keynote Adress Simposium III
Internasional Jurnal Antropologi
Indonesia, Universitas Udayana,
Denpasar, Bali 16-19 Juli 2002.
Siradj, Said Aqiel (ed.). 1999. Pesantren Masa
Depan: Wacana Pemberdayaan dan
Tranformasi Pesantren, ed. Bandung:
Pustaka Hidayah.
Volume 7, Nomor 1, Desember 2014
33
34
STRATEGI PESANTREN TMI AL-AMIEN
Pondok Pesantren TMI Al-Amien Prenduan merupakan salah
satu pondok pesantren di Madura yang memiliki strategi
untuk mencetak manusia Indonesia yang multikultur
Jurnal Pelopor Pendidikan
Download