Ringkasan matematika - DEVI WAHYUNI SIMANJUNTAK

advertisement
FILSAFAT ILMU DAN LOGIKA
MATEMATIKA
“Matematika Sebagai Bahasa”
Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari penyataan
yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat “artifisial” yang baru
mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan padanya.
Matematika adalah bahasa berusaha untuk menghilangkan sifat kubur, majemuk
emosional dari bahasa verbal.
“Sifat Kuantitatif dari Matematika”
Matematika mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk
melakukan pengukuran secara kuantitatif.
Penjelasan dan ramalan yang diberikan oleh bahasa verbal tidak bersifat eksak,
menyebabkan daya prediksi dan kontrol ilmu kurang cermat dan tepat. Untuk mengatasi
masalah ini matematika mengembangkan konsep pengukuran.
Pernyataan Ilmiah yang berupa pernyataan kualitatif seperti “Sebatang logam jika
dipanaskan akan memanjang” dapat diganti dengan pernyataan matematik yang lebih eksak
umpamanya:
Pᵼ = Pₒ (1 + ђt)
Dimana Pᵼ merupakan panjang logam pada temperatur t, Pₒ merupakan panjang logam
tersebut pada temperatur nol dan ђ merupakan koefisien pemuai logam tersebut.
Sifat kuantitatif matematika ini meningkatkan daya prediktif dan kontrol dari ilmu.
Ilmu memberikan jawaban yang lebih bersifat eksak yang memungkinkan pemecahan
masalah secara lebih tepat dan cermat. Metematika memungkinkan ilmu mengalami
perkembangan dari tahap kualitatif ke kuantitatif.
Pada dasarnya matematika diperlukan oleh semua disiplin keilmuan untuk meningkatkan
daya prediksi dan kontrol dari ilmu tesebut.
“Matematika : Sarana Berfikir Deduktif”
Berfikir deduktif adalah proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan kepada
premis-premis yang kebenarannya telah ditentukan.
Untuk menghitung jumlah sudut dalam segitiga kita mendasarkan kepada premis bahwa
kalau terdapat dua garis sejajar maka sudut-sudut yang dibentuk kedua garis sejajar tersebut
dengan garis ketiga adalah sama. Premis yang kedua adalah bahwa jumlah sudut yang
dibentuk oleh sebuah garis lurus adalah 180 derajat.
Dengan demikian maka secara deduktif dapat dibuktikan bahwa jumlah sudut-sudut dalam
sebuah segitiga adalah 180 derajat. Secara deduktif ini sungguh sangat berguna dan
memberikan kejutan yang sangat menyenangkan.
“Perkembangan Matematika”
Ilmu dapat dibagi dalam tiga tahap yakni tahap sistematika, komparatif dan kuantitatif.
Pada tahap sistematika maka ilmu mulai menggolong-golongkan obyek empiris kedalam
kategori-kategori tertentu. Penggolongan ini memungkinkan kita untuk menemukan ciri-ciri
yang bersifat umum dari anggota-anggota yang menjadi kelompok tertentu. Ciri-ciri yangb
bersifat umum ini merupakan pengetahuan bagi manusia dalam mengenali dunia fisik. Dalam
tahap yang kedua ini kita mulai melakukan perbandingan antara obyek yang lain, kategori
yang satu dengan kategori yang lain, dan seterusnya.
Pada tahap kuantitatif dimana kita mencari hubungan sebab akibat, tidak lagi
berdasarkan perbandingan melainkan berdasarkan pengukuran yang eksak dari obyek yang
kita selidiki. Bahasa verbal berfungsi dengan baik dalam kedua tahap yang pertama namun
dalam tahap yang ketiga maka pengetahuan membutuhkan matematika. Lambang-lambang
matematikan bukan saja jelas namun juga eksak dengan mengandug informasi tentang obyek
tertentu dalam dimensi-dimensi pengukuran.
Matematika menurut Wittgenstein, tak lain adalah metode berfikir logis. Dan Bertrand
menyimpulkan “matematika adalah masa kedewasaan logika, sedangkan logika adalah masa
kecil matematika.”
Metematika pada garis besarnya merupakan pengetahuan yang disusun secara konsisten
berdasarkan logika deduktif.
Dinyatakan bahwa xⁿ + yⁿ = zⁿ dengan x, y, z dan n adalah bilangan bulat positif yang tidak
mempunyai jawaban bila n = 2. Atau dengan perkataan lain hanya bilangan 1 dan 2 yang
memenuhipersyaratan ini seperti 3¹ + 4¹ = 7¹ (penjumlahan biasa) dan 3² + 4² = 5².
Matematika merupakan pengetahuan yang bersifat rasional yang kebenarannya tidak
tergantung kepada pembuktian secara empiris. Penghitungan matematika bukanlah suatu
eksperimen. Wittgenstein membuktikan bahwa 2 X 2 = 4 merupakan suatu proses deduktif.
Menurut akal sehat sehari-hari, kebenaran matematika tidak ditentukan oleh pembuktian
secara empiris, melainkan kepada proses penalaran deduktif. Misalkan, Seseorang
memasukkan bebek 2 ekor pada pagi hari, dan pada siang hari dimasukkan 2 ekor bebek lagi,
dan pada malam hari dia akan mengharapkan jumlah bebek semuanya menjadi 4 ekor.
Griffits dan Howson (1974) membagi sejarah perkembangan matematika menjadi
empat tahap. Tahap pertama adalah peradaban Mesir Kuno dipergunakan dalam perdagangan,
pertanian, bangunan dan usaha mengontrol alam seperti banjir. Aspek praktis dari
matematika inilah yang merupakan tujuan utama. Tahap kedua dan ketiga berlangsung dalam
peradaban di Mesopotamia dan Babylonia, turut mengembangkan kegunaan praktis dari
matematika.
Dalam tahap keempat, peradaban Yunani memperhatikan aspek estetik dari
matematika. Peradaban Yunani meletakkan dasar matematika sebagai cara berpikir rasional.
Babak perkembangan matematika terjadi di Timur, sekitar tahun 1000, bangsa Arab, India
dan Cina mengembangkan ilmu hitung dan aljabar dan mendapatkan angka nol dan cara
penggunaan decimal, mengembangkan kegunaan praktis dari ilmu hitung dan aljabar
tersebut.
Zaman Renaissance yang meletakkan dasar bagi kemajuan matematika modern,
menemukan diantaranya kalkulus diferensial. Bagi dunia keilmuan matematika berperan
sebagai bahasa simbolik yang memungkinkan terwujudnya komunikasi yang cermat dan
tepat. Matematika dalam hubungannya dengan komunikasi ilmiah mempunyai peranan
ganda, kata Fehr, sebagai ratu matematika merupakan bentuk tertinggi dari logika, pelayan
matematika memberikan bukan saja sistem pengorganisasian ilmu yang bersifat logis, namn
juga pernyataan-pernyataan dalam bentuk model sistematik. Matematika bukan saja
menyampaikna informasi secara jelas dan tepat namun juga singkat.
Dalam bahasa matematik cukup ditulis dengan model yang sederhana sekali.
Matematika sebagai bahasa mempunyai cirri, sebagaimana dikatakan Morris Kline, bersifat
ekonomis dengan kata-kata. Matematika merupakan alat yang memungkinkan ditemukannya
serta dikomukasikannya kebenaran ilmiah lewat berbagai disiplin keilmuan. Kriteria
kebenaran dari matematika adalah konsistensi dari berbagai postulat, definisi dan berbagai
aturan permainan lainnya. Matematika sendiri tidak bersifat tunggal, seperti juga logika,
melainkan bersifat jamak.
Matematika bukanlah merupakan pengetahuan mengenai obyek tertentu melainkan
cara berpikir untuk mendapatkan pengetahuan tersebut. Postulat Euclid dalam bidang
mekanika klasik Newton jelas bahwa ilmu ukur non-Euclid ini tidak dapat dipakai.
Pengkajian mengenai alam semesta, di mana cahaya menjadi garis lengkung bersama tarikan
gravitasi dan jarak terdekat antara dua obyek tidak lagi merupakan garis lurus, maka harus
berpaling kepada ilmu non-Euclid. Kedua sistem ilmu ukur ini berlaku tergantung dari
prostulat yang dipergunakannya.
“Beberapa Aliran dalam Filsafat Matematika”
Immanuel Kant (1724 – 1804) yang berpendapat bahwa matematika merupakan
pengetahuan yang bersifat sinetik apriori dimana eksistensi dimana eksistensi matematika
tergantung dari pancaindera. Aliran yang disebut logistik berpendapat bahwa matematika
merupakan cara berpikir logis yang salah satu atau benarnya dapat ditentukan tanpa
mempelajari dunia empiris.
Tesis utama kaum logistik adalah bahwa matematika murni merupakan cabang dari
logika, tesis ini dikembangkan oleh Gottlob Frege (1848 – 1925 ) menyatakan bahwa hukum
bilangan (the law of number) dapat direduksikan ke dalam proposisi-proposisi logika. Russel
dan Whitehead (Principia Mathematica), membuktikan bahwa matematika seluruhnya dapat
direduksikan ke dalam proposisi logika.
Kaum formalis menyatakan bahwa konsep matematika dapat direduksikan menjadi
konsep logika, dan banyak masalah-masalah dalam bidang logika yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan matematika. Matematika merupakan pengetahuan tentang struktur
formal dari lambang, dan menekankan kepada aspek formal dari matematika sebagai bahasa
perlambang (sign-language) serta penggunaan matematika sebagai bahasa lambang.
Frege menyatakan bahwa bilangan adalah pengertian rasional yang bersifat apriori,
yang memandang jauh ke dalam struktur hakikat bilangan yang disebut juga “mata
penalaran” (the eye of reason) . Kaum intuisionis, diwakilkan Brouwer, menyatakan bahwa
intuisi murni dari berhitung merupakan titik tolak tentang matematika bilangan. Hakikat
sebuah bilangan harus dapat dibentuk melalui kegiatan intuitif dalam berhitung (counting)
dan menghitung (calculating).
George Cantor (1845 – 1918) menyatakan bahwa lebih banyak bilangan nyata (real
number) dibandingkan bilangan asli (natural number) ditolak oleh kaum intuisionis.
Perkembangan matematika memberi inspirasi kepada aliran-aliran lainnya dalam titik-titik
pertemuan yang disebut Black sebagai kompromi yang bersifat eklektik (eclectic
compromise). Kaum logistik mempergunakan sistem simbol yang diperkembangkan oleh
kaum formalis dalam kegiatan analisisnya. Kaum intuisionis mempelajari matematika dalam
perspektif kebudayaan, yang memungkinkan diperkembangkannya filsafat pendidikan
matematika yang sesuai dan memperkukuh matematika sebagai sarana kegiatan berpikir
deduktif.
“Matematika Dan Peradaban”
Matematika dapat dikatakan hampir sama tuanya dengan peradaban manusia itu
sendiri. Sekitar 3500 tahun SM bangsa Mesir Kuno telah mempunyai simbol yang
melambangkan angka-angka. Para pendeta mereka merupakan ahli matematika yang pertama,
dan dengan sengaja menyembunyikan pengetahuan tentang matematika untuk
mempertahankan kekuasaan mereka. Karena dalam anggapan tradisional “Monopoli Atas
Informasi Merupakan Sumber Kekuasaan”. Informasi itu dengan demikian tidak diberikan
kepada pihak-pihak lain yang membutuhkan.
Matematika merupakan bahasa artifisial yang dikembangkan untuk menjawab
kekurangan bahasa verbal yang bersifat alamiah. Matematika makin lama makin bersifat
abstrak dan esoterik. Tanpa matematika pengetahuan akan berhenti pada tahap kualitatif yang
tidak memungkinkan untuk meningkatkan penalarannya lebih jauh.
Dalam bidang keilmuan modern, matematika adalah sesuatu yang imperatif; sarana
untuk meningkatkan kemampuan penalaran deduktif. Suatu bidang keilmuan, apapun juga
bidang pengkajiannya, bila telah menginjak kedewasaan mau tidak mau akan bersifat
kuantitatif. Lewat pengkajian kualitatif dan kuantitatif ilmiah inilah, ilmu sampai kepada
pengetahuan yang dewasa.
Pernyataan Bertrand Russell tentang hubungan antara logika dan matematika,
menyatakan “Ilmu Kualitatif Adalah Masa Kecil Dari Ilmu Kuantitatif, Ilmu Kuantitatif
Merupakan Masa Dewasa Ilmu Kualitatif”, ilmu yang sehat adalah terus tumbuh dan
mendewasa. Kerangka pemikiran seorang ilmuwan bagaimana rumit dan dalamnya
seyogyanya mampu dikomunikasikan dengan kata-kata yang sederhana.
Angka tidak bertujuan menggantikan kata-kata; pengukuran sekedar unsur dalam
menjelaskan persoalan yang menjadi pokok analisis utama. Teknik matematika yang tinggi
bukan merupakan penghalang mengkomunikasikan pernyataan yang dikandungnya dalam
kalimat-kalimat yang sederhana. Fondasi dasar dari tiap pengetahuan; apakah itu ilmu,
filsafat atau agama semuanya mempunyai karakteristik yang sama: sederhana dan jelas;
transparan.
Sumber: Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: 2009.
Nama
: Devi Wahyuni Simanjuntak
Nim
: 2013-91-011
Seksi
: 03
Dosen
: Bpk. Mulyo
Download