tinjauan pustaka

advertisement
2
faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran mikosis kutis sehingga dapat
memutus rantai infeksi dengan manajemen perawatan hewan kesayangan yang
tepat, dan memberikan informasi mengenai cara pengobatan hewan yang
terinfeksi mikosis kutis.
TINJAUAN PUSTAKA
Mikosis pada Kucing dan Anjing
Mikosis adalah penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan jamur (fungi)
baik di dalam maupun permukaan tubuh. Diantara penyakit tersebut yang paling
umum ditemukan adalah ringworm, sporotrichosis, dan aspergillosis (Boden
2005). Mikosis dapat digolongkan dalam beberapa kelompok: mikosis superfisial
(superficial phaeohyphomycosis, tinea versicolor, black piedra, white piedra),
mikosis
kutis
(dermatofitosis,
dermatomikosis),
mikosis
subkutis
(chromoblastomycosis, rhinosporidiasis, mycetoma, sporotrichosis, subcutaneous
phaeohyphomycosis, lobomycosis), mikosis sistemik (deep) seperti blastomycosis,
histoplasmosis, coccidiomycosis, paracoccidiomycosis; mikosis oportunis
(candidiasis, cryptococcosis, aspergillosis), mikosis lain (otomycosis,
occulomycosis), alergi terhadap fungi, mycetism dan mikotoksikosis (Rao, 2006).
Bagan klasifikasi mikosis dapat dilihat pada Gambar 1.
Interaksi kompleks antara faktor virulensi jamur dengan faktor pertahanan
inangnya akan menentukan apakah infeksi jamur akan menimbulkan gejala klinis
atau tidak. Infeksi bergantung pada ukuran inokulum dan sistem imunitas secara
keseluruhan dari inang. Beberapa faktor virulensi (patogenitas) yang dimiliki oleh
jamur adalah mampu menempel dengan sel inang melalui glikoprotein pada
dinding sel, memproduksi kapsula yang mampu menahan fagositosis,
memproduksi sitokin yang disebut Granulocyte Macrophage-Colony Stimulating
Factor (GM-CSF), contohnya pada spesies Candida albicans yang menekan
produksi komplemen, kemampuan menarik zat besi dari eritrosit (C. albicans),
kemampuan mencederai inang dengan sekresi enzim keratinase, elastase dan
kolagenase, pertahanan terhadap sel fagosit seperti pada jamur dimorfik, sekresi
mikotoksin, memiliki kapasitas enzimatik yang unik, ketahanan terhadap
perubahan suhu, kemampuan menahan pertahanan sistem sel mediator imun milik
inang, dan permukaan yang hidrofobik (Kurtdede et al., 2007).
Faktor pertahanan yang dimiliki oleh inang (Charmette et al., 2008) antara
lain adalah pelindung fisik yaitu kulit dan membran mukus, asam lemak yang
terkandung dalam kulit, pH dari kulit, permukaan mukus dan cairan tubuh,
pergantian sel-sel epitel, flora normal, pelindung kimiawi diantaranya sekreta dan
serum faktor, sebagian besar jamur adalah mesofil dan tidak dapat tumbuh pada
37°C, sel efektor natural (polimorf nuklear leukosit), dan sel-sel fagosit (monosit
dan makrofag). Faktor predisposisi dari infeksi jamur diantaranya adalah terapi
antibiotik yang panjang, penyakit yang mendahului (HIV, kanker, diabetes), usia,
prosedur operasi, obat-obatan imunosupresif, terapi radiasi, kateterisasi yang tidak
lege arts, obesitas, ketergantungan obat, transplantasi, aktivitas harian (DeBoer
dan Moriello, 2006).
3
Pemeriksaan secara klinis hewan yang diduga terinfeksi jamur dapat
dilakukan dengan beberapa metode. Untuk mendapatkan hasil yang akurat perlu
dilakukan sekurang-kurangnya dua metode pemeriksaan. Kecurigaan terhadap
dermatofitosis dapat diperiksa dengan metode antara lain superficial skin scrape,
trichogram, sitologi (tape preparation, impression smear, cotton bud swabs),
pemeriksaan dengan Wood’s lamp, dan dermatophyte culture (Taylor, 2010).
Superficial skin scrape dapat dilakukan pada anjing atau kucing yang
mengalami pruritus (kegatalan) dan berkerak, dan diperkirakan ada infestasi dari
Cheyletiella spp., Otodectes cynotis, Scabies scabiei, Notoedres cati, dan
Demodex cati/canis. Trichogram digunakan pada hewan yang mengalami alopesia
atau dicurigai terinfeksi dermatofitosis dengan gejala klinis disertai papula,
pustula, atau keropeng (crust). Teknik ini dilakukan dengan mencabut beberapa
helai rambut dan mengevaluasi fase rambut tersebut telogen atau anagen. Kedua
fase tersebut dapat mengarah kepada suatu kausa penyebab alopesia (Mueller,
2000). Pemeriksaan sitologi sangat baik digunakan untuk melihat jenis sel yang
muncul pada suatu lesio atau mikroorganisme yang hadir sebagai agen penyebab
infeksi (Taylor, 2010).
superfisial
kutis
subkutis
mikosis
sistemik
(deep)
oportunistik
alergi
dermatofitosis
dermatomikosis
chromoblastomycosis
rhinosporidiasis
mycetoma
sporotrichosis
subcutaneous
phaeohyphomycosis
lobomycosis
blastomikosis
histoplasmosis
coccidiomycosis
paracoccidiomycosis
candidiasis
cryptococcosis
aspergillosis
mycetism dan
mikotoksikosis
mikosis lain
otomycosis
occulomycosis
Gambar 1 Klasifikasi mikosis menurut Rao (2009)
4
Wood’s lamp sebagai Instrumen Diagnostik Dermatologi
Wood’s lamp dibuat pertama kali pada tahun 1903 oleh seorang fisikawan
dari Baltimore yang bernama Robert W. Wood. Alat ini pertama kali digunakan
untuk memeriksa jamur pada praktek dermatologi pada tahun 1925 oleh Margarot
dan Deveze. Wood’s lamp mengeluarkan radiasi ultraviolet (UV) bergelombang
panjang yang dihasilkan dari merkuri bertekanan tinggi yang disaring dengan
senyawa barium silikat dengan 9% nikel oksida, disebut penyaring Wood’s.
Penyaring ini tidak tembus oleh semua jenis cahaya kecuali yang memiliki berkas
antara 320 – 400 nm dengan puncak 365 nm. Fluoresensi jaringan terjadi ketika
cahaya UV diserap dan radiasi gelombang yang lebih panjang dipancarkan, yang
biasanya merupakan cahaya tampak. Fluoresen pada permukaan kulit normal
tampak sangat lemah atau tidak ada sama sekali, sebagian besar disebabkan oleh
senyawa konstituen elastin, asam amino aromatik dan prekursor atau produk
melanin (Gupta dan Singhi, 2004).
Panjang gelombang cahaya UV yang digunakan Wood’s lamp adalah 253,7
nm. Wood’s lamp harus dinyalakan 5-10 menit terlebih dahulu sebelum digunakan
karena panjang gelombang dipengaruhi oleh suhu. Metabolit spesifik pada
dermatofit yang menimbulkan fluoresen di bawah Wood’s lamp belum
teridentifikasi secara pasti namun diduga merupakan senyawa pteridin atau sebuah
metabolit dari triptopan (Angus et al., 2004).
Pendar fluoresen yang tampak dibawah Wood’s lamp dapat berbeda-beda.
Umumnya kulit normal tidak menunjukkan pendar di bawah paparan cahaya UV.
Warna kuning emas menunjukkan infeksi Tinea versicolor, hijau pucat
menunjukkan infeksi Trichophyton schoenleini, kuning kehijauan terang
(Microsporum audouini atau M. canis), aquagreen sampai biru (Pseudomonas
aeruginosa), merah muda sampai oranye (Porphyria cutanea tarda), abu bercak
berbentuk daun (Tuberous sclerosis), biru keputihan (leprosy), putih pucat
(hipopigmentasi), ungu kecoklatan (hiperpigmentasi), putih terang atau biru
keputihan (depigmentasi atau vitiligo), putih cerah atau albinism (DJJ, 2001).
Keuntungan diagnosis dengan Wood’s lamp adalah waktu yang dibutuhkan
untuk mendapatkan hasil pemeriksaan singkat dan merupakan metode screening
test yang murah untuk dermatofitosis. Namun tidak adanya pendar hijau di bawah
Wood’s lamp tidak memastikan area kulit terbebas dari dermatofitosis.
Pemeriksaan dengan menggunakan Wood’s lamp memiliki spesifisitas yang tinggi
(dapat mencapai 100% pada pengguna yang terlatih) namun sensitivitasnya
rendah, karena hanya sekitar 50% spesies dermatofita pada anjing dan kucing
menghasilkan fluoresen. Bakteri seperti Pseudomonas aeruginosa dan
Corynebacterium minutissimum, scale, crust, sabun dan beberapa jenis obat oles
kulit juga dapat menghasilkan fluoresen namun tidak berwarna hijau lemon
(Angus et al., 2004).
METODE
Metode yang digunakan pada penelitian adalah studi kasus. Penelitian ini
dibagi kedalam dua tahap. Tahap yang pertama, data sekunder dari rekam medik
pasien Maximus Pet Care yang berobat pertama kali pada kurun waktu September
Download