2.2.3. Tipologi Pasar - Journal of Research and Applications

advertisement
Kebijakan Perdagangan Ritel Dan Dampaknya Bagi Peritel Tradisional
(Studi Kasus Pada Pemerintah Daerah Kota Malang)
Abstract:
Using both qualitative and quantitative methods, the objective of the study was to examine the main cause
of the decline in the business performance of traditional traders in Malang. The quantitative methods
were conducted using Difference in Difference (DiD), while qualitative method were using in-depth
interviews with several key informants. Results of the quantitative analysis shows that the elimination
of traditional traders were caused by several factors. Internally, the low quality of human resources, the
quality of management, the business strategy, the ability to master information technology were the main
obstacles for traditional retailers to grow and evolve. Secondly, the lack of legal protection in the form of
legislation that raises firm and harsh sanctions against violators of the regulation of the retail industry.
Third, the lack of political will of the local government to develop the traditional markets. It appears from
the lack of support and concern of the government in the area of physical development of traditional
markets. If support exist, sometimes are not in favor of the traders that is not conducive for the
development of traditional retailers.
I.
Latar Belakang
Ritel merupakan sektor industri yang sangat populer dan sudah mendominasi kehidupan
masyarakat Indonesia sejak dahulu kala. Dalam perkembangan ekonomi Indonesia, industri ritel (eceran)
merupakan industri yang sangat strategis, bahkan Aprindo (Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia) yang
selama ini banyak mewakili kepentingan peritel modern menyatakan bahwa sektor ritel merupakan sektor
kedua yang menyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia, dengan kemampuan menyerap sebesar 17,5 juta
orang di bawah sektor pertanian yang mencapai 40,5 juta orang (KPPU, 2012). Dengan pendapatan per
kapita penduduk Indonesia yang mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan (saat ini sekitar US$
3.542) serta jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 235 juta orang maka tidak mengherankan kalau
Indonesia memberikan peluang yang sangat menjanjikan untuk daya serap produk ritel. Artinya, dengan
membaiknya perekonomian Indonesia serta jumlah penduduk yang begitu besar maka daya beli dan
tingkat konsumsi masyarakat juga akan meningkat.
Potensi pasar yang begitu besar itulah yang juga menarik peritel asing/modern untuk membuka
gerainya di Indonesia dengan format hypermarket, supermarket dan minimarket, yang kini bertebaran di
kota-kota besar di Indonesia. Dengan gaya dan layanan modern, peritel besar ini mampu dengan cepat
menarik hati masyarakat untuk berbelanja disana. Dari website Data Consult (Business Research Studies
Report) diperoleh data bahwa selama periode 2007 – 2011, jumlah gerai ritel modern di Indonesia
mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan yaitu 17,57% pertahun. Pada tahun 2007, jumlah gerai
ritel modern hanya berjumlah 10.365 outlet sedangkan pada tahun 2011 tercatat sudah mencapai 18.152
outlet yang tersebar di kota-kota besar di Indonesia (www.wartaekonomi.co.id, April 2013). Sementara
gerai yang berbentuk hypermarket mengalami pertumbuhan lebih dari 50% dari 99 gerai menjadi 154
gerai (2007 – 2011). Pertumbuhan yang cukup signifikan ini juga disebabkan karena setiap pendirian
pusat perbelanjaan (mall) baru akan selalu disertai dengan pembukaan ritel besar yang menjadi anchor
tenant yang mampu menyedot minat pengunjung untuk datang ke pusat perbelanjaan tersebut. Akibatnya
jelas, eksistensi peritel tradisional maupun keberadaan pasar tradisional kian terjepit oleh ekspansi usaha
ritel modern.
Studi yang dilakukan oleh A.C. Nielsen (2009) menunjukkan bahwa pasar modern di Indonesia
tumbuh 31,4% per tahun, sementara pasar tradisional menyusut 8% per tahun. Hal ini menunjukkan
bahwa keberadaan ritel modern ini –pelan tapi pasti- sudah mulai menggeser pedagang kecil tradisional,
sehingga jumlah pedagang kecil di pasar-pasar tradisional menyusut terus. Hasil survei atas 51 kategori
produk kebutuhan sehari-hari (consumer goods) oleh AC Nielsen Indonesia (2009) menunjukkan bahwa
pangsa pasar tradisional sudah mulai termakan ritel modern. Artinya, keberadaan pasar modern yang
notabene lebih banyak dimiliki oleh peritel asing dan konglomerat lokal berpotensi menggantikan peran
pasar tradisional yang selama ini menjadi sumber penghidupan mayoritas masyarakat kecil yang
sebelumnya menguasai bisnis ritel di Indonesia. Secara faktual, ritel asing/ besar dan modern tidak hanya
membawa peluang namun juga ancaman, pertarungan yang tidak seimbang antara pedagang tradisional
dengan peritel raksasa. Inilah fenomena umum di era globalisasi saat ini.
Fenomena perkembangan bisnis ritel modern juga merambah kota Malang, kota kedua terbesar di
Propinsi Jawa Timur. Bisnis ritel/eceran di Malang berkembang sangat pesat, outlet-oulet baru sangat
gencar dibuka sehingga nampak sekali bahwa mereka ingin menguasai tidak hanya kota-kota besar saja
namun juga kota-kota lain, yang dianggap memiliki potensi ekonomi seperti Kota Malang. Dari
observasi singkat terlihat bahwa hampir di setiap pusat keramaian hadir pusat perbelanjaan modern asing
seperti Giant atau Hypermart dan Carrefour atau peritel lokal seperti Matahari Department Store (MDS)
dan Ramayana Department Store. Selain peritel modern skala besar tersebut, kehadiran peritel modern skala kecil- seperti Alfamart dan Indomart juga semakin menambah ketat persaingan, terlihat dari jarak
lokasi berdirinya bukan lagi kilometer atau ratusan meter, tapi hanya puluhan meter bahkan tidak jarang
saling berhadap-hadapan atau berdampingan.
Dengan latar belakang permasalahan itu maka, salah satu pertanyaan sentral yang hendak
dijawab melalui penelitian ini adalah bagaimana dampak maraknya pendirian ritel modern di kota Malang
terhadap kinerja pedagang dan pasar tradisional? Pertanyaan ini akan bisa dijawab dengan melihat
bagaimana pengaruh hadirnya pasar modern (supermarket dan hypermarket) di kota Malang terhadap
tingkat keuntungan dan omzet penjualan dari pedagang di pasar tradisional. Pertanyaan kunci lain yang
hendak dijawab dalam penelitian ini adalah apakah Pemerintah Kota Malang sudah cukup memberikan
iklim yang kondusif dalam mempertahankan eksistensi pasar tradisional? Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, akan dilakukan telaah terhadap semua kebijakan pemerintah kota Malang terkait pasar modern
dan masalah perlindungan terhadap pasar tradisional di kota Malang. Setelah mengkaji berbagai
fenomena dan permasalahan yang ada, pada akhir pembahasan akan disajikan rekomendasi kebijakan
yang perlu diterapkan terkait perlindungan terhadap eksistensi pasar tradisional, khususnya dalam
menghadapi era globalisasi yang ditandai dengan pesatnya pertumbuhan pasar modern di kota Malang.
II. Kajian Teori
2.1. Penelitian Terdahulu
Perkembangan industri ritel Indonesia kini semakin semarak dengan kehadiran peritel modern yang
telah ikut memberi warna tersendiri bagi perkembangan industri ritel di Indonesia. Menurut Ahmad
(2007), sejak retail modern menjadi bagian dari tatanan industri retail Indonesia, muncul persaingan yang
ketat antar pelaku usaha. Terdapat dua sisi negatif dari keberadaan ritel modern. Pertama, tersingkirnya
pelaku usaha retail kecil dari pasar akibat ketidak-mampuan bersaing dengan ritel modern. Kedua,
munculnya fenomena menguatnya kekuatan pasar (market power) ritel modern ketika berhadapan dengan
pemasok barang, yang berujung pada munculnya eksploitasi pemasok oleh pelaku usaha ritel modern.
Namun secara statistik, keberadaan supermarket tidak berpengaruh secara siginifikan terhadap
pendapatan dan keuntungan pasar tradisional, akan tetapi berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah
tenaga kerja di pasar tradisional (Suryadarma et al, 2007).
Menurut Suryadarma et al (2007), penyebab utama tersingkirnya pasar tradisional lebih banyak
disebabkan karena masalah-masalah internal mereka sendiri (buruknya manajemen pasar, sarana dan
prasarana pasar yang sangat minim, pasar tradisional sebagai sapi perah untuk penerimaan retribusi dll)
yang mana keadaan tersebut secara tidak langsung menguntungkan pasar modern. Sementara menurut
Mutebi (2007), yang menjadi daya tarik masyarakat untuk datang ke lokasi pasar modern adalah
kenyamanan, kemudahan akses dan parkir, jam buka yang panjang, harga yang kompetitif dan kualitas
serta pilihan produk yang banyak. Di pihak lain, Suryana et al (2008) menunjukkan bahwa globalisasi
dalam perdagangan dan sistim informasi, pertumbuhan yang cepat dari minimarket,
supermarket/hypermarket, pertumbuhan yang pesat pada outlet makanan cepat saji/restaurant, dan
pertumbuhan yang sangat cepat terhadap periklanan makanan telah merubah gaya hidup, program diet,
dan pola konsumsi makanan.
2.2.
Konsep, Tipologi dan Kebijakan Pedagang Eceran
2.2.1. Pengertian Pasar Tradisional
Pasar tradisonal adalah pasar yang dikelola secara sederhana dengan bentuk fisik tradisional yang
menerapkan system transaksi tawar menawar secara langsung dimana fungsi utamanya adalah untuk
melayani kebutuhan masyarakat baik di desa, kecamatan, dan lainnya (Sinaga,2008). Sebagian konsumen
pasar tradisional adalah masyarakat kelas menengah kebawah yang memiliki karakteristik sangat
sensitive terhadap harga. Ketika faktor harga rendah yang sebelumnya menjadi keunggulan pasar
tradisional mampu diruntuhkan oleh pasar modern, secara relative tidak ada alasan konsumen dari
kalangan menengah kebawah untuk tidak turut berbelanja ke pasar modern dan meninggalkan pasar
tradisional (Wildan, 2007).
Sementara pengertian pasar tradisional menurut Pepres RI No. 112/2007 adalah pasar yang
dibangun dan dikelola oleh Pemerintah. Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha
Milik Daerah, termasuk kerjasama swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang
dimiliki/ dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala
kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar-menawar.
2.2.2.
Pengertian Pasar Modern
Pasar Modern adalah pasar yang dikelola dengan manajemen modern, umumnya terdapat
diperkotaan, sebagai penyedia barang dan jasa dengan mutu dan pelayanan yang baik kepada konsumen
yang pada umumnya anggota masyarakat kelas menengah keatas. Pasar modern antara lain mall,
supermarket, department store, shopping centre, waralaba, toko mini swalayan, pasar serba ada, toko
serba ada dan sebagainya (Sinaga, 2008).
Barang yang dijual disini memiliki variasi jenis yang beragam. Selain menyediakan barang lokal,
pasar modern juga menyediakan barang impor. Barang yang dijual mempunyai kualitas yang relatif lebih
terjamin karena melalui proses seleksi yang ketat sehingga barang yang tidak memenuhi persyaratan
klasifikasi akan di tolak. Dari segi kuantitas, pasar modern umumnya mempunyai persediaan barang di
gudang yang terukur. Dari segi harga, pasar modern memiliki label harga yang pasti. Pasar modern juga
mmberikan pelayanan yang baik dengan adanya pendingin udara yang sejuk, suasana nyaman dan bersih,
display barang perkategori mudah dicapai dan relatif lengkap, informasi produk tersedia melalui mesin
pembaca, adanya keranjang belanja atau keranjang dorong serta ditunjang adanya kasir dan pramuniaga
yang bekerja secara profesional. Rantai distribusi pada pasar ini adalah produsen – distributor –
pengecer/konsumen.
Dalam pasar modern penjual dan pembeli tidak bertransaksi secara langsung. Pembeli melihat
label harga yang tercantum dalam bar code, berada dalam bangunan dan pelayanannya dilakukan secara
mandiri (swalayan) atau dilayani oleh pramuniaga. Barang- barang yang dijual, selain bahan makanan
seperti: buah, sayuran, daging, sebagian besar barang lainnya yang dijual adalah barang yang dapat
bertahan lama. Contoh dari pasar modern adalah pasar swalayan, hipermart, supermarket, dan
minimarket.
2.2.3.
Tipologi Pasar
Pasar merupakan tempat bertemunya pedagang (penjual) dan pembeli untuk melakukan transaksi
barang dan jasa. Dalam proses jual beli, pasar dapat dibedakan menurut kelas mutu pelayanan dan sifat
pendistribusiannya. Menurut kelas mutu pelayanannya, pasar dibedakan menjadi dua, yaitu pasar
tradisional dan pasar modern. Sedangkan menurut sifat pendistribusiannya, pasar dapat digolongkan
menjadi dua bagian pula, yaitu pasar eceran dan pasar perkulakan (grosir).Secara konseptual, tipologi
pasar tradisional-modern lebih mengacu pada bangunan fisik. Perbedaan karakteristik antara pasar
tradisional dengan pasar modern dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1: Perbedaan Karakteristik Pasar Tradisional Dengan Pasar Modern
NO
ASPEK
PASAR TRADISIONAL
PASAR MODERN
1.
2.
3.
4
Historis
Fisik
Kepemilikan/
kelembagaan
Modal
5.
Konsumen
6.
7.
8.
9.
Metode pelayanan
Status tanah
Pembiayaan
Pembangunan
10.
Pedagang
masuk
11.
Peluang masuk/
partisipasi
Jaringan
12.
yang
Evolusi panjang
Kurang baik, sebagian baik
Milik masyarakat/desa, pemda,
sedikit swasta
Modal
lemah/subsidi/swadaya
masyarakat/ Inpres dll
Umumnya golongan menengah
kebawah
Ciri dilayani, tawar menawar
Tanah negara, sedikit sekali swasta
Kadang-kadang ada subsidi
Pembangunan fisik umumnya oleh
pemda/ desa/ masyarakat
Beragam, massal, dari sektor
informal
sampai
pedagang
menengah dan besar
Bersifat massal pedagang kecil,
menengah bahkan besar)
Besar regional, pasar kota, pasar
kawasan
Fenomena baru
Baik dan mewah
Umumnya perorangan/ swasta
Modal kuat/ digerakkan oleh swasta
Umumnya golongan menengah keatas
Ada ciri swalayan, pasti
Tanah swasta/perorangan
Tidak ada subsidi
Pembangunan fisik umumnya oleh swasta
Pemilik modal juga pedagangnya (tunggal)
atau beberapa pedagang formal menengah
dan besar
Terbatas, umumnya pedagang tunggal atau
menengah atas
Sistem rantai korporasi nasional atau
bahkan terkait dengan modal luar negeri
(manajemen tersentralisasi)
Sumber: Kepmenperindag No. 23/MPP/Kep/1/1998
Perkembangan yang cukup besar pada pasar modern, mendorong pemerintah mengeluarkan
berbagai kebijakan untuk melindungi pedagang eceran ditingkat usaha kecil-menengah. Secara ringkas
berbagai kebijakan tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
21
TABEL 2.2:
Beberapa Peraturan Pemerintah Tentang Perdagangan Eceran
PERATURAN
TENTANG
URAIAN
DAMPAK BAGI UKM
Kepmendag
Nomor:
1458/Kep/XII/84
Surat
Ijin
1.
Usaha
2.
Perdagangan3.
(SIUP)
4.
Pembebasan ijin bagi pedagang
kecil dilematis
Sebaiknya harus ada ijin, tetapi
sangat mudah diperoleh oleh
pedagang kecil
SKB Menperindag dan
Mendagri
Nomor:
145/MPP/Kep/5/97
Nomor 57/1997
Penataan 1.
Pasar
dan
Pertokoan 2.
Perusahaan yang melakukan kegiatan perdagangan wajib memiliki SIUP
1.
SIUP diperoleh secara cuma-cuma dari Kanwil atau Kandepdag
Perusahaan kecil: modal < Rp 25 juta, menengah antara Rp 25 juta s/d Rp 100 juta, besar > Rp
2.
100 juta
Yang tidak wajib memiliki SIUP: (a) perusahaan cabang, (b) Perjan dan Perum, (c) perusahaan
kecil perorangan
Pendirian pasar modern di Dati II yang perkembangan kota dan ekonominya pesat, harus seijin
1.
Menperindag dan Mendagri
Pasar modern wajib melakukan kemitraan untuk mengembangkan UKM
2.
Kepmenperindag No:
420/MPP/kep/10/1997
Pedoman 1.
Penataan
Pasar
dan
2.
Pertokoan
Negative List1.
Keppres
nomor:
96/1998
Kepmenperindag No:

23/MPP/Kep/1/1998

Kelembagaan1.
Usaha
Perdagangan2.
Pengecer
3.
besar di Dati
4.
II
5.
6.
7.
8.
Kepmenperindag No:

107/MPP/Kep/2/1998
Pemberian 1.
Ijin
untuk
2.
Pasar Modern
3.
Sumber: Kompilasi dari berbagai sumber
Kemitraan pasar modern dengan UKM harus memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling
1.
memperkuat dan saling menguntungkan
Operasionalisasi kemitraan ditentukan oleh Tim
2.
Perdagangan eceran skala besar, perdagangan besar, restoran terbuka bagi PMA 9sebagai
1.
pengecualian di jasa perdagangan dan jasa penunjang perdagangan)
Yang masuk dalam kategori kelompok pedagang besar: distributor utama, grosir, sub distributor,
1.
pemasok besar, ATPM
Pedagang besar dapat mempekerjakan maks 10 TKA berpendidikan S1 dengan pengalaman min
3 tahun dibidang technical assistance
Ratio TKA: TKI adalah 1:3
Pedagang besar dilarang melakukan kegiatan sebagai pengecer atau pedagang informal
Yang juga masuk kelompok pedagang pengecer: agen pabrik, agen penjualan, agen pembelian,
agen penjualan pemegang merk, pemasok, dealer pengecer, pengecer tanpa merk
Pengecer dibagi menjadi dua, yakni skala kecil (modal usaha < Rp 200 juta) dan skala besar
(modal usaha > Rp 200 juta)
Pedagang pengecer boleh mempekerjakan maks 3 TKA, dengan ratio TKA:TKI adalah 1:3
Pedagang besar wajib menerbitkan daftar harga, pengecer mencantumkan harga pada barang
yang dijual dalam rupiah
Usaha pasar modern wajib memperoleh ijin usaha pasar modern (IUPM) yang diperlukan
1.
sebagai SIUP. IUPM diberikan oleh menperindag c/q Dirjen Perdagangan Dalam Negeri
Pasar modern wajib melakukan kemitraan dengan UKM.
Jam kerja pasar modern: 10.00 s/d 22.00.
Baik bagi UKM akan tetapi tidak
jelas
pola
kemitraan
yang
dimaksud bagaimana
Biasanya kemitraan yang terjalin
hanya dalam bentuk penyediaan
‘space’
Baik bagi UKM akan tetapi tidak
jelas pola kemitraannya
Biasanya kemitraan dalam bentuk
penyediaan ‘space’ untuk UKM
Persaingan
dalam
bisnis
perdagangan eceran semakin ketat
Pada prakteknya banyak grosir
atau pedagang besar juga berfungsi
sebagai pengecer. Ini mengancam
keberadaan
pedagang eceran,
khususnya UKM
Pembatasan jam kerja juga
berdampak bagi UKM di pasar
modern
22
2.2.4.
Pasar Modern versus Pasar Tradisional
Hanya ada satu studi yang meneliti tentang hubungan antara supermarket dan pasar
tradisional di Indonesia. CPIS (1994) menemukan bahwa pasar tradisional dan supermarket menarik
segmen konsumen yang berbeda. Pasar tradisional umumnya menarik para konsumen kelas
menengah-bawah, sementara supermarket menarik para konsumen dari kelas menengah dan atas.
Akan tetapi, kondisi ini bisa jadi telah berubah mengingat penelitian yang dilakukan oleh CPIS ini
dilakukan sebelum sektor usaha ritel dibuka bagi investasi asing pada tahun 1998. Disamping itu,
studi CPIS menemukan bahwa barang yang dijual di dua jenis pasar tersebut sebagian besar bersifat
komplementer, dengan pasar tradisional yang menyediakan makanan segar/mentah, dan supermarket
yang menyediakan makanan olahan dan non makanan. Terkait dengan perbedaan itu, studi ini
menegaskan bahwa pasar tradisional dan supermarket bersifat saling melengkapi. Akan tetapi, studi
ini juga mengingatkan jika pasar tradisional tidak dikelola dengan baik, emreka dapat kehilangan
kelebihan yang mereka miliki atas supermarket. Karena itu, rekomendasi dari studi CPIS ini lebih
banyak mengarah pada penguatan pasar tradisional daripada pengatiuran regulasi penzonaan atau
pembatasan jam-jam operasional supermarket.
2.2.5.
Kebijakan Perdagangan Ritel di Indonesia
Mengamati permasalahan dan fenomena perkembangan pasar modern di Indonesia,
pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 112 tahun 2007 tentang Penataan dan
Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern sebagai respon dan sekaligus
bentuk tanggung jawab Pemerintah dalam menjalankan fungsinya sebagai regulator atas masalah yang
berkembang di masyarakat menyangkut keberadaan pasar dan toko modern yang semakin menjamur
disetiap daerah.
Dalam Peraturan Presiden tersebut disebutkan bahwa penataan dan pengaturan pasar
tradisional dan pasar modern, termasuk perizinannya, kewenangannya terletak di Kabupaten/Kota,
sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 12 Peraturan Presiden tahun 2007 yang menyatakan bahwa
izin usaha pengelolaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern diterbitkan oleh
Bupati/Walikota. Bahkan dalam pasal 2 dan pasal 3 disebutkan bahwa lokasi pendirian pasar
tradisional dan pasar modern wajib mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota
(RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota termasuk zonasinya.
Sementara, Peraturan Menteri Perdagangan No 53/2008 tentang Pedoman Penataan
Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern, ditetapkan aturan tentang
investasi asing di sektor usaha ritel, dimana dalam aturan yang terbaru dikatakan bahwa investor asing
hanya boleh masuk di level hipermarket dan supermarket dengan luas lahan di atas 1.200 meter
persegi, di bawah itu hanya boleh franchise (waralaba) atau waralaba milik orang Indonesia. Dan
untuk minimarket, ada aturan jam buka, yaitu pukul 10.00-22.00.Pengaturan jam buka terhadap ritel
modern diantaranya adalah untuk melindungi eksistensi pasar tradisional yang bertolak pada
kenyataan bahwa orang pergi berbelanja di pasar tradisional biasanya dilakukan sejak subuh hingga
sekitar pukul 09.00. Dengan pengaturan jam buka tersebut diharapkan omzet penjualan dari pedagang
di pasar tradisional tidak terganggu dengan kehadiran ritel modern.
Beberapa peraturan di tingkat pusat terkait dengan perdagangan ritel dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:
Tabel 2
Peraturan Pemerintah Tentang Perdagangan Ritel
No.
1.
Peraturan
Peraturan Menteri Perdagangan RI
No: 53/M-Dag/Per/12/2008 Tentang
Pedoman Penataan Dan Pembinaan
Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan
Dan Toko Modern
Keterangan
Dalam Peraturan Menteri ini, memuat tentang Ketentuan Umum terkait
dengan definisi Pasar, Pasar Tradisonal, Pusat Perbelanjaan, Toko, Toko
Modern, Pengelola Jaringan Minimarket, Pemasok, Usaha Kecil ddan
Menengah (UMKM), kemitraan, syarat perdagangan (trading terms),
ijin usaha, perturan zonasi dan lain-lain. Permen juga mengatur tentang
Pendirian Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, serta
masalah Kemitraan, Batasan Luas Lantai Penjualan Toko Modern,
Pemberdayaan Pasar Tradisional,Sanksi dan lain-lain. Dari pasal 1 ayat
(5) dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan Toko Modern adalah toko
23
dengan sistem pelayanan mandiri, menjual bebagai jenis barang secara
eceran yang berbentuk Minimarket, Supermarket, Department Store,
Hypermarket ataupun Grosir yang berbentuk Perkulakan. Sedangkan
Pengelola Jaringan Minimarket adalah pelaku usaha yang melakukan
kegiatan usaha di bidang Minimarket melalui satu kesatuan manajemen,
dan sistem pendistribusian barang ke outlet yang merupakan
jaringannya.
2.
Peraturan
Presiden
Republik
Indonesia No. 12 Tahun 2007
Tentang Penataan Dan Pembinaan
Pasar tradisional, Pusat Perbelanjaan
dan Toko Modern
Dalam Peraturan Presiden ini disebutkan definisi dari Pasar Tradisional,
Pusat Perbelanjaan, Toko Modern, Pengelola Jaringan. Pemasok, Usaha
Kecil, Kemitraan, Syarat Perdagangan (Trading Term), Ijin Usaha serta
kewajiban untuk memperhatikan lingkungan sekitar. Sedangkan pada
bab-bab selanjutnya diatur tentang masalah Penataan Pasar Tradisional,
pusat Perbelanjaan dan Toko Modern terkait dengan lokasi pendirian,
batasan luas lantai, sistim penjualan, jam buka bagi hypermarket,
department store dan supermarket, pemasokan, kemitraan, pemasokan
barang kepada toko modern, perijina serta pembinaan dan pengawasan
(perlindungan terhadap pasar tradisional). Dalam Perpres ini tidak ada
pengaturan jam buka bagi minimarket (toko berjaringan).
3.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 42
Tahun 2007 Tentang Waralaba
Pasal 9 (1) disebutkan bahwa pemberi Waralaba dan Penerima
Waralaba diwajibkan untuk mengutamakan penggunaan barang
dan/atau jasa hasil produksi dalam negeri sepanjang memenuhi standar
mutu barang dan /atau jasa yang ditetapkan secara tertulis oleh Pemberi
Waralaba. Dan di ayat (2) nya Pemberi Waralaba harus bekerjasamaa
dengan pengusaha kecil dan menengah didaerah setempat sebagai
Penerima Waralaba atau pemasok barang dan/atau jasa sepanjang
memenuhi ketentuan persyaratan yang ditetapkan oleh Pemberi
Waralaba.
4.
Peraturan
Menteri
Perdagangan
Republik Indonesia Nomor: 09/MDAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan
dan Tatacara Penerbitan Surat Ijin
Usaha Perdagangan.
Peraturan Menteri Perdagangan ini khususnya berbicara tentang Surat
Ijin Usaha Perdagangan atau disingkat dengan SIUP yang artinya surat
ijin untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha perdagangan. Dalam
Permendag ini disebutkan bahwa setiap perusahaan wajib memiliki
SIUP yaitu SIUP Kecil, SIUP Menengah, SIUP Besar atau SIUP
Perseroan Terbuka (Tbk), dengan pengaturan sebagai berikut:
• SIUP Kecil wajib dimiliki oleh perusahaan dengan modal dan
kekayaan bersih (netto) seluruhnya sampai dengan Rp.
200.000.000,- (dua ratus juta Rupiah), tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha.
• SIUP Menengah wajib dimiliki oleh perusahaan dengan modal dan
kekayaan bersih (netto) seluruhnya diatas Rp. 200.000.000,- (dua
ratus juta Rupiah) sampai dengan Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta
Rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
• SIUP Besar wajib dimiliki oleh perusahaan dengan modal dan
kekayaan bersih (netto) seluruhnya diatas Rp. 500.000.000,- (lima
ratus juta Rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha.
• SIUP Perseroan Terbuka (Tbk) wajib dimiliki perusahaan yang
berstatus Perseroan Terbuka dan telah menjual saham perusahaan
paling banyak 49% dari seluruh jumlah saham perusahaan kepada
badan usaha dan/atau perorangan asing melalui penawaran secara
umum dan terbuka.
III.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggabungkan metode kuantitatif dan kualitatif. Evaluasi dampak kuantitatif
dilakukan menggunakan metode difference-in-difference (DiD) dan model ekonometrik, dua metode
yang lazim dipakai dalam evaluasi dampak (Baker 2000). Sementara itu, evaluasi dampak kualitatif
dilakukan dalam bentuk wawancara mendalam (in-depth interview) dengan beberapa informan kunci
yang terkait dengan usaha ritel, diantaranya pedagang pasar tradisional; manager pasar tradisional;
manager supermarket; pejabat pemerintah yang relevan, dinas pendagangan dan industri dan kantor
pelayanan pasar daerah; Asosiasi Pengusaha Retil (APRINDO); dan Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh
Indonesia (APPSI) dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
24
Data yang terkumpul, kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif deskriptif
untuk menunjukkan dampak implementasi kebijakan pemerintah terkait dengan kinerja sektor
perdagangan eceran tradisional skala kecil serta mengindentifikasi faktor-faktor pendorong dan
penghambat perkembangan perdagangan eceran tradisional skala kecil. Selanjutnya akan dilakukan
analisis terhadap kebijakan pemerintah pada sektor perdagangan eceran serta alternatif penopang
keberhasilan implementasi kebijakan tersebut.Pada bagian ini secara khusus akan dipelajari kebijakan
pemerintah pusat dan daerah berkenaan dengan sektor perdagangan eceran yang telah dan sedang
dilaksanakan selama ini. Dari hasil analisis yang dilakukan tersebut kemudian akan dilakukan review
kebijakan pemerintah kota Malang terkait dengan perdagangan eceran yang sudah ada.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Salah satu pemicu pesatnya perkembangan bisnis perdagangan (ritel) ini adalah Keppres No.
96/2000 (yang kemudian diperbaharui dengan Keppres No. 118/2000) tentang “Bidang Usaha Yang
Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Tertentu bagi Penanaman Modal”.
Pada intinya melalui Perpres tersebut, bisnis perdagangan eceran skala besar (mall, supermarket,
jaringan minimarket, department store, pusat pertokoan/perbelanjaan) dan perdagangan besar
(distributor/ wholesaler, perdagangan ekspor dan impor) dikeluarkan dari negative list bagi
penanaman modal asing (PMA). Artinya, apabila sebelumnya PMA dilarang melakukan usaha
perdagangan eceran/ritel skala besar dan perdagangan besar, namun sejak dikeluarkannya Perpres
tersebut para pemodal asing dapat secara leluasa melakukan berbagai bentuk perdagangannya di
Indonesia. Sejak saat itulah, serbuan ritel asing modern ini sangat sulit dibendung. Dengan kombinasi
berbagai kelebihan yang dimilikinya seperti kemampuan kapital yang sangat besar, kenyamanan,
keamanan, kemudahan akses dan parkir, jam layanan buka yang panjang, harga yang kompetitif dan
kualitas serta pilihan produk yang banyak, menjadikan pasar modern memiliki keunggulan bersaing
yang lebih baik dibandingkan dengan pasar tradisional. Berbagai keunggulan diatas sangatlah
mudah diwujudkan oleh pelaku usaha dengan kemampuan modal yang besar.
Pesatnya pertumbuhan ritel besar/ modern juga menunjukkan bahwa peluang bisnis ritel
(pasar modern) ini cukup menjanjikan, sehingga tidak mengherankan apabila setiap tahun selalu
muncul dan berdiri gerai baru ritel di kota-kota besar. Pertumbuhan industri ritel ini di satu sisi
sangat positif dan sangat menguntungkan konsumen Indonesia karena memberikan banyak
kenyamanan dalam berbelanja kebutuhan sehari-hari namun, berbagai keluhan juga banyak
bermunculan terkait dengan serbuan ritel modern yang meresahkan para pedagang di pasar
tradisional. Pertama, karena lokasinya yang berdekatan dan kedua, barang-barang yang dijual sama
dan lebih kompetitif serta ketiga, jam buka yang panjang. Mengingat nilai strategis bisnis ritel dalam
konstelasi bisnis Indonesia, maka persoalan ini menjadi persoalan besar yang harus segera
dipecahkan oleh Pemerintah karena ekskalasi kekecewaaan yang besar dari para pelaku usaha kecil
dapat menjadi dis-insentif bagi perkembangan Indonesia secara keseluruhan.
Berikut adalah dampak liberalisasi perdagangan ritel terhadap peritel tradisional di kota
Malang.
4.1.
Dampak Liberalisasi Terhadap Penjualan dan Keuntungan Peritel Tradisional
Dari hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa perkembangan dan fenomena pasar
modern di Kota Malang baik yang berkelas minimarket, supermarket maupun hypermarket terbukti
menimbulkan dampak negatip terhadap eksistensi dan keberlangsungan pasar tradisional yang
umumnya diisi oleh para pedagang kecil dan menengah. Berikut akan disajikan bagaimana kondisi
penjualan pedagang ritel tradisional sebelum dan setelah menjamurnya pasar modern di kota Malang
seperti terlihat pada grafik dibawah ini:
25
40%
35%
30%
25%
20%
15%
10%
5%
0%
36%
30%
25%
24%
19%
17%
6%
2.1%
Omzet < 100 - 499 500 - 999
100
1,000 2,999
Sebelum
15%
Setelah
6%
5%
2%
3,000 4,999
> 5,000
Sumber: data diolah
Gambar 1: Omzet penjualan Ritel Tradisonal (dalam ribuan Rupiah)
Dari grafik diatas terlihat bahwa banyak pedagang tradisional yang mengalami penurunan
penjualan setelah menjamurnya pasar modern di kota Malang. Secara agregat tingkat penurunan
penjualannya mencapai 26% antara sebelum dan setelah berdirinya pasar modern (Susilowati, 2014).
Sementara dari sisi keuntungan, grafik berikut memperlihatkan bagaimana pengaruh pasar modern
terhadap capaian keuntungan pedagang ritel tradisional di kota Malang.
35%
30%
25%
20%
15%
10%
5%
0%
30%
35%
31%
26%
11%
4.8%
4.7%
14%
16.2%
9%
6%
4%
Sebelum
Setelah
Sumber: data diolah
Gambar: Tingkat keuntungan ritel tradisional (dalam ribuan Rupiah)
Sementara dilihat dari segi keuntungan yang diperoleh menunjukkan bahwa keberadaan pasar modern
ini berakibat pada penurunan tingkat keuntungan pedagang ritel tradisional secara agregat sebanyak
28% (Susilowati, 2014). Fenomena ini akan berlanjut terus bila pemerintah kota tidak segera
mengambil langkah strategis guna menyelamatkan eksistensi pedagang ritel tradisional.
Selain omzet dan keuntungan, keberadaan pasar modern (hypermarket dan minimarket)
disekitar pasar kota Malang memberikan dampak negatif, terutama kepada para pedagang kebutuhan
pokok yang mayoritas dagangannya tersedia juga di pasar modern. Dari sebanyak 50 pedagang
tradisonal diperoleh hasil bahwa, 32 pedagang (64%) mengalami penurunan dalam penjualan beras,
27 pedagang (54%) mengalami penurunan pendapatan pada penjualan telur, 41 pedagang (82%)
mengalami penurunan pendapatan pada penjualan gula pasir, 40 pedagang (80%) mengalami
penurunan pendapatan pada penjualan minyak goreng, 35 pedagang (707%) mengalami penurunan
pendapatan pada penjualan mie instan, 45 pedagang (90%) mengalami penurunan pendapatan pada
penjualan susu. Selengkapnya dapat dilihat pada grafik di bawah:
26
44.50%
Kebutuhan Pokok
Sayuran
Daging
35.90%
12.20%
8.90%
15.50%
2014
13.30%
78%
Peralatan Mandi
72%
Sabun Cuci
72%
Obat2an/ vitamin
2013
79.70%
18.40%
38.70%
Sumber: data diolah
Gambar 2: Hasil penjualan beberapa item
Jumlah ritel modern, baik yang berbentuk supermarket, minimarket maupun hypermarket di kota
Malang sebenarnya sudah “oversupply” (Susilowati, 2014). Satu pasar modern idealnya memenuhi
kebutuhan 50 ribu penduduk. Saat ini, dengan jumlah penduduk sekitar 900 ribu orang, idealnya di
wilayah Malang hanya membutuhkan 18-20 ritel modern. Namun dari pendataan yang dilakukan
Disperindag kota Malang, jumlah pertokoan modern saat ini sudah lebih dari 100 unit. Jadi, memang
sudah oversupply. Lantas bagaimana kebijakan kota Malang terkait perdagangan ritel ini?
4.2.
Kebijakan Kota Malang Terkait Dengan Perdagangan Ritel.
Sebenarnya, di tingkat pusat sudah ada beberapa peraturan yang mengatur tentang usaha ritel,
mulai dari Keputusan Presiden (Keppres) sampai Peraturan Pemerintah (PP) seperti terlihat di tabel 2
diatas. Pada beberapa peraturan tersebut terlihat adanya aturan tentang investasi asing di sektor usaha
ritel dimana dalam aturan yang terbaru dikatakan bahwa investor asing hanya boleh masuk di level
hypermarket dan supermarket dengan luas lahan di atas 1.200 meter persegi, di bawah itu hanya boleh
franchise (waralaba) atau waralaba milik orang Indonesia. Sementara untuk minimarket, ada aturan
jam buka, yaitu pukul 10.00-22.00. Dengan pengaturan jam buka tersebut diharapkan omzet penjualan
dari pedagang di pasar tradisional tidak terganggu oleh kehadiran ritel modern. Namun faktanya,
banyak ketentuan diatas yang dilanggar karena secara teknis belum diatur dalam peraturan daerah.
Berikut adalah beberapa kebijakan yang terkait perdagangan ritel di Kota Malang antara lain:
Tabel 3: Peraturan Daerah Kota Malang Terkait Perdagangan
No.
1.
Peraturan
Peraturan Daerah Kota Malang
Nomor 12 Tahun 2001 Tentang
Pengaturan Usaha Dan Retribusi
Bidang Industri Dan Perdagangan
Keterangan
Perda ini memuat masalah struktur dan besarnya Tarif Retribusi, tata
cara pemungutan, tata cara pembayaran, tata cara penagihan, keberatan,
pengembalian kelebihan pembayaran serta pengurangan,keringanan dan
pembebasan retribusi.
2.
Peraturan Daerah Kota Malang
Nomor 11 Tahun 2007 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Daerah
Kota Malang Nomor 12 Tahun 2001
Tentang Pengaturan Usaha Dan
Retribusi Bidang Perdagangan.
Perda ini diterbitkan mengingat bahwa tarif retribusi bidang industri
dan perdagangan yang diatur dalam Perda nomor 12 tahun 2001 tentang
Pengaturan Usaha dan Retribusi Bidang Industri dan Perdagangan
sudah tidak sesuai dengan perkembangan perekonomian dewasa ini,
sehingga perlu dilakukan penyesuaian.
3.
Peraturan Walikota Malang Nomor 8
Tahun 2009 tentang Tata Cara
Pelayanan Perijinan Pada Badan
Pelayanan Perijinan Terpadu Kota
Malang.
Peraturaan Walikota ini terbit didasarkan pada keinginan untuk
mewujudkan pelayanan perijinan di bidang perindustrian dan
perdagaangan yang cepat, murah, mudah dan terintegrasi dengan
bidang layanan perijinan lainnnya. Peraturan Walikota ini
mengamanatkan
tentang
pendirian
kantor
BP2T
(Badan
Pennyelenggaraan Pelayanan Terpadu) yang bertugas melakukan
pelayanan administratif di bidang Perdagangan dengan sistim satu atap
antara lain meliputi pengurusan SIUP (Surat Ijin Usaha Perdagangan),
TDI (Tanda Daftar Industri), IUI ( Ijin Usaha Industri) dan lain lain.
27
Dalam Perwali Malang ini juga diatur tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Perijinan terkait dengan jenis layanan serta sistem dan
prosedur tetap pelayanan perijinan yang dilaksanakan pada Badan
Pelayanan Perijinan terpadu Kota Malang.
Sumber: Disperindag Kota Malang, 2014
Dari tabel diatas terlihat bahwa belum ada Peraturan Daerah Kota Malang yang secara khusus
mengatur masalah pengaturan dan penataan pertokoan modern di Kota Malang. Beberapa peraturan
atau kebijakan yang ada, sama sekali belum menyentuh substansi pengaturan atau upaya perlindungan
terhadap pedagang ritel tradisional di kota Malang, maka tidaklah mengherankan bila absennya
Peraturan Daerah Kota Malang dimanfaatkan oleh pemilik kapital untuk mendirikan ritel modern
dalam bentuk minimarket dengan model waralaba. Sebenarnya bila ada keseriusan dari pihak
pemerintah kota Malang untuk melindungi pedagang ritel tradisional, di tingkat propinsi sudah ada
Peraturan Daerah Provinsi (PerdaProv) Jawa Timur Nomor 3 Tahun 2008. PerdaProv ini berisi
tentang Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Tradisional dan Penataan Pasar Modern di Jawa Timur
yang dibuat untuk melindungi dan memperkuat daya saing pasar tradisional agar mampu berkembang
dan bersaing secara adil dengan ritel/toko modern. Dalam PerdaProv tersebut diatur masalah lokasi
pendirian, perijinan, kewajiban, larangan dan sanksi serta jarak (meskipun tidak disebutkan secara
detil berapa jarak ideal lokasi toko modern dari pasar tradisional).
Diterbitkannya PerdaProv ini juga dimaksudkan untuk memberikan arahan bagi pemerintah
Kabupaten/ Kota agar dalam memberikan ijin pendirian pasar modern tidak berdampak negatip bagi
kelangsungan hidup pasar tradisional dan usaha kecil lainnya. Artinya, sesuai ketentuan yang berlaku
dalam PerdaProv tersebut disebutkan bahwa apabila Pemerintah Kabupaten/ Kota belum memiliki
Perda tersendiri tentang perdagangan ritel, maka pemerintah Kabupaten/Kota diharapkan
menggunakan Perda Provinsi Nomor 3 tahun 2008 tersebut sebagai pedoman ataupun panduan dalam
melakukan penataan ritel modern yang ada diwilayahnya. Dengan demikian, PerdaProv ini sudah
cukup memadai bila digunakan untuk mengatur/ menata maraknya perdagangan ritel modern di
tingkat kabupaten/ kota.
Memang idealnya, Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki Perda tersendiri yang mengatur
tentang hal ini, karena Pemerintah Kabupaten/Kota-lah yang paling mengerti dinamika sosial
masyarakat daerahnya. Namun penyusunan peraturan ini membutuhkan waktu yang sangat panjang
karena harus melibatkan banyak pihak dengan berbagai kepentingannya masing-masing, misalnya
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia
(APPSI), Pemerintah Daerah, Masyarakat, LSM dan lain-lain. Di kota Malang sendiri, penyusunan
peraturan terkait dengan perdagangan ritel ini sudah dimulai sejak tahun 2010, namun sampai saat ini
belum juga selesai. Oleh karena itu, mengingat masalah yang ada di kalangan masyarakat sudah
semakin mendesak untuk diselesaikan maka seharusnya pemerintah Kota Malang, menggunakan
PerdaProv ini sebagai pedoman dan landasan hukum dalam melakukan perlindungan, pemberdayaan
Pasar Tradisional dan Penataan Pasar Modern di wilayah Kota Malang.
Akan tetapi sepertinya ini tidak dilakukan. Hal ini terlihat dari proses pemberian ijin
pendirian minimarket di kota Malang yang begitu mudah dan sederhana. Untuk mendirikan sebuah
minimarket misalnya, menurut Perwali No. 8/2009 cukup mengurus Ijin Mendirikan Bangunan (IMB)
dan Undang Undang Gangguan (HO). Melihat begitu mudahnya ijin diperoleh, maka tidaklah
mengherankan bila pendirian ritel modern (minimarket) di kota Malang tidak tertata rapi dan terkesan
semrawut. Selain masalah perijinan, lokasi juga memunculkan permasalahan tersendiri. Banyak ritel
modern ini didirikan berdekatan dengan pasar tradisional bahkan pusat pendidikan. Pengaturan seperti
itu perlu dilakukan untuk menghindari persaingan secara langsung dengan pasar-pasar tradisional, tak
terkecuali usaha-usaha kecil yang dimiliki warga masyarakat.
Contohnya adalah penataan lokasi minimarket, seharusnya -paling tidak- berpegang pada
Perda RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah). Dalam Perpres No. 112 tahun 2007, secara jelas
diungkapkan bahwa penataan dan pengaturan pasar tradisional dan pasar modern, termasuk
perijinannya terletak di tangan pemerintah daerah dalam hal ini Bupati atau Walikota. Sementara
pasal 2 dan pasal 3 disebutkan bahwa lokasi pendirian pasar tradisional dan pasar modern wajib
mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW) dan Rencana Detail Tata
Ruang Kabupaten/Kota termasuk zonasinya. Sayangnya, ketentuan yang ada di Perpres ini tidak
28
dilaksanakan dengan baik oleh pemerintah Kota Malang, sehingga penataan serta perlindungan
terhadap para pelaku perdagangan tradisional tidak dapat dapat dilakukan dengan maksimal.
Selain masalah lokasi (zonasi) dan jumlahnya yang semakin banyak, paling tidak ada dua hal
yang menyebabkan ritel tradisional kalah dibandingkan dengan ritel asing/modern. Dari sisi internal,
faktor rendahnya kualitas SDM, kualitas manajemen, strategi bisnis, kemampuan menguasai teknologi
informasi serta gaya dan kepedulian sosial menjadi kendala bagi ritel lokal untuk tumbuh dan
berkembang. Sedangkan dari sisi eksternal, lemahnya dukungan pemerintah baik dari kebijakan yang
terkadang tidak berpihak pada pengusaha ataupun penciptaan iklim usaha yang tidak kondusif turut
menambah beban bagi perkembangan ritel lokal yang notabene tidak memiliki modal besar.
Mengenai sistim pelayanan kepada pembeli misalnya terdapat perbedaan yang mencolok
antara pola peritel modern dengan peritel tradisional. Peritel modern menjual dengan sistim swalayan,
artinya pembeli dapat memilah dan memilih sendiri barang belanjaan sesuka hati disesuaikan dengan
kebutuhan, tentu ini merupakan kelebihan karena lebih bisa memberikan keleluasaan kepada pembeli
untuk memilih barang yang sesuai keinginan dan kemampuan tanpa harus merasa sungkan karena
harus terus dilayani, ini yang disebut privasi. Berbeda dengan sistim pelayanan tradisional yang tidak
efektif dan efisien dari sisi pelayanan dan biaya SDM, karena untuk waktu tertentu satu orang
pegawai harus melayani satu pembeli.
Untuk sistim pengadaan barang, peritel modern sudah menggunakan sistim komputerisasi,
dimana mesin cash register yang digunakan sudah tersambung dengan komputer induk sebagai data
server, sehingga jenis barang yang laku terjual secara otomatis datanya terekam didata server, dengan
demikian saat mereka melakukan purchase order berdasarkan historical penjualan. Artinya barang
yang diadakan adalah memang benar benar barang yang laku, dengan demikian dapat diminimalisir
kesalahan pengadaan barang yang berakibat pembengkakan inventory barang mati atau tidak laku
yang sudah barang tentu menimbulkan kerugian, karena bisnis produk supermarket adalah bisnis
dengan margin keuntungan yang tipis, sedangkan jangka waktu pembayarannya sangat pendek
maksimal 7 hari, sehingga ketepatan pengadaan baik dari sisi jenis barang maupun jumlah barang
sangat dituntut kejelian. Belum lagi kendala tanggal kadaluarsa yang harus diikuti, karena disamping
membahayakan kesehatan apabila dikonsumsi, juga bisa menimbulkan akibat hukum bila dilanggar.
Sedangkan dari strategi penjualan, peritel modern jauh lebih agresif dengan pola potongan
harga maupun pemberian hadiah karena mereka memiliki budget untuk melakukan semua kegiatan
tersebut. Demikian pula dari sisi promosi, peritel modern memiliki perencanaan yang matang,
komunikatif danefektif dengan materi brosur, leaflet, pamphlet, booklet, flyer, baliho, spanduk dan
lain lain sehingga pesan bisa cepat diterima oleh pelanggan dan mengambil keputusan penentuan
dimana sebaiknya bila akan belanja. Berbeda dengan peritel tradisional yang lebih mengandalkan
komunikasi dasar berupa pembicaraan dari mulut ke mulut (word of mouth) yang sangat terbatas dan
sering informasi menjadi terdistorsi.
4.3.
Alternatif Solusi
Di satu sisi, eksistensi ritel modern memang merupakan aset. Bila dikelola dengan baik,
bisnis ini akan mendatangkan kesejahteraan bagi semua pihak. Banyaknya problem yang muncul saat
ini membutuhkan solusi yang tepat, untuk itu ada beberapa hal yang perlu dilakukan ke depan.
Pertama, perlu keberpihakan.Meskipun masih ada kelemahan, perlu ada penegakan Perpres 112/2007
dan Permendag 53/2008. Ekspansi ritel modern yang ”kebablasan” dan melanggar aturan perlu segera
dihentikan. Ketidakadilan ini berakar pada lemahnya atau absennya aturan perdagangan. Jika kondisi
ini tidak segera ditangani, ratusan bahkan ribuan pedagang kecil akan kehilangan mata
pencahariannya. Pasar tradisional mungkin akan tenggelam seiring dengan tren perkembangan dunia
ritel yang didominasi oleh pasar modern.
Demikian juga dengan Perda Propinsi Jawa Timur nomor 3 tahun 2008 tentang Perlindungan,
Pemberdayaan Pasar Tradisional dan Penataan Pasar Modern di Jawa Timur dimana dalam Bagian
Pertama tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Pasar Tradisional dan Penataan Pasar Modern pada
pasal 6 ayat (5) dikatakan bahwa dalam melakukan perlindungan kepada pasar tradisional, usaha
mikro, kecil, menengah, dan koperasi serta pelaku pelaku usaha yang ada didalamnya, pemerintah
daerah berkewajiban memberikan perlindungan dalam aspek, Persaingan dengan pelaku usaha di
pasar modern baik dalam aspek lokasi maupun aspek lainnya. Sementara dalam ayat (6) dikatakan
29
bahwa dalam melakukan pemberdayaan pada pasar tradisional usaha mikro, kecil, menengah dan
koperasi serta pelaku-pelaku usaha yang ada didalamnya, pemerintah daerah berkewajiban melakukan
pemberdayaan dalam berbagai aspek :
a. Pembinaan
b. Pemberian Subsidi
c. Peningkatan Kualitas dan sarana
Sedangkan pada Bagian Kedua Penataan Pasar Modern Pasal 7 ayat (1) dikatakan bahwa Lokasi
pendirian Pasar modern dan toko modern wajib mengacu pada rencana tata ruang wilayah kab/kota,
termasuk pengaturn zonasinya. Pada ayat (2) dikatakan bahwa penyelenggaraan dan pendirian pasar
modern dan toko modern wajib memenuhi ketentuan, sbb:
a. Memperhitungkan keberadaan pasar tradisional
b. Jarak
c. Penyediaan tempat usaha baik untuk usaha kecil maupun menengah
Dari paparan pasal 6 dan pasal 7 Perda Propinsi Jawa Timur Nomor 3 tahun 2008 diatas jelas
bahwa pengaturan masalah perlindungan pedagang eceran kecil menengah tradisional dengan
penataan ritel modern sudah diatur cukup baik. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut kerjasama
dan koordinasi banyak pihak, namun sepertinya koordinasi dan kerjasama antar instansi tidak cukup
kondusif untuk terciptanya sebuah kebijakan yang mampu mengakomodir kepentingan berbagai pihak
terutama kepentingan masyarakat banyak yang selama ini menjadi ‘korban’ keberadaan peritel
modern di kota Malang. Oleh karena itu, jika ingin melindungi pedagang ritel tradisional, kuncinya
ada pada regulasi pemerintah. Untuk itu harus ada sanksi yang diterapkan kepada mereka jika terbukti
terjadi pelanggaran atas ketentuan tersebut. Pentingnya regulasi pemerintah juga disampaikan Ketua
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (DPC Aprindo) kota Malang. Regulasi itu tidak hanya untuk
menciptakan persaingan bisnis yang adil, aka tetapi juga untuk mencegah timbulnya gesekan sosial.
Yang juga perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah adalah munculnya fenomena
menguatnya kekuatan pasar (market power) ritel modern ketika berhadapan dengan pemasok barang,
yang berujung pada munculnya eksploitasi pemasok oleh pelaku usaha ritel modern dalam bentuk
penerapan trading terms yang berat seperti ‘fixed price contract’ dan listing fee. Mengamati kondisi
yang terjadi, maka kunci keberhasilan regulasi di sektor ritel akan terletak pada upaya penegakan
peraturan perundangan yang telah ada, baik menyangkut tugas KPPU, pemerintah, maupun instansi
lain yang terlibat dalam pengaturan industri ritel Indonesia. Tidak tegaknya regulasi dapat menjadi
akar dari semakin kusutnya permasalahan.Dengan adanya regulasi tersebut, maka kehadiran pasar
modern tidak hanya melindungi kepentingan masyarakat namun juga mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dalam bentuk penciptaan lapangan kerja baru, pengurangan kemiskinan dan
kesenjangan pendapatan, serta mewujudkan tatanan kehidupan bersama yang harmonis dengan
menciptakan iklim persaingan bisnis yang adil.
4.4.
Konsep Kebijakan Perdagangan Ritel di Kota Malang
Berikut akan disampaikan beberapa saran dan pertimbangan kebijakan yang ditujukan untuk
mendorong makin efektifnya Perpres dan Permendag oleh pemerintah yang implementasinya harus
melalui Perda dan Keputusan Kepala Daerah yang dalam beberapa pengamatan tidak berjalan simetris
dengan tujuan Perpres dan Permendag itu sendiri. Tidak efektifnya Perpres dan Permendag ditambah
kebijakan daerah berupa Perda Kota Malang yang tidak mendukung, membuat kekuatan pasar (market
power) toko retail dan pusat perbelanjaan (pasar modern) cenderung melakukan praktek monopoli dan
penyalahgunaan posisi dominan. Oleh sebab itulah pemerintah daerah harus mulai melakukan
beberapa pembatasan-pembatasan, antara lain:
1. Penetapan Zonasi (lokasi) yang bisa dimasuki peritel modern.
2. Pembatasan waktu buka ritel modern.
3. Pembatasan jenis persyaratan perdagangan.
4. Pengetatan perijinan.
5. Kewajiban melakukan kemitraan dan memberikan kemudahan terhadap pelaku usaha kecil.
Kebijakan ataupun peraturan yang dibuat harus tetap berlandaskan pada peraturan atau kebijakan
30
di tingkat pusat maupun di tingkat propinsi diantaranya adalah 4 aturan dibawah ini:
Tabel 3
Jenis dan Substansi Pokok Kebijakan Pembinaan dan Penataan Ritel Modern
No.
1.
Kebijakan Pengaturan
SKB Menperindag dan Mendagri
No.57/1997
tentang
Penataan
Pembinaan dan Penataan Pasar dan
Pertokoan
2.
Peraturan Presiden RI Nomor 112 tahun
2007 tentang Penataan dan Pembinaan
Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan
dan Toko Modern
Peraturan Menteri Perdagangan RI
Nomor 53/ M-DAG/ PER/ 12/ 2008
tentang Pedoman Penataan dan
Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat
Perbelanjaan dan Toko Modern
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur•
Nomor 3 Tahun 2008 tentang
Perlindungan, Pemberdayaan Pasar
Tradisional dan Penataan Pasar Modern
Di Jawa Timur
3.
4.
Substansi Pokok
• Menperindag mengatur, membina, mengembangkan usaha
perdagangan di pasar dan pertokoan dan pedagang kecil dan
menengah
• Mendagri melakukan pembinaan Pemerintah Daerah dalam hal
penataan dan pembangunan pasar/pertokoan.
• Pemerintah Daerah menetapkan lokasi ijin lokasi pembangunan
pasar/pertokoan
• Penataan pasar tradisional (Lokasi, AMDAL, lahan parkir)
• Penataan Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern (Lokasi, Luas,
AMDAL, Kemitraan, Jam Buka, Pemasokan Barang, Perijinan,
dan Perlindungan, Zonasi)
• Pendirian Pasar tradisional, Pusat perbelanjaan dan Toko
Modern (Lokasi, AMDAL, Kemitraan Usaha, Luas Lokasi,
Perijinan, Pemberdayaan Pasar Tradisional, Zonasi)
Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Tradisional Dan Penataan Pasar
Modern (lokasi, AMDAL, perijinan, Zonasi)
Sumber: Kompilasi dari berbagai Peraturan/Kebijakan
Dengan mempertimbangkan pada kebutuhan masyarakat dan juga mengacu pada berbagai
peraturan yang ada, maka seyogyanya peraturan daerah Kota Malang minimal harus menyangkut halhal sebagai berikut:
a. Lokasi pendirian
Lokasi pendirian harus mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kota dan Rencana Detail Tata
Ruang Kota dengan mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat, keberadaan Pasar
Tradisional, Usaha Kecil dan Usaha Menengah yang ada di wilayah Kota Malang
b. Zonasi
Pemerintah seyogyanya menentukan jarak antara ritel modern dengan Pasar Tradisional sehingga
tercipta kondisi persaingan dagang yang kondusif dan sehat.
c. Jam operasional
Pemerintah mengatur jam operasional ritel modern (misalnya jam buka diatas jam 10.00 pagi) agar
tidak mengganggu pasar tradisional yang masih beroperasi, sehingga tidak mematikan pedagang
tradisional skala kecil yang berlokasi berdekatan dengan pendirian ritel modern.
d. Kemitraan
Pemerintah mengatur kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha menengah dan Usaha
Besar disertai pembinaan dan pengembangan dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan,
saling memperkuat dan saling menguntungkan, sebagaimana yang dimaksud dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan.
e. Pembinaan dan bantuan permodalan
Untuk meningkatkan kemampuan bersaing dari pedagang tradisional, maka pemerintah sebaiknya
juga mengatur mekanisme pembinaan dan bantuan permodalan.
f. Trading terms
Pemerintah juga mengatur syarat-syarat dalam perjanjian kerjasama antara Pemasok dan Toko
Modern/Pengelola Jaringan Minimarket yang berhubungan dengan pemasokan produk-produk
yang diperdagangkan dalam Toko Modern yang bersangkutan secara jelas dan wajar dengan
memperhatikan prinsip keadilan dan saling menguntungkan.
Berikut adalah konsep yang ditawarkan dalam merumuskan Peraturan/kebijakan untuk Kota
Malang yang mengacu pada peraturan yang sudah ada di tingkat pusat seperti Permendag Nomor
31
53/M-DAG/PER/12/2008: serta PERDAPROV JATIM No. 3/2008 Tentang Perlindungan,
Pemberdayaan Pasar Tradisional Dan Penataan Pasar Modern di Propinsi Jawa Timur, seperti nampak
dalam gambar berikut ini:
KEPPRES 96/2000
(diperbarui dengan
KEPPRES 118/2000)
tentang Bidang Usaha
Yg Tertutup dan
Bidang Usaha Yg
Terbuka dengan
Persayaratan Tertentu
Bagi Penanaman
PERPRES
ModalNO.
112/2007: Tentang
Penataan dan
Pembinaan Pasar
Tradisional, Pusat
Perbelanjaan dan Toko
Modern
PERDAPROV JATIM
No. 3/2008 Tentang
Perlindungan,
Pemberdayaan Pasar
Tradisional Dan
Penataan Pasar
Modern di Propinsi
Jawa Timur
PERMENDAG NO.
53/MDAG/PER/12/2008:
Tentang Pedoman
Penataan dan
Pembinaan Pasar
Tradisional, Pusat
Perbelanjaan dan Toko
Modern
PERDAKOT
MALANG: Tentang
Perlindungan,
Pemberdayaan
Pasar Tradisional
Dan Penataan Pasar
Modern
Gambar2: Konsep Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Tradisional Dan Penataan Pasar Modern di Malang
Sumber : Konsepsi Peneliti
Selain penyusunan peraturan daerah yang sudah semakin urgen untuk dilakukan, ada
beberapa hal lain yang juga perlu diperhatikan dan dijadikan landasan bagi pembuat kebijakan untuk
menjaga kelangsungan hidup pasar tradisional. Pertama, memperbaiki sarana dan prasarana pasar
tradisional. Konsep bangunan pasar ketika dilakukan renovasi harus diperhatikan sehingga
permasalahan seperti konsep bangunan yang tidak sesuai dengan keinginan penjual dan pembeli dan
kurangnya sirkulasi udara tidak terulang kembali. Masalah keterbatasan dana seyogyanya juga dapat
diatasi dengan melakukan kerja sama dengan pihak swasta. Kedua, melakukan pembenahan total
pada manajemen pasar. Sepatutnya, kepala pasar yang ditunjuk memiliki kemampuan dan kepandaian
manajerial. Ketiga, pedagang tradisional selama ini selalu dihadapkan pada masalah permodalan dan
jaminan/asuransi atas barang dagangannya. Oleh sebab itu, sudah saatnya Pemkot dan lembaga
keuangan setempat memperhatikan hal ini. Strategi pengadaan barang yang seringkali menjadi
strategi utama pedagang tradisional adalah membeli barang dagangan dalam bentuk tunai dengan
menggunakan dana pribadinya. Kondisi tersebut berdampak negatip terhadap usaha mereka.Mereka
menjadi sangat rentan terhadap kerugian yang disebabkan oleh rusaknya barang dagangan dan
fluktuasi harga. Untuk menghindari tenggelamnya pasar tradisional akibat kehadiran pasar modern,
diperlukan pendekatan yang terpadu menyangkut keempat permasalahan diatas, yakni adanya regulasi
untuk melindungi pasar tradisional, dukungan perbaikan infrastruktur, penguatan manajemen dan
bantuan permodalan bagi pedagang di pasar tradisional.
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan
Dari pemaparan hasil penelitian diatas berikut disajikan beberapa kesimpulan sebagai berikut
Pemerintah Kota Malang belum memiliki kebijakan atau peraturan Pemerintah Kota terkait
dengan Perlindungan terhadap Peritel Tradisional serta penataan ritel modern. Namun dalam
kegiatannya, juga tidak menjadikan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur nomor 3 tahun 2008
tentang Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Tradisional dan Penataan Pasar Modern di Provinsi Jawa
Timur sebagai pedoman atau arahan dalam penentuan kebijakannya. Pemkot Malang tidak melakukan
pembatasan Zonasi dalam hal Ijin Pendirian Ritel Modern, karena ijin pendirian hanya didasarkan
pada Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Undang Undang Gangguan (HO/Hinder Ordonansi).
Serbuan minimarket di Kota Malang akibat kebijakan liberalisasi bidang perdaganga yang
arahnya belum jelas tersebut mengakibatkan peritel Modern dalam hal ini Minimarket yang dikelola
oleh jaringan (Alfamart dan Indomart) berkembang luar biasa tanpa kendali. Keberadaan peritel
32
modern tersebut telah menggeser keberadaan pedagang di pasar tradisional terbukti jumlah pedagang
di pasar-pasar tradisional menyusut secara drastis. Oleh sebab itu kebijakan pemerintah terkait
masalah zonasi dan jam buka sudah sangat mendesak untuk diadakan sehingga keberadaan dan
eksistensi Peritel Tradisional dapat dilindungi.
5.2.
Saran
Adapun beberapa saran yang dapat ditawarkan disini adalah sebagai berikut:
1. Guna menghindari terjadinya kesemrawutan perdagangan dibidang ritel yang bisa mengakibatkan
tersingkirnya pedagang eceran skala kecil menengah tradisional di kota Malang, maka seyogyanya
Pemerintah Kota segera menerbitkan Perda khusus yang mengatur tentang Perlindungan,
Pemberdayaan Pedagang Eceran SKM Tradisional dan Penataan ritel Modern
2. Sementara menunggu proses terbitnya Peraturan Daerah tersendiri yang khusus mengatur tentang
perlindungan dan penataan terhadap pedagang eceran, paling tidak Pemerintah Kota Malang bisa
menjadikan Perda Prov no 3 tahun 2008 sebagai pedoman atau arahan dalam kebijakannya dan
menerbitkan SK Walikota untuk melakukan Perlindungan dan Penataan dalam hal pemberian ijin
Pendirian dan zonasi ritel Modern.
3. APRINDO selaku Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia sebaiknya ikut berperan secara aktif dalam
proses perumusan kebijakan yang akan dibuat terkait dengan upaya perlindungan dan pembinaan
usaha kecil ritel dengan memperhatikan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat sebagaimana
tercantum dalam UU No. 5 Tahun 1999, dengan menyerahkan substansi pengaturannya kepada
Pemerintah Daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundangan:
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor: 112 Tahun 2007 Tentang Penataan Dan Pembinaan
Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan Dan Toko Modern, Jakarta
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 42 Tahun 2007Tentang Waralaba
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 31/M-DAG/PER/8/2008 Tentang
Penyelenggaraan Waralaba
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 09/M-DAG/PER/3/2006 Tentang
Ketentuan Dan Tata Cara Penerbitan Surat Ijin Usaha Perdagangan
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 53/M-DAG/PER/12/2008 Tentang
Pedoman Penataan Dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor: 3 Tahun 2008 Tentang Perlindungan, Pemberdayaan
Pasar Tradisional Dan Penataan Pasar Modern Di Provinsi Jawa Timur, Surabaya
Peraturan Daerah Kota Malang Nomor: 12 Tahun 2001 Tentang Pengaturan Usaha Dan Retribusi
Bidang Industri dan Perdagangan
Peraturan Daerah Kota Malang Nomor: 11 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah
Kota Malang Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Pengaturan Usaha Dan Retribusi Bidang Perindag
Peraturan Walikota Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Tata Cara Pelayanan Perijinan Di Bidang
Perindustrian Dan Perdagangan Yang Diselenggarakan Oleh Badan Pelayanan Perijinan
Terpadu Kota Malang.
Peraturan Walikota Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Tata Cara Pelayanan Perijinan Pada Badan
Pelayanan Perijinan Terpadu Kota Malang.
Jurnal dan Internet
A.C. Nielsen. 2009. Asia Pacific Retail and Shopper Trends (Trend Pembeli dan Ritel Asia Pasifik
2009).
[online]
<http://www.acnielsen.de/pubs/documents/RetaiandShoppersAsiaTrends2009.pdf>
Akhmadi. 2007. Retribusi Payments In Traditional Markets: Obligatory Payments With Insufficient
Service In Return, The SMERU Research Institute, No. 22, April – June.
KPPU. 2006. Saran Pertimbangan Terhadap Rancangan Peraturan Presiden Tentang Penataan dan
Pembinaan Usaha Pasar Modern dan Uasaha Toko Modern. http://www.kppu.go.id
Kompas. 2006. ‘Jangan Biarkan Pasar Bersaing dengan Hipermarket’ [online]
<http://www.kompas.com/kompas-cetak/0606/02/metro/2693747.htm> [2 Juni 2006]
33
Kompas. 2010. Pasar Tradisional Terjepit: Banyak Peraturan untuk Membatasi Ekspansi Ritel
Modern <http://www.kompas.com/kompas-cetak/0606/02/metro/2693747.htm> [15 Maret
2010]
Kontan. 2009. Jumlah Ritel Modern Over Disperindag Perketat Pendirian Minimarket-Supermarket,
30 April
Mutebi, Alex M. 200).Regulatory Responses to Large-Format Transnational Retail in South-east
Asian Cities, Urban Studies, Vol. 44, No. 2, 357-379, February.
Soesastro, Hadi. 2004. Kebijakan Persaingan, Daya Saing, Liberalisasi, Globalisasi, Regionalisasi dan
Semua Itu, Economics Working Paper Serieshttp://www.csis.or.id/papers/wpe082 , didownload
29 Maret 2011
Suryana, Achmad; Ariani, Mewa and Lokollo, Erna M. 2008.The Role of Modern Markets In
Influencing Lifestyles in Indonesia, Jurnal Litbang Pertanian, 27 (1), Jakarta.
Suryadarma, Daniel; Poesoro, Adri; Budiyati, Sri; Akhmadi; Rosfadhila, Meuthia 2007.Impact of
Supermarkets on Traditional Markets and Retailers in Indonesia’s Urban Centers, The SMERU
Research Institute, Agustus, Jakarta.
Susilowati, Kartika DS. (2014). The Impacts of Modern Market To Traditional Traders (A Case in
Malang City), International Journal of Technical Research and Application (IJTRA), Special
Issue 8, November, p. 38-44, www.ijtra.com
www.wartaekonomi.co.id, April 2013, diakses pada tanggal 10 Juli 2015 pukul 12.10 WIB.
34
CATATAN:
Artikel ini lebih condong pada penelitian implementasi kebijakan publik.
Download