bab 2 landasan teori

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1
Pengertian
Judul laporan tugas akhir yang dipilih oleh peneliti akan dijabarkan sebagai berikut:
1. Adaptive Reuse
Tindakan
menerapkan
fungsi
baru
bagi
bangunan
untuk
menjaga
keberlangsungan bangunan dan merupakan bagian dari pelestarian dan
pemanfaatan kembali bangunan bersejarah. (Sophie F. Cantell)
2. Gedung Pola
Gedung pameran pola pembangunan nasional semesta berencana yang di gagas
pembangunannya oleh Soekarno.
Berdasarkan terminologi di atas, judul tugas akhir ‘‘Adaptive Reuse Gedung
Pola di Jakarta Pusat” memiliki pengertian tindakan menerapkan fungsi baru bagi
bangunan Gedung pameran pola pembangunan nasional (Gedung Pola) sebagai
bagian dari pelestarian dan pemanfaatan kembali bangunan bersejarah.
2.2
Tinjauan Umum
2.2.1 Tinjauan KonsepAdaptive Reuse
Dalam kegiatan pemugaran atau pelestarian suatu bangunan, terdapat istilah- istilah
yang dituliskan dalam buku yang berjudul “100 bangunan cagar budaya di
Bandung” yaitu sebagai berikut :
1. Konservasi adalah sebuah proses yang bertujuan memperpanjang umur warisan
budaya bersejarah, dengan cara memelihara dan melindungi keotentikan dan
maknanya dari gangguan dan kerusakan, agar dapat dipergunakan pada
saatsekarang maupun masa yang akan datang, baik dengan menghidupkan
kembali fungsi lama atau dengan memperkenalkan fungsi baru yang
dibutuhkan.
2. Restorasi
adalah
sebuah
tindakan
atau
proses
yang
bertujuan
untuk
mengembalikan bentuk serta detil-detil sebuah properti dan settingnya secara
akurat seperti tampak pada periode tertentu, dengan cara menghilangkan
bagian- bagian tambahan yang dilakukan kemudian, ataupun dengan
melengkapi kembali bagian-bagian yang hilang.
11
12
3.
Renovasi adalah Modernisasi bangunan bersejarah yang masih dipertanyakan
dengan terjadinya perbaikan yang tidak tepat yang menghilangkan wujud dan
detil penting.
4.
Rehabilitasi adalah Tindakan atau proses pengembalian sebuah obyek pada
kondisi yang dapat dipergunakan kembali melalui perbaikan atau perubahan
yang memungkinkan penggunaan sementara yang efisien, sementara wujudwujud yang bernilai sejarah, arsitektur dan budaya tetap dipertahankan.
5.
Revitalisasi adalah sebuah proses untuk menigkatkan kegiatan sosial dan
ekonomi bangunan/lingkungan bersejarah, yang sudah kehilangan vitalitas
aslinya.
6.
Adaptasi (Adaptive Reuse) adalah sebuah proses pengubahan sebuah bangunan
untuk kegunaan yang berbeda dari tujuan kegunaan ketika bangunan tersebut
didirikan.
Adaptasi adalah upaya pengembangan Cagar Budaya untuk kegiatan yang lebih
sesuai dengan kebutuhan masa kini dengan melakukan perubahan terbatas yang tidak
akan mengakibatkan kemerosotan nilai pentingnya atau kerusakan pada bagian yang
mempunyai nilai penting. (UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya)
Menurut UU No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, terdapat kriteria cagar
budaya yang tercantum yaitu:
Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya,
Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi kriteria:
a. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;
b. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun;
c. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau
kebudayaan; dan
d. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
Benda Cagar Budaya dapat:
a. berupa benda alam dan/atau benda buatan manusia yang dimanfaatkan oleh
manusia, serta sisa-sisabiota yang dapat dihubungkan dengan kegiatan manusia
dan/atau dapat dihubungkan dengan sejarah manusia;
b. bersifat bergerak atau tidak bergerak; dan
c. merupakan kesatuan atau kelompok.
Bangunan Cagar Budaya dapat:
13
a. berunsur tunggal atau banyak; dan/atau
b. berdiri bebas atau menyatu dengan formasi alam.
Struktur Cagar Budaya dapat:
a. berunsur tunggal atau banyak; dan/atau
b. sebagian atau seluruhnya menyatu dengan formasi alam.
Undang- undang ini juga menyatakan mengenai asas, tujuan dan lingkup Pelestarian
cagar budaya pada bab II pasal 2 s/d pasal 4yaitu: Pelestarian Cagar Budaya
bertujuan:
a. melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia.
b. meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budaya.
c. memperkuat kepribadian bangsa.
d. meningkatkan kesejahteraan rakyat.
e. mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional
Lingkup Pelestarian Cagar Budaya meliputi Perlindungan, Pengembangan, dan
Pemanfaatan Cagar Budaya di darat dan di air.
Lebih lanjut dalam pasal 80 – 84 UU No.11 Tentang Cagar Budaya merumuskan
poin- poin mengenai Adapatasi yaitu:
Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya dapat dilakukan adaptasi untuk
memenuhikebutuhan masa kini dengan tetap mempertahankan:
a. ciri asli dan/atau muka Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya;
dan/atau
b. ciri asli lanskap budaya dan/atau permukaan tanah Situs Cagar Budaya atau
Kawasan Cagar Budaya sebelum dilakukan adaptasi.
Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya dapat dilakukan adaptasi untuk
memenuhi kebutuhan masa kini dengan tetap mempertahankan:
a. ciri asli dan/atau muka Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya;
dan/atau
b. ciri asli lanskap budaya dan/atau permukaan tanah Situs Cagar Budaya atau
Kawasan CagarBudaya sebelum dilakukan adaptasi.
Adaptasi sebagaimana dimaksud dilakukan dengan:
a. mempertahankan nilai-nilai yang melekat pada Cagar Budaya;
b. menambah fasilitas sesuai dengan kebutuhan;
c. mengubah susunan ruang secara terbatas; dan/atau
14
d. mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan estetika
lingkungan di sekitarnya.
Pada pasal 77 terdapat poin- poin mengenai pemugaran dan pengembangan Cagar
Budaya seperti berikut:
Pemugaran Bangunan Cagar Budaya dan Struktur Cagar Budaya yang rusak
dilakukan untuk mengembalikan kondisi fisik dengan cara memperbaiki,
memperkuat, dan/atau mengawetkannya melalui pekerjaan rekonstruksi, konsolidasi,
rehabilitasi, dan restorasi.
Pemugaran Cagar Budaya sebagaimana dimaksud harus memperhatikan:
a. keaslian bahan, bentuk, tata letak, gaya, dan/atau teknologi pengerjaan;
b. kondisi semula dengan tingkat perubahan sekecil mungkin;
c. penggunaan teknik, metode, dan bahan yang tidak bersifat merusak; dan
d. kompetensi pelaksana di bidang pemugaran.
Pemugaran harus memungkinkan dilakukannya penyesuaian pada masa mendatang
dengan tetap mempertimbangkan keamanan masyarakat dan keselamatan Cagar
Budaya.
Pemugaran yang berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan
sosial dan lingkungan fisik harus didahului analisis mengenai dampak lingkungan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berikut standarisasi internasional mengenai rehabilitasi bangunan bersejarah dalam
dokumen Secretary of the Interior’s Standards for Rehabilitation
1. Bangunan harus difungsikan sesuai fungsi menurut sejarahnya atau ditempatkan
dengan fungsi baru yang membutuhkan perubahan minimal bagi karakteristik
yang mendefinisikan bangunan, tapak dan lingkungan.
2. Karakteristik bersejarah bangunan harus dipertahankan dan dilestarikan.
Penghapusan dan perubahan material sejarah akan dihindari.
3. Setiap bangunan harus dikenali sebagai bukti fisik bagi waktu, tempat dan
fungsinya.
Perubahan
yang
membawa
kepalsuan
bagi
sejarah
seperti
menambahkan elemen arsitektural yang merupakan karakter bangunan lain harus
dihindari.
4. Setiap properti berubah seiring waktu, perubahan yang terjadi secara alami dalam
bangunan dan memperkuat sejarah bangunan itu sendiri harus dipertahankan dan
dilestarikan.
15
5. Keunikan fitur, finishing dan teknik struktural dan keunikan craftsmanship yang
menjadi karakteristik dari bangunan akan dilestarikan.
6. Kerusakan- kerusakan fisik sebaiknya diperbaiki bukan dihilangkan atau diganti,
Jika ada elemen yang akhirnya terganti haruslah tetap cocok dengan desain
lamanya baik desain, warna, tekstur dan kualitas visual lainnya. Bagian yang
terganti juga harus di dokumentasikan atau teteap memiliki bukti pictorial
7. Treatment chemical dan fisik seperti sandblasting harus dihindari.
8. Tambahan baru, perubahan eksterior atau yang berhubungan dengan elemen
structural yang baru tidak boleh merusak material bersejarah yang menjadi
karakteristik bangunan. Perubahan yang baru harus kompatibel dengan massa,
skala dan fitur- fitur arsitektural untuk melindungi kesatuan bangunan bersejarah
dengan lingkungannya.
9. Penambahan atau pengurangan yang berkaitan dengan konstruksi yang baru harus
dilakukan berdasarkan prinsip bahwa di masa yang akan datang kesatuan bentuk
yang esensial dan integritas bangunan dengan lingkungannya tidak menjadi rusak.
2.2.2 Pendekatan Arsitektural
Pendekatan konsep adaptive reuseyang diterapkan pada perancangan ini adalah
pergerakan modern yang melakukan beberapa perubahan desain bukan hanya
sekedar perbaikan atau rehabilitasi bangunan. Intervensi desain diperlukan untuk
meremajakan sebuah bangunan agar sesuai dengan konteks masa sekarang dan
keberlanjutannya di masa yang akan datang. (Seja Pandey, 2014).
Pendekatan arsitektural dengan metode ini memberikan fungsi baru tanpa
menghapus fungsi lamanya (Adaptive Reuse), memberikan desain baru tanpa
menghancurkan keseluruhan struktur dan elemen eksisting bangunan. Dalam literatur
karya Françoise Astorg Bollack, 2013 terdapat 5 bentuk pendekatan Adaptive Reuse
dalam revitalisasi bangunan bersejarah yaitu, Insertions, Parasites, Juxtapositions,
Wrap dan Weavings.
Insertions
Gambar 9. Ilustrasi Insertion
Sumber: Monacelli Pres
16
Intervensi desain dimana struktur yang baru akan di insert artinya di masukan
kedalam struktur yang lama. Ini adalah taktik yang tegas dan berani dimana struktur
interior berubah sepenuhnya dan digantikan dengan elemen desain yang baru yang
dapat berupa beberapa bagian atau keseluruhan interior.
Parasites
Gambar 10. Ilustrasi Parasites
Sumber: Monacelli Press
Seperti organism parasit yang menempel pada induknya, memiliki arti gaya
arsitektur yang bersifat eksploitif menempel terhadap bangunan lama sebagai suport
struktural, terdapat intersection antar struktur lama dan baru. Pendekatan ini akan
menambah ekstra ruang
Gambar 11. Contoh Prasites pada Bangunan
Sumber: Reviving Existing Building, Seja Pandey
Gambar 10.Adalah dua bangunan yang menerapkan parasites bagi revitalisasi
bangunan lama.Sebelah kiti adalah sebuah warehouse di Sheffeld di Inggris. Pada
sebelah kanan adalah detail eksterior the Royal Ontario Museum karya studio Daniel
Libeskind, 2007
Juxtapositions
Gambar 12. Ilustrasi Juxtaposition
Sumber: Monacelli Press
Adalah intervensi dengan menambahkan struktur atau massa bangunan baru
dan meletakkannya berdampingan atau berseberangan dengan struktur lamanya.
17
Bangunan lama berfungsi utuhtanpa ada perubahan struktur.Masa bangunan yang
baru memiliki kontribusi fungsi dari jarak tertentu. Intervensi ini akan menciptakan
kontras baik warna, material dan tekstur namun saling melengkapi dan menambah
nilai satu sama lain.
Gambar 13. Contoh Juxtaposition pada bangunan
Sumber: Old Buildings, New Design
Sebelah kiri adalah museum Lovre di Perancis massa bangunan baru didesain
kontras dengan bangunan lamanya dan berfungsi sebagai entrance dari bangunan
lamanya. Sebelah kanan adalah The Morgan Library karya Renzo Piano, New York
2006.
Wraps
Gambar 14. Ilustrasi Wraps
Sumber: Monacelli Press
Desain yang baru membungkus (wraps) struktur desain lama dengan tujuan dasar
memproteksi eksterior bangunan lama dan menghasilkan tampilan bentuk yang sama
sekali berbeda.
Gambar 15. Contoh bangunan Wraps
Sumber: Reviving Existing Building, Seja Pandey
Santa Caterina Market oleh EMBT Architects, Barcelona, Spanyol adalah salah satu
bangunan yang menerapkan intervensi desain wraps pada tindakan revitalisasinya
18
Weavings
Gambar 16. Ilustrasi Weavings
Sumber: Monacelli Press
Pada intervensi desain weavings, struktur yang baru akan terjalin (weaved) luar
dalam dengan struktur yag baru. Desain yang baru akan tampak tidak terlalu
mencolok. Pendekatan dilakukan dengan menggantikan beberapa elemen tertentu
dari struktur eksisting. Membiarkan beberapa bagian utuh sambil menambah elemen
baru ke bagian lain. Keduanya akan terjalin membentuk desain yang menyatu.
Gambar 17. Contoh bangunan Weavings
Sumber: Reviving Existing Building, Seja Pandey
Gambar 17. adalah foto dari Museum Neues di Berlin, Jerman karya David
Chipperfield Architects yang berkolaborasi dengan Julian Harrap. Material yang
digunakan adalah bata, plaster, batu dan terrazzo yang membuat pengunjung dapat
melihat runtutan periode waktu yang berbeda dalam satu waktu yang sama. (F.
Bollack, 2013)
Intervensi desain ini juga harus dapat menjawab kebutuhan bangunan akan adaptasi
fungsi barunya, juga harus tetap kontekstual dan memiliki kesatuan dengan
lingkungan sekitarnya (Secretary of the Interior’s Standards for Rehabilitation)
Dari pemaparan teori pendekatan arsitektural adaptive reuse diatas, peneliti memilih
adaptasi weavings karena merupakan penerapan desain yang tidak akan banyak
mengubah struktur dan eksterior bangunan lama dan memiliki lingkup fokus interior.
2.2.3
Experiental Interior Design
Experiental Interior Design (EID) adalah praktik menerapkan nilai-nilai experiental
terhadap desain pengalaman ruang dalam. EID merupakan pendekatan desain interior
arsitektur baru yang berbasis kepada psikologi modern yang berfokus terhadap
19
kebutuhan experiental manusia. Elemen-elemen EID terdiri dari atas pengalaman
sensori, pengalaman emosi, pengalaman
intelektual, pengalaman pragmatik dan
pengalaman sosial. (Schmitt, B., & Rogers, D., 2009). Menerapkan nilai-nilai
tersebut dalam desain interior dapat melibatkan dan menstimulasi alam pikir
seseorang. (Wikipedia.org).
Pengaturan bentuk-bentuk fisik dapat menciptakan
persepsi terhadap lingkungannya, respon seseorang akan terbentuk menjadi 3 sentral
perasaan manusia yaitu, pleasure, arousal dan dominance. Pleasure merujuk
terhadap kesenangan, arousal merujuk kepada tingkat semangat dan ketertarikan,
dominance merujuk kepada naluri control. Emosi-emosi ini akan menghasilkan
perilaku positif terhadap suatu tempat yaitu keinginan untuk tinggal, menjelajahi
ataupun berinteraksi. (Mehrabian, A., & Russell, J. A., 1980)
Gambar 18. Contoh Experiental Interior
Sumber: Enhancing museum brands withexperiential design, Nadine Ober-Heili, 2014
Gambar 19. Contoh Non-Experiental Interior
Sumber: Enhancing museum brands withexperiential design, Nadine Ober-Heili, 2014
2.3
Tinjauan Khusus
2.3.1 Sejarah Gedung Pola
Gedung Pola adalah gedung rancangan arsitek Friedrich Silaban berdasarkan
gagasan pembangunan Presiden Pertama RI, Soekarno.
Gedung Pola yang dibangun di akhir tahun 1961 bisa dilihat sebagai gedung masa
depan dimana segala impian pembangunan Jakarta di pamerkan dalam bentuk maket
dan gambar berskala besar. Gedung ini dibangun di atas lahan historis tempat dimana
kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.(Abidin Kusno, 2013)
20
Gambar 20. Upacara dan Pembacaan Proklamasi Pertama Indonesia
Sumber: http://wikipedia.orgdiakses 2 Oktober 2015
Pada akhir 1950-an, rumah Bung Karno di jalan Pengangsaan Timur dirobohkan dan
beberapa meter di belakang tempat ini didirikan Gedung Pameran Pola
Pembangunan Nasional Semesta sebagai tanda dimulainya Pembangunan Semesta
Berencana Tahapan Pertama.Pembangunan Gedung Pola adalah tanda dimulainya
pembangunan semesta berencana 8 tahun pasca kemerdekaan. Gedung ini menjadi
wadah bagi masyarakat publik untuk dapat mengetahui pembangunan yang sedang
berlangsung serta berpastisipasi aktif untuk memberi masukan- masukan.Di dalam
Gedung ini diadakan pertemuan-pertemuan terkait proyek-proyek pembangunan
tersebut.Pameran gambar dan maket berskala besar.
Gambar 21.Foto Pameran Proyek
Sumber: Yayasan Bung Karno
Soekarno percaya bahwa arsitektur bisa menjadi salah satu alat untuk membangun
bangsa.Gagasan ini dikenal sebagai gagasan Nation and Character Building.Beliau
menginginkan agar Indonesia dapat menjadi negara exemplary center dan bukan
menjadi negara hasil jajahan Belanda.Terutama Jakarta sebagai Ibu Kota dan wajah
bagi pembangunan nasional. Gedung Pola terdiri dari 6 lantai dan 1 semi-basement.
Dikatakan semi-basement karena berada diatas kemiringan kontur.
21
Gambar 22. Denah Lantai 1 Gedung Pola
Sumber: Yayasan Bung Karno
Gambar 23.Tampak Gedung Pola
Sumber: Yayasan Bung Karno
Luas Bangunan.
Tabel 1 Perhitungan Luas Total Gedung Pola
Lantai
Perhitungan
Total
Lantai 1
60 m x 35 m
2100 m²
Lantai 2
2100 m² - (14 x 52)
2100 m² - 728 m²
1372 m²
Lantai 3
2100 m² - (2 x 192)
2100 m² - 384 m²
1716 m² - 162 m²
1554 m²
Lantai 4
2100 m² - (2 x 256)
2100 m² - 512 m²
1588 m² - 162 m²
1426 m²
Lantai 5
Tipikal lantai 3
1554 m²
Lantai 6
Tipikal lantai 4
1426 m²
Total Luas
9432 m²
Lantai Basement memiliki luas 1680 m² dahulu difungsikan sebagai parkir.
2.3.2 Arsitektur Modern Indonesia
Pembangunan Gedung Pola erat kaitannya dengan arsitektur modern yang
berkembang di Indonesia pasca kemerdekaan.
22
Gedung Pola didirikan berdasarkan gagasan Soekarno dalam kesatuan perencanaan
Pembangunan Nasional Semesta Berencana 8 tahun (1961-1969) Gedung ini dibuka
pada tahun 1963. Arsitektur Modern secara sederhana dapat dikatakan sebagai
perkembangan arsitektur di Indonesia pada masa pasca kolonial walaupun tidak ada
sebuah batasan kaku terhadap periode waktu lahirnya, Namun perkembangan dan
pengaruhnya dapat kita tarik dari masa setelah kemerdekaan yaitu sekitar (1950 –
2000awal)
CIAM (Congres Internationaux d’Architecture Moderne, 1928)
Adalah kongres international yang merupakan prinsip dasar pemikiran arsitektur
modern dunia. Ditanda-tangani oleh perwakilan negara dari Prancis, Switzerland,
Jerman, Belanda, Itali, Spanyol, Austria dan Belgia (Modern Architecture, Kenneth
Framton, 2007)
Arsitektur Indonesia pada saat itu sedikit banyak mendapat pengaruh dari prinsip
pemikiran modern dunia.
Arsitek Belanda di Hindia Belanda
Lahirnya arsitektur modern di Indonesia juga erat kaitannya dengan beberapa arsitek
belanda yang mempunyai pengaruh kuat dalam perkembangan arsitektur Indonesia
pra-modern seperti
Wolff Schoemaker, A.F Albers, Henri Maclaine Pont dan
Thomas Karsten. Keempat tokoh arsitek ini terbagi majadi 2 kubu, Schoemaker dan
Albers memiliki prinsip arsitektur barat yang diterapkan tanpa menimbang aspek
iklim, lingkungan dan lokalitas dimana arsitektur itu berada.Sementara Pont dan
Karsten menggunakan tinjauan- tinjauan arsitektur lokal dalm desain bangunannya
yang menyatukan kedua metode pendekata barat dan nusantara (Tegang Bentang,
seratus tahun perspektif arsitektural di Indonesia, 2013)
Soekarno dan Arsitektur Modern di Indonesia
Soekarno
merupakan
insinyur-arsitek
yang
menjadi
penyumbang
gagasan
pembangunan dan arsitektur di Indonesia, sebagai pejuang kemerdekaan dan
pemimpin bangsa, Ia dalam gagasan Nation and Character Building-nya memiliki
mimpi untuk membangun bangsa Indonesia dengan wajah baru yang memiliki
karakter nasional dan meninggalkan sama sekali identitas kota jejak penjajahan
kolonial. Beliau dapat dikatakan sebagai seorang arsitek modernis, Soekarno banyak
mendapat pengaruh dari prinsip arsitektur modern dunia dan percaya dengan
penerapannya yang memperhatikan aspek lingkungan, iklim dan lokalitas di
Indonesia.
23
Proyek Pembangunan Nasional Semesta Berencana (1961-1969)
Merupakan proyek- proyek besar yang direncanakan khususnya bagi Ibu Kota
Jakarta meliputi perencanaan pembangunan banyak proyek yang sebagian terlaksana
dan sebagian lagi tidak akibat terbentur masalah biaya Beberapanya antara lain:
Monumen Nasional, penataan taman merdeka/ lapangan merdeka, Tugu Nasional,
Wisma Seni Nasional, Perpustakaan Nasional, Teater Nasional, Museum Nasional,
Museum Perjuangan, Konservatori Nasional, Perumahan Cempaka Putih, Kota
Satelit Pulo Mas, Taman Bhinneka Tunggal Ika dan masih banyak lagi. (Bambang
Eryudhawan)
Konsep Arsitektural Soekarno dan F.Silaban
Friedrich Silaban, arsitek, kepala bagian Pekerjaan Umum (PU) di
Kotamadya Bogor dari tahun 1847 sampai tahun 1965, salah satu pendiri Ikatan
Arsitek Indonesia (IAI). Dia dididik secara formal di ilmu Bangunan (bouwkunde) di
tingkat sekolah tinggi kejuruan, tapi memperoleh pengetahuan arsitektur dari
berbagai sumber, termasuk pertemuan langsung dengan Frank Llyod Wright dan
Louis I. Khan dan mengunjungi Chandigarh dan beberapa tempat lainnya. (Josef
Prijotomo, 2008)
Friedrich Silaban memiliki hubungan dekat dengan Soekarno, dia adalah salah satu
arsitek Indonesia yang paling banyak terlibat dalam perancangan bangunan
monumen ataupun bangunan nasional.
Dalam perancangan bangunan yang menunjukan Indonesia sebagai suatu
bangsa, beliau banyak melandasi prinsip arsitekturalnya berdasarkan moto
kemakmuran contohnya Bank Indonesia yang dibangun 1953 dan Bhineka Tunggal
Ika yang terlihat dari Tugu Monas (Monumen Nasional) yang dibangun 1971- 1975
Gambar 24. Bank Indonesia dan Tugu Monas
Sumber: http://wikipedia.org
Gaya arsitekturnya banyak dipengaruhi oleh gaya modernis yang fungsionalis,
memiliki ekspresi struktur, sesuai dengan iklim tropis Indonesia dan monumentalis
24
yang berarti megah dan besar dengan menonjolkan bentuk- bentuk geometris yang
tegas.
Dari segi fungsional dalam sistem arsitektur, bangunan umum karya Silaban
lebih mengungkapkan fungsional konstruktivisme, fungsional geometris dan
fungsional berdaya guna. Hampir seluruh bangunan umum karya Silaban
menggunakan struktur dan bahan yang jelas dan jujur, yang menunjukan kekokohan
bahan dan kekuatan unsur-unsur konstruksinya. Karakter monumentalis dan
kekokohan konstruksi dapat jelas terlihat menjadi ciri Masjid Istiglal karya Silaban
yang merupakan masjid terbesar di Asia Tenggara.
Ia memiliki pandangan tentang keawetan bangunan dengan penggunaan bahan
kualitas tinggi untuk menghemat biaya perawatan. Memakai pendekatan aspek
ekonomi untuk mencapai hasil yang tepat guna, rasionalisasi dalam pemecahan
masalah dan menitikberatkan pada optimasi aktifitas. (Arsitek dan Karyanya F.
Silaban dalam konsep dan karya, 1992)
Sedikit banyak F. Silaban banyak dipengaruhi oleh gaya arsitektur modern yang
dibawa oleh Le Corbusier dan Frank Llyod Wright, dan tentunya oleh Soekarno
sebagai pemberi amanat perancangan pembangunan nasional sekaligus kawan
berdebat dan berdiskusinya.
Tinjauan Sejarah Perjalanan Hidup Soekarno
Sejarah perjalanan hidup Sukarno disusun berdasarkan beberapa sumber yaitu
literature otobiografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 80 Tahun
Bung Karno, Tegang Bentang 100 Tahun Perspektif Arsitektural Indonesia dan
berdasarkan wawancara narasumber dari Yayasan Bung Karno. Juga data pendukung
dari online research.
Hasil pengumpulan data dan informasi mengenai sejarah ini disusun peneliti
dalam diagram skematik agar mudah dibaca dan lebih menarik berdasarkan urutan
linimasa yang menjadi lampiran.
2.4 Jenis-Jenis Museum
Menurut penyelenggaraannya, museum dapat dibagi menjadi :
1.
Museum Pemerintah, yaitu museum yang diselenggarakan dan dikelola oleh
pemerintah baik pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
2.
Museum Swasta, yaitu museum yang didirikan dan diselenggarakan oleh
perseorangan.
25
Berdasarkan tingkat koleksinya, meseum dibagi menjadi :
1.
Museum Nasional, yaitu museum yang memiliki benda koleksi dalam taraf
nasional atau dari berbagai daerah di Indonesia.
2.
Museum Regional, yaitu museum yang benda koleksinya terbatas dalam lingkup
daerah regional.
3.
Musuem Lokal, yaitu museum yang benda koleksinya hanya terbatas pada hasil
budaya daerah tersebut.
Tipe museum menurut Josep Montaner (1990) ditinjau secara bersama- sama dari
segi program, ukuran, bentuk, dan kompleksitasnya adalah sebagai berikut :
1. Kompleks Kebudayaan
Kompleks kebudayaan merupakan suatu tempat yang di dalamnya terdapat
museum dan ruang-ruang yang digunakan untuk kegiatan pameran. Di dalam
kompleks kebudayaan ini kegiatan museum merupakan bagian dari seluruh
kegiatan yang ada. Selain itu, ada ruang-ruang pendukung seperti
perpustakaan, auditorium, teater, pusat administrasi, lembaga kebudayaan,
pusat kegiatan komersial seperti restoran, pertokoan, dan sebagainya.
2. Galeri Seni Nasional
Jenis galeri ini termasuk dalam kelompok tipe museum yang ada di dalamnya
mewadahi koleksi-koleksi berbagai macam seni. Jenis seni yang diwadahi
berkaitan erat dengan kebudayaan wilayah setempat yang memiliki nilai
historis.
3. Museum Seni Kontemporer
Museum
difungsikan
sebagai
kontemporer.Benda-benda
seni
wadah
yang
koleksi
dipamerkan
benda-benda
seni
merupakan
hasil
perkembangan seni yang telah mulai meninggalakan kesan tradisionalnya.
4. Museum IPTEK dan Industri
Karakteristik museum ini terdapat pada koleksinya yang berupa benda yang
berhubungan dengan kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta hasilhasil kemajuan industri. Museum ini juga berfungsi sebagai pusat pendidikan
atau pusat penelitian.
5. Museum yang Bertemakan Sejarah dan Kebudayaan Suatu Kota
Pada jenis museum ini karakteristik ruang-ruang pameran berhubungan erat
dengan koleksi yang bernilai sejarah.
6. Galeri dan Pusat Seni Kontemporer
26
Pada prinsipnya Galeri dan Pusat Seni Kontemporer ini memiliki tipologi
bangunan yang sama dengan Museum Seni Kontemporer. Perbedaan
karakteristiknya dilihat dari masing-masing kegiatan.
7. Galeri ini bersifat privat dari segi kepemilikan, sedangkan untuk Pusat Seni
Kontemporer lebih bersifat umum. Sifat pamerannya lebih kearah nonpameran dan ada suatu kegiatan promosi dari sang seniman dalam menggelar
karya-karya seninya. Dalam hal ini campur tangan seniman banyak
berpengaruh pula terhadap penataan ruang pamerannya.
Unsur-Unsur Museum
Menurut
Asiarto
(2008:18-20)
museum
memiliki
unsur-unsur
seperti
bangunan/lokasi dan koleksi. Bangunan museum setidaknya meliputi area publik dan
non-publik yang berisi koleksi dan non-koleksi.
1. Bangunan / Lokasi
Museum harus memiliki bangunan yang terdiri dari ruang-ruang pokok dan ruang
penunjang. Bangunan pokok meliputi beberapa ruang sebagai berikut:
Tabel 8. Fasilitas Museum
Penunjang
Ruang penjualan tiket dan penitipan
barang
No.
Pokok
a
Ruang pameran tetap
b
Ruang pameran temporer
Ruang cendermata dan kafetaria
c
Ruang auditorium
Ruang lobi
d
Ruang perpustakaan
Ruang toilet
e
Ruang laboratorium
Ruang parkir dan taman
f
Ruang penyimpanan koleksi (storage)
Ruang pos jaga
g
Ruang edukasi
h
Ruang transit koleksi
i
Bengkel kerja preparasi
Sumber: Pedoman Museum Indonesia, 2008
Bangunan yang terdiri dari bangunan pokok dan bangunan penunjang tersebut perlu
memperhatikan beberapa hal, diantaranya adalah lokasi yang strategis, kenyamanan
dan ketenangan, keamanan dan koleksi.
27
Koleksi
museum
adalah
benda-benda
bukti
material
manusia
dan
lingkungannya yang berkaitan dengan satu atau berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Untuk menjadi koleksi, sebuah benda memerlukan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Mempunyai nilai penting bagi perkembangan kebudayaan
b. manusia dan lingkungannya.
c. Dapat diidentifikasi dari aspek ruang, waktu, bentuk, danfungsinya.
d. Dapat dijadikan dokumen, dalam arti sebagai buktikenyataan dan kehadirannya
bagi penelitian ilmiah.
e. Dapat dijadikan suatu monumen atau calon monumen dalam sejarah alam dan
budaya.
Tata Pameran Museum
Terdapat elemen-elemen desain interior bagi tata pameran dalam sebuah
museum menurut Saul Carliner dalam bukunya Modeling Information for Threedimensional Space: Lessons Learned from Museum Exhibit Design. Beberapa poin
tersebut yaitu:
1.
Motivate Visitor
Tata pameran yang baik harus mampu memotivasi pengunjung, kepada siapa
informasi ditujukan, apakah pengunjung umum atau pengunjung khusus.
2.
Focus Content
Informasi yang disampaikan haruslah singkat dan padat sehingga pengunjung
tidak dijejali informasi yang mengakibatkan ‘malas’ untuk menerima informasi
tersebut
3.
Immesion
Informasi yang disajikan harus mampu untuk membuat pengunjung merasa
terlibat dalam sebuah “cerita” dan membangkitkan rasa ingin tahu lebih lanjut.
Gambar 25. German Hat Museum, Atelier Brueckner.
Sumber http://http://www.atelier-brueckner.de/diakses 30 november 2015
28
Ruangan tidak menutup di tiga sisi untuk layar yang menyajikan video yang
bercerita difasilitasi bangku bagi pengunjung untuk duduk dan terlibat dalam
cerita lebih lanjut.
4.
Modularity
Penyusunan tema-tema kecil haruslah bersifat menyeluruh dan mudah dipahami.
Penyajian satu tema besar yang rumit tidaklah dianjurkan.
5. Skimmability
Skimmablity adalah kemampuan sebuah informasi untuk dapat dicerna dalam
waktu yang singkat. Sistem tata pameran dalam museum harus dibuat sedemikian
rupa sehingga pengunjung dapat memahami informasi dengan mudah walaupun
pengujung hanya membaca/melihat sepintas.
6. Patterns
Pola sirkulasi pengunjung merupakan hal yang harus diperhatikan demi
kemudahan mereka dalam memahami informasi yang disampaikan.
7. Capture Curiosity
Bangkitkan
rasa
ingin
tahu
pengunjung
dengan
menggunakan
teknik
“storytelling” dan membuat mereka bertahan menikmati sebuah informasi.
Seperti pemutaran video atau cuplikan audio visual pada layar dinding.
Gambar 26. Danish Maritime Museum
Sumber http://archdily.com/diakses 30 november 2015
8. Interaction
Adanya koleksi yang dapat disentuh oleh pengunjung merupakan salah satu cara
untuk membangun interaksi. Layar dengan informasi yang dapat disentuh dan
layar deteksi gerak yang dapat menghasilkan trik foto yang dapat dicetak sebagai
suvenir pengunjung.
29
Gambar 27. Cleveland Museum of Art
Sumber http://fastcodesign.com/ diakses 30 november 2015
9. Integrate Technology
Teknologi sederhana yang dapat mengundang rasa ingin tahu pengunjung kadangkadang lebih bermanfaat dibandingkan teknologi rumit yang akan membuat
pengunjung “bermain” dengan perangkat teknologi yang ada (bukan mempelajari
kandungan informasi yang ada dalam perangkat teknologi tersebut). Akan
dilakukan digitalisasi foto-foto peristiwa bersejarah selain menjaga arsip aslinya
juga memiliki banyak kemungkinan penyajian. Juga terdapat integrasi antara
display fisik dengan tulisan atau keterangan digital
Gambar 28. Integrasi Display Digital dan Non-Digital
Sumber http://harryvetterteam.de/ dan http://fastcodesign.com/ diakses 30 november 2015
10.
Layer Content
Sajikan informasi secara berjenjang (layer) agar pengunjung mudah memahami
apa yang ingin disampaikan. Panel dibawah koleksi maket. Panel kaca informasi
yang diberi direct lighting dari dalam kotak panel. Disajikan dengan tahap dan
jenjang yang informatif
30
Download